Anda di halaman 1dari 22

Bab I. Pendahuluan.

PENDAHULUAN

Ditinjau dari tujuannya dikenal dua jenis penelitian, yakni


penelitian dasar (basic research) dan penelitian terapan (applied
research). Penelitian dasar bertujuan untuk menghasilkan atau
mengembangkan pengetahuan ilmiah atau yang sering disebut sebagai
ilmu (sains), sedangkan penelitian terapan bertujuan untuk menghasilkan
dan mengembangkan teknologi atau rekayasa terapan. Buku ini lebih
fokus akan membahas penelitian pada jenis yang pertama, yakni
penelitian sebagai proses untuk menghasilkan dan mengembangkan ilmu
(sains). Oleh karena itu setelah pada sub bab pertama membahas
pengertian penelitian, maka pada sub bab kedua bagian pendahuluan ini
akan membahas pengertian ilmu dan hubungan ilmu dengan filsafat.
Selanjutnya berturut-turut akan dibahas kaitan antara ilmu, filsafat dan
agama, anatomi ilmu, dan terakhir akan dibahas jenis-jenis penelitian dari
berbagai aspek atau sudut pandang penelitian.

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 1


Bab I. Pendahuluan.

1. Pengertian penelitian.
Penelitian atau riset (research), adalah kegiatan ilmiah yang
berusaha menyelidiki, memahami dan mendeskripsikan fenomena alam,
untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah, teknologi atau rekayasa terapan
yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan penyelesaian masalah-
masalah lapangan yang muncul terkait dengan fenomena tersebut.
Sebagai proses kegiatan ilmiah, input penelitian adalah data atau rekaman
atas realita fenomena alam dan outputnya adalah pengetahuan ilmiah
(pengetahuan ilmu) atau seperangkat teknologi yang bermanfaat untuk
menyelesaikan masalah. Kegiatan ilmiah yang dimaksud adalah, kegiatan
yang sejak dari proses pengumpulan, pengolahan, dan analisis data,
hingga sampai penarikan kesimpulan dilakukan dengan metodologi yang
dapat dipertanggungjawabkan, secara rasional, dan dapat diverifikasi
secara empiris, sehingga menghasilkan temuan yang sahih (valid),
sebagai kebenaran ilimu (sains). Kegiatan penelitian dimulai sejak dari
merumuskan masalah penelitian, menentukan teori-teori rujukan yang
relevan, menentukan metode, mengumpulkan, mengolah, dan
menganalisis data, sampai dengan membahas, dan menyimpulkan, serta
merekomendasikan hasil penelitian kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
Penelitin adalah sebagai proses, dan outputnya adalah
pengetahuan ilmiah atau yang sering disebut sebagaii ilmu (sains). Output
lain yang dihasilkan oleh kegiatan penelitian adalah teknolgi, model atau
rekayasa terapan, baik yang bersifat fisik atau non fisik yang bermanfaat
untuk menyelesaikan permasalahan di lapangan. Senada dengan
pemahaman ini, Nazir (1983), menjelaskan bahwa penelitian adalah
proses, dan ilmu pengetahuan adalah hasil dari penelitian tersebut.
Sedangkan Kuncoro (2003) menyatakan, bahwa penelitian adalah sebagai
aplikasi secara formal dan sistematis dari metode ilmiah untuk
mempelajari dan menjawab permasalahan. Dalam kegiatan bisnis, Cooper
& Emory (1995) mendefinisikan, penelitian sebagai penyelidikan
sistematis yang memberikan informasi untuk menuntun keputusan bisnis.
Penelitian yang berorientasi untuk menghasilkan atau
mengembangkan ilmu, sering disebut sebagai penelitian murni (pure
research) atau penelitian dasar (basic research). Sedangkan penelitian,
yang berorientasi untuk menghasilkan teknologi sering disebut sebagai
penelitian terapan (applied research). Penelitian pada jenis pertama ini
yang akan dibahas lebih jauh pada bagaian berikutnya di buku ini.

2 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

2. Ilmu dan Filsafat.


Ilmu (sains) adalah seperangkat pengetahuan ilmiah yang
diperoleh melalui metodologi riset (research) yang menjelaskan
fenomena alam, dan bersifat empiris. Sifat empiris dalam ilmu artinya,
bahwa kebenaran yang diketengahkan oleh ilmu dapat dibuktikan atau
diverifikasi melalui panca indra di dunia nyata. Menurut Nazir (1983),
ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang menjelaskan berbagai gejala
alam secara apa adanya. Ilmu adalah pengetahuan yang sistematis dan
terorganisasi. Davis & Cosenva (1993) menjelaskan ilmu sebagai
sekumpulan teori yang mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena,
dalam suatu bidang studi tertentu. Secara anatomis, ilmu terdiri dari
sejumlah teori serumpun yang saling melengkapi dan memperkaya
kandungan ilmu tersebut.
Berbeda dengan ilmu, filsafat diartikan sebagai kebenaran yang
bersumber dari proses pemikiran atau pendayagunaan akal (rasio).
Pembuktian empiris dalam filsafat bukan menjadi perhatian pokok. Objek
telaah filsafat menyangkut materi yang bewujud (fisika) atau yang tidak
berwujud (metafisika). Sedangkan objek telaah ilmu hanya terbatas pada
materi yang berwujud. Sekalipun pada awalnya ilmu disamakan dengan
filsafat, namun pada perkembangan selanjutnya ilmu menjadi cabang
pengetahuan yang berdiri sendiri dan terpisah dari filsafat. Ilmu memiliki
sifat pokok empiris, sedangkan filsafat memiliki sifat pokok rasional.
Kebenaran ilmu bersifat tentatif (sementara), sedangkan kebenaran
filsafat bersifat spekulatif.
Pada perkembangan selanjutnya, kebenaran ilmu (empiris) dan
kebenaran filsafat (rasio) saling melengkapi dan menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam proses pengembangan dan penemuan ilmu. Melalui
kecerdasan rasio (filsafat) objek ilmu ditelaah secara mendasar,
komprehensip, kritis dan spekulatif. Hasil pemikiran filsafat atau rasio
menjadi dasar ke arah penemuan dan pengembangan ilmu (sains). Dalam
hal ini filsafat berperan sebagai pintu pembuka atau awal pemikiran
mendasar untuk menguatkan landasan dan prinsip-prinsip pemikiran yang
dianut oleh ilmu. Filsafat memberikan justifikasi logis, sejak dari
perumusan masalah, analisis dan pembahasan, hingga sampai pada
penemuan pengetahuan ilmu. Keterkaitan antara filsafat dan ilmu ini pada
akhirnya melahirkan cabang pengetahuan tersendiri yang disebut sebagai
filsafat ilmu.

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 3


Bab I. Pendahuluan.

