OLEH :
070116B040
FAKULTAS KEPERAWATAN
2017
KONSEP STROKE NON HEMORAGIC
1. Definisi
Stroke non hemoragik adalah suatu keadaankehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh penyumbatan aliran darah arteri yang lamakebagian otak
sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian
(Corwin, 2009).
Stroke Non Haemoragik adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi
aliran darah otak terjadi akibat pembentukan trombus di arteri cerebrum atau
embolis yang mengalir ke otak dan tempat lain di tubuh (Padila, 2012).
Stroke Non Hemoragik dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis
serebral biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di
pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umum baik
(Muttaqin, 2008).
Jadi dapat disimpulkan Stroke Non Hemoragik adalah stroke yang terjadi
karena kurangnya suplai darah ke jaringan otak disebabkan karena adanya
trombosis dan emboli.
2. Klasifikasi
Stroke Non Hemoragik dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses
patologik (kausal). Menurut Padila (2012) bahwa berdasarkan manifestasi klinis
stroke non hemoragik dibedakan menjadi 4 yaitu :
a. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan
menghilang dalam waktu 24 jam.
b. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological
Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari
24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
c. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
d. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.
Sedangkan berdasarkan kausal, stroke non hemoragik dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi akibat oklusi pembuluh darah, biasanya karena
arterosklerosis berat(Corwin, 2009). Trombotik dapat terjadi pada pembuluh
darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Stroke trombotik arteri besar
disebabkan oleh aterosklerosis plak di pembuluh darah besar dari otak. Lokasi
stroke, misalnya pada korteks superficial (tersering arteri serebri media),
serebelum, dan daerah arteri serebral posterior. Stroke trombotik arteri kecil
(stroke lakunar) mengacu pada stroke yang berasal dari satu atau lebih
penetrasi trombotik pada pembuluh darah kecilseperti ganglia basalis,
substantia alba otak, thalamus pons, dan serebelum (Goldszmidt & Caplan,
2011).
b. Stroke Emboli
Stroke embolik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang
terbentuk di luar otak. Sumber umum embolus yang menyebabkan adalah
jantung setelah infark miokardium atau fibrilasi atrium, dan embolus yang
merusak arteri karotis komunis atau aorta (Corwin, 2009).
3. Etiologi
Menurut Smeltzer, Mardella, Yulianto (2013) stroke biasanya diakibatkan oleh
salah satu kejadian ini:
a. Trombosis serebral
Arterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebabutama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling umum
dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala adalah
awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing,
perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak
dapat dibedakan dari haemorrhagi intracerebral atau embolisme serebral.
Secara umum, thrombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan
kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada setengah tubuh
dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endocarditis, infeksi,
penyakit jantung rematik, dan infark miokard, serta infeksi pulmonal adalah
tempat-temapt asal emboli. Mungkin saja bahwa pemasangan katup jantung
prostetik dapat mencetuskan stroke, karena dapat meningkatkan insiden
embolisme setelah prosedur ini. Risiko stroke setelah pemasangan katup dapat
dikurangi dengan terapi antikoagulan, pascaoperatif. Kegagalan pacu jantung,
fibrilasi atrium dan kardioversi unyuk fibrilasi atrium adalah kemungkinan
penyebab lain dari emboli serebral dan stroke. Emboli biasanya menymbat
arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral.
Awitan hemiparesis dan hemiplegia tiba-tiba dengan atau tanpa afasia
atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal
adalah karakteristik dari embolisme serebri.
c. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak. Manifestasi
paling umum SIS.
4. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan dan spasme
vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan
jantung). Arterosklerotik sering/cenderung sebagai faktor penting terhadap otak,
trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Trombus
dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran
darah. Trombus mengakibatkan
a. Iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan
b. edema dan kongesti disekitar area.
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari pada area infark
itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang
sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan
perbaikan. Oleh karena itu trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi
perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi
akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurismepecah atau rupture.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler,
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada palk
serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan kebatang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
dinukleus kaudatus, thalamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral.
