Anda di halaman 1dari 12

Nama: Melia Hanani Manalis

NPM: 1102018021
Kel: A-10

LO 1 MM KEWAJIBAN SEORANG DOKTER


KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter.
Pasal 2
Seorang  dokter wajib   selalu  melakukan  pengambilan  keputusan profesional secara  independen,
dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri .
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan  psikis maupun  sik, wajib
memperoleh  persetujuan  pasien/ keluarganya dan  hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien tersebut.
Pasal 6
Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan
teknik atau  pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan  terhadap hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter waajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 8
Seorang dokter wajib, dalam  setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan  secara   kompeten 
dengan  kebebasan  teknis  dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 9
Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya
untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.
Pasal 10
Seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya,
serta wajib menjaga kepercayaan pasien.

LO 2 MM MALPRAKTEK
2.1 DEFINISI MALPRAKTEK
Secara harfiah “mal” yang artinya “salah”, sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktik berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Arti malpraktik secara
medis adalah kelalaian seorang dokter menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan
berdasarkan ukuran yang lazim orang lain dalam mengobati pasien dengan ukuran standar di
lingkungan yang sama.
Sedangkan menurut Yunanto, A dan Helmi (2009) mengungkapkan bahwa istilah
malpraktek berasal dari kata malpractice yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam
menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan
dokter.

2.2 JENIS JENIS MALPRAKTEK


1. Malpraktik Medik (medical malpractice)
John.D.Blum merumuskan: Malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang
menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien/penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan
ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat.
Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran, Malpraktek adalah perbuatan yang
tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan.
Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena
malpraktik.

2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)


Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran,
sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar
etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.

3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)


Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi
kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
Malpraktik Yuridik meliputi:
a. malpraktik perdata (civil malpractice0
Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat
dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenuhi
rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan positif
(melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela
(actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalaian.
Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b. Mengungkapkan rahasia kedokteran dengan sengaja
c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan
darurat
d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e. Membuat visum et repertum tidak benar

Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:


a. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut
b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal
c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)
Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak mengindahkan
ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
d. Tidak membuat rekam medik.

2.3 HUKUM MALPRAKTEK


Pasal-pasal yang Mengatur Malpraktek

A. Peraturan Non Hukum


Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dalam KODEKI diatur tentang
kewajiban dokter terhadap pasien yang dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14, yaitu:
a. Pasal 10 KODEKI: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
makhluk insani”
b. Pasal 11 KODEKI: “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan keterampilannya untu kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang
mempunyai keahlian dalam bidang penyakit tersebut”
c. Pasal 13 KODEKI: “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia”
d. Pasal 14 KODEKI: “ Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan
pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya, padahal ia mampu dapat terkena
sasaran tuntutan malpraktek juga”

B. Peraturan Hukum
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu:
a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)
b. Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)
c. Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau menimbulkan
harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)
d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia)
e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)
f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan kematian)
g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)
h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan seseorang)
i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia)
j. Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang
bersangkutan)
k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)
l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus criminalis)
m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian)
n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat)
o. Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)
p. Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam keadaan
bahaya)

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu:
a. Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)
b. Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)
c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan kerugian)
d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh
bawahannya)

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan


a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan)
b. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan tindakan
medis tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu hamil)
c. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan transplantasi
organ tubuh untuk tujuan komersil)
d. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa keahlian sengaja
melakukan transplantasi, implan alat kesehatan, bedah plastik)
e. Pasal 81 ayat 2a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja mengambil organ tanpa
memperhatikan kesehatan dan persetujuan pendonor / ahli waris)

