Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hidrothermal adalah larutan sisa magma yang bersifat “aqueous” sebagai hasil
differensiasi magma. Hidrothermal ini kaya akan logam-logam yang relative ringan, dan
merupakan sumber terbesar (90%) dari proses pembentukan endapan. Berdasarkan cara
pembentukan endapan, dikenal dua macam endapan hidrothermal, yaitu :
 Cavity filing, mengisi lubang-lubang (opening-opening) yang sudah ada di dalam
batuan.
 Metasomatisme, mengganti unsur-unsur yang telah ada dalam batuan dengan unsur-
unsur baru dari larutan hidrothermal.
Endapan hidrotermal dibentuk oleh sirkulasi fluida panas (50° sampai >500°C), secara
lateral dan vertikal pada temperatur dan tekanan yang bervariasi di bawah permukaan bumi.
Sistem ini mengandung dua komponen utama, yaitu sumber panas dan fase fluida. Sirkulasi
fluida hidrotermal menyebabkan himpunan mineral pada batuan dinding menjadi tidak stabil
dan cenderung menyesuaikan kesetimbangan baru dengan membentuk himpunan mineral
yang sesuai dengan kondisi yang baru, yang dikenal sebagai alterasi (ubahan) hidrotermal.
Endapan mineral hidrotermal dapat terbentuk karena sirkulasi fluida hidrotermal yang
melindi (leaching), mentranspor, dan mengendapkan mineral-mineral baru sebagai respon
terhadap perubahan fisik maupun kimiawi ( Pirajno, 1992, dalam Sutarto, 2004 ).
Alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada
batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan hidrotermal (White, 1996). Interaksi antara
larutan hidrotermal dan batuan tersebutakan menghasilkan mineral –mineralsekunder yang
kehadiran dan kelimpahannya tergantung oleh kondisi fisika dan kimia tertentu (Browne,
1999). Terdapat enam faktor yang mempengaruhi pembentukan mineral sekunder
dalam sistem hidrotermal (Brown 1978 op. cit. Browne, 1999), yaitu temperatur,
sifat kimia larutan hidrotermal, komposisi larutan hidrotermal, komposisi batuan
samping, durasi aktivitas hidrotermal, dan permeabilitas batuan.
Analsisis pada sampel hidrotermal dapat dilakukan dengan menggunakan metoda X-
Ray Diffraction, X-Ray Flouresence, Inklusi Fluida, Stabil Isotop dan analisis dengan
menggunakan metode petrografi. Namun pada makalah ini, saya hanya akan membahas
tentang metoda analisis X-Ray Flouresence (XRF) pada hidrotermal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan alterasis hidrotermal?
2. Apa yang dimaksud dengan metode X-Ray Flourescence?
3. Bagaimana analisis dengan menggunakan metode X-Ray Flourescence (XRF) pada
sampel hidrotermal?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah metoda analisis dengan menggunakan X-Ray
Flourescence dalam endapan hidrotermal adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui alterasi hidrotermal
2. Untuk mengetahui metode X-Ray Flourescence
3. Untuk mengetahui analisis dengan menggunakan metode X-Ray Flourescence (XRF)
pada sampel hidrotermal.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Alterasi Hidrotermal


Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100–500oC) sisa pendinginan
magma yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya dan membentuk mineral-
mineral tertentu. Secara umum cairan sisa kristalisasi magma tersebut bersifat silika yang
kaya alumina, alkali dan alkali tanah yang mengandung air dan unsur-unsur volatil (Bateman,
1981). Larutan hidrotermal terbentuk pada bagian akhir dari siklus pembekuan magma dan
umumnya terakumulasi pada litologi dengan permeabilitas tinggi atau pada zona lemah.
Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya (wall rocks) akan
menyebabkan terubahnya mineral primer menjadi mineral sekunder (alteration minerals).
Proses terubahnya mineral primer menjadi mineral sekunder akibat interaksi batuan dengan
larutan hidrotermal disebut dengan proses alterasi hidrotermal.

