Anda di halaman 1dari 37

Laporan Pendahuluan

DBD

A. Definisi
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit virus yang tersebar luas
di seluruh dunia terutama di daerah tropis. Penderitanya terutama adalah anak-anak
berusia dibawah 15 tahun, tetapi sekarang banyak juga orang dewasa terserang penyakit
ini. Sumber penularan utama adalah manusia dan primata sedangkan penularnya adalah
nyamuk Aedes.
Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit penyakit menular yang disebabkan
oleh oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty, yang ditandai
dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa sebab yang jelas, nyeri otot, lemah/lesu,
gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda pendarahan dikulit berupa bintik pendarahan
(petechiae, lebam (enchymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak
berdarah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (schok) (Kemenkes RI, 2011).
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan infeksi penyakit akut yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan melalui vector nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus. DBD dapat menyerang orang dewasa maupun anak-anak dibawah 15 tahun
(Widyanto, 2013).
Dari beberapa pengertian penyakit DBD di atas didapat kesimpulan DBD adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan dari orang ke orang melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypty yang ditandai dengan nyeri otot, demam tinggi mendadak
tanpa sebab yang jelas dan dapat berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan
kejadian kesadaran menurun.

B. Etiologi
Penyebab terjadinya DBD adalah virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus
grup family Togaviridae. Virus ini mempunyai ukuran diameter sebesar 30 nm dan
terdiri dari 4 serotip yaitu dengue (DEN) 1, (DEN) 2, (DEN) 3, dan (DEN) 4. DBD
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Pada suhu 30o
C nyamuk memerlukan waktu lama 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi
ekstrinsik dari lambung sampai kelenjar ludah nyamuk. Sebelum demam muncul pada
penderita yang telah terinfeksi, virus sudah terlebih dahulu berada dalam darah selama 1-
2 hari. Selanjutnya selama 4-7 hari penderita berada dalam kondisi viremia. Nyamuk
Aedes aegypti memiliki kebiasaan hinggap pada pakaian yang bergantungan di kamar
dan mengigit atau menghisap darah pada siang hari dengan waktu puncak gigitan pukul
09.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00. nyamuk jantan tidak dapat mengigit dan meghisap
darah, melainkan hidup dari sari bunga tumbuh-tumbuhan (Mharsell, 2009).

C. Patofisiologi
Infeksi virus dengue, akan mengeluarkan toksin, reaksi imunologis, trombositoposis
destruksi trombosit dalam darah naik. Saat virus mengeluarkan toksin dapat melepaskan
pirogen ke dalam darah yang menstimulasi pusat termoregulasi (Hipothalamus) dan
mengirim impuls ke pusat vasomotor sehingga menyebabkan peningkatan suhu tubuh.
Dari peningkatan suhu tubuh tersebut terjadi kesalahan interpretasi dan mukosa
mulut/lidah kotor dan tidak nyaman. Kesalahan interpretasi tersebut dikarenakan kurang
pengetahuan dan membutuhkan hospitalisasi sehingga menyebabkan ansietas
(kecemasan), sedangkan dari mukosa yang kotor menyebabkan mual muntah atau
anoreksia sehingga intake nutrisi tidak adekuat yeng kemudian bisa terjadi penurunan
daya tahan tubuh dan beresiko terjadi infeksi, sementara perubahan nutrisi bisa terjadi
dan kondisi tubuh dapat melemah selanjutnya akan terjadi intoleransi aktivitas.
Reaksi imunologis menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat dan dapat terjadi
ekstraksi cairan yang menimbulkan kebocoran plasma yaitu hemokonsentrasi,
hipoproteinuria, efusi pleura, serta acites. Kemudian hipovolemia yang terjadi dapat
menyebabkan hipotensi dan vasodilatasi arteri sehingga kulit menjadi panas dan terjadi
peningkatan penguapan cairan tubuh yang berujung pada deficit volume cairan tubuh.
Sedangkan dari kerusakan trombosit, agregasi trombosit akan meningkat sehingga
terjadi trombositopenia yang menyebabkan menurunnya faktor koagulasi akan
memanifestasikan perdarahan ringan – berat yang beresiko terhadap perdarahan lebih
lanjut sehingga vaskositas darah menurun dan dapat terjadi perdarahan dan suplai O2
dalam zat makanan ke dalam tubuh menurun yang menyebabkan penumpukan asam
laktat dalam otak dan sendi yang berujung pada nyeri yang akut.

D. Komplikasi
Komplikasi dari demam berdarah dengue menurut Indartoas (2009 : 7) yaitu :
1. Perdarahan luas : Karena peningkatan suhu yang tinggi, pecahan-pecahan
pembuluh darah terjadi pada sebagian besar tubuh.
2. Syok (rejatan) : Rejatan dapat terjadi pada pasien DSS (Dengue Shock
Syndrome).
3. Pleural Effusion : Efusi pleura terjadi disebabkan oleh permeabilitas vaskuler
yang meningkat sehingga menyebabkan ekstrasi cairan intravaskuler ke
ekstravaskuler.
4. Penurunan kesadaran : Terjadi karena hipovolemia yang hebat sehingga sel darah
berkurang dan tidak mampu membawa oksigen secara adekuat ke dalam otak.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan demam berdarah dengue menurut Suriadi, (2006 :
60) adalah sebagai berikut :
 Penatalaksanaan medik
1. Pemberian Antipiretik jika terdapat demam
2. Berikan antikoavulsan jika kejang
3. Pemberian terapi IVFD, jika pasien mengalami kesulitan minum dan hematokrit
cenderung meningkat
 Penatalaksanaan keperawatan
1. Minum banyak 1,5 sampai 2 L/hari dengan air teh, gula, atau susu,Hal ini karena
pasien dengan DBD beresiko tinggi mengalami kekurangan volume cairan
berlebih. Mencegah terjadinya kekurangan volume cairan.
2. Meningkatkan perfusi jaringan adekuat,Mengkaji dan mencatat tanda-tanda vital
(kualitas dan frekuensi denyut nadi, tekanan darah, CRT)
3. Memberikan nutrisi secara adekuat.Berikan makanan yang disertai suplemen
nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
4. Mensupport koping keluarga yang adaptif.Ijinkan orangtua dan keluarga untuk
memberikan respons secara panjang lebar, dan identifikasi faktor yang paling
mencemaskan keluarga.
5. Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.Ukur tanda-tanda vital : suhu
dan ajarkan keluarga dalam mengukur suhu tubuh. Suhu tubuh normal 360C
sampai 370C
F. Pathway

G. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan DBD menurut Suriadi, (2006 : 59) yaitu :
 Mengkaji riwayat keperawatan
Riwayat adanya penyakit DBD pada anggota keluarga yang lain sangat menentukan,
karena penyakit DBD adalah penyakit yang bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk
aides aigepty.
 Pemeriksaan fisik
1. Peningkatan suhu tubuh
2. Kaji tanda-tanda perdarahan
3. Mual-muntah
4. Anoreksia
5. Nyeri ulu hati
6. Nyeri otot dan sendi
7. Tanda-tanda rejatan seperti denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin
dan lembab terutama pada ekstremitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia b.d proses inflamasi
2. Perubahan perfusi jaringan perifer b.d perdarahan
3. Kekurangan volume cairan b.d intake yang tidak adekuat dan diaphoresis
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah, anoreksia
5. Resiko terjadi perdarahan berulang b.d tromobositopenia
6. Resiko Syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan,
pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler

C. Intervensi
 Hipertermia b.d proses inflamasi

Tujuan : Anak menunjukkan temperatur tubuh dalam batas normal

Intervensi
1. Pantau TTV klien
2. Observasi suhu
3. Kaji saat timbul demam
4. Anjurkan keluarga untuk kompres hangat klien
5. Berikan antipiretik
6. Ajarkan pada orang tua cara mengukur suhu tubuh anak

Rasional
1. Membantu mengetahui keadaan klien
2. Mengetahui tingkat suhu tubuh klien
3. Membantu untuk menentukan intervensi selanjutnya
4. Kompres berguna untuk mengeluarkan panas dalam tubuh
5. Terapi yang adekuat dapat menurunkan demam
6. Agar orang tua dapat memonitor suhu anak secara mandiri

 Perubahan perfusi jaringan perifer b.d perdarahan

Tujuan : Agar tidak terjadi perdarahan terutama pada bawah kulit

Intervensi
1. Mengkaji dan mencatat tanda-tanda vital (kualitas, frekuensi denyut nadi,
tekanan darah, dan CRT)
2. Mengkaji dan mencatat sirkulasi pada ekstremitas (suhu, kelembaban, dan
warna)
3. Menilai kemungkinan terjadinya kematian jaringan pada ekstremitas sepert
dingin, nyeri, pembengkakan kaki
4. Pantau frekuensi irama jantung, perhatikan distritmia
5. Perhatikan kualitas atau kekuatan dari denyut perifer
6. Kaji kulit terhadap perubahan warna, suhu, kelembaban
7. Kolaborasi :Berikan cairan parental (rujuk pada DK : kekurangan volume
cairan)
Rasional
1. Tanda-tanda vital seperti tekanan darah rendah, nadi lemah, frekuensi cepat,
dan CRT >3 detik dapat menunjukkan terjadinya perdarahan
2. Suhu rendah, kulit kering, dan warna sianosis menunjukkan terjadinya
perubahan perfusi jaringan perifer yang tidak adekuat
3. Kematian jaringan dapat diketahui dengan pemeriksaan pada jaringan seperti
suhu, ada nyeri atau tidak, serta adakah pembengkakan pada kaki atau
ekstremitas lain
4. Bila terjadi takikardia mengacu pada stimulasi sistem sekunder, sistem saraf
simpatis untuk menekankan respons dan untuk menggantikan kerusakan pada
hipovolemia dan hipertensi
5. Nadi dapat menjdai lemah atau lambat karena hipotensi terus menerus,
penurunan curah jantung
6. Mekanisme kompensasi dari pasodilatasi menyebabkan kulit hangat, merah
muda kering
7. Untuk mempertahankan perfusi jaringan sejumlah besar cairan mungkin
dibutuhkan untuk mendukung volume sirkulasi

 Resiko kekurangan volume cairan b.d intake yang tidak adekuat dan diaphoresis
Tujuan : Keseimbangan cairan dapat dipertahankan yang ditandai dengan : Turgor
kulit elastis dan membran mukosa lembab

Intervensi
1. Observasi kesadaran, suhu, nadi, TD, penatalaksanaan
2. Kaji tanda dan gejala yang kurang volume cairan (selaput mukosa kering,
haus, produksi urine menurun)
3. Monitor dan catat cairan masuk dan keluar
4. Jelaskan pada klien/ keluarga upaya untuk menambah volume cairan
5. Beri minum yang cukup dan jelaskan dengan cairan infuse
6. Kolaborasi : pemberian cairan perantal (RL/asering)
Rasional
1. Mengetahui keadaan umum klien
2. Mengetahui seberapa banyak volume cairan yang dibutuhkan
3. Agar dapat mengetahui seberapa jauh dari cairan yang kurang atau keluar
4. Untuk mempertahankan kesimbangan cairan
5. Agar cairan dapat terpenuhi
6. Untuk mempertahankan cairan yang ada didalam tubuh
 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah, anoreksia
Tujuan : Anak menunjukkan tanda-tanda kebutuhan nutrisi yang adekuat

Intervensi
1. Timbang BB sesuai kebutuhan
2. Identifikasi makanan yang disukai pasien
3. Pertahankan kebersihan mulut klien
4. Anjurkan keluarga untuk makan bersama
5. Anurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan tekhnik kecil
tapi sering
6. Kolaborasi :Pemberian suplemen vitamin, antiemetic nutrisi parental
Rasional
1. Indikator kebutuhan nutrisi atau pemasukan yanga adekuat
2. Untuk mengidentifikasi makanan yang disukai klien
3. Kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan
4. Untuk meningkatkan nafsu makan klien keluarga itu sangat diperlukan
5. Dengan makan sedikit tapi sering dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
6. Membantu dalam pemenuhan nutrisi pada klien dan mempertahankannya

 Resiko terjadi perdarahan berulang b.d trombositopenia


Tujuan : Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut dan jumlah

Intervensi
1. Observasi suhu, tekanan darah, nadi, pernapasan, dan kesadaran
2. Monitor jumlah cairan yang masuk dan keluar
3. Perhatikan keluhan pusing, lemah dan nyeri perut
4. Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis
5. Monitor trombosit setiap hari
6. Anjurkan klien untuk banyak istirahat
7. Berikan penjelasan pada klien dan keluarga untuk melaporkan jika ada tanda
perdarahan seperti : hematemesis, melena, dan epistaksis
8. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara
kebersihan mulut, berikan tekanan 5 sampai 10 menit setiap selesai ambil
darah
9. Berikan infus RL/asering
10. Berikan obat sesuai indikasi
Rasional
1. Mengetahui seberapa jauh perdarahan yang muncul
2. Menanggulangi resiko perdarahan terulang kembali
3. Mengetahui seberapa jauh syok yang diderita klien
4. Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran pembuluh darah
yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti :
petiki, epistaksis
5. Dengan trombosit yang dipantau setiap hari dapat diketahui tingkat
kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan perdarahan yang dialami pasien
6. Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan
7. Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk penanganan dini bila
terjadi perdarahan
8. Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut
9. Menanggulangi terjadinya syok kembali
10. Pemberian obat seperti antibiotik dapat mengurangi terjadinya perdarahan
berulang