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-
6 menit. Perubahan irreversible jika anoksia lebih dari 10 menit, anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif
banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf diarea yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi. Selain
itu pada gangguan sistem motorik terjadi disfungsi neuron paling umum adalah
hemiplegi (paralisis pada salah satu sisi tubuh) dan hemipareses (kelemahan salah
satu sisi tubuh) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan, lesi menduduki pada
kawasan pyramidal sesisi. Tetraplegia terjadi bila lesi terdapat pada medulla
spinalis pada segmen C.5, sedangkan terjadi paraplegi jika terdapat lesi pada
medulla spinalis pada tingkat segmen torakal/lumbal atas, terjadinya gangguan
sistem motorik maka akan muncul masalah gangguan mobilisasi fisik. Apabila
klien terganggu akan mobilitasnya maka akan muncul masalah defisit perawatan
diri. Pada sistem fungsi sensorik apabila terjadi lesi pada seluruh krus posterior
kapsula interna sesisi akan mengalami hemihipestia yang diikuti hemihipestesia
kontralateral. Bila lesi terdapat pada spinotalomik dan traktus spinalis nervus
trigeminus pada oblongata terjadi hipestesia alternansdan bila lesi merusak pada
bagian cauda ekuina terjadi hipestesia inguinal maka akan muncul masalah
keperawatan perubahan persepsi sensori. Pada gangguan fungsi luhur terjadi lesi
pada subkortek serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran sehingga
muncul masalah keperawatan resiko trauma, resiko aspirasi dan resiko kerusakan
integritas kulit akibat penekanan jaringan setempat (Muttaqin, 2008).
5. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer, Mardella, Yulianto (2013) Gejala dari stroke non
hemoragik yang mana tergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang
tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah
kolateral. Adapun gejala stroke non hemoragik adalah:
a. Kehilangan motorik: stroke adalah penyakit neuron atas dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter. Gangguan kontrol volunter pada salah satu sisi
tubuh dapat menunjukan kerusakan pada neuron atas pada sisi yang belawanan
dari otak. Disfungsi neuron paling umum adalah hemiplegi (paralisis pada
salah satu sisi tubuh) dan hemiparises (kelemahan salah satu sisi tubuh)karena
lesi pada sisi otak yang berlawanan, lesi menduduki pada kawasan pyramidal
sesisi. Tetraplegia terjadi bila lesi terdapat pada medulla spinalis pada segmen
C.5. sedangkan terjadi paraplegi jika terdapat lesi pada medulla spinalis pada
tingkat segmen torakal/lumbal atas.
b. Kehilangan komunikasi: fungsi otak lain yang yang dipengaruhi oleh stroke
adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum.
Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut:
1) Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
menghasilkan bicara.
2) Apraksia, ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya.
3) Disfasia atau afasia (kehilangan bicara), ekspresif atau reseptif :
a) Afasia Ekspresif: Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami,
mungkin mampu bicara dalam respon kata tunggal.
b) Afasia Reseptif: Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan,
mampu bicara tetapi tidak masuk akal.
c) Afasia Global: Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
c. Defisit Emosional penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas
emosional, penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi,
menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, perasaan isolasi
d. Penurunan lapang pandang, sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi
tubuh yang paralisis yaitu kesulitan menilai jarak, tidak menyadari orang atau
objek ditempat kehilangan penglihatan.
e. Kehilangan sensori, terjadi pada sisi berlawanan dari lesi yaitu kehilangan
kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh.
f. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, bila kerusakan pada lobus
frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi intelektual mungkin
terganggu. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi.
g. Disfungsi kandung kemih, setelah stroke pasien mungkin mengalami
inkontenensia urinarius karena kerusakan kontrol motorik.
