Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWATDARURAT PADA KLIEN DENGAN

STROKE NON HEMORAGIC DISERTAI PNEMONIA

OLEH :

MARIA TRI CANDRA SULISTYORINI

070116B040

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2017
KONSEP STROKE NON HEMORAGIC

1. Definisi
Stroke non hemoragik adalah suatu keadaankehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh penyumbatan aliran darah arteri yang lamakebagian otak
sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian
(Corwin, 2009).
Stroke Non Haemoragik adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi
aliran darah otak terjadi akibat pembentukan trombus di arteri cerebrum atau
embolis yang mengalir ke otak dan tempat lain di tubuh (Padila, 2012).
Stroke Non Hemoragik dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis
serebral biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di
pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umum baik
(Muttaqin, 2008).
Jadi dapat disimpulkan Stroke Non Hemoragik adalah stroke yang terjadi
karena kurangnya suplai darah ke jaringan otak disebabkan karena adanya
trombosis dan emboli.
2. Klasifikasi
Stroke Non Hemoragik dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses
patologik (kausal). Menurut Padila (2012) bahwa berdasarkan manifestasi klinis
stroke non hemoragik dibedakan menjadi 4 yaitu :
a. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan
menghilang dalam waktu 24 jam.
b. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological
Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari
24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
c. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
d. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.
Sedangkan berdasarkan kausal, stroke non hemoragik dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi akibat oklusi pembuluh darah, biasanya karena
arterosklerosis berat(Corwin, 2009). Trombotik dapat terjadi pada pembuluh
darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Stroke trombotik arteri besar
disebabkan oleh aterosklerosis plak di pembuluh darah besar dari otak. Lokasi
stroke, misalnya pada korteks superficial (tersering arteri serebri media),
serebelum, dan daerah arteri serebral posterior. Stroke trombotik arteri kecil
(stroke lakunar) mengacu pada stroke yang berasal dari satu atau lebih
penetrasi trombotik pada pembuluh darah kecilseperti ganglia basalis,
substantia alba otak, thalamus pons, dan serebelum (Goldszmidt & Caplan,
2011).
b. Stroke Emboli
Stroke embolik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang
terbentuk di luar otak. Sumber umum embolus yang menyebabkan adalah
jantung setelah infark miokardium atau fibrilasi atrium, dan embolus yang
merusak arteri karotis komunis atau aorta (Corwin, 2009).
3. Etiologi
Menurut Smeltzer, Mardella, Yulianto (2013) stroke biasanya diakibatkan oleh
salah satu kejadian ini:
a. Trombosis serebral
Arterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebabutama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling umum
dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala adalah
awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing,
perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak
dapat dibedakan dari haemorrhagi intracerebral atau embolisme serebral.
Secara umum, thrombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan
kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada setengah tubuh
dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endocarditis, infeksi,
penyakit jantung rematik, dan infark miokard, serta infeksi pulmonal adalah
tempat-temapt asal emboli. Mungkin saja bahwa pemasangan katup jantung
prostetik dapat mencetuskan stroke, karena dapat meningkatkan insiden
embolisme setelah prosedur ini. Risiko stroke setelah pemasangan katup dapat
dikurangi dengan terapi antikoagulan, pascaoperatif. Kegagalan pacu jantung,
fibrilasi atrium dan kardioversi unyuk fibrilasi atrium adalah kemungkinan
penyebab lain dari emboli serebral dan stroke. Emboli biasanya menymbat
arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral.
Awitan hemiparesis dan hemiplegia tiba-tiba dengan atau tanpa afasia
atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal
adalah karakteristik dari embolisme serebri.
c. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak. Manifestasi
paling umum SIS.
4. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan dan spasme
vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan
jantung). Arterosklerotik sering/cenderung sebagai faktor penting terhadap otak,
trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Trombus
dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran
darah. Trombus mengakibatkan
a. Iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan
b. edema dan kongesti disekitar area.
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari pada area infark
itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang
sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan
perbaikan. Oleh karena itu trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi
perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi
akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurismepecah atau rupture.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler,
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada palk
serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan kebatang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
dinukleus kaudatus, thalamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral.
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-
6 menit. Perubahan irreversible jika anoksia lebih dari 10 menit, anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif
banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf diarea yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi. Selain
itu pada gangguan sistem motorik terjadi disfungsi neuron paling umum adalah
hemiplegi (paralisis pada salah satu sisi tubuh) dan hemipareses (kelemahan salah
satu sisi tubuh) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan, lesi menduduki pada
kawasan pyramidal sesisi. Tetraplegia terjadi bila lesi terdapat pada medulla
spinalis pada segmen C.5, sedangkan terjadi paraplegi jika terdapat lesi pada
medulla spinalis pada tingkat segmen torakal/lumbal atas, terjadinya gangguan
sistem motorik maka akan muncul masalah gangguan mobilisasi fisik. Apabila
klien terganggu akan mobilitasnya maka akan muncul masalah defisit perawatan
diri. Pada sistem fungsi sensorik apabila terjadi lesi pada seluruh krus posterior
kapsula interna sesisi akan mengalami hemihipestia yang diikuti hemihipestesia
kontralateral. Bila lesi terdapat pada spinotalomik dan traktus spinalis nervus
trigeminus pada oblongata terjadi hipestesia alternansdan bila lesi merusak pada
bagian cauda ekuina terjadi hipestesia inguinal maka akan muncul masalah
keperawatan perubahan persepsi sensori. Pada gangguan fungsi luhur terjadi lesi
pada subkortek serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran sehingga
muncul masalah keperawatan resiko trauma, resiko aspirasi dan resiko kerusakan
integritas kulit akibat penekanan jaringan setempat (Muttaqin, 2008).

5. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer, Mardella, Yulianto (2013) Gejala dari stroke non
hemoragik yang mana tergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang
tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah
kolateral. Adapun gejala stroke non hemoragik adalah:
a. Kehilangan motorik: stroke adalah penyakit neuron atas dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter. Gangguan kontrol volunter pada salah satu sisi
tubuh dapat menunjukan kerusakan pada neuron atas pada sisi yang belawanan
dari otak. Disfungsi neuron paling umum adalah hemiplegi (paralisis pada
salah satu sisi tubuh) dan hemiparises (kelemahan salah satu sisi tubuh)karena
lesi pada sisi otak yang berlawanan, lesi menduduki pada kawasan pyramidal
sesisi. Tetraplegia terjadi bila lesi terdapat pada medulla spinalis pada segmen
C.5. sedangkan terjadi paraplegi jika terdapat lesi pada medulla spinalis pada
tingkat segmen torakal/lumbal atas.
b. Kehilangan komunikasi: fungsi otak lain yang yang dipengaruhi oleh stroke
adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum.
Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut:
1) Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
menghasilkan bicara.
2) Apraksia, ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya.
3) Disfasia atau afasia (kehilangan bicara), ekspresif atau reseptif :
a) Afasia Ekspresif: Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami,
mungkin mampu bicara dalam respon kata tunggal.
b) Afasia Reseptif: Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan,
mampu bicara tetapi tidak masuk akal.
c) Afasia Global: Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
c. Defisit Emosional penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas
emosional, penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi,
menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, perasaan isolasi
d. Penurunan lapang pandang, sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi
tubuh yang paralisis yaitu kesulitan menilai jarak, tidak menyadari orang atau
objek ditempat kehilangan penglihatan.
e. Kehilangan sensori, terjadi pada sisi berlawanan dari lesi yaitu kehilangan
kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh.
f. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, bila kerusakan pada lobus
frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi intelektual mungkin
terganggu. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi.
g. Disfungsi kandung kemih, setelah stroke pasien mungkin mengalami
inkontenensia urinarius karena kerusakan kontrol motorik.
Dilihat dari bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:
Table 2.1
Perbandingan stroke hemisfer kiri dan kanan