3. Ilmu, Filsafat dan Agama


Kebenaran filsafat (rasio) dan ilmu (empiris), adalah dua jenis
sumber kebenaran yang memiliki karakteristik pokok masing-masing
dengan segala keterbatasannya. Kebenaran filsafat, hanya bersumber
pada akal atau rasio, sedangkan kebenaran ilmu (sains) bersumber pada
metode ilmiah atau hasil penelitian yang bersifat empiris. Disamping
kebenaran filsafat dan kebenaran ilmu, yang tidak kalah pentingnya
adalah kebenaran agama yang bersumber dari wahyu. Dilihat dari
sifatnya, kebenaran agama bersifat mutlak, dipercaya, dan diyakini
sebagai kebenaran yang hakiki. Dalam agama, posisi akal atau rasio
dibutuhkan untuk mempelajari dan menyempurnakan keyakinan.
Kegagalan akal dalam meraih kebenaran agama, disebabkan oleh
keterbatasan akal itu sendiri, oleh karena itu tidak akan melemahkan
kedudukan agama sebagai kebenaran yang hakiki. Dalam hal ini bukti
empiris atau pengalaman inderawi tidak diperlukan.
Berbeda dengan kebenaran agama, kebenaran filsafat hanya
bersumber dari akal atau rasio semata. Kecerdasan akal menjadi landasan
utama dalam proses mendapatkan kebenaran filsafat. Peran akal dalam
filsafat menjadi mutlak dibutuhkan. Akal menjadi andalan utama dalam
proses mendapatkan kebenaran, bahkan kadang abai terhadap bukti
empiris, karena itu kebenaran filsafat bersifat spekulatif. Kebenaran ilmu
(sains) bersumber dari metode ilmiah. Ilmu diperoleh melalui proses
penelitaian (research) berdasarkan prosedur dan teknik, serta kaidah
metodologi penelitian. Ilmu bersifat tentatif, artinya ilmu akan diakui
sebagai kebenaran, jika teori, dalil atau hukum-hukum ilmiah yang
diketengahkan oleh ilmu masih dapat dibuktikan secara nyata di lapangan
empiris. Namun sebaliknya ilmu akan menjadi gugur, jika teori, dalil atau
hukum-hukum ilmiah yang diketengahkannya sudah tidak berlaku lagi
atau gagal dalam pembuktian di lapangan nyata. Dasar utama ilmu adalah
fakta empiris dan posisi akal atau rasio menjadi pendukung utama.
Perbandingan karakteristik kebenaran agama, filsafat dan ilmu (sains)
dapat diilustrasikan dalam table 1.1.

4 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

Tabel 1.1
Perbandingan Karakteistik Agama, Filsafat dan Ilmu (Sains)

Aspek Agama Filsafat Ilmu/ Sains


Sumber Wahyu Akal/ rasio Metode ilmiah
Sifat Mutlak/ dogmatis Spekulatif Tentatif
Dasar Keyakinan/ iman Kecerdasan Fakta empiris
Posisi akal Menyempurnakan Utama Pendukung utama
keyakinan
Bukti empiris Tidak diperlukan Tidak diperlukan Mutlak diperlukan

Perbandingan karakteristik kebenaran seperti diuraikan di muka


merupakan kajian ilmu dalam persepektif sains barat, yang bersifat
positivistik. Dalam perspektif sains barat, ilmu harus empiris, posisi akal
menjadi pilar pendukungnya, dan materi menjadi objek sentral kajiannya.
Secara filosofis, pandangan sains barat yang demikian, sesungguhnya
bersumber dari tiga aliran utama, yakni rasionalisme, empirisme dan
materialisme. Dalam kajian epistemologi ilmu dewasa ini, tiga pilar
tersebut telah memunculkan kritik dan perdebatan yang mendalam. Sains
barat yang meniadakan unsur religiusitas dalam proses penemuan dan
pengembangan ilmu, dipandang telah mengingkari hakekat kebenaran
ilmu yang sejati. Kebenaran sains barat, sekalipun telah mengkontribusi
terhadap tumbuh dan berkembangnya tekonologi secara pesat, namun
hanya mampu membawa kepuasan lahiriyah atau indrawi semata, namun
gagal menciptakan kebahagiaan sejati bagi umat manusia, secara lahir
maupun batin.
Dalam pandangan islam, menurut Husaini et.al (2013), sumber
kebenaran ilmu tidaklah hanya semata-mata lahir dari rasionalitas dan
emperisme, namun juga berasal dari khabar shadiq (true report), yakni
A-Qur’an dan Al-Hadist. Terkait dengan hal ini, Wan Mohd Nor Wan
Daud, seorang guru besar dari UTM Malaysia, dalam Husaini, et.al
(2013) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tiba melalui berbagai
saluran, yakni panca indera (al-hawass al-khamsah), akal pikiran sehat
(al-‘aql al-salim), berita yang benar (al-khabar al-shadiq), dan intuisi
(ilham). Dalam hal ini kebenaran ilmu, filsafat dan agama dipahami
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ilmu, juga
menyangkut dunia materi (fisika), sebagaimana dalam pemahaman ilmu
(sains) barat, namun juga menyangkut dunia imaterial (metafisika), atau
dunia ruh.

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 5


Bab I. Pendahuluan.

Kajian lebih mendalam, terkait dengan berbagai pandangan


terhadap kebenaran ilmu, dapat dijumpai dalam buku-buku filsafat ilmu,
utamanya yang mengkaji perbandingan ilmu atau sains barat dengan ilmu
yang berbasis pada relegiusitas atau spiritualitas. Sebagai buku penelitian
yang ingin menghantarkan pembaca, bagaimana penelitian berbasis
posivistik-kuantitatif, secara metodologis dapat dilaksanakan, maka
perdebatan tentang epistemologi ilmu tersebut, belum menjadi target
dalam kajian buku ini.

4. Anatomi Ilmu
Ilmu (sains) adalah seperangkat pengetahuan ilmiah yang
diperoleh melalui metodologi riset (research) yang menjelaskan
fenomena alam, dan bersifat empiris. Sifat empiris dalam ilmu, artinya,
bahwa kebenaran yang diajukan oleh ilmu dapat dibuktikan oleh panca
indra manusia. Tercakup dalam ilmu adalah postulat atau anggapan dasar,
teori, dalil atau hukum, dan konsep, konstruk atau variabel. Gambar 1.1.
mengilustrasikan anatomi ilmu yang mencakup elemen-elemen postulat,
teori, dan hukum yang dimaksud.

