DBD
A. Definisi
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit virus yang tersebar luas
di seluruh dunia terutama di daerah tropis. Penderitanya terutama adalah anak-anak
berusia dibawah 15 tahun, tetapi sekarang banyak juga orang dewasa terserang penyakit
ini. Sumber penularan utama adalah manusia dan primata sedangkan penularnya adalah
nyamuk Aedes.
Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit penyakit menular yang disebabkan
oleh oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty, yang ditandai
dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa sebab yang jelas, nyeri otot, lemah/lesu,
gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda pendarahan dikulit berupa bintik pendarahan
(petechiae, lebam (enchymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak
berdarah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (schok) (Kemenkes RI, 2011).
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan infeksi penyakit akut yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan melalui vector nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus. DBD dapat menyerang orang dewasa maupun anak-anak dibawah 15 tahun
(Widyanto, 2013).
Dari beberapa pengertian penyakit DBD di atas didapat kesimpulan DBD adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan dari orang ke orang melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypty yang ditandai dengan nyeri otot, demam tinggi mendadak
tanpa sebab yang jelas dan dapat berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan
kejadian kesadaran menurun.
B. Etiologi
Penyebab terjadinya DBD adalah virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus
grup family Togaviridae. Virus ini mempunyai ukuran diameter sebesar 30 nm dan
terdiri dari 4 serotip yaitu dengue (DEN) 1, (DEN) 2, (DEN) 3, dan (DEN) 4. DBD
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Pada suhu 30o
C nyamuk memerlukan waktu lama 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi
ekstrinsik dari lambung sampai kelenjar ludah nyamuk. Sebelum demam muncul pada
penderita yang telah terinfeksi, virus sudah terlebih dahulu berada dalam darah selama 1-
2 hari. Selanjutnya selama 4-7 hari penderita berada dalam kondisi viremia. Nyamuk
Aedes aegypti memiliki kebiasaan hinggap pada pakaian yang bergantungan di kamar
dan mengigit atau menghisap darah pada siang hari dengan waktu puncak gigitan pukul
09.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00. nyamuk jantan tidak dapat mengigit dan meghisap
darah, melainkan hidup dari sari bunga tumbuh-tumbuhan (Mharsell, 2009).
C. Patofisiologi
Infeksi virus dengue, akan mengeluarkan toksin, reaksi imunologis, trombositoposis
destruksi trombosit dalam darah naik. Saat virus mengeluarkan toksin dapat melepaskan
pirogen ke dalam darah yang menstimulasi pusat termoregulasi (Hipothalamus) dan
mengirim impuls ke pusat vasomotor sehingga menyebabkan peningkatan suhu tubuh.
Dari peningkatan suhu tubuh tersebut terjadi kesalahan interpretasi dan mukosa
mulut/lidah kotor dan tidak nyaman. Kesalahan interpretasi tersebut dikarenakan kurang
pengetahuan dan membutuhkan hospitalisasi sehingga menyebabkan ansietas
(kecemasan), sedangkan dari mukosa yang kotor menyebabkan mual muntah atau
anoreksia sehingga intake nutrisi tidak adekuat yeng kemudian bisa terjadi penurunan
daya tahan tubuh dan beresiko terjadi infeksi, sementara perubahan nutrisi bisa terjadi
dan kondisi tubuh dapat melemah selanjutnya akan terjadi intoleransi aktivitas.
Reaksi imunologis menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat dan dapat terjadi
ekstraksi cairan yang menimbulkan kebocoran plasma yaitu hemokonsentrasi,
hipoproteinuria, efusi pleura, serta acites. Kemudian hipovolemia yang terjadi dapat
menyebabkan hipotensi dan vasodilatasi arteri sehingga kulit menjadi panas dan terjadi
peningkatan penguapan cairan tubuh yang berujung pada deficit volume cairan tubuh.
Sedangkan dari kerusakan trombosit, agregasi trombosit akan meningkat sehingga
terjadi trombositopenia yang menyebabkan menurunnya faktor koagulasi akan
memanifestasikan perdarahan ringan – berat yang beresiko terhadap perdarahan lebih
lanjut sehingga vaskositas darah menurun dan dapat terjadi perdarahan dan suplai O2
dalam zat makanan ke dalam tubuh menurun yang menyebabkan penumpukan asam
laktat dalam otak dan sendi yang berujung pada nyeri yang akut.
