Anda di halaman 1dari 49

PERANAN ARBITRASE DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA

PERTANAHAN DI KOTA MAKASSAR

PROPOSAL

Oleh

SYAHRIANTI

2016040038

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAWERIGADING
MAKASSAR
2020
PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : SYAHRIANTI

NIM : 2016040038

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan bahwa Proposal Skripsi yang berjudul: PERANAN

ARBITRASE DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI

KOTA MAKASSAR adalah BENAR merupakan hasil karya saya sendiri,

bukan merupakan pengambil alihan tulisan orang lain. Apabila dikemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan isi

skripsi ini hasil karya orang lain atau dikutip tanpa menyebut sumbernya,

maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Februari 2020

Yang Menyatakan

SYAHRIANTI

ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama Mahasiswa : SYAHRIANTI

Nomor Induk : 2016040003

Fakultas : Hukum

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Proposal Skripsi : Peranan Arbitrase dengan Penyelesaian

Sengketa Pertanahan di Kota Makassar

Telah diperiksa oleh pembimbing dan dinyatakan memenuhi syarat untuk

diajukan dihadapan Tim Penguji Seminar Proposal Skripsi Fakultas

Hukum Universitas Sawerigading Makassar.

Makassar, Februari 2020

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. A. Melantik Rompegading, SH.,MH. Henny Yonas, SH.,MH.


NIDN : 19056401

MENGETAHUI
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sawerigading Makassar

Dr. Hj. Asmah, SH.,MH


NIDN : 0918118001

DAFTAR ISI

iii
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan masalah 5
C. Tujuan penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Arbitrase 7
1. Pengertian Arbitrase 7
2. Jenis-jenis Arbitrase 8
3. Sumber Hukum 9
B. Sengketa Pertanahan 11
1. Pengertian Sengketa Pertanahan 11
C. Tipologi Sengketa Pertanahan 13
D. Faktor-faktor terjadinya Sengketa Pertanahan 16
1. Faktor Hukum 19
2. Faktor Non-hukum 20
E. Hak-hak atas Tanah sebagai Objek Sengketa

Pertanahan 21
1. Hak Milik 25
2. Hak Guna Usaha 28
3. Hak Guna Bangunan 30
4. Hak Pakai 32
5. Hak Sewa Bangunan 34
F. Bentuk- bentuk Penyelesaian 36
BAB III METODE PENELITIAN 39
A. Jenis Penelitian 39
B. Sumber Data 39
C. Metode Pengumpulan Data 40
D. Instrument Penelitian 40
E. Analisis Data 41
DAFTAR PUSTAKA 42

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembahasan dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian selalu

adakemungkinan timbulnya sengketa yang perlu diantisipasi

adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul

perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya 1. Untuk

menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu

melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Pengertian arbitrase

termuat dalam Pasal1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa :

“Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak

yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa

tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat

yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam

hal belum timbul sengketa”.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

disebutkan bahwa: “sengketa yang dapat diselesaikan melalui

arbitrase hanyalah di bidang perdagangan dan hak yang menurut

hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenunya

1
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006), hal 3.

1
oleh pihak yang bersengkata.Dengan demikian arbitrase tidak

dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hokum

keluarga, arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah-

masalah diluar lingkup hukum keluarga contohnya seperti dalam

hukum perjanjian. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan

yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai

dengan keinginan dan kebutuhan mereka.2

Arbitrase Institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola

oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang

mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai atur an arbitrase

yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbirtase

Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rule

of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di

Paris, The Arbitration Rule dari The International Center For

settlement of Invesment Dispute (ICSID) di Washington 3. Lebih lanjut,

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah, sebagai dasar hukum

pelaksanaan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di

Indonesia. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa putusan

2
Ibid, hal 4
3
Gatot Soemartono, Op Cit, hal 27

2
arbitrase tersebut bersifat Final dan Binding 4, di mana dengan

adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis, meniadakan hak para

pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan

Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak, serta tidak ikut

campur tangan terhadap penyelesaian sengketa yang didalamnya

terdapat perjanjian sengketa. Seperti yang tercantum dalam Pasal 3

Undang-UndangNo 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, Pengadilan Negeri tidak berwenang

untuk mengadili sengketa para pihak yang terkait dalam perjanjian

sengketa.

Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) di luar pengadilan hanya dapat

ditempuh bila para pihak menyepakati penyelesaiannya melalui

pranata pilihan penyelesaian penyelesaian sengketa (PPS).

Kemudian pilihan penyelesaian sengketa (PPS) dalam penyelesian

sengketa di luar pengadilan ini berkembang pada kasus-kasus

perkara lain seperti kasus-kasus perkara pidana tertentu dan sengketa

tenaga kerja ataupun pada sengketa lingkungan dan sengketa tanah,

sehingga pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak

hanya berlaku pada kasus-kasus perdata saja.

Oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa sekarang

maupun untuk masa yang akan datang. Masalah tanah adalah

masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar.Tanah

disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh


4
Final and Binding adalah putusan akhir dan mengikat

3
karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan

guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas

tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata

akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain 5.

Secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada

perorangan.Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti

menjual miliknya, yang benar dia hanya menjual jasa memelihara dan

menjaga tanah selama itu dikuasainya.Hal tersebut adalah benar

apabila dikaji lebih dalam bahwa tanah disamping mempunyai nilai

ekonomis, juga mempunyai nilai sosial yang berarti hak atas tanah

tidak mutlak.

Namun demikian Negara harus menjamin dan menghormati atas hak-

hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya yang dijamin

oleh undang-undang. Dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa

disebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA) diatur

tentang hakhak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga

negaranya berupa paling utama Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah,Hak

untuk Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk

dalam hak-hak tersebut di atas akan ditetapkan dengan undang-

undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.


5
Rusmadi Murad. 1991. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah . Bandung: Alumni

4
Berdasarkan pemahaman yang demikian itu lembaga penyelesaian

sengketa melalui mediasi perlu di populerkan, terutama bagi

penyelesaian sengketa pertanahan. Oleh karena hal ini selain

dimungkinkan pemanfaatannya, dari tugas pokok dan fungsi Badan

Pertanahan Nasional dapat mencakup penyelesaian sengketa dengan

cara demikian.Dari uraian di atas penulis tertarik melaksanakan

penelitian dan mengangkat sebagai proposal skripsi dengan judul

“PERANAN ARBITRASE DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA

PERTANAHAN DI KOTA MAKASSAR”

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu

rangkaian penelitian, perumusan masalah yang jelas akan

menghindari pengumpulan data yang tidak perlu, dapat menghemat,

biaya, waktu, tenaga, penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang

akan dicapai. Maka penulis merumuskan permasalahan dalam

penulisan sebagai berikut:

1. Apakah penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi Kantor

Pertanahan KotaMakassar sudah sesuai dengan peraturan

undang-undang yang ada?