4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran


a. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Pengaturan praktek kedokteran bertujuan
untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi)
b. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan kepada setiap dokter dan
dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai standar pelayanan. Standar
pelayanan disini adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktek kedokteran)
c. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan setiap dokter harus
mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil kedokteran. Sedangkan surat izin
praktek kedokteran ditandatangani oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota
tempat praktek kedokteran atau dokter gigi dilaksanakan. Kedua persyaratan tersebut menjadi
suatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang dokter. Apabila dokter tidak mempunyai surat
registrasi dan surat izin praktek, maka selain dokter tersebut tidak sah, masyarakat juga tidak
berani di diagnosa oleh dokter tersebut karena takut terjadi malpraktek)

2.4 PENCEGAHAN MALPRAKTEK


A. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
- Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
- Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
- Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
- Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
- Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
- Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

B. Upaya menghadapi tuntutan hukum


Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan
dapat melakukan :
- Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan
risiko medik (risk of treatment)
- Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-
unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari
pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh
daya paksa.

2.5 TOLAK UKUR ATAU CIRI-CIRI MALPRAKTEK


• Kegagalan dokter untuk melakukan tatalaksana sesuai standar
terhadap pasien.
• Kurangnya keterampilan dokter.
• Adanya faktor pengabaian dari dokter.
• Adanya cidera yang merupakan akibat langsung salah satu dari ketiga faktor tersebut

2.6 PEMBUKTIAN TINDAKAN MALPRAKTEK

Pembuktiannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Cara langsung

Pembuktian suatu tindakan tenaga medis dianggap lalai apabila telah memenuhi tolak ukur 4D , yaitu:

a) Duty of Care (kewajiban): kewajiban profesi, dan kewajiban akibat kontrak dengan pasien. Dalam
hubungan perjanjian tenaga kesehatan dengan pasien, tenaga kesehatan harusbertindak berdasarkan :

 Adanya indikasi medis

 Bertindak secara hati-hati dan teliti

 Bekerja sesuai standar profesi

 Sudah ada informed concent

b) Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Berarti pelanggaran kewajiban tersebut, sehinga mengakibatkan timbulnya kerugian kepada pasien
artinya tidak memenuhinya standard profesi medik. Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari
standard profesi medik adalah sesuatu yang harus didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang
harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli.

c) Damage (kerugian)
Berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik, financial, emosional atau
berbagai kategori kerugian lainnya.
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan
fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).

LO 3 MM RESIKO MEDIS

3.1 DEFINISI
Resiko medis terdiri dari kata “resiko” dan “medis”. Resiko (risk) mengandung pengertian
kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak baik dikemudian hari; situasi yang dapat membahayakan
atau mempunyai hasil yang tidak baik.
Sedangkan kata Medis yang dimaksudkan adalah tindakan medis yang dilakukan dokter,
yaitu: “suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik”. Apabila
digabungkan, resiko medis dapat dimaknai sebagai suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh
pasien maupun oleh dokter atau dokter gigi sendiri, setelah dokter atau dokter gigi berusaha
semaksimal mungkin dan juga standar profesi, standar pelayanan medis dan standar profesional
prosedur telah terpenuhi, namun kecelakaan itu tetap terjadi.

3.2 PERBEDAAN RESIKO MEDIS DAN MALPRAKTEK


Untuk membedakan malpraktek medis dan resiko medis yaitu dengan adanya unsur kelalaian.
Adanya kelalaian ini harus dapat dibuktikan sehingga kelalaian ada hubungannya dengan cacat atau
meninggalnya pasien. Bila unsur kelalian tidak ada, berarti cacat atau kematian bukan akibat dari
suatu malpraktek, tetapi merupakan resiko medis yang mungkin dapat terjadi atau mungkin karena
perjalanan penyakitnya begitu.
Dengan demikian apabila dokter melakukan suatu tindakan yang memiliki resiko medis,
maka dokter dokter tidak harus bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Berbeda dengan
malpraktek, apabila dokter melakukan suatu tindakan yang menimbulkan malpraktek medis maka
dokter wajib mempertanggung jawabkan tindakannya secara hukum.

