Anda di halaman 1dari 16

Nama: Dina Venia Dewanty

Nim: 04011181621049
Kelas: Beta 2016

Fragile X Syndrome

Definisi

Sindroma Fragile X (Sindroma Martin-Bell, Fragile X Syndrome) adalah suatu kelainan genetik
pada kromosom X yang menyebabkan terjadinya gangguan intelektual dan perilaku.

Sindroma fragile X paling sering terdiagnosa sebagai penyebab gangguan intelektual sedang yang
diturunkan. Kelainan ini lebih sering mengenai anak laki-laki. Sindroma fragile X merupakan
penyebab nomor 2 tersering gangguan intelektual pada anak laki-laki (setelah sindroma Down).
Namun, tidak seperti sindroma fragile X, sindroma Down biasanya tidak diturunkan.

Penyebab
Sindrom Fragile X terjadi karena adanya perluasan dari sebuah daerah triplet nukleotida
berulang di gen Fragile X mental retardation 1 (FMR 1) yang ditemukan pada kromosom X sehingga
menimbulkan bagian yang rapuh. Daerah Triplet nukleotida yang berulang pada FMR1 terdiri dari
sitosin-guanin-guanin (CGG) yang sekuensnya berulang lagi dan lagi.

Dalam bentuk umumnya gen FMR1 mengandung 5 sampai 50 pengulangan basa-basa CGG,
namun dalam Fragile X syndrome pengulangan ini dapat terjadi hingga ratusan bahkan ribuan kali
Sehingga poroduct FMR1 yaitu Fragile X Mental Retardation protein (FMRP) tidak diproduksi,
protein ini berlimpah pada neuron hippocampus dan otak besar pada orang-orang normal (orangorang
yang tidak mengalami kelainan). Bukti terbaru menyebutkan kemungkinan gen ini memainkan
peranan yang penting dalam regulasi sintesis protein dalam respon aktivitas sinaptik. FMRP
kemungkinan memiliki fungsi yang berbeda pada bagian lain dari perkembangan otak.
Kategori Pengulangan CGG pada gen FMR1 adalah:

1. Normal 5-45 CGG yang berulang

2. Intermediate atau grey zone

▪ 45 – 54 CGG yang berulang, sering ditemukan (1 dari 50)

▪ Tidak memiliki resiko untuk memiliki anak dengan fragile x syndrome, namun pada generasi
generasi dibawahnya akan memungkinkan terjadinya premutasi.

3. Premutasi

• 55-200 CGG yang berulang

• Pria Dengan Premutasi

Kebanyakan laki-laki dengan premutasi tidak terpengaruh oleh sindrom fragile X. Namun, ada
laporan langka laki-laki dengan premutations yang memiliki manifestasi ringan, termasuk
karakteristik fisik, kognitif, dan perilaku.
Fragile X syndrome-terkait tremor / ataksia (FXTAS), kondisi neurologis baru ini diidentifikasi,
mempengaruhi laki-laki di atas usia 50 yang membawa premutation. FXTAS adalah gangguan
neurodegenerative progresif yang ditandai dengan tremor intensi, ataksia serebelar, Parkinsonisme,
dan neuropati perifer. Studi Otak MRI dari individu yang terkena ditandai dengan hyperintensities
dari peduncles cerebellar tengah (Hagerman et al., 2001).

• Wanita Dengan Premutations

Wanita dengan premutations biasanya tidak terpengaruh secara intelektual dan fisik. Wanita
dengan premutations mungkin memiliki peningkatan insiden depresi, kecemasan sosial, dan rasa
malu(Franke et al.,1998; Johnston et al., 2001). Lebih umum, perempuan dengan premutations
berada pada peningkatan risiko untuk menderita disfungsi ovarium serta menopause dini, disertai
dengan penurunan kepadatan tulang .

4. Mutasi penuh

• Lebih dari 200 CGG yang berulang

• 1 dari 4000 individu yang menderita

• Pria dengan mutasi penuh

Pria dengan mutasi penuh mungkin menunjukkan karakteristik wajah yang khas termasuk besar
dan / atau menonjol telinga, wajah panjang, dahi menonjol, prognatisme mandibula, strabismus,
palatum melengkung tinggi dengan sumbing langit-langit sesekali, dan macrocephaly. Karakteristik
wajah sering berkembang dari waktu ke waktu, terutama dahi menonjol dan dagu.
Abnormalitiesconsist Genital dari macroorchism (testis lebih dari 25 ml size) pada laki-laki
pascapubertas. Fenotip kognitif ditandai dengan fitur spektrum termasuk keterlambatan
perkembangan pada anak, retardasi mental dari yang ringan sampai yang berat, level IQ, dan
ketidakmampuan belajar.

• Wanita dengan mutasi penuh

Secara umum, wanita dengan mutasi penuh memiliki fitur lebih ringan dibandingkan laki-laki
dengan mutasi penuh tetapi mereka juga menunjukkan kisaran yang sama, perilaku, wajah. Lebih
dari 50% dari wanita dengan mutasi penuh memiliki beberapa karakteristik ciri- ciri fisik yang
terkait dengan sindrom fragile X. Gangguan intelektual lebih ringan pada wanita dibandingkan pada
laki-laki yang terkena.

Fungsi kognitif dapat berkisar dari kecerdasan normal untuk gangguan belajar,dan
keterbelakangan mental. Studi menunjukkan bahwa sekitar 53-71% dari wanita dengan mutasi penuh
memiliki IQ di kisaran batas atau retardasi mental. Perempuan dengan mutasi penuh yang memiliki
IQ yang normal mungkin memiliki kesulitan belajar atau masalah emosional termasuk kecemasan
sosial, sifat bisu selektif, rasa malu, kontak mata yang buruk, hiperaktif, dan perilaku impulsif.
3. Gejala

Gejala klinik yang khas pada penderita sindrom fragile-X selain retardasi mental adalah :

• Muka sempit dan panjang

• Telinga besar

• Dagu dan dahi menonjol

• Testis besar pada remaja dan dewasa

• Langit-langit mulut tinggi

• Bagian kaki rata

• Kekuatan kurang

• Mata bersilang

• Kecenderungan untuk terkenanya infeksi telinga

• Tulang sendi terlalu lentur,terlebih tangan dan pergelangan tangan


Kebiasaan :

• Perkembangan yang cenderung lambat

• Ketidakmampuan dalam belajar dan kepandaiian

• Kurang perhatian dan hiperaktif

• Tangan mengepak-ngepak seperti burung

• Kontak mata yang buruk

• Pemalu, dan gelisah

• Keterlambatan dalam berbicara

• Berbicara cepat dan berulang-ulang

• Sulit dalam hal peralihan

• Sensitive terhadap suara, sentuhan, keramaian,

Gejala yang dapat muncul di kemudian hari adalah adanya menopause dini dan invertilitas
pada wanita yang masih dalam usia produktif, wanita ini adalah wanita carrier pembawa gen fragile
X.Sedangkan Gejala lain yang dapat muncul pada laki-laki dan perempuan adalah adanya tremor atau
sindrom ataxia di usia yang lebih dari 50 tahun.

4. Patogenesis
Patogenesis ataupun dasar mekanisme genetik dari kelainan ini belum jelas diketahui.
Sindroma fragile X merupakan suatu keadaan unik dimana ter-jadi transmisi genetik MR secara
terikat kromosom X (X link-ed), sehingga laki-laki yang ter-kena mengalami fragilitas pada bagian
distal kromosom X.
Fragilitas ini tampak dengan frekuensi tinggi bila sel dikultur pada media dengan defisiensi timidin,
dan frekuensi-nya bertambah bila pada media tersebut ditambahkan 5-fluoro-deoxiuridin yang
merupakan su-atu timidilat sintetase inhibitor.
Sindroma fragile X mem-perlihatkan pola herediter X linked, dimana tidak pernah terjadi
transmisi dari laki-laki ke laki-laki. Tetapi berlainan dengan penyakit lain yang diturunkan secara X
linked resesif, pada sindroma ini baik laki-laki maupun wanita dapat mengalami kelainan klinik. Juga
terdapat pola transmisi yang tidak biasa bila diobservasi pada suatu keluarga besar, di mana gen ini
akan ditransmisikan dari laki-laki asimptomatik kepada anak perempuannya yang asimptomatik, dan
kemudian pada generasi ketiga baru timbul gejala. Pola ini tidak sesuai untuk kelainan X linked,
dimana biasa-nya fenotip akan manifest pada laki-laki yang membawa gen mutan. Pola ini dikenal
sebagai “Sherman paradox”.
Dasar dari Sherman para-dox dan fragilitas kromosom X telah menjadi jelas sejak gen pe-
nyebab sindroma fragile X berhasil diklon. Gen ini adalah FMR-1 (fragile X mental retardation-1)
yang diekspresikan de-ngan level yang tinggi pada neuron. Gen FMR-1 terletak pa-da regio promoter
(pada regio 5 ’ UTRs) di mana triplet basa “CGG” berulang beberapa kali (antara 5 sampai 50 kali
pada populasi umum). Pengulangan dalam range yang normal tidak mempunyai pengaruh terhadap
ekspresi FMR-1 ataupun efek fenotipik. Pengulangan ini lambat laun bertambah dalam beberapa
generasi dan secara progresif menjadi tidak stabil, mungkin oleh karena adanya slippage (duplikasi
inakurat yang timbul pada pengulangan identik yang terlalu banyak). Jadi transisi dari alel natural
menjadi alel mu-tan terjadi melalui tahap inter-mediate yang disebut premutasi. Pada keadaan
premutasi, jum-lah pengulangan ini meningkat sebanyak 50-200 pengulangan. Hal ini terjadi pada
wanita pem-bawa sifat atau laki-laki yang asimptomatik (“Normal Trans-mitting Male” = NTM).
Elongasi dari > 50 pengulangan dapat secara mendadak menga-lami ekspansi menjadi ≥ 200 da-lam
satu generasi. Perubahan besar atau mutasi penuh ini a-kan menghentikan promoter dan
menghentikan produksi gen. Pada individu dengan mu-tasi penuh, tampak daerah yang fragil pada
daerah Xq27.3. Individu dengan pengulangan masif triplet CGG sampai > 200 kali disertai
penekanan ekspresi gen FMR-1 ini jika laki-laki akan menderita RM, sedangkan wanita dapat
bersifat sebagai pembawa sifat ataupun menderita RM dengan derajat lebih ringan.
Sherman paradox dapat dijelaskan dengan mekanisme transisi dari melalui premutasi tadi. Alel
premutasi bersifat tidak stabil dan dapat mengalami ekspansi menjadi mutasi pe-nuh pada generasi
berikutnya, di mana ekspansi menjadi mutasi penuh ini tidak terjadi pada laki-laki. Jadi Sherman
paradox dijelaskan dengan adanya premutasi pada laki-laki asimpto-matik yang meneruskannya
kepada anak perempuannya yang kemudian menurunkan mutasi penuh kepada beberapa individu dari
keturunannya.
Walaupun mutasi gen FMR-1 diketahui berhubungan dengan kelainan neurobehavio-ral
spesifik, tetapi fungsi dari produk gen tersebut yaitu FMRP (FMR Protein) belum jelas diketahui.
Dikatakan bahwa FMRP terdapat dalam jumlah banyak pada neuron dari otak mamalia normal,
sehingga didu-ga berperan penting dalam per-kembangan dan fungsi otak. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa FMRP berhubungan dengan jumlah dan panjang dendrit neuron hipokampus.
Binatang dengan FMRP yang jumlahnya sedikit ternyata neuron hipokampusnya memiliki hubungan
sinaptik yang lebih sedikit daripada kontrol.
Walaupun ekspansi CGG merupakan basis sindroma fra-gile X pada sebagian besar indi-vidu,
Albright et al 1994; De Graaff et al 1996; Mannermaa et al 1996 menyatakan ada jenis mutasi lain
yang dapat terjadi walaupun jarang, yaitu delesi gen FMR-1.

5. Diagnosa
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan post natal dengan menggunakan pemeriksaan
DNA, biasanya dilakukan pada anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah dan juga pada anak-
anak penderita autism.

6 .Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk sindroma fragile X.Penanganan dini yang bisa dilakukan berupa
terapi bicara dan berbahasa, serta terapi okupasi. Terapi ini dapat membantu anak-anak dengan
sindroma fragile X memaksimalkan kemampuan mereka.

7 .Pencegahan
Jika di dalam keluarga ada riwayat sindroma fragile X, maka dianjurkan melakukan konsultasi
genetik untuk mengetahui resiko terjadinya sindroma yang sama pada keturunannya.

Parkinson’s Disease
Pengertian
Penyakit Parkinson adalah penyakit susunan saraf yang serius dan berlangsung progressif,
ditandai gerakan tubuh abnormal sebagai akibat dari kegagalan otak mengatur dan
mengkoordinasi fungsi otot tersebut.

Proses
Penyakit Parkinson terjadi karena tubuh kita khususnya otak kekurangan zat yang disebut
dopamine. Dopamine adalah mediator yang dibutuhkan otak untuk mengatur dan
mengkoordinasi kapan dan jenis gerakan yang harus dilaksanakan oleh otot. Normalnya,
dopamine dihasilkan oleh sel-sel saraf tertentu di otak, bila sel saraf tersebut rusak sehingga
produksi dopamine berkurang maka kemampuan otak mengatur dan mengkoordinasi gerakan
akan terganggu dengan risiko timbul gerakan yang abnormal.

Penyebab
Hingga saat ini penyebab pasti penyakit Parkinson masih belum diketahui, namun diduga
ada kaitan dengan faktor genetik, usia dan keracunan menahun oleh pestisida dan herbisida.

Faktor Resiko
Faktor yang diduga berperan terjadinya penyakit Parkinson ialah :

1. Usia, penyakit Parkinson umumnya terjadi ada usia 50 – 70 tahun, dengan bertambahnya usia
kemungkinan terkena penyakit Parkinson makin besar.

2. Jenis kelamin. Laki-laki lebih berisiko daripada wanita


3. Merokok

4. Pekerjaan, khususnya petani karena risiko terpapar pestisida/herbisida lebih besar

Gejala
Gejala penyakit Parkinson sangat individual, karena penyakit berkembang lambat dan
bertahap sehingga pada stadium awal sering tidak terdeteksi. Gejala yang dapat ditemukan ialah :

1. Tremor pada jari tangan saat istirahat (resting tremor), seperti orang menggulung batang
rokok (pill rolling), tremor juga dapat terjadi di kaki.

2. Wajah kaku, kurang ekspresi, kurang senyum dan mata jarang kedip (maskliked face).

3. Suara lemah dan monoton.

4. Sulit memulai dan mengkontrol gerakan.

5. Berjalan dengan langkah kecil,lambat, terseret, sulit membelok arah dan sulit berhenti.

6. Tak ada ayunan lengan saat berjalan.

7. Kekakuan otot leher, lengan, punggung dan tungkai, sampai posisi badan membungkuk.

8. Gangguan keseimbangan tubuh sehingga mudah terjatuh ke belakang.

9. Tulisan kecil.

10. Air liur menetes.

11. Susah tidur.

Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, Hornikiewicz membagi penyakit Parkinson atas:

1. Penyakit Parkinson primer atau idiopatis


Jenis yang paling sering dijumpai, sekitar 7 dari 8 kasus. Disebut juga Paralysis Agitans .
Etiologinya diduga akibat berkurangnya jumlah dopamine dari substansia nigra dan
striatum, adanya toksin lingkungan dan penyebab penyebab idiopatis seperti tumor otak,
penyakit cerebrovaskular

2. Penyakit Parkinson sekunder atau simptomatis


Etiologinya akibat adanya arterio sklerosis, anoksia, dan isemi otak serta pasca ensefalitis
3. Penyakit Parkinson plus atau paraparkinson
Berbeda dengan Parkinson idiopatis meskipun kehilangan sel safar pada substansia nigra,
tetapi perubahan utamanya tidak timbul di otak melainkan di tempat lain. Gejala yang timbul
hanya sebagian dari gambaran klinis penyakit. Penyebab biasanya karena adanya penyakit
Supra Nuclear Palsy (SPN), Cortio Basilar Degeneration (CBD), dan Multi system Atrofi
(MSA)

4. Parkinson pugilistic
Parkinson yang biasa menyerang para petinju atau mantan para petinju dikarenakan
banyak menerima pukulan-pukulan pada kepala sehingga terjadi pendarahan serebral di otak.

5. Selain jenis-jenis diatas, ada juga Parkinson yang disebabkan oleh obat. Namun bersifat
reversible, ketika obat dihentikan maka akan sembuh.

Obatnya adalah: Transquilizer, Cholopromazine, Proxilin, Compazine .


Tidak dijumpai hilangnya sel dopamine pada substansia nigra

Diagnosis
Belum ada tes khusus untuk memastikan seseorang menderita penyakit Parkinson. Pada
umumnya dokter membuat diagnosis berdasarkan hasil wawancara tentang riwayat penyakit,
keluhan dan kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik, Untuk memastikan diagnosis,
penderita mungkin akan diberi obat anti-Parkinson (Levo-dopa) dengan dosis yang optimal, bila
respons pengobatan sangat baik, maka diagnosis penyakit Pakinson tidak diragukan.

Penatalaksanaan

▪ Dapat diberikan obat-obat dopaminergik (L-dopa) atau obat antikolinergik untuk mengurangi
gejala
▪ Pada beberapa penelitian, transplantasi sel-sel ganglion basal atau medulla adrenal (tempat lain
pembentukan dopamine) dari janin ke otak pasien pengidap Parkinson dapat memberikan
hasil yang baik

Biomolecular Diagostic

Polymerase Chain Reaction (PCR)


Salah satu perkembangan teknik biologi molekuler yang sangat membantu dalam pengembangan
uji-uji diagnostik adalah PCR.

PCR dapat mengamplifikasi DNA dan jumlah yang sedikit menjadi jumlah yang dapat
dideteksi/banyak. Adanya penemuan DNA polymerase (Taq polymerase) yang stabil pada
temperatur tinggi dan pengembangan alat yang mengatur temperatur proses PCR secara
otornatis, telah membuat PCR dapat digunakan untuk uji-uji diagnostik secara praktis. DNA
polymerase adalah enzim yang dapat mensintesis rantai DNA yang baru dan DNA yang sudah
ada. Penemuan enzim yang tahan panas sangat membantu untuk mensintesis DNA baru, karena
tahap awal proses PCR dilakukan dengan cara pemanasan rantai DNA yang sudah ada pada
temperatur 90°C.

Reaksi Rantai Polimerase atau Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik
sintesis untuk mengamplifikasi atau melipatgandakan fragmen DNA target secara invitro dengan
eksponensial yang menggunakan primer atau pemula DNA yang tepat. Proses tersebut mirip
dengan proses replikasi DNA in vivo. Berbeda dengan proses replikasi yang berlangsung secara
diskrit untuk sepanjang rantai DNA, maka pada proses PCR reaksi ini berjalan kontinu, tetapi
hanya untuk satu segmen tertentu saja dari suatu DNA.

Teknik PCR ditemukan pertama kali oleh Kary, B. Mullis pada tahun 1985. Impian Mullis
dimulai ketika di bulan April, malam Jumat, 1983, saat membawa kendaraannya keluar kota
pada bulan purnama menuju ke Negara bagian utara California dimana Mullis mendapatkan
inpirasi yang bermakna dengan menemukan cara baru untuk mendeteksi urutan basa yang
spesifik dari DNA.
Penemuan yang mempesonakan itu dipublikasi pada American Scientific, 1990, yang memberiny
peluang pada tahun 1993 mendapatkan hadiah Nobel dalam kimia atas penemuan PCR. Semula
Mullis menggunakan enzim Klenow fragmen E.coli DNA Polymerase I untuk memicu
perpanjangan potongan DNA yang spesifik. Namun, enzim ini tidak dapat bertahan pada saat
tahapan denaturasi dari PCR, sehingga mengharuskan penambahan enzim yang baru lagi pada
setiap siklus PCR.Kondisi ini merupakan suatu hambatan yang kritis, khususnya pada teknik
yang diharapkan berlangsung secara automatis.Klenow enzim dapat bekerja baik pada potongan
DNA yang pendek (<200bp), tetapi tetapi tidak bis bekerja pada potongan DNA yang lebih
besar, karena hasilnya yang memberikan sensitifitas yang rendah dan memperlihatkan hasil yang
heterogen.

Hal ini disebabkan karena tahapan annealing yang rendah dan perubahan temperatur (37’C) yang
harus disesuaikan untuk mengaktifkan enzim Klenow.Situasi yang sangat memperihatinkan pada
awal dimulainya PCR ini ialah bahwa teknik ini dilakukan secara manual dari satu waterbath ke
waterbath lainnya sesuai tahapan dari PCR. Setelah beberapa tahun berikutnya didapatkan enzim
thermostable DNA Polymerase yaitu Taq DNA Polymerase, PCR menjadi sangat populer dalam
penelitian. Penemuan enzim ini juga memberi peluang untuk dilakukannya setiap tahapan PCR
secara automatis, sehingga PCR sekarang telah dapat dikerjakan dengan mesin.

Untuk mendeteksi potongan DNA yang spesifik dengan PCR diperlukan informasi dari tiap
mikroorganisme yang memiliki potongan DNA yang spesifik untuk golongannya.Dengan
merancang komplementer potongan DNA yang spesifik dari mikroorganisme tersebut, maka
dapat dihasilkan pemula DNA atau disebut juga primer. Potongan DNA yang spesifik ini akan
berikatan dengan pasangan yang komplementer dengannya, dan inilah yang dilipatgandakan atau
diamplifikasi sampai jutaan dalam waktu sekitar 4 jam pada mesin PCR. Untuk mendukung
amplifikasi tersebut diperlukan berbagai zat lainnya, kemudian divisualisasikan melalui
elektroforesis dan proses hibridisasi. Keseluruhan proses PCR membutuhkan waktu hanya 2 hari.

Pada perkembangan penggunaan PCR dilakukan pemurnian terhadap sampel yang akan di tes.
Permunian sampel DNA dilakukan dengan memakai metode Boom (1990).Metode ini
menggunakan Chaotropic agent guanidium thiocyanate (GuSCN) dan diatom.GuSCN dan
diatom menghilangkan hambatan secara efisien terhadap berbagai macam sampel dari rumah
sakit.GuSCN berfungsi untuk lisis dan menginaktifkan asam nukleat, sedangkan partikel silica
ataupun diatom berfungsi mengikat asam nukleat.

Untuk mengamplifikasi DNA dilakukan 30-40 kali siklus proses PCR. Satu siklus terdiri dari 3
tahap, yaitu tahap denaturasi pada temperatur 95°C, tahap hibridisasi primer pada temperatur 37°
sampai 56°C dan tahap polimerisasi pada temperatur 72°C. Secara umum, DNA yang akan
diamplifikasi diapit oleh sepasang primer sintetik yang merupakan potongan pendek dari DNA
yang spesifik/komplementer yang berfungsi sebagai template dari DNA yang akan diamplifikasi.
DNA target yang akan diamplifikasi didenaturasi terlebih dahulu dengan pemanasan, kemudian
primer ditambahkan pada DNA target dan temperatur diturunkan agan terjadi proses hibridisasi.
Bila tahap polimerisasi dimulai, maka rantai DNA target yang terdapat di antara primer akan
diperbanyak menjadi dua rantai dengan panjang yang sama seperti DNA target. Dengan adanya
pengulangan tahap-tahap denaturasi, hibridisasi dan polimerisasi beberapa kali, maka DNA
target akan diperbanyak secana efektif. Bila enzim reverse transcriptase yang mensintesis DNA
dan template RNA, digunakan pada tahap awal proses PCR, maka RNA ribosom dan genomik
dan virus RNA juga dapat di amplipikasi
Prinsip dasar suatu PCR adalah : pasangan primer menghibridisasi sekuens komplemen terget
pada rantai DNA yang sebelumnya telah terdenaturasi. Sintesis DNA kemudian berlangsung
dengan bantuan enzim polimerase di sepanjang daerah diantara primer.

PCR dilaksanakan dengan cara menginkubasi sample pada temperatur yang berbeda pada tahap,
dalam suatu siklus PCR, yaitu tahap :

1. Denaturasi
Dengan pemanasan 95 oC rantai DNA akan berpisah, karena panas dapat merusak ikatan
hidroksi antara basa-basa yang komplementar.

2. Annealing ( penempatan / pemasangan primer )


Primer dipasangakan pada tempat yang sesuai ( berkomplementer dengan rantai tunggal DNA )
melalui proses pembentukan iktan hidroksi.Untuk proses pemasangan primer ini dibutuhkan
temperature yang berbeda dari setiap primer.

3. Extension ( Perpanjangan)
Setelah primer ditempatkan pada posisi yang tepat, dimulailah proses pemanjangan rantai baru
DNA yang berkomplementar, dengan bantuan enzim DNA polymerase sehingga terbentuk suatu
fragmen rantai ganda DNA yang spesifik. Enzim yang stabil pada temperatur tinggi ini akan
membantu proses penempaan nukleotida yang dibutuhkan sampai terbentuknya suatu rantai
ganda DNA, temperatur optimal yang dibutuhkan untuk proses ini adalah 72o C.

PCR dapat digunakan dalam uji-uji diagnostik untuk mengamplifikasi asam nukleat dan agen-
agen penyakit yang ada dalam jumlah sedikit sehingga sensitifitas uji dapat ditingkatkan. DNA
yang telah diamplifikasi selanjutnya diidentifikasi dengan teknik hibridisasi yang rnenggunakan
probe asam nukleat yang spesifik, atau dengan analisis restriction fragment length polymorphism
(RFLP) dan elektroforesis pada gel agarose atau dengan cara sekuensing.

Perkembangan selanjutnya terhadap pemanfaatan mesin PCR, dibedakan antara PCR unipleks
dan PCR multipleks.Bila digunakan hanya satu pasang primer disebut PCR unipleks, sedangkan
PCR yang menggunakan lebih dari satu pasang disebut PCR multipleks tak ada perbedaan pada
tahapan denaturasi, annealing dan elongation, terkecuali pada kandungan PCR-miks, waktu
tahapan dan jumlah sikling temperatur.

Daftar Pustaka

Braum K, Segal M. 2000.FMRP Involvement in Formation of Synap-ses among


Culture Hippocampal Neurons.Dalam : Cerebral Cortex. Vol. 10:1045-1052. (Abstrakdari
Medline).

Campbell NA, dkk. Biologi.Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.


2000. 265-267.

Corwin, Elizabeth J. 2009. BUKU SAKU PATOFISIOLOGI EDISI 3. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 20. Jakarta: EGC PenerbitBuku
Kedokteran.2003. 515-518.

Gillberg C. 1995. Clinical Child Neuro-psychiatry.Cambridge University Press.

Menkes J. H. 1990. Textbook of Child Neurology.4 th edition. Lea &Febiger.


Philadelphia. London. Halaman : 198 –201.

Neal, M.J. 2006. At a glance FARMAKOLOGI MEDIS Edisi ke-5. Jakarta : Penerbit
Erlangga.

Swaiman K. F., Ashwal S. 1999. Pediatric Neurology.Principles & Practice.3 rd


edition. Mosby, Inc.
Turner G., Robinson H.l, Wake S., Laing S., Partington M. 1997.Case Finding for the
Fragile X syndromeand its consequences. BMJ Widjaja, Sutopo MS. 2014. Penyakit
Parkinson. http://dokita.co diakses pada 14/10/14

Anda mungkin juga menyukai