2. Bagaimanakah kekuatan hukum penyelesaian sengketa tanah

terhadap hasil mediasi arbitrase?

C. Tujuan Penelitian

5
1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyeleseain sengketa tanah

melalu mediasi di kantor pertanahan di Kota Makassar.

2. Untuk Mengetahui Kekuataan Hukum penyelesaian sengketa

tanah terhadap hasil mediasi arbitrase.

D. Manafaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini :

a. Manfaat teoritik

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi

dalam pengembang Ilmu Hukum Perdata, yang terkait dengan

peranaan arbitrase dalam penyelesain sengketa Tanah.

b. Manfaat Praktik

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperluas wawasan bagi

penulis untuk memenuhi syarat akademik dan menyelesaikan studi

di Fakultas Hukum Universitas Sawerigading Makassar, serta

dapat di jadikan sarana pengembangan ilmu pengetahuan

mengenai peranaan arbitrase dalam penyelesain sengketa Tanah.

BAB II

6
TINJAUAN PUSTAKA

A. Arbitrase

1. Pengertian Arbitrase

Arbitrase adalah cara penyelesaian sesuatu sengketa perdata di

luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian.Arbitrase

yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.Perjanjian

arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak

sebelum timbul sengketa.Atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri

yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Pemahaman mengenai arbitrase menjadi suatu yang penting untuk

menyelesaikan sengketa pada kedua belah pihak untuk suatu

bentuk kerja sama. Untuk menyelesaikan suatu sengketa yang

timbul dapat ditempuh beberapa alternatif penyelesaian, yaitu

melalui negosiasi, mediasi, pengadilan, dan arbitrase. Arbitrase

merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang

dibuat secara tertulis menyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang

dibuat secarara tertulis oleh pihak yang bersengketa 6.

2. Jenis-jenis Arbitrase

6
Subekti, Aneka Perjanjian, cet-10, Pt Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 18.

7
Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada

kemungkinan timbulnya sengketa. Sengekta yang perlu diantisipasi

dalam mengenai cara melaksanakan klausul perjanjian, apa isi

perjanjian, ataupun disebabkan hal lainnya. Dalam banyak

perjanjian perdata, klausula arbitrase banyak digunakan sebagai

pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan

lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat

yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari perjanjian.

Tinjauan terhadap jenis lembaga arbitrase dilakukan melalui

pendekatan ketentuan perundang-undangan dan aturan yang

terdapat dalam Rv dan Undang-Undang No 30 Tahun 1999.

Arbitrase yang dimaksud adalah macam-macam arbitrase yang

diakui eksistensi dan kewenangannya untuk memeriksa dan

memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak mengadakan

perjanjian. Macam-macam arbitrase ialah7:

a. Arbitrase Ad-Hoc

Jenis Arbitrase Ad-Hoc disebut juga sebagai arbitrase

folunter.Ketentuan dalam reglement rechtvodering mengenal

adanya lembaga arbitrase ad-hoc arbitrase. Arbitrase Ad-Hoc

adalah Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan

7
Gatot Soemartono. Arbitrase dan mediasi di Indonesia. (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka
Utama; 2006) hal. 86

8
atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain

arbitrase ad-hoc bersifat insidentil.

Dalam Undang-Undang No 30 Tahun 1999, penegrtian arbitrase

Ad-Hoc di adakan dalam hal terdapat kesepakatan para pihak

denganmengajukan permohonan kepada ketua pengadilan

Negri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka

penyelesaian sengeketa para pihak8.

b. Arbitrase Institusional

Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase

yang bersifat permanen sehingga disebut “ Permanen Arbitral

Body”. Arbitrase Institusional sengaja didirikan untuk menangani

sengketa yang mungkin timbul bagi mereka yang menghendaki

penyelesaian diluar pengadilan.Arbitrase ini juga merupakan

wadah yang sengaja didirikan untuk menampung perselisihan

yang timbul dari perjanjian.

3. Sumber Hukum

Selain mengetahui cara penyelesaian tanah yang umunya diatur

dalam hukum acara (hukum formal), maka bagi para pihak yang

bersengkata, oleh pemerintah, oleh badan arbitrase, maupun oleh

badan-badan peradilan, perlu diperhatikan dan dipergunakan

dijadikan sumber pegangan dalam menyelesaikan sengketa-

sengketa pertanahan, asas-asas dan ketentuan hukum

8
Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian
sengketa.

9
materialnya, yaitu hukum tanah nasional yaitu Undang-Undang No.

5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria

(UUPA).

a. Sumber yang pertama dan utama adalah pancasila;

b. UUD NRI 1945 karena UUPA merupakan pelaksanaan

langsung khususnya pasal 33 ayat (3);

c. Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan hukum adat

mengenai tanah bahwa hukum tanah nasional adalah hukum

adat (Konsideran UUPA jo Pasal 5 UUPA) yang berarti hukum

adat mengenai tanah merupakn sumberutama pembagunan

hukum tanah nasional dan berfungsi pula sebagai pelengkap-

pelengkap hukum tanah nasional (Khususnya norma-

normanya);

Konsepsi hukum adat menjadi konsepsi hukum tanah nasional

yaitu konsepsi komunalistik religious yang memungkinkan

penguasaan tanah secara individual dengan hak penguasaan

yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur

kebersamaan yang dalam Pasal 6 UUPA dinyatakan sebagai

fungsi sosial9.

9
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1, Edisi Revisi, Penerbit Djambatan,
Jakarta 1999

10
B. Sengketa Pertanahan

1. Pengertian Sengketa Pertanahan

Sengketa tanah merupakan sengketa yang sudah lama ada, dari

era orde lama, orde baru, era revormasi, dan sehingga saat

ini.Sengketa tanah secara kualitas maupun kuantitas merupakan

masalah yang selalu ada dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Sengketa atau konflik pertanahan menjadi permasalahan yang

kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurung waktu

tahunan bahkan puluhan tahun yang selalu ada dimana-

mana.Sengketa dan konflik pertanahan merupakan bentuk

permasalahan yang sifatnya konflik dan multidimensi 10.

Berkaitan dengan sengketa pertanahan dapat dilihat dari dua

bentuk pengertian yaitu yang diberikan para ahli hukum dan yang

ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan.

Menurut Rusmadi Murad11, sengketa hak atas tanah yaitu timbunya

sengketa hukum adalah bermula dari pengaduan sesuatu pihak

(orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak

atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun

kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian

secara adminitrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang

berlaku.

10
Sumarto “Penanganan dan Penyelesaian konflik pertanahan dan prinsip win-win
solution” oleh badan pertanahan nasional RI.2012 hlm 2.
11
Rusmadi Murad “Penyelesaian sengketa hukum atas tanah” Bandung; Alumni, 1999.
Hal 22-23

11
Menurut peraturan Menteri Agraria atau kepala BPN Nomor 1 Tahun 1999

Tentang tata cara penanganan sengketa pertanahan, Pasal 1 butir 1 :

Sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai, keabsahan

suatu hak, memberikan hak atas tanah, dan mendaftarkan hak atas tanah

termaksud peralihannya serta menerbitkan bukti haknya, antara pihak

yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan

dengan instansi dilingkungan Badan Pertanahan Nasional 12.