Gambar 2.1 Sistem Hidrotermal (Pirajno,1992)


White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan
komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan hidrotermal.
Larutan hidrotermal adalah suatu cairan panas yang berasal dari kulit bumi yang bergerak ke
atas dengan membawa komponen- komponen pembentuk mineral bijih (Bateman dan Jensen,
1981). Larutan hidrotermal pada suatu sistem dapat berasal dari air magmatik, air meteorik,
connate atau air yang berisi mineral yang dihasilkan selama proses metamorfisme yang
menjadi panas di dalam bumi dan menjadi larutan hidrotermal. Ketika terjadi kontak batuan
dengan larutan hidrotermal, maka terjadi perubahan mineralogi dan perubahan kimia antara
batuan dan larutan, di luar kesetimbangan kimia dan kemudian larutan akan mencoba
kembali membentuk kesetimbangan.
Menurut Browne (1999), dua proses utama pembentukan alterasi hidrotermal
adalah sebagai berikut :
1. Pengendapan mineral langsung (direct deposition) dari larutannyayang mengisi
urat atau rongga.
2. Penggantian (replacement) terhadap mineral primer yang tidak stabil pada
lingkungan panasbumi dan kemudian terbentuklah mineral sekunder yang lebih
stabil pada kondisi baru.
Menurut Browne (1991), faktor yang mempengaruhi alterasi hidrotermal adalah
sebagai berikut :
 temperatur,
 sifat kimia larutan hidrotermal,
 konsentrasi larutan hidrotermal,
 komposisi batuan samping,
 durasi aktivitas hidrotermal,
 permeabilitas.
Beberapa hal yang menjadi faktor yang mempengaruhi pembentukan mineral dalam
sistem hidrotermal meliputi :
a. Karakter batuan samping, karakter fluida (Eh, pH), kondisi tekanan maupun
temperatur pada saat reaksi berlangsung (Guilbert dan Park,1986).
b. Konsentrasi serta lamanya aktivitas hidrotermal (Browne, 1991 op. cit. Corbett dan
Leach, 1997).
c. Temperatur dan kimia fluida (Corbett dan Leach, 1997).
Dalam beberapa sistem hidrotermal, pembagian mineral alterasi juga dilakukan
berdasarkan kehadiran mineral lempung dan Kalk-silika. Pengelompokan mineral penciri
temperatur berdasarkan kehadiran mineral lempung ini didasari pengertian bahwa mineral
yang sangat sensitif terhadap perubahan temperatur adalah mineral dengan kandungan
gugus OH dan n-H2O, mineral tersebut meliputi mineral- mineral lempung dan zeolit.
Reyes (1990) membagi mineral penciri temperatur berdasarkan kondisi pH asam-netral
larutan hidrotermal seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
Tabel 2.1 Himpunan mineral ubahan yang menunjukkan kondisi temperatur dan fluida
hidrotermal yang bersifat netral (Reyes, 1990, dalam Browne, 1999).

Reaksi hidrotermal pada fase tertentu akan menghasilkan kumpulan mineral


tertentu tergantung dari temperatur dan pH fluida dan disebut sebagai himpunan mineral
(Guilbert dan Park, 1986), sehingga dengan munculnya mineral alterasi tertentu akan
menunjukkan komposisi pH larutan dan temperatur fluida (Reyes, 1990 dalam Corbett dan
Leach, 1996). Kingston Morrison (1995) menjabarkan mineral-mineral hidrotermal yang
menjadi penunjuk temperatur pembentukan mineral yang terbentuk dari alterasi batuan
pada kondisi pH asam- netral (Tabel 2.1).
Tabel 2.2 Mineral alterasi penunjuk temperatur (Kingston Morrison, 1995).

Mineral-mineral alterasi yang dihasilkan dari proses ubahan hidrotermal terjadi


melalui empat cara, yaitu pengendapan langsung dari larutan pada rongga, pori, retakan
membentuk urat; penggantian pada mineral primer batuan guna mencapai kesetimbangan
pada kondisi dan lingkungan yang baru; pelarutan dari mineral primer batuan; dan
pelamparan akibat arus turbulen dari zona didih (Browne, 1991).
Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan mineral alterasi
disebut sebagai zona alterasi (Guilbert dan Park, 1986). Tabel 2.2 memperlihatkan zona
alterasi yang ditunjukkan oleh himpunan mineral tertentu dan tipe mineralisasinya
berdasarkan hubungan antara temperatur dan pH larutan yang dibuat oleh Corbett dan Leach
(1996).