LO 4 MM INFORMED CONSENT
4.1 DEFINISI INFROMED CONSENT
Informed Consent dapat di definisikan sebagai pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya
yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah
menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan. Persetujuan
tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan.
Informed Consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989, Persetujuan
Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

4.2 TUJUAN INFORMED CONSENT


Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat
mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan.

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :


a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat
negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah
mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

4.3 KRITERIA Informed Consent


Menurut Beauchamp danwalters ( (Koeswadji, 1994)bahwa informedconsent dilandasi oleh prinsip
etik dan moral serta otonom pasien. Prinsip ini mengandung dua hal yang penting yaitu:
1. Setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas hal yang dipilihnya
berdasarkan pemahaman yang memadai.
2. Keputusan itu harus dibuat dalam keadaan yang memungkinkan nya membuat pilihan tanpa
adanya campur tangan atau paksaan dari pihak lain.
Menurut Appelbaum bahwa, untuk menjadi doktrin hokum maka informed consent harus mempunyai
syarat, sebagai berikut:
1. Adanya kewajiban dari dokter untuk menjelaskan informasi kepada pasien.
2. Adanya kewajiban dari dokter untuk mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien, sebelum
dilaksanakan perawatan.
Selanjutnya dikemukakan King bahwa secara analitis masalah persetujuan pasien dikelompokan
dalam dua kategoori, yaitu:
1. Yang didasarkan pada seseorang menyatakan persetujuannya, dan keabsahannya (validitas),
serta ruang lingkup nya ini yang disebut permasalahan consent yang tradisional.
2. Yang didasarkan pada kualitas persetujuan, yaitu didasarkan pada informasi atau tidak.

4.4 PANDANGAN DALAM HUKUM


Persetujuan tindakan kedokteran adalah amanat dari Permenkes No. 290 tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Pasal 45. Permenkes PTK Pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa semua tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Peraturan ini
merupakan representasi dari upaya negara untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dokter
yang memungkinkan timbulnya pelanggaran hak asasi pasien.
Di Indonesia, informed consent diatur dalam beberapa dasar hukum, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Pasal 8 UU
Kesehatan:
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.”

2. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia (PP 18/1981). Pasal 15 PP 18/1981:
“(1) Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon
donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya,
termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, kibat-akibatnya, dan kemungkinan yang dapat
terjadi; (2) Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa calon donor yang
bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.”

3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/ MENKES/ PER/ II/ 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran (Permenkes 290/ 2008). Pasal 2 Permenkes 290/2018:

“(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan;

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan;

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.

4. UU Tenaga Kesehatan
Pasal 68 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan:
“Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus
mendapat persetujuan.”

Informed consent dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yakni Informed consent yang dinyatakan
secara tegas atau dapat dinyatakan dengan lisan.

4.5 ISI Informed Consent


Informasi yang harus diberikan dokter kepada pasien:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, meliputi:
• Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis
• Diagnosis penyakit; atau dalam hal belum dapat ditegakkan maka sekurang- kurangnya
diagnosis kerja dan diagnosis banding
• Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran
• Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan, meliput:
• Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik
ataupun rehabilitatif
• Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan
serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi
• Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan
• Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko
dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
• Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
• Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau dampaknya sangat ringan
• Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, meliputi:
• Prognosis tentang hidup-matinya
• Prognosis tentang fungsinya
• Prognosis tentang kesembuhan
f. Perkiraan pembiayaan
Kapan Persetujuan Tindakan Medis dilakukan:
a. Dalam setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
b. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi
c. Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat
indikasi sebelumnya untuk menyelamatkan jiwa pasien
Yang berhak memberikan persetujuan adalah Pasien yang kompeten atau keluarga terdekat suami atau
isteri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya

Tata cara pemberian persetujuan:


a. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan
secara tertulis atau lisan dan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang
perlunya tindakan kedokteran yang dilakukan
b. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis
yang tertuang dalam formulir khusus yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan
c. Dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan / atau mencegah kecacatan
tidak diperlukan tindakan keokteran
d. Tindakan penghentian / penundaan bantuan hidup pada seorang pasien harus mendapat persetujuan
keluarga terdekat pasien setelah mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan
e. Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan secara tertulis sebelum dimulainya tindakan

