Anda di halaman 1dari 6

Kapan Imam Husain as tiba Karbala dan Bagaimana Urutan Peristiwanya?

Pada hari kedua Muharram, tahun 61 AH (680 M), kafilah Imam Husain as tiba di padang Karbala. Beliau
bertanya kepada para sahabatnya tentang nama daerah tersebut. Dia diberitahukan beberapa nama
sampai akhirnya disebutkan padanya bahwa daerah itu bernama Karbala.

Dalam bahasa Arab, kata Karbala merupakan gabungan dari dua kata: Karb dan bala', yang berarti
penderitaan dan bencana. Benar, tanah itu akan menjadi tempat duka dan bencana dalam beberapa
hari kemudian. Setelah mengetahui bahwa daerah itu adalah Karbala, Imam Husain as memerintahkan
para sahabatnya untuk membangun tenda. Dia mengatakan kepada mereka, "Di sinilah kita akan tinggal.
Di sinilah anak-anak kita akan dibantai. Di sinilah orang-orang kita akan dibunuh. Di sinilah perempuan
kita akan diambil sebagai tawanan."

Pasukan pertama tentara Yazid yang mencegat Imam Husain as dan menghentikan beliau agar tidak
melanjutkan perjalanannya ke Kufah (yang jaraknya sekitar 50 km sebelah selatan Karbala) terdiri dari
1.000 tentara di bawah kepemimpinan al-Hurr.

Pada hari ketiga Muharram, Umar Ibn Sa'ad, panglima tentara Yazid, menyusul tiba di Karbala dengan
4.000 tentara. Pada hari kelima Muharram, semakin banyak tentara dan pasukan bergabung dengan
tentara dari Umar Ibn Sa'ad. Beberapa sejarawan menyebutkan angka yang berbeda untuk jumlah
tentara Yazid yang hadir ketika pertempuran terjadi. Namun, angka-angka yang mereka sebutkan
berkisar antara 15.000 sampai 35.000 orang.

Pada hari-hari menjelang pertempuran, Imam Husain as bertemu dengan Umar Ibn Sa'ad dan berusaha
membujuknya untuk mencegah terjadinya pertempuran. Dalam satu percakapan, Imam Husain as
bertanya “Apakah kamu tidak tahu siapa aku? Mengapa kalian ingin membunuhku?”

Umar mengatakan bahwa ia tidak punya pilihan selain melawan Imam Husain as dan para sahabatnya.
Imam Husain as bertanya mengapa? Umar mengatakan bahwa jika dia menolak perintah itu,
pemerintahan Yazid akan menghancurkan rumahnya. Imam Husain as lalu berjanji bahwa beliau akan
memberinya sebuah rumah jika ia mencegah terjadinya pertempuran. Namun, Umar menolak
tawarannya. Umar menambahkan alasan lain dengan mengatakan bahwa ia takut Yazid akan menyita
lahan pertanian, desa dan harta benda miliknya. Imam Husain as kemudian berjanji lagi bahwa ia akan
memberikannya kompensasi, tapi Umar tetap saja dengan keinginan jahatnya.
Umar berkata kepada Imam Husain as bahwa Ibnu Ziyad, gubernur Yazid di Kufah, telah berjanji untuk
menunjuknya sebagai gubernur di Ray (kota Teheran sekarang) sebagai imbalan jika ia berhasil
membunuh Imam Husain as. Umar adalah orang yang hanya memikirkan diri sendiri, larut dalam
keinginan jahat, dan ia terlalu lemah untuk melawan nafsu buruknya itu. Dia rakus kekuasaan, bahkan
jika kekuasaan itu dia akan dapatkan dengan membunuh cucu Nabi Muhammad Saw. Dan terakhir, tak
ada yang bisa menghalanginya berperang dan membunuh Imam Husain as.

Pada hari kedelapan Muharram, perkemahan Imam Husain as kehabisan air. Saudara laki-laki Imam
Husain as, Abbas, berhasil mengusir tentara Yazid yang menjaga tepi sungai. Abbas bisa mendapatkan
air, tapi itulah upaya terakhir yang berhasil mendapatkan air untuk para wanita dan anak-anak. Setelah
itu, tentara Yazid memblokir mereka dari akses air ke sungai. Segera setelah persediaan air mereka
habis, di dataran panas Karbala, anak-anak mulai menderita kehausan.