2.1.1 Klasifikasi Alterasi Hidrotermal


Lowell dan Guilbert (1970) membagi zona alterasi menjadi 5 bagian (Gambar 2.1)
berdasarkan keterdapatan mineral alterasi akibat pengaruh, penurunan temperatur, variasi pH
larutan hidortermal, dan pengaruh air meteorik. Zona alterasi tersebut yaitu :
1. Potasik : zona ini dicirikan dengan kehadiran biotit sekunder dan k-feldspar
sekunder, serta magnetit, serisit, anhidrit, dan sedikit mineral sulfida (kalkopirit,
bornit, pirit, dan molibdenit) yang berada di dalam veinlets dan tersebar dalam
zona K-silikat. Zona potasik terbentuk pada saat awal terbentuk tubuh intrusi
porfiri.
2. Filik : zona ini dicirikan dengan rangkaian mineral serisit, kuarsa, dan pirit.
Mineral bijih yang dijumpai terdiri dari kalkopirit, molibdenit, kasiterit,
native gold (Au). Zona ini mengandung banyak pirit paling banyak, sehingga
sering disebut zona pirit. Zona ini terbentuk akibat hadirnya influks air yang
memiliki temperatur yang lebih rendah dan pH yang lebih asam.
3. Argilik : zona ini terdiri atas mineral lempung argilik seperti kaolinit dan
monmorilonit. Kehadiran zona ini diakibatkan karena makin intensifnya influks air
meteorik yang memiliki temperatur yang lebih rendah dan nilai pH yang lebih
rendah.
4. Argilik Lanjut (Advanced Argillic) : Terdiri dari fasa mineral pada kondisi pH
rendah, yang dicirikan oleh kehadiran mineral alunit, diaspor, dan pirofilit.
5. Propilitik : zona ini memiliki penyebaran yang luas dan sangat sedikit yang
berhubungan langsung dengan mineralisasi, dicirikan dengan kehadiran klorit,
kalsit, epidot, dan pirit. Pada zona propilitik ini penurunan temperatur memegang
peranan dominan dalam kondisi pH netral sampai alkali.

Gambar 2.1. Model alterasi endapan porfiri tembaga (Lowell dan Guilbert, 1970).
2.1.2 Tipe Endapan Hidrotermal
Selain alterasi atau ubahan yang terbentuk dalam suatu sistem hidroterrmal,
Lindgreen (1933; dalam Bateman dan Jensen, 1991) membagi endapan hidrotermal
menjadi 3 tipe endapan berbeda berdasarkan hubungan temperatur, tekanan, dan kondisi
geologi yang tercermin dari mineral-mineral yang terbentuk. Tipe endapan tersebut,
adalah sebagai berikut :
1. Endapan hipotermal, terbentuk pada daerah dekat dengan intrusi pada
temperatur berkisar antara 500-600oC dan tekanan sangat tinggi.
2. Endapan mesotermal, terbentuk pada jarak tertentu dari intrusi pada
temperatur berkisar antara 200-500oC dan tekanan tinggi.
3. Endapan epitermal, terbentuk jauh dari intrusi pada temperatur berkisar
antara 50-200oC dan tekanan sedang atau medium.
Tabel 2.3. Himpunan mineral alterasi dalam sistem hidrotermal berdasarkan temperatur
dan pH larutan hidrotermal (Corbett dan Leach, 1996).

2.2 X-Ray Flourescence (XRF)


XRF merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis komposisi kimia beserta
konsentrasi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu sample dengan menggunakan metode
spektrometri. XRF umumnya digunakan untuk menganalisa unsur dalam mineral atau batuan.
Analisis unsur di lakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan
untuk menganalisi jenis unsur yang terkandung dalam bahan dan analisis kuantitatif
dilakukan untuk menentukan konsentrasi unsur dalam bahan.
XRF (X-ray fluorescence spectrometry) juga termasuk teknik analisa non-destruktif yang
digunakan untuk identifikasi serta penentuan konsentrasi elemen yang ada pada padatan,
bubuk ataupun sample cair. XRF mampu mengukur elemen dari berilium (Be) hingga
Uranium pada level trace element, bahkan dibawah level ppm. Secara umum, XRF
spektrometer mengukur panjang gelombang komponen material secara individu dari emisi
flourosensi yang dihasilkan sampel saat diradiasi dengan sinar-X (PANalytical, 2009).

