PENDAHULUAN
1
Defisit neurologis pada spondilitis tuberkulosa terjadi akibat pembentukan
abses dingin, jaringan granulasi, jaringan nekrotik dan sequestra dari tulang atau
jaringan diskus intervertebralis, dan kadang- kadang trombosis vaskular dari arteri
spinalis.
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit kronik dan lambat
berkembang dengan gejala yang telah berlangsung lama. Riwayat penyakit dan
gejala klinis pasien adalah hal yang penting, namun tidak selalu dapat diandalkan
untuk diagnosis dini. Nyeri adalah gejala utama yang paling sering. Gejala
sistemik muncul seiring dengan perkembangan penyakit. Nyeri punggung
persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas tulang belakang, demam dan
komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi berlanjut. Gejala lainnya
menggambarkan penyakit kronis, mencakup malaise, penurunan berat badan dan
fatigue. Diagnosis biasanya tidak dicurigai pada pasien tanpa bukti tuberkulosa
ekstraspinal.
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversial; beberapa
penulis menganjurkan pemberian obat-obatan saja, sementara yang lainnya
merekomendasikan obat-obatan dengan intervensi bedah. Dekompresi agresif,
pemberian obat anti tuberkulosis selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat
memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi(2)
3
pria dengan wanita 1,5–2:1. Di Amerika dan beberapa negara berkembang, pott’s
disease dilaporkan sering terjadi pada usia dewasa, karena penderita usia muda
lebih rentan terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan di negara belum
berkembang, pott’s disease juga terjadi pada dewasa muda dan predominan pada
anak-anak menjelang remaja (15 tahun). Gejala klinis TB yang tampak pada
pasien dengan HIV sama dengan yang bukan HIV, tetapi kejadian pott’s disease
ini lebih sering didapatkan pada pasien dengan HIV. Pada pasien dengan HIV
positif, insiden TB bisa meningkat 500 kali lebih tinggi daripada yang HIV
negatif.
4
penyalahgunaan obat), kepadatan berlebih, malnutrisi, kemiskinan, dan situasi
sosial ekonomi yang lebih rendah.
2.1.4 Klasifikasi(2)
Spondilitis tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan Gulhane Askeri Tip
Akademisi (GATA) menjadi 5 kelompok. Sistem klasifikasi ini dibuat
berdasarkan kriteria klinis dan radiologis antara lain: formasi abses, degenerasi
diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas vertebra, dan defisit
neurologis. Sedangkan untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan
klinis, dan memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan adanya cedera
medulla spinalis maka American Spinal Injury Association (ASIA) memodifikasi
sistem klasifikasi oleh Frankle.
Tabel 1. Klasifikasi berdasarkan GATA(5)
Tipe Lesi
IA Lesi vertebra dengan degenerasi diskus 1 segmen, tanpa kolaps, abses
maupuan defisit neurologis
IB diskus 1 atau lebih, tanpa kolaps ataupun defisit neurologis
II Kolaps vertebra, cold abses, Kifosis, Deformitas stabil, dengan atau
tanpa defisit neurologis, angulasi sagital < 20o
III Kolaps vertebra berat, cold abses, kifosis berat, deformitas tidak stabil,
dengan atau tanpa defisit neurologis, angulasi sagital ≥ 20o
5
bawah segmen lesi neurologis setidaknya memiliki kekuatan
motorik di bawah 3
D. Incomplete Sama seperti C, namun dengan kekuatan motorik diatas 3
E. Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
Pada fase penyembuhan (healed), pasien tidak tampak sakit ataupun mengeluh
sakit, dengan penurunan berat badan tapi tidak didapatkan peningkatan suhu pada
6
sore hari. Deformitas yang terjadi pada fase akut dapat saja menetap. Gejala yang
tidak biasa mulai tampak pertama kali berupa defisit neurologis. Abses atau sinus
dapat muncul jauh dari colum vertebrae sepanjang fascia dan melibatkan bundel
neurovaskuler. Spinal disease dapat dikaitkan dengan munculnya defisit
neurologis yang disebabkan oleh kerusakan dari spinal cord, saraf maupun akar
saraf.