Pada hari kesembilan Muharram, Shimr, manusia laknat yang kemudian akan memenggal kepala Imam
Husain as keesokan harinya, tiba dengan perintah dari Ibnu Ziyad. Syimr memaksa Imam Husain as untuk
berbai'at kepada Yazid atau dia akan dibunuh. Imam Husain as menolak untuk berbaiat.

Pada malam Asyura, tentara Yazid memutuskan untuk memulai pertempuran. Imam Husain as mengirim
saudaranya Abbas menemui musuh untuk meminta perpanjangan waktu satu malam saja. Imam Husain
as mengatakan, "Saya ingin menghabiskan malam terakhir ini berdoa kepada Allah, dan Allah tahu
betapa aku menyukai doa." Musuh menyetujui permintaan tersebut. Maka pada malam itu, para
sahabat Imam Husain as larut dalam doa dan munajat, sementara di sisi yang lain tentara Yazid
merayakan malam itu dengan menari dan minum minuman keras. Para sahabat Imam Husain as
menghabiskan sedikit waktu yang tersisa bersama keluarga mereka, merasa bahwa malam itu adalah
kebersamaan mereka yang terakhir. Imam Husain as kemudian mengumpulkan sahabat-sahabatnya dan
mengatakan bahwa mereka tidak punya kewajiban untuk tinggal bersamanya dan bertempur melawan
tentara Yazid. Mereka dipersilahkan meninggalkan Imam Husain as jika mereka mau. Tetapi mereka
semua menolak. Mereka merasa terhormat untuk berjuang bersama cucu Nabi Muhammad Saw dan
menjadi syuhada di jalan Allah.

Pada malam Asyura, Imam Husain as mengumpulkan perempuan dan anak-anak dan memberitahukan
bahwa perjalanan yang sangat sulit menanti mereka. Dia meminta mereka untuk tetap bersabar
sekiranya beliau terbunuh dan jika mereka akan dibawa sebagai tawanan. Beliau mendelegasikan tugas
mengurus perempuan dan anak-anak kepada adiknya, Sayyidah Zaynab as. Imam Husain as juga
memerintahkan keluarganya untuk mematuhi anaknya yang sakit, Ali Zainal Abidin, jika akhirnya beliau
syahid. Ali as sedang sakit parah saat itu sehingga beliau terlalu lemah untuk ikut di dalam pertempuran.
Ali Zainal Abidin akan menjadi penerus Imam Husain as.

Pada hari Asyura di hari kesepuluh Muharram, tak lama setelah fajar, pertempuran pun terjadi. Satu per
satu, para sahabat Imam Husain as syahid di tanah Karbala. Demikian juga anggota keluarganya,
termasuk putra tertuanya, keponakannya, empat saudara sebapaknya, dan anak bayinya Ali Asghar yang
syahid di dalam gendongannya. Kemudian pada hari itu, di sore hari, Imam Husain as dikelilingi oleh
musuh, dan dengan cara paling kejam yang tak terlukiskan, dia syahid menemui Tuhannya.*
Cara Bijak Leluhur Jawa Melawan Lupa Tragedi Karbala

Jika Anda bertanya kepada masyarakat Jawa, apa nama penyangga pintu yang terpasang di rumahnya,
mereka akan menjawab: kusen. Mereka yakin, tanpa kusen, pintu rumah takkan jadi kokoh dan mudah
roboh.

Tapi pernahkan Anda menyangka bahwa nama ‘kusen’ bukan hanya sekadar nama tanpa makna?

Tahukah Anda bahwa ternyata inilah satu di antara banyak pesan tersembunyi dari ekspresi cinta
masyarakat Jawa kepada keluarga Nabi yang disimbolkan melalui bagian penting dari sebuah rumah?

Ya. Kusen tak lain adalah personifikasi dari Husen (Husein) cucunda Nabi yang dibantai 30 ribu tentara
Muslim atas perintah khalifah Yazid bin Muawiyah. Sedangkan pintu adalah personifikasi Ali bin Abi
Thalib, sebagaimana Nabi SAW pernah bersabda, “Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya”.