 Resiko Syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan,


pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik

Intervensi
1. Monitor keadaan umum pasien
2. Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera laporkan jika
terjadi perdarahan
4. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena
5. Kolaborasi : pemeriksaan : HB, PCV, trombosit
Rasional
1. Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan terutama saat terdi
perdarahan. Perawat segera mengetahui tanda-tanda presyok /syok.
2. Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk memastikan tidak terjadi
presyok / syok.
3. Dengan melibatkan psien dan keluarga maka tanda-tanda perdarahan dapat
segera diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat dapat segera diberikan
4. Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh secara
hebat.
5. Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien
dan untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Aziz Alimul.(2008). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Nelson. (2000).ilmu kesehatan anak.edisi 15 vol 2 Jakarta: EGC

Rasyid. (2012). Demam Berdarah. diakses pada tanggal 3 Juli 2013 dalam web
ttp://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/01/20/demam-berdarah-haruskah-kita-
kembali-menjadi-nomor-satu-di-asean/

Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Salemba Medika

Suriadi. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto

Wong, D.L. (2004). Keperawatan Pediatric, (Edisi 4) Jakarta, EGC

LAPORAN PENDAHULUAN DIARE PADA ANAK


A. Definisi
Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya
defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai
dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah.
Menurut menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan
tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek
sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau
lebih dalam sehari.
Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu
keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus.
Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana
terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena
frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal
yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau
tanpa disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada
lambung atau usus.

B. Etiologi
Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut
patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh :
a. Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela,
E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus
aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia
makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam),
gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan
sebagainya.
b. Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang
mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur
terutama canalida.

2. Diare osmotik (osmotik diarrhoea) disebabkan oleh:


a. Malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan
mineral.
b. Kurang kalori protein.
c. Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.
Sedangkan menurut Ngastiyah (1997), penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa
faktor yaitu:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral
Merupakan penyebab utama diare pada anak, yang meliputi: infeksi
bakteri, infeksi virus (enteovirus, polimyelitis, virus echo coxsackie). Adeno
virus, rota virus, astrovirus, dll) dan infeksi parasit : cacing (ascaris, trichuris,
oxyuris, strongxloides) protozoa (entamoeba histolytica, giardia lamblia,
trichomonas homunis) jamur (canida albicous).
b. Infeksi parenteral ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis
media akut (OMA) tonsilitis/tonsilofaringits, bronkopeneumonia, ensefalitis
dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur
dibawah dua (2) tahun.
2. Faktor malaborsi : Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa,
maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa).
Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting pada bayi dan anak.
Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.
3. Faktor makanan : Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun
dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
4. Faktor psikologis : Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan
cemas)
Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita
( Depkes RI, 2007), yaitu :
1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan
. Pada balita yang tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar
daripada balita yang diberi ASI penuh, dan kemungkinan menderita
dehidrasi berat lebih besar.
2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran
oleh kuman karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak
bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan dilingkungan yang
panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat
tercemar oleh kuman-kuman/bakteri penyebab diare. Sehingga balita yang
menggunakan botol tersebut beresiko terinfeksi diare.
3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan
beberapa jampada suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan
berkembang biak.
4. Menggunakan air minum yang tercemar.
5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah
membuang tinja anakatau sebelum makan dan menyuapi anak.
6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja
tidak berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri
dalam jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan
infeksi pada manusia.

C. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan
osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi
pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini
akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya
diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan
mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga
timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri
timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke
dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme
tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut
terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari
pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.
2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis)
Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja.
Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam
tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan.
Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat
dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion
Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih
sering pada anak yang sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena
adanya gangguan penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya
gangguan absorbsi glukosa.Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar
glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi dan 50% pada anak-anak.
4. Gangguan gizi
Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini
disebabkan oleh:
a. Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau
muntah yang bertambah hebat.
b. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan
susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
c. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi
dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
5. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik,
akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah
berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila
tidak segera diatasi klien akan meninggal.

D. Komplikasi
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik.
c. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi,
perubahan pada elektro kardiagram).
d. Hipoglikemia.
e. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena
kerusakan vili mukosa, usus halus.
f. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga
mengalami kelaparan.
Dari komplikasi Gastroentritis,tingkat dehidrasi dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Dehidrasi ringan
Kehilangan cairan 2 – 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik
turgor kulit kurang elastis, suara serak, penderita belum jatuh pada keadaan
syok.
b. Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5 – 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik
turgor kulit jelek, suara serak, penderita jatuh pre syok, nadi cepat dan dalam.
c. Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan 8 - 10 % dari bedrat badan dengan gambaran klinik
seperti tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun,
apatis sampai koma, otot-otot kaku sampai sianosis.

