Anda di halaman 1dari 5

Ada Yang Pergi dan Kembali

“Mereka selalu berjuang demi beberapa lembar rupiah yang halal. Dengan cara apa pun asalkan
halal. Setiap harinya berjuang demi menafkahi keluarga. Mereka bukan kepala atau Ibu rumah
tangga, tapi mereka anak-anak dari keluarga sederhana yang selalu terdesak kemiskinan. Apakah
mereka sempat bahagia di kala peluh menetes seraya rasa nyeri dan pegal memenuhi tubuh setelah
seharian membanting tulang demi lembaran rupiah. Sempatkah?” by Rain.

Gadis itu terbangun saat suara adzan subuh menyelinap di sela-sela tembok anyaman bambu. Sudah
banyak sela-sela lembar bambu yang tidak lagi mengait kuat dan rapat, karena itulah angin sering
menyusup licik yang setiap malam membuat Wulan meringkuk menggigil kedinginan di atas
ranjang bambu. Rumah reyoknya ini tak ubahnya seperti gubuk bambu tua yang kapan saja bisa
roboh karena hujan badai atau gempa bumi.

Gadis bernama Wulan ini masih belia. Masih bersetatus pelajar di tingkat SMA, mungkin inilah
perjuangannya dalam menuntut ilmu. Ia tinggal bersama Ibu dan kakaknya. Ibunya yang sudah
hampir sepuh itu telah letih dan teramat lelah untuk sekedar mercari sekeping atau selembar uang,
apalagi suaminya telah meninggal sejak Wulan duduk di bangku satu sekolah dasar. Begitu besar
beban yang harus dipikul orangtua itu, tapi ia bersyukur mempunyai dua anak yang begitu berbakti
kepadanya. Tanpa sedikit pun mengeluh Wulan dan Marni kini menjadi tulang punggung keluarga.

Dengan tubuh menggigil Wulan beranjak mengambil air wudhu kemudian Ia tunaikan sholat subuh
dengan kusyuk. Di keheningan pagi yang teramat dingin, dipanjatkannya do’a untuk Sang Pencipta.
Dalam do’anya terucap permintaan ampun terhadap dosa-dosanya, sekeluarga dan puji syukur yang
sangat besar kepada Allah, Tuhannya. Tidak lupa ia sebutkan permintaannya, agar diberi kesabaran
dan ketakwaan yang teguh, serta rezeki yang diridhai oleh Allah. Ia juga meminta agar keluarganya
selalu dalam lindungan-Nya dan selalu diberikan kesehatan, serta kesembuhan untuk Ibunya yang
tengah sakit. Air mata pun sempat menetes beberapa kali, membuat mata indahnya sebab dan wajah
cantiknya basah. Ia akhiri do’a-nya seraya mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Ia hapus
air matanya sembari bangkit, dirapikannya rukuh dan sajadah yang kemudian dimaksukkannya ke
dalam ransel agar nanti ia bisa menunaikan ibadah sholat di sekolah. Baginya tidak ada waktu untuk
bermalas-malasan atau bermelankolis dengan pedihnya hidup ini.

Waktu sangatlah berharga, sebentar saja ia bermalas-malasan maka rugilah dia di hari ini, sebab
hidupnya tidak semudah para remaja lain. Wulan berbeda. Bagi keluarganya setiap hari adalah
perjuangan hidup untuk merauk sesuap nasi, yang kadang sangat sulit didapat. Jadi seperti inilah
Wulan. Tanpa ia sadari dirinya telah terdidik sangat mandiri dalam menjalani kehidupan yang kian
hari kian terasa pahit di hati.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi dan kini Wulan sudah rapi dengan
potongan seragam sekolah serba putih bersih, sangat cocok dengan kulit kuning langsatnya yang
bersih. Ia melirik jam dinding tua hasil pungutannya di tempat sampah yang ditempelkan di dinding
bambu. Agak sulit ia melihatnya, sebab sumber penerangan yang ada di kamarnya hanyalah
sebatang lilin yang dinyalakan sejak ia akan sholat subuh tadi. Sesaat cahaya api lilin yang temaram
menerpa wajah cantik nan manis yang dibalut rapi kerudung putihnya.