Secara samar dan unik rupanya leluhur kita ingin menyampaikan pesan sejarah, bahwa, ajaran yang
diwarisi Ali dari sang Nabi SAW hampir saja punah sia-sia, jika Husen tidak menapaki jalan kesyahidan
seperti Ali, ayahnya.

Dan bukan hal baru bahwa masyarakat Jawa seringkali mengajarkan etik dan moral melalui simbol-
simbol. Mereka memang punya cara yang khas dalam menyampaikan pesan, baik melalui syair, sanepa,
perlambang penamaan pada benda-benda, aneka kuliner (seperti bubur suro, ketupat dll), maupun
melalui pemadatan bahasa.

Kata “Suro” misalnya, adalah pemadatan dari kata “Asyura” yang bermakana peristiwa menyedihkan
hari kesepuluh di bulan Muharam, mengacu pada tragedi berdarah pembantaian Husein dan
keluarganya yang terjadi di Karbala atas perintah penguasa zalim zaman itu.

Pada bulan tersebut, umumnya masyarakat Jawa tidak akan mengadakan pesta tasyakuran dalam
bentuk apapun, mulai dari mendirikan rumah, resepsi pernikahan, sunatan atupun hajatan sukacita
lainya.

Tradisi dan simbol semacam ini tak hanya dimaksudkan sebagai ungkapan duka, tapi juga menjadi
instrumen pendidikan dalam membentuk kepribadian masyarakat yang ikhlas berkorban, setulus
pengorbanan pemimpin pemuda surga Sayidina Husein.

Jejak Asyura melimpah di negeri ini. Sejak masa lalu hingga kini, kuliner bubur suro masih marak
mentradisi, tak lain sebagai cara bijak mengabarkan ulang kepahlawanan Husein beserta keluarga dan
sahabatnya dalam peristiwa Karbala.

Cara ini sengaja diabadikan sebagai ajakan untuk melawan lupa serta seruan belasungkawa pada
Kanjeng Nabi Muhammad SAW atas gugurnya Husein di Karbala.
Masyarakat Jawa pada bulan Muharam juga biasa menaburkan bunga di tiap perempatan jalan yang
sering dilalu-lalangi masyarakat, sebagai pengingat bahwa dulu rombongan kafilah keluarga Nabi yang
terdiri dari perempuan dan anak-anak ditawan, diarak bersama penggalan kepala Husein dan 16 kepala
lainya sejauh 1.200 km mulai Karbala, Kufah dan Damaskus Suriah. Tradisi menebar bunga juga
ditujukan agar malapetaka serupa tak terulang kembali dimasa-masa mendatang.

Tentu yang utama dimaksud “musibah” di sini adalah, upaya penghancuran nilai-nilai kemanusian serta
penipuan atas nama agama, dan juga atas nama rakyat biasa melalui propaganda dan dalil-dalil absurd
yg ditafsir untuk menindas dan demi kepentingan kekuasaan semata.

Tidak hanya di Jawa, berbagai ungkapan duka di hari Asyura menjelma menjadi tradisi yang masih
ditemukan di berbagai daerah di Nusatara. Sebut saja misalnya Perayaan Tabot di Bengkulu dan Tabuik
di Pariaman Sumatra Barat. Ada juga di Painan, Padang, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan
Singkil.

Dari batang pisang Tabot dibuat, dihiasi bunga-bunga beraneka warna, diarak ke pantai bersama ribuan
orang sambil diiringi teriakan “Hayya Husein hayya Husein” (“Hidup Husein, hidup Husein”). Demikianlah
prosesi tersebut diakhiri dengan pelarungan Tabot di laut lepas. Benda yang disebut tabot itulah
perlambang keranda jenazah suci Sayyidina Husein.

Peristiwa Asyura tak hanya menguras air mata, tapi juga membangkitkan semangat kepahlawanan,
pengorbanan dan kesetiakawanan. Dan tak dapat dipungkiri, bahkan bangsa kita pun pernah dipompa
darahnya melalui kisah sejarah Asyura di Karbala. Yakni ketika semangat para pejuang menggelora saat
para kesatria keluarga Nabi disebut namanya.