Hemisfer kiri Hemisfer kanan


Mengalami hemiparese Hemiparese sebelah kiri
kanan tubuh
Perilaku lambat dan hati- Penilaian buruk
hati Mempunyai kerentanan
Kelainan lapang pandang terhadap sisi kontralateral
kanan sehingga memungkinkan
Disfagia global terjatuh ke sisi yang
Afasia berlawanan tersebut
Mudah frustasi
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Muttaqin (2008) macam – macam pemeriksaan diagnostik yang perlu
dilakukan pada stroke adalah :
a. Angiografi cerebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisme atau malformasi vaskular.
b. Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragi pada subarakhnoid atau perdarahan pada
intrakranial.
c. CT scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara
pasti.
d. MRI (Magnetic ResonanceImaging)
Menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi dan
besar terjadinya perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami
lesi dan infark akibat dari hemoragik.
e. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis)
f. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infrak sehingga menurunnya impuls listrik dalam
jaringan otak.
g. Pemeriksaan laboratorium
1) Lumbal pungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal (xantokhom) sewaktu hari-hari pertama
2) Pemeriksaan darah rutin
3) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemi.
Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian
berangsur-angsur turun kembali
4) Pemeriksaan darah lengkap : untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.
7. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2008) tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan
tanda-tanda vital dengan melakukan tindakan sebagai berikut:
a. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lender
yang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu
pernafasan.
b. Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi klien, termasuk untuk
usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
c. Berusaha menentukan dan memperbaiki aritmia jantung.
d. Menempatkan klien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
klien harus dirubah posisi tiap 2 jam dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
e. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter
Selain itu penatalaksanaan klien stroke dapat dilakukan pengobatan konservatif
meliputi:
1. Diuretika: Untuk menurunkan edema serebral, yang mencapai tingkat
maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral.
2. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi dari tempat
lain dalam kardiovaskuler.
3. Medikasi Anti trombosit: dapat diresepkan karena trombosit memainkan peran
sangat penting dalam pembentukan trombus dan embolisasi.
Adapaun penatalaksanaan lain pada klien stroke non hemoragik Menurut
Muttaqin (2008) dengan pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki aliran
darah serebral :
a. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
b. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya
paling dirasakan oleh klien TIA.
c. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
d. Ligase arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma
A. KONSEP PNEMONIA
1. Definisi
Pneumonia atau radang paru-paru ialah inflamasi paru-paru yang
disebabkan oleh bakteria, virus atau fungi. Ia juga dikenali sebagai pneumonitis,
bronchopneumonia dan community-acquired pneumonia (Mansjoer, 2010).
Menurut Price (2012) pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
biasanya berasal dari suatu infeksi.
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan gangguan pertukaran gas setempat (Dahlan, 2011).
Jadi pneumonia adalah peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh
bakteri, virus atau fungi yang menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat.
Berdasarkan tempat letak anatomisnya, pneumonia dapat diklasifikasikan
menjadi empat, yaitu (Price, 2012):
a) Pneumonia lobaris
Seluruh lobus mengalami konsolidasi, eksudat terutama terdapat intra alveolar.
Pneumococcus dan Klebsiella merupakan organism penyebab tersering.
b) Pneumonia nekrotisasi
Disebabkan oleh jamur dan infeksi tuberkel. Granuloma dapat mengalami
nekrosis kaseosa dan membentuk kavitas.
c) Pneumonia lobular/bronkopneumonia
Adanya penyebaran daerah infeksi yang bebercak dengan diameter sekitar 3
sampai 4 cm yang mengelilingi. Staphylococcus dan Streptococcus adalah
penyebab infeksi tersering.
d) Pneumona interstitial
Adanya peradangan interstitial yang disertai penimbunan infiltrate dalam
dinding alveolus, walaupun rongga alveolar bebas dari eksudat dan tidak ada
konsolidasi. disebabkan oleh virus atau mikoplasma.
Menurut Depkes RI (2012) klasifikasi pneumonia menurut program P2 ISPA
antara lain :
a. Pneumonia sangat berat
Ditandai dengan sianosis sentral dan tidak dapat minum, harus dirawat di
rumah sakit.
b. Pneumonia berat
Ditandai dengan penarikan dinding dada, tanpa sianosis dan dapat minum, di
rawat rumah sakit dan diberi antibiotic.
c. Pneumonia sedang
Ditandai dengan tidak ada penarikan dinding dada dan pernafasan cepat,
tidak perlu dirawat, cukup diberi antibiotik oral.
d. Bukan pneumonia
Hanya batuk tanpa tanda dan gejala seperti di atas, tidak perlu dirawat, tidak
perlu antibiotik.
2. Etiologi
Menurut (Smeltzer and Bare, 20`1) etiologi pneumonia, meliputi :
a. Pneumonia bakterial
Penyebab yang paling sering: Streptoccocus pneumonia
Jenis yan lain :
1) Staphiloccocus aureus menyebakan pneumonia stapilokokus
2) Klebsiella pnemoniae menyebabkan pneumonia klebsiella
3) Pseudomonas aerugilnosa menyebabkan pneumonia pseudomonas
4) Haemophilus influenzae menyebabkan haemophilus influenza
b. Pneumonia atipikal
Penyebab paling sering :
Mycoplasma penumoniae menyebabkan pneumonia mikoplasma
Jenis lain :
1) Legionella pneumophila menyebakan penyakit legionnaires
2) Mycoplasma penumoniae menyebabkan pneumonia mikoplasma
3) Virus influenza tipe A, B, C menyebakan pneumonia virus
4) Penumocyctis carini menyebakan pneumonia pnemosistis carinii (PCP)
5) Aspergillus fumigates menyebakan pneumonia fungi
6) Cipittaci menyebabkan pneumonia klamidia (pneumonia TWAR)
7) Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberculosis
c. Pneumonia juga disebabkan oleh terapi radiasi (terapi radisasi untuk kanker
payudara/paru) biasanya 6 minggu atau lebih setelah pengobatan selesai ini
menyebabkan pneumonia radiasi. Bahan kimia biasanya karena mencerna
kerosin atau inhalasi gas menyebabkan pneumonitis kimiawi. Karena
aspirasi/inhalasi (kandungan lambung) terjadi ketika refleks jalan nafas
protektif hilang seperti yang terjadi pada pasien yang tidak sadar akibat obat-
obatan, alkohol, stroke, henti jantung atau pada keadaan selang nasogastrik
tidak berfungsi yang menyebabkan kandungan lambung mengalir di sekitar
selang yang menyebabkan aspirasi tersembunyi.

3. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik pneumonia menurut Mansjoer (2010):
a. Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit kepala,
iritabel, gelisah, malaise, anoreksia, keluhan gastrointestinal.
b. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipneu, ekspektorasi
sputum, cuping hidung, sesak napas, merintih, dan sianosis. Anak yang lebih
besar lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada.
c. Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam saat bernapas bersama dengan peningkatan frekuensi napas), perkusi
pekak, fremitus melemah, suara napas melemah, dan ronkhi.
d. Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak dada tertinggal di daerah efusi,
perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah, friction rub, nyeri
dada karena iritasi pleura, kaku kuduk/meningismus (iritasi meningen tanpa
inflamasi), nyeri abdomen (kadang terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada
pneumonia lobus kanan bawah).
Sedangkan menurut (Price,2010), yaitu:
a. Pneumonia bacterial
Tanda dan gejala awitan pneumonia pneumococus bersifat mendadak, disertai
menggigil, demam, nyeri pleuritik, batuk, dan sputum yang berwarna seperti
karat. Ronki basah dan gesekan pleura dapat terdengar diatas jaringan yang
terserang, pernafasan cuping hidung, penggunaan otot-otot aksesoris
pernafasan
b. Pneumonia virus
Tanda dan gejala sama seperti gejala influenza, yaitu demam, batuk kering,
sakit kepala, nyeri otot dan kelemahan, nadi cepat, dan bersambungan
(bounding)
c. Pneumonia aspirasi
Tanda dan gejala adalah produksi sputum berbau busuk, dispneu berat,
hipoksemia, takikardi, demam, tanda infeksi sekunder
d. Pneumonia mikoplasma
Tanda dan gejala adalah nadi meningkat, sakit kepala, demam, faringitis.