D. Komplikasi
Komplikasi dari demam berdarah dengue menurut Indartoas (2009 : 7) yaitu :
1. Perdarahan luas : Karena peningkatan suhu yang tinggi, pecahan-pecahan
pembuluh darah terjadi pada sebagian besar tubuh.
2. Syok (rejatan) : Rejatan dapat terjadi pada pasien DSS (Dengue Shock
Syndrome).
3. Pleural Effusion : Efusi pleura terjadi disebabkan oleh permeabilitas vaskuler
yang meningkat sehingga menyebabkan ekstrasi cairan intravaskuler ke
ekstravaskuler.
4. Penurunan kesadaran : Terjadi karena hipovolemia yang hebat sehingga sel darah
berkurang dan tidak mampu membawa oksigen secara adekuat ke dalam otak.
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan demam berdarah dengue menurut Suriadi, (2006 :
60) adalah sebagai berikut :
Penatalaksanaan medik
1. Pemberian Antipiretik jika terdapat demam
2. Berikan antikoavulsan jika kejang
3. Pemberian terapi IVFD, jika pasien mengalami kesulitan minum dan hematokrit
cenderung meningkat
Penatalaksanaan keperawatan
1. Minum banyak 1,5 sampai 2 L/hari dengan air teh, gula, atau susu,Hal ini karena
pasien dengan DBD beresiko tinggi mengalami kekurangan volume cairan
berlebih. Mencegah terjadinya kekurangan volume cairan.
2. Meningkatkan perfusi jaringan adekuat,Mengkaji dan mencatat tanda-tanda vital
(kualitas dan frekuensi denyut nadi, tekanan darah, CRT)
3. Memberikan nutrisi secara adekuat.Berikan makanan yang disertai suplemen
nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
4. Mensupport koping keluarga yang adaptif.Ijinkan orangtua dan keluarga untuk
memberikan respons secara panjang lebar, dan identifikasi faktor yang paling
mencemaskan keluarga.
5. Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.Ukur tanda-tanda vital : suhu
dan ajarkan keluarga dalam mengukur suhu tubuh. Suhu tubuh normal 360C
sampai 370C
F. Pathway
B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia b.d proses inflamasi
2. Perubahan perfusi jaringan perifer b.d perdarahan
3. Kekurangan volume cairan b.d intake yang tidak adekuat dan diaphoresis
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah, anoreksia
5. Resiko terjadi perdarahan berulang b.d tromobositopenia
6. Resiko Syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan,
pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
C. Intervensi
Hipertermia b.d proses inflamasi
Intervensi
1. Pantau TTV klien
2. Observasi suhu
3. Kaji saat timbul demam
4. Anjurkan keluarga untuk kompres hangat klien
5. Berikan antipiretik
6. Ajarkan pada orang tua cara mengukur suhu tubuh anak
Rasional
1. Membantu mengetahui keadaan klien
2. Mengetahui tingkat suhu tubuh klien
3. Membantu untuk menentukan intervensi selanjutnya
4. Kompres berguna untuk mengeluarkan panas dalam tubuh
5. Terapi yang adekuat dapat menurunkan demam
6. Agar orang tua dapat memonitor suhu anak secara mandiri
Intervensi
1. Mengkaji dan mencatat tanda-tanda vital (kualitas, frekuensi denyut nadi,
tekanan darah, dan CRT)
2. Mengkaji dan mencatat sirkulasi pada ekstremitas (suhu, kelembaban, dan
warna)
3. Menilai kemungkinan terjadinya kematian jaringan pada ekstremitas sepert
dingin, nyeri, pembengkakan kaki
4. Pantau frekuensi irama jantung, perhatikan distritmia
5. Perhatikan kualitas atau kekuatan dari denyut perifer
6. Kaji kulit terhadap perubahan warna, suhu, kelembaban
7. Kolaborasi :Berikan cairan parental (rujuk pada DK : kekurangan volume
cairan)
Rasional
1. Tanda-tanda vital seperti tekanan darah rendah, nadi lemah, frekuensi cepat,
dan CRT >3 detik dapat menunjukkan terjadinya perdarahan
2. Suhu rendah, kulit kering, dan warna sianosis menunjukkan terjadinya
perubahan perfusi jaringan perifer yang tidak adekuat
3. Kematian jaringan dapat diketahui dengan pemeriksaan pada jaringan seperti
suhu, ada nyeri atau tidak, serta adakah pembengkakan pada kaki atau
ekstremitas lain
4. Bila terjadi takikardia mengacu pada stimulasi sistem sekunder, sistem saraf
simpatis untuk menekankan respons dan untuk menggantikan kerusakan pada
hipovolemia dan hipertensi
5. Nadi dapat menjdai lemah atau lambat karena hipotensi terus menerus,
penurunan curah jantung
6. Mekanisme kompensasi dari pasodilatasi menyebabkan kulit hangat, merah
muda kering
7. Untuk mempertahankan perfusi jaringan sejumlah besar cairan mungkin
dibutuhkan untuk mendukung volume sirkulasi
Resiko kekurangan volume cairan b.d intake yang tidak adekuat dan diaphoresis
Tujuan : Keseimbangan cairan dapat dipertahankan yang ditandai dengan : Turgor
kulit elastis dan membran mukosa lembab
Intervensi
1. Observasi kesadaran, suhu, nadi, TD, penatalaksanaan
2. Kaji tanda dan gejala yang kurang volume cairan (selaput mukosa kering,
haus, produksi urine menurun)
3. Monitor dan catat cairan masuk dan keluar
4. Jelaskan pada klien/ keluarga upaya untuk menambah volume cairan
5. Beri minum yang cukup dan jelaskan dengan cairan infuse
6. Kolaborasi : pemberian cairan perantal (RL/asering)
Rasional
1. Mengetahui keadaan umum klien
2. Mengetahui seberapa banyak volume cairan yang dibutuhkan
3. Agar dapat mengetahui seberapa jauh dari cairan yang kurang atau keluar
4. Untuk mempertahankan kesimbangan cairan
5. Agar cairan dapat terpenuhi
6. Untuk mempertahankan cairan yang ada didalam tubuh
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah, anoreksia
Tujuan : Anak menunjukkan tanda-tanda kebutuhan nutrisi yang adekuat
Intervensi
1. Timbang BB sesuai kebutuhan
2. Identifikasi makanan yang disukai pasien
3. Pertahankan kebersihan mulut klien
4. Anjurkan keluarga untuk makan bersama
5. Anurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan tekhnik kecil
tapi sering
6. Kolaborasi :Pemberian suplemen vitamin, antiemetic nutrisi parental
Rasional
1. Indikator kebutuhan nutrisi atau pemasukan yanga adekuat
2. Untuk mengidentifikasi makanan yang disukai klien
3. Kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan
4. Untuk meningkatkan nafsu makan klien keluarga itu sangat diperlukan
5. Dengan makan sedikit tapi sering dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
6. Membantu dalam pemenuhan nutrisi pada klien dan mempertahankannya
Intervensi
1. Observasi suhu, tekanan darah, nadi, pernapasan, dan kesadaran
2. Monitor jumlah cairan yang masuk dan keluar
3. Perhatikan keluhan pusing, lemah dan nyeri perut
4. Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis
5. Monitor trombosit setiap hari
6. Anjurkan klien untuk banyak istirahat
7. Berikan penjelasan pada klien dan keluarga untuk melaporkan jika ada tanda
perdarahan seperti : hematemesis, melena, dan epistaksis
8. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara
kebersihan mulut, berikan tekanan 5 sampai 10 menit setiap selesai ambil
darah
9. Berikan infus RL/asering
10. Berikan obat sesuai indikasi
Rasional
1. Mengetahui seberapa jauh perdarahan yang muncul
2. Menanggulangi resiko perdarahan terulang kembali
3. Mengetahui seberapa jauh syok yang diderita klien
4. Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran pembuluh darah
yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti :
petiki, epistaksis
5. Dengan trombosit yang dipantau setiap hari dapat diketahui tingkat
kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan perdarahan yang dialami pasien
6. Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan
7. Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk penanganan dini bila
terjadi perdarahan
8. Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut
9. Menanggulangi terjadinya syok kembali
10. Pemberian obat seperti antibiotik dapat mengurangi terjadinya perdarahan
berulang
Intervensi
1. Monitor keadaan umum pasien
2. Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera laporkan jika
terjadi perdarahan
4. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena
5. Kolaborasi : pemeriksaan : HB, PCV, trombosit
Rasional
1. Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan terutama saat terdi
perdarahan. Perawat segera mengetahui tanda-tanda presyok /syok.
2. Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk memastikan tidak terjadi
presyok / syok.
3. Dengan melibatkan psien dan keluarga maka tanda-tanda perdarahan dapat
segera diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat dapat segera diberikan
4. Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh secara
hebat.
5. Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien
dan untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Aziz Alimul.(2008). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Rasyid. (2012). Demam Berdarah. diakses pada tanggal 3 Juli 2013 dalam web
ttp://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/01/20/demam-berdarah-haruskah-kita-
kembali-menjadi-nomor-satu-di-asean/
Suriadi. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto
B. Etiologi
Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut
patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh :
a. Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela,
E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus
aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia
makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam),
gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan
sebagainya.
b. Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang
mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur
terutama canalida.
C. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan
osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi
pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini
akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya
diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan
mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga
timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri
timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke
dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme
tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut
terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari
pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.
2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis)
Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja.
Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam
tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan.
Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat
dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion
Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih
sering pada anak yang sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena
adanya gangguan penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya
gangguan absorbsi glukosa.Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar
glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi dan 50% pada anak-anak.
4. Gangguan gizi
Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini
disebabkan oleh:
a. Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau
muntah yang bertambah hebat.
b. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan
susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
c. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi
dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
5. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik,
akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah
berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila
tidak segera diatasi klien akan meninggal.
D. Komplikasi
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik.
c. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi,
perubahan pada elektro kardiagram).
d. Hipoglikemia.
e. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena
kerusakan vili mukosa, usus halus.
f. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga
mengalami kelaparan.
Dari komplikasi Gastroentritis,tingkat dehidrasi dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Dehidrasi ringan
Kehilangan cairan 2 – 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik
turgor kulit kurang elastis, suara serak, penderita belum jatuh pada keadaan
syok.
b. Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5 – 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik
turgor kulit jelek, suara serak, penderita jatuh pre syok, nadi cepat dan dalam.
c. Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan 8 - 10 % dari bedrat badan dengan gambaran klinik
seperti tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun,
apatis sampai koma, otot-otot kaku sampai sianosis.
E. Penatalaksaan Penyakit
1. Rehidrasi
a) Jenis cairan
1). Cara rehidrasi oral
a) Formula lengkap (NaCl, NaHCO3, KCl dan Glukosa) seperti orali,
pedyalit setiap kali diare.
b) Formula sederhana ( NaCl dan sukrosa)
2). Cara parenteral
a) Cairan I : RL dan NS
b) Cairan II : D5 ¼ salin,nabic. KCL
1) D5 : RL = 4 : 1 + KCL
2) D5 + 6 cc NaCl 15 % + Nabic (7 mEq/lt) + KCL
c) HSD (half strengh darrow) D ½ 2,5 NS cairan khusus pada diare usia
> 3 bulan.
b) Jalan pemberian
1) Oral (dehidrasi sedang, anak mau minum, kesadaran baik)
2) Intra gastric (bila anak tak mau minum,makan, kesadaran menurun)
c) Jumlah Cairan ; tergantung pada :
1) Defisit ( derajat dehidrasi)
2) Kehilangan sesaat (concurrent less)
3) Rumatan (maintenance).
d) Jadwal / kecepatan cairan
1) Pada anak usia 1- 5 tahun dengan pemberian 3 gelas bila berat badanya
kurang lebih 13 kg : maka pemberianya adalah :
a. BB (kg) x 50 cc
b. BB (kg) x 10 – 20 = 130 – 260 cc setiap diare = 1 gls.
