Anda di halaman 1dari 8

(Part 1)

Manggung
di Hajatan Jin
Konten ini diproduksi oleh Mbah Ngesot
Sudah dua hari hewan ternak warga kampung
Kaduengang hilang secara misterius. Puluhan
ayam lenyap dari kandangnya, kambing yang
dipelihara bertahun-tahun juga hilang. Belum lagi
kerbau, ada sepuluh ekor yang hilang secara
misterius. Mereka yakin pasti ada maling di
kampung mereka. Warga kampung itu sepakat
untuk memperbanyak pos ronda. Setiap malam
para pemuda dan bapak-bapak bergantian menjaga
kampung. Mereka sangat hati-hati jika ada orang
asing yang masuk ke kampung mereka.
Anehnya tidak ada tanda-tanda maling di
kampung itu. Selama satu minggu berjaga, tak satu
pun orang asing yang masuk ke kampung. Kasus
hilangnya hewan ternak belum terpecahkan, tapi
sudah muncul kasus baru. Banyak warga yang
melapor ke ketua RT kalau warung mereka
kemalingan. Barang dagangan mereka hilang, tapi
si maling hanya mencuri barang yang bisa dimakan
saja seperti kue, biskuit, kopi, dan makanan lainnya.
Kejadian ini benar-benar menggemparkan
seluruh warga kampung. Mereka bahkan
menambahkan gembok pada pintu rumah mereka
agar maling tidak bisa masuk. Bukan pintu saja, tapi
jendela juga ikut digembok. Pak Mashuri sebagai
ketua RT mulai kebingungan. Dia heran siapa yang
sudah melakukan ini semua.
Minggu berikutnya yang hilang adalah rokok.
Banyak pemilik warung yang mengadu pada Pak
Mashuri kalau rokok di warung mereka ludes di
gondol maling. Tapi tunggu dulu, Pak Mashuri
enggan buru-buru memutuskan kalau hilangnya
rokok warga itu digondol maling soalnya rokok Pak
Mashuri juga sering hilang, padahal jelas-jelas ia
meletakkan rokok itu di kamarnya. Hal itu juga
dialami bapak-bapak dan para pemuda kampung,
mereka sering kehilangan rokoknya. Lengah sedikit
rokok itu lenyap begitu saja.
Sementara itu di lain tempat, jauh dari kaki
gunung Karang. Ada grup jaipong yang reputasinya
tak terkalahkan. Namanya grup Goyang Geboy,
mereka sangat tersohor seantero Banten. Setiap
mereka manggung yang nonton pasti ratusan orang
sudah macam nonton konser artis ibukota. Tapi…
itu dulu, sekarang grup Goyang Geboy sudah tidak
laku. Orang-orang lebih suka nanggap dangdut
ketimbang jaipong.
Dulhanan pendiri grup jaipong Goyang Geboy
sekarang sudah beralih profesi menjadi kuli panjat
pohon melinjo, sedangkan Dian Rara si primadona
yang selalu dinanti-nanti goyangannya, sekarang
sibuk jualan sawo di pinggi jalan. Dia sudah
menikah dan punya satu anak yang nakalnya minta
ampun.
Lain halnya dengan nasib para penabuh
gamelan, mereka semua jadi tukang ojek yang
setiap hari hanya termangu di pertigaan jalan.
Menunggu penumpang yang tak pasti, sekalinya
ada para penumpang itu dijemput oleh keluargnya.
Sekarang hidup mereka serba sulit, tidak seperti
dulu saat grup jaipong Goyang Geboy berjaya.
Uang yang mereka dapatkan dari hasil manggung
melimpah ruah.

Tengah malam sekitar jam dua belas, Dulhanan


tidak bisa tidur. Dia lalu masuk ke kamar tempat
disimpannya gamelan. Sudah lama sekali gamelan
itu tidak digunakan, alat itu berdebu dan penuh
dengan sarang laba-laba. Dulhanan menyalakan
lampu kamar, dia lalu mengambil kain basah dan
membersihkan gamelannya dengan kain itu. Sambil
menyanyikan lagu jaipong, dia perlahan mengelap
gamelannya.
Tak lama kemudian ada yang mengetuk pintu
rumahnya. Dulhanan heran, tak biasanya ada orang
yang bertamu tengah malam seperti ini. Segera dia
buka pintu itu, di hadapannya berdiri seorang lelaki
berpakaian serba hitam dan mengenakan blangkon
batik. Perawakan lelaki itu kurus, kumisnya tebal
sekali, alisnya menjuntai sampai ke ceruk mata.
Lelaki itu benar-benar asing bagi Dulhanan.
“Cari siapa ya, Pak?” tanya Dulhanan.
“Bapak Dulhanan,” jawab lelaki sambil
tersenyum ramah.
“Iya saya sendiri. Mari silakan masuk,” Dulhanan
menggelar tikar pandan, lelaki itu pun duduk sila
sambil terus tersenyum ramah.
“Kalau boleh tahu ada perlu apa ya sama saya?”
Dulhanan penasaran, jarang-jarang dia kedatangan
tamu.
“Saya diutus untuk menyampaikan pesan ke
bapak,” kata lelaki itu.
“Pesan apa dan dari siapa?” Dulhanan semakin
penasaran.
“Ini pesan dari abah Kamdari. Beliau mau
mengadakan hajat besar, menikahkan anaknya.
Nah, beliau mau panggil grup jaipong Goyang
Geboy buat meramaikan acara pernikahan,” jelas
lelaki itu.
Dulhanan terkejut mendengar penjelasan lelaki
itu, dia tak menyangka ternyata masih ada orang
yang mau memakai jasanya. Tanpa pikir panjang
lagi, Dulhanan langsung mengiyakan tawaran itu.
“Kapan ya hajatnya?”
“Malam Minggu, Pak. Soal bayaran Pak Dulhanan
tidak akan kecewa. Abah Kamdari mau bayar 50
juta,” kata lelaki itu.
“Wah mantap itu Pak,” Dulhanan bahagia sekali
mendengar bayarannya tinggi.
“Ya sudah nanti hari Sabtu setelah Magrib saya
ke sini lagi ya Pak. Nanti saya bawa teman-teman
yang lain buat ngebantu bawa alat-alat bapak. Kita
jalan kaki saja,” kata lelaki itu.
Tak berlama-lama, lelaki itu pun pamit dari
rumah Dulhanan. Saking senangnya, Dulhanan
sampai lupa menanyakan siapa nama lelaki tadi. Ah,
itu tak penting. Bagi Dulhanan yang paling penting
sekarang adalah uang, dia yakin para personel grup
Goyang Geboy pasti mau diajak manggung lagi.
Besoknya Dulhanan berhasil mengumpulkan
personelnya, Dian Rara, Bedu, Jaro, dan Sardi.
Mereka senang sekali mendengar kabar dari
Dulhanan, apalagi saat diberitahu kalau
bayarannya 50 juta. Pastilah yang hajat ini orang
kaya.
Sebelum Magrib mereka semua berkumpul di
rumah Dulhanan. Tak perlu menunggu lama, lelaki
yang tempo hari mendatangi Dulhanan pun muncul.
Dari kejauhan dia tampak tersenyum ramah, dia
juga membawa lima orang lainnya untuk
menggotong alat musik jaipong.
Selepas Magrib, rombongan Dulhanan pun
berangkat. Kata lelaki misterius itu, abah Kamdari
tinggal di kampung Ciberang. Dulhanan belum
pernah dengar kampung itu. Dia pun manut saja
yang penting dapat uang. Mereka pun tiba di
kampung Kaduengang, anehnya orang-orang
kampung yang saat itu sedang ronda tiba-tiba lari
berhamburan saat melihat rombongan Dulhanan.
Yang orang-orang kampung itu lihat sangat di luar
nalar, alat jaipongan itu tampak melayang sendiri
tanpa ada yang menggotongnya.
“Kenapa mereka lari?” tanya Dian Rara.
“Entahlah mungkin mereka kira kita itu setan,”
kata Dulhanan sambil tertawa.
Rombongan itu akhirnya tiba di kampung
Ciberang, suasana di sana ramai sekali. Panggung
besar sudah disiapkan untuk pentas jaipong. Bedu,
Jaro, Sardi dan Dulhanan langsung menabuh alat-
alat jaipong. Dian Rara pun meliuk-liuk bergoyang
dengan lincah. Penonton bersorak melihat
goyangan Dian Rara. Satu persatu, penonton itu
naik ke panggung untuk nyawer. Di tengah-tengah
pertunjukan, tiba-tiba Bedu izin buang air kecil. Dia
turun dari panggung dan segera mencari semak-
semak.
Saat sebelum Bedu naik kembali ke panggung,
dia melihat seorang wanita cantik yang berdiri di
antara pepohonan. Wanita itu berpakaian layaknya
sinden, dia tersenyum ke arah Bedu. Perawakannya
montok membuat Bedu terpukau.
“Kemari…,” kata wanita itu sambil tersenyum.
Tanpa pikir panjang lagi, Bedu menghampiri
wanita itu. Ia dibawa masuk ke tengah hutan dan
menghilang begitu saja.
Keesokan paginya, para personel grup jaipong
itu terkapar di atas semak-semak. Mereka tidak
menyadari kalau semalam yang hajat itu adalah
lelembut gunung Karang. Dulhanan membuka
matanya, tepat di samping kanannya sudah ada
segepok uang tunai 50 juta. Bukan hanya itu,
Dulhanan juga dibekali puluhan lima ekor ayam, dua
kambing, rokok berbagai merek dan makanan
warung. Dulhanan segera membangunkan
personelnya.
“Bedu mana?” tanya Dulhanan.
“Nggak tahu Pak. Bukannya semalam manggung
sama kita?” tanya Sardi.
“Iya aku ingat betul,” timpal Jaro.
“Dian Rara ada?” tanya Dulhanan sambil
menoleh ke sekeliling.
“Itu dia Pak,” tunjuk Jaro.
Dian Rara terkapar tak sadarkan diri di atas
semak-semak. Pakaiannya acak-acakan. Mungkin
Dian Rara kelelahan setelah semalaman suntuk
menari tanpa henti.

Anda mungkin juga menyukai