“Mak, Wulan berangkat sekolah ya.” kata Wulan sambil mencium tangan Ibunya.
“Iya Is, hati-hati di jalan ya.” jawab sang Ibu.
“Assalamu’alaikum.” Wulan tersenyum khawatir saat akan berangkat, sebab ia tak tega
meninggalkan Ibunya yang sedang terbujur lemas di atas ranjang bambu itu. Sakit yang diderita
wanita tua itu memang terkadang kambuh dan seperti inilah jika penyakitnya kambuh.
“Wa’alaikum salam.” jawab Ibunya lirih dan sedikit serak, seperti mengisyaratkan pada Wulan agar
tetap tinggal untuk menemaninya. Membuat Wulan menjadi berat melangkahkan kakinya menuju
sekolah. Namun Wulan harus segera berangkat, Lagi pula masih ada Marni yang akan merawatnya.

“Wulan, ini soerabinya.” ujar Marni sambil menyondorkan tampah wadah serabi yang masih
hangat.
“Iya Kak.” sahut Wulan menerimanya sambil menyunggingkan sebesit senyum.
“Semoga hari ini laris ya Is.”
“Iya Kak, amin. Ya udah Wulan berangkat. Assalamu’alaikum.” Wulan mencium tangan kakaknya.
“Wa’alaikum salam. Hati-hati.” Wulan mengangguk pelan dan beranjak melangkahkan kaki menuju
sekolahannya. Setiap hari ia membawa serabi buatan Marni, kakaknya untuk dijual di sekolah
sewaktu istirahat atau setelah pulang sekolah. Inilah salah satu pekerjaannya yang bisa
menghasilkan beberapa lembar rupiah penyambung hidup. Sedangkan Marni sendiri berkerja
serabutan seperti mencucikan dan menyetrika baju tetangga. Walau hasilnya tidak seberapa, tapi
yang pasti ia akan mendapatkan beberapa keping atau lembar rupiah yang sangat berharga. Namun
sekarang ia tidak bisa kerja serabutan seperti itu, karena Ibunya sedang sakit dan ia harus selalu
menjaga dan merawatnya.
Terkadang Wulan dan Marni merasa semakin hari semakin sulit mencari rupiah, namun semangat
mereka tidak pernah padam. Seakan terus terbakar bersama kesabaran dan ketekunan yang
menghasilkan sebuah kenikmatan bagi keluarga sederhana mereka.

Perjalan menuju sekolah adalah salah satu dari sekian banyak kepedihan yang selama ini ia rasa,
karena ditempuh hanya dengan jalan kaki. Padahal jarak rumah ke sekolah tidaklah dekat. Ia selalu
bersyukur, karena telah diberi dua kaki yang kuat dan kesabaran yang kian melatihnya untuk
semakin memperkuat imannya kepada Tuhan hingga kini menjadikannya seorang wanita sholeha,
idaman para ustad muda. Bukan hanya jarak tempuh yang jauh saja, tapi terkadang fisiknya juga
tidak kuat untuk berjalan terlalu lama. Apalagi ia membawa tampah, tempat mejajankan serabinya.
Jika dirasa kakinya mulai pegal atau tubuhnya terasa lelah, ia akan berhenti barang sejenak di
tempat teduh, pinggir jalan. Waktu istirahatnya pun tidak boleh lama, apalagi bermalas-malasan.
Bisa-bisa ia terlambat masuk sekolah.

Kini pun ia tengah beristirahat di pos ronda dekat jalan raya. Wulan meminum beberapa teguk bekal
air minumnya. Keringat membasahi wajahnya yang nampak letih dan khawatir. Ia bersihkan
peluhnya dengan sapu tangan dan mulai bangkit untuk melanjutkan perjalanan. Mungkin semua ini
sudah takdirnya, namun tidak dipikirkannya, yang ada di pikirkannya hanyalah terpunuhnya
kebutuhan keluarga.

