Assalaamu’alaikum Wr Wb
ٍ ص ّل َو َسلّ ْم عَلى ُم َح ّم ٍد َوعَلى آلِ ِه ِوأَصْ َحابِ ِه َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم بِإِحْ َس
ان إِلَى يَوْ ِم ال ّديْن َ اَللهُ ّم
َق تُقَاتِ ِه َوالَ تَ ُموْ تُ ّن إِالّ َوأَ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُموْ ن
ّ يَاأَيّهَا الّ َذ ْينَ آ َمنُوْ ا اتّقُوا هللاَ َح
Alangkah terpuji hamba yang selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah
berikan. Dan semoga kita tidak tergolong hamba yang kufur terhadapNya. Setiap
apapun yang Allah berikan adalah cara Allah menguji seberapa tingkat kecintaan kita
padaNya yang dengan keluasan rahmatNya semoga kita mendapat cintaNya yang
tak terbatas dan tiada dua.
Shalawat dan salam kita hatur dan tunjukkan kepada Baginda Muhammad saw.
Yang semoga kita termasuk golongan manusia yang mengikuti langkah hidupnya.
Dalam agama kita, Islam, keyakinan pada sesuatu secara penuh disebut Iman. Dan
dari enam rukun Iman yang sebagaimana kita ketahui, Iman kepada Allah sebagai
Sang Maha adalah simpul dari seluruh ke-Imanan yang ada. Namun menjadi
pertanyaan bagi kita bersama, apakah ke-Imanan itu sudah tertanam jauh dalam
semesta diri kita? Jangan sampai, Iman hanya menjadi penghias bibir atau jubah
nama baik untuk menyelubungi ketidak-Imanan kita pada Allah. Na’udzubillah.
Berulang kali Allah menyinggung kita keras-keras dalam Quran tentang ke-Imanan.
Salah satunya adalah firman Allah berikut:
Tolok ukur bagi kepastian Iman kita pada Allah dapat kita telisik dari bagaimana cara
kita menjalani kehidupan. Dalam firman Allah yang khatib telah kutip di atas, telah
jelas gambaran karakter hamba yang di dalam hatinya tertanam ke-Imanan yang
tiada lagi dihinggapi keraguan.
Dalam ayat tersebut, setidaknya terdapat dua karakteristik utama seorang yang
mengaku ber-Iman kepada Allah.
Pertama, seorang Mukmin sepantasnya memiliki sifat kasih sayang bagi siapa saja
di sekelilingnya.
“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah).
Maka sayangilah yang di atas muka bumi niscaya Yang di atas langit pun akan
menyayangi kalian.”
(HR. Tirmidzi)
Kedua, berkarakter dermawan. Sungguh tiada secuilpun dari yang kita miliki adalah
mutlak kepemilikan kita pribadi. Harta, anak keturunan, jabatan dan lain-lain
merupakan karunia Allah yang tidak pantas kita aku-akui. Allah berfirman:
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah
dikembalikan segala urusan.” (QS. Ali Imron: 109)
Semoga kita selalu mampu memberi dan berderma dalam kondisi apapun. Dan
sungguh Allah lebih mencintai hamba-hamba yang memberi di saat susah dan
terhimpit daripada hamba yang memberi dalam keadaan lebih.
Yang terakhir yang menjadi karakter inti seorang mukmin adalah, jauh dari sifat
sombong dan berbangga diri. Sungguh kita sejatinya tidak pernah memiliki celah
untuk merasa lebih dari siapapun dan apapun. Bahkan Allah telah berkali-kali
mengingatkan dalam Qur’an bahwa kita diciptakan dari zat yang sama, zat yang
hina:
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati
air yang hina”. (QS. As-Sajdah: 7-8)
Betapapun jabatan yang kita duduki, harta dan keturunan yang kita miliki, pakaian
yang kita kenakan tidaklah menjadikan kita lebih mulia dari manusia yang lain. Yang
menjadikan kita lebih mulia dari yang lain hanya dapat dilihat dari ketaqwaan kita
kepada Allah. Bukan dari pakaian yang dikenakan, jabatan yang diduduki, gelar yang
tersemat dan berbagai faktor lain. Olehnya, yang dapat kita lakukan hanyalah selalu
berusaha dan bermunajat pada Allah agar kita tergolong manusia-manusia yang
bertaqwa. Aamiin.