Anda di halaman 1dari 12

OSTEOARTHRITIS

1. Definisi Osteoartritis (OA)


Merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan kartilago, lapisan sendi,
ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi. Dalam
Perhimpunan Reumatologi Indonesia Osteoartritis secara sederhana didefinisikan sebagai
suatu penyakit sendi degeneratif yang terjadi karena proses inflamasi kronis pada sendi dan
tulang yang ada disekitar sendi tersebut. Sjamsuhidajat, dkk (2011) mendefinisikan OA
sebagai kelainan sendi kronik yang disebabkan karena ketidakseimbangan sintesis dan
degradasi pada sendi, matriks ekstraseluler, kondrosit serta tulang subkondral pada usia tua.
2. Etiologi
Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan OA
sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak diketahui dan
tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun perubahan lokal pada
sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA yang ditengarai oleh faktor-faktor seperti
penggunaan sendi yang berlebihan dalam aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera
sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi. OA primer lebih banyak ditemukan daripada OA
sekunder.
3. Epidemiologi
Osteoartritis merupakan penyebab ketidakmampuan pada orang Amerika dewasa.
Prevalensi osteoartritis di Eropa dan America lebih besar dari pada prevalensi di negara
lainnya. The National Arthritis Data Workgroup (NADW) memperkirakan 9 penderita
osteoartritis di Amerika pada tahun 2005 sebanyak 27 juta yang terjadi pada usia 18 tahun
keatas. Data tahun 2007 hingga 2009 prevalensi naik sekitar 1 dari 5 atau 50 juta jiwa yang
didiagnosis dokter menderita osteoartritis (Murphy dan Helmick, 2012). Estimasi insiden
osteoartritis di Australia lebih besar pada wanita dibandingkan pada laki-laki dari semua
kelompok usia yaitu 2,95 tiap 1000 populasi dibanding 1,71 tiap 1000 populasi (Woolf dan
Pfleger, 2003). Di Asia, China dan India menduduki peringkat 2 teratas sebagai negara
dengan epidemiologi osteoartritis tertinggi yaitu berturut-turut 5.650 dan 8.145 jiwa yang
menderita osteoartritis lutut (Fransen et. al, 2011). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 hasil dari wawancara pada usia ≥ 15 tahun rata-rata prevalensi penyakit
sendi/rematik sebesar 24,7%. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi
dengan prevalensi OA tertinggi yaitu sekitar 33,1% dan provinsi dangan prevalensi terendah
adalah Riau yaitu sekitar 9% sedangkan di Jawa Timur angka prevalensinya cukup tinggi
yaitu sekitar 27%. Gejala OA lutut lebih tinggi terjadi pada wanita dibanding pada laki-laki
yaitu 13% pada wanita dan 10% pada laki-laki. Murphy, et.al mengestimasikan risiko
perkembangan OA lutut sekitar 40% pada laki-laki dan 47% pada wanita. Oliveria
melaporkan rata-rata insiden OA panggul, lutut dan tangan sekitar 88, 240, 100/100.000
disetiap tahunnya. Insiden tersebut akan meningkat pada usia 50 tahun keatas dan menurun
pada usia 70 tahun.
4. Patogenesis
OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan inflamasi.
Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis yaitu fase inisiasi, fase
inflamasi, nyeri, fase degradasi.
- Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi berupaya melakukan
perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru.
Fase ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi
sel dan membantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like growth factor
(IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating
factors (CSFs). Faktor-faktor ini menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo
nukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang peran
penting dalam perbaikan rawan sendi.
- Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1 sehingga
meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang mempengaruhi sendi. IL-
1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi seperti