Ilmu Teori
Hukum

Hukum
Hukum
Pustulat
Pustulat

Hukum
Hukum
Hukum
Hukum
Hukum
Hukum

Postulat
Teori Teori

Gambar 1.1
Anatomi Ilmu

6 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

a. Postulat.
Postulat, adalah anggapan dasar yang dianut atau dirujuk oleh
satu disiplin ilmu tertentu, yang kebenarannya diterima oleh umum tanpa
memerlukan pembuktian. Postulat lahir dari kajian filosofis atau
pemikiran filsafat para tokoh atau pemikirnya. Sebagai contoh, dalam
ilmu ekonomi kapitalis dikenal adanya tiga karakteristik kapitalisme
pasar bebas yang diajarkan oleh tokoh ekonomi kapitalis Adam Smith,
yakni (1) kebebasan (freedom), yaitu hak untuk memproduksi dan
menukar (memperdagangkan) produk, tenaga kerja dan kapital, (2)
kepentingan diri (self interest), yaitu hak seseorang untuk melakukan
usaha sendiri dan membantu kepentingan diri orang lain, (3) persaingan
(competition), yaitu hak untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan
dan jasa (Skousen, 2001). Tiga karakteristik tersebut dapat dipahami
sebagai postulat dalam ekonomi pasar bebas.
Akuntansi sebagai ilmu, juga memiliki beberapa postulat atau
anggapan dasar, yang diperkenalkan oleh para tokoh pemikir akuntansi,
atau beberapa badan yang memiliki otoritas dalam pengaturan akuntansi.
Salah seoerang pemikir akuntansi, Work dan Tearney, dalam Suwardjono
(2014) mendeskripsikan empat postulat akuntansi, yakni: (1) Usaha
berlanjut (going concern), (2) Periode waktu (time period), (3) Entitas
akuntansi (accounting entity), dan (4) Unit moneter (monetary unit).
Postulat menjadi arah dalam pengembangan ilmu, teori, hukum
atau dalil sekaligus memberi landasan filosofis dalam penerapan ilmu di
lapangan empiris. Postulat berkait erat dengan pandangan filosofis para
tokoh pengembangnya. Bahkan ada kalanya berkait pula dengan
keyakinan para tokohnya. Perdebatan dalam studi perbandingan mahzab
ekonomi misalnya, pada dasarnya adalah perdebatan ontologis (hakekat)
keilmuan yang menyangkut pada ranah postulat yang dianutnya. Dengan
demikian posisi postulat, dalam struktur atau anatomi ilmu pada
hakekatnya menempati level puncak filosofis ilmu yang bersangkutan.
Posisi postulat berada di ranah kajian ontologis keilmuan yang bergulat
dengan pembenaran ilmu secara kritis, radikal dan komprehensif melalui
penalaran yang rasional.

b. Teori.
Teori adalah serangkaian proposisi (pernyataan) umum yang
telah teruji di lapangan empiris melalui penyelidikan atau penilitian
dengan cara atau metode ilmiah. Proposisi umum yang dimaksud adalah

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 7


Bab I. Pendahuluan.

pernyataan kebenaran yang menggambarkan keterkaitan secara logis dan


sistematis antara dua atau lebih variabel sehingga membentuk hukum
(dalil) sebab akibat (kausalitas) yang memberikan gambaran, penjelasan
dan peramalan tentang suatu fenomena tertentu. Menurut Sekaran (2003),
teori adalah upaya untuk mengintegrasikan semua informasi secara logis
sehingga alasan atas masalah yang diteliti dapat dikonseptualisasikan dan
diuji. Sedangkan menurut Neuman (2003), teori adalah sekumpulan ide,
pengetahuan tentang sesuatu hal dan konsep-konsep yang terorganisasi
dan saling terkait satu dengan yang lain yang membentuk pengetahuan,
bagaimana sebuah fenomena terjadi.
Teori merupakan kumpulan dari hukum atau dalil yang serumpun
dan menjeleskan bidang kajian tertentu. Dalam ilmu ekonomi
(economics), bidang kajian yang dimaksud menyangkut usaha-usaha
manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya (human needs). Dalam
ilmu sosiologi bidang kajian yang dimaksud menyangkut hubungan antar
manusia (human relations). Dalam ilmu psikologi (psychology) bidang
kajian yang dimaksud menyangkut hal-ihwal yang berhubungan dengan
kejiwaan atau psikis manusia (human psychic). Dalam ilmu antropologi
(anthropology) bidang kajian yang dimaksud menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan manusia (human habits),
lingkungan dan kebudayaannya. Demikian seterusnya setiap ilmu
memiliki rumpun atau lingkup dan bidang kajian masing-masing,
sehingga teori yang dikembangkannya searah dengan bidang kajian ilmu
yang dimaksud.

c. Hukum.
Hukum atau dalil (law of scientific) adalah bagian atau subtansi
dari teori. Hukum berisi pernyataan yang menjelaskan hubungan
kausalitas (sebab akibat) antara dua variabel atau lebih yang memberikan
gambaran, dan peramalan tentang suatu fenomena tertentu. Hukum
sebagai bagian atau elemen terkecil dari ilmu dihasilkan dari penelitian
atau riset secara mendalam berdasarkan metodologi ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Proses penelitian diawali dari perumusan
masalah penelitian, penyusunan landasan teori dan perumusan kerangka
pikir, penetapan hipotesis penelitian, penjelasan dan pembahasan hasil
penelitian, sampai dengan penarikan kesimpulan dan rekomendasi atas
hasil penelitian.

8 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

Hipotesis adalah jawaban sementara atas masalah penelitian yang


diajukan. Hasil penelitian adalah jawaban empiris atas hipotetis
penelitian yang diajukan. Hipotesis yang telah teruji dan menjadi hasil
penelitian bisa disebut sebagai tesis, yakni proposisi atau pernyataan
umum yang menjelaskan suatu fenomena tertentu dalam hubungan
kausalitas (sebab akibat) antara dua variabel atau lebih. Tesis pada
dasarnya adalah hukum yang baru lahir, masih lemah, dan belum
mendapat respon serta teruji di lapangan kritik dan pemikiran para ahli.
Oleh karena itu tesis hasil penelitian perlu dipublikasikan di media atau
jurnal ilmiah, baik yang berskala nasional maupun internasional. Tesis
yang benar dan kuat, baik dalam ranah argumentatif pemikiran ilmiah
maupun dalam tataran kebenaran empiris akan mendapat respon positif
dan menjadi rujukan dalam karya ilmiah berikutnya. Pada posisinya yang
demikian inilah tesis yang dihasilkan oleh suatu kegiatan penelitian atau
riset akan diakui sebagai hukum atau dalil yang dikenal oleh kalangan
akademisi dan praktisi bidang ilmu tersebut. Dengan demikian lahirnya
hukum atau dalil baru akan menjadi sumbangan bagi pengembangan
ilmu yang bersangkutan.
Sebagai ilustrasi dalam ilmu ekonomi dikenal adanya berberapa
hukum yang dikenal luas, dan sampai saat ini masih relevan, bergayut
dengan fakta empirisnya. Misalnya hukum permintaan, hukum ini
menjelaskan, bahwa apabila permintaaan (demand) terhadap suatu barang
naik, sementara penawaran (supplay) terhadap barang tersebut tetap,
maka harga (price) barang tersebut akan naik. Dengan beberapa asumsi
yang melandasinya, hukum permintaan ini masih relevan dengan
kenyataan empirisnya. Hukum permintaan merupakan pernyataan sebab
akibat yang menjelaskan hubungan kausalitas antara variabel permintaan,
variabel penawaran dan variabel harga dalam rumpum ilmu ekonomi.

d. Konsep, Konstruk, dan Variabel.