Sejarah mencatat, ambisi penjajah Belanda hampir pupus saat itu juga. Sekalipun bantuan tentara
didatangkan dari berbagai kepulauan di luar Jawa. Salah satunya, saat perang Diponegoro. (1825-1830).

Kondisi tersebut sebagaimana tergambar dalam pidato Kyai Mojo (Muhammad al-Jawad) yang dikenal
sebagai panglima perang Pangeran Diponegoro dalam kitab Babad Perang Dipanegara, karya pujangga
Yasadipura II, Surakarta, berikut ini:

“Wahai kalian ksatria Mataram, negara Jawa tersimpan sudah dalam cakrawala pemahaman kalian.

Pada diri kalian tersimpan watak prilaku, kebijaksanaan Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan. Tertanam
juga (pada diri kalian) keberanian Husein.

Ingatlah… pada saat Suro nanti, Belanda akan kita lenyapkan dari tanah Jawa, karena terdorong
kekuatan para kesatria Muhammad yaitu, Ali, Hasan dan Husein.

Bertempurlah kalian dengan iringan takbir dan shalawat, jika kelak kalian gugur di medan laga ini, maka
kalian akan tercatat syahid sebagaimana gugurnya para sahabat setia Sayyidina Husein di Nainawa
(Karbala).
Engkau yang bijak terlibat dalam peperangan ini, adalah orang yang pantas mendapat julukan Ali Basya
(gelar kehormatan bagi para ksatria/bangsawan).”

Selain itu, peristiwa Asyura dan Sayyidina Husein juga dikenal dan telah tertanam sedemikian rupa di
tengah para pejuang kita.

Presiden pertama RI Ir. Soekarno bahkan pernah berkata, “Husein adalah panji berkibar yang diusung
oleh setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, dimana kekuasaan itu telah tenggelam
dalam kelezatan dunia serta meninggalkan rakyatnya dalam penindasan dan kekejaman.” (10 Hari Yang
Menggetarkan Dunia: Ucapan dan Komentar Tokoh Dunia karya Saed Zomaezam)

Meski demikian, saat ini mungkin lebih banyak generasi muda bangsa kita yang tak lagi mengenal
tragedi Asyura dan siapa tokoh penting di baliknya. Namun patut disyukuri, bahwa nilai-nilai luhur,
sekalipun berupa remahan, berupa pesan moral di balik kearifan leluhur dalam merawat ingatan dan
melawan lupa Tragedi karbala, masih mewarnai sebagian jiwa anak bangsa. Mereka mewarisi
keberanian dan pengorbanan dari para leluhur mereka yang mengambil pelajaran dari Sayyidina Husein.
Sementara sebagian dari kita mungkin perlu merefreshnya saja. Membongkar ulang sejarahnya, tanpa
perlu meributkan siapa yang akan melakukannya, apa agamanya dan apa mazhab atau aliran agamanya.

Terkait tragedi Karbala, siapapun boleh memperingatinya. Siapapun tak terlarang mengidolakan
figurnya. Hal ini seperti disampaikan Antoine Bara, seorang cendekiawan, pemikir, dan tokoh terkemuka
Kristen dalam bukunya yang berjudul Imam Hussein in Christian Ideology, yang menyatakan bahwa
Imam Husein tidak khusus untuk Syiah atau khusus Muslim saja, tetapi milik seluruh dunia karena
menurutnya beliau adalah “hati nurani agama”…

Sebagai bangsa Indonesia, kita patut bangga kepada para leluhur dan para pendahulu kita yang dengan
caranya yang unik dan bijak telah memperkenalkan tragedi Asyura dan sosok Sayyidina Husein kepada
generasi kita.

Terhadap warisan budaya yang tak ternilai harganya ini, atas semua karya yang sampai di tangan kita,
dan usaha besar dalam membentuk kepribadian bangsa, tak terkecuali segala peninggalan, pusaka dan
wasiat itulah, kita mesti tetap menjaganya agar tak terlupa.

Demi mewarisi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam peristiwa Karbala, kita dituntut cerdas dan
cermat dalam melestarikan tradisi Asyura yang sarat makna. Inilah tugas generasi kita melawan lupa

Anda mungkin juga menyukai