Dalam member pengertian sengketa pertanahan ada dua istilah yang

saling berkaitan yaitu sengketa pertanahan dan konflik pertanahan.

Walaupun kedua istilah ini merupakan kasus pertanahan, namun dalam

peraturan kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan

Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, jelas membedakan

pengertian kedua istilah tersebut. Dalam Pasal 1 butir 2 diterangkan

bahwa13 : Sengketa pertanahan yang disingkat dengan sengketa adalah

perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau

lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.Sedangkan

konflik pertanahan yang disingkat konflik adalah perselisihan pertanahan

antara orang perorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum,

atau lembaga yang memiliki kecenderungan atau sudah berdampak luas

secara sosio-politis.

12
Lihat Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPTN Nomor 1 Tahun 1999
Tentang tata cara penanganan sengketa pertanahan.
13
Lihat Pasal 1 butir 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
pengkajian dan Penanganan kasus pertanahan

12
Selanjutnya dalam Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS/D.V/2007

Tentang Pemataan Masalah dan Akar Masalh Pertanahan, disebutkan

bahwa : Sengketa adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan

atau persepsi antara orang perorangan dan atau status kepemilikan

dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah

tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusan Tata Usaha

Negara menyangkut pengesaan, pemilikan, dan penggunaan atau

pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.

Sedangkan konflik adalah nilai, kepentingan, pendapat dan atau

presepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga

kelompok dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat

dengan dengan mengenai status penguasaan dan atau status

kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas

bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status penggunaan

atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu serta mengandung

aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya.

C. Tipologi Sengketa Pertanahan

Menurut Badan Pertahanan Nasional Republik Indonesia (BPN RI)

tipologi kasus/konflik pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik

dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan

ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional 14.

14
Badan Pertanahan Nasional, Op Cit. Diakses pada tanggal 12 Desember 2013.

13
Hasim Purba15Dalam tulisan jurnalnya secara umum mengklarifikasikan

tipologi sengketa pertanahan kedalam tiga bentuk yaitu:

1. Sengketa Horizontal yaituan: antara masyarakat dengan masyarakat

lainnya.

2. Sengketa Vertikal yaitu: antara masyarakat dengan pemerintah, dan

3. Sengketa Horizontal–Vertikal yaitu: anatara masyarakat dengan

pengusaha (investor) yang di back up pemerintah (oknum pejabat) dan

preman.

Maria S.W. Sumardjono seperti yang dikutip Sholih Mua’di 16 dalam

disertasinya, secara garis besar membagikan tipologi sengketa tanah

kedalam lima kelompok yaitu:

1. Kasus-kasus yang berkenaan dengan penanggarapan rakyat atas

arealperkebunan, ketuhanan dan lain-lain.

2. Kasus-kasus yang berkenaan dengan pelanggaran peraturan land

reform.

3. Kasus-kasus berkenaan dengan akses-akses dalam penyediaan tanah

untuk pembangunan.

4. Sengketa perdata yang berkenaan dengan masalah tanah, dan

5. Sengketa yang berkenaan dengan Hak Ulayat.

15
Hasim Purba, “Reformasi Agraria dan Tanah untuk rakyat : Sengketa Petani VS
Perkebunan “ Jurnal Law Review, V. X No 2. UPH 2010. Hal 167. Bandingkan dengan
Widyanto, “Potret Konflik Agraria di Indonesia” Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-
STPN, Nomor 37 tahun 12, April 2013. Hal 23-24.
16
Sholih Mua’di, “Penyelesaian sengketa hak atas tanah perkebunan melalui cara
Nonlitigasi (suatu study Litigasi dalam situasi Transisional)” Semarang: Disertasi program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2008. Hal 1

14
Sedangkan menurut BPN RI secara garis besar tipologi konflik pertanahan

dapat dikelompokkan menjadi sepuluh bagian yaitu:

1) Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah

tertentu yang tidak a belum dilekati hak (tanah Negara) maupun yang

telah dilekati hak oleh pihak tertentu.

2) Sengketa batas yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan

mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak

yang telah ditetapkan oleh Badan Pertahanan Nasional Republik

Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas.

3) Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat

kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang

berasal dari warisan.

4) Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang

diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 (satu) orang.

5) Serifikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki

sertifikat hak atas tanah lebih dari 1 (satu). Dan sertifikat pengganti,

yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai

suatu bidang tanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas

tanah pengganti.

15
6) Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya

Akta Jual Beli Palsu.

7) Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai

kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui

satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesisa berdasarkan penunjukan batas yang salah. Dan

tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai

letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu

karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.

8) Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat,kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang

berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai

prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.

D. Faktor-faktor terjadinya Sengketa Pertanahan

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari

segala tindak tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan

tempat bagi manusia untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya.

Oleh karena itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota

masyarakat sehinga sering terjadi sengketa diantara sesamanya,

terutama yang menyangkut tanah17.

Syaiful Azam, “Eksistensi Hukum Tanah dalam mewujudkan tertib hukum agraria”
17

Makalah Fakultas Hukum USU- Digitized by USU digital Library, 2003. Hal 1.

16
Konflik pertanahan sudah mengakar dari zaman dulu hingga sekarang,

akar konflik pertanahan merupakan factor yang mendasar yang

menyebabkan timbulnya konflik pertanahan. Akar permasalahan konflik

pertanahan penting untuk didentifikasi dan diinventariasi guna mencari

jalan keluar atau bentuk penyelesaian yang akan dilakukan 18.

Salah satu bidang yang mengatur tata kehidupan warga Negara yang juga

tunduk pada hukum yaitu bidang pertanahan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

dan dijabarkan dalam UUPA yang telah mengatur masalah

keagrariaan/pertanahan di Indonesia sebagai suatu peraturan yang harus

dipatuhi.Salah satu tujuan pembentukan UUPA adalah meletakkan dasar-

dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah

bagi rakyat seluruhnya19.

Jika dilihat secara faktual landasan yuridis yang mengatur mmasalah

keagrariaan/pertanahan tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan

konsekuen dengan berbagi alasan yang sehingga menimbulkan masalah.

Sumber masalah/ konflik pertanahan yang ada sekarang antara lain 20:

1. Pemilikan/penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak

merata

2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah

nonpertanian.