collagenase dan gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk
inflamasi memiliki dampak 11 negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi,
dan menghasilkan kerusakan pada sendi.
- Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan
aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada
pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis
jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan
interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya
mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta
spasme otot-otot. Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan
radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intramedular
akibat stasis vena pada pada proses remodelling trabekula dan subkondrial.
- Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu meningkatkan
sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran makrofag didalam cairan sendi juga
bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau
CSFs akan memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang
khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan
sendi. Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan selama
perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan
sendi sedangkan faktor pertumbuhan merangsang sintesis.
5. Faktor Risiko
- Perbedaan ras
Perbedaan ras menunjukkan distribusi sendi OA yang terkena, misalnya rata-rata wanita dengan
Ras Afrika-Amerika terkena OA lutut lebih tinggi daripada wanita ber ras Kaukasia. Ras Afrika
hitam, China, dan Asia-Hindia menunjukkan prevalensi OA panggul dari pada ras Eropa-
Kaukasia.
- Usia
Gejala dan tanda pada radiologi OA lutut sangat banyak dideteksi sebelum usia 40 tahun.
Bertambahnya usia, insiden OA juga semakin meningkat. Insiden meningkat tajam pada usia
sekitar 55 tahun.
- Faktor genetik
Faktor genetik merupakann faktor penting. Anak perempuan dengan ibu yang memiliki OA
berisiko lebih tinggi dari pada anak laki-laki karena OA diwariskan diwariskan kepada anak
perempuan secara dominan sedangkan pada laki-laki diwariskan secara resesif. Selain itu genetik
menyumbang terjadinya OA pada tangan sebanyak 65%, OA panggul sebanyak 50%, OA lutut
sebanyak 45%, dan 70% OA pada cervical dan spina lumbar.
- Obesitas
Obesitas merupakan faktor penting terkait perkembangan OA pada lutut tetapi hubungan ini
lebih kuat pada wanita. Risiko 19 terjadinya OA dua kali lebih besar pada orang dengan berat
badan berlebih dari pada kelompok orang dengan berat badan normal. Selain itu dilihat dari
perubahan radiologis, obesitas merupakan prediktor ketidakmampuan yang progresif. Tetapi
hubungan ini tidak jelas pada OA panggul dan OA tangan.
- Riwayat bedah lutut atau trauma
Trauma pada sendi merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit OA. Hal ini dikarenakan
kemungkinan adanya kerusakan pada mayor ligamen, tulang pada sekitar sendi tersebut. Trauma
merupakan faktor risiko pada OA lutut karena kerusakannya bisa menyebabkan perubahan pada
meniskus, atau ketidakseimbangan pada anterior ligamen krusial dan ligamen kolateral. -
Aktivitas berat yang berlangsung lama Penggunaan sendi dalam aktivitas berat yang berlangsung
lama menjadi faktor risiko berkembangnya penyakit OA. Pekerjaan seperti kuli angkut barang,
memanjat menyebabkan peningkatan OA lutut, hal ini biasanya terjadi pada laki-laki. Selain itu
kebiasaan yang membungkuk terlalu lama seperti petani, atau tukang cuci meningkatkan risiko
terjadinya OA panggul. Altet olahraga wanita ataupun lelaki menunjukkan faktor risiko besar
terjadinya OA lutut dan panggul.
6. Manifestasi Klinis
OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat mengenai
sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul, lutut.
- Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada sumsum tulang,
fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta
spasme pada otot atau ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang
lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat perasaan sakit, hal ini bisa