2) Terapi standar pada anak dengan diare sedang :
+ 50 cc/kg/3 jam atau 5 tetes/kg/mnt
2. Terapi
a. obat anti sekresi : Asetosal, 25 mg/hari dengan dosis minimal 30 mg,
klorpromazine 0,5 – 1 mg / kg BB/hari
b. obat anti spasmotik : Papaverin, opium, loperamide
c. antibiotik : bila penyebab jelas, ada penyakit penyerta
3. Dietetik
a. Umur > 1 tahun dengan BB>7 kg, makanan padat / makanan cair atau susu
b. Dalam keadaan malbasorbsi berat serta alergi protein susu sapi dapat diberi
elemen atau semi elemental formula.
4. Supportif
Vitamin A 200.000. IU/IM, usia 1 – 5 tahun
A. Definisi
Secara klinis pneumonia dapat menjadi penyakit primer atau menjadi
komplikasi dari penyakit lain. Terjadinya inflamasi parenkim paru merupakan
penyakit yang sering terjadi pada anak namun lebih sering terjadi pada bayi
dikarenakan sistem imun bayi masih rendah. (Wong et al, 2008)
Pneumonia adalah salah satu infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) yang
mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. (Setiati, et al, 2014)
Pneumonia merupakan suatu proses peradangan parenkim paru yang terjadi
pada pengisian rongga alveoli oleh eksudat dan terdapat konsolidasi. Umumnya
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda- benda asing pada saluran
pernapasan (Ardiansyah, 2012). Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2010 : 226)
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau parenchyma paru yang terjadi pada
anak Dari beberapa definisi diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa pneumonia
adalah penyakit infeksi saluran napas bawah akut yang mengalami peradangan alveoli
atau pada parenchyma paru yang sering terjadi pada bayi dan anak yang disebabkan
istem imun masih rendah.
B. Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, dan jamur. Menurut hasil
penelitian penyebab pneumonia adalah bakteri (70%), kemudian virus dan jamur yang
sangat jarang ditemukan sebagai penyebab pneumonia. (Kemenkes RI, 2010)
Menurut Nurarif & Kusuma (2016), penyebab pneumonia pada anak dapat
digolongkan menjadi:
1. Bacteria: Staphylococcus aureus, Hemophilus influinzae, Streptococcus
Pneumoniae, dan Klebsiella Pneumoniae.
2. Virus: Respiratory syncytial virus, dan Virus influenza.
3. Mycoplasma pneumonia
4. Jamur: Pneumocystis jiroveci (PCP)
5. Aspirasi: makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, dan benda
asing.
6. Pneumonia hipostatik.
7. Sindrom loeffler.
Ada beberapa faktor penyebab yang dapat meningkatkan terjadinya kasus
penumonia pada balita ialah:
1. Umur balita: pada kelompok umur bayi sampai anak balita yang menderita
pneumonia yang tertinggi terdapat pada kelompok umur bayi (<12 bulan)
dibandingkan umur anak balita (12-59 bln). (Adawiyah & Duarsa, 2012)
2. Faktor nutrisi: status gizi yang kurang dengan keadaan imunitas rendah akan
mudah terserang penyakit infeksi terutama pneumonia (Sediaoetama, 2008).
Balita yang tidak mengkonsumsi ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan
pemberian ASI kurang dari 24 bulan lebih beresiko terkena pneumonia,
dibandingkan Pemberian ASI selama 6 bulan pertama. Pemberian ASI selama 2
tahun juga akan menambah ketahanan anak dalam melawan gangguan penyakit
infeksi salah satunya adalah Pneumonia. (Choyron, 2015)
3. Faktor lingkungan: anak balita yang tinggal di rumah dengan menggunakan jenis
bahan bakar yang memiliki banyak asap lebih beresiko terkena pneumonia.
(Khasanah, Suhartono, & Dharminto,2016)
C. Patofisiologi
Pneumonia dapat timbul melalui aspirasi kuman atau menyebar langsung dari
saluran pernapasan atas. Akibat sekunder dari Viremia atau bacteremia hanya
sebagian kecil. Saluran pernapasan bawah dimulai dari sublaring hingga unit terminal
umumnya dalam keadaan steril. Melalui beberapa mekanisme, paru terlindungi dari
infeksi termasuk barrier anatomi dan barrier mekanik serta sistem pertahanan tubuh
local maupun sistemik. Barrier anatomi dan meknik diantaranya adalah filtrasi
partikel di hidung, pencegahan aspiraasi dengan refleks epiglottis, pengeluaran benda
asing melalui refleks batuk dan upaya menjaga kebersihan jalan napas oleh lapisan
mukosiliat.
Sistem pertahanan tubuh yang terlibat adalah sekresi lokal oleh
immunoglobulin A, respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin,
immunoglobulin, alveoli dan cell mediated immunity. Pneumonia terjadi apabila salah
satu sistem pertahanan diatas mengalami gangguan. Inokulasi pathogen menyebabkan
pada saluran pernapasan megalami reaksi inflamasi akut yang berbeda sesuai
pathogen penyebabnya.
Virus akan menyerang saluran pernapasan kecil dan alveoli, yang lebih
banyak mengenai lobus. Pada infeksi virus awalnya ditandai oleh lesi berupa
kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris kedalam lumen. Respon inflamasi
awal adalah infiltrasi sel-sel mononuclear kedalam submukosa dan perivascular.
Sebagian sel poly morponucleus (PMN) akan didapatkan dalam saluran napas kecil.
Bila proses inflamasi meluas maka sel debris, mucus serta sel-sel inflamasi yang
meningkat dalam saluran napas kecil akan menyebabkan obstruksi baik parsial
maupun total. Respon inflamasi di dalam alveoli sama seperti yang terjadi pada ruang
intertisial yang terdiri dari sel-sel mononuclear. Prosen infeksi yang berat akan
mengalami pengelupasan epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke
intertisial sangat jarang menimbulkan fibrosis.
Ketika bakteri mencapai alveoli, beberapa sistem pertahanan tubuh akan
diaktifkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dan dinding alveoli maka bakteri akan
ditangkap oleh lapisan cairan epitel yang mengandung opsonin dan akan terbentuk
antibodi immunoglobulin G spesifik. Selanjutnya terjadi fagositosis oleh makrofag
alveolar, sebagian kuman akan dilisis melalui perantara komplemen. Ketika
mekanisme ini gagal merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktivitas
fagositosi akan dibawa oleh sitokin sehingga muncul respons inflamasi.
Proses inflamasi mengkibatkan terjadinya kongesti vascular dan edema yang
luas. Area edema akan membesar dan membentuk area sentral yang terdiri dari
eritrosit, eksudat, purulent (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara
histopatologi dinamakan hepatisasi merah.
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis
aktif oleh leukosit PMN. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur seluler
paru. Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan
leukosit PMN meneruskan aktivitas fagositosisnya dan sel-sel monosit akan
membersihkan debris.
Kerusakan jaringan disebabkan oleh enzim dan toksin yang dihasilkan kuman
Streptococcus aureus. Perlekatan Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui
teichoid acid yang terdapat pada dinding sel dan paparan di submukosa akan
meningkatkan adhesi dari fibrinogen, fibronektinkolagen, dan protein yang lain.
Seseorang yang terkena pneumonia akan mengalami gangguan pada proses
ventilasi yang disebabkan karena penurunan volume paru. Untuk mengatasi gangguan
ventilasi, tubuh akan meningkatkan volume tidal dan frekuensi napas sehingga terlihat
takipnea dan dyspnea. Sehingga proses difusi gas akan terganggu dan menyebabkan
hipoksia bahkan gagal napas. (Dosen KMB Indonesia, 2015)
D. Komplikasi
Pneumonia adalah penyakit yang menyerang sistem pernapasan dan
menyebabkan gangguan pada kebutuhan oksigenasi. Kebanyakan kasus pneumonia
terdapat pada anak dan menyebabkan kematian terutama anak dibawah 5 tahun yang
disebabkan sistem imun belum terbentuk secara sempurna.
Menurut Hidayat (2009), ada beberapa masalah yang terjadi pada kebutuhan
oksigenasi dengan pneumonia diantaranya:
1. Hipoksemia
2. Hipoksia
3. Perubahan pola pernapasan
4. Obstruksi jalan napas, dapat menghambat pemenuhan suplai oksigen
ke otak dan sel-sel diseluruh tubuh, jika dibiarkan dalam waktu yang
lama keadaan ini akan menyebabkan hipoksemia lalu terus
berkembang menjadi hipoksia berat dan penurunan kesadaran.
1. Pertukaran gas
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan terdiri dari klasifikasi data dan analisa data. Pada
penyakit pneumonia, diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam masalah
pemenuhan kebutuhan oksigenasi ialah:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas: mucus berlebih
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-
kapiler (Herdman & Kamitsuru, 2015)
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yaitu suatu rencana tindakan keperawatan yang
dibuat untuk menangani serta mencegan terjadinya komplikasi.
Berikut intervensi yang diberikan berdasarkan Nursing Outcomes
Clasification (Moorhead et al, 2016) dan Nursing Interventions Clasification
(Bulechek et al, 2016):
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan.
napas: mucus berlebih
NOC: Status Pernapasan: Kepatenan Jalan Napas
Tujuan: setelah dilakukan pemberian asuhan keperawatan diharapkan
bersihan jalan napas efektif
Kriteria Hasil:
1) Dyspnea tidak ada
2) Suara napas tambahan berkurang atau tidak ada
3) Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan
4) Secret berkurang atau tidak ada
5) Batuk produktif berkurang atau tidak ada
NIC: Manajemen Jalan Napas
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital
Rasional: Pada anak balita dengan pneumonia mengalami hipertermi,
takikardi dan takipnea yang disebabkan terjadinya infeksi pada parenkim
paru.
2) Posisikan pasien dengan posisi semi fowler
Rasional: Posisi semi fowler dapat mengurangi sesak
3) Auskultasi area paru, catat area penurunan dan bunyi napas tambahan
Rasional: penurunan aliran udara dapat terjadi pada area paru yang
terdapat eksudat dan juga dapat menimbulkan bunyi napas tambahan yaitu
krekels
4) Lakukan fisioterapi dada (postural drainage, perkusi, dan vibrasi) apabila
tidak terdapat kontraindikasi
Rasional: fisioterapi dada dapat membantu untuk mengeluarkan secret
yang terdapat pada jalan napas.
5) Lakukan suction
Rasional: Suction dilakukan apabila SPO2 100% tanpa pemasangan
Ventilator
6) Lakukan pemberian inhalasi (nebulizer)
Rasional: membantu mempermudah secret untuk keluar
7) Kelola oksigen yang dilembabkan sebagaimana mestinya
Rasional: memenuhi kebutuhan oksigen pasien
8) Instruksikan pada keluarga untuk tidak merokok di lingkungan sekitar
pasien
9) Kolaborasi pemberian obat
Adawiyah, R & Duarsa, ABS. 2012. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Pneumonia Pada Balita Di Puskesmas Susunan Kota Bandar Lampung Tahun 2012. Jurnal
Kedokteran Yarsi 24 (1): 051-068 (2016). Diperoleh tanggal 26 April 2018
Aisyarini, D. 2016. Pemberian Nebulizer dan Batuk Efektif Terhadap Status Pernapasan.
Naskah Publikasi. Stikes Kusuma Husada Surakarta. Diperoleh tanggal 24 Juni 2018,
https://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/39/01-gdldesiaisyar-1929-1-kti_desi-i.pdf
Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Diva Press.
Budiono & Pertami, Sumirah Budi. 2015. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Bumi
Medika.
Bulechek, Gloria M et al. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi 6.
Singapore: Elsevier, Alih Bahasa Intisari Nurjannah & Roxsana Devi Tumanggor.
Choyron, VAG. 2015. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Kejadian Pneumonia
Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pedan Klaten. Naskah Publikasi. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diperoleh tanggal 27 Juni 2018, https://
eprints.ums.ac.id/37861/8/BAB%20I.pdf
Dosen KMB Indonesia. 2015. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah: Diagnosis
NANDA-I 2015-2017, Intervensi NIC, Hasil NOC. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather & Kamitsuru, Shigemi. 2015. Nanda Internasional: Diagnosis
Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 – 2017 Edisi 10. Jakarta: EGC
Hidayat, A. Alimul Aziz. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
IDAI. 2016. Memperingati Hari Pneumonia Dunia. Diperoleh tanggal 13 Maret 2018,
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatananak/memperingati-hari-pneumonia-
dunia.html
file:///D:/Asuhan%20Keperawatan%20Pada%20By.%20R%20Dengan%20Pneumonia
%20Dalam%20Pemenuh%20bru.pdf