Sebenarnya ada angkot sebagai transportasi alternatif dan tarifnya pun lumayan ekonomis. Namun
menaikinya seminggu sekali saja sudah menjadi hal mewah baginya, karena tidak adanya biaya.
Pada hari seninlah ia bisa merasakan hal mewah itu. Wulan merelakan uang jajan hasil keringatnya
sendiri untuk bisa menaiki angkot. Ia memilih hari senin karena pada hari itu pasti ada upacara
bendera dan agar menghemat waktu dan tenaga.
“Assalamu’alaikum.” ujar Wulan sembari menyalami guru yang tengah mengajar di kelasnya.
“Wa’alaikum salam.” jawab sang guru dan teman-teman sekelas Wulan.
“Maaf saya terlambat lagi.” Wulan tertunduk.
“Iya tidak apa-apa, silahkan duduk.” ujar guru itu sambil tersenyum mengerti. Lantas Wulan
bergegas menaruh tampah wadah serabi di meja belakang yang tidak ditempati dan menutupinya
dengan kain. Tidak ada yang melarang Wulan untuk berjualan di sekolah, asalkan ia berjualan pada
jam istirahat. Bahkan banyak yang menyukai kue serabinya dan setiap hari selalu saja laris.
Membuahkan beberapa keping atau lembar rupiah penyambung hidup. Berapa pun yang didapatnya
ia selalu bersyukur kepada Allah atas nikmatNya ini.

Hari ini kue serabinya ludes diserbu para teman-temannya dan beberapa guru. Ia hitung hasil
jualannya hari ini. Matanya berbinar dan sebesit senyum merkah di wajah cantiknya.
“Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah. Akhirnya aku bisa membelikan Emak obat.” tuturnya sambil
menyimpan uang hasil jualan serabi itu di dompetnya. Sepulang sekolah ia langsung menuju apotik.
Ia berjalan dengan pasti dan penuh semangat. Sembari tadi senyumnya terus saja merkah bersama
angan tentang kesembuhan Ibunya. Sore ini jalan yang menuju apotik itu lenggang, hanya ada
Wulan yang berjalan sendirian. Entah apa yang dia rasakan, tapi tiba-tiba saja perasaannya tidak
enak.
“Auwww!” rintihnya. Jari Ibunya tergores oleh sebitan bambu yang tajam mencuat lepas dari
kaitannya. “Pertanda apa ini, kenapa perasaanku tidak enak seperti ini.” tiba-tiba pundaknya
disentuh oleh tangan seseorang dari belakang. Langkah kaki Wulan terhenti seketika dan ia
menoleh ke belakang. Seketika terkejutlah dia. Wajah yang tadi ceria sekarang berubah drastis
menjadi mimik ketakutan yang teramat. Tubuhnya bergetar ketakutan, tampah yang sembari tadi ia
bawa kini melesat jatuh menggelinding sesaat di jalan.
“Abang mau apa dengan pisau itu?” tanya Wulan terbata-bata ketakutan sembari menelan ludah.
“Berikan uangmu!” bentak pria penodong itu.”Cepat!”
“Sa… Saya tidak punya uang!” sahut Wulan lirih dengan suara bergetar.
“Dasar wanita jal*ng keras kepala!” maki preman jalanan itu sambil mendekatkan pisau tajamnya
ke wajah Wulan.
“Saya benar-benar tidak punya uang Bang!” ujar Wulan semakin ketakutan.
“Dasar keras kepala kau! Terpaksa ku gunakan cara kasar!” bentak preman itu sambil menggigit
pisaunya dan mencengkram tangan Wulan. Dengan cepat dikuncinya kedua tangan Wulan di
belakang punggung. Wanita malang itu meronta-ronta sekuat tenaga sambil berteriak. Tidak bisa ia
tahan lagi, dan tangisnya pun pecah bersama ketakutan yang teramat sangat. Dengan cepat preman
itu membungkam mulut Wulan dengan telapak tangan kanannya yang terbalut sarung tangan kulit.
“Awww, gigit aja terus itu kulit buaya, hehehe!” sentak preman itu dengan tawa jahat dari mulutnya
yang sengaja didekatkan di samping telinga kiri Wulan. Wanita itu terus saja memberontak sekuat
tenaga untuk berusaha mencari celah dari cengkraman jahat si preman jalanan ini.
“Percuma sayang, aku sudah terlatih dengan cara kasar seperti ini, hahaha!” ujar preman itu. “Maaf
jika ini akan sedikit membuatmu sakit, tapi tenang aku bukan preman yang suka merampas
keperawanan wanita, bahkan aku masih perjaka hingga detik ini.” tambahnya sambil membenturkan
kepalanya ke kepala Wulan dengan keras, membuat wanita malang itu berkunang-kunang dan
akhirnya tidak sadarkan diri. Preman itu bergegas menggledah saku-saku pakaian Wulan dan
ditemukannya dompet lusuh yang berisi beberapa lembar uang. Walau hanya sedikit, tapi tetap saja
ia mengambilnya.
“Dasar wanita jal*ng yang miskin. Tapi lumayan buat pesta nanti malam, hahaha!” gumam preman
itu sambil membopong tubuh Wulan yang lemas tidak berdaya menuju sebuah taman yang indah,
tapi sepi. Dibaringkannya tubuh Wulan di sebuah kursi panjang yang ada di taman itu. Preman itu
merapikan pakaian dan krudung Wulan sambil tersenyum aneh.
“Maafkan aku Wulan.” ujar preman itu lirih sembari mengecup kening Wulan dengan penuh kasih
sayang. Preman itu pergi meninggalkan Wulan yang terkulai lemas tidak sadarkan diri dengan
langkah gontai dan sesekali menoleh ke belakang untuk sekilas melihat Wulan.

Malam menampakan kegelapan dan kesunyiannya. Tidak ada purnama atau pun gemintang, yang
ada hanya kumpulan awan hitam, pertanda akan hujan. Wulan melangkah gontai menyusuri jalan
menuju rumahnya dengan mata sayu dan nyeri yang masih terasa di kepala, karena kekasaran
preman yang menodong dan merampas uangnya tadi sore. Sembari tadi saat ia mulai tersadar, air
mata terus saja membasahi wajahnya. Ia sangat kecewa dan merasa bersalah karena tidak bisa
membelikan obat untuk Ibunya.
“Maafkan anakmu ini Emak, aku pulang tanpa obat untukmu.” tutur Wulan dengan rinai air mata
yang kian deras.

Tampak aneh. Rumahnya dikerumuni para warga desa. Cahaya-cahaya terang dari beberapa lampu
nion yang panjang membuat area rumah itu terang. Kepala Wulan kini dipenuhi tanda tanya besar
tentang apa yang terjadi di rumahnya. Rasa penasarannya bagai kilat yang menyambar dirinya.
Membangkitkan sebuah kekuatan yang mampu membuatnya berlari. Banyak wajah-wajah sedih
saat ia ada di tengah-tengah kerumunan tetangga yang berada di teras, membuat hatinya semakin
getir akan apa yang sedang terjadi.

“Pak ada apa ini?” tanya Wulan pada tetangganya. Namun tidak ada jawaban. Sesaat ia pandang
wajah-wajah sedih orang di sekitarnya.
“Kamu yang sabar ya Nak.” ujar beberapa tetangganya sembari meninggalkan rumahnya. Semakin
getir hatinya, air mata yang tadi sempat terbendung sesaat kini kembali mengalir deras bersama apa
yang ia pikirkan tentang keadaan Ibunya.
“Tidak! Jangan-jangan Emak!” Wulan langsung berlari ke dalam rumah. Namun di ruang utama
sudah banyak sekali para tetangga yang mendo’akan sebuah mayat yang berada di tengah-tengah
ruangan yang sekujur tubuhnya ditutupi dengan kain jarik. Marni yang melihat Wulan datang
langsung menghampirinya dan memeluknya erat.
“Itu bukan Emak kan Kak?” tanya Wulan lirih dengan tubuh bergetar.
“Wulan, Emak sudah tiada. Allah sudah memanggilnya.” jawab Marni dengan air mata yang
mengalir deras di wajah penuh kepedihan. Wulan menghampiri Ibunya yang telah terbujur kaku
tidak bernyawa dengan tangis yang semakin jadi. Tangis yang sangat miris. Siapapun yang
mendengarnya pasti akan ikut kalut dalam kepedihan yang dirasakan kakak beradik itu.
“Maafkan anakmu ini Emak, Wulan tidak bisa membelikan obat untukmu. Dan apa aku…”
“Wulan, sudah.” ujar Marni lirih sembari merangkuh tubuh adiknya yang bergetar. “Ikhlaskan
Emak, agar beliau bisa tenang di alam sana.” Wulan mengangguk pelan sambil menutupkan
kembali kain jarik pada mayat Ibunya. Ia peluk lagi kakaknya. Perasaan mereka sama, perasaan
kehilangan yang sama. Kehilangan satu-satunya orangtua yang masih ada. Mereka hanya bisa
mengikhlaskan kepergian Ibunya, karena ini adalah sebagian dari rencana Sang Pencipta.

Hujan, entah mengapa turun ke bumi saat wanita tua tanpa nyawa itu dikebumikan. Tempat
pemakaman umum itu ramai dengan orang-orang berpakaian gelap yang terlihat sedih wajahnya.
Banyak yang menitikan air mata. Tanah kuburan orangtua itu baunya semerbab wangi bunga
mawar.

Setelah acara do’a bersama selesai, pemakaman itu kembali lenggang. Tinggal Wulan dan Marni
yang sembari tadi air matanya mengalir deras bersama semua rasa kehilangan.
“Wulan, sudah. Ikhlaskan Emak, kita tidak boleh sedih-sedihan terus. Agar Emak tenang dan
bahagia di alam sana. Kita do’a-kan saja, semoga Emak ditempatkan di surga terbaikNya.” kata
Marni menghapus semua air matanya dan menahannya. Wulan yang melihatnya ikut melakukan hal
yang sama seperti kakaknya dan kemudian mereka panjatkan lagi ayat-ayat do’a yang diakhiri
dengan kata ‘Amin’. Wulan kembali tersenyum seraya redanya rinaian hujan yang meninggalkan
hawa dingin. Mereka bangkit dan beranjak meninggalkan pemakaman itu, tapi saat mereka berbalik
ada seorang pemuda berpakaian lusuh layaknya preman jalanan. Ia diam memaku, matanya merah,
air mata terus mengalir keluar dan menetes di tanah. Dialah yang kemarin menodong Wulan saat
akan membeli obat untuk Ibunya.
“Kamu?” ujar Wulan dengan tatapan tajam menyelidiki. “Kenapa kamu di sini? Mau memeras aku
lagi? Dan kenapa kau menangis?” tiba-tiba pemuda itu bersujud di depan Wulan dan Marni. Ia
merangkul kaki mereka.
“Maafkan aku.” ujar pemuda itu dengan air mata yang terus mengalir deras. Dengan kasar Marni,
menendang pemuda itu dengan kaki kanannya. Membuat pemuda itu tersungkur ke belakang, walau
begitu ia tidak putus asa. Ia kembali merangkak mendekati mereka, sekali lagi kaki mereka
dipeluknya.
“Adik-adikku, maafkan kakakmu ini.” ucapnya memohon. Seketika Wulan terkejut mendengarnya
dengan beribu tanda tanya di kepala.
“Hah, kamu bilang apa tadi? Adik? Kakak? Sebenarnya kamu ini siapa?”
“Aku Mahmad, anak dari almarhum Emak Inah dan almarhum Pak Darman.” ujar pemuda yang
bernama Mahmad itu. Air mata menetes lagi dari mata Marni yang sejak tadi memandang Mahmad.
Wulan hanya terdiam dengan beribu pertanyaan di kepala yang ia tahan.
“Kau benar-benar tau apa kesalahanmu selama enam belas tahun ini. Di mana kau selama ini?” ujar
Marni.
“Aku mengakui selama enam belas tahun ini, aku tak ada untuk keluarga. Aku durhaka, hina,
keparat, tak tau diuntung, dan bajingan yang merampas uang orang lain. Maafkan aku. Kakak
menyesal telah mengambil jalan yang salah.” Mahmad semakin mempererat rangkulannya. Sesaat
mereka hanya terdiam bersama isak tangis. Marni, wanita yang dulu melihat sendiri kakaknya itu
pergi kini merasa iba. Hatinya hancur, terbakar api amarah, tapi mata pria yang bersujud kakinya ini
meredam semua amarah. Hingga muncul rasa iba dan kasihan. Hening sesaat. Mereka masih setia
dengan tangis masing-masing.

“Kakak. Kami selalu memaafkanmu. Selalu ada tempat untukmu di sisi kami, tapi mintalah maaf
dulu dari Bapak dan Emak.” kata Marni sembari merendahkan diri dan melepaskan pelukan tangan
pemuda itu di kakinya.

Mahmad merangkul nisa Ibunya seraya menciuminya dengan air mata yang terus mengalir deras
dari dua mata sayu kemerah-merahan karena efek dari miras yang diminumnya saat pesta miras
semalam. Air matanya menetes ke tanah kuburan yang masih baru itu dan meresap ke dalam, lebih
dalam, lebih dalam lagi. Dan hingga menyentuh Ibunya yang ada di liang kubur. Setelah dirasa
sudah puas memeluk nisan Ibunya, ia berganti peluk nisan Ayahnya. Air matanya menetes jatuh di
nisan Ayahnya dan mengalir ke bawah menuju tanah, mungkin juga meresap hingga menyentuh
Ayahnya.
“Bapak, Emak. Maafin Mahmad yang durhaka kepada kalian. Aku menyesal dulu telah
meninggalkan rumah setelah Bapak pergi. Dan sekarang aku semakin durhaka, karena aku tidak ada
disaat Emak pergi. Maafkan anakmu ini Bapak, Emak. Mahmad benar-benar menyesal.” Mahmad
berhenti sejenak seraya merangkak ke tengah-tengah, di antara kuburan Ayah dan Ibunya. Ia
rangkul erat tanah kuburan mereka sambil tertunduk bersujud dan dilantunkannya do’a untuk
mereka. Wulan dan Marni yang menyaksikannya ikut kalut di antara perasaan yang bercampur aduk
tak menentu. Air mata keharuan menetes perlahan, mengalir di wajah mereka dan senyum mulai
merkah seraya cahaya sang mentari menyapa dari balik awan.
“Kakak.” panggil Wulan.”Kemarilah.” Mahmad yang sudah puas dengan permintaan maaf dan
do’anya itu beranjak bangkit dan menghampiri kedua adiknya dengan langkah gontai dan mata
sayu, serta air mata yang masih membasahi wajahnya.
“Kakak.” panggil Marni. “Kemarilah.” tubuh Mahmad langsung didekap dua wanita itu dengan
hangat.
“Maafkan kakak.” pinta Mahmad. “Maafkan aku yang hina ini, adik-adikku.”
“Kita selalu memaafkanmu.” jawab Marni.
“Terimakasih, Wulan kau juga memaafkan kakakmu yang kasar ini kan?” kata Mahmad sambil
merenggangkan pelukan mereka.
“Iya Kak, sudah Wulan memaafkan sebelum Kakak memintanya.” jawab Wulan seraya menghapus
semua air matanya.
“Terimakasih, kalian adik-adikku yang baik. Aku berjanji tidak akan meninggalkan kalian lagi. Aku
berjanji.” ujar Mahmad seraya menghapus air matanya. “Mari kita pulang ke rumah.” tambahnya
dengan sebesit senyum.
“Mari.” sahut Marni juga menghapus semua air matanya. Dengan penuh keharuan mereka
mengucapkan salam, berpamitan pulang pada orangtua mereka yang telah bahagia di alam sana.

Ada perasaan kehilangan yang teramat dalam di hati mereka, tapi ada seseorang yang kembali ke
dalam keluarga mereka. Menjadikan obat kepedihan untuk mereka yang kini telah yatim piatu.
Sekarang telah kembali, sang Kakak yang dahulu pergi entah mengapa dan kenapa? Mereka bertiga
kini saling melengkapi satu sama lain, berjuang bersama dan merasakan kepedihan hidup bersama-
sama. Hingga mereka lupa tentang kepedihan, karena gelak tawa kebersamaan selalu mewarnai
hari-hari sederhana mereka.

Kebahagiaan tidak datang setelah semua seperti yang diinginkan terwujud, akan tetapi bahagia
datang karena ada seseorang yang melengkapi kekurangan hidup dengan kebersamaan yang erat,
serta cinta yang ada di hati digunakan untuk saling menyayangi satu sama lain. Hingga
mewujudkan ikatan hati yang erat. Akan tetapi ada yang lebih tepat dari untaian itu. Yaitu,
kebahagiaan ada karena rasa bersyukur atas apa yang telah ada dan tidak berfikiran bahwa Tuhan
itu tidak adil, karena Tuhan selalu adil pada semua mahkluknya.

Cerpen Karangan: Garin Afranddi


Facebook: Garin Afranddi

Anda mungkin juga menyukai