Dilihat dari bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:
Table 2.1
Perbandingan stroke hemisfer kiri dan kanan
3. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik pneumonia menurut Mansjoer (2010):
a. Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit kepala,
iritabel, gelisah, malaise, anoreksia, keluhan gastrointestinal.
b. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipneu, ekspektorasi
sputum, cuping hidung, sesak napas, merintih, dan sianosis. Anak yang lebih
besar lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada.
c. Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam saat bernapas bersama dengan peningkatan frekuensi napas), perkusi
pekak, fremitus melemah, suara napas melemah, dan ronkhi.
d. Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak dada tertinggal di daerah efusi,
perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah, friction rub, nyeri
dada karena iritasi pleura, kaku kuduk/meningismus (iritasi meningen tanpa
inflamasi), nyeri abdomen (kadang terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada
pneumonia lobus kanan bawah).
Sedangkan menurut (Price,2010), yaitu:
a. Pneumonia bacterial
Tanda dan gejala awitan pneumonia pneumococus bersifat mendadak, disertai
menggigil, demam, nyeri pleuritik, batuk, dan sputum yang berwarna seperti
karat. Ronki basah dan gesekan pleura dapat terdengar diatas jaringan yang
terserang, pernafasan cuping hidung, penggunaan otot-otot aksesoris
pernafasan
b. Pneumonia virus
Tanda dan gejala sama seperti gejala influenza, yaitu demam, batuk kering,
sakit kepala, nyeri otot dan kelemahan, nadi cepat, dan bersambungan
(bounding)
c. Pneumonia aspirasi
Tanda dan gejala adalah produksi sputum berbau busuk, dispneu berat,
hipoksemia, takikardi, demam, tanda infeksi sekunder
d. Pneumonia mikoplasma
Tanda dan gejala adalah nadi meningkat, sakit kepala, demam, faringitis.
4. Penatalaksanaan Medis
Menurut Misnadiarly (2008) penatalaksanaan untuk pneumonia bergantung pada
penyebab, sesuai yang ditentukan oleh pemeriksaan sputum mencakup:
a. Oksigen 1 – 2 L/menit
b. IVFD dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 3:1, + KCl 10 mEq/500 ml cairan
c. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikkan suhu, dan status hidrasi
d. jika sesak tidak terlalu berat dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui
selang nasogastrik dengan feeding drip
e. Jika sekresi lender berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier
f. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
g. Antibiotik sesuai hasil biakan atau diberikan untuk kasus pneumonia
community base:
h. Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
i. kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
a. Untuk kasus pneumonia hospital base:
j. Sefatoksim 100 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
k. Amikasin 10 – 15 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
5. Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009) komplikasi yang sering terjadi menyertai
pneumonia adalah:
a. abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang,
b. efusi pleural adalah terjadi pengumpulan cairan di rongga pleura,
c. empiema adalah efusi pleura yang berisi nanah,
d. gagal nafas,
e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial,
f. meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak,
g. pneumonia interstitial menahun,
h. atelektasis adalah (pengembangan paru yang tidak sempurna) terjadi karena
obstruksi bronkus oleh penumukan sekresi
i. rusaknya jalan nafas,
6. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan membran aveolar-kapiler ditandai
dengan Gas Darah Arteri abnormal, PH artery abnormal,sianosis,nafas cuping
hidung,dan gelisah (rewel)
b. Hipertermia b.d. dehidrasi dan penyakit ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh diatas normal, dan kulit terasa hangat.
c. Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan keluarga aktif ditandai
dengan penurunan turgor kulit, memebran mukosa kering, dan peningkatan
suhu tubuh.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian primer
a. Airway
1) Kaji dan pertahankan jalan napas.
2) Lakukan head tilt, chin lift jika perlu.
3) Gunakan alat batu untuk jalan napas jika perlu.
4) Pertimbangkan untuk merujuk ke ahli anestesi untuk dilakukan intubasi jika
tidak dapat mempertahankan jalan napas.
b. Breathing
1) Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, untuk
mempertahankan saturasi >92%.
2) Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breath mask.
3) Pertimbangkan untuk mendapatkan pernapasan dengan menggunakan bag-
valve-mask ventilation.
4) Lakukan pemeriksaan gas darah arterial untuk mengkaji PaO2 dan PaCO2.
