Anda di halaman 1dari 3

Angklung Gubrag, Kesenian yang Lahir dari Budaya Tanam Masyarakat Adat

Angklung Gubrag merupakan kesenian yang lekat hubungannya dengan kebudayaan Sunda. Kesenian
yang sudah ada sejak zaman kasepuhan ini merupakan salah satu bentuk seni dari pola kehidupan
masyarakat Sunda yang agraris. Dahulu, ketika ingin menanam dan memanen padi, masyarakat Sunda
menggunakan angklung gubrag sebagai iringan. Bagi masyarakat Sunda tempo dulu, hal-hal yang
berkaitan dengan perladangan dianggap sebagai suatu yang sakral. Karena diangggap sakral, maka
setiap masyarakat yang hendak menanam dan memanen padi harus dilalui dengan sebuah ritual.

Abah Ukat, salah seorang dari kampung Budaya Sindang Barang mengatakan, sejak dulu orang Sunda
menentukan hari tanam dengan menggunakan ilmu perbintangan, kalau bintangnya sudah terlihat,
maka besoknya masyarakat sudah mulai nandur, sudah mulai nanam. Jika jatuhnya hari Minggu, maka
ketika nandur diharuskan menghadap ke selatan karena sudah ada hitung-hitungannya, tiap-tiap hari itu
mempunyai hitung-hitungan yang berbeda. Pada saat nandur itulah, masyarakat menggunakan angklung
gubrag sebagai iring-iringannya.

Penggunaan angklung gubrag sebagai iring-iringan saat nandur bukan tanpa alasan. Masyarakat Sunda
meyakini bahwa suara rampak yang keluar dari angklung gubrag dipercaya dapat menggetarkan
tumbuhan, sehingga padi dapat cepat tumbuh. “Pernah datang peneliti dari Jepang ke sini, ternyata
memang benar, seharusnya padi diberi bunyi-bunyian dan diperlakukan layaknya sesama makhluk hidup
agar mereka cepat tumbuh di tengah-tengah kita. Jepang memang sudah maju, tapi mereka tidak
meninggalkan akar tradisi yang berkembang di masyarakat, tidak seperti kita,” kata Abah Ukat
melanjutkan.

Secara umum Angklung Gubrag terbuat dari bambu hitam, karena selain banyak ditemukan di wilayah
Jawa Barat, bambu hitam juga dapat menghasilkan suara yang lebih nyaring ketimbang jenis bambu
yang lain. Bagian atas angklung gubrag dihias dengan kembang wiru, yang akan bergoyang jika angklung
dimainkan. Berbeda dengan angklung pada umumnya, angklung gubrag tidak mempunyai tangga nada.
Meski demikian, angklung jenis ini terdiri dari 6 bilah angklung yang masing-masing diberi nama, antara
lain bibit, anak bibit, engklok 1, engklok 2, gonjing, dan panembal.

Berdasarkan perkembangannya, kini angklung gubrag tidak hanya dimainkan saat nandur saja, tetapi
dimainkan juga dalam berbagai acara, seperti penyambutan tamu agung, pernikahan adat, dan di
berbagai ritual dalam seren taun. Pemain angklung gubrag diharuskan memakai baju kampret dan
celana pangsi, dilengkapi dengan penutup kepala atau iket. Dahulu yang memainkan angklung gubrag
adalah perempuan, karena berhubungan dengan dewi kesuburan, namun kini tidak hanya perempuan
yang boleh memainkan agklung gubrag. Di daerah Jasinga misalnya, pemain angklung gubrag adalah
laki-laki dewasa. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia
tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal
pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).

Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim
paceklik.

Awalnya, angklung adalah alat musik yang tidak memiliki nada suara. Angklung kuno tidak memiliki
irama dan hanya berbunyi "gubrak". Lantaran itulah, dahulu kala, angklung yang tak memiliki nada
disebut dengan angklung gubrak.

Angklung Gubrak merupakan perpaduan alat musik angklung yang terbuat dari bambu berukuran
panjang mencapai sekitar 50 hingga 100 centimeter. Menurut sejarahnya, angklung gubrak yang konon
telah ada di daerah Bogor sejak 400 tahun lalu ini selalu menjadi musik pengiring ketika menggelar acara
panen padi. Mereka percaya, alunan nada yang berasal dari angklung tersebut, nantinya dapat
membuat padi yang akan mereka tanam kembali dapat tumbuh dengan subur.

Angklung Gubrag Merupakan salah satu kesenian tradisional yang sudah langka. Namun masyarakat
Desa Kemuning, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten masih melestarikan kesenian
Angklung Gubrag pada acara khitanan, perkimpoian dan selamatan kehamilan.

Pada masa lalu kesenian Angklung Gubrag dilaksanakan pada saat ritual penanaman padi dengan
maksud agar hasil panen berlimpah.

Instrumen yang digunakan 6 buah angklung menggunakan bambu hitam, masing-masing memiliki nama:
bibit, anak bibit, engklok 1, engklok 2, gonjing dan panembal, dilengkapi dengan terompet kendang
pencak dan seruling.
Di atas angklung dikaitkan pita yang berasal dari kembang wiru, menurut kepercayaan kembang wiru
dan air yang berasal dari angklung dipercaya dapat menjadi obat dan penyubur tanaman.

Semua pemain berdiri tidak menari kecuali penabuh dogdog lojor menabuh sambil ngibing diiringi
beberapa penari perempuan dengan kostum kebaya dan kain.

Angklung sendiri adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang
dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu.

Dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga
menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik
besar maupun kecil.

Alat musik angklung telah terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi
Manusia dari UNESCO sejak November 2010.

Anda mungkin juga menyukai