berkurang dengan istirahat. - Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika
pagi hari ketika setelah duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.
- Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi rawan.
- Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan sebagai nodus Heberden
(karena adanya keterlibatan sendi Distal Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard (karena
adanya keterlibatan sendi Proximal Phalangeal (PIP)). Pembengkakan pada tulang dapat
menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan sendi yang progresif.
- Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-lahan mengalami
pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau lutut.
7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan fisik juga diperlukan
pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan pemeriksaan laboratorium. Foto polos dapat
digunakan untuk membantu penegakan diagnosis OA walaupun sensivitasnya rendah terutama
pada OA tahap awal. USG juga menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis OA karena selain
murah, mudah diakses serta lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan atau MRI.
- Radiologi Setiap sendi yang menyangga berat badan dapat terkena osteoartritis, seperti
panggul, lutut, selain itu bahu, tangan, pergelangan tangan, dan tulang belakang juga sering
terkena. Gambaran radiologi OA sebagai berikut: Pembentukan osteofit: pertumbuhan tulang
baru (semacam taji) yang terbentuk di tepi sendi. Penyempitan rongga sendi : hilangnya kartilago
akan menyebabkan penyempitan rongga sendi yang tidak sama. Badan yang longgar : badan
yang longgar terjadi akibat terpisahnya kartilago dengan osteofit. Kista subkondral dan sklerosis:
peningkatan densitas tulang di sekitar sendi yang terkena dengan pembentukan kista
degenerative. Bagian yang sering terkena OA
Lutut :
 Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada rongga sendi.
 Kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang utama, tekanannya lebih besar
sehingga hampir selalu menunjukkan penyempitan paling dini.
Tulang belakang :
 Terjadi penyempitan rongga diskus.
 Pembentukan tulang baru (spuring/pembentukan taji) antara vertebra yang berdekatan sehingga
dapat menyebabkan keterlibatan pada akar syaraf atau kompresi medula spinalis.
 Sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal invertebrata.
Panggul :
 Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat badan yang terlalu berat,
sehingga disertai pembentukan osteofit femoral dan asetabular.
 Sklerosis dan pembentukan kista subkondral.
 Penggantian total sendi panggul menunjukkan OA panggul yang sudah berat.
Tangan :
 Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama.
 Sendi-sendi interfalang proksimal ( nodus Bouchard ).
 Sendi-sendi interfalang distal ( nodus Heberden )
8. Klasifikasi
Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam pemeriksaan radiologis
diklasifikasikan sebagai berikut:
Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada radiologis.
Grade 1: Ragu-ragu, tanpa osteofit.
Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar sendi.
Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang cukup besar.
Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi yang lebar dengan sklerosis
pada tulang subkondral.
American College of Rheumatology (1987) mendeskripsikan kesehatan seseorang
berdasarkan derajat keparahan. Antara lain sebagai berikut:
Derajat 0 : Tidak merasakan tanda dan gejala.
Derajat 1 : Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika beraktifitas cukup berat, tetapi masih bisa
dilokalisir dengan cara mengistirahatkan sendi yang terkena osteoartritis.
Derajat 2 : Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar sendi, nyeri hampir selalu
dirasakan, kaku sendi pada pagi hari, krepitus, membutuhkan bantuan dalam menaiki tangga,
tidak mampu berjalan 16 jauh, memerlukan tenaga asisten dalam menyelesaikan pekerjaan
rumah.
Derajat 3-4 : Osteofit sedang-berat, terdapat celah antar sendi, kemungkinan terjadi perubahan
anatomis tulang, nyeri disetiap hari, kaku sendi pada pagi hari, krepitus pada gerakan aktif sendi,
ketidakmampuan yang signifikan dalam beraktivitas.
9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda dan gejala OA, meningkatkan
kualitas hidup, meningkatkan kebebasan dalam pergerakan sendi, serta memperlambat progresi
osteoartritis. Spektrum terapi yang diberikan meliputi fisioterapi, pertolongan ortopedi,
farmakoterapi, pembedahan, rehabilitasi.
a. Terapi konservatif
Terapi konservatif yang bisa dilakukan meliputi edukasi kepada pasien, pengaturan gaya hidup,
apabila pasien termasuk obesitas harus mengurangi berat badan, jika memungkinkan tetap
berolah raga (pilihan olah raga yang ringan seperti bersepeda, berenang).
b. Fisioterapi
Fisioterapi untuk pasien OA termasuk traksi, stretching, akupuntur, transverse friction (tehnik
pemijatan khusus untuk penderita OA), latihan stimulasi otot, elektroterapi.
c. Pertolongan ortopedi
Pertolongan ortopedi kadang-kadang penting dilakukan seperti sepatu yang bagian dalam dan
luar didesain khusus pasien OA, ortosis juga digunakan untuk mengurangi nyeri dan
meningkatkan fungsi sendi.
d. Farmakoterapi
- Analgesik / anti-inflammatory agents.
COX-2 memiliki efek anti inflamasi spesifik. Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi
harus selalu dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas. Contoh: Ibuprofen : untuk efek
antiinflamasi dibutuhkan dosis 1200-2400mg sehari. Naproksen : dosis untuk terapi penyakit
sendi adalah 2x250- 375mg sehari. Bila perlu diberikan 2x500mg sehari.
- Glucocorticoids
Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat menghilangkan efusi sendi akibat inflamasi. Contoh:
Injeksi triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi hexacetonide 10 mg atau 40 mg.
- Asam hialuronat
- Kondroitin sulfat
- Injeksi steroid seharusnya digunakan pada pasien dengan diabetes yang telah hiperglikemia.
Setelah injeksi kortikosteroid dibandingkan dengan plasebo, asam hialuronat, lavage (pencucian
sendi), injeksi kortikosteroid dipercaya secara signifikan dapat menurunkan nyeri sekitar 2-3
minggu setelah penyuntikan.
e. Pembedahan
- Artroskopi merupakan prosedur minimal operasi dan menyebabkan rata infeksi yang rendah
(dibawah 0,1%). Pasien dimasukkan ke dalam kelompok 1 debridemen artroskopi, kelompok 2
lavage artroskopi, kelompok 3 merupakan kelompok plasebo hanya dengan incisi kulit. Setelah
24 bulan melakukan prosedur tersebut didapatkan hasil yang signifikan pada kelompok 3 dari
pada kelompok 1 dan 2.
- Khondroplasti : menghilangkan fragmen kartilago. Prosedur ini digunakan untuk mengurangi
gejala osteofit pada kerusakan meniskus.
- Autologous chondrocyte transplatation (ACT) - Autologous osteochondral transplantation
(OCT).
OSTEOPOROSIS
1. Definisi
Osteoporosis atau keropos tulang merupakan suatu penyakit metabolik tulang yang
ditandai dengan penurunan kepadatan dan kualitas struktur tulang yang bersifat progresif.
Osteoporosis sering dijuluki “silent thief” mencuri massa tulang secara diam-diam dan juga
“silent disease” menimbulkan gejala bila penurunan densitas tulang lebih dari 30% dan biasa
gejala yang ditimbulkan berupa fraktur. Seseorang dikatakan osteoporosis, jika T-score hasil
pemeriksaan gold standardnya yaitu DXA <-2,5. 1,10
2. Klasifikasi
Osteoporosis dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu osteoporosis primer dan
osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
Osteoporosis tipe 1 yang terjadi pada wanita post menopause
Osteoporosis tipe 2 atau osteoporosis senil yang dapat terjadi pada pria maupun wanita diatas 75
tahun.
Osteoporosis tipe 1 ini erat kaitannya dengan hormon estrogen dan biasa terjadi pada usia 51 -75
tahun. Osteoporosis tipe 2 banyak terjadi pada pria maupun wanita di atas 70 tahun.
Menopause

 estrogen

Bone Osteoblas Sel Endotel Osteoklas  absorbsi  reabsorbsi kalsium


marrow kalsium di usus di ginjal
Stromal cell
+
sel
 IL-1, TNF-, IL-6,  TGF -   Hipokalsemia
mononukle
M-CSF ar NO

 PTH
 differensiasi &maturasi osteoklas

resorpsi tulang

Osteoporosis
Gambar 1. Patogenesis osteoporosis post menopause
Hormon estrogen pada sel-sel tulang memiliki peran dalam menurunkan berbagai sitokin
yang bekerja meningkatkan diferensiasi dan maturasi osteoklas seperti IL-1, IL-6, TNF α dan M-
CSF yang dihasilkan oleh bone marrow stromal cells dan sel mononuklear, merangsang
osteoblas untuk menurunkan pelepasan TGF β dan juga bekerja langsung pada osteoklas untuk
meningkatkan kerjanya. Wanita post menopause mengalami penurunan kadar estrogen sehingga
kerja osteoklas meningkat baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi
peningkatan resorpsi tulang.
Penurunan kadar hormon estrogen juga berpengaruh pada absorbsi kalsium di usus dan
reabsorbsi kalsium di ginjal, di mana keduanya mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan
kadar kalsium di dalam darah sedikit atau biasa kita sebut dengan keadaan hipokalsemia.
Hipokalsemia menstimulus pelepasan hormon paratiroid yang kerjanya meningkatkan resorpsi
tulang guna meningkatkan kadar kalsium dalam darah. Proses seperti ini lama kelamaan
menyebabkan osteoporosis pada wanita post menopause.
3. Faktor Risiko Osteoporosis
1. Usia
Semakin bertambah usia semakin tinggi resiko terkena osteoporosis. Hal ini disebabkan
karena tulang manusia mengalami proses yang dinamakan modelling dan remodelling yang
berjalan baik pada masa pertumbuhan, sehingga massa tulang terus bertambah. Massa tulang
pada usia 30 – 35 tahun. Pada usia setelah 35 tahun, proses modelling tulang sudah berhenti dan
proses remodelling tulang berjalan tidak seimbang. Sel osteoblas akan lebih cepat mati akibat sel
osteoklas yang menjadi lebih aktif, sehingga proses resorpsi tulang juga akan menjadi lebih aktif
dibandingkan dengan formasi tulang dan massa tulang akan berkurang sekitar 0,5 – 1 % setiap
tahunnya, sehingga kepadatan tulang akan terus menerus menurun sampai puncaknya terjadi
osteoporosis dan fraktur.
2. Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria. Hal ini disebabkan karena
laki-laki memiliki tulang yang lebih padat, dan aktivitas fisik yang lebih banyak dibandingkan
dengan wanita. Ditambah adanya pengaruh hormon estrogen pada wanita yang berpengaruh
meningkatkan aktivitas sel osteoblas dan menurunkan aktivitas osteoklas. Hormon estrogen
mulai mengalami penurunan kadarnya dalam tubuh wanita pada usia 35 tahun, hingga
mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 – 50 tahun. Hal ini yang menyebabkan
wanita post menopause kerapuhan tulang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan
tulang.
3. Berat Badan
Seseorang dengan berat badan yang rendah lebih berisiko terkena osteoporosis daripada
orang dengan berat badan yang berlebih.Seseorang dengan berat badan yang berlebih akan
membuat tubuhnya menopang beban yang lebih berat dan memberikan tekanan yang lebih tinggi
juga pada tulang, sehingga tulang akan menjadi lebih kuat dan meningkatkan massa tulang.

5. Ras/Suku
Ras atau suku merupakan salah satu faktor resiko osteoporosis. Ras yang rentan terhadap
osteoporosis adalah Asia dan Kaukasia dibandingkan dengan ras berkulit hitam (Afrika-
Amerika). Ras kulit hitam memiliki masa otot dan tulang yang lebih besar dan padat.

6. Riwayat Keluarga
Seseorang dengan riwayat keluarga orang tuanya menderita osteoporosis akan lebih rentan
terkena osteoporosis. Pada seorang wanita yang mempunyai riwayat keluarga ibunya mengalami
patah tulang belakang akibat osteoporosis diperkirakan 60-80% lebih mudah mengalami
penurunan masa tulang dan lebih berisiko terkena osteoporosis. Hal ini berkaitan dengan faktor
genetik yang berpengaruh pada jumlah reseptor estrogen pada sel-sel tulang.

7. Aktivitas Fisik
Aktivititas fisik yang kurang dapat menjadi faktor resiko osteoporosis. Aktivitas fisik kurang
menyebabkan sekresi kalsium tinggi dan pembentukan tulang tidak maksimal yang
mengakibatkan penurunan massa tulang. Banyak beraktivitas fisik dan berolah raga memicu
pembentukan massa tulang dan otot, sehingga tulang tidak mudah mengalami pengeroposan di
usia tua. Aktivitas fisik dan olah raga yang paling baik pada saat masih proses pembentukan
tulang adalah weight bearing exercise yang membebani otot dan tulang, sehingga memicu tulang
menjadi semakin padat.

8. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok membuat seseorang rentan terkena osteoporosis. Zat nikotin di dalam
rokok berperan dalam mempercepat proses penyerapan tulang dan menurunkan kadar dan
aktivitas hormon estrogen pada wanita, selain itu nikotin juga menyebabkan terganggunya
proses reabsorbsi kalsium dalam ginjal.
9.Kebiasaan Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan mengganggu metabolisme vitamin D dalam tubuh dan
menghambat penyerapan kalsium, sehingga berpengaruh menurunkan kepadatan tulang.

10. Kebiasaan Konsumsi Kafein

Kafein memiliki efek diuretik. Efek diuretik ini menyebabkan ekskresi kalsium melalui urin
menjadi semakin banyak dan berpengaruh terhadap kepadatan tulang.

11. Asupan Makanan


Asupan makanan yang baik untuk tulang adalah makanan yang cukup mengandung protein,
kalsium dan vitamin D. Protein yang berlebih dapat meningkatkan resiko osteoporosis. Dari
beberapa penelitian sebelumnya, protein akan dipecah menjadi senyawa asam. Senyawa asam ini
akan ditahan di dalam tulang sehingga menyebabkan pelepasan kalsium oleh tulang.

Kalsium merupakan faktor pendukung untuk proses pertumbuhan tulang, dan menjadi salah
satu terapi osteoporosis. Asupan kalsium tiap individu dapat berbeda-beda dipengaruhi faktor
resiko yang dimiliki individu tersebut. Kadar kalsium yang dibutuhkan orang dewasa berkisar
1000-1300 mg/hari. Sumber kalsium bisa didapatkan dari makanan seperti susu, ikan terutama
ikan yang dimakan dengan tulangnya, bahan makanan dari kedelai, dll. Penyerapan kalsium
dibantu juga oleh vitamin D. Vitamin D dapat diperoleh dari konsumsi lemak ikan dan minyak
ikan 1 Penggunaan Obat-obatan Penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu yang panjang
perlu diperhatikan pemakaiannya. Obat-obat yang harus perhatikan karena berisiko
menyebabkan osteoporosis adalah kortikosteroid, obat anti konvulsi, obat hormon progresteron
jangka panjang, obat-obat imunosupresan dan obat anti koagulasi, agonis GnRH, aluminium
antacid, laxix.
Kortikosteroid mempunyai efek ke tulang dengan inhibisi aktivitas osteoblas yang berarti
proses formasi tulang oleh osteoblas juga terhambat. Kortikosteroid juga berperan dalam proses
osteoklastogenesis. Pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang menyebabkan defisit massa
tulang dan terjadi penipisan trabekula tulang.

12. Penyakit Lain

Penyakit yang berhubungan dengan terjadinya osteoporosis adalah diabetes mellitus,


penyakit ginjal kronis, saluran cerna, hati, dan endokrin. Penderita penyakit ginjal kronik
biasanya disertai dengan ketidakseimbangan hormon paratiroid, fosfor, vitamin D dan juga
ditemukan adanya petanda resorpsi tulang yang meningkat.
Hormon insulin memiliki peran dalam merangsang sintesis matriks tulang yaitu pada proses
diferensiasi osteoblas dan pembentukan tulang rawan. Insulin juga penting dalam mineralisasi
tulang normal dan menrangsang produksi IGF I oleh hati yang berguna meningkatkan jumlah sel
yang dapat mensintesis matriks tulang. Penyakit diabetes mellitus dapat terjadi karena seseorang
mengalami defisiensi hormon insulin oleh karena itu maka meningkatkan resiko terjadinya
osteoporosis.
4. Diagnosis Osteoporosis
Setiap penegakan diagnosis pasti didahului anamnesis dan pemeriksaan fisik, begitu juga
dengan penegakan diagnosis osteoporosis. Anamnesis yang dilakukan meliputi keluhan utama
dan masalah kesehatan, riwayat keluarga, aktivitas fisik dan latihan, riwayat merokok dan
minum alkohol, penggunaan obatobatan, asupan makanan, penyakit-penyakit lain yang
berhubungan dengan osteoporosis seperti penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin dan
insufisiensi pankreas. Anamnesis pada wanita perlu ditambahkan riwayat haid, umur menarke
dan menopause, penggunaan obat kontrasepsi.
Pemeriksaan fisik meliputi pengukuran tinggi badan dan berat badan, gaya berjalan
penderita, deformitas tulang vertebrae, tanda-tanda fraktur, nyeri spinal, dan gejala-gejala pada
penyakit yang ditemukan pada anamnesis. Penderita osteoporosis sering menunjukkan kifosis
dorsal atau gibbus.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sering kali belum cukup, metode pemeriksaan
yang efektif adalah pengukuran densitas mineral tulang atau BMD. Pemeriksaan ini bersifat
kuantitatif. Tujuan dari pengukuran BMD adalah untuk mendiagnosis osteoporosis, memprediksi
risiko faktur dan memonitor terapi yang diberikan. Pengukuran BMD ini menggunakan metode
dengan ruang lingkup radiologi, menggunakan radio isotop, X-ray, CT-scan, dan juga
Ultrasound. Tipe pengukuran BMD ada beberapa seperti QUS (Quantitative Ultrasound), QCT
(Quantitative Computed Tomography), DPA (Dual Photon Absorptiometry), SPA (Single
Photon Absorptiometry), RA (Radiographic Absorptiometry), SXA (Single Energy X-ray
Absorptiometry), DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry). Pengukuran BMD dengan DXA
merupakan gold standard dalam mendiagnosis osteoporosis. DXA menggunakan 2 energi radiasi
sinar-X sehingga pengaruh jaringan lunak dapat dihilangkan dan dapat mengukur kepadatan
tulangtulang sentral seperti tulang belakang (L1-L4) dan femur proksimal, tulang-tulang perifer
seperti lengan bawah dan juga dapat mengukur total body BMD. Pengukuran BMD yang rutin
dilakukan adalah di tulang belakang dan femur proksimal. Pengukuran BMD di tulang belakang
dari L1-L4 harus diukur rata-rata BMDnya.
Hasil yang didapatkan dari pengukuran BMD dengan DXA adalah berupa nilai BMD
areal dalam satuan gr/cm2 , Z-score, dan T-score. Z-score merupakan perbandingan nilai BMD
pasien dengan BMD rata-rata orang seusia pasien, dinyatakan dalam skor deviasi standard. Z-
score ini tidak banyak digunakan dalam diagnosis osteoporosis karena banyak didapatkan hasil
negatif palsu.
Penggunaan Z-score untuk diagnosis osteoporosis adalah pada anak-anak baik laki-laki
maupun wanita -1, osteopenia dengan T-score antara -1 dan -2,5, osteoporosis dengan Tscore <-
2,5, osteoporosis berat dengan T-score <-2,5 disertai dengan fraktur fragilitas. Hasil dari T-score
ini juga berpengaruh dalam penentuan penatalaksanaan yang diberikan.

Anda mungkin juga menyukai