Penolakan Tindakan Kedokteran:


a. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan / atau keluarga terdekatnya setelah
menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Penolakan tindakan
kedokteran tersebut dilakukan secara tertulis
b. Akibat penolakan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab pasien
c. Penolakan tindakan-tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien
Tanggung Jawab
a. Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab dokter
atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran
b. Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran

Ketentuan Informed Consent


Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik
No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya:
1. Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur
(SOP) dan ditetapkan tertulis oleh pimpinan RS.
2. Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter
3. Informed Consent dianggap benar:
a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
c. Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum
d. Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan
4. Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :
a. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of
medical procedure)
b. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure)
c. Tentang risiko
d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko –risikonya (alternative
medical procedure and risk)
f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
g. Diagnosis
5. Kewajiban memberi informasi dan penjelasan
a. Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab
b. Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang
bersangkutan
6. Cara menyampaikan informasi
a. Lisan
b. Tulisan
7. Pihak yang menyatakan persetujuan
a. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah
b. Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :
• Ayah/ibu kandung
• Saudara saudara kandung
c. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
• Ayah/ibu adopsi
• Saudara-saudara kandung
• Induk semang
d. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :
• Ayah/ibu kandung
• Wali yang sah
• Saudara-saudara kandung
e. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) : • Wali
• Kurator
f. Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua
• Suami/istri
• Ayah/ibu kandung
• Anak-anak kandung
• Saudara-saudara kandung
8. Cara menyatakan persetujuan
a. Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi
b. Lisan; tindakan tidak beresiko
9. Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan pimpinan
RS.
10. Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.
11. Format isian informed consent persetujuan atau penolakan
a. Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai
salah satu saksi
b. Materai tidak diperlukan
c. Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
d. Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
e. Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan
informasi
f. Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan
kanannya
12. Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam
medisnya.

LO 5 MALPRAKTIK DALAM PANDANGAN ISLAM


Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia medis – kadang
berhubungan dengan etika/akhlak. Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu
kedokteran.

Bentuk-bentuk malpraktek:
a. Tidak punya keahlian (jahil)
Melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki
keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak diluar
keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka
praktek, telah disinggung oleh Nabi SAW dalam sabda beliau:
ْ ‫ ِطبْ قَب َلْ َذ ِل َْك فَ ُه َوْ َضا‬Zُ‫من تَ َط َّب َبْ َولَ ْم يُعلَ ْم ِمن ُْْه‬
َ‫ِمن‬ ْ
“Barang siapa yang mengobati orang sakit dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian,
maka ia bertanggung jawab” (HR. Abu Dawud no.4575, an-Nasai’ no.4845 dan Ibnu Majah no. 3466.
Hadits hasan. Lihat Silsilah al-Ahadits ash- Shahihah no. 635)
b. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah (mukhalafatul ushul al-‘ilmiyyah)
Yang dimaksud dengan prinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku
dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter
saat menjalani profesi kedokteran.
c. Ketidaksengajaan (khatha’)
Adalah suatu tindakan / kejadian tanpa ada maksud pelaku dalam melakukannya. Misalnya,
tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek
ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggung jawab terhadap akibat yang
ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat
khatha’ (kejahatan tidak sengaja)
d. Sengaja menimbulkan bahaya (i’tidd’)
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang
paling buruk. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun juga faktor
kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek
yang sangat jelas.

Pembuktian Malpraktek
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai
berikut:
a. Pengakuan pelaku malpraktek (iqrar).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih
mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini
menunjukkan kejujuran.
b. Kesaksian ( syahadah ).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika
kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu
pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh
wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria.
c. Catatan medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa
menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

Anda mungkin juga menyukai