18
Sumarto, Op. Cithal 4.
19
Elfachri Budiman , “Peradilan Agraria (Solusi Alternatif penuntasan Sengeketa Agraria)”
Jurnal Hukum USU Vol. 01. No.1, Tahun 2005. Hal 74,
20
Elfachri Budiman, Ibid. Hal 75. Bandingkan dengan Noer Fauzi Rachman, “Rantai
Penjelas Konflik-konflik Agraria yang Kronis, Sistematik, dan Meluas di Indonesia”,
Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM- STPN, Nomor 37 Tahun 12, April 2013. Hlm 5.

17
3. Kurangnya keberpihakaN kepada masyarakat yang golongan

ekonominya lemah.

4. Kurangnya pengakuan terhadap hal-hak masyarakat hukum adat atas

tanah seperti hak ulayat.

5. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam

pembebasan tanah.

Secara garis besar, Maria S.W.Sumardjono menyebutkan beberapa akar

permasalahan konflik pertanahan yaitu sebagai berikut 21:

1) Konflik kepentingan yang disebabkan karena adanya persaingan

kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantive (contoh:hak

atas sumber daya agraria termasuk tanah) kepentingan psikologis.

2) Konflik structural yang disebabkan pola perilaku atau destruktif, control

kepemilikan atau pembagian sumber daya yang tidak seimbang,

kekuasaan kewenangan yang tidak seimbang, serta faktor geografis,

fisik atau lingkungan yang menghambat kerja sama.

3) Konflik nilai yang disebabkan karena perbedaan criteria yang

dipergunakan mengevaluasi gagasan atau perilaku, perbedaan gaya

hidup, idiologi atau agama/kepercayaan.

4) Konflik hubungan yang disebabkan karena emosi yang berlebihan,

persepsi yang keliru, komunikasi buruk atau salah, dan pengulangan

perilaku negatif.

Maria S.w. Sumarjono, “Tanah dalam Perseptif Hak Ekonomi Sosial Budaya” Jakarta:
21

Kompas, 2008. Hal 112-113.Lihat juga yang dikutip Sumarto Op. Cit hal. 4

18
5) Konflik data yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap,

informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang

relevan, interpretasi data yang berbeda, dan perbedaan prosedur

penilaian.

Selanjutnya, penyebab yang bersifat umum timbulnya konflik pertanahan

dapat dikelompokkan kedalam dua faktor yaitufaktor hukum dan faktor

non-hukum22:

a) Faktor Hukum

Faktor Hukum ini terdiri dari tiga bahagian yaitu 23:adanya tumpang

tindih peraturan perundang-undangan dan tumpang tindih peradilan.

1. Yang dimaksud dengan tumpang tindih peraturan misalnya UUPA

sebagaiinduk dari peraturan di bidang sumber daya agrarian, tetapi

dalam pembuatan peraturan lainnya tidak menepatkan UUPA

sebagai Undang-Undang induknya sehingga adanya bertentangan

dengan peraturan perundang sektoral yang baru seperti Undang-

Undang kehutanan, Undang-Undang Pokok Pertambangan dan

Undang-Undang Penanaman Modal.

2. Dan yang dimaksudkan tumpang tindih peradilan misalnya pada

saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani

suatu konflik pertahanan yaitu secara perdata, secara pidana dan

tata usaha Negara. Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak

yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana

22
Sumarto Op. Cit. Hal, 4-6
23
Ibid. Hal 5

19
(dalam hal konflik disertai tindak pidana) atau akan menang secara

Tata Usaha Negara (pada peradilan TUN).

b) Faktor non-hukum

Dalam faktor non-hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan

antara lain24:Adanya tumpang tindih penggunaan tanah, nilai

ekonomi tanah tinggi, kesadaran masyarakat akan guna tanah

meningkat, tanah berkurang sedangkan masyarakat terus

bertambah, dan karena faktor kemiskinan.

1. Tumpang tindih penggunaan tanah, yaitu sejalan waktu

pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah

penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau

mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih

fungsi. Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah

yang sama dapat timbul kepentingan yang berbeda.

2. Nilai ekonomis tanah tinggi, yaitu semakin hari tanah semakin

meningkat harga jualnya dipasar, tanah menjadi salah satu

obyek yang menjanjikan bagi masyarakat baik untuk membuka

lahan usaha perkebunan, lahan persawahan, pemukiman dan

lahan untuk kawasan industri.

3. Kesadaran masyarakat meningkat, yaitu adanya perkembangan

global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran

masyarakat. Terakit dengan tanah sebagai asset pembangunan


24
Ibid. Hal 6

20
maka timbul perubahan pola pikir masyarakat terhadap

penguasaan tanah yaitu tidak ada lagi menempatkan tanah

sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.

4. Tanah tetap sedangkan penduduk bertambah, yaitu

pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui

kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan

yang tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang

nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah

dipertahankan sekuatnya.

5. Kemiskinan, yaitu merupakan masalah kompleks yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.

Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor

penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya asset dan

sumber daya produktif yang dapat diakses.

E. Hak-hak atas Tanah sebagai Objek Sengketa Pertanahan

Dalam sengketa tentunya pasti ada objek yang diperebutkan oleh

pihak-pihak yang bersengketa dalam hal ini adalah manusia itu sendiri

atau suatu badan hukum.Yang terjadi objek yang dipersengketakan

yaitu tanah, dimana tanah tersebut mempunyai hak-hak di atasnya

seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agragia, yang lebih dikenal

dengan singkatan UUPA25.Hak-hak atas tanah tersebut disebutkan

25
UUPA merupakan bentuk wujud menifestasi dari pada Dekrit Presiden Republik
Indonesia, 5 Juli 1959 dan Pasal 33 UUD 1945

21
dalam Bab II Bagian Umum Pasal 16 Ayat (1) UUPA, menyebutkan

bahwa hak-hak atas tanah terdiri dari, Hak Milik, Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak membuka Tanah,

Hak Memungut Hasil Hutan, dan hak-hak lainnya yang tidak termasuk

dalam hak-hak yang bersifat sementara sebagai yang disebutkan

dalam Pasal 53 UUPA yaitu seperti, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil,

Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah PertanianMenurut Pasal 4 ayat

(1) dan ayat (2) UUPA, Hak-hak atas tanah seperti yang disebutkan di

atas dapat diberikan, dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri

maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan

hukum.

Dan hak-hak atas tanah tersebut diberikan kewenangan untuk

menggunakan tanah, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang

yang ada di atasnya yang sekedar diperlukan untuk kepentingan yang

langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-

batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih

tinggi.

Menurut penjelasan atas Pasal 16 UUPA ditegaskan bahwa Pasal 16

ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam Pasal 4 yang

sesuai dengan asas yang diletakkan dalam Pasal 5 (tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional dan persatuan Bangsa)

bahwa hukum pertanahan yang nasional didasarkan atas hukum adat

22
maka penentuan hak-hak atas tanah didasarkan pula pada sistematik

dari hukum adat26.

Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA 27, sangat

erat hubungannya dan sekaligus bentuk wujud Pasal 33 ayat (3) UUD

1945 yang mengaskan bahwa: “Bumi dan Air kekayaan Alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat”.

Menurut Muhammad Hatta28, Pasal 33 UUD 1945 ini mengurus

masalah politik perekonomian Republik Indonesia. Hatta mengatakan

bahwa “Dikuasai Negara tidak berarti Negara sendiri yang menjadi

penguasa, pemilik atau “ondernemer” lebih tepat dikatakan bahwa

kekuasaan Negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran

jalan ekonomi.Peraturan yang dibuat seyogianya harus adil bagi

seluruh rakyat Indonesia.

J.C.T. Simorangkir dan B. Mang Reng Say 29,yang mengatakan bahwa

Pasal 33 UUD 1945 bersifat esensial seperti halnya Pasal 27 dan

Pasal 29, Ide Negara sesuai dengan konsepsi UUD 1945 adalah

sebuah “welfare state” maka Pemerintah sebagai “penguasa” dan “alat

dari Negara” dan sebagai pelaksana kepentingan umum, berwenang

dan memimpin rencana-rencana ekonomi bagi masyarakat.


26
Pasal 16 penjelasan atas Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar
pokok-pokok Agraria. Lihat juga konsideran berpendapat huruf a dalam undang-undang
tersebut.
27
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Hak-Hak Atas Tanah yang diatur dalam UUPA juga
berkaitan dengan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia.
28
Abdul Rahman, “Tebaran Pikiran mengenai Hukum Agraria” Bandung: Alumni, 1985.
Hal 37
29
Ibid. Hal 39

23
Menurut Wiyono30, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini tidak sekedar

ditentukan kalau bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh Negara, tetapi juga ditentukan kalau

pengawasan Negara tersebut terhadap bumi, air dan kekayaan

alamnya harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesarnya-

besarnya.

Dari ketiga pendapat di atas menurut Abdurraham telah

menggambarkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 mengandung suatu nilai-

nilai dan prinsip-prinsip yang fundamental sesuai dengan system nilai

yang terkandung dalam falsafah Pancasila dan merupakan landasan

dari pada system perekonomian Nasional31.

Jadi sangat jelaslah bahwa masalah pertanahan ini merupakan

masalah yang prinsipil yang harus selalu dijaga/dilindungi oleh

Pemerintah akan kegunaannya dan fungsi dan kepemilikan haknya.

Setiap pemegang hak atas tanah senantiasa selalu mendapatkan

perlindungan hukum, kepastian hukum serta diberlakukan yang sama

didepan hukum demi sebuah keadilan sehingga manfaat dan fungsi

dari pada tanah dapat membawa kemakmuran bagi seluruh rakyat

Indonesia.

1) Hak milik

a. Pengertian Hak Milik

30
Ibid. Hal 39-40
31
Ibid. Hal 40.

24
Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA Hak Milik adalah hak turun

temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas

tanah, dengan mengingat fungsi sosial seperti yang disebutkan

dalam Pasal 6 bahwa32: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi

sosial.Dan ayat (2) menyebutkan, Hak Milik dapat beralih dan

dialihkan kepada pihak lain.Hak Milik merupakan satu-satu hak

atas tanah yang bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh.Oleh

karena sifat turun temurun, terkuat dan terpenuh yang melekat

padanya. Tentunya Hak Milik akan berbeda dengan hak-hak atas

tanah lainnya33.

Menurut Boedi Harsono, yang dikutip Adrian Sutedi kata-kata

“terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakan Hak Milik

dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan

hak lainnya yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas

tanah yang dipunyai orang, hanya hak miliknya yang “terkuat dan

terpenuh”34Selain itu, Sifat khas dari Hak Milik adalah hak yang

“turun menurun”.

Hak Milik disebut sebagai hak terkuat dan terpenuh yang berarti

Hak Milik tidak mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak

lain. Sedangkan, Hak Milik disebut sebagai hak turun menurun

32
Urip Santoso, “Hukum Agraria kajian komprefensif” Jakarta; kencana pradana nadia
grop, 2012. Hal 92-93.
33
Adrian Sutedy “Peralihan Hak Atas tanah dan Pendaftarannya” Jakarta; Sinar Grafika,
2007. Hal 60
34
Ibid. Hal 60

25
yang berarti Hak Milik tersebut dapat diwarisi oleh ahli waris yang

mempunyai tanah35.

b. Subjek Hak Milik

Menurut Pasal 21 Hak Milik hanya dapat dipunyai oleh warga

Negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditetapkan

oleh Pemerintah dengan syarat-syarat tertentu.

c. Terjadinya Hak Milik

Terjadinya Hak Milik diatur dalam Pasal 22 yang menyebutkan

bahwa Hak milik dapat terjadi dengan dua cara yaitu ayat (1)

terjadi menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah, dan ayat (2) adanya penetapan Pemerintah

menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan

Peraturan pemerintah, serta atas dasar karena undang-undang.

Berkaitan dengan cara terjadinya hak milik Urip Santoso 36juga

berpendapat bahwa terjadinya Hak Milik dapat melaui dua cara

yaitu: Pertama, terjadi secara organisir yaitu terjadinya Hak Milik

atas tanah untuk pertama kalinya menurut hukum adat,

penetapan pemerintah,dan karena undang-undang. Kedua,

terjadinya Hak Milik secara derivative yaitu Hak Milik atas tanah

yang diperoleh dari orang lain yang semula memang sudah

berstatus Hak Milik, misalnya melalui jual beli, tukar menukar,

hibah dan warisan.

Ibid. Hal 61
35

Urip Santoso, “ Hukum Agraria kajian Konrefensif” Jakarta; Kencana prenada grop,
36

2012. Hal 98

26
d. Hapusnya Hak Milik

Jika merujuk pada Pasal 27 Hak Milik dapat hapus karena

disebabkan dua hal yaitu: Pertama, Tanahnya jatuh kepada

Negara seperti: Pencabutan hak karena kepentingan umum,

kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama

dari rakyat, penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya,

diterlantarkan, pindah Warga Negara, adanya jual-beli,

penukuran, penghibahan dan pemberian dengan wasiat. Kedua,

tanah Hak Miliknya musnah seperti tanahnya longsor dan rusak

akibat abrasi air laut/sungai.

e. Ciri-ciri Hak Milik

Dengan berbagai penjelasan di atas Hak Milik mempunyai cirri-

ciri tersendiri seperti yang disebutkan Eddy Ruchiyat 37, sebagai

berikut:

1. Hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh.

2. Hak atas tanah yang turun menurun dan dapat beralih dan

dialihkan

3. Hak milik dapat dibebani dengan hak-hak lainnya seperti

Hak Gadai, Hak Sewa, Hak Menumpang, dan

4. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotik,

serta dapat diwakafkan.

