Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PATOFISIOLOGI PRAKTIKUM

SYOK ANAFILAKTIK

DOSEN PEMBIMBING

Asri Wido Mukti, S.Farm.,M.Farm.Klin, Apt.

DI SUSUN OLEH :

1. Lisa Dahyanti (194010029)


2. Sherly Sumarnita Yolanda (194010031)
3. Talitha Dwi Cahyaningrum (194010033)
4. Muhammad Ilham Ubaydillah (194010047)
5. Muhammad Fajar Ramadhana (194010050)

UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA


FAKULTAS SAINS KESEHATAN
FARMASI
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kamin dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammd SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di
akhirat nanti.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dadri kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Surabaya, 06 Desember 2019

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................ i

Daftar Isi .................................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1


1.2.Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3.Tujuan Masalah ............................................................................ 2

BAB II Pembahasan

2.1. Definisi ......................................................................................... 3


2.2. Etimologi ...................................................................................... 4
2.3. Patofisiologi .................................................................................. 5
2.4. Manifestasi Klinis .......................................................................... 9
2.5. Terapi (Farmakologi dan Non-Farmakologi .................................. 11

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan .................................................................................. 15

Daftar Pustaka .......................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Secara harfiah, anafilaktik berasal dari kata ana yang berarti
balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini
respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru
merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan daripada melindungi
(anti-phylaxis atau anaphylaxis). Syok anafilaktik adalah suatu
respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh immunoglobulin E
(hipersensivitas tipe I) yang di tandai dengan curah jntung dan
takanan arteri yang menurun hebat. Hal ini di sebabkan oleh
adanya suatu reaksiantigen-antibodi yang timbul segera setelah
suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik
merupakan salah satu manifestasi klinis dari nafilkatik yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang
nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan
terjadinya kematian.

1
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan syok anafilaktik ?
b. Apa yang saja faktor-faktor penyebab syok anafilaktik ?
c. Bagaimana gangguan pada organisme yang sakit ?
d. Apa saja tanda-tanda klinis syok anafilaktik ?
e. Apa terapi yang digunakan untuk syok anafilaktik baik
farmakologi ataupun non-farmakologi ?

1.3. Tujuan Penulisan


a. Memberikan pengertian mengenai syok anafilaktik.
b. Mengetahui semua faktor-faktor penyebab anafilaktik.
c. Memberi pengetahuan akan gangguan yang terjadi dari syok
anafilaktik.
d. Mengetahui tanda-tanda klinis syok anafilaktik.
e. Mengetahui cara menangani syok anafilaktik secara farmakologi
dan non-farmakologi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Secara harfiah, anafilaktik berasal dari kata ana yang berarti
balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini
respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru
merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan daripada melindungi
(anti-phylaxis atau anaphylaxis).

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang


diperantarai oleh immunoglobulin E (hipersensivitas tipe I) yang di
tandai dengan curah jntung dan takanan arteri yang menurun
hebat. Hal ini di sebabkan oleh adanya suatu reaksiantigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif
masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu
manifestasi klinis dari nafilkatik yang merupakan syok distributif,
ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi
mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok
anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis

3
yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada
anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran nafas.

Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang


disebabkan oleh alergi.

Syok anafilaktik adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon


hipersensitivitas generalisata yang diperantai oleh IgE
menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas
vascular.

Syok anafilkatik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun


melalui suntikan atau cairan lain.

2.2. Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui
mekanisme IgE maupun melalui non-IgE . Tentu saja selain obat
ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan
jasmani, serangan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air
yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksis
penyebabnya tidak diketahui.
Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
a. Anafilaksis (melalui IgE)
1) Antibiotik ( penisilin, sefalosporin)

4
2) Ekstra alergen (bisa tawon, polen)
3) Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
4) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
b. Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung :
1) Obat (opiat, vankomisin, kurare)
2) Cairan hipertonik (media radiokontrks, manitol)
3) Obat lain (dekstran, flouresens)
4) Aktivasi komplemen
5) Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah
lainnya)
6) Bahan dialysis
7) Modulasi metabolism
8) Asam asetilsalisilat
9) Antiinflamasi nonsteroid

2.3. Patofisiologi
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem
imun yang menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan
mediator. Aktivasi sel mast dapat terjadi baik oleh jalur yang
dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang tidak
dimediasi IgE (anafilaktoid). Pencetus syok anafilaktik meliputi
gigitan atau sengatan serangga, obat-obatan dan makanan;
anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator gadar meliputi
5
histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan,
mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan
tonus otot polos bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus
vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut
menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular.
(Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal.
24)

Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara


yaitu kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan
melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian
masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan /
suntikan.

Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh


protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya
menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan
merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel
precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau
reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor
ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta membebaskan
antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat
oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan
basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini

6
berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama. Proses
yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.

Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang


sama, maka antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab
yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE – Ag.
Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil
mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator
endogen seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet Activating
Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan
mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan
reaksi hipersensitivitas.

Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase


akut dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka
biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan
antihistamin.

Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan
basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di
membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase
berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi
prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting
Substance of Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-

7
mediator endogen anafilaksis. Karena proses terbentuknya
mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase
lambat anafilaksis.

Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam


tubuh dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma
dan menyebabkan pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil
tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses
ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda
serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem
yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi
kinin, pelepasan histamine secara langsung, narkotika, obat
pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium, antibiotika : vankomisin,
polimiksin B.

Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang


terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan
sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa:
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang
relative.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme
bronkus mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika
urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi usus
menyebabkan diare.

8
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang
mengakibatkan edema karena pergeseran cairan dari
intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi
intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama
di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan
depresi miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium
yang bila sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung
mendadak.

Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase


lambat dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat
dibandingkan dengan yang disebabkan oleh histamine.
Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga
dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan
histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF.

2.4. Manifestasi Klinis

Gejala klinis suatu reaksi anafilaktik berbeda-beda gradasinya


sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok
anafilaktik gejala yang menonjol adalag ganggunan sirkulasi dan
9
gangguan respirasi. Dua ganguuan tersebut dapat timbul
bersamaan atau beruruan yang kronologisnya sangat bervariasi dari
beberapa detik sampai beberapa jam.

Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:


a) Umum : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar
dilukiskan
Prodormal : Rasa tak enak di dada, dan perut, rasa
gatal di hidung dan Palatum.

b) Pernapasan :
1) Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
2) Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas,
stridor, edema.
3) Lidah : edema.
4) Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.

c) Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia,


hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG :
gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard.
d) Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare
yang kadang-kadang disertai darah, peristaltik usus
meninggi.

10
e) Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau
ekstermitas.
f) Mata : gatal, lakrimasi
g) Susunan saraf pusat : gelisah, kejang.

2.5. Terapi ( Farmakologi dan Non-Farmakologi )


1) Terapi Farmakologi
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari
kecepatan diagnosa dan pengolahannya.
a) Adrenalin merupakan druf of choice dari syok
anafilkatik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu :
 Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuta,
sehingga penderita dengan cepat terhindar dari
hipoksia yang merupakan pembuluh utama.
 Adrenalin merupakan vaskonstriktor pembuluh darah
yang inotropik yng kuat sehingga tekanan darah
dengan cepat naik kembali.
 Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui
peningkatan produksi cyclic AMP sehingga produksi
dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang
atau berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya, 0,3 – 0,5 ml adrenalin


dari larutan 1:1000 diberikan secara intrauskuler yang
11
dapat cukup singkat. Jika respon pemberian secara
intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara
intraveonus setelah 0,1 - 0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologi, diberikan
perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya
dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambar
bahkan mungkin tidak ada akibat vasokontraksi pada
kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.

b) Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hti apabila
bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin
250 mg aminifilin diberikan perlahan-lahan selama 10
menit intraven. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui
drips infus bila dianggap perlu.

c) Antihistamin dan kortokostrioid


Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat
tersebut kurang menfaatnya pada tingkat syok
anafilaktik sebab keuanya hanya mampu menetralkan
chemical mediator yang lepas dan tidak menghentikan
produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai
membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa
serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang
12
bisa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV
dan untuk golongan kortokostreroid dapat digunakan
deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrocostison 100-250
mg IV.

Obat yang dibutuhkan :


 Adrenalin
 Aminofilin
 Antihistamin
 Kortikosteroid

2) Terapi Non-Farmakologi
a. Pemberian oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi,
pemberian O2 3 – 5 liter / menit harus dilakukan. Pada
keadaan yang amat ekstrim tindakan trankeostomi atau
kritiroidektomi perlu dipertimbngkan.

b. Posisi Trendelenbrurg
Posisi trendelenbrug atau berbaring dengan kedua
tungkai diangkat (diginjal dengan kursi) akan membantu
13
menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut
meningkat.

14
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
 Syok anafilaktik merupakan reaksi alergi yang tergolong
emergency life-threatening.
 Pemberian antihistamin dan steroid pra-exposure dilaporkan
sangat bermanfaat.
 Drug of Choice dari syok anafilaktik adalah adrenalin.

15
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr, H. Tabrani. Rab,. Agenda Gawat Darurat (Critical Care).


Hal 103.
Robbins, Cotrain. Dasar Patofiologi Penyakit edisi 7. Hal 144.
Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I. Hal 622.
Rehatta MN. 2000. Syok Anafilaktik Patofisiologi dan Penanganan:
update on shock. Surabaya: Penerbit Airlangga.
Martin. 2000. Fundamentals Anatomy and Physiology, 5th. Hal : 788.

16

Anda mungkin juga menyukai