4. Penatalaksanaan Medis
Menurut Misnadiarly (2008) penatalaksanaan untuk pneumonia bergantung pada
penyebab, sesuai yang ditentukan oleh pemeriksaan sputum mencakup:
a. Oksigen 1 – 2 L/menit
b. IVFD dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 3:1, + KCl 10 mEq/500 ml cairan
c. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikkan suhu, dan status hidrasi
d. jika sesak tidak terlalu berat dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui
selang nasogastrik dengan feeding drip
e. Jika sekresi lender berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier
f. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
g. Antibiotik sesuai hasil biakan atau diberikan untuk kasus pneumonia
community base:
h. Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
i. kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
a. Untuk kasus pneumonia hospital base:
j. Sefatoksim 100 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
k. Amikasin 10 – 15 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian

5. Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009) komplikasi yang sering terjadi menyertai
pneumonia adalah:
a. abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang,
b. efusi pleural adalah terjadi pengumpulan cairan di rongga pleura,
c. empiema adalah efusi pleura yang berisi nanah,
d. gagal nafas,
e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial,
f. meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak,
g. pneumonia interstitial menahun,
h. atelektasis adalah (pengembangan paru yang tidak sempurna) terjadi karena
obstruksi bronkus oleh penumukan sekresi
i. rusaknya jalan nafas,

6. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan membran aveolar-kapiler ditandai
dengan Gas Darah Arteri abnormal, PH artery abnormal,sianosis,nafas cuping
hidung,dan gelisah (rewel)
b. Hipertermia b.d. dehidrasi dan penyakit ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh diatas normal, dan kulit terasa hangat.
c. Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan keluarga aktif ditandai
dengan penurunan turgor kulit, memebran mukosa kering, dan peningkatan
suhu tubuh.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian primer
a. Airway
1) Kaji dan pertahankan jalan napas.
2) Lakukan head tilt, chin lift jika perlu.
3) Gunakan alat batu untuk jalan napas jika perlu.
4) Pertimbangkan untuk merujuk ke ahli anestesi untuk dilakukan intubasi jika
tidak dapat mempertahankan jalan napas.
b. Breathing
1) Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, untuk
mempertahankan saturasi >92%.
2) Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breath mask.
3) Pertimbangkan untuk mendapatkan pernapasan dengan menggunakan bag-
valve-mask ventilation.
4) Lakukan pemeriksaan gas darah arterial untuk mengkaji PaO2 dan PaCO2.
5) Kaji jumlah pernapasan.
6) Lakukan pemeriksan system pernapasan.
7) Dengarkan adanya bunyi pleura.
8) Lakukan pemeriksaan foto thorak.
c. Circulation
1) Kaji heart rate dan ritme, kemungkinan terdengan suara gallop.
2) Kaji peningkatan JVP.
3) Catat tekanan darah.
4) Pemeriksaan EKG.
d. Disability
1) Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.
2) Penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk kondisi ekstrim
dan membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan
di ICU.
e. Exposure
1. Jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik lainnya.
2. Jangan lupa pemeriksaan untuk tanda DVT.
3. Terapi

Pengkajian Sekunder
a. Riwayat penyakit sekarang
Lama menderita hipertensi, hal yang menimbulkan serangan, obat yang pakai
tiap hari dan saat  serangan.
b. Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat makanan.
c. Riwayat perawatan keluarga
Adakah riwayat penyakit hipertensi pada keluarga.
d. Riwayat sosial ekonomi
Jenis pekerjaan, jenis makanan yang berhubungan dengan kenaikan tekanan
darah seperti sodium dan tingkat stressor.

Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis, pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara persistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) Keadaan umum
Umumnya mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami gangguan
bicara yaitu sulit dimengerti kadang tidak bisa bicara dan pada tanda-tanda
vital : tekanan darah meningkat dan denyut nadi bervariasi
2) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronki pada klien dengan peningkatan
produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan
pada klien strok dengan penurunan tingkat kesadaran (koma).
Pada klien dengan tingkat kesadaran komposmentis, pengkajian inspeksi
pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi torak didapatkan taktil vremitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
3) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien strok dimana refleks sirkulasi
sudah tidak baik lagi. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat
terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200mmHg)
4) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat dan aliran darah kolateral (sekunder dan aksesori). Umbra yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya. Peningkatan B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem
lainnya
a) Pengkajian tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator yang
paling sensitive untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
b) Pengkajian fungsi serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal dan hemisfer
(1) Ekspresi Status mental
Kaji status mental klien strokedengan observasi penampilan klien dan
tingkah lakunya dengan melihat cara berpakain klien, kerapihan, dan
kebersihan diri. Observasi postur, sikap, dan gerakan tubuh, ekspresi
wajah. Observasi gaya bahasa klien apakah bicara jelas atau tidak masuk
akal. Observasi kesadaran klien apakah berespon atau mengantuk.
(2) Fungsi intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.
Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk
mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata
(3) Kemampuan bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung pada daerah lesi yang
mempengaruhi fungsi serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan
pada bagian posterior dari girus temporallis superior (area Wernicke)
didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa
lisan dan bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus
frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien
dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya
tidak lancar. Disatria (kesulitan berbicara) ditunjukkan dengan bicara yang
sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot ayng bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara.
(4) Lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang
lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi
yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh
respon alamiah klien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis
lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil,
permusuhan, frustasi, dendam dan kurang kerjasama.
Hemisfer
Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian
buruk dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga
kemungkinan terjatuh ke sisi berlawanan tersebut. Pada stroke hemisfer
kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati,
kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustasi.
c) Pengkajian saraf kranial: pemeriksaan ini meliputi pemerikasaan saraf
kranial I – XII

(1) Saraf I (Nervus Olfaktorius)


Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih.
Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien
dan dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien
diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang
satunya. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman
(2) Saraf II (Nervus Optikus)
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer
diantara mata dan kortek visual. Gangguan hubungan visual- spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial)
sering terlihat pada klien denga hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak
dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidak mampuan dalam
menyocokkan pakaian ke bagian tubuh
(3) Saraf III (Nervus okulomotoris), IV (Nervus Ttroklearsi) dan VI
(Nervus Abdusen)
Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada satu sisi otot - otot
okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral disisi yang sakit
(4) Saraf V (Nervus Trigeminus)
Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigeminus,
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan
rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot
pterigoideus internus dan eksternus
(5) Saraf VII(Nervus Fasialis)
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik kebagian sisi yang sehat (bell’s palsy)
(6) Saraf VIII (Nervus Vestibuloklokearis)
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
(7) Saraf IX (Nervus Glosofaringeal) dan X (Nervus Vagus)
Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut
(8) Saraf XI (Nervus Asesorius )
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
(9) Saraf XII (Nervus Hipoglosus)
Lidah simetris, terdapat defiasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra
pengecapan normal
d) Pengkajian sistem motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik, oleh karena UMN bersilangan,
gangguan control motor volunter dapat menunjukkan kerusakan pada
UMN di sisi yang berlawanan dari otak.
Kaji cara berjalan dan keseimbangan  dengan mengobservasi cara berjalan,
kemudahan berjalan, dan koordinasi gerakan tangan dan kaki. Minta klien
berjalan dengan menyentuhkan ibujari pada tumit kaki yang lain (heel to
toe), minta klien jalan jinjit dan minta klien berjalan dengan bertumpu
pada tumit.
Lakukan romberg test yaitu lakukan pemeriksaan jari dan hidung dengan
mata terbuka dan tertutup, evaluasi perbedaan yang terjadi.
Tes pronasi dan supinasi  dengan meminta klien duduk dan meletakan
telapak tangan di paha, minta untuk melakukan pronasi dan supinasi
bergantian dengan cepat. Observasi kecepatan, irama, dan kehalusan
gerakan.
Melakukan pemeriksaan heel to shin test dengan meminta klien tidur pada
posisi supine, minta klien menggesekkan tuimit telapak kaki kiri sepanjang
tulang tibia tungkai kanan dari bawah lutut sampai ke pergelangan kaki.
Ulangi pada kaki kanan. Observasi kemudahan klien menggerakkan tumit
pada garis lurus. Biasanya didapatkan hasil :
(1) Inspeksi umum didpatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
(2) Fasikulasi didapatkan pada otot-otot ekstremitas
(3) Tonus otot didapatkan meningkat
(4) Kekuatan otot pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan
otot pada sisi sakit didapatkan tingkat nol
(5) Keseimbangan dan koordinasi didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparese dan hemiplegia.
e) Pemeriksaan Refleks
Pemerikasaan reflek terdiri atas pemerikasaan reflek profunda dan
pemeriksaan reflek patologis
(1) Pemeriksaan reflek profunda : pengetukan pada tendon, ligamnetum
atau periosteum derajat reflek pada respon normal
(2) Pemeriksaan reflek patologis : pada fase akut reflek fisiologis sisi yang
lumpuh akan menghilang setelah beberapa hari reflek fisiologis akan
muncul kembali didahului dengan reflek patologis
(3) Gerakan involunter tidak ditemukan adanya tremor, tic dan distonia.
Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum
terutama pada anak dengan stroke disertai peningkatan suhu tubuh
yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder apabila areal fokal kortika
yang peka
f) Pengkajian sistem sensori
Dapat terjadi hemihipestesia yang disebabkan lesi yang menduduki seluruh
krus posterior pada capsula interna. Pada persepsi terdapat
ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi
visual karena gangguan jarak sensori primer diantara mata dan kortek
visual.
Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih
objek dengan area spasial) sering terlihat pada klien hemiplagia kiri. Klien
mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
Kehilangan sensori stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
mungkin lebih berat, dengan kehilangn propriosepsi (kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan audiotorius).
5) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena
konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan
kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang
atau berkurang. Selama periode ini dilakukan kateterisasi intermiten dengan
teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
6) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi.
Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus.
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis
luas.
7) B6 (Bone)
Stroke merupakan penyakit yang mengakibatkan kehilangan kontrol volunter
terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor volunter pada salah satu
sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi
yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia
(paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain. Pada
kulit, jika kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan
maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda
dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami
masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori
atau paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan aliran darah
sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan kontrol otot facial
atau oral.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
4. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan.
5. Deficit perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi.
6. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan Sekret berlebih
7. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama.
8. Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan kesadaran.
I. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO Diagnosa NOC NIC
1. Gangguan perfusi NOC : NIC :
jaringan cerebral
berhubungan 1. Circulation status Peripheral Sensation
dengan gangguan 2. Tissue Prefusion : Management (Manajemen
aliran darah cerebral sensasi perifer)
sekunder akibat Kriteria Hasil :
1. Monitor adanya daerah
peningkatan
1. mendemonstrasikan tertentu yang hanya peka
tekanan
status sirkulasi yang terhadap
intracranial.
ditandai dengan : panas/dingin/tajam/tumpul
a. Tekanan systole 2. Monitor adanya paretese
dandiastole dalam 3. Instruksikan keluarga untuk
rentang yang mengobservasi kulit jika ada
diharapkan lsi atau laserasi
b. Tidak ada 4. Gunakan sarun tangan untuk
ortostatikhipertensi proteksi
c. Tidak ada tanda 5. Batasi gerakan pada kepala,
tanda peningkatan leher dan punggung
tekanan intrakranial 6. Monitor kemampuan BAB
(tidak lebih dari 15 7. Kolaborasi pemberian
mmHg) analgetik
8. Monitor adanya
2. mendemonstrasikan tromboplebitis
kemampuan kognitif 9. Diskusikan menganai
yang ditandai dengan: penyebab perubahan sensasi
a. berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai dengan
kemampuan
b. menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
c. memproses informasi
d. membuat keputusan
dengan benar
e. menunjukkan fungsi
sensori motori
cranial yang utuh :
tingkat kesadaran
mambaik, tidak ada
gerakan gerakan
involunter
1.
3. Gangguan NOC : NIC :
mobilitas fisik 1. Joint Movement Exercise therapy : ambulation
berhubungan :Active 1. Monitoring vital
dengan kerusakan 2. Mobility Level signsebelm/sesudah latihan
neuromuscular 3. Self care : ADLs dan lihatrespon pasien saat
4. Transferperformance latihan
Kriteria hasil: 2. Konsultasikan dengan terapi
1. Klien meningkat fisiktentang rencana
dalamaktivitas fisik ambulasi sesuaidengan
2. Mengerti tujuan kebutuhan
daripeningkatan 3. Bantu klien untuk
mobilitas menggunakantongkat saat
3. Memverbalisasikanpera berjalan dan cegahterhadap
saan cedera
dalammeningkatkankek 4. Ajarkan pasien atau
uatan dankemampuan tenagakesehatan lain tentang
berpindah teknik ambulasi
4. Memperagakanpenggu 5. Kaji kemampuan pasien
naan alat Bantuuntuk dalammobilisasi
mobilisasi (walker) 6. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan ADLs
secara mandiri
sesuaikemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien
saatmobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan
ADLs
1. Berikan alat Bantu jika
klienmemerlukan.
2. Ajarkan pasien bagaimana
merubahposisi dan berikan
bantuan jikadiperlukan