2) Hak Guna Usaha

Eddy Ruchiyat, “ Politik pertanahan Nasional sampai OrdeReformasi” Bandung; Alumni,


37

2006. Hal 52-53

27
a. Pengertian Hak Guna Usaha

Menurut Pasal 28 ayat (1) Hak Guna Usaha adalah hak untuk

mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,

dalam jangka waktutertentu guna perusahaan pertanian,

perikanan dan peternakan.

MenurutA.P.38 perlindungan sehubungan dengan Pasal 28 dan

penjelasannya,Hak Guna Usaha adalah Hak yang khusus untuk

mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna

perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan. Hak Guna

Usaha hanya dapat diberikan untuk keperluan perusahaan

pertanian, perikanan, dan peternakan dengan luas tanah paling

sedikit 5 (lima) hektar.

b. Luas Hak Guna Usaha

Dalam pasal 28 ayat (2) Hak Guna Usaha dapat diberikan

dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektar, jika luasnya 25 (dua

puluh lima) hektar atau lebih harus memakai investasi modal

yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan

perkembangan zaman.

c. Jangka Waktu Berlaku

Dalam pasal 29 diuraikan bahwa Hak Guna Usaha dapat diberikan

untuk waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun, jika suatu

A.P. Perlindungan ( disebut Up. Perlindungan- I) “ Serba-serbi hukum agraria” Bandung;


38

Alumni 1984. Hal 64

28
perusahaan hak memerlukan waktu yang lebih lama maka haknya

dapat diperpanjang lagi dalam jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh

lima) tahun. Dan kemudian, atas dasar permintaan dari pihak

pemegang Hak Guna Usaha tersebut maka haknya dapat

diperpanjang kembali selama 25 (dua puluh lima) tahun.

Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak

Guna Usaha diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum

berakhirnya jangka waktu tersebut, yang kemudian dicatat dalam buku

tanah pada Kantor Pertanahan setempat. Suatu hal yang paling

penting pada saat perpanjangan hak yaitu tanahnya masih diusahakan

dengan baik sesuai dengan keadaan sifat dan tujuan pemberian hak.

d. Subjek Hak Guna Usaha

Pihak-pihak yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha menurut Pasal

30 ayat (1) yaitu: Warga Negara Indonesia, badan hukum yang

didirikan menurut hukum di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Dalam ayat (2) dijelaskan jika orang pindah warga Negara atau badan

hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha tidak lagi memenuhi syarat

sebagai badan hukum menurut hukum tidak lagi berpendudukan di

Indonesia maka Hak Guna Usahanya dalam jangka waktu 1 (satu)

tahun wajib melepaskan atau mengalihkan haknya itu kepada pihak

lain yang memenuhi syarat.

29
Namun, jika Hak Guna Usaha tersebut tidak dilepaskan atau dialihkan

dalam jangka waktu 1 (satu) tahun maka hak tersebut hapus dengan

sendirinya karena hukum.

e. Subjek Hak Guna Usaha

Dalam Pasal 34 disebutkan bahwa Hak Guna Usaha juga bias hapus

karena: jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka

waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, dilepaskan

oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir, dicabut

karena kepentingan umum, diterlantarkan dan tanahnya musnah.

3) Hak Guna Bangunan

a. Pengertian Hak Guna Bangunan

Menurut Pasal 35 ayat (1) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk

mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang

bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga

puluh) tahun. A.P. Perlindunganberpendapat bahwa Hak Guna

Bangunan mirip dengan Hak Opstal (yang sudah dihapus), dan Hak

Opstal ini sudah digabung dengan Erfpacht (dulu diatur dalam buku

kedua BW) yang kemudian dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan di

atas Hak Milik39.

b. Jangka Waktu Berlaku

A.P. perlindungan (disebut Up perlindungan); “Komentar atas undang-undang pokok


39

agraria”; bandung, Cv. Mandar maju, 1998. Hal 181

30
Jika jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun telah habis, Hak Guna

Bangunan ini dapat diperpanjang lagi jangka waktunya atas dasar

permintaan pemegang hak, seperti yang disebutkan dalam Pasal 35

ayat (2) atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat akan

keperluannya serta keadaan bangunan-bangunannya maka jangka

waktu dapat diperpanjang kembali paling lama 20 (dua puluh) tahun.

c. Subjek Hak Guna Bangunan

Pihak-pihak yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan dengan

merujuk pada Pasal 36 sama halnya dengan Hak Guna Usaha yaitu:

Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Dan jika orang pindah warga Negara atau badan hukum yang

mempunyai Hak Guna Bangunan tidak lagi memenuhi syarat sebagai

badan hukum menurut hukum dan tidak lagi berkedudukan di

Indonesia maka Hak Guna Bangunan dalam jangka waktu 1 (satu)

tahun wajib melepaskan atau mengalihkan haknya itu kepada pihak

lain yang memenuhi syarat.

Namun, jika Hak Guna Bangunan tersebut tidak dilepaskan atau

dialihkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun maka hak tersebut hapus

dengan sendirinya karena hukum.

d. Terjadinya Hak Guna Bangunan

31
Menurut Pasal 37 Hak Guna Bangunan ini dapat terjadi karena dua

hal yaitu: adanya penetapan Pemerintah terhadap tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara dan adanya perjanjian yang dibuat

secara aulentik anatara pemilik tanah yang bersangkutan dengan

pihak yang ingin memperoleh Hak Guna Bangunan.

e. Hapusnya Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan juga bias hapus sebagai mana halnya Hak

Guna Usaha, menurut Pasal 40 hak tersebut akan hapus karena,

jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya

berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh

pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir, dicabut karena

kepentingan umum, diterlantarkan dan tanahnya musnah.

4) Hak Pakai

a. Pengertian Hak Pakai

Jika merujuk pada Pasal 41 ayat (1) maka akan memperoleh

pengertian Hak Pakai sebagai berikut : Hak Pakai adalah hak untuk

menggunakan dan/atau memungut hasill dari tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang member

wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau

dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian

sewa-menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu

32
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan yang

ada dalam undang-undang pokok agrarian.

Menurut A.P.40 Perlindunganwujud dari pada Hak Pakai adalah

menggunakan dan memungut hasil. Menggunakan disini artinya

mempergunakan tanah orang lain untuk mendirikan bangunan di

atasnya maupun untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk

sesuatu keperluan yang lain. Sedangkan, memungut artinya hak

untuk mendapatkan sesuatu dari hasil tanah yang dipakai seperti

buah-buahan, dan hasil sewa menyewa rumah yang ada di atas

tanahnya.

b. Jangka Waktu Berlaku

Dalam Pasal 41 ayat (2) Hak Pakai dapat diberikan dalam jangka

waktu tertentu atau selama tanahnya digunakan untuk keperluan

yang tertentu, dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau

pemberian jasa berupa apapun.

Satu hal yang perlu diingatkan bahwa pemberian Hak Pakai

menurut ayat (3) tidak boleh disertai dengan syarta-syarat yang

didalamnya mengandung unsur-unsur pemerasan.

c. Subjek Hak Pakai

Merujuk pada Pasal 42, pihak-pihak yang dapat mempunyai Hak

Pakai ini sedikit berbeda dengan halnya Hak Guna Usaha dan Hak

Guna Bangunan.Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha hanya

bisa dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan badan hukum


40
A.P. Perlindungan – 1. Op. Cit. Hal 164

33
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia.

Sedangkan Hak Pakai selain bisa dipunyai oleh Warga Negara

Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, bisa juga dipunyai oleh

orang asing yang berkedudukan di Indonesia dan badan Hukum

asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

d. Peralihan Hak Pakai

Menurut Pasal 43 Hak Pakai tidak mudah dialihkan sebagaimana

Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan karena

kadang kala jika tanah yang dipunyai Hak Pakai adalah tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara maka Hak Pakai harus

mendapatkan izin pejabat yang berwenang terlebih dahulu,

kemudian baru bisa dialihkan. Dan Hak Pakai atas tanah milik baru

dapat dialihkan kepada pihak lain, apabila hal dimungkinkan dalam

perjanjian yang bersangkutan.

5) Hak Sewa untuk Bangunan

a. Pengertian Hak sewa untuk Bangunan

Dalam Pasal 44 ayat (1) dijelaskan seseorang atau suatu badan

hukum mempunyai Hak Sewa atas tanah, apabila ia berhak

menggunakan tanah milik orang lain untu keperluan bangunan,

dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai

sewa.

34
b. Tata Cara Pembayaran Sewa

Tata cara pembayaran uang sewa atas Hak Sewa bangunan ini

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu seperti yang diatur

dalam ayat (2) dengan pembayaran satu kali atau pada tiap-tiap

waktu tertentu dan pembayaran dapat juga dilakukan sebelum

atau sesudah tanahnya digunakan.

Jika dilihat dalam ayat (3), sifat perjanjian sewa menyewa Hak

Sewa untuk Bangunan, sama dengan sifat perjanjian yang ada

dalam Hak Pakai yaitu tidak boleh disertai dengan syarat-syarat

yang didalamnya mengandung unsur-unsur pemerasan.

Menurut Urip Santoso, Hak Sewa Bangunan terjadi ketika

pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong

kepada penyewa dengan maksud agar penyewa dapat

mendirikan di atas tanah tersebut64.

c. Subjek Hak Sewa untuk Bangunan

Pihak-pihak yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa untuk

Bangunan diatur dalam Pasal 45 yaitu, Warga Negara

Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan

hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia serta badan hukum asing yang

mempunyai perwakilan di Indonesia.

d. Eksistensi Hak Sewa untuk Bangunan

35
Menurut A.P. Perlindungan seperti yang dikutip Dayat Limbong 41

bahwa sampai saat ini pelakasanaan dari pada Hak Sewa untuk

Bangunan belum ada karena masyarakat mempergunakan

bentuk yang sudah ada yaitu exs KUHPerdata. Dalam hak sewa

menyewa termasuk suatu kebebasan mengatur sendiri

(contracteer vrijheid).

Lebih lanjut A.P. Perlindungan menyatakan hingga saat ini

belum ada pula ketentuan mengenai apakah Hak Sewa dapat

dilakukan atas semua hak atas tanah, apakah Hak Sewa

mempunyai “right of disposal” yaitu boleh dialihkan ataupun

dijadikan objek Hak Tanggungan. Oleh karena itu untuk

menghindari hal-hal yang negative, A.P. Perlindungan

menyarankan agar Pemerintah dapat mengatur tentang Hak

Sewa dengan lebih jelas, sehingga dimungkinkan Hak Sewa

dapat didaftarkan42.

F. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa

Dalam sistem hukum Nasional di Indonesia ada dua cara penyelesaian

sengketa yang diterapkan untuk menangani dan menyelesaikan

sengketa hukum, khususnya bidang perdata yaitu melalui pengadilan

(litigasi) dan luar pengadilan (nonlitigasi) atau lebih dikenal dengan

alternatif penyelesaian sengketa.

41
Dayat Limbong, Op. Cit. Hal 306.
42
Ibid. Hal 307.

36
Penyelesaian sengketa nonlitigasi merupakan penyelesaian di luar

pengadilan, yang dikenal juga dengan istilah penyelesaian sengketa

alternatif Penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute

resolution (ADR), adalah penyelesaian sengketa yang didasarkan pada

kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak yang

bersengketa baik tanpa ataupun dengan bantuan pihak ketiga yang

netral43.

Penyelesaian nonlitigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa

yang dilandasi oleh prinsip pemecahan masalah dengan bekerja sama

yang disertai dengan itikad baik oleh kedua pihak untuk menemukan win-

win solution. Proses pemecahan masalah dilakukan secara tertutup untuk

umum dan kerahasian para pihak terjamin serta proses beracaranya lebih

cepat dan efesien. Penyelesaian litigasi cenderung menghasilkan masalah

baru karena sifatnya adalah win lose, tidak responsif, waktu beracaranya

relatif lambat dan sering dilakukan dengan terbuka untuk umum 44.

Jika dilihat dari kuantitas maupun kualitasnya, penyelesaian yang

dilakukan secara litigasi atau lembaga peradilan tidak lebih baik dari

penyelesaian yang dilakukan nonlitigasi atau diluar ruang pengadilan, baik

yang menyangkut persengketan bisnis maupun persengketaan yang

disebabkan oleh karena persoalan-persoalan sehari-hari.

43
Runtung, “Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Indonesia” Pidato Guru Besar Fakultas Hukum USU, Medan : USU Press. 2006. Hlm 2.
44
Frans Hendra Winarta, “Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia
dan Internasional” Jakarta : Sinar Grafika, 2012. Hal 9-28

37
Dalam penyelesaian sengketa diluar pengadilan pihak yang bersengketa

tidak melalui proses hukum formal, para pihak cukup mengajukan

perkaranya pada pihak ketiga untuk menyelesaikan

persengketaan.Dikarenakan penyelesaian sengketa luar pengadilan

merupakan kehendak sukarela dari pihak-pihak yang berkepentingan

untuk menyelesaikan sengketa mereka diluar pengadilan 45.

Jika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 butir 10

disebutkan bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat

dilakukan dengan cara: konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau

penilaian ahli.

Dewi tuty muryati, B. Rini heryani “ pengaturan dan mekanisme penyelesaian sengketa
45

non litigasi dibidang perdagangan” Jurnal dinamika Sob, F. 13, 1 juni 2011. Hal 49

38
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penyususn adalah jenis penelitian

hukum normatif-empiris yaitu penelitian yang berdasarkan pada

peraturan-peraturan yang ada dan berdasarkan pada kenyataan atau

fakta sosial yang terjadi di masyarakat luas.

B. Sumber Data

Berbagai sumber data yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini

sebagai berikut:

1. Data premier merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari

sumber asli (tidak melalui media perantara).

2. Data sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan

hukum dalam penelitian hukum seperti ada kesepakatan yang tidak

tertulis dari para ahli peneliti hukum, bahwa bahan hukum itu

berupa berbagai literature yang dikelompokkan ke dalam 46 :

a. Pertama, bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan

perundang-undangan, mengenai penyelesaian sengketa tanah

melalui arbitrase.

b. Kedua, bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang

dapat berupa rancangan perundang-undangan, hasil penelitian,

46
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris,
Celeban Timur Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 157.

39
buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran), pamphlet,

lefleat, brosur, dan berita internet.

c. Ketiga, bahan hukum tersier, juga merupakan bahan hukum

yang dapat menjelaskan baik bahan hukum premier maupun

bahan hukum sekunder, yang berupa kamus, ensiklopedi,

leksinin dan lain-lain.

C. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data akan dilakukan jika tahap sebelumnya sudah

cukup dipersiapkan secara matang dan dengan berbagai cara seperti

wawancara dalam hal ini penulis melakukan memberikan sejumlah

pertanyaan terhadap informan dalam melihat bagaimana prosedur

penyelesain sengketa tanah melalui arbitase dalam hal ini di mana

masyarakat di Kota Makassar yang menggunakan jalur tersebut.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disusun berupa

pedoman wawancara secara mendalam terhadap responden/informan

yang dijabarkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian, sebagai

pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen,

kuisioner sebagai alat pengumpul data dalam bentuk pertanyaan baik

secara langsung maupun dalam bentuk tertulis untuk dijawab, dan

observasi sebagai pengamatan dan pencatatan yang sistematis

terhadap gejala yang diteliti.

40
E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian hukum memiliki sifat-sifat deskriptif,

evaluatif dan perspektif. Sifat-sifat analisis ini akan diuraikan sebagai

berikut47:

1. Deskriptif

Sifat analisis deskriptif maksudnya adalah, bahwa peneliti

dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran

atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana

hasil penelitian yang dilakukan.

2. Evaluatif

Dalam analisis yang bersifat evaluatif ini peneliti memberikan

justifikasi atas hasil penelitian. Peneliti akan memberikan penilaian

dari hasil penelitian, apakah hipotesis dari teori hukum yang

diajukan diterima atau ditolak.

3. Perspektif

Sifat analisis ini dimaksudkan untuk memberikan

argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukannya.

Argumentasi di sini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan

perspektif atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang

syogyanya menurut hukum dai hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
47
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010, hal 181.

41
Buku

Abdul Rahman, “Tebaran Pikiran mengenai Hukum Agraria” Bandung:

Alumni, 1985.

Adrian Sutedy, ”Peralihan Hak Atas tanah dan Pendaftarannya”

Jakarta; Sinar Grafika, 2007.

A.P. Perlindungan (disebut Up. Perlindungan-I) “Serba-serbi hukum

agrarian” Bandung; Alumni 1984.

A.P. perlindungan (disebut Up perlindungan); “Komentar atas undang-

undang pokok agrarian”; BAndung, Cv. Mandar maju, 1998.

A.P. Perlindungan-1

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1, Edisi Revisi,

Penerbit Djambatan, Jakarta 1999

Badan Pertanahan Nasional, Diakses pada tanggal 12 Desember 2013.

Dayat Limbong

Dewi tuty muryati, B. Rini heryani “pengaturan dan mekanisme

penyelesaian sengketa non litigasi dibidang perdagangan”

Jurnal dinamika Sob, F. 13, 1 Juni 2011.

Elfachri Budiman, “Peradilan Agraria (Solusi Alternatif penuntasan

Sengketa Agraria)’ Jurnal Hukum USU Vol.01. No.1, Tahun 2005

Elfachri Budiman, Bandingkan dengan Noer Fauzi Rachman, “Rantai

Penjelas Konflik-konflik Agraria yang Kronis, Sistematik, dan

Meluas di Indonesia”.

42
Eddy Ruchiyat, “Politik pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi”

Bandung; Alumni, 2006.

Final and Binding adalah putusan akhir dan mengikat.

Frans Hendra Winarta, “Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase

Nasional Indonesia dan internasional” Jakarta : Sinar Grafika,

2012.

Hasim Purba, “Reformasi Agraria dan Tanah untuk rakyat : Sengketa

Petani VS Perkebunan” Jurnal Law Review, V. X No 2. UPH 2010.

Bandingkan dengan Widyanto, “Potret Konflik Agraria di

Indonesia” Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-STPN, Nomor

37 tahun 12, April 2013.

Gatot Soemartono, Arbitrase dan mediasi di Indonesia, (Jakarta:

Gramedia Pustaka utama, 2006).

Lihat Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPTN Nomor 1

Tahun 1999 Tentang tata cara penanganan sengketa

pertanahan.

Lihat Pasal 1 butir 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011

tentang Pengelolaan pengkajian dan Penanganan kasus

pertanahan.

Maria S.w. Sumarjono, “Tanah dalam Perseptif Hak Ekonomi Sosial

Budaya” Jakarta: Kompas, 2008. Lihat juga yang dikutip Sumarto.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

Empiris, Celeban Timur Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

43
Pasal 16 penjelasan atas Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang

peraturan dasar pokok-pokok Agraria.Lihat juga konsideran

berpendapatan huruf a dalam undang-undang tersebut.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Hak-hak Atas Tanah yang diatur dalam

UUPA juga berkaitan dengan Undang-undang No 39 Tahun 1999

Tentang Hak asasi manusia.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.

Rusmadi Murad. 1991. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah.

Bandung: Alumni

Rusmadi Murad “Penyelesaian sengketa hukum atas tanah” Bandung;

Alumni, 1999.

Runtung, “Pemberdayaan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian

Sengketa di Indonesia” Pidato Guru Besar Fakultas Hukum USU,

Medan : USU Press. 2006.

Subekti, Aneka Perjanjian,cet-10, Pt Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

Sumarto “Penanganan dan Penyelesaian konflik pertanahan dan

prinsip win-win solution” oleh badan pertanahan nasional RI

2012.

Sholih Mua’di, “Penyelesaian sengketa hak atas tanah perkebunan

melalui cara Nonlitigasi (suatu study Litigasi dalam situasi

Transisional)” Semarang : Disertasi program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro, 2008.

44
Syaiful Azam, “Eksistensi Hukum Tanah dalam mewujudkan tertib

hukum agrarian” Makalah Fakultas Hukum USU-Digitized by USU

digital Library, 2003.

Sumarto

Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative

penyelesaian sengketa.

UUPA merupakan bentuk Wujud menifestasi dari pada Dekrit Presiden

Republik Indonesia, 5 Juli 1959 dan pasal 33 UUD 1945

Urip Santoso, “Hukum Agraria kajian komprefensi” Jakarta; kencana

pradana nadia grup, 2012.

45

Anda mungkin juga menyukai