E. Penatalaksaan Penyakit
1. Rehidrasi
a) Jenis cairan
1). Cara rehidrasi oral
a) Formula lengkap (NaCl, NaHCO3, KCl dan Glukosa) seperti orali,
pedyalit setiap kali diare.
b) Formula sederhana ( NaCl dan sukrosa)
2). Cara parenteral
a) Cairan I  : RL dan NS
b) Cairan II : D5  ¼ salin,nabic. KCL
1) D5 : RL = 4 : 1  + KCL
2) D5 + 6 cc NaCl 15 % + Nabic (7 mEq/lt) + KCL
c) HSD (half strengh darrow) D ½  2,5 NS cairan khusus pada diare usia
> 3 bulan.
b) Jalan pemberian
1) Oral  (dehidrasi sedang, anak mau minum, kesadaran baik)
2) Intra gastric (bila anak tak mau minum,makan, kesadaran menurun)
c) Jumlah Cairan ; tergantung pada :
1) Defisit ( derajat dehidrasi)
2) Kehilangan sesaat (concurrent less)
3) Rumatan (maintenance).
d) Jadwal / kecepatan cairan
1) Pada anak usia 1- 5 tahun dengan pemberian 3 gelas bila berat badanya
kurang lebih 13 kg : maka pemberianya adalah :
a. BB (kg) x 50 cc
b. BB (kg) x 10 – 20 = 130 – 260 cc setiap diare = 1 gls.
2) Terapi standar pada anak dengan diare sedang :
+ 50 cc/kg/3 jam  atau 5 tetes/kg/mnt
2. Terapi
a. obat anti sekresi : Asetosal, 25 mg/hari dengan dosis minimal 30 mg,
klorpromazine 0,5 – 1 mg / kg BB/hari
b. obat anti spasmotik : Papaverin, opium, loperamide
c. antibiotik :  bila penyebab jelas, ada penyakit penyerta
3. Dietetik
a. Umur > 1 tahun dengan BB>7 kg, makanan  padat / makanan cair atau susu
b. Dalam keadaan malbasorbsi berat serta alergi protein susu sapi dapat diberi
elemen atau semi elemental formula.
4. Supportif
Vitamin A 200.000. IU/IM, usia 1 – 5 tahun

F. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11 bulan.
Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap infeksi, hal ini
membantu menjelaskan penurunan insidence penyakit pada anak yang lebih
besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk.
Kebanyakan kasus karena infeksi  usus asimptomatik dan kuman enteric
menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi juga
berpengaruh terutama dilihat dari pola makan dan perawatannya .
b. Keluhan Utama
BAB lebih dari 3 x
c. Riwayat Penyakit Sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir saja.
Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari
(diare akut), lebih dari 7 hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari (diare
kronis).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau kortikosteroid
jangka panjang (perubahan candida albicans dari saprofit menjadi parasit),
alergi makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
e. Riwayat Nutrisi
Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa,
porsi yang diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu.
kekurangan gizi pada anak usia toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan
makanan yang baik, menjaga kebersihan dan sanitasi makanan, kebiasan cuci
tangan.
f. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.
g. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan  makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan,
lingkungan tempat tinggal.
h. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
1). Pertumbuhan
a) Kenaikan BB karena umur 1 –3 tahun berkisar antara 1,5-2,5 kg (rata
- rata 2 kg),  PB 6-10 cm (rata-rata 8 cm) pertahun.
b) Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm ditahun
kedua dan seterusnya.
c) Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama dan gigi
taring, seluruhnya berjumlah 14 – 16 buah
d) Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
2). Perkembangan
a. Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud.
Fase anal :
Pengeluaran tinja menjadi sumber kepuasan libido, meulai
menunjukan keakuannya, cinta diri sendiri/ egoistic, mulai kenal
dengan tubuhnya, tugas utamanyan adalah latihan kebersihan,
perkembangan bicra dan bahasa (meniru dan mengulang kata
sederhana, hubungna interpersonal, bermain).
b. Tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson.
Autonomy vs Shame and doundt
Perkembangn ketrampilan motorik dan bahasa dipelajari anak
toddler dari lingkungan dan keuntungan yang ia peroleh Dario kemam
puannya untuk mandiri (tak tergantung). Melalui dorongan orang tua
untuk makan, berpakaian, BAB sendiri, jika orang tua terlalu over
protektif menuntut harapan yanag terlalu tinggi maka anak akan
merasa malu dan ragu-ragu seperti juga halnya perasaan tidak mampu
yang dapat berkembang pada diri anak.
c. Gerakan kasar dan halus, bacara, bahasa dan kecerdasan, bergaul dan
mandiri : Umur 2-3 tahun :
1) Berdiri  dengan satu kaki tampa berpegangan sedikitpun  2
hitungan (GK)
2) Meniru membuat garis lurus (GH)
3) Menyatakan keinginan   sedikitnya dengan dua kata (BBK)
4) Melepasa pakaian sendiri (BM)
i. Pemeriksaan Fisik
1) Pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan
mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar.
2) Keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran menurun.
3) Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada anak
umur 1 tahun lebih.
4) Mata : cekung, kering, sangat cekung.
5) Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic
meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum
normal atau tidak haus, minum lahap dan kelihatan haus, minum sedikit
atau kelihatan bisa minum.
6) Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena asidosis
metabolic (kontraksi otot pernafasan).
7) Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi menurun
pada diare sedang.
8) Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu
meningkat > 375 0 c, akral hangat, akral dingin (waspada syok), capillary
refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal.
9) Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/ 24
jam), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
10) Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami stress
yang berupa perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap tindakan
invasive respon yang ditunjukan adalah protes, putus asa, dan kemudian
menerima.
j. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium :
a) feses kultur : Bakteri, virus, parasit, candida
b) Serum elektrolit : Hiponatremi, Hipernatremi, hipokalemi
c) AGD : asidosis metabolic ( Ph menurun, pO2 meningkat, pcO2
meningkat, HCO3 menurun )
d) Faal ginjal : UC meningkat (GGA)
2) Radiologi : mungkin ditemukan bronchopemoni
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diare atau
output berlebihan dan intake yang kurang
b. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan
cairan skunder terhadap diare.
c. Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi skunder
terhadap diare
d. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan frekuensi
diare.
e. Resiko tinggi gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan BB menurun
terus menerus.
f. Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive.
3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan
cairan skunder terhadap diare
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
keseimbangan dan elektrolit dipertahankan secara maksimal
Kriteria hasil :
1) Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50  c, RR : < 40
x/mnt )
2) Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong, UUB
tidak cekung.
3) Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari
Intervensi :
1) Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
R/ Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan
mukosa dan pemekataj urin. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian
cairan segera untuk memperbaiki defisit
2) Pantau intake dan output
R/ Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat
keluaran tak aadekuat untuk membersihkan sisa metabolisme.
3) Timbang berat badan setiap hari
R/ Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan
kehilangan cairan 1 liter.
4) Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
R/ Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral.
5) Kolaborasi :
a) Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)
R/ koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk
mengetahui faal ginjal (kompensasi).
b) Cairan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur
R/ Mengganti cairan dan elektrolit secara adekuat dan cepat.
c) Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)
R/ anti sekresi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit
agar simbang, antispasmolitik untuk proses absorbsi normal, antibiotik
sebagai anti bakteri berspektrum luas untuk menghambat endotoksin.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak
adekuatnya intake dan out put
Tujuan : setelah dilakukan  tindakan perawatan selama dirumah di RS
kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria :
1. Nafsu makan meningkat
2. BB meningkat atau normal sesuai umur
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi,
berlemak dan air terlalu panas atau dingin)
R/ Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang
mengiritasi lambung dan sluran usus.
2) Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau  yang tak sedap atau sampah,
sajikan makanan dalam keadaan hangat
R/ situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
3) Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan
R/ Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan
4) Monitor  intake dan out put dalam 24 jam
R/ Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
5) Kolaborasi dengan tim kesehtaan lain :
a) terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu
b) obat-obatan atau vitamin ( A)
R/ Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan
c. Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi dampak
sekunder dari diare
Tujuan :  Stelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x 24 jam tidak terjadi
peningkatan suhu tubuh
Kriteria hasil :
1. suhu tubuh dalam batas normal ( 36-37,5 C)
2. Tidak terdapat tanda infeksi (rubur, dolor, kalor, tumor, fungtio leasa)
Intervensi :
1) Monitor suhu tubuh setiap 2 jam
R/ Deteksi dini terjadinya perubahan abnormal fungsi tubuh ( adanya
infeksi)
2) Berikan kompres hangat
R/ merangsang pusat pengatur panas untuk menurunkan produksi panas
tubuh
3) Kolaborasi pemberian antipirektik
R/ Merangsang pusat pengatur panas di otak
d. Resiko gangguan integritas kulit perianal berhubungan dengan  peningkatan
frekwensi BAB (diare)
Tujuan : setelah dilakukan tindaka keperawtan selama di rumah sakit integritas
kulit tidak terganggu
Kriteria hasil :
1. Tidak terjadi iritasi : kemerahan, lecet, kebersihan terjaga
2. Keluarga mampu mendemontrasikan perawatan perianal dengan baik dan
benar
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga tempat tidur
R/ Kebersihan mencegah perkembangbiakan kuman
2) Demontrasikan serta libatkan keluarga dalam merawat perianal (bila basah
dan mengganti pakaian bawah serta alasnya)
R/ Mencegah terjadinya iritassi kulit yang tak diharapkan oleh karena
kelebaban dan keasaman feces
3) Atur posisi tidur atau duduk dengan selang waktu 2-3 jam
R/ Melancarkan vaskulerisasi, mengurangi penekanan yang lama sehingga
tak terjadi iskemi dan irirtasi
e. Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, klien mampu
beradaptasi
Kriteria hasil : Mau menerima  tindakan perawatan, klien tampak tenang dan
tidak rewel
Intervensi :
1) Libatkan keluarga dalam melakukan  tindakan perawatan
R/ Pendekatan awal pada anak melalui ibu atau keluarga
2) Hindari persepsi yang salah pada perawat dan RS
R/ mengurangi rasa takut anak terhadap perawat dan lingkungan RS
3) Berikan pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan pengobatan
R/ menambah rasa percaya diri anak akan keberanian dan kemampuannya
4) Lakukan kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal
maupun non verbal (sentuhan, belaian dll)
R/ Kasih saying serta pengenalan diri perawat akan menunbuhkan rasa
aman pada klien.
5) Berikan mainan sebagai rangsang sensori anak
DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/attachments/38727397/download_file?
ct=MTU4Nzg3MTYxNCwxNTg3ODcxNjE0LDk0MTQ0MjAw&s=swp-sticky-header
LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA

A. Definisi
Secara klinis pneumonia dapat menjadi penyakit primer atau menjadi
komplikasi dari penyakit lain. Terjadinya inflamasi parenkim paru merupakan
penyakit yang sering terjadi pada anak namun lebih sering terjadi pada bayi
dikarenakan sistem imun bayi masih rendah. (Wong et al, 2008)
Pneumonia adalah salah satu infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) yang
mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. (Setiati, et al, 2014)
Pneumonia merupakan suatu proses peradangan parenkim paru yang terjadi
pada pengisian rongga alveoli oleh eksudat dan terdapat konsolidasi. Umumnya
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda- benda asing pada saluran
pernapasan (Ardiansyah, 2012). Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2010 : 226)
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau parenchyma paru yang terjadi pada
anak Dari beberapa definisi diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa pneumonia
adalah penyakit infeksi saluran napas bawah akut yang mengalami peradangan alveoli
atau pada parenchyma paru yang sering terjadi pada bayi dan anak yang disebabkan
istem imun masih rendah.

B. Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, dan jamur. Menurut hasil
penelitian penyebab pneumonia adalah bakteri (70%), kemudian virus dan jamur yang
sangat jarang ditemukan sebagai penyebab pneumonia. (Kemenkes RI, 2010)
Menurut Nurarif & Kusuma (2016), penyebab pneumonia pada anak dapat
digolongkan menjadi:
1. Bacteria: Staphylococcus aureus, Hemophilus influinzae, Streptococcus
Pneumoniae, dan Klebsiella Pneumoniae.
2. Virus: Respiratory syncytial virus, dan Virus influenza.
3. Mycoplasma pneumonia
4. Jamur: Pneumocystis jiroveci (PCP)
5. Aspirasi: makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, dan benda
asing.
6. Pneumonia hipostatik.
7. Sindrom loeffler.
Ada beberapa faktor penyebab yang dapat meningkatkan terjadinya kasus
penumonia pada balita ialah:
1. Umur balita: pada kelompok umur bayi sampai anak balita yang menderita
pneumonia yang tertinggi terdapat pada kelompok umur bayi (<12 bulan)
dibandingkan umur anak balita (12-59 bln). (Adawiyah & Duarsa, 2012)
2. Faktor nutrisi: status gizi yang kurang dengan keadaan imunitas rendah akan
mudah terserang penyakit infeksi terutama pneumonia (Sediaoetama, 2008).
Balita yang tidak mengkonsumsi ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan
pemberian ASI kurang dari 24 bulan lebih beresiko terkena pneumonia,
dibandingkan Pemberian ASI selama 6 bulan pertama. Pemberian ASI selama 2
tahun juga akan menambah ketahanan anak dalam melawan gangguan penyakit
infeksi salah satunya adalah Pneumonia. (Choyron, 2015)
3. Faktor lingkungan: anak balita yang tinggal di rumah dengan menggunakan jenis
bahan bakar yang memiliki banyak asap lebih beresiko terkena pneumonia.
(Khasanah, Suhartono, & Dharminto,2016)