4. Resiko gangguan NOC : NIC :


nutrisi kurang 1. Nutritional Status Nutrision Management
dari kebutuhan 2. Nutritional Status : food 1. Kaji adanya alergi makanan
tubuh and fluid intake 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
berhubungan 3. Nutritional Status : untuk menentukan jumlah
dengan nutrient intake kalori dan nutrisi yang
ketidakmampuan 4. Weight control dibutuhkan pasien
menelan. Kriteria Hasil : 3. Anjurkan pasien untuk
1. Adanya peningkatan meningkatkan intake Fe
berat badan sesuai 4. Anjurkan pasien untuk
dengan tujuan meningkatkan protein dan
2. Berat badan ideal sesuai vitamin C
dengan tinggi badan 5. Monitor jumlah nutrisi dan
3. Mampu mengidentifikasi kandungan kalori
kebutuhan nutrisi 6. Berikan informasi tentang
4. Tidak ada tanda-tanda kebutuhan nutrisi
malnutrisi 7. Kaji kemempuan pasien
5. Menunjukkkan untuk mendapatkan nutrisi
peningkatan fungsi yang dibutuhkan
pengecapan dari menelan Nutrition Monitoring
6. Tidak terjadi penurunan
1. BB pasien dalam batas
berat badan yang berarti normal
2. Monitor adanya penurunan
berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang bisa
dilakukan
4. Monitor lingkungan selama
makan
5. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
6. Monitor mual muntah
7. Monitor kadar albumin,
total protein, Hb, dan kadar
Ht
Monitor kalori dan intake nutrisi

5. Deficit perawatan NOC: NIC:


diri berhubungan
dengan 1. Activity Intolerance Self-Care Assistance:
hemiparese/hemip 2. Mobility: Physical Bathing/Hygiene
legi. impaired
3. Self Care Deficit 1. Monitor kemampuan pasien
Hygiene terhadap perawatan diri
4. Sensory perpeption, 2. Monitor kebutuhan akan
Auditory disturbed personal hygiene,
Kriteria Hasil: berpakaian, toileting dan
makan.
1. Pasien dapat 3. Beri bantuan sampai klien
melakukan aktivitas mempunyai kemapuan untuk
sehari-hari (makan, merawat diri
berpakaian, 4. Bantu klien dalam
kebersihan, toileting, memenuhi kebutuhannya.
ambulasi) 5. Anjurkan klien untuk
2. Kebersihan diri melakukan aktivitas sehari-
pasien terpenuhi. hari sesuai kemampuannya
3. Mengungkapkan 6. Pertahankan aktivitas
secara verbal perawatan diri secara rutin
kepuasan tentang 7. Evaluasi kemampuan klien
kebersihan tubuh dalam memenuhi kebutuhan
dan hygiene oral. sehari-hari.
4. Klien terbebas dari 8. Berikan reinforcement atas
bau badan usaha yang dilakukan dalam
melakukan perawatan diri
sehari hari.