5) Kaji jumlah pernapasan.
6) Lakukan pemeriksan system pernapasan.
7) Dengarkan adanya bunyi pleura.
8) Lakukan pemeriksaan foto thorak.
c. Circulation
1) Kaji heart rate dan ritme, kemungkinan terdengan suara gallop.
2) Kaji peningkatan JVP.
3) Catat tekanan darah.
4) Pemeriksaan EKG.
d. Disability
1) Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.
2) Penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk kondisi ekstrim
dan membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan
di ICU.
e. Exposure
1. Jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik lainnya.
2. Jangan lupa pemeriksaan untuk tanda DVT.
3. Terapi
Pengkajian Sekunder
a. Riwayat penyakit sekarang
Lama menderita hipertensi, hal yang menimbulkan serangan, obat yang pakai
tiap hari dan saat serangan.
b. Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat makanan.
c. Riwayat perawatan keluarga
Adakah riwayat penyakit hipertensi pada keluarga.
d. Riwayat sosial ekonomi
Jenis pekerjaan, jenis makanan yang berhubungan dengan kenaikan tekanan
darah seperti sodium dan tingkat stressor.
Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis, pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara persistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) Keadaan umum
Umumnya mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami gangguan
bicara yaitu sulit dimengerti kadang tidak bisa bicara dan pada tanda-tanda
vital : tekanan darah meningkat dan denyut nadi bervariasi
2) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronki pada klien dengan peningkatan
produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan
pada klien strok dengan penurunan tingkat kesadaran (koma).
Pada klien dengan tingkat kesadaran komposmentis, pengkajian inspeksi
pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi torak didapatkan taktil vremitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
3) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien strok dimana refleks sirkulasi
sudah tidak baik lagi. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat
terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200mmHg)
4) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat dan aliran darah kolateral (sekunder dan aksesori). Umbra yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya. Peningkatan B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem
lainnya
a) Pengkajian tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator yang
paling sensitive untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
b) Pengkajian fungsi serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal dan hemisfer
(1) Ekspresi Status mental
Kaji status mental klien strokedengan observasi penampilan klien dan
tingkah lakunya dengan melihat cara berpakain klien, kerapihan, dan
kebersihan diri. Observasi postur, sikap, dan gerakan tubuh, ekspresi
wajah. Observasi gaya bahasa klien apakah bicara jelas atau tidak masuk
akal. Observasi kesadaran klien apakah berespon atau mengantuk.
(2) Fungsi intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.
Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk
mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata
(3) Kemampuan bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung pada daerah lesi yang
mempengaruhi fungsi serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan
pada bagian posterior dari girus temporallis superior (area Wernicke)
didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa
lisan dan bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus
frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien
dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya
tidak lancar. Disatria (kesulitan berbicara) ditunjukkan dengan bicara yang
sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot ayng bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara.
(4) Lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang
lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi
yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh
respon alamiah klien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis
lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil,
permusuhan, frustasi, dendam dan kurang kerjasama.
Hemisfer
Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian
buruk dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga
kemungkinan terjatuh ke sisi berlawanan tersebut. Pada stroke hemisfer
kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati,
kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustasi.
c) Pengkajian saraf kranial: pemeriksaan ini meliputi pemerikasaan saraf
kranial I – XII
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan aliran darah
sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan kontrol otot facial
atau oral.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
4. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan.
5. Deficit perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi.
6. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan Sekret berlebih
7. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama.
8. Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan kesadaran.
I. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO Diagnosa NOC NIC
1. Gangguan perfusi NOC : NIC :
jaringan cerebral
berhubungan 1. Circulation status Peripheral Sensation
dengan gangguan 2. Tissue Prefusion : Management (Manajemen
aliran darah cerebral sensasi perifer)
sekunder akibat Kriteria Hasil :
1. Monitor adanya daerah
peningkatan
1. mendemonstrasikan tertentu yang hanya peka
tekanan
status sirkulasi yang terhadap
intracranial.
ditandai dengan : panas/dingin/tajam/tumpul
a. Tekanan systole 2. Monitor adanya paretese
dandiastole dalam 3. Instruksikan keluarga untuk
rentang yang mengobservasi kulit jika ada
diharapkan lsi atau laserasi
b. Tidak ada 4. Gunakan sarun tangan untuk
ortostatikhipertensi proteksi
c. Tidak ada tanda 5. Batasi gerakan pada kepala,
tanda peningkatan leher dan punggung
tekanan intrakranial 6. Monitor kemampuan BAB
(tidak lebih dari 15 7. Kolaborasi pemberian
mmHg) analgetik
8. Monitor adanya
2. mendemonstrasikan tromboplebitis
kemampuan kognitif 9. Diskusikan menganai
yang ditandai dengan: penyebab perubahan sensasi
a. berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai dengan
kemampuan
b. menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
c. memproses informasi
d. membuat keputusan
dengan benar
e. menunjukkan fungsi
sensori motori
cranial yang utuh :
tingkat kesadaran
mambaik, tidak ada
gerakan gerakan
involunter
1.
3. Gangguan NOC : NIC :
mobilitas fisik 1. Joint Movement Exercise therapy : ambulation
berhubungan :Active 1. Monitoring vital
dengan kerusakan 2. Mobility Level signsebelm/sesudah latihan
neuromuscular 3. Self care : ADLs dan lihatrespon pasien saat
4. Transferperformance latihan
Kriteria hasil: 2. Konsultasikan dengan terapi
1. Klien meningkat fisiktentang rencana
dalamaktivitas fisik ambulasi sesuaidengan
2. Mengerti tujuan kebutuhan
daripeningkatan 3. Bantu klien untuk
mobilitas menggunakantongkat saat
3. Memverbalisasikanpera berjalan dan cegahterhadap
saan cedera
dalammeningkatkankek 4. Ajarkan pasien atau
uatan dankemampuan tenagakesehatan lain tentang
berpindah teknik ambulasi
4. Memperagakanpenggu 5. Kaji kemampuan pasien
naan alat Bantuuntuk dalammobilisasi
mobilisasi (walker) 6. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan ADLs
secara mandiri
sesuaikemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien
saatmobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan
ADLs
1. Berikan alat Bantu jika
klienmemerlukan.
2. Ajarkan pasien bagaimana
merubahposisi dan berikan
bantuan jikadiperlukan
Akumulasi sputum
tidak ada (skala 5) 6. Berikan terapi perawatan
(skala 5) IV teraphy:
Fluid balance: 6. Lakukan 5 benar
- Nadi normal (skala 5) pemberian terapi infuse (benar
- Intake dan output cairan obat, dosis, pasien, rute,
seimbang dalam frekuensi)
sehari(skala 5) 7. Monitoring tetesan dan
tempat IV selama pemberian
Diarrhea managemenet:
8. Monitoring tanda dan gejala
diare
9. Ketahui penyebab diare
10. Evaluasi mengenai pengobatan
terhadap efek gastrointestinal
11. Instruksikan keluarga untuk
memantau warna, volume,
frekuensi dan konsistensi feses
12. Monitoring kulit dan perianal
pasien untuk mengethui
adanya iritasi dan ulserasi
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria. 2016. Nursing Interventions Classifications (NIC) Edisi 6.CV.
Mocomedia: Indonesia
Perry & Potter.2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses Dan
Praktik. Edisi 4.Jakarta : EGC.
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Jakarta, EGC, 2010.
Sudoyo Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3, Edisi Keempat.
Jakarta: Internal Publishing.
Bare Brenda G & Smeltzer Suzan C. (2007). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8,
Vol. 1, EGC, Jakarta.
Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, Arief dkk. (2010). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI
Jakarta
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik Mycobacterium.
Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Nanda. 2011. Diagnostik keperawatan. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC
Prize, Sylvia dan Wilson Lorraine. 2012. Infeksi Pada Parenkim Paru: Patofisiologi
Konsep Klinis dan Proses-proses Penyakit volume 2 edisi 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC