Anda di halaman 1dari 4

#Serial Sirah 11

PERSEKUSI HINGGA PEMBOIKOTAN


DAKWAH DI DALAM NEGERI
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Ada fenomena yang menarik, ketika tekanan terhadap dakwah begitu luar biasa, karena Nabi
saw. tidak bisa diajak kompromi oleh kaum Kafir Quraisy, justru simpati demi simpati terus
meningkat. Ketika kompromi tidak bisa dicapai, mereka pun merencanakan pembunuhan
terhadap Nabi saw. Abu Jahal membawa batu dileparkan kepadanya; Uqbah bin Abi Mu’aith
mencekik lehernya dengan selendang hingga nyaris membunuhnya; ‘Umar bin al-Khatthab
keluar menghunus pedang untuk mengakhiri hidupnya. Pendek kata, Abu Thalib telah
mencium skenario untuk menghabisi nyawa keponakannya.

Mereka memang benar-benar sudah menyusun skenario untuk membunuh Nabi saw. dengan
terang-terangan. Ini juga diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: “Ataukah mereka
telah mengancam tipu daya (jahat), maka sesungguhnya Kami telah berencana (mengatasi
tipu jahat mereka).” [Q.s. az-Zukhruf: 79]

Ketika melihat fenomena seperti itu, Abu Thalib pun mengumpulkan kerabatnya dari
kalangan Bani Hasyim dan Bani Muthallib, dua keturunan Abdi Manaf. Mengajak mereka
untuk melindungi keponakannya. Mereka pun memenuhi undangannya, baik yang Muslim
maupun Kafir, untuk sepakat memberikan perlindungan, kecuali Abu Lahab. Dia
meninggalkan mereka, dan lebih memilih berpihak kepada kaum Kafir Quraisy [Lihat, Ibn
Hisyam, Sirah Nabawiyyah, Juz I/269].

Ada empat peristiwa menggemparkan bagi kaum Musyrik dalam kurun empat minggu, atau
bahkan lebih singkat. Antara lain, masuk Islamnya Hamzah, ‘Umar, penolakan Rasulullah
terhadap upaya negosiasi mereka, lalu komitmen Bani Muthallib dan Bani Hasyim, baik yang
Muslim maupun Kafir, untuk membela Nabi Muhammad saw. Semua itu membuat kaum
Musyrik menjadi pusing tujuh keliling. Mereka sadar, kalau sampai mereka membunuh
Muhammad saw. maka lembah di Makkah akan banjir darah mereka, bahkan boleh jadi akan
membuat mereka habis sampai ke akar-akarnya.

Mereka pun mengadakan pertemuan di tempat Bani Kinanah, dari Lembah Muhashab.
Mereka melakukan koalisi untuk melawan Bani Hasyim dan Bani Muthallib, untuk tidak
mengadakan pernikahan, jual-beli, berinteraksi dengan mereka, dan menyambangi rumah-
rumah mereka dan berbicara dengan mereka, sampai mereka menyerahkan Rasulullah saw.
untuk dibunuh. Mereka pun menulis naskah berisi komitmen, “untuk tidak menerima
perdamaian dari Bani Hasyim untuk selamanya, tidak bersikap lunak kepada mereka, sampai
mereka menyerakan Muhammad saw. untuk dibunuh.” Naskah ini ditulis oleh Baghit bin
‘Amir bin Hasyim. Nabi saw. pun mendoakannya, hingga tangannya menjadi lumpuh. [Ibn al-
Qayyim al-Jauziyyah, Zad al-Ma’ad, Juz II/46]

Naskah ini ditempel di tengah Ka’bah. Bani Hasyim dan Bani Muthallib, baik yang Muslim
maupun Kafir, kecuali Abu Lahab, mengalami pemboikotan itu. Mereka ditahan di Syi’b Abu
Thalib [Lembah Abu Thalib], yang terletak antara bukit Shafa dan Marwa, pada malam
permulaan Muharram, tahun 7 kenabian. Pemboikotan itu semakin sulit, sehingga akses
mereka pada sembako pun terputus, hingga benar-benar susah, sampai tak ada bahan
makanan dan minuman yang bisa mereka makan dan minum. Mereka pun sampai harus
makan dedaunan, kulit, hingga terdengar suara sayup-sayup di balik lembah, anak-anak dan
wanita-wanita mereka merintih kelaparan.

Kalau pun ada makanan yang sampai kepada mereka itu bisa sampai dengan cara
diselundupkan diam-diam. Mereka tidak bisa keluar dari lembah itu untuk membeli
kebutuhan mereka, kecuali di bulan-bulan Haram [Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan
Rajab]. Kalau mereka hendak membeli kebutuhannya, penduduk Makkah sengaja
melipatgandakan harganya, sehingga berkali lipat, sampai akhirnya mereka pun tak sanggup
untuk membelinya.

Hakim bin Hazzam, kadang membawa gandum untuk bibinya, Khadijah –radhiya-Llahu
‘anha—yang saat itu dengan setia mendampingi suaminya dalam pemboikotan di Lembah
Abu Thalib. Dia pun sesekali harus berhadapan dengan Abu Jahal yang menghalanginya,
sehingga datanglah Abu al-Bukhtari, sehingga Hakim bisa mengantarkan gandum itu kepada
bibinya.

Abu Thalib sendiri mengkhawatirkan kondisi Rasulullahs aw. Ketika orang-orang mulai
berangkat ke peraduannya, dia meminta Rasulullah saw. untuk meninggalkan tempat
tidurnya, sehingga bisa mengetahui siapa orang yang ingin membunuhnya. Saat orang-orang
sudah tidur, Abu Thalib meminta salah seorang putranya, saudaranya, atau keponakannya
untuk tidur di tempat tidur Rasulullah saw. Begitu luar biasanya pembelaan Abu Thalib kepada
keponakannya, Muhammad saw.

Ketika musim haji tiba, di bulan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah, Nabi saw. dan kaum
Muslim keluar meninggalkan Lembah Abu Thalib itu untuk menemui khalayak. Mengajak
mereka kepada Islam.

Tiga tahun penuh telah berlalu, situasinya tetap belum berubah. Pada bulan Muharram, tahun
10 kenabian, terjadilah perobekan naskah yang zalim itu. Karena kaum Kafir Quraisy sendiri
sikapnya terbelah, antara yang menerima dan menolak naskah yang zalim itu. Yang tidak suka
pun berusaha untuk merobek naskah itu.

Adalah Hisyam bin ‘Amru, dari Bani ‘Amir bin Luayyi, suatu malam yang pekat dia menemui
Bani Hasyim di lembah, dengan diam-diam membawa makanan kepada mereka. Dia menemui
Zahir bin Abi Umayyah al-Mahzumi, ibunya adalah ‘Atikah binti ‘Abdul Muthallib. Dia berkata,
“Wahai Zahir, apakah kamu mau, kamu bisa makan makanan, minum minuman, sementara
bibi-bibimu mengalami seperti yang kamu tahu?” Dia menjawab, “Celakalah kamu, apa yang
bisa aku lakukan, sementara aku hanya seorang diri? Demi Allah, kalau ada lelaki lain, pasti
aku akan robek-robek naskah itu.” Hisyam berkata, “Kamu telah menemukan seseorang.”
Zahir bertanya, “Siapa?” Hisyam menjawab, “Aku.” Zahir berkata kepadanya, “Kita butuh
orang ketiga.”
Dia pun pergi menemui Muth’im bin ‘Adi. Ketika itu, Muth’im juga mengatakan hal yang sama,
“Celakalah kamu, apa yang bisa aku lakukan, sementara aku hanya seorang diri?” Hisyam
pun menjawab, “Kamu telah menemukan seseorang.” Muth’im bertanya, “Siapa?” Hisyam
menjawab, “Aku.” Muth’im berkata kepadanya, “Kita butuh orang ketiga.” Hisyam
menjawab, “Aku sudah melakukannya.” Muth’im bertanya, “Siapakah dia?” Hisyam
menjawab, “Zahir bin Abi Umayyah.” Muth’im berkata, “Kita membutuhkan orang keempat?”
Maka, Hisyam pun pergi menemui Abu al-Bukhtari. Hisyam pun mengatakan apa yang
dikatakan kepada Abu al-Bukhtari, dan memberikan jawaban sebagaimana yang dijawab
kepada Muth’im dan Zahir. Intinya, selain dia [Abu al-Bukhtari], sudah ada Hisyam, Muth’im,
dan Zahir. Kata Abu al-Bukhtari, “Kita membutuhkan orang kelima.”

Hisyam pun menemui Zam’ah bin al-Aswad bin Muthallib bin Asad. Dia mengatakan
kepadanya, mengingatkan hubungan kekerabatannya, dan hak mereka. Setelah itu, Zam’ah
bertanya, “Apakah ada seseorang yang bisa membantu dalam urusan yang kamu ajak aku
untuk membantunya?” Hisyam menjawab, “Tentu.” Dia pun menyebutkan namanya. Mereka
akhirnya berkumpul di Hajun, dan sepakat untuk merobek naskah zalim itu. Zahir berkata,
“Aku izinkan memulai kalian, berbicara pertama kali.”

Ketika waktu Subuh, mereka berangkat ke tempat-tempat pertemuan kaum Kafir Quraisy.
Zahir thawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali, setelah itu menuju ke arah kerumunan orang,
seraya meneriakkan, “Wahai penduduk Makkah, apakah kita senang bisa makan, memakai
pakaian, sementara Bani Hasyim tidak boleh melakukan jual beli? Demi Allah, aku tidak akan
berdiam diri, hinggga naskah yang zalim ini dirobek.” Abu Jahal yang saat itu ada di sudut
Masjidil Haram menyahut teriakannya, “Kamu bohong, demi Allah, jangan kamu robek.”
Zam’ah bin al-Aswad pun menyahut, “Demi Allah, kamulah orang paling bohong. Kami tidak
rela dengan isi naskah itu, sebagaimana yang kamu tulis.” Abu al-Bukhtari menyahut,
“Zam’ah benar. Kami tidak terima dengan apa yang dia tulis, dan kami tidak pernah
mengakuinya.”

Setelah terjadi saling sahut, Muth’im bin ‘Adi pun menghampiri naskah yang di tempel di
tengah Ka’bah untuk dirobek. Ternyata, naskah itu sudah dimakan rayap, tinggal tersisa
tulisan, “Bismika-Llahumma” Di situ ada Asma Allah, rayap pun tidak berani memakannya.
Muth’im pun merobek naskah itu. Rasulullah saw. dan Bani Hasyim serta Bani Muthallib pun
keluar, meninggalkan Syi’b Abu Thalib. Kaum Musyrik benar-benar bisa menyaksikan tanda-
tanda keagungan kenabiannya. Namun, mereka tetap saja dalam kekufurannya.

Begitulah, akhirnya persekusi hingga pemboikotan di dalam negeri tidak mampu


menggoyahkan Nabi saw. dan para sahabat ridhwanu-Llah ‘alaihim. Sekali lagi, dakwah Islam
dan para pengembannya meraih kemenangan, karena keyakinannya kepada Islam yang
diembannya. Berbagai upaya negosiasi, kompromi dan tekanan demi tekanan, hingga
pemboikotan dan upaya pembunuhan yang dilakukan terhadap mereka pun sama sekali tidak
bisa menghalangi, apalagi menghentikan dakwah.

Anda mungkin juga menyukai