Defisit neurologis terjadi pada 12–50 persen penderita. Defisit yang mungkin
antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan atau sindrom kauda
equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati).
Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya
karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat
gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan
timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma). Umumnya gejala awal
spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak spesifik. Nyeri
lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani.
7
Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun
tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke
rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal. Paraplegia pada
pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah
Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal
dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang
telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer
sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat.
2.1.6 Patofisiologi(3)
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran
bakteri sangat kecil 1- 5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan
kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman
TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfeke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogendan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan
pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
8
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah peridiskal terjadi
pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan
penyebaran melalui ligamentum longitudinal anterior terjadi sekitar 2,1% kasus
spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior
longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral
terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah
dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang
menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular
yang akan membatasi pertumbuhan.
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal
dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian
terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan
korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus
intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini
akan menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum,
leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke
depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus
ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang
lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis
dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat
trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap
tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk
9
massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula
spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar
masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis.
10
digunakan untuk menunjang diagnosis spondilitis TB yaitu sinar-X, Computed
Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Tulang belakang merupakan sisi tulang yang sering terlibat pada tuberkulosis
tulang, rata-rata didapatkan 50% kasus dari seluruh kasus skeletal TB. L1
merupakan lokasi paling sering terjadi, melibatkan lebih dari satu corpus vertebra,
dengan didapatkan penyempitan jarak antar diskus intervertebralis, erosi dan
iregularitas corpus vertebra. Proses penyakit sering berawal di sisi anterior dari
corpus vertebra yang berdekatan dengan sisi end plate. Tahap lebih lanjut
kerusakan terjadi sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan posterior serta
melalui end plate sehingga terjadi kolaps corpus vertebra ke segmen anterior
menyerupai akordion (concertina) yang disebut juga dengan concertina collaps
menghasilkan bentuk kifosis.
Sinar X
Hanya 50% pasien dengan tuberkulosis tulang dan sendi didapatkan
gambaran infeksi TB pada radiografi foto toraksnya, yang selanjutnya juga dapat
mengaburkan diagnosisnya. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien
untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto
rontgen yang abnormal). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian
anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan
lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.23
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat
terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat
mencitrakan cold abscess dengan baik. Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat
menilai angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam.
CT Scan
CT scan terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan
keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf
11
posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan. CT-scan dapat
memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan vertebra, abses
epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT myelography
juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia
pemeriksaan MRI. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna
untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan
jaringan tulang.
MRI
MRI merupakan modal diagnostik yang terbaik untuk spondilitis TB, karena
lebih sensitif dari radiografi dan lebih spesifik daripada pemeriksaan CT. Pola
anatomi akan tampak dengan MRI, terutama jaringan lunak dan keterlibatan
diskus, memberikan hasil spesifitas yang lebih besar. MRI juga dapat
menampilkan diagnosis spinal. Magnetic resonance imaging (MRI) dilaksanakan
untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan
penyebaran subligamentous dari debris tuberculous
TB 4–6 bulan lebih awal daripada metode konvensional, sehingga
memberikan keuntungan deteksi dan terapi lebih dini. MRI memungkinkan untuk
lebih cepat menentukan adanya kompresi neurologis serta dapat membedakan
tulang dan lesi jaringan lunak (tuberculoma).26 MRI juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal T1 pada sumsum tulang
mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak
dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.
2.1.8 Diagnosis(3)
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis
secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi,
gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray,
12
CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis
spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium
tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti
2.1.10 Penatalaksanaan(2)(3)
Penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian yang
berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan. Terapi
medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi
terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien.
Terapi Medikamentosa
Obat anti tuberkulosis (OAT) mempunyai peran penting dalam pemulihan dan
respons pasien. Manfaat OAT telah ditunjukkan pada beberapa studi tentang
terapi TB spinal tanpa defisit neurologis, instabilitas dan deformitas tanpa
memperhatikan adanya abses paravertebral. Terapi farmakologi awal adekuat
dapat mencegah komplikasi berat. Penggunaan OAT harus dimonitor ketat untuk
mencegah munculnya strain yang multiresisten.
American Thoracic Society merekomendasikan 9 bulan untuk terapi dengan
obat pertama yang sama dikonsumsi untuk pada 2 bulan pertama diikuti 7 bulan
terapi isoniazid dan rifampisin pada fase lanjutan, sedangkan Canadian Thoracic
Society merekomendasikan total waktu terapi selama 9–12 bulan.
13
The British Thoracic Society merekomendasikan 6 bulan dari terapi harian
dengan rifampisin dan isoniazid, diberikan pada 2 bulan pertama dengan
pirazinamid dan baik etambutol atau streptomisin (regimen 4 obat selama 6
bulan), tidak berdasarkan umur. Walaupun 6 bulan terapi dipertimbangkan cukup,
banyak ahli lebih memilih durasi selama 12–24 bulan atau sampai bukti regresi
dari penyakit secara patologis atau radiologis. Untuk menghindari komplians yang
buruk, directly observed treatment dan short course regimens telah diberikan.
Peran yang pasti dari kortikosteroid pada TB spinal belum ada kecuali pada kasus
spinal arachnoiditis atau nonosseous spinal tuberculosis.
Pengobatan non-operatif dengan meng- gunakan kombinasi paling tidak 4
jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan informasi
kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan
selama seluruh pengobatan.
Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan
pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun
beberapa penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan,
pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama
pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik
pasien.
Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka dosis
dari INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak boleh
lebih dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam satu
puyer tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan terapi, anti
inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal pada penyakit dengan
inflamasi superfisial membran yang non spesifik untuk menghambat atau efek
minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin.
14
Terapi operatif
Terapi bedah saat ini relatif ditinggalkan yang kemudian digantikan dengan
OAT sebagai terapi utama. Indikasi operasi secara umum apabila didapatkan
defisit neurologis akut seperti paraplegia atau paraparesis, deformitas tulang
belakang yang tidak stabil atau dengan disertai nyeri seperti adanya kifosis (30°
untuk dewasa, 15° untuk anak), tidak respons kemoterpi selama 4 minggu,
terdapat abses luas, biopsi perkutan gagal untuk diagnosis dan didapatkan nyeri
berat karena kompresi abses. Pada pasien yang direncanakan operasi kemoterapi
OAT diberikan minimal 10 hari sebelum operasi.
Saat ini, kebutuhan operasi dilakukan pada pasien dengan adanya kompresi
akar saraf spinal cord, abses yang ekstensif, instabilitas spinal dikarenakan
osteolisis dengan kifosis dan kegagalan terapi medikamentosa. Pada pasien
dengan tanpa bukti adanya gangguan neurologis, terapi terdiri dari OAT dan
fiksasi (bracing), menyediakan kestabilan sagittal alignment of the spine. Studi
tentang gambaran radiologis harus didapatkan pada interval regular melalui terapi
untuk melihat perburukan dari kifosis. Apabila terjadi osteolisis korpus vertebra,
maka pada columna anterior akan tampak kolaps. Keberhasilan koreksi
menggunakan instrumen dan fusi untuk mengoreksi deformitas dan komplikasi
neurologis telah menunjukkan keberhasilan mengurangi keluhan dan bersifat cost
effective. Angka komplikasi neurologis diestimasi sekitar 10–40%. Operasi
dekompresi darurat diindikasikan hanya pada pasien dengan bukti kompresi spinal
cord dan umumnya melibatkan laminektomi diikuti oleh fiksasi internal dan
penggabungan di posterior (posterior fusion) pada torakolumbar atau dengan
corporectomy pada cervical spine.
Pada pasien dengan abses yang ekstensif namun tanpa defisit neurologis,
pendekatan anterior tetap menjadi standar referensi. Pendekatan ini
memperbolehkan debridemen langsung pada fokus infeksi di prevertebral dan
intraspinal. Studi farmakokinetik menunjukkan bahwa operasi meningkatkan
efektifitas OAT saat debridemen optimal. Sebagai tambahan, same-stage anterior
grafting memainkan peran penting dalam pengisian defek litik dan penguatan
15
columna anterior. Pada torakolumbar, fiksasi posterior harus dilakukan untuk
memperbaiki kifosis dan memastikan stabilitas jangka panjang tulang belakang
pada garis sagital.
Garg et al dan Kumar et al, menganjurkan penggunaan pendekatan posterior
sendiri untuk melakukan dekompresi kanalis spinalis dan drainase abses saat
staging yang sama sebagai fiksasi internal dan fusi. Zhang et al, menggambarkan
teknik yang sama melibatkan penambahan tulang (abony graft) yang ditanamkan
ke dalam defek anterior litik melalui pendekatan posterior dengan tujuan untuk
stabilisasi keseluruhan segmen spinal. Pada cervical spine, drainase abses,
corporectomy dan fiksasi internal umumnya muncul melalui pendekatan anterior
sendiri. Stabilisasi posterior tambahan dibutuhkan hanya pada pasien dengan
destruksi tulang yang luas. Sebagai tambahan, manajemen operatif TB spinal
tipikal berdasarkan 2 prinsip: debridemen dengan dekompresi spinal cord dan
stabilisasi tulang belakang. Prinsip ini juga diikuti di negara berkembang di mana
terapi operasi dapat mencegah pertumbuhan kifosis berat jangka panjang.
2.1.11 Komplikasi(3)(4)(7)
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh
karena kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang
mengalami destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya
paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia.
Abses epidural tuberkular dapat menyebabkan kompresi sumsum tulang
belakang dan akar saraf yang menyebabkan defisit yang signifikan. Skala
gangguan Asosiasi Cedera Spinal Amerika (ASIA) berguna untuk
mendokumentasikan pemulihan neurologis dari penyakit Pott. Penunjukan ASIA
A menunjukkan gangguan neurologis yang paling parah, paling sedikit ASIA E.
Pada awal pengobatan, kebanyakan individu dikarakterisasi sebagai ASIA D.
Abses epidural yang besar berkorelasi dengan prognosis yang buruk dalam hal
pemulihan dari defisit neurologis.
16
Kegagalan pengobatan: Tergantung pada presentasi (rumit versus tidak
rumit), faktor prognostik klinis dan radiologis, kepatuhan pasien terhadap
kemoterapi, stadium penyakit, resistensi obat dan faktor terkait pasien lainnya
(faktor sosio-ekonomi, kesehatan umum, gizi antara lain )
Abses
Defisit saraf
Ketidakstabilan tulang belakang
Deformitas tulang belakang (kyphosis)
Penyakit TBC sistemik
2.1.12 Prognosis(3)(4)
Prognosis spondilitis tb bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang
terjadi. Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB,
dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan
bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat
dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5
tahun sampai 30%.
Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting untuk memastikan hasil yang
baik pada penyakit ini. Secara umum, penyakit tuberkular tulang belakang
(disertai deformitas, ketidakstabilan, atau defisit neuro) memiliki prognosis yang
lebih buruk dibandingkan dengan penyakit tanpa komplikasi. Faktor prognostik
penting lainnya termasuk usia (hasil yang lebih buruk pada usia ekstrim),
imunodefisiensi (HIV, alkohol, penyalahgunaan obat), kepadatan penduduk,
malnutrisi, kemiskinan, dan situasi sosial-ekonomi yang lebih rendah. Kepatuhan
yang buruk dan toleransi yang buruk terhadap ATT (termasuk fungsi hati yang
rusak) merupakan faktor utama kegagalan obat pada TB.
BAB III
PENUTUP
17
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2014. 2014;
2. Tutik Kusmiati HPN. POTT’S Disease. J RESPIRASI. 2016;2.
18
3. Sahputra RE, Munandar I. Spondilitis Tuberkulosa Cervical. J Kesehat
Andalas. 2015;
4. Subramanian VKVS. Pott Disease. NCBI. 2020;
5. Mihret A. The role of dendritic cells in Mycobacterium tuberculosis
infection. Virulence. 2017;
6. Weiss G SU. Macrophage defense mechanisms against intracellular
bacteria. Immunol Rev. 2015;
7. Ekinci S, Tatar O, Akpancar S, Bilgic S EO. Spinal Tuberculosis. J Exp
Neurosci. 2015;
19