Konsep, konstruk dan variabel memiliki pengertian yang hampir
sama. Konsep (concept) adalah simbol, atau satuan makna yang yang
dinyatakan melalui proses abstraksi terhadap suatu objek, baik berupa
benda, orang, perilaku, situasi atau realita tertentu yang menjadi fokus
perhatian peneliti. Konsep mewakili kompleksitas karakteristik sebuah
realita, misalnya guru, siswa, gedung sekolah, buku pelajaran, dan
seterusnya adalah konsep. Sedangkan konstruk adalah konsep atau satuan
makna realita yang lebih abstrak dan membutuhkan konstrusi simbol

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 9


Bab I. Pendahuluan.

yang lebih komprehensip, agar mampu merepresentasikan makna realita


secara tuntas. Kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, lingkungan
sekolah, dan seterusnya adalah sejumlah contoh konstraks, yakni konsep
yang lebih abstrak.
Selanjutnya variabel adalah konsep atau konstruk yang dapat
diukur, dalam satuan nominal, bilangan atau angka tertentu. Bilangan
atau angka yang melekat pada variabel tidak hanya berperan sebagai
simbol saja, namun ia juga bermakna sebagai skor, ranking atau nilai
tertentu dari variasi nilai yang ada pada variabel tersebut. Hasil belajar
siswa, kompetensi guru, kinerja kepala sekolah, adalah sederet konsep
atau konstraks yang dapat dikatagorikan sebagai variabel, dengan catatan
konsep atau konstruk tersebut dikuantifikasikan dalam skor, bilangan,
atau angka. Pembahasan tentang konsep, konstraks dan variabel secara
lebih detail akan dibahas di bab 2 buku ini.

5. Jenis-jenis Penelitian.
Jenis penelitian dapat ditinjau dari bebarapa aspek yang
membedakannya, misalnya dari aspek output, pendekatan atau dari
sumber datanya. Dilihat dari outputnya, penelitian dibedakan antara
penelitian dasar (basic research) dan penelitian terapan (applied
reseach). Sedangkan dilihat dari pendekatannya penelitian dibedakan
menjadi penelitian kuantitatif (quantitative research) dan penelitian
kualitatif (qualitative research). Selanjutnya dilihat dari sumber datanya,
penelitian dibedakan menjadi ex post facto dan penelitian eksperimen.

a. Penelitian Dasar dan Penelitian Terapan.


Penelitian dasar (basic research) atau sering pula disebut
penelitian murni (pure research), adalah penelitian yang diorientasikan
untuk menghasilkan atau mengembangkan pengetetahuan imiah atau ilmu
(sains), baik dalam skala teori maupun dalam skala dalil atau hukum-
hukum ilmiah (low of scientific). Penelitian ini dalam jangka pendek
tidak dimaksudkan untuk menghasilkan produk berupa teknologi yang
secara langsung dapat diimplementasikan untuk mengatasi masalah-
masalah di lapangan, namun hasilnya diharapkan dapat menjadi rujukan
teoretis untuk membangun dan mengembangkan teknologi yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam kajian ilmu manajemen,
menurut Ferdinand (2013) penelitian dasar dimaksudkan untuk
mengembangkan ilmu (to generate body of knwoledge) guna mencari

10 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

jawaban baru atas masalah manajemen tertentu yang terjadi dalam


organisasi, perusahaan atau masyarakat. Dalam hubungannya dengan
organisasi bisnis, menurut Sekaran (2003) penelitian dasar adalah
penelitian yang terutama dilakukan untuk meningkatkan pemahaman
dalam masalah tertentu yang kerap terjadi dalam konteks organisasi dan
mencari metode untuk memecahkan masalah tersebut.
Penelitian dasar pada umumnya tumbuh pesat di perguruan tinggi
yang menyelenggarakan pendidikan jalur akademik. Tugas akhir
mahasiswa, baik mahasiswa jenjang strata satu (S1), strata dua (S2)
maupun strata tiga (S3) selalu mempersyaratkan disusunnya penelitian
dasar sebagai tugas akhir studi yang sering disebut skripsi bagi
mahasiswa S1, tesis bagi mahasiswa S2 dan disertasi bagi mahasiswa S3.
Penelitian terapan (applied research) adalah penelitian yang
diorientasikan untuk menghasilkan dan mengembangkan teknologi atau
rekayasa terapan baik dalam pengertian teknologi fisik maupun teknologi
non fisik. Teknologi fisik misalnya mesin industri, alat angkut, alat
pertanian dan seterusnya. Sedangkang teknologi non fisik misalnya
berupa sistem akuntansi, sistem atau rekayasa sosial, sistem atau model
pendidikan, sistem atau model penanggulangan korupsi, model
pengaturan lalu lintas jalan raya, dan seterusnya. Hasil penelitian terapan
dibutuhkan dalam jangka pendek untuk menghasilkan teknologi atau
rekayasa terapan yang dapat secara langsung diimplementasikan untuk
mengatasi masalah-masalah di lapangan. Dalam manajemen, menurut
Ferdinand (2013) penelitian terapan dimaksudkan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi oleh manajemen atau organisasi perusahaan
tertentu. Sedangkan berkaitan dengan organisasi bisnis, Sekaran (2003)
menjelaskan, bahwa penelitian dasar adalah penelitian yang terutama
dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dalam masalah tertentu yang
kerap terjadi dalam konteks organisasi dan mencari metode untuk
memecahkan masalah tersebut.
Penelitian terapan pada umumnya tumbuh pesat di perguruan
tinggi yang menyelenggarakan pendidikan jalur terapan, seperti
politeknik atau institut yang berorientasi pada pengembangan teknologi
terapan. Tugas akhir bagi mahasiswa jalur terapan, baik mahasiswa
jenjang diploma tiga (D3) maupun diploma empat (D4) atau S1 terapan,
biasanya disusun berdasarkan penelitian terapan. Berkaitan dengan hal
ini, Ferdinand (2013) berpendapat, bahwa penelitian terapan jarang

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 11


Bab I. Pendahuluan.

dilakukan oleh para mahasiswa strata formal, biasanya dilakukan oleh


para konsultan peneliti atau bagian penelitian dan pengembangan (R&D).

b. Penelitian Kuantitatif dan Penelitian Kualitatif.


Membedakan antara penelitian kuantitatif (quantitative research)
dengan penelitian kualitatif (qualitative research) dapat ditinjau dari
beberapa aspek atau sudut pandang pada kedua jenis penelitian tersebut.
Tabel 1.2 di bawah ini menjukkan beberapa aspek penting yang
membedakan kedua jenis penelitian yang dimaksud.

Tabel 1.2
Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif

No. Sudut Pandang Penelitian Penelitian


Kuantitatif Kualitatif
1 Faham Positivisme Postpositivisme
2 Rujukan IPA Non IPA
3 Pendekatan Deduktif Induktif
4 Sifat Obyektif Subyektif
5 Orientasi Hasil Proses
6 Alat analisis Statistik Non statistik

Salah satu aspek yang membedakan penelitian kuantitatif dengan


penelitian kualitatif adalah faham yang dianutnya. Penelitian kuantitatif
bersumber dari faham positivisme sedangkan penelitian kualitatif
bersumber dari faham postpositivisme. Dalam perspektif filsafat ilmu,
baik faham positivisme maupun postpositivisme sesungguhnya sama-
sama bertumpu pada tiga pilar aliran yang dianut oleh ilmu (sains) barat
yang telah bekembang selama ini, yakni rasionalisme, empirisme dan
materialisme. Menurut aliran rasionalisme kebenaran bersumber dari
akal, yang secara mendalam menghasilkan norma-norma kebenaran.
Menurut faham ini kebenaran dihasilkan melalui proses berfikir secara
mendasar dengan menggunakan akal sebagai sumber tumpuhannya.
Positivisme dan postpostivisme juga dibangun di atas aliran
empirisme. Menurut aliran ini, kebenaran bersumber dari pengalaman
inderawi. Kebenaran harus dapat dibuktikan atau diverifikasi oleh panca

12 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

indera. Aliran empirisme memandang bahwa kebenaran merupakan


refleksi dari fenomena alam yang dapat ditangkap oleh indera manusia.
Menurut aliran ini, sesuatu bukanlah sebagai kebenaran jika ia tak dapat
ditangkap oleh pengalaman indera manusia.
Dukungan selanjutnya terhadap faham positivisme maupun
postpositivesme adalah dari aliran materialisme. Menurut aliran ini,
bahwa kebenaran berasal dari dunia materi. Kebenaran adalah melekat
pada materi atau benda yang bersangkutan. Aliran materialisme ini
sering pula disebut sebagai aliran naturalisme. Jalinan antara rasionalisme
(rasio), empirisme (inderawi) dan materialisme (materi) menjadi pilar
aliran positivisme maupun postpositivisme yang menjadi dasar sekaligus
gayutan bagi pengembangan ilmu (sains) barat selama ini.
Perbedaan mendasar antara faham positivisme dengan faham
postpositivisme terletak pada sudut pandang keduanya, dalam memahami
realita. Menurut Denzin dan Lincolin (2009), secara ontologis faham
positivisme memahami realita berdasarkan pandangan realisme naif.
Sedangkan faham postpositivisme memahai realita berdasarkan
pandangan realisme kritis. Menurut pandangan realisme naif, realita yang
bisa dipahami diasumsikan hadir, dan dikendalikan oleh hukum-hukum
alam dan mekanisme yang tidak dapat diubah. Pengetahuan tentang
“keadaan alami benda-benda” secara konvensional dirangkum dalam
bentuk generalisasi yang bebas-waktu dan bebas-kontek yang
sebagiannya mengambil bentuk sebab-akibat. Sedangkan menurut
pandangan realisme kritis, realita diasumsikan ada, namun tidak bisa
diahami secara sempurna, karena pada dasarnya intelektualisme manusia
memiliki kekurangan, sedangkan fenomena itu sendiri secara
fondamental memilki sifat yang tidak mudah diatur.
Penelitian kuantitatif bersumber dari faham positivisme yang
mengklaim, bahwa fenomena dapat dipahami secara sempurna,
sebaliknya penelitian kualitatif bersumber dari faham postpositivisme
yang memandang fenomena bersifat unik, dan tidak dapat dipahami
secara sempurna. Perbedaan mendasar diantara dua faham inilah, yang
selanjutnya menjadi aspek pembeda pokok antara penelitian kuantitatif
dengan penelitian kualitatif, yang selanjutnya secara khusus dapat ditilik
lebih lanjut dari beberapa aspek pembeda penting lainnya, misalnya dari
aspek pendekatannya, sumber rujukannya, sifatnya, orientasinya, maupun
alat analisisnya.

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 13


Bab I. Pendahuluan.

Ditilik dari sumber rujukannya, penelitian kuantitatif


(positivisme) merujuk pada pandangan ilmu pengetahuan alam (IPA).
IPA atau yang sering disebut pula sebagai ilmu pasti, mendeskripsikan
fenomena alam sebagai gejala yang bersifat pasti. Dalam ilmu fisika
misalnya, menjelaskan bahwa peredaran seluruh planet dalam tata surya
adalah sesuatu yang sudah pasti. Bumi akan berputar pada porosnya dan
beredar mengelilingi matahari secara teratur. Demikian pula planet-planet
lainnya secara ajeg atau pasti akan beredar mengelilingi matahari sesuai
dengan hukum alam. Mereka tidak akan saling bertabrakan dan tidak pula
akan menyimpang dari garis edarnya. Dengan demikian datangnya pagi,
siang, atau malam adalah gejala alam yang sudah pasti dan bersifat
empiris. Gejala alam bersifat kausalitas atau sebab akibat. Dalam
pandangan kausalitas, dipahami bahwa segala sesuatu atau peristiwa yang
ada, adalah sebagai akibat yang disebabkan oleh sesuatu atau peristiwa
lainnya.
Faham positivisme, sebagimana dianut dalam IPA, pada awalnya
dirujuk pula dalam ilmu sosial. Menurut positivisme dunia sosial juga
berjalan mengikuti hukum alam tersebut. Gejala atau fenomena sosial
yang muncul ke permukaan adalah juga besumber dari hukum kausalitas
yang sudah pasti. Ilmu pengetahuan sosial (IPS) tugasnya hanya
mendiskripsikan gejala sosial dalam penjelasan-penjelasan teori atau
hukum-hukum ilmiah yang menggambarkan hubungan kausalitas di
antara konsep, konstruk atau variabel-variabel, terkait dengan fenomena
atas realita alam tersebut.
Postpositivisme sebagai faham yang muncul belakangan,
menolak adopsi pandangan IPA dalam IPS. Menurut postpositivisme
gejala sosial, tidaklah bersifat pasti. Gejala sosial muncul secara unik, dan
tidak selalu mengikuti hukum kausalitas. Dalam pandangan
postpositivisme sifat-sifat yang pasti dalam IPA tidak bisa diterima untuk
memahami realita dan gejala yang terjadi di dunia sosial, termasuk
dalam ilmu ekonomi, yang merupakan cabang dari ilmu sosial. Demikian
pula dalam psikologi, antropologi dan rumpun ilmu-ilmu sosial lainnya.
Faham yang menolak pandangan-pandangan IPA inilah yang kemudian
dianut oleh penelitian kualitatif
Penelitian kuantitatif mengikuti faham positivisme, sedangkan
penelitian kualitatif mengikuti faham postpositivisme. Selaras dengan
faham tersebut, maka secara metodologis penelitian kuantitatif mengikuti
pendekatan deduktif, sedangkan penelitain kualitatif mengikuti

14 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

pendekatan induktif. Peneliti kuantitatif pada hakekatnya hanyalah


bermaksud menggambarkan atau mendeskripsikan hukum-hukum alam
yang bersifat kausal ke dalam hukum atau dalil-dalil ilmiah berdasarkan
fakta empiris. Dalam hal ini proses untuk menarik konklusi yang
dimaksud, dilakukan dengan pendekatan deduktif.
Pendekatan deduktif dipahami sebagai proses penarikan konklusi,
berdasarkan hal-hal yang bersifat umum (premis mayor), menuju hal-hal
yang bersifat khusus (premis minor) sehingga dihasilkan konklusi
kebenaran ilmiah atau hukum ilmiah (law of scientific) yang rasional dan
empiris. Pembuktian empiris dilakukan melalui verifikasi di lapangan
berdasarkan kaidah-kaidah riset ilmiah, sejak dari pengumpulan data,
analisis data sampai dengan penarikan konklusi.
Penelitian kualitatif yang bersumber dari aliran postpositivistik,
tidak sejalan dengan anggapan, bahwa gejala atau fenomena alam, dalam
dunia sosial bersifat pasti, obyektif dan selalu mengikuti hukum
kausalitas. Sekalipun rasionalisme, empirisme, dan materialisme masih
menjadi rujukan dalam penelitian kualitatif, namun ia menolak
pandangan positivistik. Dalam penelitian kualitatif dunia sosial bersifat
unik, subjektif dan tidak selalu mengikuti hukum kausalitas. Kerangka
pemikiran yang demikian inilah yang mendasari anggapan, bahwa
penelitian kualitatif berorientasi pada aliran postpositivisme, dan
pendekatan penelitian yang dianut tidak mengikuti pendekatan deduktif,
melainkan pendekatan induktif.
Melalui pendekatan induktif proses penarikan konklusi,
dilakakuan dari hal-hal yang bersifat khusus menuju hal-hal yang bersifat
umum. Menurut pendekatan induktif, teori lahir dari proses pengamatan
fakta-fakta khusus di lapangan, yang kemudian dianalisis, diamati secara
berulang dalam dimensi waktu yang berbeda, diverifikasi dengan fakta-
fakta yang lain, hingga akhirnya dapat dideskripsikan dalam teori atau
dalil-dalil ilmiah. Dalam hal ini Chalmers (1983), mengemukakan, bahwa
teori atau dalil yang dihasilkan secara induktif, pada akhirnya dapat pula
menjadi rujukan, untuk menjelaskan atau meramalkan terjadinya
fenomena empiris di lapangan. Pendekatan inilah, yang disebut sabagai
proses induktif-deduktif sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 1.2.

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 15


Bab I. Pendahuluan.

Hukum dan Teori

Fakta didapat Ramalan dan


dari observasi Penjelasan

Gambar 1.2
Penalaran Induktif – deduktif dalam Penemuan Hukum dan Teori.
Penelitian kuantitatif (positivisme), memandang gejala sosial
bersifat objektif, sedangkan penelitian kualitatif (postpositivisme) melihat
gejala sosial bersifat subyektif. Denzin dan Lincoln (2009) menyatakan,
bahwa menurut pandangan positivisme realita ada di luar sana yang dapat
dipelajari, ditangkap dan dipahami, sedangkan menurut pandangan
postpositivisme, bahwa realita tidak akan dapat dipahami sepenuhnya,
namun sekadar diperkirkan. Dalam penelitian kuantitatif peneliti
melepaskan diri atau mengambil jarak dari data. Peneliti tidak teribat dan
bersikap obyektif pada data. Peneliti hanya mendeskripsikan semua
gejala yang terjadi apa adanya. Gejala sosial dipandang telah berjalan
dengan sendirinya mengikuti hukum kausalitas. Kekuatan yang tidak
tampak (invisible hand) telah mengatur berlakunya hukum kausalitas
berjalan dan bersifat obyektif, tanpa campur tangan manusia atau peneliti.
Berbeda dengan penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif
memandang gejala sosial bersifat subyektif. Peneliti tidak terlepas dari
data. Peneliti teribat dan berhubungan secara psikologis dengan data
penelitian secara mendalam. Peneliti mendeskripsikan semua gejala yang
terjadi yang bersifat unik, dan terjadi hanya pada lokasi penelitian. Gejala
sosial berjalan dengan sporadis tidak mengikuti hukum kausalitas yang
pasti. Oleh karena itulah penelitian kualitatif disebut sebagai bersifat
subyektif.
Perbedaan selanjutnya antara penelitian kuantitatif dengan
penelitian kualitatif dapat ditunjau dari aspek orientasinya. Penelitian

16 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

kuantitaf lebih berorientasi pada hasil, sedangkan penelitian kualitatif


lebih berorientasi pada proses. Pendekatan deduktif dalam penelitian
kuantitatif, menjadikan proses penelitian mengikuti kaidah-kaidah formal
yang sudah teratur dari yang umum menuju yang khusus. Pengujian
hipotesis dilakukan secara prosedural melalui rumus-rumus matematis
yang bersifat pasti. Hasil penelitian secara ketat lahir dari proses
metodologi yang dianggap sahih (valid), terlepas dari campur tangan
peneliti secara subyektif, oleh karena itulah penelitian ini dapat dipahami
lebih berorientasi pada hasil, dari pada proses penelitian itu sendiri.
Berbeda dengan penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif justru
lebih berorientasi pada proses. Proses penelitian kualitatif dilakukan
secara mendalam dengan melibatkan subyek peneliti. Peneliti masuk di
dalam kehidupan objek penelitian tempat data tersebut ada. Peneliti
melebur dengan data atau fenomena yang diteliti yang bersifat sporadis,
unik dan penuh dengan muatan nilai yang bersifat subyektif. Kondisi
yang demikian inilah yang menjadikan proses penelitian dipandang lebih
bermakna, dari pada semata-mata berorientasi pada hasil yang bersifat
formal sebagimana dianut dalam penelititian kuantitatif. Berkaitan
dengan ini, Denzin dan Lincoln (2009), mengungkapkan, bahwa
penelitian kualitatif menyiratkan proses dan makna yang tidak dikaji
secara ketat atau belum dikukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas atau
frekuensinya. Para peneliti kualitatif menekankan sifat realita yang
terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subyek
yang diteliti, dan tekannan sosial yang membentuk penyelidikan yang
sarat nilai.
Ditinjau dari alat analisisnya, penelitian kuantitatif menggunakan
alat analisis statistik, sedangkan penelitian kualitatif cenderung tidak
menggunakan statistik dalam memperlakukan dan menganalisis
temuannya. Penelitaian kuantitatif berusaha mengkuantifikasikan data
yang diperolehnya dalam satuan bilangan atau angka. Sesuatu yang
menjadi pusat pengamatan peneliti atau yang sering disebut sebagai
konsep atau konstruk dijabarkan dalam indikator atau dimensi yang dapat
diukur dalam skor angka atau bilangan tertentu. Skor angka atau bilangan
tersebut menjadi bobot ukuran atau nilai sebuah konsep atau konstruk
dari variasi nilai yang dimiliki oleh konsep atau konstruk tersebut.
Semakin lebar atau bervariasi nilai suatu konsep atau konstruk, maka
semakin baik bobot konsep atau konstruk tersebut. Dalam penelitian
kuantitatif, konsep atau konstruk yang menjadi pusat perhatian peneliti

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 17


Bab I. Pendahuluan.

dan dapat dikukur dalam alternatif nilai yang bervariasi, disebut sebagai
variabel. Dengan kata lain, varaiabel penelitian adalah konsep atau
konstruk yang dapat dikukur secara kuantitatif dan memiliki bobot nilai
tertentu dalam variasi atau rentang nilai nilai yang terbatas (limited),
maupun dalam variasi nilai yang tidak terbatas (unlimited).
Penelitian kuantitatif menggunakan statistik untuk menganilis
data penelitian. Dalam hal ini statistik digunakan, baik untuk
menggambarkan profil variabel secara individual (statstik deskriptif),
maupun untuk menguji signifikansi hubungan dua variabel (uji korelasi),
signifikansi pebedaan antara rata-rata dua variabel (uji komparasi),
maupun signifikansi pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya
(uji pengaruh). Penggambaran profil variabel penelitian secara individual,
dapat menggunakan statistik deskriptif, misalnya mean (rata-rata), modus
median, deviasi standar, varian, chart, poligon dan seterusnya. Sedangkan
pungujian signifikansi pola hubungan, komparasi atau pengaruh, diantara
variabel-variabel penelitian dapat menggunakan statistik inferensial,
misalnya product moment untuk uji korelasi, t-test, anova atau manova
untuk uji komparasi, regression, path analysis atau structure equation
model (SEM) untuk uji pengaruh atau hubungan kausalitas.
Berbeda dengan penelitian kuantitatf, penelitian kualitatif
cenderung tidak menggunakan statistik dalam memperlakukan,
menganalis dan memaknai data penelitian. Dalam hal ini, kalaupun
statistik digunakan dalam penelitian kualitatif, maka jarang digunakan
statistik inferensial sebagai alat analisis. Dalam hal ini Denzin dan
Lincoln (2009), mengemukakan bahwa, meskipun peneliti kualitatif
dalam tradisi postpositivis menggunakan alat ukur, metode dan dokumen
statistik, sebagai sarana untuk menempatkan kelompok subjek ke dalam
populasi yang lebih besar, mereka jarang sekali melaporkan temuan-
temuannya dari jenis-jenis alat ukur atau metode statistik kompleks yang
digunakan oleh para peneliti kuantitatif (misalnya path, regresi, analisis
linier-log).
Penelitian kualitatif cenderung menghindari penggunaan
statistik, dan menggunakan kata-kata, atau kalimat, sejak dari
menguraikan, menganalisis dan memaknai fakta lapangan, sampai dengan
pada saat, membahas atau mendeskripsikan temuannya dalam laporan
penelitian. Tercakup dalam beberapa penelitian kualitatif misalnya,
biografi, fenomenologi, etnografi, studi kasus, dan grounded theory.
Jenis-jenis penelitian ini cenderung tidak menggunakan statistik sebagai

18 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

alat analisisnya melainkan menggunakan kata-kata, baik dalam


menganalis, memaknai hingga mendeskrpsikan temuan-temuannya.\

c. Penelitian Ex Post Facto dan Penelitian Eksperimen.


Berkaitan dengan data penelitian, seorang peneliti dapat
mempertimbangkan dua alternatif yang dapat dipilih, pertama peneliti
dapat mengambil data yang telah ada atau yang telah terjadi dimasa
lampau, atau pilihan kedua peneliti secara khusus merancang atau
membuat data penelitian baru yang diciptakan melalui serangkaian
kegiatan atau perlakuan terhadap obyek penelitian, baik berupa situasi,
benda atau orang, untuk kemudian dicatat atau direkam reaksinya sebagai
data penelitian. Penelitian yang dilakukan dengan cara yang pertama
disebut sebagai penelitian ex post facto, sedangkan penelitian yang
dilakukan dengan cara kedua disebut sebagai penelitian eksperimen.
Penelitian ex post facto mengambil atau menggali data dari
perstiwa yang sudah terjadi. Dalam dunia pendidikan misalnya, seorang
peneliti ingin mendapatkan jawaban empiris, apakah model pendidikan
berasrama lebih efektif dalam melahirkan lulusan yang cerdas dan
berkarakter dibandingkan dengan model pendidikan reguler atau non
asrama. Dalam hal ini pemililihan data ex post facto dapat dinilai lebih
tepat, dibandingkan dengan data yang dihasilkan dari sebuah
eksperimen. Peneliti dapat menggali data tentang kecerdasan dan karakter
dari sejumlah siswa sekolah berasrama yang sudah ada, untuk
dibandingkan dengan data kecerdasan dan karakter sejumlah siswa
sekolah non asrama yang selama ini juga sudah ada. Berdasarkan dua
kelompok data tersebut, peneliti dapat membandingkan nilai atau skor
rata-rata kecerdasan dan karakter dari dua kelompok siswa tersebut untuk
diketahui mana yang lebih tinggi, guna menggambarkan, mana yang
lebih efektif, antara pendidikan di sekolah yang berasrama atau
pendidikan di sekolah yang tidak berasrama. Sudah barang tentu data
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang sudah ada, atau data
yang sudah melekat pada dua kelompok siswa tersebut. Peneliti tidak
perlu mendirikan sekolah baru yang berasrama, melakukan kegiatan
pembelajaran kurikuler dan ekstra kurikuler atau membuat perlakuakan
(treatment) pada sekolah berasrama, dan baru mengukur kecerdasan dan
karakter sejumlah siswanya sebagai data penelitian, sekalipun hal tersebut
dapat juga dilakukan. Namun lebih efisien jika data yang dibutuhkan
diambil dari sekolah berasrama yang telah ada.

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 19


Bab I. Pendahuluan.

Berbeda dengan kasus di atas, dalam kondisi lain bisa saja


seorang peneliti dihadapkan pada keadaan, bahwa data yang dibutuhkan
belum tersedia pada peristiwa yang telah lampau, atau kalaupun data
telah tersedia peneliti tidak yakin dengan kualitas atau validitas data
tersebut. Dalam kondisi semacam ini penelitian eksperimen akan menjadi
pilihan yang tepat. Dalam dunia bisnis, misalnya, seorang peneliti ingin
mendapatkan jawaban empiris, apakah kemasan versi A pada suatu
produk, lebih disukai konsumen dibandingkan dengan kemasan versi B,
pada produk yang sama. Bila produk dalam dua kemasan dimaksud sudah
beredar di pasar dalam waktu yang sudah cukup lama, maka penelitian ex
post facto lebih tepat dilakukan. Namun jika produk dalam dua kemasan
tersebut belum ada atau belum beredar di pasar, maka uji coba musti
dilakukan. Dalam hal ini data penelitian berupa respon pasar atau
konsumen atas dua versi kemasan tersebut, harus diciptakan. Dengan kata
lain peneliti perlu melakukan uji coba, untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan. Penelitian yang demikian inilah yang disebut sebagai
penelitian eksperimen.

6. Penelitian dan Pengembangan Ilmu.


Seperti telah disinggung di muka, bahwa hasil penelitian dasar
(basic research) adalah berupa ilmu (sains), baik ilmu sebagai hasil
temuan baru atau hasil pengembangan. Dalam pengertian ini, ilmu (sains)
yang dimaksud bisa berupa teori, atau dalam elemen yang lebih kecil
berupa dalil (proposition) atau hukum-hukum ilmiah (laws of scientific)
yang merupakan bagian dari bodi pengetahuan (body of knowledge) ilmu
tersebut.
Melalui kegiatan penelitian dapat dihasilkan hukum-hukum
ilmiah baru, atau penyempurnaan terhadap hukum-hukum ilmiah lama
yang sudah ada, menjadi hukum baru yang lebih teruji (verifiable) sesuai
dengan realita empiris di lapangan. Pada awalnya seorang peneliti
melalui kajian teoretis yang mendalam didukung dengan temuan-temuan
riset terdahulu dan argumen yang logis, serta pertimbangan (judgment)
yang mendalam mengajukan jawaban sementara (hipotesis), atas suatu
permasalahan penlelitian yang diajukan. Selanjutnya dengan metode riset
yang dipiih, hipotesis tersebut diuji kebenarannya melalui data lapangan.
Metode yang dimaksud, dimulai sejak dari penentuan desain penelitian,
penetapan variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, sampai
dengan penetapan teknik pengambilan dan analisis data yang relevan

20 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian


Bab I. Pendahuluan.

dengan permasalahan penelitian yang diajukan. Melaui hasil pengujian


hipotesis penelitian inilah, maka akan menghasilkan tesis baru.
Ditinjau dari asal katanya hipotesis atau hipotesa berasal dari kata
hypo yang berarti dibawah atau lemah, dan thesa yang berarti kebenaran.
Hipotesa atau hipotesis berarti di bawah kebenaran atau kebenaran yang
masih lemah, dan masih bersifat sementara, sehingga masih memerlukan
pengujian. Tesis atau kebenaran baru akan lahir, jika pengujian hipotesis
terbukti secara signifikan, dapat diterima. Tesis atau kebenaran baru
inilah yang disebut sebagai hukum atau dalil baru hasil dari penelitian.
Sebagai tesis atau dalil baru, sudah tentu keberterimaannya di
komunitas keilmuan tersebut, belum dapat diketahui atau bahkan belum
dapat diterima. Kritik tanggapan, pengujian ulang, atau bahkan penolakan
masih sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu tesis baru perlu
dipublikasikan kepada komunitas keilmuannya, melalui berbagai media
ilmiah, seperti forum seminar, konferensi, temu pakar atau publikasi di
media jurnal-jurnal ilmiah yang bereputasi dan dapat diakses oleh publik
secara luas.
Tesis atau tesa baru yang terpercaya, akan mendapat tanggapan
dan apresiasi yang luas di kalangan komunitas keilmuannya. Jika tesis
baru tersebut sahih (valid) dapat dibuktikan di lapangan empiris
(verifiable), serta hasilnya tetap handal (reliable) dalam berbagai waktu
pengujian yang berbeda, maka tesis baru tersebut akan menjadi rujukan
dalam pengembangan ilmu (sains) selanjutnya, dan menjadi dalil atau
hukum ilmiah (law of scientific) atau proposisi umum yang dapat
melengkapi bodi pengetahuan (body of knowledge) ilmu yang
bersangkutan.
Kebenaran ilmu (sain) bukanlah kebenaran yang mutlak,
kebenaran yang mutlak hanya milik Tuhan, sebagaimana secara dogmatis
diyakini oleh para penganutnya. Kebenaran ilmu (sains) adalah bersifat
sementara (tentative). Pada perkembangnnya cepat atau lambat, tesis
yang telah dihasilkan akan mendapat kritik dan sanggahan, serta pada
puncaknya bisa mendapat penolakan, atau bahkan terabaikan dalam
komunitas keilmuannya. Tesis yang sudah tidak valid dan ditolak disebut
antitesa. Tesis yang telah ditolak atau antitesa, akan mendorong lahirnya
tesa baru, atau sintesa, yang lebih terpercaya, sahih (valid), handal
(reliable), dan terbukti di lapangan empiris (verifiabel).
Perkembangan dari tesa menjadi antitesa, dan sintesa akan terus
berulang melalui mekanisme riset (research), dan pembahasan atau

Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian 21


Bab I. Pendahuluan.

perdebatan para pakar di forum-forum ilmiah atau jurnal-jurnal ilmiah,


secara meluas dan terus menerus dalam dunia keilmuan tersebut. Oleh
karena itu seiring dengan perkembangannya ilmu akan menjadi kian
lengkap. Pada akhirnya ilmu diharapkan dapat berdaya guna dan handal,
bisa menjadi rujukan dalam penciptaan teknologi atau rekayasa terapan
yang bersifat praksis dan dapat membantu peyelesaian rmasalah-masalah
kehidupan nyata yang dihadapi oleh umat manusia.

22 Agus Wahyudin: Metodologi Penelitian

Anda mungkin juga menyukai