Gambar 2.2 Alat X-Ray Flourescence (XRF)

Gambar 2.2 Pembagian panjang gelombang (PANalytical, 2009)

Metode XRF secara luas digunakan untuk menentukan komposisi unsur suatu material.
Karena metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk aplikasi di
lapangan dan industri untuk kontrol material. Tergantung pada penggunaannya, XRF dapat
dihasilkan tidak hanya oleh sinar-X tetapi juga sumber eksitasi primer yang lain seperti
partikel alfa, proton atau sumber elektron dengan energi yang tinggi (Viklund, 2008).
2.2.1 Prinsip kerja XRF
Prinsip yang digunakan adalah penentuan komposisi unsur berdasarkan interaksi sinar
X dengan materi. XRF banyak digunakan untuk mengkarakterisasi unsur secara cepat di
laboratorium ataupun lapangan.
Apabila terjadi eksitasi sinar-X primer yang berasal dari tabung X ray atau sumber
radioaktif mengenai sampel, sinar-X dapat diabsorpsi atau dihamburkan oleh material. Proses
dimana sinar-X diabsorpsi oleh atom dengan mentransfer energinya pada elektron yang
terdapat pada kulit yang lebih dalam disebut efek fotolistrik. Selama proses ini, bila sinar-X
primer memiliki cukup energi, elektron pindah dari kulit yang di dalam menimbulkan
kekosongan. Kekosongan ini menghasilkan keadaan atom yang tidak stabil. Apabila atom
kembali pada keadaan stabil, elektron dari kulit luar pindah ke kulit yang lebih dalam dan
proses ini menghasilkan energi sinar-X yang tertentu dan berbeda antara dua energi ikatan
pada kulit tersebut. Emisi sinar-X dihasilkan dari proses yang disebut X Ray Fluorescence
(XRF). Proses deteksi dan analisa emisi sinar-X disebut analisa XRF. Pada umumnya kulit K
dan L terlibat pada deteksi XRF.  Sehingga sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan Lβ
pada XRF. Jenis spektrum X ray dari sampel yang diradiasi akan menggambarkan puncak-
puncak pada intensitas yang berbeda (Viklund,2008).
2.2.2 Jenis XRF
Terdapat 2 jenis XRF yaitu, WDXRF (Wave Length Dispersive XRF atau dispersi
energi) dan EDXRF (Energy Dispersive XRF atau dispersi panjang gelombang). Unsur yang
dapat dideteksi berkisar dari Mg sampai Uranium. Pada XRF, terdapat suatu limit deteksi
dalam menganalisa kandungan unsur dalam sampel. Secara umum perbedaan kedua alat ini
adalah :
WDXRF :
 Lebih besar, lebih kompleks, mengggunakan waterchiller (Pendingin Xray tube)
 Analisa B-U(92), lebih sensitive, lebih akurat, menggunakan vacuum pump
 Menggunakan gas p10 (Argon-Methane), He (optimal untuk analisa cairan)
EDXRF :
 Lebih kecil, lebih sederhana, tidak menggunakan water chiller
 Analisa Na-U(92), vacum pump optional
 Analisa unsur berat (K-U) hasil hampir sama dengan WDXRF
 Mengggunakan He(optional, untuk unsur ringan Na-Cl)
2.2.3 Kelebihan dan kekurangan XRF
Setiap teknik analisa memiliki kelebihan serta kekurangan, beberapa kelebihan dari
XRF :
 Cukup mudah, murah dan analisanya cepat
 Jangkauan elemen Hasil analisa akurat
 Membutuhan sedikit sampel pada tahap preparasinya (untuk Trace  elemen)
 Dapat digunakan untuk analisa elemen mayor (Si, Ti, Al, Fe, Mn, Mg, Ca, Na, K, P)
maupun tace elemen (>1 ppm; Ba, Ce, Co, Cr, Cu, Ga, La, Nb, Ni, Rb, Sc, Sr, Rh,
U, V, Y, Zr, Zn)
2.2.4 Beberapa kekurangan dari XRF
Beberapa kekurangan dari XRF adalah sebagai berikut :
 Tidak cocok untuk analisa element yang ringan seperti H dan He
 Analisa sampel cair membutuhkan Volume  gas helium yang cukup besar
 Preparasi sampel biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dan
memebutuhkan perlakuan yang banyak

2.3 Metoda Analisis XRF Pada Sampel Hidrotermal


Contoh kasus pada metoda analisis dengan menggunakan X-Ray Flourescence (XFR)
yaitu Studi Alterasi Hidrotermal dan Mineralisasi Batuan di Sekitar Mata Air Panas Garara
Bukit Kili, Kabupaten Solok, Sumatera Barat

Anda mungkin juga menyukai