6. ketidakefektifan NOC: NIC :


bersihan jalan 1. Respiratory status : Airway suction
nafas yang Ventilation 1. Pastikan kebutuhan
berhubungan 2. Respiratory status : oral/tracheal suctioning.
secret berlebih 2. Berikan O2  1-2liter/mnt,
Airway patency metode dengan pemasangan
3. Aspiration Control nasal kanul.
3. Anjurkan pasien untuk
Kriteria Hasil : istirahat dan napas dalam
(bagi anak usia diatas 5)
1. Mendemonstrasikan 4. Posisikan pasien untuk
batuk efektif dan suara memaksimalkan ventilasi
nafas yang bersih, tidak 5. Lakukan fisioterapi dada jika
ada sianosis dan perlu
dyspneu (mampu 6. Keluarkan sekret dengan
mengeluarkan sputum, batuk atau suction
bernafas dengan mudah, 7. Auskultasi suara nafas, catat
tidak ada pursed lips) adanya suara tambahan
2. Menunjukkan jalan 8. Berikan bronkodilator 
nafas yang paten (klien 9. Monitor status hemodinamik
tidak merasa tercekik, 10. Berikan pelembab udara
irama nafas, frekuensi Kassa basah NaCl Lembab
pernafasan dalam 11. Berikan antibiotik
rentang normal, tidak 12. Atur intake untuk cairan
ada suara nafas mengoptimalkan
abnormal) keseimbangan.
3. Mampu 13. Monitor respirasi dan status
mengidentifikasikan dan O2
mencegah faktor yang 14. Pertahankan hidrasi yang
penyebab. adekuat untuk mengencerkan
sekret
15. Jelaskan pada pasien dan
keluarga tentang penggunaan
peralatan : O2, Suction,
Inhalasi.

7. Resiko gangguan NOC: NIC :


integritas kulit
berhubungan 1. Tissue Integrity : Pressure Management
dengan tirah Skin and Mucous
baring lama. Membranes 1. Anjurkan pasien untuk
menggunakan pakaian
2. Hemodyalis Akses  yang longgar
2. Hindari kerutan padaa
Kriteria Hasil : tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar
1. Integritas kulit yang tetap bersih dan kering
baik bisa 4. Mobilisasi pasien (ubah
dipertahankan posisi pasien) setiap dua
jam sekali
2. Melaporkan adanya 5. Monitor kulit akan
gangguan sensasi adanya kemerahan
atau nyeri pada 6. Oleskan lotion atau
daerah kulit yang minyak/baby oil pada
mengalami derah yang tertekan
7. Monitor aktivitas dan
gangguan mobilisasi pasien
8. Monitor status nutrisi
3. Menunjukkan pasien
pemahaman dalam 9. Memandikan pasien
proses perbaikan dengan sabun dan air
kulit dan mencegah hangat
terjadinya sedera 10. Inspeksi kulit terutama
berulang pada tulang-tulang yang
menonjol dan titik-titik
4. Mampu melindungi tekanan ketika merubah
kulit dan posisi pasien.
mempertahankan 11. Jaga kebersihan alat
kelembaban kulit tenun.
dan perawatan alami

8. Gangguan NOC: NIC


eliminasi uri 1. Urinary elimination Urinary Retention Care
(incontinensia uri) 2. Urinary Contiunence 1. Monitor intake dan output
yang 2. Monitor penggunaan obat
berhubungan Kriteria hasil: antikolinergik
dengan penurunan 1. Kandung kemih 3. Monitor derajat distensi
sensasi, disfungsi kosongsecarapenuh bladder
kognitif, 2. Tidak ada residu 4. Instruksikan pada pasien dan
ketidakmampuan urine>100-200 cc keluarga untuk mencatat
untuk 3. Intake cairan output urine
berkomunikasi dalamrentang normal 5. Sediakan privacy untuk
4. Bebas dari ISK eliminasi
5. Tidak ada 6. Stimulasi reflek bladder
spasmebladderBalance dengan kompres dingin pada
cairan seimbang abdomen.
7. Kateterisaai jika perlu
8. Monitor tanda dan gejala
ISK (panas, hematuria,
perubahan bau dan
konsistensi urine)

9. Risiko jatuh NOC NIC


berhubungan 1. Trauma Risk For Fall Prevention
dengan penurunan 2. Injury Risk for 1. Mengidentifikasi faktor
kesadaran. Kriteria Hasil : resiko pasien terjadinya jatuh
1. Keseimbangan
2. Gerakan terkoordinasi : 2. kaji kemampuan mobilitas
kemampuan otot untuk pasien
bekerja sama secara
3. Monitor tanda – tanda vital
volunteer untuk
melakukan geraka yang 4. Bantu pasien dalam berjalan
bertujuan atau mobilisasi
3. Prilaku pencegahan jatuh
4. Tidak ada kejadian jatuh 5. Ciptakan lingkungan yang
aman bagi pasien
6. Berikan alat Bantu jika
diperlukan
7. Libatkan keluarga dalam
membatu pasien mobilisasi.