C. Patofisiologi
Pneumonia dapat timbul melalui aspirasi kuman atau menyebar langsung dari
saluran pernapasan atas. Akibat sekunder dari Viremia atau bacteremia hanya
sebagian kecil. Saluran pernapasan bawah dimulai dari sublaring hingga unit terminal
umumnya dalam keadaan steril. Melalui beberapa mekanisme, paru terlindungi dari
infeksi termasuk barrier anatomi dan barrier mekanik serta sistem pertahanan tubuh
local maupun sistemik. Barrier anatomi dan meknik diantaranya adalah filtrasi
partikel di hidung, pencegahan aspiraasi dengan refleks epiglottis, pengeluaran benda
asing melalui refleks batuk dan upaya menjaga kebersihan jalan napas oleh lapisan
mukosiliat.
Sistem pertahanan tubuh yang terlibat adalah sekresi lokal oleh
immunoglobulin A, respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin,
immunoglobulin, alveoli dan cell mediated immunity. Pneumonia terjadi apabila salah
satu sistem pertahanan diatas mengalami gangguan. Inokulasi pathogen menyebabkan
pada saluran pernapasan megalami reaksi inflamasi akut yang berbeda sesuai
pathogen penyebabnya.
Virus akan menyerang saluran pernapasan kecil dan alveoli, yang lebih
banyak mengenai lobus. Pada infeksi virus awalnya ditandai oleh lesi berupa
kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris kedalam lumen. Respon inflamasi
awal adalah infiltrasi sel-sel mononuclear kedalam submukosa dan perivascular.
Sebagian sel poly morponucleus (PMN) akan didapatkan dalam saluran napas kecil.
Bila proses inflamasi meluas maka sel debris, mucus serta sel-sel inflamasi yang
meningkat dalam saluran napas kecil akan menyebabkan obstruksi baik parsial
maupun total. Respon inflamasi di dalam alveoli sama seperti yang terjadi pada ruang
intertisial yang terdiri dari sel-sel mononuclear. Prosen infeksi yang berat akan
mengalami pengelupasan epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke
intertisial sangat jarang menimbulkan fibrosis.
Ketika bakteri mencapai alveoli, beberapa sistem pertahanan tubuh akan
diaktifkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dan dinding alveoli maka bakteri akan
ditangkap oleh lapisan cairan epitel yang mengandung opsonin dan akan terbentuk
antibodi immunoglobulin G spesifik. Selanjutnya terjadi fagositosis oleh makrofag
alveolar, sebagian kuman akan dilisis melalui perantara komplemen. Ketika
mekanisme ini gagal merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktivitas
fagositosi akan dibawa oleh sitokin sehingga muncul respons inflamasi.
Proses inflamasi mengkibatkan terjadinya kongesti vascular dan edema yang
luas. Area edema akan membesar dan membentuk area sentral yang terdiri dari
eritrosit, eksudat, purulent (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara
histopatologi dinamakan hepatisasi merah.
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis
aktif oleh leukosit PMN. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur seluler
paru. Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan
leukosit PMN meneruskan aktivitas fagositosisnya dan sel-sel monosit akan
membersihkan debris.
Kerusakan jaringan disebabkan oleh enzim dan toksin yang dihasilkan kuman
Streptococcus aureus. Perlekatan Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui
teichoid acid yang terdapat pada dinding sel dan paparan di submukosa akan
meningkatkan adhesi dari fibrinogen, fibronektinkolagen, dan protein yang lain.
Seseorang yang terkena pneumonia akan mengalami gangguan pada proses
ventilasi yang disebabkan karena penurunan volume paru. Untuk mengatasi gangguan
ventilasi, tubuh akan meningkatkan volume tidal dan frekuensi napas sehingga terlihat
takipnea dan dyspnea. Sehingga proses difusi gas akan terganggu dan menyebabkan
hipoksia bahkan gagal napas. (Dosen KMB Indonesia, 2015)

D. Komplikasi
Pneumonia adalah penyakit yang menyerang sistem pernapasan dan
menyebabkan gangguan pada kebutuhan oksigenasi. Kebanyakan kasus pneumonia
terdapat pada anak dan menyebabkan kematian terutama anak dibawah 5 tahun yang
disebabkan sistem imun belum terbentuk secara sempurna.
Menurut Hidayat (2009), ada beberapa masalah yang terjadi pada kebutuhan
oksigenasi dengan pneumonia diantaranya:
1. Hipoksemia
2. Hipoksia
3. Perubahan pola pernapasan
4. Obstruksi jalan napas, dapat menghambat pemenuhan suplai oksigen
ke otak dan sel-sel diseluruh tubuh, jika dibiarkan dalam waktu yang
lama keadaan ini akan menyebabkan hipoksemia lalu terus
berkembang menjadi hipoksia berat dan penurunan kesadaran.
1. Pertukaran gas

E. Penatalaksanaan Keperawatan Pada Pneumonia Dengan Gangguan Kebutuhan


Oksigenasi
1. Pemberian oksigen merupakan tindakan keperawatan dengan memberikan oksigen
ke dalam paru-paru melalui saluran pernapasan dengan menggunakan alat bantu
oksigen 1-2 liter/menit. Dalam pemberiannya terdapat tiga cara, yaitu melalui
kanula, nasal, dan masker dengan tujuan mencegah terjadinya hipoksia dan
memenuhi kebutuhan oksigen. (Hidayat, 2009)
2. Fisioterapi dada adalah sekumpulan tindakan yang dirancang untuk meningkatkan
efisiensi pernapasan, meningkatkan pengembangan paru, kekuatan dari otot
pernapasan, dan eliminasi sekret yang berasal dari sistem pernapasan. (Murwani,
2008)
Fisioterapi terdiri dari beberapa tindakan yaitu postural drainage, clapping,
dan vibrasi. Fisioterapi dada bertujuan untuk membantu klien agar bernapas lebih
bebas dan mendapatkan oksigen untuk keperluan metabolisme tubuh.
a. Postural drainage merupakan teknik pengaturan posisi tubuh dengan
memanfaatkan gaya gravitasi bumi dalam membersihkan jalan napas.
b. Perkusi adalah memberikan pukulan yang teratur pada dinding dengan
menggunakan tangan yang dikuncupkan selama 1-2 menit.
c. Vibrasi adalah pemberian getaran pada dinding dada dimana tujuannya sama
dengan perkusi yaitu meluruhkan sekret pada saluran pernapasan.
1. Penghisapan lendir (suction) merupakan tindakan keperawatan yang
dilakukan pada pasien yang tidak mampu mengeluarkan sekret atau lendir
secara mandiri seperti pada anak balita. Tujuannya adalah untuk
membebaskan jalan napas dan memenuhi kebutuhan oksigen.(Hidayat,
2009)
2. Inhalasi (nebulizer) adalah suatu alat yang dapat mengubah cairan menjadi
droplet aerosol sehingga dapat dihirup oleh pasien. Tujuan pemberian
inhalasi (nebulizer) yaitu untuk membantu pengenceran secret, membuat
rileksasi dari spasme bronkial, melancarkan jalan napas dan melembabkan
saluran pernapasan. (Purnamadyawati, 2000 dalam (Aisyarini, 2016)
3. Pemberian posisi semi fowler adalah posisi tidur pasien dengan kepala
dan dada lebih tinggi daripada posisi panggul dan kaki. Pada posisi semi
flower kepala dan dada dinaikkan dengan sudut 30°-45°. Posisi ini
digunakan untuk pasien yang mengalami masalah pernafasan dan pasien
dengan gangguan jantung. (Muttaqin, 2012)

F. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pneumonia Dalam Pemenuhan Kebutuhan


Oksigenasi
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan suatu tahap awal dari asuhan keperawatan yang
sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data, baik dari data
primer maupun data sekunder. Macam-macam data yang diperoleh berupa data
dasar, data fokus, data subjektif dan data objektif.
a. Pengkajian fokus (Suyono, 2009)
1. Identitas terdiri dari identitas pasien (nama, umur, agama, jeniskelamin,
status, pendidikaan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, nomor register, dan diagnosa medis), dan identitas
penanggung jawab (nama, umur, hubungan dengan pasien, pekerjaan,
dan alamat).
2. Riwayat penyakit sekarang
Hal yang perlu dikaji :
a) Keluhan yang dirasakan klien
b) Usaha yang dilakukan untuk mengatasi keluhan
3. Riwayat penyakit dahulu
Hal yang perlu dikaji yaitu :
a. Pernah menderita ISPA
b. Riwayat terjadi aspirasi
c. Sistem imun anak yang mengalami penurunan
d. Sebutkan sakit yang pernah dialami
4) Riwayat penyakit keluarga
a. Ada anggota keluarga yang sakit ISPA
b. Ada anggota keluarga yang sakit pneumonia
5) Demografi
a. Usia: Lebih sering pada bayi atau anak dibawah 3 tahun
b. Lingkungan: Pada lingkungan yang sering berkontaminasi dengan
polusi udara
6) Pola pengkajian Gordon (Sudoyo, 2009)
a) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Hal yang perlu dikaji yaitu kebersihan lingkungan, biasanya orang tua
menganggap anaknya benar-benar sakit jika anak sudah mengalami
sesak nafas.
b) Pola nutrisi dan metabolic
Biasanya muncul anoreksia (akibat respon sistemik melalui kontrol
saraf pusat), mual dan muntah (peningkatan rangsangan gaster
sebagai dampak peningkatan toksik mikroorganisme).
c) Pola eliminasi
Penderita sering mengalami penurunan produksi urin akibat
perpindahan cairan melalui proses evaporasi karena demam.
d) Pola istirahat-tidur
Data yang sering muncul adalah anak sulit tidur karena sesak nafas,
sering menguap serta kadang menangis pada malam hari karena
ketidaknyamanan.
e) Pola akitivitas-latihan
Anak tampak menurun aktivitas dan latihannya sebagai dampak
kelelmahan fisik. Anak lebih suka digendong dan bedrest.
f) Pola kognitif-persepsi
Penurunan kognitif untuk mengingat apa yang pernah disampaikan
biasanya sesaat akibat penurunan asupan nutrisi dan oksigen pada
otak.
g) Pola persepsi diri-konsep diri
Tampak gambaran orang tua terhadap anak diam kurang bersahabat,
tidak suka bermain, ketakutan.
h) Pola peran-hubungan
Anak tampak malas kalau diajak bicara, anak lebih banyak diam dan
selalu bersama orang tuanya.
i) Pola seksual-reproduksi
Pada anak kecil masih sulit terkaji. Pada anak yang sudah pubertas
mungkin tergangguan menstruasi.
j) Pola toleransi stress-koping
Aktivitas yang sering tampak mengalami stress adalah anak
menangis, kalau sudah remaja saat sakit yang dominan adalah mudah
tersinggung.
k) Pola nilai keyakinan
Nilai keyakinan mungkin meningkat seiring dengan kebutuhan untuk
mendapat sumber kesembuhan dari Allah SWT.
7) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum: tampak lemah, sesak nafas
b) Kesadaran: tergantung tingkat keparahan penyakit bisa
somnolen
c) Tanda-tanda vital:
1. TD: hipertensi
2. Nadi: takikardi
3. RR: takipnea, dispnea, nafas dangkal
4. Suhu: hipertermi
d) Kepala: tidak ada kelainan
e) Mata: konjungtiva bisa anemis
f) Hidung: jika sesak akan terdengar napas cuping hidung
g) Paru:
1. Inspeksi: pengembangan paru berat, tidak simetris jika
hanya satu sisi paru, ada penggunaan otot bantu nafas.
2. Palpasi: adanya nyeri tekan, paningkatan vocal fremitus
pada daerah yang terkena
3. Perkusi: pekak terjadi bila terisi cairan, normalnya
timpani
4. Auskultasi: bisa terdengar ronki
h) Jantung: jika tidak ada kelainan jantung, pemeriksaan jantung
tidak ada kelemahan
i) Ekstremitas: sianosis, turgor berkurang jika dehidrasi.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan terdiri dari klasifikasi data dan analisa data. Pada
penyakit pneumonia, diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam masalah
pemenuhan kebutuhan oksigenasi ialah:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas: mucus berlebih
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-
kapiler (Herdman & Kamitsuru, 2015)

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yaitu suatu rencana tindakan keperawatan yang
dibuat untuk menangani serta mencegan terjadinya komplikasi.
Berikut intervensi yang diberikan berdasarkan Nursing Outcomes
Clasification (Moorhead et al, 2016) dan Nursing Interventions Clasification
(Bulechek et al, 2016):
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan.
napas: mucus berlebih
NOC: Status Pernapasan: Kepatenan Jalan Napas
Tujuan: setelah dilakukan pemberian asuhan keperawatan diharapkan
bersihan jalan napas efektif
Kriteria Hasil:
1) Dyspnea tidak ada
2) Suara napas tambahan berkurang atau tidak ada
3) Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan
4) Secret berkurang atau tidak ada
5) Batuk produktif berkurang atau tidak ada
NIC: Manajemen Jalan Napas
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital
Rasional: Pada anak balita dengan pneumonia mengalami hipertermi,
takikardi dan takipnea yang disebabkan terjadinya infeksi pada parenkim
paru.
2) Posisikan pasien dengan posisi semi fowler
Rasional: Posisi semi fowler dapat mengurangi sesak
3) Auskultasi area paru, catat area penurunan dan bunyi napas tambahan
Rasional: penurunan aliran udara dapat terjadi pada area paru yang
terdapat eksudat dan juga dapat menimbulkan bunyi napas tambahan yaitu
krekels
4) Lakukan fisioterapi dada (postural drainage, perkusi, dan vibrasi) apabila
tidak terdapat kontraindikasi
Rasional: fisioterapi dada dapat membantu untuk mengeluarkan secret
yang terdapat pada jalan napas.
5) Lakukan suction
Rasional: Suction dilakukan apabila SPO2 100% tanpa pemasangan
Ventilator
6) Lakukan pemberian inhalasi (nebulizer)
Rasional: membantu mempermudah secret untuk keluar
7) Kelola oksigen yang dilembabkan sebagaimana mestinya
Rasional: memenuhi kebutuhan oksigen pasien
8) Instruksikan pada keluarga untuk tidak merokok di lingkungan sekitar
pasien
9) Kolaborasi pemberian obat

b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan


NOC: Status Pernapasan
Tujuan: Setelah dilakukan pemberia asuhan keperawatan diharapkan
pola napas kembali efektif.
Kriteria Hasil:
1) Frekuensi pernapasan normal 30-60 kali/menit
2) Pernapasan cuping hidung tidak ada
3) Suara napas tambahan berkurang atau tidak ada
4) Dyspnea tidak ada
5) Pengembangan paru normal
6) Penggunaan otot bantu pernapasan tidak ada
NIC: Terapi Oksigen
Intervensi
1) Atur posisi semi fowler
Rasional: Posisi semi fowler dapat mengurangi sesak
2) Kaji pernapasan, irama, kedalaman atau gunakan oksimetri nadi untuk
memantau saturasi oksigen
Rasional: Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris
sering terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada.
3) Pertahankan kepatenan jalan napas
Rasional: Mempertahankan jalan napas paten
4) Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional: Pemberian oksigen dapat mengatasi rasa sesak.
NIC: Manajemen Jalan Napas
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital
Rasional: Pada anak balita dengan pneumonia mengalami hipertermi,
takikardi dan takipnea yang disebabkan terjadinya infeksi pada parenkim
paru.
2) Posisikan pasien dengan posisi semi fowler
Rasional: Posisi semi fowler dapat mengurangi sesak
3) Auskultasi area paru, catat area penurunan dan bunyi napas tambahan
Rasional: penurunan aliran udara dapat terjadi pada area paru yang
terdapat eksudat dan juga dapat menimbulkan bunyi napas tambahan yaitu
krekels
4) Lakukan fisioterapi dada (postural drainage, perkusi, dan vibrasi) apabila
tidak terdapat kontraindikasi
Rasional: fisioterapi dada dapat membantu untuk mengeluarkan secret
yang terdapat pada jalan napas.
5) Lakukan suction
Rasional: Suction dilakukan apabila SPO2 100% tanpa pemasangan
ventilator
6) Lakukan pemberian inhalasi (nebulizer)
Rasional: membantu mempermudah secret untuk keluar
7) Kelola oksigen yang dilembabkan sebagaimana mestinya
Rasional: memenuhi kebutuhan oksigen pasien
8) Instruksikan pada keluarga untuk tidak merokok di lingkungan sekitar
pasien
9) Kolaborasi pemberian obat
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-
kapiler
NOC: Status Pernapasan: Pertukaran Gas
Tujuan: setelah dilakukan pemberian asuhan keperawatan diharapkan pertukaran
gas maksimal.
Kriteria hasil:
1) Dispnea tidak ada
2) Frekuensi pernapasan normal
3) Saturasi oksigen normal
4) PaO2 normal pada GDA
5) PaCO2 normal
6) Sianosis tidak ada
7) Frekuensi nadi normal 100-160 kali/menit
NIC: Terapi Oksigen
1. Atur posisi semi fowler
Rasional: Posisi semi fowler dapat mengurangi sesak
2. Kaji pernapasan, irama, kedalaman atau gunakan oksimetri nadi untuk
memantau saturasi oksigen
Rasional: Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris
sering terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada.
3. Pertahankan kepatenan jalan napas
Rasional: Mempertahankan jalan napas paten
4. Kolaborasi dalam pemeriksaan Analisa Gas Daraah
5. Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional: Pemberian oksigen dapat mengatasi rasa sesak.
DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, R & Duarsa, ABS. 2012. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Pneumonia Pada Balita Di Puskesmas Susunan Kota Bandar Lampung Tahun 2012. Jurnal
Kedokteran Yarsi 24 (1): 051-068 (2016). Diperoleh tanggal 26 April 2018
Aisyarini, D. 2016. Pemberian Nebulizer dan Batuk Efektif Terhadap Status Pernapasan.
Naskah Publikasi. Stikes Kusuma Husada Surakarta. Diperoleh tanggal 24 Juni 2018,
https://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/39/01-gdldesiaisyar-1929-1-kti_desi-i.pdf
Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Diva Press.
Budiono & Pertami, Sumirah Budi. 2015. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Bumi
Medika.
Bulechek, Gloria M et al. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi 6.
Singapore: Elsevier, Alih Bahasa Intisari Nurjannah & Roxsana Devi Tumanggor.
Choyron, VAG. 2015. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Kejadian Pneumonia
Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pedan Klaten. Naskah Publikasi. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diperoleh tanggal 27 Juni 2018, https://
eprints.ums.ac.id/37861/8/BAB%20I.pdf
Dosen KMB Indonesia. 2015. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah: Diagnosis
NANDA-I 2015-2017, Intervensi NIC, Hasil NOC. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather & Kamitsuru, Shigemi. 2015. Nanda Internasional: Diagnosis
Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 – 2017 Edisi 10. Jakarta: EGC
Hidayat, A. Alimul Aziz. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
IDAI. 2016. Memperingati Hari Pneumonia Dunia. Diperoleh tanggal 13 Maret 2018,
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatananak/memperingati-hari-pneumonia-
dunia.html
file:///D:/Asuhan%20Keperawatan%20Pada%20By.%20R%20Dengan%20Pneumonia
%20Dalam%20Pemenuh%20bru.pdf

Anda mungkin juga menyukai