No Diagnosa Tujuan dan kreteria hasil Intervensi


1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan NIC label
pertukaran gas b.d. keperawatan selama 4x 24 Respiratory Monitoring
perubahan membran jam diharapkan pertukaran 1. Monitor laju ritme dari nafas
aveolar-kapiler gas adekuat dengan kreteria 2. Monitor suara nafas tambahan
ditandai dengan Gas hasil : seperti snoring
Darah Arteri NOC label 3. Monitor peningkatan
abnormal, PH artery Respiratory status kelelahan
abnormal,sianosis,na  RR normal (skla 5) 4. Monitor peningatan
fas cuping  Ritme respiratory kegelisahan, dan kekurangan
hidung,dan gelisah normal (skala 5) oksigen
(rewel)  Kedalaman nafas 5. Monitor sekresi dari sistem
normal (skala 5) pernafasan pasien

 Akumulasi sputum
tidak ada (skala 5) 6. Berikan terapi perawatan

Respiratory status :Gas nebulizer sesuai kebutuhan

exchange Oxigen therapy

 Tekanan parsial 7. Bersihkan skresi mulut hidung

karbondioksida pada dan trakea sesuai kebutuhan

darah arteri normal 8. Memeberikan terapi oksigen

(skala 5) sesuai kebutuhan

 pH arteri normal (skala 9. Monitor aliran oksigen

5) 10. Monitor kerusakan kulit dari


gesekan dengan selang
 Tidak terjadi sianosis
oksigen
(skala 5)
2. Hipertermia b.d. Setelah dilakukan tindakan NIC : Vital Signs Monitoring
dehidrasi dan keperawatan selama 4x 24 1. Monitor TTV pasien (tekanan
penyakit ditandai jam diharapkan suhu tubuh darah, nadi, suhu, dan
dengan peningkatan pasien dalam batas normal pernapasan).
suhu tubuh diatas dengan kriteria hasil : 2. Monitor dan laporkan tanda
normal, dan kulit NOC : Vital Signs dan gejala hipertermi.
terasa hangat. - Suhu tubuh dalam batas
normal (36-37,50C) 3. Kaji warna kulit, suhu,
dengan skala 5. kelembapan.
TTV dalam rentang normal 4. Identifikasi kemungkinan
(tekanan darah, nadi, penyebab perubahan tanda
pernapasan) dengan skala 5. vital.
NIC : Temperatur Regulation
5. Anjurkan penggunaan selimut
hangat untuk menyesuaikan
perubahan suhu tubuh.
6. Anjurkan asupan nutrisi dan
cairan adekuat.
NIC : Fever Treatment
7. Anjurkan pemberian kompres
hangat.
3. Kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan NIC label: Fluid management
cairan b.d. keperawatan selama 4x 24 1. Monitoring status hidrasi
kehilangan cairan jam diharapkan kebutuhan (kelembaban membrane
keluarga aktif volume cairan pasien mukosa, nadi yang adekuat)
ditandai dengan terpenuhi dengan kriteria secara tepat
penurunan turgor hasil : 2. Atur catatan intake dan
kulit, memebran Noc label: output cairan secara akurat
mukosa kering, dan Hydrasi: 3. Beri cairan yang sesuai
peningkatan suhu - Turgor kulit kembali Fluid monitoring:
tubuh. normal (skala 5) 4. Identifikasi factor risiko
- Membrane mukosa ketidakseimbangan cairan
tampak lembab (skala 5) (hipertermi, infeksi, muntah
- Intake cairan yang dan diare)
adekuat (skala 5) 5. Monitoring tekanan darah,
- Tidak terdapat diare nadi dan RR

(skala 5) IV teraphy:
Fluid balance: 6. Lakukan 5 benar
- Nadi normal (skala 5) pemberian terapi infuse (benar
- Intake dan output cairan obat, dosis, pasien, rute,
seimbang dalam frekuensi)
sehari(skala 5) 7. Monitoring tetesan dan
tempat IV selama pemberian
Diarrhea managemenet:
8. Monitoring tanda dan gejala
diare
9. Ketahui penyebab diare
10. Evaluasi mengenai pengobatan
terhadap efek gastrointestinal
11. Instruksikan keluarga untuk
memantau warna, volume,
frekuensi dan konsistensi feses
12. Monitoring kulit dan perianal
pasien untuk mengethui
adanya iritasi dan ulserasi
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria. 2016. Nursing Interventions Classifications (NIC) Edisi 6.CV.
Mocomedia: Indonesia

Junaidi, I. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya.Penerbit Andi, Yogyakarta

Moorhead, 2016.Nursing Outcomes Classifications (NOC) Edisi 5.CV. Mocomedia:


Indonesia

NANDA Internasional.2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran. EGC

Nanda Nic-Noc.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan


Nanda,JilidIII.Jakarta:MediaActionPublishing

Perry & Potter.2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses Dan
Praktik. Edisi 4.Jakarta : EGC.

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Jakarta, EGC, 2010.
Sudoyo Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3, Edisi Keempat.
Jakarta: Internal Publishing.
Bare Brenda G & Smeltzer Suzan C. (2007). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8,
Vol. 1, EGC, Jakarta.
Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, Arief dkk. (2010). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI
Jakarta
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik Mycobacterium.
Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Nanda. 2011. Diagnostik keperawatan. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC
Prize, Sylvia dan Wilson Lorraine. 2012. Infeksi Pada Parenkim Paru: Patofisiologi
Konsep Klinis dan Proses-proses Penyakit volume 2 edisi 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai