Anda di halaman 1dari 577

BUKU AJAR MATA KULIAH WAJIB UMUM

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN


Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Republik Indonesia

2016

i
Tim Penyusun:

Paristiyanti Nurwardani

Dr. Daniel Nuhamara

Dr. Daniel Stefanus

Drs. Swarsono MM

Edi Mulyono

Evawany

Fajar Priyautama

Ary Festanto
Catatan Penggunaan:

Tidak ada bagian dari buku ini yang dapat direproduksi atau
disimpan dalam bentuk apapun misalnya dengan cara fotokopi,
pemindaian (scanning), maupun cara-cara lain, kecuali dengan
izin tertulis dari Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi.
Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Agama Kristen

Hak Cipta pada Direktorat Jenderal Pembelajaran dan


Kemahasiswaan Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan


Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi

ii
Disklaimer: Buku ini merupakan Buku Bahan Ajar Mata Kuliah
Wajib Umum yang dipersiapkan pemerintah untuk menjadi salah
satu sumber nilai dan bahan dalam penyelenggaraan program
studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan
kepribadiannya sebagai bangsa Indonesia seutuhnya. Buku bahan
ajar ini disusun dan ditelaah oleh berbagai pihak di bawah
koordinasi Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi, berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan. Buku Bahan Ajar Bahasa Indonesia ini
merupakan “bahan ajar yang dinamis” yang senantiasa diperbaiki,
diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika
kebutuhan dan perubahan zaman, terakhir diperkaya dengan
muatan kesadaran pajak. Masukan dari berbagai kalangan
diharapkan dapat meningkatkan kualitas buku ini.

Cetakan ke-1: 2016

Disusun dengan huruf HP Simplified Light, 12 pt


iii
SAMBUTAN

DIREKTUR JENDERAL PEMBELAJARAN DAN


KEMAHASISWAAN

Amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 35 ayat 3


tentang kurikulum menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan
Tinggi dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi wajib
memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Pendidikan
Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia yang merupakan satu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Sejalan dengan agenda revolusi karakter bangsa dalam Nawacita,


Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) di perguruan tinggi menjadi
sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan
penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa
memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu
mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa
kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat.
Pada kesempatan ini saya menghimbau kepada semua Perguruan
Tinggi agar segera menggunakan Buku Ajar MKWU ini sebagai
salah satu sumber bahan ajar dalam upaya pembentukan karakter
kuat dan keIndonesiaan, yang akan menjadi masyarakat yang siap
menghadapi tantangan dan peluang kehidupan yang semakin
kompleks di abad ke-21, berkepribadian dan siap bersaing dan
eksis dalam masyarakat global.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun buku


bahan ajar ini, terima kasih atas kerja kerasnya. Saya memberikan
apresiasi kepada Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu yang telah
berkontribusi dalam memperkaya materi buku MKWU ini
dengan penguatan kesadaran pajak. Terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan masukan yang berharga dan
dedikasinya.

Akhir kata semoga buku ajar ini bermanfaat bagi perguruan


tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan kuliah di pendidikan
tinggi yang dapat membentuk sikap insan Indonesia yang
beradab, berilmu, profesional dan berkepribadian Indonesia yang
kokoh di era MEA dan global, serta berkontribusi terhadap
kesejahteraan kehidupan bangsa.

Jakarta, Juni 2016


Direktur Jenderal,

Intan Ahmad

iv
KATA PENGANTAR

DIREKTUR PEMBELAJARAN

Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) Pendidikan Agama Kristen


pada Perguruan Tinggi memiliki posisi strategis dalam
melakukan transmisi pengetahuan dan transformasi sikap dan
perilaku mahasiswa Indonesia melalui proses pembelajaran mata
kuliah Pendidikan Agama Kristen. Dalam upaya meningkatkan
mutu dan pembentukan karakter bangsa perlu dilakukan
peningkatan dan perbaikan materi yang dinamis mengikuti
perkembangan yang senantiasa dilakukan perbaikan terus
menerus, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan
dinamika kebutuhan dan perubahan zaman, dan semangat
belanegara dan terakhir diperkaya dengan muatan kesadaran
pajak.

Salah satu upaya meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan


Agama Kristen adalah dengan mengembangkan kurikulum baru
Pendidikan Agama Kristen yang berorientasi pada pengembangan
sikap beragama yang moderat dan berwawasan keindonesiaan
dan berwawasan global. Di samping itu, kurikulum baru tersebut
diarahkan untuk mentransendenkan ajaran Kristen menjadi nilai-
nilai universal yang dapat diimplementasikan dalam konteks
dunia modern. Kurikulum baru tersebut kemudian ditindaklanjuti
dengan penulisan buku yang dapat dijadikan sumber aktivitas
pembelajaran bagi mahasiswa. Sesuai dengan Standar Nasonal
Pendidikan Tinggi dan mengacu kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI). Pokok-pokok bahasan di dalam buku ini
sengaja disajikan dengan pendekatan aktivitas pembelajaran,
pembelajaran yang diselenggarakan merupakan proses yang
mendidik, yang di dalamnya terjadi pembahasan kritis, analitis,
induktif. deduktif, dan reflektif melalui dialog kreatif partisipatori
untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran substansi dasar
kajian, . berkarya nyata. dan menumbuhkan motivasi belajar
sepanjang hayat.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih dan


penghargaan kepada tim penulis, atas dedikasi dan kerja kerasnya
.

Akhirnya, semoga Buku ini bermanfaat dalam upaya


mewujudkan cita cita revolusi karakter bangsa. Buku ini masih
banyak kekurangan dan kealpaan, untuk itu, kami mengharapkan
masukan dan kritik dari para pembaca untuk perbaikan buku ini.

Jakarta, Juni 2016

Direktur Pembelajaran,
Paristiyanti Nurwardani

v
DAFTAR ISI

SAMBUTAN iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vi

BAB I AGAMA DAN FUNGSINYA DALAM KEHIDUPAN


MANUSIA 1

Pendahuluan 1

A. Menelusuri Pengertian Agama dari Berbagai Sudut


Pandang 2

B. Fenomena Agama dalam Sejarah Umat Manusia 6

C. Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia 8


1. Agama memberikan kedamaian mental (mental peace). 10

2. Agama menanamkan kebajikan-kebajikan sosial. 10

3. Agama meningkatkan solidaritas sosial. 10

4. Agama adalah agen sosialisasi dan kontrol sosial. 10

5. Agama meningkatkan kesejahteraan. 11

6. Agama memberikan rekreasi kepada manusia. 12

7. Agama berfungsi memperkuat rasa percaya diri. 12

8. Agama juga mempunyai pengaruh kepada ekonomi serta


sistem politik.

.........................................................................................................
.................. 12

D. Membangun Argumen tentang Pengertian Agama dan


Fungsi Positifnya

dalam Kehidupan Manusia 13


E. Mendeskripsikan Pengertian Agama dan Fungsinya agar
Selalu Positif 15

F. Rangkuman 15

G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian 16

BAB II ALLAH DALAM KEPERCAYAAN KRISTEN 17

Pendahuluan 17

A. Menelusuri Kesaksian Alkitab tentang Allah yang


Dipercayai oleh

Umat Kristen 18

1. Allah Sang Pencipta 20

2. Allah Penyelamat 23

3. Allah Pembaharu Ciptaan-Nya 31

B. Implikasi Kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta,


Penyelamat, dan
Pembaharu Ciptaan-Nya 36

1. Implikasi Kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta 37

vi
2. Implikasi Kepercayaan kepada Allah sebagai Penyelamat bagi
Kehidupan

Praktis 38

3. Implikasi Kepercayaan bahwa Allah adalah Pembaharu


dalam Roh Kudus

.........................................................................................................
.................. 40

C. Menggali Teologi Kristen: Isu Krusial yang


Diperdebatkan tentang Hakikat

Allah ........................................................................................................................ 41
1. Agustinus ......................................................................................................... 42
2. Karl Barth ......................................................................................................... 43
D. Ibadah: Sikap dan Tanggung Jawab Moral Kita .................................................. 45
E. Kepercayaan kepada Allah dalam Pengalaman Keberagamaan!.................... 46
F. Rangkuman ............................................................................................................ 46
G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................... 47
BAB III MANUSIA MENURUT AJARAN
KRISTEN .............................................................. 48
Pendahuluan ................................................................................................................... 48
A. Menelusuri Pemikiran-Pemikiran Modern tentang Manusia ............................ 50
1. Manusia Komunis ............................................................................................ 50
2. Manusia Humanis ............................................................................................ 51
B. Pandangan Kristen tentang Hakikat Manusia .................................................... 52
1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah (lih Kej. 1 dan Kej. 2) .................... 52
2. Manusia diciptakan menurut Gambar Allah (Imago Dei) ............................ 53
3. Manusia sebagai Makhluk Sosial ................................................................... 55
4. Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Berbudaya ................................... 58
5. Manusia sebagai Makhluk Etis ....................................................................... 59
C. Paradoks dalam Kehidupan Manusia dan Masyarakat ..................................... 61
D. Membaharui Hubungan dengan Allah, Sesama, dan Alam Ciptaan ................ 64

E. Pandangan-Pandangan Teologi Kontemporer tentang


Manusia dan Masa

Depannya 65

F. Rangkuman 66

G. Tugas Belajar Lanjutan dan Penyajian 67

BAB IV ETIKA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER


KRISTIANI 68

Pendahuluan 68

A. Menelusuri Pengertian Etika dan Moralitas 70

B. Membangun Norma untuk Membuat Penilaian Moral


73
1. Teori Teleologis 74

2. Teori Deontologis 75

vii
C. Menggali dan Membangun Karakter Kristiani, dan
Hubungan Karakter

...........................................................................denganImandanEtikaKristen 78
D. Sistem Etika Kristen dan Prinsip Utamanya ....................................................... 86
E. Etika Teologis dan Etika Filsafati ......................................................................... 88
1. Etika Teologis .................................................................................................. 88
2. Etika Filsafati ................................................................................................... 89
F. Rangkuman ............................................................................................................ 89
G. Tugas Belajar Lanjutan dan Penyajian ................................................................ 90
BAB V HUBUNGAN IMAN KRISTIANI DENGAN ILMU PENGETAHUAN,
TEKNOLOGI,
DAN SENI........................................................................................................................ 91
Pendahuluan ................................................................................................................... 91

A. Tipologi Hubungan Iman dan Ilmu Pengetahuan


dalam Sejarah

Kekristenan............................................................................................................ 92
1. Dominasi Iman/Agama terhadap llmu Pengetahuan/Sains ...................... 94
2. Dominasi llmu Pengetahuan terhadap Agama ........................................... 95
B. Pengertian Teknologi Modern ............................................................................ 101
C. Tipologi Respons Kristen terhadap Teknologi Modern ................................... 102
1. Teknologi sebagai Pembebas (Liberator) .................................................. 111
2. Teknologi sebagai Ancaman ........................................................................ 115
3. Teknologi sebagai Instrumen Kekuasaan .................................................. 118
D. Hubungan Teknologi dan Kekuasaan Politis .................................................... 118
E. Membangun Sikap Kristen yang Lebih Realistis terhadap Teknologi ........... 119
F. Rangkuman .......................................................................................................... 120
G. Tugas Belajar Lanjutan dan Penyajian .............................................................. 121
BAB VI MENCIPTAKAN KERUKUNAN ANTARUMAT
BERAGAMA .................................. 122
Pendahuluan ................................................................................................................. 122
A. Menelusuri Konsep Kerukunan Antarumat Beragama ................................... 122
B. Menanya Bentuk-Bentuk Kerukunan Antarumat Beragama ......................... 126
C. Menggali Sumber Alkitab tentang Kerukunan Antarumat Beragama .......... 130
1. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan .............................. 135
2. Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia ............................... 137

D. Membangun Argumen tentang Pluralisme Agama sebagai


Persoalan Teologis

.........................................................................................................
.....................139

viii
E. Mendeskripsikan Peran Umat Beragama dalam
Mengembangkan

Kerukunan Antarumat Beragama 146

F. Rangkuman 152

G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian 152

BAB VII PENJAGA CIPTAAN ALLAH 153

A. Menelusuri Hubungan antara Ekonomi dan Ekologi 154

B. Manusia dalam Alam 163

C. Menggali Dasar Teologis dari Pemahaman mengenai


Keutuhan Ciptaan 170

D. Membangun Argumen tentang Kedudukan Manusia


dalam Lingkungan

Alam 178

E. Mendeskripsikan Sikap Manusia terhadap Alam 186


F. Rangkuman 204

G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian 205

BAB VIII CARA BERGAUL YANG BAIK 206

Pendahuluan 206

A. Menelusuri Konsep Seni Bergaul 207

B. Menjadi Sahabat Sejati 214

C. Menggali Sumber Alkitab tentang Pergaulan 219

D. Membangun Argumen tentang Suka dan Duka Pergaulan


227

E. Mendeskripsikan Tahap-Tahap Pergaulan 229

F. Rangkuman 234

G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian 235

DAFTAR ACUAN 236


AGAMA DAN FUNGSINYA DALAM
KEHIDUPAN MANUSIA

Sumber
http://www.smh.com.au/lifestyl
e/losing -my- religion-
Agama adalah suatu
fenomena yang selalu hadir
dalam sejarah umat
manusia, bahkan dapat
dikatakan bahwa sejak
manusia ada, fenomena
agama telah hadir.
Walaupun demikian,
tidaklah mudah untuk
mendefinisikan apa itu
agama. Mengapa?

Pertama, karena
pengalaman manusia
tentang agama sangat
bervariasi, mulai dengan
yang paling sederhana
seperti dalam agama
animisme/dinamisme
sampai ke agama-agama
politeisme dan monoteisme.
Kedua, selain begitu
variatifnya pengalaman
manusia tentang agama,
dan begitu variatifnya

disiplin ilmu yang digunakan untuk memahami fenomena agama.


Misalnya, agama bisa ditinjau dari sudut psikologi, antropologi,
sosiologi, ekonomi, bahkan teologi.

Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai tiga tujuan


pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang diharapkan
dicapai adalah: (i) bersikap rendah hati dan bergantung kepada
Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang teratur;
(ii) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam
kepelbagaian agama, suku dan budaya; (iii) menjelaskan
pengertian agama, mengidentifikasi fungsi-fungsi agama dalam
kehidupan manusia baik yang positif maupun negatif,
merumuskan pengertian agama dengan kata-kata sendiri, dan
menalar perbedaan fungsi agama yang positif dan negatif.

Sekarang, cobalah Anda melakukan refleksi pribadi berdasarkan


pengalaman beragama Anda selama ini, rumuskan agama itu.
Kalau bukan suatu definisi, cobalah sebutkan unsur-unsur yang
membentuk pengalaman beragama Anda! Setelah itu
bandingkanlah pengertian Anda dengan pandangan para ahli
mengenai agama itu!

Cobalah Anda amati pengertian agama dari disiplin ilmu


psikologi, antropologi, sosiologi, dan teologi. Lihatlah buku
psikologi, antropologi, sosiologi, dan teologi yang mengulas
tentang pengertian agama. Bandingkanlah masing-masing
definisi tersebut dan diskusikanlah dalam kelas!

Fenomena agama merupakan fenomena yang tak bisa dijelaskan


secara tuntas dengan kategori ilmu pengetahuan dan teknologi.
Walaupun begitu, Arnold Toynbee, seorang ahli sejarah ternama,
mengatakan bahwa:

“in religion the whole of human being personality is involved:


the emotional and moral facets of the human psyche above all,
but the intellectual facet as well. And the concern extends to the
whole of Man’s World; it is not limited to that part of which is
accessible to the human senses and which can therefore be
studied scientifically and can be manipulated by technology
(John Goley 1968, v).

Jadi menurut Toynbee, dalam agama, keseluruhan kepribadian


manusia terlibat antara lain: segi-segi emosional, segimoral dan
kejiwaan, dan segi intelektual juga. Keprihatinan agama
mencakup keseluruhan “dunia manusia”; tidak hanya dibatasi
pada bagian yang bisa diakses oleh indra manusia yang pada
gilirannya dapat dipelajari secara ilmiah tetapi juga yang dapat
dimanipulasi oleh teknologi. Singkatnya, seluruh kemanusiaan
kita terlibat di dalam pengalaman beragama manusia. Cobalah
Anda amati hal-hal apa saja dalam diri manusia yang terlibat di
dalam pengalaman beragama manusia!

Kita mencoba menelusuri berbagai pengertian agama


sebagaimana dikemukakan oleh berbagai ahli dari berbagai
perspektif. Jika ditelusuri, ternyata ada begitu banyak
definisi/pengertian agama dari yang sifatnya sangat positif
sampai ke yang sifatnya sangat negatif. Begitu bervariasinya
definisi agama karena, antara lain, ada yang memasukkan agama-
agama yang sangat sederhana atau primitif, seperti dalam bentuk
animisme/dinamisme, sampai ke agama-agama yang lebih rumit
dan kompleks, seperti dalam agama-agama yang monoteisme ke
dalam definisi mereka. Pada umumnya definisi-definisi tersebut
bersifat positif dan tidak menilai benar atau salahnya suatu
keyakinan religius. Namun, ada juga

2
definisi-definisi yang sangat kritis bahkan cenderung
merendahkan pengalaman agamawi manusia. Cobalah Anda
amati dan kemukakan beberapa definisi tentang agama yang
sangat kritis!

Berikut ini kita akan melihat beberapa contoh definisi, dan


dengan menelusuri beberapa definisi mudah-mudahan kita
menangkap pengertian agama. Beberapa definisi yang diberikan
oleh berbagai kamus antara lain seperti berikut; Penguin
Dictionary of Religion (1970) mendefinisikan agama sebagai
suatu istilah umum yang dipakai untuk menggambarkan semua
konsep tentang kepercayaan kepada ilah (ilah-ilah) dan
keberadaan spiritual yang lain atau keprihatinan ultima yang
transendental. Britanica Concise Encyclopedia (online, 2006)
mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia kepada Allah
atau ilah-ilah, atau apa saja yang dianggap sakral, atau dalam
beberapa kasus hal-hal yang supernatural. Encyclopedia
Britanica (online, 2006) mendefinisikan agama sebagai
hubungan manusia dengan apa yang dianggap sebagai suci,
sakral, spiritual atau ilahi.

Selain definisi-definisi dari kamus yang sifatnya netral, ada juga


pengertian agama yang sifatnya negatif. Berikut tiga contoh
definisi negatif tentang agama:
1. Karl Marx mendefinisikan agama adalah vitamin untuk
masyarakat yang tertindas ... agama adalah candu bagi
masyarakat.
2. Sigmund Freud dalam New Introductory Lectures on
Psychoanalysis, mengatakan bahwa agama adalah ilusi dan
menarik kekuatannya dari fakta bahwa ia berasal dari keinginan-
keinginan instingtif manusia.

3. Bertrand Russel berpendapat bahwa agama adalah


sesuatu yang

terbawa/tertinggal dari masa kanak-kanak dari inteligensi kita,


agama akan lenyap ketika kita mengadopsi penalaran dan ilmu
pengetahuan sebagai penuntun kita.

Dari penelusuran beberapa definisi di atas, dapatkah Anda


membuat kesimpulan sendiri mengenai apa yang dipahami para
ahli di atas tentang agama? Amatilah apa yang menyebabkan
para ahli mendefinisikan agama seperti itu! Apakah definisi-
definisi tersebut sesuai dengan pengalaman keagamaan Anda?
Buatlah catatan kritis terhadap definisi tersebut!

Untuk lebih memperjelas pemahaman kita mengenai agama


secara umum, sebenarnya ada empat pendekatan definisai agama
yakni: substantif, fungsional, verstehen, dan formal. Pendekatan
subtantif dan pendekatan fungsional akan dibahas pada alinea
berikut. Dua pendekatan lain (verstehen

dan formal) tidak dibahas di sini, Anda dipersilakan mencari di


buku lain untuk memahami pendekatan verstehen dan formal!

Sumber: http://putriempuutri.blogspot.com/2012/
Definisi-definisi substantif adalah definisi yang melihat apa
substansi agama. Misalnya, Tyler mendefinisikan agama sebagai
“kepercayaan kepada keberadaan spiritual.” Ini menunjukkan
substansi agama sebagai kepercayaan kepada yang hal
spiritual/rohaniah. Namun, kadang definisi substantif dipakai juga
untuk analisis fungsional. Misalnya saja Ross (1901:197) melihat
agama sebagai sesuatu yang memberi kontrol sosial tertentu.
Dalam konsep ini, agama sudah bersifat fungsional, meskipun
Tyler sebenarnya mendefinisikan agama secara substantif. Ia
mengatakan bahwa agama sebagai suatu kepercayaan kepada
yang tak terlihat, dengan perasaan takut, kagum, hormat, rasa
syukur, dan kasih, demikian pun institusinya seperti doa, ibadah,
dan pengorbanan.

Definisi fungsional menekankan pada fungsi agama, atau apa


yang dilakukan agama. Contoh dari definisi-definisi fungsional
adalah definisi yang dikemukakan Ward dan Cooley berikut.
Ward (1898) berpendapat bahwa agama adalah suatu substitusi
dalam dunia yang rasional terhadap insting pada dunia yang
subrasional. Cooley (1909:372) juga mendefinisikan agama
sebagai suatu kebutuhan bagi hakikat manusia, untuk menjadikan
hidup kelihatan lebih rasional dan baik.
Cobalah Anda amati perbedaan antara definisi substantif dan
fungsional! Pertanyaannya adalah apakah definisi-definisi di
atas menggambarkan dengan akurat pengalaman agamawi Anda
sendiri? Definisi manakah yang paling cocok dengan
pengalaman agamawi Anda.
Sumber:
http://livinglifewithoutanet.com/2011/05/26/atlantas-
apologist-examiner-calls-for-christian-education-i-disagree/

Penulis setuju dengan definisi yang diberikan oleh Thomas H.


Groome dalam bukunya Christian Religious Education. Ia
mengatakan bahwa agama adalah: “human quest for the
transcendent in which one’s relationship with an ultimate ground
of being is brought to consciousness and somehow given
expression” (Groome 1980, 22). Penulis setuju dengan definisi ini
karena tiga alasan. Pertama, semua agama tentu berurusan
dengan yang transenden dan manusia mencari yang transenden
tersebut karena dalam dirinya ada suatu kesadaran religius untuk
mengakui adanya suatu kodrat yang melampaui manusia. Kedua,
yang transenden itu juga bisa menjadi dasar keberadaannya, dan
dalam arti itu sangat imanen dengan manusia. Jadi, definisi ini
menjaga keseimbangan antara yang transenden dan imanen.
Tuhan tak semata transenden jauh di sana, yang bisa membuat
manusia merasa teralienasi dari berbagai hal bahkan dengan diri
sendiri karena mencari-Nya, tetapi juga tidak sekadar imanen
karena bisa juga manusia lalu menyamakan dirinya dengan
Tuhan. Imanensi Tuhan menyatakan kedekatan-Nya dengan
ciptaan-Nya. Ketiga, dalam pencarian itu manusia berusaha
berelasi dengan Tuhan sebagaimana Tuhan juga berelasi dengan
manusia, tetapi relasi-relasi itu diberi manifestasi dengan
berbagai cara: iman, ritual, ibadah dan ketaatan terhadap apa
yang dikehendaki oleh sang Pencipta yang transenden dan dasar
keberadaan tadi.

Silakan Anda amati kelebihan dan kekurangan definisi agama


yang dikemukakan oleh Groome! Silakan Anda membangun
definisi sendiri yang dapat menolong pemahaman Anda sendiri,
tetapi dalam hubungan dengan komunitas iman tempat Anda
tergabung dan menjadi bagiannya, serta dalam terang Kitab Suci
yang Anda anut!

Pembahasan tentang agama selalu berkaitan dengan pokok


tentang Allah atau yang dianggap Allah. Setiap manusia pada
dasarnya mempunyai kesadaran religius, yakni kesadaran bahwa
ada suatu kodrat Ilahi di atas realitas dunia ini dan dalam
berbagai agama diberi nama yang bermacam-macam. Memang
menarik untuk dicatat bahwa gejala yang kita sebut agama sudah
ada sejak dahulu kala hingga sekarang pun gejala itu masih tetap
ada. Memang agama mengalami pasang surut bahkan kadang
agama tertentu mengalami kemerosotan dalam konteks tertentu
(dalam masyarakat sekuler misalnya), namun secara umum
agama tetap hadir dalam kehidupan manusia. Bahkan ada ahli
yang meramalkan “kebangkitan agama-agama.” Silakan Anda
mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan
kebangkitan agama-agama dan setiap manusia pada dasarnya
mempunyai kesadaran religius.

Pertanyaan yang perlu kita renungkan dan diskusikan adalah:


mengapa gejala agama selalu hadir sebagai suatu fenomena
dalam kehidupan masyarakat? Jawaban terhadap pertanyaan itu
tentu saja tak mudah, lagi pula bermacam-macam. Ada yang
berpendapat bahwa kenyataan tersebut disebabkan oleh karena
manusia menyadari keterbatasannya, dan dalam keterbatasan itu
maka ia berpaling kepada “sesuatu yang dianggap tak terbatas.”
Oleh karena itu, agama tidak lebih dari suatu pelarian. Atau
bahkan dianggap merupakan ciptaan manusia. Itulah sebabnya
ketika ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang dan
dapat berfungsi untuk mengatasi berbagai keterbatasan manusia,
fenomena agama mengalami kemerosotan, setidaknya di negara-
negara Barat yang dibangun atas dasar perkembangan ilmu dan
teknologi modern. Meskipun ada kemerosotan, gejala agama tak
pernah hilang sama sekali, bahkan ada tanda-tanda kebangkitan
kembali dari fenomena agama. Mengapa? Sebab pertanyaan-
pertanyaan manusia yang terdalam tidak bisa seluruhnya dijawab
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Silakan Anda bertanya
secara kritis tentang kemerosotan agama di negara- negara Barat!
Pendapat lain beranggapan, bahwa agama tak pernah akan bisa
lenyap, karena ia berfungsi untuk menjawab pertanyaan mendasar
manusia yang tak bisa dijawab oleh ilmu dan teknologi.
Pertanyaan mendasar tersebut antara lain arti dan tujuan
kehidupan (untuk apa kita hidup), serta bagaimana sesudah
kematian ini? Pertanyaan mendasar seperti itu tak dapat dijawab
kecuali melalui iman yang ditawarkan oleh keyakinan agamawi.
Dalam kekristenan, kita percaya bahwa Tuhan menciptakan
manusia sedemikian rupa sehingga ada kesadaran religius dalam
dirinya yakni suatu kesadaran akan adanya kodrat Ilahi di atas
manusia, dengan nama yang bermacam-macam sesuai dengan
kepercayaan masing-masing. Kesadaran itulah yang kemudian
mendorong manusia untuk mewujudkan relasinya dengan kodrat
Ilahi yang pada gilirannya memunculkan fenomena agama. Itulah
sebabnya fenomena agama tak mungkin bisa dihapus sama sekali,
walaupun bisa ditekan ke tingkat yang serendah-rendahnya oleh
berbagai faktor dalam kehidupan manusia dan masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, gejala agama merupakan suatu gejala yang amat
penting. Karena sila pertama dari Pancasila, semua warga negara
diasumsikan mempunyai kepercayaan kepada Tuhan meskipun
dengan konsep yang berbeda-beda. Di Indonesia, agama telah
meresapi berbagai aspek kehidupan: sosial, politik, pendidikan,
dan lain-lain. Karena itu, masyarakat Indonesia tidak dapat
dipahami dengan baik tanpa memahami peranan agama di dalam
masyarakatnya. Silakan Anda mengajukan pertanyaan kritis
tentang peranan agama di dalam masyarakat!
Cobalah Anda memikirkan secara kritis, dari perspektif Anda
sendiri mengapa fenomena agama bertahan meskipun dalam
dunia yang sudah maju dan dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, khususnya mengapa di Indonesia fenomena
agama sangat nyata dan memengaruhi berbagai bidang lain juga
termasuk politik dan ekonomi! Di mana-mana rumah-rumah
ibadat dan banyak sekali aktivitas keagamaan bermunculan dan
memenuhi nusantara ini. Berilah contoh-contohnya (?) dalam
berbagai agama, dan coba beri penjelasan mengapa demikian!
Semua yang dikatakan di atas barulah sebagian pertanyaan
yang muncul dalam memikirkan apa itu agama dan fungsinya
dalam kehidupan manusia. Anda bisa menambahkan lagi
sejumlah
pertanyaan yang muncul dalam benak Anda dalam kaitan
pembicaraan kita tentang pengertian agama dan fungsinya!

Jadi, kita bisa menyimpulkan dalam masyarakat Indonesia,


fenomena agama sulit diabaikan untuk memahami masyarakat
Indonesia.
Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang Anda bisa
munculkan. Silakan saja dan diskusikan itu dengan
teman-temanmu serta pengajarmu! Sumber:
http://theology101.org/world.htm.
Anda telah mencoba merumuskan sendiri pengertian agama
berdasarkan pengalaman beragama Anda sendiri. Tentu saja hal
ini penting! Sekarang kita coba menggali lebih jauh dari
berbagai sumber, apa fungsi agama terutama fungsinya yang
positif. Dalam kenyataan konkret kadang kala agama juga juga
disalah mengerti dan karena itu dapat berfungsi destruktif.
Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin
yang berkenaan dengan fungsi agama yang positif dan negatif.
Diskusikan dalam kelas bersama rekan-rekanmu!
Sudah ada sejarah yang panjang dalam menilai dan usaha
menjelaskan fungsi agama. Karl Marx dan Engels misalnya
berpendapat bahwa fungsi agama adalah untuk menutupi
realitas yang mendasari sistem ekonomi dan mengurangi rasa
sakit penderitaan dari massa pekerja. Durkheim berpendapat
bahwa fungsi agama adalah untuk memungkinkan terjadinya
ritual-ritual yang mengikat atau menyatukan masyarakat
bersama-sama. Freud, pada pihak lain, mengatakan bahwa
fungsi agama tak lebih dari mengatasi rasa takut serta
mencukupi kebutuhan-kebutuhan emosional. Silakan Anda
mengumpulkan informasi yang lain dari teolog-teolog
mengenai fungsi agama.
Banyak ahli berpendapat bahwa fungsi agama adalah untuk
memajukan serta mempertahankan perilaku-perilaku moral. Para
pendukung teori evolusi modern melihat agama terutama sebagai
adaptasi yang berfungsi untuk meningkatkan kohesi kelompok,
dan inilah juga yang dikemukakan oleh Durkheim.
Philip Goldberg yang merangkum berbagai fungsi agama
memberi daftar fungsi agama sebagai berikut:
1 Transmisi atau pewarisan: yakni untuk meneruskan ke
setiap generasi suatu “sense of identity” melalui kebiasaan-
kebiasaan, cerita, dan kelanjutan historis yang dimiliki bersama.
2 Translasi atau penerjemahan: yakni untuk menolong
individu-individu menafsirkan peristiwa-peristiwa kehidupan,
mendapatkan suatu rasa bermakna dan bertujuan, dan memahami
hubungan-hubungannya dengan keseluruhan yang lebih besar
(baik dalam arti sosial maupun kosmis).
3 Transaksi: yakni untuk menciptakan dan mempertahankan
suatu komunitas yang sehat, dan memberi penuntun terhadap
perilaku-perilaku moral dan hubungan-hubungan etis.
4 Transformasi: yakni sebagai pengembangan kedewasaan
dan pertumbuhan yang terus- menerus, menolong umat beragama
untuk merasa lebih penuh dan komplet.
5 Transendensi: yakni untuk memuaskan kerinduan untuk
memperluas batasan-batasan diri yang dipersepsikan, menjadi
lebih sadar terhadap aspek kehidupan yang lebih sakral, dan
mengalami persekutuan/ penyatuan dengan dasar keberadaan
yang mutlak.
Daftar di atas kurang lebih mencoba merangkum berbagai
definisi fungsional dari agama dan daftar itu masih bisa lebih
panjang lagi. Silakan Anda mengumpulkan informasi yang lain
lagi mengenai fungsi agama dari sosiolog! Tentu saja tidak setiap
orang memaknai agama yang dianutnya dengan keseluruhan
fungsi seperti di atas, atau memberi tekanan yang sama terhadap
semua fungsi di atas, karena memang pengalaman agamawi
setiap orang itu unik dan individual. Itulah sebabnya ada ahli lain
yang membuat daftar fungsi agama secara lebih panjang lagi.
Dalam suatu tulisan, ada ahli yang memberikan daftar mengenai
10 fungsi agama yang penting, baik dari segi individual maupun
sosial. Delapan dari 10 fungsi agama tersebut akan dikemukakan
di bawah ini. Dua fungsi agama yang lain, Anda cari sendiri dari
berbagai buku.

1. Agama memberikan kedamaian mental (mental peace).

Menurut pendapat ini, kehidupan manusia sangat tak menentu.


Manusia bergumul untuk tetap hidup di tengah-tengah
ketidakpastian, ketidakamanan, dan bahaya- bahaya. Kadang-
kadang ia merasa tak berdaya maka agama lah yang memberikan
penghiburan dan dorongan dalam masa-masa krisis tersebut.
Agama memberi tempat perlindungan yang benar bagi manusia
maka manusia memeroleh kedamaian mental dan dukungan
emosional. Agama memberi dorongan kepada manusia untuk
menghadapi kehidupan dan masalah-masalahnya.

2. Agama menanamkan kebajikan-kebajikan sosial.

Agama mempromosikan kebajikan-kebajikan sosial yang utama,


misalnya, kebenaran, kejujuran, sikap nirkekerasan, pelayanan,
cintakasih, disiplin, dsb. Seorang pengikut agama tertentu
menginternalisasi kebajikan-kebajikan ini dan menjadi warga
masyarakat yang berdisiplin.

3. Agama meningkatkan solidaritas sosial.

Agama membangkitkan semangat persaudaraan/persaudarian.


Durkheim berpendapat bahwa agama memperkuat solidaritas
sosial. Ahli lain menunjukkan bahwa agama mempunyai
kekuatan mengintegrasikan dalam masyarakat manusia. Hal ini
benar karena orang beragama mempunyai kepercayaan yang
sama, sentimen yang sama, ibadah yang sama, berpartisipasi
dalam ritual bersama dan seterusnya merupakan faktor-faktor
perekat yang penting yang memperkuat kesatuan dan solidaritas.

4. Agama adalah agen sosialisasi dan kontrol sosial.


Dikatakan oleh Parson bahwa agama adalah salah satu agen
paling penting untuk sosialisasi dan kontrol sosial. Agama
mempunyai peranan penting dalam mengatur/mengorganisasikan
dan mengarahkan kehidupan sosial.

10
Agama juga menolong menjaga norma-norma sosial dan kontrol
sosial. Ia mensosialisasikan individu dan melakukan kontrol baik
terhadap individu maupun kelompok dengan berbagai cara.
Organisasi seperti gereja, masjid, dan sejenisnya juga mengontrol
perilaku dari individu pada tingkat yang berbeda-beda.

5. Agama meningkatkan kesejahteraan.


Agama mengajarkan kepada umatnya agar melayani masyarakat
serta meningkatkan kesejahteraan masayarakat. Ia mengajarkan
bahwa pelayanan kepada sesama manusia adalah juga pelayanan
kepada Tuhan. Karena itulah manusia menggunakan uangnya
untuk memberi makan kepada yang miskin dan yang
membutuhkan. Agama-agama tertentu seperti Hindu, Islam dan
Kristen, dan lain-lainnya, memberi tekanan kepada tujuan
memberi kepada yang miskin dan peminta-minta. Agama
mengembangkan sikap filantropis manusia dan dengan demikian
mendorong ide saling menolong dan bekerjasama. Karena
dipengaruhi oleh kepercayaan agamawi, berbagai organisasi
agamawi melibatkan diri dalam berbagai aktivitas
menyejahterakan orang lain. Mungkin saja tidak semua orang
beragama sependapat dengan hal ini, tetapi hampir pasti bahwa
ada ajaran seperti ini ada dalam berbagai agama.
Pemberian Kartu Keluarga Sejahtera dan Kartu Indonesia Sehat
merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama yang dananya berasal dari pembayaran Pajak. Membayar
pajak merupakan salah satu perwujudan pelayanan kepada
sesama manusia untuk menyejahterakan manusia lain yang
kurang mampu Sumber: jateng.tribunnews.com

Manfaat pembayaran pajak yang dirasakan masyarakat dalam


kehidupan sehari-hari Sumber: Kementerian Keuangan RI

6. Agama memberikan rekreasi kepada manusia.


Apa maksud dari fungsi ini? Agama memainkan peranan yang
mempesona atau mengagumkan dalam memberikan rekreasi
kepada umat. Misalnya, dalam ritus agamawi maupun festival-
festival/perayaan agamawi yang diselenggarakan oleh berbagai
agama memberikan kelegaan atau kebebasan kepada umatnya
dari berbagai tekanan mental. Hal ini juga terjadi bilamana ada
kuliah atau khotbah-khotbah agamawi atau konser musik
agamawi yang diiringi oleh lagu-lagu pujian, memberikan lebih
banyak kesenangan kepada umat dan menyediakan rekreasi abadi
kepada umat.

7. Agama berfungsi memperkuat rasa percaya diri.


Agama dianggap sebagai cara efektif untuk mengukuhkan atau
memperkuat rasa percaya diri. Ada kepercayaan-kepercayaan
tertentu seperti “kerja sebagai ibadah”, “tanggungjawab atau
tugas adalah bersifat ilahi,” dan lain-lain ajaran yang ada dalam
berbagai agama memberi penguatan kepada individu-individu
dan sekaligus memperkuat rasa percaya diri.
8. Agama juga mempunyai pengaruh kepada
ekonomi serta sistem politik.
Max Weber misalnya mempunyai tesis yang membuktikan
hubungan antara etika Protestan dan perkembangan kapitalisme.
Begitu pula ada yang kita kenal dengan ekonomi syariah. Contoh
bahwa agama memengaruhi sistem politik misalnya sangat
banyak, baik pada zaman dulu maupun pada zaman modern ini.
Ada negara yang didasarkan pada agama (negara agama), bahkan
dalam negara-negara modern dan demokratis, pengaruh agama
tak terhindarkan dalam dunia politik.
Demikianlah penggalian beberapa sumber tentang fungsi agama
yang sangat kompleks. Rasanya tak cukup menggali dari berbagai
sumber, perlu juga membuat refleksi kritis terhadap fungsi agama
yang cenderung negatif atau destruktif dari contoh pengalaman
konkret. Misalnya mengapa kadang agama mempunyai fungsi
negatif dan destruktif? Mengapa misalnya timbul konflik-konflik
sosial yang bernuansa agama? Mengapa dengan dalih agama atau
kemurnian ajaran, orang beragama cenderung menggunakan
kekerasan dalam menghadapi orang-orang lain yang dianggap
mengajarkan ajaran agama yang menyimpang dari apa yang
selama ini dianut? Mengapa pula, kadang, demi ajaran tertentu
yang diyakini benar, orang bisa mengabaikan hidup konkret di
dunia ini, dan rela mati demi menantikan apa yang diharapkan
dalam keyakinan agamawinya? Apakah fungsi-fungsi tersebut
karena kesalahan ajaran agama ataukah manusia yang memberi
penafsiran yang salah terhadap ajaran tertentu? Silakan Anda
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin yang berkenaan
dengan penyebab agama berfungsi negatif.
Walaupun penelusuran dan pertanyaan-pertanyaan di atas
membantu kita untuk lebih memahami apa itu agama dan
fungsinya, kita perlu juga membangun argumen sendiri
tentangnya. Silakan Anda mengasosiasi dan membangun
argumen sendiri tentang pengertian dan fungsi agama.
Berikut ini penulis memberi contoh bagaimana membangun
argumen sendiri tentang fungsi agama yang berfungsi positif
tetapi kadang berfungsi destruktif.
Untuk itu kita secara khusus akan memberi perhatian pada dua
hal saja, yakni(i) fungsi agama sebagai pemberi identitas, dan (ii)
sebagai penuntun moral, etika dan karakter. Silakan Anda
mengemukakan argumen sendiri yang membuktikan agama
sebagai pemberi identitas dan penuntun moral!
Agama sebagai pemberi identitas sangat penting, karenanya
agama menjadi sumber acuan untuk memahami dan menemukan
apa makna hidup manusia. Dari perspektif Kristen, makna hidup
manusia adalah bertumpu pada menjalankan kehendak- Nya.
Apakah kehendak-Nya? Yang paling mendasar ada di dalam
perintah utama dan pertama: yakni hukum kasih baik kasih
kepada Allah maupun kasih terhadap sesama (Matius 22: 37-40).
Dalam hukum utama itulah segala kehendak Tuhan tersirat.
Sesama manusia tidak ditentukan oleh kesamaan suku, ras atau
agama, walaupun ketiga tersebut adalah pemberi identitas sosial
bagi manusia (ingat akan Perumpamaan Orang Samaria yang baik
hati). Jadi identitas yang menyamakan kita dengan orang lain tak
peduli agama, ras dan sukunya adalah identitas kemanusiaan.
Yang menyamakan semua orang adalah kemanusiaannya, itulah
sebabnya perintah itu berbunyi kasihilah sesamamu manusia.
Namun terkadang, identitas suku, ras dan agama menjadi lebih
diprioritaskan dari identitas kemanusiaan, dan akhirnya identitas-
identitas itu cenderung menjadi tembok- tembok yang
memisahkan dan menjauhkan manusia dari sesamanya. Teori
identitas memang mengatakan bahwa identitas: suku, ras dan
agama kadang berfungsi menjadi tembok pemisah antara kita
yang sama suku, ras dan agama dengan mereka yang berbeda ras,
suku dan agama. Apabila dipicu oleh masalah ketidakadilan
ekonomi atau politik maka identitas-identitas tersebut menjadi
alasan untuk melakukan konflik yang bernuansa kekerasan.
Sangat disayangkan bukan?
Fungsi kedua adalah fungsi penuntun moral dan karakter yang
dibentuk/dibangun berdasarkan kebajikan-kebajikan moral yang
bersumber dari agama. Semua agama mengakui fungsi ini, dan
seharusnya fungsi ini tak boleh dipisahkan dari fungsi agama
sebagai pemberi identitas. Misalnya, dari perspektif Kristen,
fungsi agama sebagai pemberi identitas adalah pemberi makna
hidup yang diwujudkan dalam kasih kepada Tuhan dan sesama.
Dalam pengertian seperti itu, fungsi agama sebagai pemberi
identitas menjadi sama dengan fungsi agama sebagai penuntun
moral dan pembangunan karakter yakni berdasarkan prinsip
utama tadi yakni kasih.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan suatu prinsip dalam
pembangunan karakter moral/etis: seperti engkau suka orang
lain perbuat padamu, perbuatlah itu terhadap orang lain (Lukas
6:31).

Nah sekarang giliran Anda membuat argumen sendiri mengapa


agama kadang bersifat ambigu dalam fungsinya: memberi hal-
hal positif tetapi kadang juga memberi alasan untuk melakukan
hal negatif. Silakan Anda berargumentasi!

Adalah tugas Anda sekarang untuk membuat suatu deskripsi


dengan kata-kata sendiri tentang apa yang Anda ketahui
mengenai apa itu agama dan apa saja fungsinya dalam kehidupan
manusia setelah mendiskusikan hal-hal yang sudah ditelusuri,
ditanya, dan digali dari berbagai sumber. Dalam deskripsi itu, apa
saja yang mengalami perkembangan dari apa yang sebelumnya
Anda pahami? Apakah ada pemahaman Anda sebelumnya yang
Anda koreksi? Ataukah ada hal baru dari arti dan fungsi agama
yang belum disinggung dan mungkin mau Anda tambahkan? Apa
saja itu? Buatlah deskripsi Anda sendiri, bukan karena orang lain
mengatakan. Hal ini penting karena yang beragama atau beriman
itu Anda sendiri dan bukan orang lain.

Hakikat agama sangatlah kompleks dan pemahaman seseorang


tentang agama sangat bergantung pada pengalaman pribadinya.
Ada yang sangat sederhana, ada juga yang sangat kompleks.
Demikian pula fungsi agama tidaklah sederhana, karena hakikat
agama itu sendiri dipahami secara berbeda-beda dan fungsinya
juga dimengerti secara berbeda-beda. Walaupun begitu,
setidaknya ada sesuatu yang sama, yaitu agama selalu berurusan
dengan Tuhan atau yang dianggap Tuhan dan berfungsi sekurang-
kurangnya sebagai pemberi identitas dan tuntunan moral dan
karakter.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, agama sangat penting


dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya, karena agama
meresapi setiap aspek kehidupan manusia: ekonomi, politik,
budaya, pendidikan dll. Jadi, masyarakat Indonesia tidak bisa
dipahami lepas dari fenomena agamanya. Mengapa? Salah
satunya karena sila pertama dari Pancasila sebagai ideologi dan
dasar negara dipahami sebagai kepercayaan kepada Tuhan yang
Maha Esa, artinya semua orang diharapkan beragama. Namun,
sesungguhnya nilai yang ada dalam sila itu adalah kebebasan
beragama yang menjamin hak setiap orang untuk beragama
sesuai dengan pilihannya sendiri dan juga untuk tidak beragama
bilamana ia memilih demikian. Untuk yang terakhir ini, orang-
orangnya tidak melakukan aktivitas antiagama.

Buatlah deskripsi Anda sendiri setelah belajar bab ini: apa itu
agama dan fungsinya, serta jelaskan pula mengapa agama kadang
berfungsi destruktif? Apa yang berkembang dan dikoreksi dari
pemahaman Anda dan apa yang masih kurang dan perlu
ditambahkan? Presentasikan kepada dosen dan rekan-rekan yang
lain!

ALLAH DALAM KEPERCAYAAN KRISTEN

Dari manakah kita mulai percakapan kita tentang mata kuliah


agama Kristen? Pada umumnya bilamana seseorang berbicara
tentang agama, mau tak mau orang berbicara tentang Allah.
Semua agama mempercayai adanya Allah atau sejenisnya, dan
kepercayaan tentang Allah inilah yang membedakan agama
dengan fenomena lainnya. Demikianpun dengan agama Kristen
(kekristenan). Karena itu, adalah penting untuk mempelajari dan
memikirkan kembali kepercayaan yang mendasar tentang
siapakah Allah yang kita percayai sebagai orang Kristen.
Pemahaman dan penghayatan kita akan substansi kajian ini akan
memengaruhi bagaimana orang Kristen hidup ditengah- tengah
dunia ini. Misalnya, kalau kita percaya kepada Allah yang
sewenang- wenang, hidup kristiani kita adalah usaha untuk “taat
secara terpaksa” kepada kehendak-Nya, mungkin dengan cara
menyogok-Nya dengan berbagai sesajen.
Walaupun setiap agama mempunyai kepercayaan tentang Allah
atau yang
Dianggap Allah tiap-tiap agama mempunyai konsepnya sendiri-
sendiri tentang siapakah Allah yang dipercayainya. Demikian
pula agama Kristen, sudah tentu mempunyai konsep tersendiri
tentang Allah yang dipercayainya. Konsep tersebut didasarkan
pada kesaksian Alkitab yang dipercayai sebagai dasar untuk
kepercayaan dan perilaku kristiani. Harus diakui bahwa Alkitab
tentu mempunyai ungkapan-ungkapan yang sangat kaya tentang
siapakah Allah. Meskipun kekristenan percaya akan “Satu Allah”
akan tetapi Allah yang dipercayai itu menyatakan diri dengan
berbagai cara yakni sebagai Bapa, Pencipta segala sesuatu,
sebagai penyelamat dalam Yesus Kristus, dan sebagai pembaharu
dalam Roh Kudus. Kekayaan penyataan diri Allah seperti inilah
yang biasanya oleh Gereja pada zaman dahulu dikenal dengan
ungkapan Trinitas (Tritunggal). Ungkapan itu bukanlah istilah
Alkitab, tetapi mengandung kebenaran alkitabiah.
Pokok-pokok (substansi kajian) ini akan dibahas secara lebih
rinci dalam sub-subpokok bahasan berikut ini dengan memberi
tekanan khusus kepada implikasi atau konsekuensinya terhadap
kehidupan Kristiani di dunia ini terutama pengembangan karakter
Kristiani.
Melalui bab tentang siapakah Allah, Anda diharapkan dapat
mencapai beberapa tujuan pembelajaran. Adapun tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai adalah bersyukur kepada
Tuhan yang telah mencipta, menyelamatkan, memelihara dan
membarui ciptaan-Nya; bersikap rendah hati dan bergantung
kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang
teratur; mengembangkan sikap kasih kepada Tuhan sebagai
Pencipta, Penyelamat, Pemelihara dan Pembaru ciptaan-Nya;
berpengharapan akan masa depan yang lebih baik; peduli dan
bertanggung jawab memelihara ciptaan Tuhan; menganalis karya
Tuhan sebagai Pencipta dunia dan isinya berdasarkan kesaksian
Alkitab; menjelaskan karya Tuhan sebagai Penyelamat manusia
berdasarkan kesaksian Alkitab; menganalisis ajaran tentang karya
Tuhan sebagai Pemelihara dan Pembaharu ciptaan-Nya
berdasarkan kesaksian Alkitab; merumuskan hasil penelaahan
dasar-dasar Alkitab yang menunjukkan Tuhan sebagai Pencipta;
merumuskan dengan kata-kata sendiri hasil penelaahan dasar-
dasar Alkitab yang menunjukkan Tuhan sebagai Penyelamat
manusia; dan menyajikan hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab
yang memperlihatkan Tuhan sebagai Pemelihara dan Pembaharu
ciptaan-Nya.
Silakan Anda membuka Alkitab, khususnya Kitab Kejadian pasal
1-2 dan Keluaran pasal 1-15. Siapakah Allah yang dipercayai
oleh umat Kristen menurut Kitab Kejadian pasal 1-2 dan
Keluaran pasal 1-15? Anda juga perlu membaca buku Ikhtisar
Dogmatika karangan R. Soedarmo, khususnya topik yang
membahas tentang Allah. Siapakah Allah yang dipercayai oleh
umat Kristen menurut R. Soedarmo? Pembahasan tentang agama
bagaimanapun selalu berkaitan dengan pokok tentang Allah atau
yang dianggap Allah. Itulah kesimpulan dari penelusuran kita
terhadap definisi agama pada bab sebelumnya. Setiap manusia
pada dasarnya mempunyai kesadaran religius, yakni kesadaran
bahwa ada suatu kodrat Ilahi di atas realitas dunia ini dan dalam
berbagai agama diberi nama yang bermacam-macam.
Dalam kekristenan, kita percaya bahwa Tuhan menciptakan
manusia sedemikian rupa sehingga ada kesadaran religius dalam
dirinya yakni suatu kesadaran akan adanya kodrat Ilahi di atas
manusia, dengan nama yang bermacam-macam sesuai dengan
kepercayaan masing-masing. Kesadaran itulah yang kemudian
mendorong manusia untuk mewujudkan relasinya dengan kodrat
Ilahi itu yang pada gilirannya memunculkan fenomena agama.
Itulah sebabnya fenomena agama tak mungkin bisa dihapus sama
sekali walaupun bisa ditekan ke tingkat yang serendah-rendahnya
oleh berbagai faktor dalam kehidupan manusia dan masyarakat.
Dalam upaya penelusuran kesaksian Alkitab tentang Allah, perlu
kita menyinggung juga topik Allah dan penyataan-Nya.
Pertanyaan yang cukup penting bagi kita adalah: “Dapatkah
manusia mengenal Allah dan hakikat-Nya?” Terhadap pertanyaan
itu, ada dua kemungkinan jawaban. Yang pertama, manusia tak
mungkin dapat mengenal Allah dan hakikat-Nya, karena manusia
adalah terbatas dan karenanya tidak mungkin mengenal Allah
yang tak terbatas. Kemungkinan kedua, mengatakan bahwa
manusia mungkin mengenal Allah dan hakikat-Nya hanya apabila
Ia menyatakan diri-Nya. Di atas telah dikatakan bahwa Allah
menciptakan manusia sedemikian rupa, sehingga ada kesadaran
religius dalam dirinya. Kesadaran religius (kesadaran akan
adanya kodrat Ilahi) itu tak sama dengan pengenalan akan Tuhan.
Kesadaran akan adanya kodrat Ilahi melalui Penciptaan itulah,
yang biasanya disebut penyataan Allah yang umum. Penyataan
umum adalah cara Allah menyatakan diri-Nya melalui
penciptaan, sejarah dunia, dan suara hati. Artinya, melalui
pengamatan manusia akan alam ciptaan yang begitu luar biasa
dan teratur itu, manusia dapat tiba pada kesadaran akan adanya
Pencipta atau arsitek di balik ciptaan ini. Pandangan ini terutama
didasarkan pada kata-kata Rasul Paulus antara lain yang
mengatakan bahwa: “…apa yang dapat mereka ketahui tentang
Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya
kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak daripada- Nya,
yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak
kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga
mereka tidak dapat berdalih” (lih. Rm. 1:19-20). Pemazmur juga
berulang kali menyaksikan bahwa “segala langit menceritakan
kemuliaan Allah” (lih. Mzm. 19). Pertanyaannya, apakah
mungkin manusia mencapai pengenalan yang benar akan Allah
hanya melalui penyataan umum? Tidak selalu! Artinya kesadaran
religius saja tak cukup. Itulah sebabnya menurut kepercayaan
Kristen, manusia membutuhkan penyataan yang khusus.
Penyataan khusus adalah cara Allah menyatakan diri dan
kehendak-Nya melalui firman-Nya dan mencapai puncaknya
dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Walaupun demikian, melalui
penyataan Allah yang khusus pun belum dapat membuat manusia
mengenal Allah secara tuntas, oleh karena Allah lebih dari apa
yang Allah nyatakan, apakah melalui firman-Nya maupun Yesus
Kristus. Karenanya, Allah masih tetap merupakan misteri yang
tidak pernah habis diselidiki dan dipahami. Hal itu membuat kita
mempunyai sikap kagum dan heran akan kebesaran-Nya. Silakan
Anda mengamati perbedaan antara penyataan umum dan khusus!
Marilah sekarang kita menelusuri tentang Allah dalam
kepercayaan Kristen sebagaimana disaksikan oleh Kitab Suci
Alkitab. Dalam kepercayaan Kristen Allah dikenal dari
tindakannya: Allah sebagai Pencipta, Penyelamat dalam Yesus
Kristus, dan pembaharu dalam Roh Kudus.
1. Allah Sang Pencipta
Dari manakah pembicaraan tentang Allah dimulai? Ada berbagai
pendekatan dalam pembicaraan tentang Allah. Pertama, ada yang
memulai dengan membicarakan kodrat dan sifat-sifat-Nya, lalu
dilanjutkan dengan karya-karya-Nya. Kedua, ada yang mulai
dengan membicarakan karya-karya-Nya lalu dilanjutkan dengan
kodrat dan sifat-sifat-Nya. Pendekatan kedua mungkin lebih
berguna. Artinya melalui pembahasan tentang karya-karya (apa
yang dilakukan Allah), kita akan sampai kepada kodrat dan sifat-
sifat-Nya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa “Allah adalah
apa yang Allah lakukan, tetapi apa yang Allah lakukan belum
seluruhnya menjelaskan tentang siapa Allah
sesungguhnya.”Apakah yang dilakukan Allah yang menunjuk
kepada hakikat dan sifat-Nya? Alkitab memulai kesaksiannya
tentang Allah sebagai Pencipta langit dan bumi dan seluruh isinya
termasuk manusia (lih. Kej. 1 dan 2). Demikianpun Pengakuan
Iman Rasuli dimulai dengan pengakuan bahwa Allah, Bapa
adalah Khalik/Pencipta langit dan bumi. Karena itu, bagi orang
Kristen Allah pertama- tama dikenal sebagai Pencipta alam
semesta beserta isinya termasuk manusia. Silakan Anda
mengamati Pengakuan Iman Rasuli secara saksama.
Hal ini perlu mendapat tekanan oleh karena kita berhadapan
dengan bermacam-macam pandangan tentang asal usul dunia ini,
termasuk teori evolusi Darwin. Kita tahu sekurang-kurangnya ada
dua teori besar mengenai asal usul segala sesuatu yang ada. Teori
pertama, adalah yang dikenal dengan teori evolusi sebagaimana
diperkenalkan oleh Darwin dan pengikut-pengikutnya. Teori ini
pada dasarnya menolak adanya “Pencipta atau arsitek” di balik
keajaiban dunia ini, dan menyatakan bahwa segala sesuatu
berkembang secara evolusi dalam kurun waktu jutaan tahun.
Sedangkan teori asal usul kedua adalah yang biasanya dikenal
dengan “teori Penciptaan” (Creation theory), yang menerima
adanya pencipta di balik semua ciptaan yang menakjubkan ini.
Agama-agama menerima teori asal usul penciptaan ini termasuk
agama Kristen.
Kekristenan percaya akan adanya pencipta di balik keberadaan
dunia yang begitu menakjubkan ini (lih. Kej. 1 dan 2; Mzm.
33:6). Penciptaan yang dilakukan oleh Allah jelas berbeda
dengan ciptaan atau karya manusia, karena Allah mencipta dari
yang tidak ada menjadi ada dengan firman-Nya (lih. Rm. 4:17
dan Ibr. 11:13). Menerima bahwa ada pencipta di balik
keberadaan langit dan bumi serta isinya, tak berarti menolak sama
sekali bahwa ada evolusi dari ciptaan- ciptaan itu.
Allah Pencipta, adalah Sang Pribadi yang Mahakuasa. Dengan
membahas karya Allah sebagai Pencipta maka kita juga dapat
tiba pada hakikat dan sifat Allah. Salah satu simpulan yang dapat
dibuat adalah bahwa Allah adalah Sang Pribadi yang Mahakuasa.
Allah dalam kebijaksanaan-Nya membuat keputusan untuk
menciptakan alam semesta dan isinya termasuk manusia
menunjukkan bahwa Ia adalah pribadi yang berpikir dan
membuat keputusan. Ia juga membangun relasi/hubungan dengan
ciptaan-Nya, khususnya dengan manusia. Kapasitas seperti yang
digambarkan di atas menunjukkan bahwa Allah adalah suatu
pribadi dalam arti berpikir, membuat keputusan dan membangun
relasi dengan pihak lain. Silakan Anda mengamati keputusan
yang diambil Allah dalam Kitab Kejadian pasal 1-2 dan Kitab
Keluaran pasal 1-15.
Memang sangat sulit membayangkan kepribadian Allah, namun
kita akan sedikit tertolong bilamana kita membayangkan
kepribadian manusia, karena manusia diciptakan menurut gambar
Allah. Ini tidak berarti bahwa kepribadian manusia menjadi
patokan untuk mengukur kepribadian Allah, karena kepribadian
manusia hanyalah refleksi dari kepribadian Allah. Namun
demikian, kepribadian manusia mengandung tanda-tanda yang
sama dengan kepribadian Allah.
Lebih jauh, Allah bukan sekadar pribadi, tetapi pribadi yang
Mahakuasa. Kemahakuasaan Allah jelas dari karya ciptaan-Nya
bukan saja dari yang tiada menjadi ada melainkan juga dalam
keteraturan dan kebesaran ciptaan. Kemahakuasaan-Nya
menunjukkan bahwa Allah tak terbatas oleh ruang dan waktu, dan
karenanya Ia kekal adanya. Dari sini dapatlah ditambahkan
sejumlah atribut/sifat Allah yang sempurna dan tak terbatas
misalnya: Kemahahadiran Allah, Mahatahu, Mahaadil,
Mahabesar, dan lain-lain. Semua atribut ini hanya ingin
menekankan perbedaan yang hakiki antara Pencipta (Allah) dan
ciptaan (manusia dan ciptaan lain). Silakan Anda amati
perbedaan yang lain antara Pencipta (Allah) dan ciptaan (manusia
dan ciptaan lain).

2. Allah Penyelamat
Silakan Anda membaca Injil Yohanes 3:16. Siapakah Allah yang
dipercayai umat Kristen menurut Injil Yohanes 3:16? Ide tentang
keselamatan mempunyai tempat dalam setiap agama. Mulai dari
agama primitif yang percaya roh-roh, maupun agama politeisme
yang percaya banyak ilah/dewa/i, sampai ke agama monoteisme,
ajaran mengenai keselamatan dan Allah sebagai penyelamat
selalu hadir. Memang maknanya berbeda dari satu agama ke
agama lain. Bahkan maknanya dalam satu agama pun cukup
bervariasi dan luas. Keselamatan dalam agama tertentu bisa
melulu, merupakan pengalaman masa kini dan di sini, bisa juga
melulu pengalaman nanti, di masa yang akan datang sesudah
kehidupan ini, tetapi bisa juga kedua-duanya.
Ajaran atau ide tentang keselamatan mungkin merupakan salah
satu faktor yang mendorong orang untuk beragama. Sebagai
contoh, kita dapat menunjuk kepada berbagai upacara keagamaan
dalam berbagai agama. Banyak upacara dalam agama-agama
suku misalnya, dilakukan dalam rangka atau sebagai upaya untuk
memeroleh keselamatan, apa pun maknanya. Misalnya sebelum
seseorang bepergian jauh, maka upacara selamatan dilakukan
agar memeroleh keselamatan di jalan atau di tempat pekerjaan.
Orang-orang mengadakan serangkaian upacara menjelang musim
menanam agar selamat, dalam arti terhindar dari kegagalan
apakah karena iklim atau wabah hama. Dalam kasus-kasus di
atas, keselamatan semata-mata mempunyai dimensi masa kini
dan di sini.
Sebaliknya, banyak juga upacara keagamaan yang dilakukan
dalam rangka memeroleh keselamatan di akhirat yakni sesudah
kematian, misalnya untuk masuk surga atau hidup yang kekal,
apa pun arti yang diberikan kepada surga dan kehidupan kekal
tersebut. Dengan demikian, ada hubungan erat antara
keselamatan, agama, dan Allah. Hal ini tak berarti bahwa mereka
yang tidak beragama atau tidak percaya kepada Tuhan tak
mempunyai konsep keselamatan. Setidak-tidaknya bagi mereka,
keselamatan merupakan situasi terlepas atau terhindar dari
bermacam-macam bahaya, ancaman, penyakit, dan lain-lain.
Memang patut diakui bahwa semakin maju dan berkembangnya
ilmu dan teknologi, banyak persoalan manusia dapat diatasi.
Namun, ketika manusia menyadari baik keterbatasan manusia
maupun ilmu dan teknologi, manusia cenderung kembali kepada
kepercayaan akan Tuhan atau yang dianggap Tuhan.
Dalam ajaran Kristen, ajaran tentang keselamatan dan Allah
sebagai penyelamat khususnya dalam Yesus Kristus mempunyai
tempat yang sangat penting bahkan sentral. Sedemikian
sentralnya sehingga dalam Pengakuan Iman Rasuli, fakta Kristus,
mulai dari praeksistensi-Nya, kelahiran, pekerjaan, penderitaan,
kematian, kenaikan ke surga, dan kedatangan-Nya kembali,
mengambil tempat yang sangat banyak. Silakan Anda mengamati
Pengakuan Iman Rasuli secara saksama. Sesungguhnya agama
Kristen lahir karena kepercayaan akan Allah sebagai Penyelamat
di dalam Yesus Kristus. Sebutan Kristen justru dikenakan kepada
orang-orang yang menjadi pengikut Kristus.
Kepercayaan kepada Allah sebagai Penyelamat bukan berarti
bahwa orang Kristen menyembah lebih dari satu Allah, karena
Allah Pencipta adalah juga Allah yang menyelamatkan. Silakan
Anda mengamati Alkitab yang memperlihatkan bahwa Allah
yang menyelamatkan umat manusia. Daftarkanlah nama kitab
yang memperlihatkan dengan jelas bahwa Allah yang
menyelamatkan umat manusia.
Perlu dicatat bahwa konsep tentang Allah sebagai Penyelamat
bukan monopoli Perjanjian Baru, tetapi sudah ada dalam
Perjanjian Lama. Umat Perjanjian Lama mempunyai syahadat
(pengakuan percaya) bahwa Allah itu menyelamatkan. Silakan
Anda membaca dan mengamati Kel. 14:13 dan Mzm. 3:8; 62:2-3.
Ada berbagai istilah yang dipakai oleh PL yang menunjuk kepada
konsep keselamatan. Konsep ini dihubungkan dengan Tuhan
sebagai yang melakukan tindakan penyelamatan terhadap umat-
Nya. Ada berbagai tindakan penyelamatan Allah terhadap umat-
Nya. Kitab Keluaran 15 merupakan pasal pertama yang
mengungkapkan tindakan penyelamatan Allah dalam sejarah
umat Israel. Musa dalam lagunya untuk merayakan peristiwa
pembebasan umat Allah dari perbudakan di Mesir, antara lain
berkata: “Tuhan telah menjadi keselamatannya” (Kel. 15:2).
Tindakan penyelamatan Allah dalam peristiwa keluar dari Mesir
melalui Laut Teberau ini, telah memberi kesan yang sangat
mendalam dalam sanubari dan ingatan bangsa Israel. Oleh karena
itu, peringatan akan peristiwa tersebut dirayakan setiap tahun
dalam perayaan Paskah (lih. Ul. 16:1). Pembebasan dari Mesir
justru merupakan bukti paling utama dan kuat tentang kasih setia
Tuhan, karena hal itu merupakan tanda yang sentral dari PL
tentang anugerah penyelamatan bagi umat yang baru kelak.
Silakan Anda mengamati proses keluarnya umat Israel dari Mesir
dalam Kitab Keluaran 1-15.
Itu pula sebabnya dalam pembukaan Dekalog (Sepuluh Perintah),
peristiwa pembebasan dari Mesir juga disebutkan kembali dan
menjadi dasar dari respons moral kepada Tuhan. Dengan kata
lain, hukum-hukum Tuhan yang merupakan refleksi kehendak
Tuhan tentang bagaimana umat Allah seharusnya menjalani
hidupnya, didasarkan pada peristiwa penyelamatan Allah melalui
pembebasan dari Mesir.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah makna dari konsep
keselamatan dalam PL tatkala Allah sebagai Penyelamat? Harus
diakui bahwa dalam PL, makna atau arti konsep keselamatan itu
mengalami perkembangan. Kalau kita bertanya “dari apakah
Allah menyelamatkan umat-Nya?” Maka jawaban yang umum,
khususnya pada sejarah awal dari umat Allah dalam PL, adalah
“keselamatan dari segala bentuk ketidakberuntungan,
perbudakan, sakit penyakit, kekeringan dan kelaparan, musuh-
musuh, dan seterusnya.” Secara umum dalam PL, tekanannya
jatuh kepada apa yang bisa kita sebut sebagai aspek negatif dari
keselamatan, daripada aspek positifnya. Keselamatan dianggap
sebagai kelepasan dari kuasa jahat dan bahaya dari pemilikan atas
berkat-berkat khusus. Walaupun begitu, adalah salah juga kalau
yang terakhir itu dianggap tak ada sama sekali khususnya dalam
kitab-kitab Mazmur. Silakan Anda membaca dan mengamati
Mzm. 28:9, 31:16, 5l:2!
Pada bagian-bagian kemudian dari PL, jelas ada pergeseran dari
ide keselamatan sebagai tindakan-tindakan kelepasan dalam
wilayah atau bidang materiil, fisik semata-mata, menuju kepada
aspek moral dan spiritual (lih. Yes.59:7, 62:10). Yang paling
menonjol dari antara aspek spiritual dan moral ini adalah ketaatan
kepada kehendak Allah. Mereka yang benar dan adil yang
mempunyai pengharapan akan pertolongan keselamatan dari
Allah. Sebaliknya, bilamana umat menyimpang dari jalan Tuhan
dan menyerahkan diri kepada kuasa jahat, keselamatan hanya
dimungkinkan dengan jalan perubahan hati, melalui pertobatan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tekanan utama adalah
kebebasan dari tirani (kuasa) dosa.
Nabi-nabi besar memberitakan kesiapan Allah untuk
menyelamatkan dari perspektif baru. Berkat-berkat eksternal
masih juga diharapkan, namun tekanannya kini lebih kepada
kebutuhan akan suatu perubahan hati, pengampunan, kebenaran,
dan pembaharuan hubungan dengan Allah. Keselamatan masih
mempunyai implikasi sosial, namun tekanannya lebih kepada
perjanjian dengan individu daripada dengan bangsa. Itu berarti
bahwa keselamatan terutama menjadi pengalaman dari setiap
individu. Dengan demikian, kita dapat membaca pengakuan
Yesaya, misalnya bahwa: “Allah adalah keselamatanku” (Yes.
12:2), sebab Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang
benar dan Juruselamat; tidak ada Allah lain selain Dia (Yes.
45:21, 43:11). Karena itu, dalam Kitab Yesaya, istilah Allah sama
dengan Juruselamat.
Dengan menggunakan kata pengharapan, keselamatan dari Allah
dipikirkan sebagai sesuatu yang akan terjadi kelak. Bahwa “Allah
akan mendatangkan keselamatan di Sion” (Yes. 46:13) menunjuk
ke masa yang akan datang. Keselamatan yang demikian bukan
lagi hanya untuk Israel sendiri, melainkan dengan datangnya
“Hamba Allah,” maka keselamatan akan menjangkau sampai
ujung bumi. Artinya, untuk semua bangsa (Yes. 49:6). Dengan
demikian, maka seluruh bumi akan melihat keselamatan dari
Allah kita (Yes. 52:10). Dengan demikian, janji Allah tentang
keselamatan menjadi semakin besar dan mendalam.
Sebagai simpulan, ketika kita memerhatikan PL, ide tentang
keselamatan dalam sejarah awal umat Allah (lsrael) adalah bahwa
Allah menyelamatkan orang yang baik dari berbagai kesukaran.
Akan tetapi, dengan pemahaman yang berkembang tentang
hubungan antara keselamatan dan dosa, dalam konteks kebutuhan
akan pertobatan, topik ini memeroleh pengertian yang lebih
rohani dan moral. Hal ini menuntun kita kepada doktrin tentang
keselamatan yang khas dalam Perjanjian Baru, yakni bahwa
Allah menyelamatkan orang jahat dari dosa- dosanya dan
membenarkan mereka.
Pembicaraan mengenai Allah sebagai penyelamat dalam agama
Kristen tak dapat dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus. Yesus
bahkan di dalam Perjanjian Baru dikenal dengan sebutan
Juruselamat. Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa Allah di
dalam Yesus Kristus adalah Allah Penyelamat. Keselamatan
menjadi tujuan utama dari kedatangan dan pelayanan Yesus
Kristus. Yesus maupun para penulis PB menggunakan istilah
“menyelamatkan” sebagai suatu yang menyeluruh untuk
menggambarkan misi-Nya. Ia disambut dalam arena sejarah
dunia dengan pernyataan para malaikat bahwa “Ia akan dinamai
Yesus, yang berarti yang menyelamatkan umat-Nya dari dosa-
dosa mereka” (Mat. 1:21).
Apabila dalam Perjanjian Lama Allah juga menyatakan diri
sebagai Penyelamat, dalam Perjanjian Baru secara jelas Allah
menyatakan diri sebagai Penyelamat di dalam diri Tuhan Yesus
Kristus. Karena itulah, Gereja mula-mula ketika merumuskan
pengakuan imannya memberi tempat yang sangat sentral kepada
fakta Yesus Kristus mulai dengan pengakuan bahwa Ia Anak
Tunggal Allah dan Tuhan (prainkarnasi), kelahiran-Nya
(inkarnasi), pekerjaan-Nya khususnya penderitaan, penyaliban,
dan kematian-Nya, kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya ke surga dan
kedatangan-Nya kembali untuk menjadi Hakim. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa seluruh fakta Kristus merupakan
perwujudan dari karya penyelamatan Allah bagi manusia yang
telah jatuh ke dalam dosa dan karena itu terputus atau rusak
hubungannya dengan Allah.
Memang mustahil bagi kita untuk membahas seluruh aspek dari
pribadi Yesus Kristus. Namun, dari fakta Kristus yang kita
sebutkan di atas, jelas bahwa di dalam diri Yesus tergabung sifat
keilahian dan kemanusiaan sekaligus. Hal ini jelas sangat unik
dan sulit dipahami. Apabila pengakuan Iman Rasuli mulai dengan
pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Tunggal Allah dan
Tuhan, ini menunjuk kepada keilahian-Nya yakni sebagai Allah
dan sehakikat dengan Allah. Kemudian dilanjutkan dengan
pengakuan bahwa Ia telah dikandung oleh Roh Kudus, lahir dari
anak dara Maria, menunjukkan penjelmaan-Nya menjadi
manusia. Memang ajaran tentang penjelmaan sudah merupakan
persoalan sejak Gereja mula-mula. Dalam suatu pertemuan
Gerejawi di Khalcedon pada tahun 451, para pemimpin gereja
merumuskan masalah yang sulit ini sebagai berikut: “Tuhan kita
Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati, sehakikat
dengan Bapa dalam segala sesuatu yang menyangkut keilahian-
Nya, namun dalam kemanusiaan-Nya sama seperti kita, kecuali
tanpa dosa. Jadi, Yesus dikenal dalam dua tabiat: ilahi dan
manusiawi. Kedua tabiat itu berbeda satu dengan yang lainnya.
Perbedaan ini tidak dilenyapkan oleh penyatuan keduanya, tetapi
ciri-ciri khusus masing-masing tabiat tetap dipelihara.”
Rumusan di atas adalah suatu contoh dari usaha para pemimpin
Gereja untuk memahami pribadi Yesus yang unik itu
sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab Perjanjian Baru. Akan
tetapi, rumusan itu tidak dengan sendirinya menghilangkan
rahasia penjelmaan ini. Karena itu, kita dapat mengamini
kekaguman Paulus, misalnya, dalam kata-kata berikut ini:“Dan
sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: “Dia, yang telah
menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia .…” (1 Tim.3:16).
Jadi, apabila kita berbicara tentang kodrat ilahi dan manusiawi
Kristus, hal ini menunjuk kepada keadaan atau kenyataan-Nya.
Kalau kita berkata bahwa Yesus memiliki kodrat ilahi, yang kita
maksudkan ialah bahwa semua sifat atau ciri khas yang dapat
digunakan untuk menggambarkan Allah juga berlaku bagi Dia.
Dengan demikian, Ia adalah Allah dan bukan sekadar menyerupai
Allah, melainkan Allah sejati.
Apabila kita, mengatakan bahwa Yesus mempunyai kodrat
manusiawi, yang kita maksudkan adalah bahwa Ia bukanlah
Allah yang berpura-pura menjadi manusia, melainkan Ia adalah
Allah yang sejati. Ia bukan hanya Allah atau hanya manusia,
melainkan Ia adalah Allah “yang menjadi manusia dan diam
diantara kita” (Yoh. 1:14). Ia tidak menukar keilahian-Nya
dengan kemanusiaan. Ia malah mengambil keadaan manusia.
Artinya Ia menambah tabiat manusia pada tabiat Ilahi-Nya. Jadi,
dengan penjelmaan ini, Ia adalah Allah sejati dan manusia sejati.
Walaupun Yesus memiliki semua sifat atau ciri yang dimiliki
manusia termasuk ciri-ciri fisik atau jasmani, tetapi kita tak dapat
mengatakan bahwa pada hakikat-Nya yang terdalam, Ia adalah
manusia. Ia adalah pribadi Ilahi dengan kodrat manusia.
Kepribadian Ilahi itulah hakikat-Nya yang terdalam, karena itu
kita dapat menyembah Dia sebagai Allah yang patut disembah.
Jadi, dalam diri Yesus sebagai penjelmaan Allah, Ia menyatakan
keilahian yang sejati dan kemanusiaan sejati dalam satu pribadi.
Dalam Dia terdapat keterpaduan sifat-sifat, sehingga apa pun
yang kita katakan tentang Dia sesuai dengan apa yang dapat
dikatakan tentang Allah dan manusia.
Pertanyaan yang segera muncul adalah “Mengapa Allah
menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus?” Di atas
kita telah menyinggung bahwa tujuan kedatangan dan pelayanan
Yesus adalah untuk menyelamatkan manusia berdosa. Namun,
pertanyaan selanjutnya adalah “Mengapa untuk menyelamatkan
manusia berdosa, Allah harus menjelma menjadi manusia?”
Terhadap pertanyaan seperti ini, harus diakui bahwa kita tak
mungkin menjawabnya dengan tuntas dan memuaskan.
Sebagaimana Allah tak mungkin kita pahami secara sempurna,
begitu pula maksud-maksud-Nya tak terselami. Penjelasan
berikut ini, mungkin dapat menolong kita untuk membuka
sebagian dari selubung misteri Allah dan rencana-Nya.
Untuk dapat menjadi penyelamat atau Juruselamat manusia
berdosa dari hukuman dosanya, Ia harus dapat menanggung
penderitaan dan hukuman itu. Untuk tugas seperti itu,
Juruselamatnya haruslah juga manusia sejati.
Dibutuhkan Juruselamat yang menjadi korban yang tak bercacat.
Oleh karena semua manusia telah berdosa dan bercacat, Allah
sendirilah yang tak bercacat itu menjelma menjadi manusia agar
dapat berperan sebagai Juruselamat. Dosa selalu membawa
hukuman, ini adalah keadilan Allah. Namun, mengapa Ia sendiri
yang mau menanggung hukuman itu? Di sinilah hakikat Allah
yang terdalam, yakni bahwa Allah adalah kasih. Ia tak sekadar
memiliki kasih, tetapi merupakan kasih itu sendiri. Jadi, pada satu
sisi, Allah menjadi manusia untuk menjadi Juruselamat karena
keadilan-Nya, namun pada sisi yang lain karena kasih-Nya.
“Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia sehingga
diberikan-Nya anak-Nya yang tunggal itu….” (lih. Yoh. 3:16).
Di samping itu, penjelmaan Allah di dalam Yesus Kristus juga
hendak menyatakan Allah dalam segala keunggulan dan
keindahan-Nya yang tak ada bandingnya. Silakan Anda membaca
dan mengamati Yoh.14:7-11. Itulah sebabnya kita percaya bahwa
dalam Yesus Kristus penyataan Allah mencapai klimaks atau
puncaknya. Tak ada wujud penyataan diri Allah yang paling jelas
dan langsung melebihi penyataan-Nya dalam diri Yesus Kristus,
Allah penyelamat itu. Penyataan diri yang paling jelas dari
hakikat-Nya yang adalah kasih dan juga adil. Silakan Anda
mengamati Yoh. 15:13.
Di dalam penjelmaan, Tuhan Yesus menjadi teladan yang paling
sempurna mengenai hidup yang dikehendaki Allah. Dengan
demikian, sebagai makhluk pencari makna, kita dapat belajar dari
hidup Kristus bagaimana kita menjalani hidup kita secara
bermakna sesuai dengan kehendak Allah. Kehidupan Kristen,
yakni kehidupan mengikut Kristus yang menjadi teladan yang
sempurna.
Sebelum kita mengakhiri pembahasan tentang Allah Sang
Penyelamat, maka ada baiknya kita mengkaji kesaksian
Perjanjian Baru tentang makna atau arti keselamatan yang
dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus. Konsep keselamatan
dalam Perjanjian Baru adalah khas Kristen dan mendapat tempat
yang sangat utama, kendatipun PB penuh dengan ajaran-ajaran
moral dan kehidupan Kristen. Harus diakui bahwa berbagai kitab
atau surat dalam PB menjelaskan keselamatan itu dengan istilah-
istilah yang bervariasi, akan tetapi ada kesamaan makna atau
pengertian. Keselamatan diungkapkan dengan istilah yang
bermacam-macam, misalnya hidup kekal, masuk atau mewarisi
Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga, dan sebagainya. Apakah
makna atau arti keselamatan ini? Sayangnya Perjanjian Baru
bukan merupakan uraian yang sistematis dari konsep keselamatan
itu. Karena itu, uraian berikut ini hanyalah sekadar menangkap
secara ringkas makna yang mendasar dari konsep itu,
sebagaimana dimaksudkan baik oleh Yesus dalam Injil-injil
maupun dalam surat-surat para rasul.
Salah satu perkembangan makna keselamatan dibandingkan
dengan ajaran Perjanjian Lama adalah bahwa baik Yesus maupun
para rasul memberi arti yang lebih rohani dan universal kepada
konsep keselamatan itu. Artinya, meskipun keselamatan
mengandung juga aspek fisik, tetapi lebih-lebih aspek rohani
mendapat tekanan yang penting. Dengan demikian, keselamatan
menaruh perhatian terhadap manusia seutuhnya. Keselamatan
bukan hanya bagi satu bangsa saja tetapi bagi seluruh umat
manusia melampaui batas bangsa. Berkali- kali kita katakan di
atas bahwa Allah di dalam Yesus Kristus datang untuk
menyelamatkan manusia dari dosa-dosanya atau tepatnya dari
hukuman dosa. Apakah hukuman dosa yang paling nyata?
Bagaimana manusia diselamatkan? Hukuman dosa adalah maut,
kata Paulus (Rm. 6:23). Maut atau kematian di sini lebih bersifat
rohani, yakni keterasingan dari Allah, putus atau rusaknya
hubungan atau persekutuan manusia dengan Allah. Dalam
pengertian seperti itu, kita dapat memahami pengalaman Yesus
yang paling hebat dan mengerikan ketika dalam karya
penyelamatan-Nya Ia mengalami ditinggalkan oleh Allah, Bapa-
Nya. Di atas kayu salib Ia berseru “Allahku, Allahku, mengapa
Engkau meninggalkan Aku?” Dengan demikian, keselamatan
yang dikerjakan Allah pada dasarnya adalah restorasi
(pembaharuan, perbaikan) hubungan dengan Allah, suatu
pengalaman hubungan atau persekutuan yang benar dengan
Allah.
Oleh karena itu, di dalam Yesus Kristus kita yang percaya boleh
menyebut Allah itu Bapa, dalam arti kita memiliki hak untuk
menjadi anak-anak Allah, suatu kualitas hubungan yang intim
dengan Allah. Dalam hubungan itu, kita dapat memahami
mengapa Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk berdoa dan
menyapa Allah itu: Bapa kami. Hidup kekal bukan saja suatu
keabadian, melainkan suatu kualitas hidup yang baru, yakni
pengalaman hubungan yang benar dan intim dengan Allah
melalui Yesus Kristus. Paulus kadang menyebutkan hidup yang
demikian sebagai hidup dalam Kristus, hidup dalam damai
sejahtera dengan Allah.
Dalam kaitan dengan penjelasan di atas, dapatlah kita pahami
bahwa keselamatan menurut PB khususnya dalam surat-surat
para rasul merupakan pengalaman yang sudah kita alami pada
masa kini, bukan hanya pada masa yang akan datang sesudah
kematian. Merupakan pengalaman masa kini, karena memang
keselamatan atau hidup kekal merupakan suatu kualitas hidup
baru, yakni hidup dalam hubungan dan persekutuan yang benar
dengan Allah. Akan tetapi, keselamatan juga mengandung aspek
masa depan, yakni bahwa penyempurnaan-Nya masih akan
terjadi di masa yang akan datang, ketika Yesus datang kembali
untuk menggenapkan dan menyempurnakan segala sesuatu.
Itulah sebabnya keselamatan mengandung aspek pengharapan
juga, meskipun ia telah merupakan pengalaman masa kini.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Ef.2:4-9. Pekerjaan
Yesus menunjukkan lebih dari segi rohani saja, karena Yesus
memberi makan orang lapar, menyembuhkan orang sakit,
membebaskan orang yang dibelenggu oleh kuasa jahat, tetapi
juga membebaskan mereka yang tertindas dan sebagainya. Hal ini
berarti bahwa keselamatan dalam kekristenan adalah suatu yang
komprehensif atau menyeluruh, sama halnya Injil atau kabar baik
adalah kabar baik yang menyeluruh. Kita harus menolak
pembatasan keselamatan hanya sebagai yang spiritual saja. Ini
yang kita sebut despiritualisasi keselamatan. Bukan berarti bahwa
keselamatan tidak mempunyai dimensi spiritual, melainkan
menolak pembatasannya hanya pada dimensi yang spiritual
(Baum 1975, 202).

3. Allah Pembaharu Ciptaan-Nya


Pokok kepercayaan mendasar ketiga tentang Allah adalah Allah
sebagai pembaharu ciptaan-Nya yang menyatakan diri dalam Roh
Kudus. Banyak orang menyangka bahwa Allah baru hadir dan
bekerja dalam Roh Kudus pada Perjanjian Baru yakni ketika Roh
Kudus dicurahkan pada hari Pentakosta di Yerusalem. Hal ini
tidak benar. Kehadiran maupun tindakan Allah dalam Roh Kudus
telah berlangsung jauh sebelumnya bahkan sejak awal, karena
pada hakikatnya Allah adalah Roh. Pada waktu Allah
menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Allah dalam Roh
yang berkarya dalam penciptaan tersebut. Silakan Anda
mengamati dan menafsirkan Kej.l:7-2:25.
Roh Kudus dalam PL tidak saja dikaitkan dengan penciptaan,
tetapi juga dengan nubuat. Sudah jelas bahwa Roh Allah adalah
berbeda dengan roh manusia, sebab Roh Allah adalah Allah itu
sendiri. Dalam PL juga ditekankan bahwa Roh Allah itu
mengilhamkan nubuatan. Ini adalah salah satu tema utama
Alkitab. Allah yang melampaui kita tetapi masuk dalam dunia
manusia, bukanlah dengan maksud untuk menakuti, tetapi justru
untuk berkomunikasi. Roh Allah merupakan suatu kekuatan,
namun kekuatan yang dirancang untuk mengomunikasikan
kehendak Allah dan membawa ciptaan kepada hidup yang sesuai
dengan kehendak-Nya. Itulah sebabnya dalam Alkitab sering ada
hubungan yang erat antara Roh Allah dan firman Allah. Roh
Allah dan firman Allah tak dapat dipisahkan. Silakan Anda
mengamati dan menafsirkan Mzm.33:6 dan 2 Sam. 23:2.
Contoh konkret dari hubungan ini adalah pengalaman Raja Saul.
Ketika Saul menolak firman Allah, konsekuensinya “Roh Allah
meninggalkannya. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan 1
Sam. 15:26 dan 16:14. Hubungan ini sangat penting, dan Gereja
sering membuat perbedaan tajam dan karena itu, kehilangan suatu
perspektif alkitabiah yang cukup penting. Memang hubungan ini
sangat kuat di dalam Perjanjian Lama. Bilamana Roh Allah
datang kepada seseorang, Ia mengomunikasikan maksud berita
dari Allah. Berita ini dapat saja mengambil bentuk-bentuk yang
misterius. Ia dapat datang melalui mimpi seperti dalam peristiwa
Yusuf yang dimampukan untuk menafsirkan arti mimpi Firaun
melalui Roh Allah yang ada dalam dirinya. Silakan Anda
mengamati dan menafsirkan Kej. 41:38. Ia bisa juga datang
melalui penglihatan. Orang-orang seperti Abraham, Yakub,
Yehezkiel, dan Daniel menangkap maksud Allah melalui suatu
penglihatan. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kej. 15:1,
Kej. 46:2, Yeh. 1:1, Dan. 1:17; 4:5; 7:7.
Akan tetapi, harus disadari bahwa bukan pengalaman misterius
yang menentukan seseorang dapat bernubuat atau tidak, tetapi
Allah datang dengan Roh-Nya yang membuat manusia
dimampukan untuk mengomunikasikan maksud dan firman Allah
kepada sesamanya. Hal ini nyata, misalnya, dalam nabi-nabi yang
lebih kemudian seperti Amos, Mikha, Zakaria, dan lain-lain.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Am. 3:8, Mi.3:5
danZa.7:12. Singkatnya bilamana seseorang bernubuat, itu karena
Roh Allah datang ke atasnya dan mengomunikasikan maksud
atau berita dari Allah melaluinya.
Hal lain yang juga cukup penting kita catat sepanjang itu
berkaitan dengan Roh Allah di dalam PL adalah tentang
kepribadian Roh Allah. Di dalam PL, Roh itu tidak tampak
sebagai keberadaan yang Ilahi. Ia lebih dilihat sebagai kehadiran
dan intervensi (pelibatan diri) pribadi Allah. Silakan Anda
mengamati dan menafsirkan Yes. 31:3. Di dalam kata-kata ini,
Yesaya bukan mempertentangkan daging dan roh sebagai bagian
luar dan dalam dari seseorang yang sama. Yang ia lakukan adalah
mengelompokkan “daging dan manusia bersama-sama, dengan
Roh dan Allah bersama-sama.” Roh merupakan realitas
(kenyataan) pada pihak Allah yang berbeda dengan pihak
manusia. Apabila Roh Allah hadir di dalam manusia, itu berarti
intervensi Allah sendiri yang Mahakasih dan pribadi. Dalam
Yesaya 63, Roh merupakan ekspresi pribadi dan Allah sendiri. Ia
adalah suci, bukan saja merupakan kuasa Ilahi tetapi sifat moral
dari Allah. Ia adalah Allah yang bekerja untuk kepentingan umat-
Nya. Perlu dicatat bagaimana Roh itu disamakan dengan
“lengan” Allah dan yang hendak dikatakan adalah bahwa Roh itu
merupakan aktivitas penyelamatan-Nya. Roh itu adalah kuasa
yang personal dan aktif dari Tuhan Allah.
Walaupun dalam PL kita menjumpai fakta Roh Allah yang
berintervensi dalam kehidupan manusia, baru dalam Perjanjian
Barulah dinyatakan fakta tentang Roh Kudus secara lebih luas
oleh para penulisnya. Meskipun dalam Injil- injil sekalipun
sangat sedikit diungkapkan tentang Roh Kudus, kalau
diperhatikan baik, Roh Kudus justru berpusat dalam diri Tuhan
Yesus Sang Mesias dan kemudian juga dicurahkan kepada orang-
orang percaya, terutama pada peristiwa Pentakosta. Mungkin ada
baiknya kita bertanya mengapa Yesus pada suatu ketika
mengatakan kepada para murid-Nya: “Adalah lebih berguna bagi
kamu jika Aku pergi. “Silakan Anda mengamati dan menafsirkan
Yoh. 16:7. Kata-kata ini diucapkan dalam konteks janji
pemberian Penolong atau Penghibur yakni Roh Kudus. Kita tahu
bahwa meskipun Yesus adalah Allah sejati, tetapi Ia juga adalah
manusia sejati. Sebagai manusia, Ia terbatas dalam hal kehadiran-
Nya pada satu tempat di suatu saat. Dengan kehadiran atau
kedatangan Roh Kudus, Ia tidak dapat dibatasi oleh ruang dan
waktu dan juga dalam pekerjaan-Nya.
Roh Kudus adalah sesungguhnya Roh Allah dan juga Roh Yesus
Kristus dan dengan demikian Ia adalah Allah itu sendiri. Karena
memang Allah adalah Roh adanya. Silakan Anda mengamati dan
menafsirkan Yoh. 4:24. Roh Kudus memiliki semua ciri keilahian
sama seperti yang dimiliki oleh Allah, yakni Mahahadir,
Mahatahu, dan Mahakuasa. Silakan Anda mengamati dan
menafsirkan l Kor. 2:10-16; Luk. 1:35; Kis. 1:8. Karena itu, kalau
kita menyembah Allah, sesungguhnya kita menyembah Allah
yang menyatakan diri sebagai Bapa Pencipta, Yesus Penyelamat,
dan Roh Kudus Pembaharu dan Penolong.
Walaupun Roh Kudus tidak dapat kita batasi pekerjaan-Nya
dalam dunia ini, dalam kesempatan ini kita akan membatasi
pembahasan kita tentang pekerjaan-Nya di dalam kehidupan
orang beriman dan persekutuan orang- orang beriman yang kita
sebut Gereja. Memang membatasi peranan Roh Kudus sebagai
Pembaharu dan Penolong juga tidak tepat, karena Ia terlibat
bersama Bapa dalam karya Penciptaan dan terlibat bersama
Penyelamatan. Akan tetapi, dua peranan itu sangatlah menonjol
dalam Perjanjian Baru. Marilah kita melihat peranan tersebut
secara lebih mendalam.
Bagaimanakah karya Allah di dalam Roh Kudus yang
memperbaharui? Pertama-tama kita harus akui bahwa kita
menjadi orang percaya karena karya pembaharuan-Nya. Sebagai
orang berdosa, kita telah mati secara rohani. Namun oleh
pekerjaan Roh Kudus, kita mengalami kelahiran kembali atau
kelahiran baru secara rohani. Silakan Anda mengamati dan
menafsirkan Yoh. 3:5-7. Hal ini memungkinkan kita menjadi
orang beriman kepada Allah di dalam Yesus Kristus sebagai
Tuhan dan Juruselamat manusia. Bandingkan juga dengan
peristiwa Pentakosta setelah khotbah Petrus, ada ribuan orang
menjadi percaya dan dibaptis (Kis. 2).
Pembaharuan itu tidak hanya menyangkut kepercayaan kita,
tetapi menyangkut juga sifat dan tabiat kita. Di dalam Kristus kita
menjadi ciptaan baru. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan
2 Kor.5:17. Sebagai ciptaan baru, yang lama telah lenyap dan
yang baru telah terbit, termasuk sifat atau watak kita. Itulah
sebabnya Paulus menekankan bahwa kalau kita hidup oleh Roh,
kita tidak akan menuruti keinginan daging. Silakan Anda
mengamati dan menafsirkan Gal. 5:16. Sebagai ganti perbuatan
daging (Gal. 5:19-21), kita akan menghasilkan buah Roh yakni
“kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan,
kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal.
5:22-23). Silakan Anda mengamati diri Anda sendiri buah Roh
apa saja yang telah ada dalam diri Anda! Sifat atau ciri-ciri ini
adalah buah atau karya Roh Kudus dalam kehidupan orang
percaya. Walaupun demikian, kita harus mengatakan bahwa
karya Roh Kudus ini merupakan suatu proses yang tidak sekali
jadi, karena kita masih juga berperang melawan kemanusiaan kita
yang lama yang dikuasai oleh keinginan daging.
Karya pembaharuan Allah tidak saja bagi orang percaya secara
individu, melainkan juga bagi persekutuan orang-orang percaya
yang kita namakan Gereja. Oleh kuasa dan karya Roh Kudus,
terbentuklah suatu persekutuan orang-orang percaya yang tekun
dalam persekutuan, bersaksi dan melayani dalam kasih
persaudaraan. Karya pembaharuan Roh Kudus memungkinkan
adanya suatu persekutuan yang baru, yang setia dan tekun
melaksanakan tugas panggilannya untuk bersaksi dan melayani.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kis.2:41-47. Jadi,
ketekunan mereka dalam persekutuan mencakup juga dimensi
kehidupan rohaniah, yakni untuk berdoa dan melaksanakan
sakramen perjamuan, juga dalam memperdalam pengetahuan dan
pemahaman mereka akan pengajaran para rasul. Mereka juga
bertekun dalam pelayanan kasih kepada sesamanya yang
membutuhkan.
Selanjutnya, dalam seluruh Kisah Para Rasul kita membaca
bagaimana oleh pimpinan Roh Kudus, bukan saja para rasul
tetapi juga persekutuan orang percaya bertekun dalam kesaksian
mereka, baik melalui kata-kata maupun perbuatan nyata,
sehingga jumlah orang percaya terus bertambah. Dengan
menggambarkan peranan Roh Kudus yang membaharui, baik
orang percaya secara individu maupun secara bersama-sama
sebagai gereja, kita sesungguhnya telah menunjukkan bagaimana
Roh Kudus merupakan penolong yang dijanjikan oleh Yesus
Kristus. Roh Kudus menolong kita untuk membuka mata rohani
kita sehingga kita dapat percaya kepada misteri kasih Allah
dalam Yesus Kristus yang menyelamatkan, menolong kita untuk
mengubah sifat-sifat kita sesuai dengan kehendak-Nya, tetapi
juga menolong Gereja untuk setia dan mampu melaksanakan
tugas panggilannya untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani.
Akan tetapi, kita juga dapat berbicara mengenai pertolongan-Nya
dalam bentuk-bentuk yang lain. Misalnya: menghibur di kala
duka, memberi kekuatan di kala menghadapi penganiayaan,
menyatakan kebenaran Allah, menolong kita untuk berdoa
dengan benar, dan sebagainya. Silakan Anda mengamati dan
mendaftar pertolongan-Nya yang lain dalam kehidupan Anda!
Jadi, ketika kita berdoa kepada Allah untuk memohon
pertolongan-Nya, sesungguhnya kita mengharapkan pertolongan
Allah melalui Roh Kudus.
Pada akhirnya, kita harus menyebut satu hal lagi tentang peranan
Roh Kudus yang membaharui. Setelah kenaikan Yesus ke surga
dan kemudian turunlah Roh Kudus, sesungguhnya sejarah dunia
telah memasuki suatu era baru yakni era Roh Kudus yang
mencapai puncaknya ketika Yesus datang untuk kedua kalinya.
Pada saat itulah karya Allah disempurnakan, Ia akan membaharui
segala sesuatu (lih. Why. 21:5-6). Dalam ayat ini, Tuhan
mengatakan: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!
”Kemudian dilanjutkan dengan mengatakan “Aku adalah Alfa
dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir.” Allah yang dipercayai
oleh umat Kristen, adalah Allah yang sejak awal menjadi
Pencipta segala sesuatu dan memeliharanya tidak saja dengan
hukum alam tetapi dengan intervensi langsung, dan adalah Allah
yang sama yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus. Allah ini
adalah juga yang membaharui hidup manusia, baik secara
individu maupun bersama-sama sebagai orang percaya, dan pada
akhirnya membaharui segala sesuatu pada akhir sejarah. Ia akan
menghadirkan langit dan bumi yang baru. Ia akan
menyempurnakan pemerintahan-Nya sebagai Raja yang
menghadirkan kasih, damai sejahtera, keadilan, kebebasan,
keutuhan, kesamaderajatan, dan lain-lain.

Ada teolog yang mengatakan bahwa “now more than ever it is


vital that we know what we believe, because what we believe
determines how we live” (Donald English 1982). Kalau benar
seperti pernyataan ini, bahwa apa yang kita percayai menentukan
bagaimana kita menjalani hidup kita, pertanyaan yang penting
bagi kita bukan hanya apa pandangan Alkitab tentang Allah,
melainkan bagaimana kepercayaan kita kepada Allah menentukan
bagaimana kita menjalani hidup kita secara praktis. Karena itu,
pada bagian ini kita akan menanya atau bertanya secara kritis, apa
implikasi kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta,
Penyelamat dan Pembaharu bagi kehidupan praktis sehari-hari.
Silakan Anda menanya secara kritis dan sebebas-bebasnya yang
berkenaan dengan implikasi kepercayaan kepada Allah sebagai
Pencipta, Penyelamat dan Pembaharu ciptaan- Nya.

36
1. Implikasi Kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta

Dalam rangka menanya secara kritis apa implikasi kepercayaan


kepada Tuhan sebagai Pencipta, ada baiknya kita menarik
beberapa implikasi dari kepercayaan terhadap Allah sebagai
Pencipta dalam kaitannya dengan kehidupan kita sebagai orang
percaya.

Pertama, bahwa sebagai Pencipta, Allah adalah sumber


kehidupan dan keberadaan kita. Karena itu, hidup kita
sepenuhnya bergantung kepada Allah, dan kita adalah milik Allah
Sang Pencipta. Ini berarti juga bahwa Allah berdaulat atas hidup
dan tujuan hidup kita. Hanya Allah yang berhak menentukan
untuk apa kita hidup di dunia, dan kita tak akan menemukan
kedamaian sampai kita menemukan Allah sumber dan tujuan
kehidupan kita. Sebagai milik Allah, adalah kewajiban kita untuk
memuliakan Allah dengan hidup kita.

Silakan Anda mengamati dan menafsirkan 1 Kor. 6:20. Coba


baca baik-baik bagian Alkitab ini dan diskusikan apa hubungan
kepemilikan Allah atas hidup kita dengan bagaimana kita
menjalani hidup kita. Ajukanlah pertanyaan kritis Anda yang
bisa timbul setelah membaca 1 Kor. 6:20! Jelaskanlah apa
alasan tuntutan seperti itu? Apakah tuntutan seperti itu wajar?
Bagaimana pendapat Anda?

Allah tak hanya berdaulat atas hidup kita tetapi atas tujuan hidup
kita. Manusia adalah makhluk yang mencari tujuan dan makna
hidup, dan kita hanya dapat menemukan tujuan hidup kita dalam
Tuhan yang menciptakan kita. Tujuan hidup kita tak lain adalah
untuk memuliakan Allah (lih. Rm. 11:36). Di atas telah dibahas
bahwa agama berfungsi sebagai pemberi identitas, dan identitas
adalah sumber makna. Jadi, kalau kita hendak menemukan apa
makna hidup kita, di dalam Tuhan, pencipta yang berdaulat
menentukan tujuan hidup kita itulah, kita memeroleh makna dan
tujuan hidup kita. Hal ini penting ketika kita membahas masalah
karakter nanti. Untuk apa kita hidup berkarakter?

Kedua, pengakuan dan kepercayaan akan kemahakuasaan dan


kebesaran Allah mendorong kita untuk mengagumi kebesaran
penciptaan Tuhan. Hal ini mendorong kita kepada sikap
bersyukur dan beribadah kepada Tuhan. Perasaan kagum, heran
dan syukur mendorong kita bukan saja untuk memuji Tuhan
tetapi juga untuk selalu berdoa dan memohon pertolongan-Nya.
Semua ini menjadi dasar dari kehidupan ibadah kita sebagai
orang beriman.
Anda bisa mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kritis, mengapa
agama harus memiliki ritus atau ibadah. Kekristenan juga tidak
sepi dari ibadah sebagaimana juga agama-agama yang lain. Apa
dasar dan tujuan dari ibadah kristiani?

37
Ketiga, karena Allah Pencipta adalah juga pribadi, manusia
terpanggil untuk menjawab penyataan diri Allah dengan
memasuki hubungan yang bersifat pribadi dengan-Nya. Jadi,
pengetahuan saja tidak cukup, melainkan dibutuhkan hubungan
pribadi. Hubungan ini dipelihara dan dikembangkan melalui
ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Kita terpanggil bukan saja
untuk mengetahui siapa Dia, melainkan untuk mengenal-Nya dan
mengenal dalam arti alkitabiah berarti masuk dalam hubungan
pribadi dengan-Nya (Groome 1980, 141).

Injil Yohanes dan surat-suratnya secara eksplisit menegaskan


bahwa “for John to know the Lord is to love, obey and believe”
(lih. 1 Yohanes 4:8). Coba baca baik-baik bagian Alkitab ini dan
tariklah kesimpulan Anda sendiri apa hubungan mengenal Allah
dan mengasihi Allah! Bandingkan juga 1 Yohanes 2:3, dan
jelaskan hubungan antara mengenal dan mentaati perintah-
perintah-Nya. Silakan Anda menanya secara kritis berkaitan
dengan mengenal Allah berarti mengasihi, mentaati dan percaya
kepada Allah!

2. Implikasi Kepercayaan kepada Allah sebagai


Penyelamat bagi Kehidupan Praktis
Apa implikasinya bila kita percaya kepada Allah sebagai Sang
Penyelamat dalam Yesus Kristus? Hal ini perlu kita renungkan
oleh karena kepercayaan Kristen sebenarnya bertumpu pada
kepercayaan akan Tuhan Yesus dan mengikutiteladan-Nya.
Sumber: http://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F
%2Fgodsbreath.

iles.wordpress.com%2F2010%2F05%2Fimage_of_god_love.

38
Pertama, kepercayaan Kristen kepada Allah tidak terbatas kepada
Allah yang Mahakuasa, Agung, dan Hebat yang wajib kita
sembah tetapi juga kepada Allah sebagai Penyelamat menunjuk
kepada hakikat Allah yang adalah kasih. Allah tidak hanya
mengasihi tetapi Ia adalah kasih itu sendiri (lih. 1 Yohanes 4:8b).
Bacalah dengan teliti bagian Alkitab 1 Yoh. 4: 7-8 dan
bertanyalah kepada diri sendiri apa implikasinya bila seseorang
percaya kepada Allah yang adalah kasih. Percaya adalah suatu
respons manusia, dan percaya kepada Allah yang adalah kasih
berarti merespons kasih Allah dengan jalan mengasihi Allah
melalui kasih kita terhadap sesama manusia. Silakan Anda
menanya secara kritis dan sebebas-bebasnya mengenai Allah
adalah kasih!

Kedua, kita percaya kepada Allah yang mengasihi manusia, yang


berinisiatif mencari dan mendatangi manusia. Oleh karena kasih-
Nya, yang persuasif (memberikan dorongan, tidak memaksa),
kepercayaan kita merupakan jawaban terhadap Allah yang
mengasihi kita. Jawaban terhadap kasih Allah tak bisa lain adalah
kasih kepada Allah melalui kasih kepada sesama dan alam
ciptaan-Nya. Kita tidak hanya percaya akan Allah yang jauh di
sana, tetapi Allah yang hadir dan dekat dengan manusia, dan
manusia dapat memasuki hubungan yang intim dengan-Nya
dalam Kristus yang diberi nama Imanuel yang berarti Allah
beserta kita. Pengalaman inilah yang memungkinkan para murid
dapat bertahan meskipun menghadapi berbagai tantangan dan
kesulitan hidup. Kita perlu menjaga keseimbangan antara
gambaran tentang Allah yang transenden dan Allah yang berada
di antara kita dan bersama kita dalam arti imanensi-Nya. Bila kita
hanya menekankan dimensi transendental, kita bisa teralienasi.
Bila kita hanya menekankan imanensi-Nya, kadang bisa berakibat
bahwa Allah sama dengan ciptaan-ciptaan lain.

Ketiga, bila kita mengatakan percaya kepada Allah sebagai Sang


Penyelamat dalam Yesus Kristus, kepercayaan ini harus dipahami
bahwa keselamatan adalah karya Allah, anugerah Allah dan
bukan hasil karya manusia yang dicapai karena prestasinya. Kita
boleh mengatakan bahwa dasar keselamatan adalah anugerah
Allah sedangkan saluran keselamatan adalah iman yang
menyelamatkan. Iman bukan semata-mata pengakuan akal kita
bahwa Allah ada dan menyelamatkan, melainkan bahwa kita
menerima-Nya sebagai pengganti kita dalam menanggung
hukuman dosa kita. Realisasi (wujud nyata) keselamatan itu
adalah suatu hubungan yang diubahkan dan hidup yang
diperbaharui. Artinya, kita memasuki suatu kualitas hidup baru,
hidup dalam hubungan dan persekutuan yang benar dengan
Allah, yang mendapat ekspresi dalam kedekatan hubungan kita
dengan sesama, dan tanggung
39
jawab memelihara alam semesta. Silakan Anda menanya secara
kritis dan sebebas-bebasnya mengenai Allah Sang Penyelamat
dalam Yesus Kristus!

Kekristenan menolak pemisahan antara ibadah kepada Allah


melalui ritus-ritus keagamaan dengan sikap terhadap sesama
dalam arti berlaku adil (lih. Mi. 6: 6-8, Yak. 1:26-27). Bacalah
kedua perikop tersebut dengan teliti dan diskusikan maknanya
khususnya hubungan ibadah dengan perbuatan baik: berlaku
adil dan memerhatikan para janda dan yatim piatu! Ajukanlah
pertanyaan-pertanyaan kritis yang timbul setelah membaca Mi.
6:6-8 dan Yak. 1:26-27!

Ekspresi keselamatan adalah suatu pengalaman penebusan dari


hukuman dosa, penebusan dari hidup tanpa makna ke dalam
hidup yang bermakna. Meskipun Yesus adalah manusia sejati, Ia
juga Allah sejati. Karena itu, dalam ibadah, baik melalui doa,
puji-pujian, kita dapat mengarahkannya kepada Allah Sang Bapa
Pencipta, tetapi juga kepada Yesus Sang Anak Penyelamat. Pada
dasarnya, sasaran kita adalah kepada Allah yang satu, yang
menyatakan Diri baik sebagai Bapa Pencipta maupun sebagai
Anak Sang Penyelamat.
3. Implikasi Kepercayaan bahwa Allah adalah
Pembaharu dalam Roh Kudus

Apakah implikasinya bila kita percaya kepada Allah yang


menyatakan diri dalam Roh Kudus sebagaimana digambarkan di
atas? Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan kritis Anda dari implikasi
kepercayaan bahwa Allah adalah Pembaharu dalam Roh Kudus!
Berikut ini kita hanya akan mengemukakan beberapa implikasi
yang cukup penting.

Pertama, kepercayaan kepada Allah yang menyatakan diri dalam


Roh Kudus berarti bahwa manusia percaya kepada kuasa Allah
yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, dan dapat bekerja
dalam diri manusia untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan.
Pembaharuan itu dapat mencakup iman atau kepercayaan
seseorang, misalnya, dari tidak percaya menjadi percaya akan
Allah yang Mahakasih dalam Yesus Kristus. Suatu perubahan
dan pembaharuan akan orientasi hidup, prioritas kehidupan dan
sebagainya.

Kedua, kuasa Allah melalui Roh Kudus juga dapat


memperbaharui orientasi nilai dan sikap hidup etis seseorang.
Sebagai contoh, dari kecenderungan hidup yang menuruti
keinginan daging menuju kepada kecenderungan hidup yang
menuruti Roh Kudus, sehingga menghasilkan buah Roh seperti
kasih, damai sejahtera, sukacita, kesabaran, dan sebagainya (lih.
Gal. 5:22-23). Bacalah dengan teliti ayat tersebut serta
bertanyalah pada diri sendiri secara kritis

40
apa implikasi bila orang percaya bahwa Allah membaharui hidup
manusia melalui Roh Kudus-Nya!

Ketiga, kuasa Allah yang bekerja melalui Roh Kudus dapat


membawa pembaharuan di dalam kehidupan persekutuan orang-
orang percaya sehingga mereka dituntun kepada kebenaran, dan
dimungkinkan untuk tekun dan setia mengemban tugas
panggilannya di dunia ini untuk bersekutu, bersaksi, dan
melayani. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yoh. 16:1
dst.

Keempat, kepercayaan akan karya Allah di dalam Roh Kudus


yang akan memperbaharui segala sesuatu kelak, memberi dasar
kepada kehidupan yang berpengharapan bagi orang-orang
percaya. Pengharapan akan penyempurnaan pemerintahan Allah
sebagai Raja, di mana ada nilai-nilai Kerajaan Allah.
Pengharapan ini tidak membuat manusia menjadi pasif menunggu
pembaruan dan penyempurnaan melainkan bertekun untuk
mewujudkan pengharapannya kini dan di sini yang mencakup
juga pembaruan tatanan sosial politik, ekonomi, menjadi lebih
adil seperti yang diharapkan, yakni perjuangan menghadirkan
masa depan yang diharapkan dalam kehidupan kini dan di sini.
Inilah yang disebut oleh ahli- ahli sosiologi sebagai utopia yang
konkret, yang tidak hanya tinggal diam mengharapkan apa
diharapkan terjadi begitu saja. Inilah yang disebut utopia yang
abstrak oleh Ernst Bloch (Baum 1975).

Kepercayaan kepada Allah seperti digambarkan di atas,


menantang orang percaya untuk menjalani hidupnya sebagai
respons kepada Kerajaan Allah, yakni respons kepada Allah yang
memerintah sebagai Raja. Hal ini akan menuntun kita kepada
dasar-dasar kepercayaan berikutnya, yakni tentang siapakah
manusia?

Pada bagian ini, kita diajak untuk menoleh ke belakang untuk


memahami bagaimana para teolog Kristen menggumuli dan
memperdebatkan beberapa isu sekitar hakikat dan sifat Allah.
Tujuannya terutama untuk memahami bahwa isu- isu yang pada
masa kini diperdebatkan itu bukanlah hal baru, dan memahami
bagaimana para pendahulu mencoba memecahkan hal-hal yang
sulit dan rumit.

Ajaran yang paling sulit dimengerti dan dijelaskan adalah ajaran


tentang Trinitas. Suatu ajaran yang sudah menjadi pokok
perdebatan sejak awal
41
kehadiran kekristenan. Sesuatu yang tidak bisa juga dihindari
karena memang Alkitab sebagai dasar kepercayaan Kristen
menggambarkan Allah dengan berbagai cara. Dari aktivitas-Nya
kita telah menyebutkan bahwa Allah mencipta (dalam Allah
Bapa), menyelamatkan (dalam Yesus Kristus) dan membaharui
(melalui Roh Kudus-Nya). Hal ni saja sudah menunjukkan
nuansa Trinitas, ketiga macam penyataan diri Allah yang adalah
tunggal atau satu. Menurut Alister E. McGrath “the Trinity is a
remarkably difficult area of Christian Theology” (McGrath 1994,
257). Ia juga mencoba mengemukakan 4 model pendekatan
terhadap isu ini baik yang klasik maupun modern. Yang paling
penting dari pendekatan klasik adalah pendekatan Agustinus
sedangkan dari model modern adalah Karl Barth.

Kita hanya akan membahas dua pendapat yakni Agustinus dan


Barth. Silakan Anda mengumpulkan informasi mengenai
kelebihan dan kelemahan pandangan Agustinus dan Barth dari
buku-buku teologi atau sumber belajar yang lain.

1. Agustinus

Menurut McGrath, “Agustinus mengambil banyak unsur dari


konsensus yang sedang muncul tentang Trinitas (Tritunggal). Hal
ini dapat dilihat dalam penolakannya yang keras atas bentuk
subordinasisme apapun (misalnya yang menganggap Sang Anak
dan Roh Kudus sebagai inferior/lebih rendah dari Sang Bapa di
dalam keallahan). Agustinus berpendapat bahwa tindakan dari
ketiga unsurTrinitas harus dipahami di belakang tindakan dari
setiap unsur. Misalnya, manusia diciptakan bukan saja menurut
imago dei (gambar Allah) melainkan juga menurut gambar
Trinitas.

Perbedaan penting dibuat antara keallahan yang kekal dari Sang


Anak dan Roh, dan tempatnya dalam urusan keselamatan.
Meskipun Sang Anak dan Roh kelihatannya lebih kemudian dari
sang Bapa, penilaian ini hanya berlaku dalam peranan proses
penyelamatan. Dan meskipun Sang Anak dan Roh tampak lebih
rendah terhadap Sang Bapa dalam sejarah, dalam kekekalan
semuanya sederajat.

Menurut McGrath, elemen yang paling khusus dari pendekatan


Agustinus terhadap Tritunggal adalah pemahamannya tentang
pribadi dan tempat Roh Kudus. Menurutnya, Sang anak
diidentifikasikan dengan “kebijaksanaan” (wisdom), dan Roh
Kudus dengan “Kasih”. Walaupun ia mengakui bahwa ia tak
memiliki dasar alkitabiah terhadap identifikasi ini; ia
menganggap hal itu sebagai kesimpulan yang masuk akal dari
bahan-bahan Alkitab. “Roh

42
membuat kita tinggal dalam Tuhan dan Tuhan dalam kita.”
Identifikasi yang eksplisit dari Roh sebagai dasar kesatuan dari
Allah dan orang-orang percaya itu penting sebagaimana ia
menunjuk kepada ide Agustinus tentang Roh sebagai pemberi
komunitas/persekutuan. Roh adalah karunia ilahi yang mengikat
kita dengan Allah. Karenanya, ada hubungan dalam Allah
Tritunggal tersebut. Singkatnya, Agustinus ingin mengatakan
bahwa “Roh Kudus membuat kita tinggal dalam Allah, dan Allah
dalam kita. Tetapi, itu adalah akibat dari kasih. Karena Roh
Kudus adalah Allah yang adalah kasih”.

Salah satu ciri yang paling khas dari pendekatan Agustinus


terhadap Trinitas adalah upaya mengembangkan “analogi-analogi
psikologis. ”Ia berpendapat bahwa dalam menciptakan dunia dan
isinya, Allah telah meninggalkan jejak yang khas dalam ciptaan-
Nya. Jejak itu ada pada manusia sebagai ciptaan tertinggi. Oleh
karena itu, kita perlu berpaling kepada kemanusiaan dalam upaya
kita mencari gambaran tentang Allah.

Agustinus mengambil langkah lebih jauh yang sangat


disayangkan oleh banyak pihak. Atas dasar pandangan dunia
yang dipengaruhi oleh Neo-Platonis, ia kemudian mengatakan
bahwa “pikiran (mind) manusia adalah puncak dari
kemanusiaan.” Karena itu, terhadap pikiran manusia individual,
dan ke arah itulah seharusnya para teolog berpaling dalam
mencari penjelasan tentang misteri Tritunggal dalam penciptaan.
Individualisme yang radikal dari pendekatan ini, digabungkan
dengan intelektualisme yang nyata, berarti bahwa ia memilih
jalan untuk menemukan Trinitas dalam dunia mental individu-
individu, daripada misalnya dalam hubungan-hubungan personal.

2. Karl Barth

Kini kita beralih ke contoh modern tentang penjelasan dari


misteri Trinitas. Karl Barth mengemukakan pandangannya
sebagai reaksi terhadap rivalnya Schleirmacher. Bagi
Schleirmacher, Trinitas adalah kata terakhir yang dapat
diucapkan tentang Allah, sedangkan bagi Barth justru Trinitas
adalah kata yang harus dibicarakan sebelum kita bicara tentang
penyataan sebagai suatu kemungkinan (McGrath 1994, 261).

Intisari dari pendapat Barth bisa kita sajikan dengan lebih


sederhana walaupun sulit dipahami. Kenyataan bahwa penyataan
tersebut membutuhkan suatu penjelasan. Bagi Barth, hal ini
mengandung arti bahwa manusia adalah pasif dalam proses
penerimaan penyataan. Proses penyataan dari awal sampai akhir
ada di bawah kekuasaan Allah sebagai Tuhan. Jadi, untuk
terwujud penyataan, Allah harus mampu mengakibatkan
penyataan diri
43
kepada manusia berdosa, walaupun mereka berdosa. Menurut
Barth, ada hubungan yang langsung antara yang menyatakan diri
dan penyataan itu. Jika Allah menyatakan diri sebagai Tuhan,
Allah mestinya adalah Tuhan lebih dahulu dalam dirinya.
Penyataan, menurut Barth, adalah pengulangan (reiteration) pada
waktu tertentu tentang apa yang sesungguhnya sudah ada dalam
kekekalan.

Karena itu, ada hubungan yang langsung antara dua hal berikut.
Pertama, Allah yang menyatakan diri. Kedua, penyataan diri
sendiri dari Allah. Dalam bahasa teologi Trinitas hal ini berarti
Sang Bapa dinyatakan di dalam sang Anak. Lalu bagaimana
dengan Sang Roh Kudus? Di sinilah kita berhadapan dengan
aspek yang paling sulit dari doktrin Barth tentang
Trinitas/Tritunggal: ide tentang “revealedness” (hal dinyatakan).
Terjemahan dari konsep revealedness adalah sulit. Mungkin
harus menggunakan ilustrasi yang tidak dipakai oleh Barth
sendiri. Konsep tadi bisa dijelaskan dengan contoh sebagai
berikut. Bayangkanlah ada dua orang berjalan di luar Yerusalem
pada sekitar tahun 30 AD (sesudah Masehi). Mereka melihat tiga
orang yang disalibkan, dan mereka berhenti sejenak untuk
memandang ketiga orang itu. Orang pertama menunjuk kepada
sang tersalib yang di tengah, dan berkata: “ada seorang pelaku
kriminal yang sama yang disalibkan.” Namun orang kedua
menunjuk kepada tersalib yang di tengah dan berkata: “ada Anak
Allah yang rela mati untukku.” Jadi, ia mengatakan bahwa Yesus
Kristus adalah penyataan diri Allah tak ada artinya apa-apa pada
dirinya sendiri; harus ada semacam cara dengan mana Yesus
diakui sebagai penyataan diri Allah. Pengakuan akan penyataan
sebagai penyataan yang membentuk “ide revealedness.”

Bagaimanakah pemahaman ini dicapai? Barth sangat jelas dalam


hal ini: kemanusiaan yang berdosa (orang berdosa) tak mampu
mencapai pemahaman itu tanpa bantuan. Barth sama sekali tak
memberi peluang bahwa ada peranan positif manusia dalam
menafsirkan penyataan, karena percaya bahwa hal ini sangat
tergantung kepada penyataan ilahi terhadap teori-teori
pengetahuan manusia. Interpretasi penyataan sebagai penyataan
haruslah pada dirinya merupakan karya Allah atau lebih akurat
lagi adalah pekerjaan Roh Kudus. Manusia tidak mempunyai
kemampuan mendengar Firman Tuhan, dan karenanya
mendengarkan firman; mendengar dan kapasitas untuk
mendengar adalah pemberian dalam satu tindakan oleh Roh
Kudus.
44
Bagaimanakah Anda mencoba memahami penjelasan dua teolog
besar yang mewakili zaman klasik dan modern? Apakah
penjelasan mereka dapat dipahami secara tuntas? Dari refleksi
kritis Anda, apakah yang dapat Anda simpulkan tentang doktrin
Allah Tritunggal? Silakan Anda mengumpulkan informasi yang
sebanyak-banyaknya mengenai doktrin Allah Tritunggal dari
buku-buku teologi dan sumber belajar yang lain.

Lebih jujur bila kita katakan bahwa kita tak seluruhnya bisa
memahami misteri Tritunggal itu, meskipun sudah ada berbagai
upaya dilakukan oleh para teolog dari dulu sampai sekarang.
Bukankah sesungguhnya Allah walau sudah menyatakan diri
tetap saja merupakan misteri yang tak terselami dan tak tuntas
untuk dimengerti.

Bila ada orang percaya kepada Allah yang menyatakan diri dalam
Yesus Kristus, menurut Barth hal itu karena dinyatakan oleh
Allah sendiri melalui Roh Kudus karena pada dasarnya manusia
berdosa tak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal itu.
Segala bentuk penjelasan tentang Tritunggal tak akan memuaskan
rasio manusia apalagi dalam dunia yang sangat mengagungkan
penalaran. Apa yang kita butuhkan adalah iman yang bukan
bertentangan dengan rasio melainkan iman yang melampaui rasio
kita. Setiap orang bukan saja berkewajiban memahami apa yang
dipercayai, tetapi itu juga merupakan hak untuk menjelaskan apa
yang dipercayai. Silakan Anda merumuskan dengan cara sendiri
bagaimana ajaran tentang Tritunggal itu Anda mengerti! Yang
jelas: Allah menyatakan diri-Nya secara amat kaya, baik sebagai
Bapa pencipta dan pemelihara, Anak sebagai penyelamat, dan
Roh Kudus sebagai pembaharu, dan semuanya menunjuk kepada
Allah yang sama dan satu.

Fenomena agama dinilai atau diukur dari ibadah atau ritual


keagamaan apakah memadai? Silakan Anda mengemukakan
argumen Anda yang menunjukkan bahwa agama tidak memadai
bila hanya bila diukur dari ritual keagamaan. Bagaimana
pemahaman Anda sebagai orang percaya terhadap kecenderungan
pemisahan kedua hal ini?

Cobalah Anda membangun argumen sendiri mengapa pemisaan


antara ibadah agamawi tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan
dari sikap dan tanggung jawab moral/etis kita baik terhadap
sesama, diri sendiri, dan alam ciptaan Tuhan! Cobalah cari dasar-
dasar Alkitab untuk membangun argumen Anda!
45
Pengalaman keberagamaan adalah sesuatu yang sangat pribadi,
meskipun praktik keberagamaan bisa saja bersifat komunal. Oleh
sebab itu, Anda dipersilakan untuk mengomunikasikan atau
mendeskripsikan dengan bahasa dan kata-kata sendiri mengena
kepercayaan kepada Allah sebagai dialami dan dihayati dalam
pengalaman keberagamaan Anda. Silakan mengomunikasikan
beberapa pengalaman keberagamaan Anda kepada rekan-rekan
sekelas. Akan tetapi apa yang dipahami dan dihayati tentang
Allah apalagi Allah Tritunggal bukanlah sesuatu yang mudah
untuk dideskripsikan dengan bahasa dan kata-kata kepada orang
lain.

Agama selalu berurusan dengan yang transenden atau dasar


keberadaan yang mutlak. Karena itu, semua agama mempunyai
konsepnya sendiri-sendiri tentang yang transenden atau dasar
keberadaan yang mutlak itu. Dalam kekristenan, yang transenden
itu adalah Allah atau Tuhan yang menyatakan diri secara sangat
kaya. Misalnya, Allah Sang Pencipta yang sering disebut Bapa
sebagaimana diajarkan dalam Doa Bapa Kami oleh Tuhan Yesus.
Allah yang kita percayai adalah juga Allah Penyelamat dalam
Yesus Kristus. Rupanya kepercayaan ini mempunyai tempat yang
sentral dalam kepercayaan Kristen. Itulah sebabnya dalam
Pengakuan Iman Rasuli, Ia mempunyai tempat yang utama. Allah
Penyelamat menyatakan hakikat-Nya sebagai kasih yang
berkorban, dengan menjelma menjadi manusia untuk dapat
menanggung hukuman dosa manusia. Karena itu, iman sebagai
jawaban terhadap kasih Allah memanggil manusia untuk
mengasihi Allah melalui kasih kepada sesama dan makhluk
ciptaan-Nya. Keselamatan yang dikerjakan-Nya pada hakikatnya
membawa manusia kepada hubungan yang baru dengan Allah
dan persekutuan yang benar dengan-Nya, tetapi juga pembebasan
dari segala yang menghalangi kita menghayati kemanusiaan kita
secara penuh. Keselamatan merupakan pengalaman masa kini
tetapi juga masa yang akan datang. Keselamatan juga sangat
komprehensif dan holistik artinya tidak hanya bersifat spiritual,
melainkan juga kesejahteraan manusia kini dan di sini. Berita
Injil yang diberitakan tidak hanya untuk keselamatan jiwa tetapi
juga pengalaman hidup yang bebas dari segala bentuk penindasan
dan dominasi. Injil adalah kabar baik yang menyeluruh untuk
manusia seutuhnya. Kita memberitakan Injil yang utuh untuk
manusia yang utuh juga. Kita menolak

46
spiritualisasi keselamatan dalam arti bahwa keselamatan yang
dikerjakan Kristus hanya terbatas pada keselamatan jiwa, maupun
pengertian bahwa keselamatan adalah pengalaman nanti di
seberang kematian.

Allah juga menyatakan diri sebagai Roh yang membaharui semua


ciptaan dan juga setiap individu yang percaya agar dapat
menjalani hidup kekiniannya dengan sukacita, damai sejahtera,
kasih, keadilan dan sebagainya sebagai dasar dari karakter
kristianinya. Selain itu, janji untuk membaharui semua ciptaan
pada suatu kali kelak menjadi dasar pengharapan yang
merupakan daya penggerak sejarah untuk bekerjakeras
mewujudkan apa yang diharapkan dalam kekinian meskipun tak
secara sempurna.

Carilah sejumlah ungkapan dalam Alkitab yang berbeda-beda


tentang bagaimana gambaran yang diberikan tentang Allah! Dari
situ buatlah kesimpulan sendiri tentang bagaimana Anda
menyapa Allah dalam doa, ibadah, dan puji- pujian!
Presentasikan di depan kelas!
47
BAB III

MANUSIA MENURUT AJARAN KRISTEN

Pembicaraan tentang manusia adalah hal yang sangat pokok dan


sentral dalam kekristenan karena manusia ada di pusat kehidupan
beragamadan pengambilan keputusan etis. Pembahasan tentang
manusia dari perspektif Kristen dapat menolong kita untuk
memahami berbagai aspek dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat maupundalam pengembangan ilmu dan teknologi
modern, termasuk berbagai permasalahan yang muncul dalam
kehidupan manusia.
Sumber: http://www.slideshare.net/ijalmustofa/1hakekat-manusia

Pertama-tama harus diakui bahwa pertanyaan “siapakah


manusia?” dalam arti apa hakikatnya “menantang setiap masa
atau abad.” Berbagai pihak apakah dia filsuf, teolog, biolog,
maupun sosiolog telah mencoba menjawab pertanyaan itu dan
masing-masing memberikan jawaban yang berbeda. Hal

48
itu sah-sah saja, karena memang setiap pihak berusaha memberi
jawaban dari perspektifnya masing-masing. Pada dasarnya
jawaban terhadap pertanyaan siapakah manusia akan membawa
dampak atau konsekuensi serius bagi berbagai aspek penting
terutama yang berkaitan dengan sikap dan perlakuan kita
terhadap sesama maupun diri sendiri. Misalnya, bila manusia
dianggap sebagai “makhluk ekonomis” yang menghasilkan
barang dan jasa, nilai manusia tergantung pada produktivitasnya.
Begitu pula, bila manusia diangap sebagai makhluk biologis,
perhatian utamanya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang bersifat biologis dan kebutuhan-kebutuhan lain
dianggap tidak ada atau tidak penting.

Agama Kristen pun melalui para teolognya sepanjang abad telah


juga memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang hakikat
manusia. Ini tidak berarti bahwa pandangan para teolog Kristen
bersifat seragam atau monolitik. Ada perbedaan-perbedaan
misalnya saja tentang arti sesungguhnya dari ungkapan Alkitab,
bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (imago Dei).

Pada bab III ini, Anda diharapkan mencapai empat belas tujuan
pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai
adalah (i) bersyukur kepada Tuhan yang telah mencipta,
menyelamatkan, memelihara dan membarui ciptaan-Nya; (ii)
bersikap rendah hati dan bergantung kepada Tuhan yang
diwujudkan antara lain dalam ibadah yang teratur; (iii)
menumbuhkembangkan sikap sabar, tangguh dan pembawa
damai; (iv) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam
kepelbagaian agama, suku dan budaya;(v) bersikap peduli
terhadap sesama manusia; (vi) bersikap jujur dan adil dalam
kehidupan bermasyarakat; (vii) menganalisis ajaran Alkitab
tentang manusia sebagai ciptaan Imago Dei dan makhluk religius;
(viii) menganalisis ajaran Alkitab tentang manusia sebagai
makhluk sosial, rasional dan berbudaya; (ix) menerangkan
dengan contoh bahwa manusia adalah makhluk etis/moral
berdasarkan ajaran Alkitab; (x) menganalisis arti dosa baik
personal dan sosial berdasarkan ajaran Kristen; (xi) menalar hasil
penelaahan ajaran Alkitab tentang manusia sebagai ciptaan
Imago Dei dan makhluk religius; (xii) menyajikan hasil
penelaahan ajaran Alkitab tentang manusia sebagai makhluk
sosial, rasional dan berbudaya; (xiii) menggunakan hasil
penelaahan ajaran Alkitab tentang manusia sebagai makhluk
etis/moral; dan (xiv) mengkreasi peta konseptual dan/atau
operasional tentang dimensi dosa yang bersifat personal dan
sosial menurut ajaran Alkitab.

49
Sebelum kita membahas beberapa aspek penting dari hakikat
manusia berdasarkan kesaksian Alkitab, ada baiknya kita melihat
beberapa pernyataan modern tentang siapakah manusia itu.
Silakan Anda mengamati beberapa pandangan filsuf abad ke-20
tentang manusia dari buku-buku filsafat dan sumber belajar yang
lain! Hal ini penting karena karena kita hidup dalam konteks
kemodernan dan pandangan-pandangan yang berkembang sedikit
banyak memengaruhi pandangan kepercayaan. Kita hanya akan
melihat beberapa saja yang relevan. McDonald dalam bukunya
The Christian View of Man menyebutkan beberapa pemikiran
modern yang penting yang relevan dengan pengkajian kita
(McDonald 1981, 115). Berbagai pandangan yang relevan adalah
sebagai berikut:

1. Manusia Komunis

Filsafat sosial dan politis komunis bersumber dari teori


antropologis Karl Marx (1818-1883). Pemahamannya mengenai
hakikat manusia, menempatkan manusia pada pusat
kepentingannya, dan karena itu berpendapat bahwa karena
manusia adalah ciptaan dirinya sendiri, hanya manusia yang
dapat menjawab kepada dirinya sendiri, dan mampu dengan
upaya sendiri menemukan tujuannya dengan kebebasan yang
absolut. Marx juga menerima pendapat Ludwig Feuerbach bahwa
“Allah orang Kristen hanya suatu refleksi fantastis, suatu
gambaran dalam cermin dari dirinya sendiri.” Karena itu Marx
percaya bahwa Allah adalah khayalan atau pemenuhan kebutuhan
manusia. Hanya dengan membersihkan diri sendiri dari
pengertian suatu hubungan dengan Allah, manusia mampu
mengaktualisasikan dan menjadi diri yang sesungguhnya. Silakan
Anda mengamati dan menilai pandangan Marx yang menyatakan
manusia adalah ciptaan dirinya sendiri.

Ada tiga ciri dari antropologi Marxist. Pertama, manusia sebagai


suatu produk alami (natural): karena tiada Tuhan, ditolak juga
pendapat bahwa manusia adalah ciptaan yang khusus. Alternatif
cerita asal kehidupan manusia ialah hipotesis Darwin mengenai
evolusi. Satu-satunya fakta adalah dunia materiil yang dipersepsi
oleh indra. Karena itu, pikiran adalah hasil produksi dari hal-hal
kebendaan, dan karenanya manusia adalah “a lump of thinking
matter” yang artinya bahwa manusia sekadar bongkahan bahan
yang berpikir. Secara esensial manusia adalah satu dengan alam.
Dalam proses evolusi, manusia tiba pada titik saat ia
membedakan dirinya dari dunia binatang karena manusia
memiliki kemampuan membuat peralatan dan menggunakannya
sebagai

50
organ tambahan untuk menguasai alam. Manusia dalam proses
sampai pada suatu titik saat mereka bisa mengatakan sesuatu satu
terhadap yang lainnya. Manusia tiba pada eksistensi sebagai
makhluk sosial tergantung pada kerja sosialnya. Silakan Anda
mengamati dan menilai pandangan Marx yang menyatakan
manusia adalah “a lump of thinking matter”!

Kedua, manusia sebagai ciptaannya sendiri yang bekerja. Dalam


istilah Marx, manusia adalah “homo faber” (pembuat).
Hakikatnya adalah untuk bekerja dan menjadi pencipta. Manusia
berkembang ketika ia mengubah tatanan alam dalam kerjasama
yang harmonis dengan spesies-spesies lainnya. Jadi bagi Marx,
kerja dianggap otonomi. Manusia adalah pekerja, dan karena itu,
nilai manusia juga tergantung pada produktivitasnya. Silakan
Anda mengamati dan menilai pandangan Marx yang menyatakan
bahwa manusia adalah “homo faber”!

Ketiga, manusia sebagai unit yang teralienasi. Ide alienasi adalah


tema yang terulang sejak Hegel dan filsafat pasca Hegelian, dan
juga mempunyai tempat yang sentral dalam antropologi masa
kini. Bagi Marx, alienasi adalah kategori kunci, dan ia
menjelaskan hal itu dalam istilah sosio-ekonomis. Yang
menyebabkan manusia teralienasi adalah sistem hubungan dan
nilai-nilai kapitalis. Manusia menderita berbagai macam alienasi:
dari hasil produksinya sendiri, dirinya sendiri, dan dari
sesamanya. Yang paling tragis adalah alienasi dengan diri sendiri,
yang membuat manusia menjadi tak manusiawi secara total.
Silakan Anda mengamati dan menilai pandangan Marx yang
menyatakan bahwa manusia sebagai unit yang teralienasi!

2. Manusia Humanis

Tak ada pola tunggal pemikiran humanis. Ia bisa mencakup


eksistensialis, ilmiah, positivisme, liberal atau popular yang
kadang-kadang saling bertentangan satu sama lain Dalam
pengertian yang luas, humanisme berpusat pada realitas manusia
yang memberi manusia semua kepentingan dan inspirasinya yang
memadai/cukup. Semua humanis percaya bahwa manusia adalah
bentuk eksistensi yang paling tinggi dan, karenanya, adalah satu-
satunya objek yang pantas disembah dan dilayani. Humanisme
adalah suatu pengakuan akan rasa percaya kepada hakikat
manusia yang menolak ide tentang Allah sebagai hal yang perlu
karena manusia bisa membentuk kembali dirinya sendiri.

Amati dan bandingkanlah kedua pandangan tentang manusia di


atas, manakah yang lebih mengagungkan manusia, pandangan
Marxisme atau humanisme?

51
Diskusikan dan sesudah itu bandingkanlah dengan pandangan
yang bersumber dari Alkitab! Amatilah di manakah posisi Tuhan
dalam pemahaman kedua pandangan di atas dalam hubungannya
dengan hakikat manusia?

Ada anggapan bahwa hanya dalam relasi dengan Tuhan manusia


memahami hakikat kemanusiaannya dan menemukan arti serta
tujuan hidupnya. Seberapa benar pernyataan itu? Cobalah ajukan
beberapa pertanyaan kritis lainnya yang berkenaan dengan
hakikat manusia! Pada bagian berikut, kita akan membahas
beberapa aspek mendasar dari kesaksian Alkitab tentang hakikat
manusia menurut pandangan Kristen.

1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah (lih Kej. 1 dan


Kej. 2)

Bacalah dengan teliti cerita penciptaan manusia baik dalam


Kejadian pasal 1 maupun2! Ajukanlah beberapa pertanyaan
kritis setelah membaca Kejadian pasal 1 dan 2. Bandingkanlah
pemahaman Anda dari bacaan tersebut dengan uraian berikut
ini!

Fakta yang pertama dari kesaksian Alkitab tentang manusia


adalah bahwa manusia makhluk ciptaan Allah. Hal ini perlu
ditegaskan untuk menolak anggapan bahwa semua hal, termasuk
manusia, terjadi dalam proses evolusi, dan karenanya sulit untuk
memberi landasan mengapa manusia adalah makhluk pencari
makna. Sebagai makhluk, ia tetap makhluk dan tidak pernah
menjadi sama dengan khaliknya. Apa implikasi kemakhlukan
manusia? Sebagai makhluk, pertama-tama, ia tergantung kepada
Allah khalik dan sumber kehidupannya. Sebagai khalik, Allah
berdaulat atas hidup dan tujuan hidup manusia. Karena itu,
manusia yang menerima kemakhlukkannya akan menerima
kedaulatan Allah atas hidup dan tujuan hidupnya. Itulah sebabnya
secara hakiki, manusia selalu mendambakan relasi dengan-Nya.
Sebagai makhluk, manusia bukan saja tergantung kepada Allah
sebagai sumber hidup, tetapi bahwa Allah berdaulat atas hidup
dan tujuan hidup manusia.

Alkitab menggambarkan hubungan manusia dengan Allah


pencipta-Nya, sebagai tanah liat di tangan penjunan. Allah berhak
dan berdaulat untuk tujuan apa benda-benda atau peralatan tanah
liat yang dibuat-Nya. Demikianlah manusia di tangan Allah
pencipta, tujuan hidupnya ditentukan oleh khalik-Nya. Agustinus,
seorang teolog terkenal mengatakan bahwa “jiwaku gelisah
sampai aku menemukan kedamaian dalam Tuhan.” Ketika
manusia menolak

52
kemakhlukkannya dan penciptaannya oleh Allah, tidak ada alasan
apa pun untuk mencarimakna hidup ini di luar diri sendiri atau
masyarakatnya.

ALLAH

Manusia

Rasional/Ber
Imagodei Sosial Etis
budaya
Dalam hal ini Marx konsisten, karena ia menolak keberadaan
Allah Pencipta, ia juga menolak mencari makna dan hakikat
manusia di luar diri manusia itu sendiri.

Sebagaimana disampaikan pembahasan tentang penciptaan alam


semesta dan segala isinya, Alkitab menolak teori evolusi sebagai
teori asal usul, termasuk asal usul manusia, yang sejak awal
manusia berbeda secara hakiki dengan ciptaan Tuhan yang lain.
Manusia tidak berasal dari kera! Manusia bagaimanapun tetap
ciptaan dan tak bisa menyamai penciptanya meskipun dengan
daya rasionalitas yang luar biasa apapun. Yang diciptakan tidak
akan menyamai pencipta, yang mencipta dari yang tidak ada
menjadi ada (creatio ex nihilo).

2. Manusia diciptakan menurut Gambar Allah (Imago Dei)

Salah satu aspek hakikat manusia berdasarkan ajaran Alkitab


adalah bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah.
Gambar Allah inilah yang dikenal dengan istilah “Imago Dei.”

Tradisi Kristen yang mendasarkan dirinya pada cerita Alkitab


dalamKejadian 1, telah menafsirkan makna kesegambaran
manusia dengan Allah dengan bermacam-macam arti. Hal ini bisa
juga diartikan secara salah, seolah- olah manusia mirip dengan
Allah. Sebagai makhluk yang diciptakan, manusia akan
53
tetap berbeda dengan Allah Sang Pencipta. Sudah ada banyak arti
diberikan kepada konsep ini, antara lain sebagai wakil Allah di
dunia, dalam arti pelaksana atau mandataris Allah untuk tugas
kebudayaan. Akan tetapi, tugas mandataris menunjuk kepada
relasi manusia dengan ciptaan yang lain serta alam semesta ini.
Pada zaman bapa-bapa Gereja ide ini ditafsirkan sebagai
kemampuan rasional manusia yang membedakannya dengan
makhluk-makhluk yang lain. Ada juga yang mengartikan
kesegambaran itu sebagai kemiripan dalam sifat-sifat Allah.

Dari berbagai arti yang ditawarkan oleh para ahli, arti yang paling
mendasar yakni: potensi/kemampuan manusia untuk
berhubungan atau merespons Allah, dan dalam arti ini manusia
adalah makhluk religius. Manusia diciptakan sebagai gambar
Allah berarti manusia diciptakan sedemikian rupa untuk menjadi
pihak lain yang diajak komunikasi oleh Allah (Allah menyatakan
diri dan kehendak-Nya serta menuntut responsnya). Kenyataan
bahwa Alkitab menyatakan bahwa Allah berfirman/memberi
perintah kepada manusia adalah bukti bahwa manusia dengan
satu dan lain cara dapat menyatakan hubungannya dengan Allah.
Penciptaan manusia sebagai gambar Allah memungkinkan
terjadinya sesuatu antara Allah dan manusia, yaitu makhluk yang
berhubungan dengan Allah dan kepada siapa Ia berfirman.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kej. 1:27! Lalu, Anda
diberi kesempatan untuk bertanya secara kritis setelah membaca
Kej. 1:27
http://metouganda.blogspot.com/

Sumber:
religius manusia yang
Implikasinya bagi memungkinkan fenomena agama
tanggung jawab selalu hadir dalam sejarah umat
manusia adalah bahwa manusia: fenomena agama selalu
manusia selalu hadir dalam kehidupan manusia
mendambakan relasinya dari dulu hingga sekarang.
dengan Allah atau yang Fenomena
dianggap Allah. Inilah
yang kita sebut orientasi agama bisa mengalami
kemerosotan, namun kesadaran
religius manusia dalam arti

kesadaran akan adanya suatu kodrat Ilahi di atas manusia yang


penuh dengan misteri yang tidak dapat secara tuntas diselidiki
dan dipahami oleh manusia.

54
Kesadaran akan adanya kodrat Ilahi di atas manusia dan tak
terbatas ini, mendorong manusia untuk selalu kagum, takjub, dan
rendah hati, yang mendorong manusia untuk beribadah kepada-
Nya.

Potensi ini dapat mengarah kepada yang positif yakni merespons


dengan percaya kepada Allah atau yang dianggap Allah, namun
juga bisa mengarah kepada yang negatif yakni penolakan dan
penyangkalan akan eksistensi Allah dengan segala
konsekuensinya. Potensi ini sebagaimana potensi yang lain perlu
dipupuk, diarahkan serta dikembangkan agar dimanifestasikan
secara bertanggung jawab dan menuju kepada pertumbuhan yang
sehat. Kecenderungan untuk terus berorientasi kepada kodrat
Ilahi di atas dirinya itulah yang disebut “dimensi religius” dari
manusia yang menjadikan manusia makhluk religius. Jadi, ada
kaitan erat antara manusia yang diciptakan menurut gambar Allah
dengan potensi religius/kesadaran religius yang membuatnya
sebagai makhluk religius. Silakan Anda menanya secara kritis
yang berkenaan dengan adanya kaitan erat antara manusia yang
diciptakan menurut gambar Allah dengan potensi
religius/kesadaran religius yang membuatnya sebagai makhluk
religius!

3. Manusia sebagai Makhluk Sosial


Manusia sebagai makhluk sosial menunjuk kepada kenyataan
bahwa manusia adalah tidak sendirian dan selalu dalam
keterhubungan dengan orang lain dan berorientasi kepada sesama
(Kej.2:18). Perdebatan mengenai hakikat manusia dalam dimensi
individual dan kolektif telah berjalan lama yang menghasilkan
dua ideologi besar yang memengaruhi sistem kemasyarakatan,
politik, dan ekonomi dari penganutnya. Negara-negara dunia
pertama yang sangat mengagungkan dimensi individual dengan
memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan individu telah
melahirkan sistem masyarakat dan ekonomi yang kapitalis
dengan ideologi pasar bebasnya. Ideologi ini berpendapat
bilamana manusia diberi kebebasan, manusia akan bekerja keras
untuk menjadi efisien, dan kalau semua bekerja efisien, semua
akan maju. Jadi, pasar bebas pada akhirnya akan memajukan
semua. Benarkah? Atau dengan ideologi ini jurang antara yang
kaya dan miskin semakin menjadi lebar? Manakah yang benar?
Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan
kebebasan individu telah melahirkan sistem masyarakat dan
ekonomi yang kapitalis.

Demikian juga pihak yang sangat mengagungkan dan


menomorsatukan dimensi sosial dari kemanusiaan telah
melahirkan sistem kemasyarakatan

55
yang dikenal dengan sosialisme. Pada sistem ini hak-hak dan
kebebasan individu harus tunduk kepada kepentingan kelompok
atau masyarakat. Persaingan ideologis seperti ini telah terjadi dan
dikenal dengan perang dingin. Meskipun perang dingin itu kini
telah berakhir dan kelihatannya sistem kemasyarakatan dan
ekonomi kapitalis tampak unggul, hal ini tidak berarti bahwa
pemutlakan dimensi individual manusia adalah suatu kebenaran
yang didukung oleh kekristenan. Bagaimanakah sesungguhnya
sikap Kristen yang bertanggung jawab dalam hal ini? Ajukanlah
beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan dampak
mengagungkan dan menomorsatukan dimensi sosial dari
kemanusiaan telah melahirkan sosialisme.

Teologi Kristen yang banyak berkembang di Barat tempat


dimensi individu itu sangat diunggulkan. Kita harus mengkritik
terhadap segala bentuk privatisasi ajaran Kristen yang
fundamental seperti: privatisasi dosa dan keselamatan maupun
pemahaman diri yang sangat individualistik (Baum 1975, 196).
Pada Kitab Kejadian 2 dinyatakan bahwa tak baik kalau manusia
itu sendiri, oleh karena itu Allah menciptakan penolong yang
sepadan. Hal ini tidak hanya terbatas pada manusia jenis kelamin
yang lain, tetapi juga bahwa manusia sendirian adalah tidak baik.
Allah menghendaki manusia hidup dengan sesamanya.
Dorongan
untuk
membutuhkan

Manusia

Dorongan
untuk Doro
berinteraksi ngan
sosial untuk
belaja
r

REAKSI ATAS PENILAIAN

ORANG LAIN
Manusia sebagai Mahluk Sosial

Sumber: http://aabied.wordpress.com/2010/10/14/hakikat-
manusia/

56
Ada ahli teologi bahkan yang mengatakan bahwa hanya dalam
hubungan dengan orang lain kita memahami dan menemukan
hakika tkita sebagai manusia. Hal ini membawa implikasi bahwa
manusia selamanya dan selalu berorientasi kepada sesamanya.
Manusia tak tahan dalam kesendirian. Orientasi kepada sesama
juga menyebabkan lahirnya berbagai pranata dan lembaga sosial
(misalnya keluarga, komunitas darilokal sampai internasional,
maupun pranata politik, ekonomi, dan lain-lain). Dengan kata
lain, lahirnya berbagai pranata sosial merupakan konsekuensi
logis dari penciptaan manusia sebagai makhluk sosial. Orientasi
kepada sesama manusia juga turut berperan dalam berbagai
tindakan religius dan pertimbangan serta pengambilan keputusan
etis. Itulah sebabnya orang tidak bisa beragama sendiri. Agama
selalu merupakan fenomena sosial, walaupun hubungan
seseorang dengan Tuhan, atau yang dianggap Tuhan sangat
bersifat pribadi.

Inilah yang melahirkan komunitas iman: seperti Islam, Kristen,


Hindu, Buddha dll. Beragama tak bisa lepas dari komunitas,
karena tak mungkin beragama secara sendiri. Agama selalu
punya dimensi sosial atau komunitas. Hal ini sehat sejauh
komunitas-komunitas dengan identitas agamawi yang berbeda-
beda tersebut tidak membangun tembok-tembok pemisah apalagi
prasangka dalam hubungan antarmereka.
Kita harus berhati-hati dengan pandangan yang memutlakkan dan
mengunggulkan dimensi sosial serta meremehkan dimensi
individu, dan karenanya jatuh ke dalam kolektivisme. Sebaliknya,
ada juga pendapat yang begitu mengutamakan dimensi individu
di atas dimensi sosial, dan karenanya jatuh ke dalam
individualisme. Sikap yang lebih bertanggung jawab adalah
bahwa kita adalah individu dalam kolektivitas, ada keseimbangan
antara dimensi individu dan kolektivitas manusia. Individu tidak
boleh dikorbankan demi kolektivitas, sebaliknya kolektivitas
tidak bisa diabaikan demi individualitas. Kita dipanggil untuk
percaya secara individu, namun kita juga terpanggil untuk
menjadi orang percaya dalam kolektivitas yang kita sebut Gereja.
Kita perlu memerhatikan pertumbuhan dan kepentingan individu,
sebaliknya kita juga bertanggung jawab untuk pertumbuhan
bersama-sama. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Efesus
4:11-16, setelah itu, ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang
timbul.
57
4. Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Berbudaya

Allah (menurut Alkitab) memberi perintah kepada manusia untuk


memerintah, menaklukkan serta memelihara alam semesta.,
menunjukkan adanya hubungan yang tidak terpisahkan antara
manusia dengan alam semesta ini. Inilah yang biasanya disebut
sebagai tugas kemandatarisan manusia (manusia sebagai
mandataris Allah) dalam arti pelaksana dan wakil Allah dalam
memerintah dan memelihara alam semesta ini. Jadi, berbudaya
adalah perintah atau mandat yang kita sebut dengan mandat
kebudayaan. Mandat itu hanya bisa dilaksanakan karena Tuhan
memperlengkapi manusia dengan potensi rasional (kemampuan
rasional) yang menjadi salah satu ciri khas manusia dibandingkan
dengan makhluk ciptaan yang lain, bahkan dengan binatang
paling cerdas sekalipun. Konsisten dengan tugas sebagai
mandataris Allah, manusia diperlengkapi oleh Allah dengan
potensi rasional dan karena itu dapat berbudaya. Ini juga salah
satu keunikan manusia yang membedakan manusia dengan
ciptaan yang lain. Bahwa rasionalitas adalah keunikan manusia
ternyata dalam fakta bahwa kebudayaan manusia (dalam arti yang
sempit) sebagaibuah rasionalitasnya mengalami perkembangan
maju, dan perkembangan itu telah membawa kita pada apa yang
dikenal dengan zaman ilmu dan teknologi modern (lih. Kej. 1:16-
18; Kej. 2:15). Dengan kata lain, kemajuan manusia yang
membawa manusia kepada abad ilmu dan teknologi modern
adalah konsekuensi logis dari rasionalitas manusia (penciptaan
manusia sebagai makhluk rasional), dan itu sesuai dengan
kehendak Tuhan. Hanya saja perlu dipertanyakan, untuk apa dan
untuk siapa kemajuan kita dalam bidang ilmu dan teknologi
modern. Di sinilah berbagai macam isu etis modern muncul yang
membutuhkan pemikiran dan pergumulan yang serius.

Potensi akal ini sangat mengagumkan sehingga manusia bukan


saja dapat menciptakan teknologi modern, tetapi bahkan dapat
memecahkan rahasia yang selama ini belum terpecahkan
termasuk bepergian ke planet yang lain. Potensi ini juga sangat
mengerikan, dan kita telah menyaksikan bahwa potensi akal
manusia yang luar biasa dapat menciptakan persenjataan modern
dan canggih yang cukup untuk menghancurkan planet bumi kita.
Masih ingatkah Anda akan bom atom yang dijatuhkan di
Hiroshima dan Nagasaki? Apa dampaknya? Dapatkah
dibayangkan bahwa dahsyatnya potensi rasional manusia itu bisa
sangat positif dan bisa juga sangat negatif.

Dalam kekristenan, kita mengenal “Hukum Kasih” yakni yang


kita sebut “Hukum Utama.” Dalam hukum utama Tuhan Yesus
menuntut agar kita “mengasihi Allah dengan segenap hati, dan
dengan segenap jiwa, dan

58
dengan segenap akal budi” (lih. Mat.22:37-38). Jadi, potensi
rasional manusia dengan segala produk dan hasilnya, perlu
dipakai untuk mengasihi Allah juga. Tanpa itu, kita akan
berulang kali menyaksikan pemusnahan umat manusia dan
peradabannya seperti dalam pemboman Hiroshima dan Nagasaki
pada waktu yang lalu.

5. Manusia sebagai Makhluk Etis

Secara klasik, Alkitab menggambarkan bahwa manusia diberi


“hukum” (nomos) oleh Allah dalam bentuk larangan memakan
buah pohon pengetahuan hal yang baik dan jahat. Silakan Anda
mengamati dan menafsirkanKej. 2:17. Setelah itu, ajukanlah
beberapa pertanyaan kritis yang timbul. Nomos ini menempatkan
manusia pada persimpangan jalan ketika ia dapat memilih di
antara dua alternatif. Dua alternatif itu adalah ketaatan atau
pelanggaran terhadap nomos (dapat juga berarti berbuat yang baik
atau jahat). Kesempatan untuk memilih ini menunjukkan bahwa
manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dari dua alternatif
yang diperhadapkan kepadanya. Dengan kata lain, manusia tidak
secara determinatif harus memilih salah satunya. Memang ada
pandangan yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa berbuat
lain kecuali mengikuti nalurinya. Ajaran Kristen mengedepankan
adanya pilihan yang bebas, dan hanya karena adanya pilihan
bebas itulah manusia tidak saja bertanggung jawab atas
pilihannya tetapi juga diminta mempertanggungjawabkan
pilihannya itu. Sebab tanpa pilihan bebas, manusia tidak dapat
dituntut untuk bertanggung jawab. Kesadaran untuk membedakan
yang baik dan yang jahat menunjuk kepada hakikat manusia
sebagai makhluk etis. Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis Anda
yang berkenaan dengan manusia sebagai makhluk etis!

Bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk etis berarti manusia


mempunyai kesadaran etis: kesadaran untuk membedakan mana
yang baik dari yang buruk, yang benar dari yang salah, dan yang
bertanggung jawab dari yang sebaliknya. Manusia tidak hanya
dilengkapi dengan kesadaran etis, tetapi juga dilengkapi dengan
kebebasan untuk memilih dari alternatif baik dan buruk, benar
dan salah, bertanggung jawab dan tidak bertanggung jawab.
Hanya apabila manusia mempunyai kebebasan etis (memilih
secara etis), manusia dapat dituntut pertanggungjawaban etis.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk etis dalam arti sebagai berikut.

Pertama, manusia mempunyai kesadaran etis yakni kesadaran


untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan
yang salah, yang

59
bertanggung jawab dan yang tidak bertanggung jawab. Kedua,
manusia mempunyai kebebasan etis yakni memilih secara bebas
dari alternatif di atas. Ketiga, manusia mempunyai
pertanggungjawaban etis, yakni bertanggung jawab atas
pilihannya.
Sumber: http://www.dreamstime.com/royalty-free- stock-images-
wrong-right-ethical-question-

Untuk sementara kita dapat menarik beberapa simpulan dari


uraian tersebut.

Dari deskripsi tentang hakikat manusia di atas, kita dapat


memahami mengapa

Kitab Kejadian 1:31 mengatakan “Maka Allah melihat segala


yang dijadikan-

Nya itu, sungguh amat baik….” Dari deskripsi tersebut kita juga
dapat menarik

simpulan bahwa pada dasarnya manusia ditempatkan oleh Allah


dalam hubungan multidimensional (hubungan yang berdimensi
banyak): yaitu dengan Allah, sesama manusia, diri sendiri, dan
dengan alam semesta. Karena manusia juga adalah makhluk etis,
setiap dimensi hubungan itu mempunyai konsekuensi dan
tanggung jawab etis. Ada tuntutan dan tanggung jawab etis
manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesama, diri sendiri,
dan alam semesta. Dari sini, kita mencoba menarik suatu
“ultimate principle” yang berhubungan dengan yang dilakukan
oleh Tuhan Yesus dalam merangkum berbagai hukum dan
kebajikan dalam suatu prinsip pokok: “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap akal budimu ... Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri” (Mat.22:37, 39b). Dengan
memerhatikan ajaran Tuhan Yesus seperti tertulis dalam kitab-
kitab Injil dan ajaran para rasul, kita dapat juga merumuskan

60
kedua hukum kasih dengan satu hukum saja: kasih kepada Allah
melalui kasih kita kepada sesama dan alam ciptaan Tuhan. Tuhan
Yesus mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang
menderita, telanjang, sakit dan dalam penjara (lih. Mat. 25:31-
46). Rasul Yohanes malah mengatakan bahwa mereka yang
mengatakan mengasihi Allah tetapi membenci saudaranya
(sesamanya) adalah suatu kebohongan (lih. 1 Yoh. 4:20). Dalam
Perjanjian Lama, Nabi Mikha mengecam ibadah kepada Tuhan
yang tak disertai dengan berlaku adil terhadap sesama manusia.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Mikha 6:1-8. Setelah
itu, ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang muncul!

Kita hidup dalam suatu dunia yang penuh dengan kontradiksi.


Bagaimana mungkin dunia dan manusia yang digambarkan
begitu luar biasa di atas, ternyata dalam kenyataan hidup kini
penuh dengan peperangan, kekerasan, yang dimotivasi oleh
keserakahan, pementingan diri, dan kebencian? Hal ini membawa
kita kepada pokok antropologi lain yakni bahwa manusia,
menurut kesaksian Alkitab adalah makhluk berdosa.
Yang dimaksudkan paradoks adalah pada satu sisi penciptaan
manusia sebagai makhluk religius, sosial, rasional dan berbudaya
serta etis menunjukkan sisi keagungan manusia dibandingkan
dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain. Kitab Kej. 1:31
mengatakan: “maka Allah melihat segala sesuatu yang
dijadikan- Nya itu, sungguh amat baik.” Pada sisi yang lain, kita
juga belajar atau menyaksikan dan bahkan mengalami sendiri
sisi-sisi kelam dari kehidupan manusia. Berapa perang yang
terjadi karena alasan agama atau ideologi? Berapa banyak
koruptor di tanah air ini yang tega memperkaya diri dan membuat
orang lain menderita? Berapa banyak orang tamak yang hanya
menumpuk kekayaan sendiri kalau perlu dengan eksploitasi orang
lain atau alamini? Apakah kata-kata Mahatma Gandi masih
mempunyai arti: “the earth provides enough for everybody’s
need but not for everybody’s greed.” Kita umumnya tahu juga
apa yang baik yang seharusnya kita lakukan tetapi kita tidak
berdaya melakukannya bahkan yang sebaliknya yang kita
lakukan (lih. Rm 7: 21-24). Inilah paradoks kehidupan manusia.
Lalu bagaimana menjelaskannya? untuk membedakan yang baik
dari yang jahat, yang benar dari yang salah, serta memiliki
kebebasan untuk memilih melakukan yang baik atau yang jahat.
Hal-hal ini adalah kemampuan-kemampuan yang bersifat netral
dan terdapat pada pengalaman manusia. Semua yang diuraikan di
atas menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia
dan baik. Lebih dari
61
itu, manusia juga mempunyai kemajuan yang mengagumkan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
mempermudah hidup manusia, dan menjadikan hidupnya lebih
manusiawi. Anehnya pada sisi lain, manusia juga dihadapkan
pada berbagai permasalahan akibat berbagai ulahnya sendiri yang
tidak bertanggung jawab. Paradoks ini membawa kita kepada
pertanyaan mengapa? Banyak jawaban diberikan oleh berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, maupun filsafat, termasuk juga agama.

Dalam kekristenan dipercayai bahwa paradoks ini terjadi karena


manusia telah jatuh ke dalam dosa (lih. Kej. 3). Silakan Anda
mengumpulkan informasi dari buku-buku dan sumber belajar
yang lain yang menunjukkan bahwa paradoks ini terjadi karena
manusia telah jatuh ke dalam dosa. Dosa dipahami bukan sekadar
pelanggaran moral, tetapi sikap memberontak kepada Allah,
yakni menolak otoritas Allah yang menentukan tujuan hidup
manusia. Dosa dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap
kehendak Allah seperti tercermin dalam hukum utama-Nya. Dosa
memang mengandung konsekuensi-konsekuensi etis dan moral
dalam berbagai dimensi hubungan manusia: dalam hubungan
dengan sesama, diri sendiri, dan alam semesta. Inilah yang sering
kali disebut sebagai persoalan-persoalan etis yang rumit dan
menentukan kelangsungan hidup planet bumi dan masyarakat
kita. Memang dosa mengambil bentuk dalam dosa pribadi tetapi
juga dosa sosial. Dalam tradisi agama, lebih banyak ditekankan
dosa pribadi dibandingkan dengan dosa sosial. Kita perlu
mengakui dosa-dosa pribadi kita dan juga dosa kolektif atau
sosial. Dosa pribadi seperti ketamakan dapat membawa
konsekuensi penderitaan sesama, namun dosa sosial berupa
sistem dan struktur yang tidak adil bahkan lebih merusak dan
membawa konsekuensi yang lebih berat bagi lebih banyak orang.
Silakan Anda mengumpulkan informasi lebih lanjut mengenai
contoh-contoh dosa pribadi dan sosial!

Karena hakikat manusia sebagai makhluk sosial, dosa tidak dapat


dibatasi hanya sebagai dosa pribadi/individu, tetapi juga harus
dipahami sebagai dosa sosial. Gregory Baum dalam Religion and
Alienation, mengartikan dosa sosial dalam kaitan dengan
pelakunya: yakni kolektivitas suatu kelompok, suatu komunitas,
suatu umat. Jadi, yang dia maksudkan dosa sosial ialah dosa yang
dihasilkan tanpa sengaja atau pilihan bebas. Dosa tersebut
menghasilkan konsekuensi yang jahat tetapi pelakunya tidak
merasa bersalah dalam pengertian yang biasa. Jadi, dosa sosial
dilakukan karena kebutaan/ketidaksadaran kolektif. Orang terlibat
dalam tindakan destruktif tanpa menyadarinya.

62
Masyarakat mampu tetapi tidak membayar pajak, merupakan
salah satu bentuk dosa sosial yang dapat merusak tatanan
ekonomi negara. Sumber: poskotanews.com
Dalam kaitan itu, Baum (1975, 201) juga mencoba
mendeskripsikan dosa sosial dalam berbagai level atau tingkatan.
Tingkatan pertama dari dosa sosial terdiri atas kecenderungan-
kecenderungan yang tidak adil dan tidak manusiawi
(dehumanizing) yang terbangun dalam berbagai institusisosial,
politis, ekonomi, agamawi, yang merupakan perwujudan dari
kehidupan kolektif manusia. Pada saat kita melakukan pekerjaan
harian, kita memenuhi kewajiban-kewajiban kita, kecenderungan
yang destruktif yang terbangun dalam institusi kita, akan merusak
semakin banyak orang dan akhirnya menghancurkan
kemanusiaan kita. Kejahatan sosial ini bisa saja berjalan terus
tanpa benar-benar disadari. Konsekuensinya, butuh waktu yang
lama untuk disadari.

Tingkatan kedua dari dosa sosial mengambil bentuk simbol-


simbol kultural dan agamawi, yang hidup dalam imajinasi dan
didukung oleh masyarakat, yang membenarkan serta memperkuat
(reinforce) lembaga-lembaga (institutions) yang tidak adil, dan
karena itu memperburuk kerugian/ kerusakan terhadap banyak
orang. Lagi-lagi dalam hal inipun kita tak menyadari akibatnya.

Tingkatan ketiga, dosa sosial merujuk kepada kesadaran palsu


yang diciptakan oleh institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang
digunakan umat untuk melibatkan diri mereka secara kolektif,
dalam tindakan-tindakan destruktif seolah-olah mereka
melakukan hal yang benar. Kesadaran palsu ini

63
meyakinkan kita bahwa kejahatan yang kita buat adalah justru hal
yang baik untuk menjaga tujuan demi kesejahteraan bersama.

Menurut Baum, contoh-contoh dari masyarakat kita sendiri


misalnya orientasi “achievement” (pencapaian/kesuksesan) dari
budaya dominan, spiritnya yang individualistis dan kompetitif,
dan juga arogansi kolektif tentang pemahaman diri sendiri
bersama dengan rasismenya. Sudah tentu kesadaran palsu ini ada
atau mengambil bentuk dengan intensitas yang bermacam-macam
derajatnya, mulai dari identifikasi total dengan tren dominan dari
masyarakat, termasuk semua efek sosialnya, ke pembuatan jarak
yang semakin lebar dengan tren-tren tadi serta kesadaran yang
semakin bertumbuh tentang ketidakadilan di dalamnya. Pada
tingkat inilah perlawanan kita terhadap dosa sosial mulai. Banyak
ahli mengkaitkannya dengan kritik ideologi, atau dalam bahasa
Freire, konsientisasi. Secara kristiani, di sini, bilamana seseorang
terbuka pada pekerjaan Roh Kudus, dia dimampukan untuk
menyadari dan berpaling dari ketidakadilan yang terjadi tanpa
sadar di dalam masyarakatnya. Pada level tiga inilah terjadi
pertobatan menurut Baum.

Tingkatan keempat, pada tingkat ini dosa sosial terdiri dari


keputusan-keputusan kolektif, yang diperkuat oleh kesadaran
yang didistorsi, yang meningkatkan ketidakadilan dalam
masyarakat dan memperkuat kekuasaan dari tren-tren
dehumanisasi. Keputusan-keputusan kolektif oleh parlemen, atau
pengurus yayasan baik sekuler maupun agamawi, tampaknya
seolah didasarkan pada pilihan bebas. Dosa dapat mengambil
bentuk secara sosial dan struktural, misalnya dengan berbagai
ketidakadilan yang ada dalam berbagai tatanan sosial
kemasyarakatan dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan,
hubungan antaragama, dan lain-lain.

Cobalah Anda diskusikan pemahaman tentang dosa sosial ini,


serta berilah contoh-contohnya pada setiap level dalam konteks
masyarakat kita atau komunitas iman kita! Silakan Anda
mengumpulkan informasi lebih lanjut dari buku-buku dan sumber
belajar yang lain mengenai contoh-contoh dosa sosial pada
setiap level dalam konteks masyarakat kita atau komunitas iman
kita dan dampak dari dosa sosial.

Bagaimanakah Anda membangun argumen bahwa hubungan


yang rusak tadi dapat diperbaiki dan dibaharui? Argumen di
bawah hanyalah sekadar contoh saja. Yang lebih penting Anda
sendiri membangun argumen Anda sendiri

64
berdasarkan pemahaman Anda tentang karya penyelamatan Allah
dalam Yesus Kristus!

Alkitab tidak mengakhiri kesaksiannya dan meninggalkan


manusia dalam kegelapan yang tidak berpengharapan. Alkitab
menyaksikan bahwa ada pengharapan akan kemungkinan
restorasi hubungan-hubungan yang telah rusak oleh dosa.
Konsisten dengan kepercayaan akan Allah sebagai penyelamat
dan pembaharu, kekristenan percaya akan penyelamatan dan
pembaharuan relasi dengan Allah melalui Kristus dan Roh-Nya.
Keselamatan tidak boleh dipahami hanya bersifat individual dan
di seberang sana tetapi juga dipahami secara sosial, dan berlaku
kini dan di sini. Orang Kristen terpanggil untuk menolak berbagai
ketidakadilan dalam tatanan sosial (sosial, ekonomi, politik) dan
memperjuangkan adanya keadilan di dalamnya sehingga ada
perdamaian.

Coba Anda baca 2 Korintus 5:18-21! Bagaimanakah perbaikan


hubungan itu terjadi? Inisiatif siapakah yang utama? Apa
dampak pendamaian dengan Allah terhadap tanggungjawab kita
untuk tugas pendamaian yang dipercayakan Tuhan kepada kita?
Apa saja dimensi dari pendamaian itu? Silakan Anda
membangun argumen yang solid bahwa manusia dimungkinkan
untuk membaharui hubungan dengan Allah, sesama dan alam
ciptaan.
Salah satu aspek yang penting dalam membicaraan manusia dan
hakikatnya adalah manusia dan pengharapannya. Akhir-akhir ini
ada tekanan yang kuat tentang dimensi pengharapan baik dalam
pemikiran filosofis maupun dalam teologi. Maksudnya adalah
hakikat manusia harus dikaitkan dengan pengharapannya.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang berharap akan masa
depan yang lebih baik. Karena itu perlu mencari deskripsi
mengenai tekanan ini dalam dua tokoh penting yakni orang ateis
seperti Ernst Bloch dan orang beriman seperti Jurgen Moltman.

Ernst Bloch seorang filsuf ateis berpendapat bahwa manusia


hidup dalam suatu dunia yang sedang menjadi, yang belum
terjadi. Karena itu, selalu ada kemungkinan baru. Manusia pada
dirinya sendiri adalah makhluk dengan bermacam kemungkinan
(creature of possibility). Ia dapat menciptakan dunia yang lebih
baik bagi dirinya dan dia sendiri menjadi keberadaan yang lebih
baik tanpa batas (McDonald 1981, 123-124).
65
Teolog ternama Jurgen
Moltman dengan
Theology of Hope
dipengaruhi oleh prinsip
pengharapan dari Bloch.
Teologi-teologi yang
lebih awal memandang

penggenapan dari
pengharapan eskatologis
melulu merupakan
tindakan dan karunia
Allah. Moltman justru
sebaliknya memberi
tempat kepada peranan
manusia untuk
mewujudkan
pengharapan eskatologis

Sumber:http://grannymountain.blog
spot.com/2010/0 7/future-past-or-
present.html

tersebut, bukan saja pada dunia di seberang sana, melainkan juga


kini dan di sini. Artinya, bahwa pengharapan eskatologis tidak
hanya menyangkut keselamatan jiwa saja di seberang sana, tetapi
juga perdamaian, keadilan, kebebasan dari penindasan harus
diusahakan diwujudkan kini dan di sini meskipun
penyempurnaannya adalah karya Tuhan. Jadi, pengharapan itu
menjadi kekuatan penggerak sejarah untuk mewujudkan apa yang
diharapkan kini dan di sini atau dalam bahasa Moltman
“membawa masa depan yang diharapkan ke masa kini.” Tentu
saja pengharapan itu tidak melulu dengan kekuatan dan
kehebatan manusia tetapi dalam persekutuan dengan Tuhan. Bila
tidak, pengharapan Kristen akan menjadi ideologis secara
peyoratif (negatif) bagaikan candu bagi mereka yang menderita
ketidakadilan. Silakan Anda mengomunikasikan pemikiran Anda
terhadap pandangan Ernst Bloch dan Jurgen Moltman.

Kita telah menelusuri, menanya dan menggali dari berbagai


sumber khususnya sumber Alkitab dan tradisi teologi Kristen
mengenai siapakah manusia dalam pandangan Kristen.
Singkatnya dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang dikaruniai hakikat sebagai makhluk religius
yang selalu sadar akan adanya kodrat ilahi. Manusia juga sebagai
makhluk sosial yang selalu berorientasi kepada sesama. Hal ini
seharusnya membuat kita melihat sesama sebagai sesama dalam
hubungan antar subjek bukan subjek dengan objek dan bebas dari
dominasi. Manusia juga adalah makhluk rasional yang berbudaya
dan perkembangan kebudayaan sudah mencapai tingkatnya

66
yang sangat canggih, namun rentan dipakai secara salah. Karena
itu, harus dipakai secara bertanggungjawab karena memang
manusia adalah juga makhluk etis. Namun dosa membuat
keagungan manusia ternodai, dan membawa dampak rusaknya
relasi dengan Tuhan, sesama, diri sendiri serta alam yang tampak
dalam berbagai patologi sosial dan alam. Kabar baiknya adalah
bahwa manusia dimungkinkan hidup dalam relasi yang
diperbaharui oleh karena penyelamatan Allah dalam Kristus dan
Roh Kudusnya. Sebagai makhluk yang mempunyai pengharapan,
pengharapan kepada Allah harus menjadi kekuatan penggerak
sejarah untuk mewujudkan apa yang diharapkan kini dan di sini
meski diakui tidak akan sempurna karena penyempurnaan adalah
karya dan anugerah Tuhan.

Buatlah suatu puisi atau syair yang menggambarkan kepercayaan


Anda tentang siapakah manusia itu berdasarkan kesaksian
Alkitab! Carilah contoh sebanyak mungkin mengenai pokok-
pokok ajaran tentang manusia dari perspektif Alkitab atau
Kristen. Presentasikan di depan kelas!
67
BAB IV

ETIKA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER


KRISTIANI

Setiap hari dan setiap saat dalam kehidupan yang sadar, kita
selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Tentu saja pilihan-pilihan tersebut
terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti makan apa,
pakai apa, belajar apa, pergi ke mana dan sebagainya. Dari
berbagai pilihan tersebut, tidak semua pilihan berkaitan dengan
masalah etika, tetapi bisa jadi berkaitan dengan selera, kesukaan
dan atau yang lain. Tidak dapat disangkal bahwa banyak sekali
pilihan yang kita hadapi adalah pilihan-pilihan dalam bidang
etika yakni

berkaitan dengan apa


yang baik, benar,
bertanggungjawab
atau sebaliknya.
Pilihan dan keputusan
etis tentu saja sangat
penting dalam
kehidupan manusia
karena bukan hanya
berkaitan dengan

kepentingan diri sendiri, Sumber:


melainkan juga
berkaitan dengan http://thepropheticbooksofbi
kepentin gan orang ble.org/all-
banyak yang lain dan
bahkan berkaitan dengan aboutchristianity/
kelestarian alam
lingkungan bible-study-lesson-on-fruit-
of-the-spirit
hidup. Apalagi bagi mereka yang mempunyai jabatan publik,
keputusan dan kebijakannya sangat menentukan kehidupan
banyak orang, dan karenanya tuntutan dan pertimbangan etis
sangat penting.
68
Pejabat publik yang amanah selalu membuat kebijakan
pembangunan yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat karena dana pembangunan diperoleh
dari rakyat melalui pajak (Sumber: finance.detik.com)
Seorang ahli etika yang bernama David W. Gill mengatakan
bahwa kini kita hidup dalam suatu masa yang sulit ketika orang
tidak sepakat mengenai apa yang baik dan buruk, bukan saja di
kalangan akademisi, filsuf, tetapi juga pada akar rumput. Dalam
ketidaksepakatan itu muncullah saling menyerang dan
menyalahkan bahkan dengan cara- cara yang kasar (Gill 2000,
12-13).

69
Karena itulah, perlu pengkajian yang lebih saksama apa
sesungguhnya yang baik dan benar, dan bagaimana hal itu
terbangun dalam diri kita menjadi karakter. Karakter menjadi
sangat penting bukan saja bagi individu dan keluarganya, tetapi
juga bagi masyarakat dan bangsa. Bangsa yang kuat hanya
mungkin, bilamana karakter masyarakatnya juga kuat termasuk
pemimpinnya.

Dalam bab ini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan
etika dan moralitas, serta karakter kristiani. Sesudah mempelajari
bab ini Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran.
Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah (i)
mengembangkan sikap kasih kepada Tuhan sebagai Pencipta,
Penyelamat, Pemelihara dan Pembaru ciptaan-Nya; (ii)
menumbuhkembangkan sikap sabar, tangguh dan pembawa
damai; (iii) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam
kepelbagaian agama, suku dan budaya; (iv) bersikap peduli
terhadap sesama manusia; (v) bersikap jujur dan adil dalam
kehidupan bermasyarakat; (vi) bersikap terbuka untuk bekerja
sama dengan semua pihak dalam rangka mendatangkan kebaikan
bersama; (vii) menjelaskan hubugan iman Kristen dengan
etika/moralitas dan karakter Kristiani; serta (viii) menyajikan
hasil telaah tentang hubungan iman Kristen dengan moralitas dan
karakter Kristiani.
Hal-hal yang dibahas dalam bab ini adalah pengertian etika dan
moralitas, teori-teori yang berkaitan dengan bagaimana orang
membangun nilai sebagai standar atau norma menilai perilaku
dan motivasi manusia, berbagai macam pengelompokkan etika
berdasarkan sumber normanya, hubungan antara pandangan
tentang manusia dan nilai moral, prinsip utama dalam etika
Kristen, dan keputusan etis dalam kasus yang bersifat dilematis.
Bagian kedua yang sama pentingnya adalah pengertian karakter,
hubungan karakter dan moralitas, dan elemen karakter (character
traits) yang perlu dibangun.

Silakan Anda mengamati dan menilai pengertian etika dan


moralitas yang terdapat dalam buku-buku etika! Apa pengertian
etika dan moralitas? Kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos
dan ‘ethos atauta ethika dan ta ‘ethika.

Kata ethos berarti kebiasaan atau adat dan tentu saja yang sesuai
kebiasaan dan adat dianggap baik. Sedangkan ‘ethos dan ‘ethikos
lebih berarti kesusilaan,

70
perasaan batin, atau kecenderungan hati yang menyertai
seseorang terdorong untuk melakukan suatu perbuatan (Verkuyl
1993, 15).

Kata etika muncul pertama kali dalam buku Etika Nikomachea


yang dikarang oleh Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani.
Buku tersebut memuat kaidah-kaidah perbuatan manusia. Dari
buku itu, kata etika menjadi istilah teknis khusus untuk “ilmu
pengetahuan yang mempelajari/menyelidiki soal kaidah-kaidah
dalam rangka mengukur perilaku dan perbuatan manusia.”

Untuk mendefinisikan apa itu etika, ada baiknya terlebih dahulu


dibedakan antara pertimbangan etis dan nonetis. Bilamanakah
suatu pertimbangan itu berkaitan atau tidak berkaitan dengan
etika.

Sebagai contoh pertimbangan dan keputusan seseorang untuk


memilih makan nasi goreng atau KFC didasarkan pada
pertimbangan etis? Bisa ya, bisa tidak. Tidak merupakan
pertimbangan etis bila tindakan itu semata-mata didasarkan pada
pertimbangan selera. Jadi, seseorang yang memilih makan nasi
goreng dan bukan KFC tidak bisa kita adili, apakah dia itu baik
atau jahat. Bila pertimbangan untuk makan nasi goreng dan
bukan KFC didasarkan pada pertimbangan kesehatan, karena
menjaga kesehatan, tindakan itu adalah tindakan yang dianggap
bertanggungjawab. Dengan contoh ini, jelaslah bahwa
pertimbangan dan keputusan etis adalah pertimbangan dan
keputusan yang terkait dengan masalah baik, benar atau
bertanggungjawab atau sebaliknya. Pertimbangan nonetis adalah
pertimbangan yang didasarkan bukan pada pertimbangan baik,
benar, bertanggungjawab atau tidak, melainkan didasarkan pada,
misalnya: selera makan atau mode pakaian dan sebagainya.

Hal ini berbeda dengan ungkapan “sikap/tindakan etis dan


tindakan yang tidak etis.” Keduanya adalah sikap dan tindakan
yang didasarkan pada pertimbangan etis. Yang pertama bermakna
bahwa sikap dan tindakannya itu baik secara etis, sedangkan yang
kedua adalah sikap dan tindakannya itu tidak baik secara etis.

71
Apakah penilaian etis itu hanya sebatas perilaku yang kelihatan?
Bagaimana suatu tindakan yang kelihatannya baik tetapi didorong
oleh motivasi menginginkan pujian atau motivasi tersembunyi
yang bersifat egoistis? Masihkah kita menilai perilaku yang
kelihatan itu suatu hal yang baik jika akhirnya ketahuan bahwa
motivasinya hanya ingin mencari pujian atau mempunyai
kepentingan pribadi? Tentu saja tidak. Apa yang dinilai baik,
tidak sebatas terhadap perilaku yang kelihatan saja melainkan
juga motivasi yang mendorong perilaku itu harus dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam kaitan ini, masih perlu dibedakan
lagi antara istilah baik dan benar sebab baik dan benar tidak
selalu berkonotasi etis. Misalnya dalam ungkapan bahwa “apel
ini masih baik” atau dalam ungkapan “2+2= 4 adalah benar”
keduanya tidak ada konotasi etis.

Dengan demikian, disimpulkan bahwa penilaian dan


pertimbangan etis itu selalu berkaitan dengan penilaian atau
pertimbangan mengenai baik, benar, bertanggungjawab atau
sebaliknya, tentang perilaku dan motivasi manusia. Karena itu,
sebagai ilmu, etika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
nilai- nilai atau norma-norma sebagai dasar untuk menilai
perilaku dan motivasi manusia itu dikatakan baik, benar,
bertanggungjawab atau sebaliknya. Definisi lain yang diberikan
oleh Albert Schweitzer yakni “etika adalah nama yang kita
berikan kepada keprihatinan kita untuk perilaku yang baik. Kita
merasa suatu kewajiban untuk mempertimbangkan bukan saja
kesejahteraan diri kita sendiri, namun juga orang-orang lain
bahkan masyarakat manusia secara keseluruhan” (Ryan dan
Bohlin1999, ix). Dimensi studinya yang serius tidak
ditampakkan, namun saya yakin bahwa ada dimensi itu apabila
seseorang sungguh prihatin. Pandangan Gill mungkin lebih
menolong karena ia membedakan antara an ethic dengan ethics
dalam bahasa Inggris. Maksudnya an ethic ‘suatu etika’ (yang
sama dengan suatu moralitas) adalah “a working set of guidelines
concerning what is good and bad (or evil), right and wrong,
sedangkan maksud ethics (or moral philosophy) is the serius
study of such guidance and its justification (Gill 2000,12).
Silakan Anda mengamati dan menilai perbedaan antara definisi
etika yang dikemukakan oleh Albert Schweitzer dan Gill! Gill
membedakan “suatu etika” (suatu etika atau moralitas) sebagai
suatu perangkat penuntun tentang apa yang baik dan buruk/jahat,
benar dan salah, sedangkan studi yang serius terhadap penuntun
itulah disebut etika (ethics atau disebut juga moral philosophy).
Penulis lebih suka menyebut “an ethic” sebagai “suatu sistem
etika” seperti sistem etika Kristen, sistem etika Hindu, sistem
etika Buddha, sistem etika Islam (sistem etika-sistem etika
teologis), begitu pula sistemetika yang bersumber dari

72
filsafat. Masing-masing sistem etika sudah tentu mempunyai
seperangkat penuntun (guidelines) untuk menilai tentang apa
yang baik atau jahat, yang benar atau yang salah, yang
bertanggungjawab atau sebaliknya.

Sumber: http://thepastwithanewoutfit.wordpress.co
m/2010/12/26/golden-rule/

Dalam sistem etika Kristen, ada sangat banyak perangkat


penuntunnya, meskipun dapat juga didasarkan pada “prinsip
utamanya” atau “golden rule” (kaidah kencananya) saja. Silakan
Anda mengamati dan menilai sistem etika Kristen yang berlaku
hingga dewasa ini!

Silakan Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang


berkenaan dengan cara manusia membangun norma untuk
membuat penilaian moral! Misalnya, bagaimanakah caranya
manusia membangun kaidah atau norma penilaian moral?
Pertanyaan seperti ini sebenarnya telah menggiring kita untuk
studi yang lebih serius tentang “penuntun” penilaian moral. Pada
bagian kedua kita telah memasuki wilayah etika sebagai ilmu
atau disebut filsafat moral.

Bila manusia tidak bisa tidak harus melakukan penilaian moral


atau etis, dari manakah norma penilaian itu? Atau, bagaimanakah
norma itu dibangun? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut pembicaraan beralih pada beberapa teori dalam rangka
pembangunan kaidah atau norma penilaian etis. Beberapa akan
kita bahas dalam bagian ini.

Bila etika sebagai ilmu mempelajari norma-norma sebagai ukuran


untuk menilai secara etis (menilai baik, benar dan
bertanggungjawab), pertanyaannya adalah bagaimanakah orang
membangun normanya/penilaian etisnya? Dalam kaitan itu maka
ada dua kategori teori yang berbeda yakni yang oleh filsuf moral
disebut teori teleologis dan teori deontologist (Wagner1991, 1-
13).

73
1. Teori Teleologis

Teori Teleologis adalah teori yang berpendapat bahwa kebaikan


atau kebenaran itu ditentukan oleh tujuan yang baik (telos =
tujuan). Jadi, kalau seseorang mempunyai tujuan yang baik yang
mendorong suatu tindakan apapun tindakan itu pasti dinilai baik,
melulu karena tujuannya baik. Namun muncul pertanyaan: tujuan
yang baik untuk siapa? Untuk pelakunya kah atau untuk orang
banyak? Dalam hal ini ada dua subteori lagi yakni yang
dinamakan etika egoisme (egoism ethics) dan etika universalisme
(universalism ethics).

Etika egoisme berpendapat bahwa tujuan yang baik adalah bagi


pelakunya (orang itu sendiri atau setidaknya kelompoknya).
Walaupun tujuan yang baik untuk diri sendiri atau kelompoknya
tidak selalu jahat atau buruk, teori ini bisa melahirkan suatu
sistem etika yang disebut “hedonisme” yakni kenikmatan hidup
dengan prinsip nikmatilah hidup ini selagi masih hidup, besok
Anda akan mati dan tidak ada apa-apa lagi yang bisa dinikmati.
Teleologis > Kebaikan/Kebenaran = Tujuan Baik

Etika universalisme adalah teori etika yang berpendapat bahwa


kebenaran/kebaikan itu ditentukan oleh tujuan yang baik untuk
jumlah terbesar. Misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk
kepentingan orang banyak bisa mengorbankan kepentingan
pribadi dan jumlah orang yang lebih sedikit. Kita ingat akan
proyek waduk Kedung Ombo, juga dengan penalaran seperti di
atas. Kita mendapatkan contoh sistem etika utilitarianisme
(utility) seperti yang dikembangkan oleh John Stuart Mill, yakni
yang berprinsip bahwa tindakan yang terbaik yang membawa
dampak atau kegunaan bagi jumlah terbesar itulah yang dinilai
baik, benar dan bertanggungjawab (prinsipnya the greatest good
for the greatest number).
74
2. Teori Deontologis

Teori Deontologis pada prinsipnya berpendapat bahwa suatu


tindakan itu baikbila memenuhi kewajiban moral
(deon=kewajiban). Untuk teori inipun terbagi dua bagian lagi
berkaitan dengan kewajiban itu siapa yang menentukan? Kalau
kewajiban itu ditentukan oleh aturan-aturan yang sudah ada
(darimana pun datangnya) teori itu disebut sebagai “deontologis
aturan” (rule deontologist). Untuk itu, kebanyakan etika yang
bersifat legalistik yang didasarkan pada legalisme, termasuk
dalam teori ini. Apakah etika-etika keagamaan yang sangat
legalistis bisa dimasukkan dalam kategori ini? Namun
ada juga yang berpendapat bahwa kewajiban ditentukan bukan
oleh aturan yang sudah ada melainkan oleh situasi/keadaan, teori
ini disebut “deontologis tindakan” (act deontologist). Dalam hal
ini kita mendapatkan contoh sistem etika yang dikenal dengan
nama etika situasi (situation ethics) yang dikembangkan oleh
Joseph Fletcher.

Pertanyaan untuk didiskusikan: bagaimanakah sistem etika


keagamaan yang Anda anut, masuk dalam kategori manakah? Di
manakah letak etika Kristen dalam kerangka teori di atas?
Apakah orang Kristen dalam proses pertimbangan dan
penilaian etis mendasarkan diri pada tujuan atau pemenuhan
kewajiban-kewajiban moral/etis? Kalau berdasarkan tujuan yang
baik, maka kebaikan untuk siapakah? Kalau berdasarkan
pemenuhan kewajiban moral, darimana kah datangnya kewajiban
moral itu? Apakah dari aturan-aturan moral yang sudah ada (dari
manapun datangnya) atau dari situasi tertentu? Silakan Anda
mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang lain.

Cobalah analisis contoh kasus-kasus berikut ini dengan


menggunakan teori-teori di atas dan buatlah kesimpulan atau
penilaian etis atas kasus tersebut!

Kasus 1:

Pada masa kekuasaan Nazi, orang-orang Yahudi dikejar-kejar


untuk dimusnahkan. Cory ten Boom seorang Kristen yang
saleh menyembunyikan beberapa orang Yahudi di rumahnya.
Ketika tentara Nazi mendatangi rumahnya

75
dan bertanya apakah ada orang Yahudi berdiam di tempat
tinggalnya? Ia dihadapkan dengan pertimbangan moral dan
harus membuat keputusan moral. Ia memilih untuk berbohong
meskipun ia ingat betul salah satu dari Dekalog (10 Perintah
yang merupakan acuan moral orang Kristen) adalah larangan:

”janganlah menjadi saksi dusta.”

Menurut hemat Anda apa yang menjadi dasar pertimbangan


moral Cory ten Boom dalam membuat keputusan etisnya?
Apakah ia mendasarkan diri kepada tujuan yang baik atau
pemenuhan kewajiban moral yang ditentukan oleh hukum-
hukum yang sudah ada seperti kesepuluh hukum Tuhan dalam
dekalog tersebut?

Contoh Kasus 2:

Dilema Heinz dalam penelitian Lawrence Kohlberg

Berikut adalah versi cerita yang sudah diringkas dan


dimodifikasi untuk keperluan diskusi kita.

Ada satu pasang keluarga yakni keluarga Heinz, orangnya


sederhana saja. Istrinya menderita sakit yang sulit diobati, dan
tinggal menunggu waktu. Di kota yang sama, hiduplah seorang
apoteker atau tukang obat yang berhasil menemukan sejenis
obat yang bisa mengobati penyakit yang diderita oleh istri
Heinz melalui kerjakeras dan penelitiannya. Heinz dengan
harap-harap cemas berusaha membeli obat itu, namun
harganya tidak terjangkau oleh Heinz. Walaupun ia sudah
berusaha dengan berbagai cara, si apoteker tidak rela memberi
obat itu untuk istri Heinz. Lalu dalam keputusasaan dan
didorong oleh kecintaan kepada sang istri, ia akhirnya
mencoba mencuri obat itu dan tertangkap, lalu dipenjara.

Coba diskusikan: siapakah yang salah dalam kasus ini? Tentu


saja ada hukum negara yang melarang mencuri bukan? Apakah
sikap Heinz salah karena berusaha menyelamatkan sang istri
tercinta? Apakah sang apoteker benar mempertahankan harga
obat yang mahal itu karena telah berkorban meneliti dan
membuatnya? Adakah prinsip- prinsip yang lebih utama yang
dipakai Heinz untuk membenarkan tindakannya? Apakah ada
prinsip mendasar yang barangkali diabaikan oleh si apoteker
dalam menentukan sikapnya? Cobalah eksplorasi pertanyaan-
pertanyaan kritis lain yang berhubungan dengan kasus
tersebut.

Kedua contoh disebut sebagai keadaan dilematis. Suatu


keadaan ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama mempunyai konsekuensi melanggar aturan atau
norma yang berlaku, namun orang harus memilih salah satu
dari antaranya. Banyak contoh pilihan etis tetapi tidak

76
berada dalam situasi dilematis. Contoh kasus ke-3 berikut ini
akan mencoba menolong Anda untuk melihat sisi lain dari
moralitas dan karakter.

Contoh Kasus 3:

Osceola McCarthy, seorang tukang laundry yang pensiun

Osceola McCarthy menjadi agak terkenal pada tahun 1995 di


Amerika Serikat, pada usianya yang ke-87 tahun, ketika
seseorang dari Universitas Southern Missisippi menceritakan apa
yang ia perbuat. McCarthy, seorang tua dan miskin Amerika
yang berasal dari Afrika telah memberikan tabungannya selama
bertahun- tahun menjadi tukang cuci pakaian yang berjumlah
US$ 150,000 atau setara dengan 1,5 milyar rupiah kepada
universitas tersebut. Tujuan donasinya kepada universitas
tersebut adalah untuk mendukung beasiswa bagi mahasiswa
Amerika yang berasal dari Afrika. Ia menabung satu sen dari
upahnya mencuci dan mengeringkan pakaian untuk para ningrat
di daerahnya, dan ia ingin menolong orang-orang muda dalam
komunitasnya. Ia mengatakan kepada pejabat universitas, ”I am
giving my savings to the young generation ... I want them to
have an education” (Ryan and Bohlin: 1999, 3). Luar biasa
bukan? McCarthy tidak mempunyai pendidikan formal yang
cukup, karena waktu kelas 6 SD ia meninggalkan sekolah untuk
merawat tantenya yang sakit. Ia juga menolong ibu serta
neneknya dalam bisnis cuci pakaian di belakang rumah. Ketika
tantenya sudah sehat kembali, ia merasa bahwa kembali ke
sekolah sudah tak pantas lagi karena pastilah ia kelihatan lebih
besar dari kawan-kawan sekelasnya. Ia kemudian menjadi
pembantu dalam bisnis cuci pakaian itu, bangun bersama
terbitnya matahari, dan bekerja hingga tenggelamnya matahari.
Dunianya hanya terdiri dari tiga, yakni tempat cucian/bak air,
papan seterika, dan Alkitabnya. Tidak pernah menikah dan tidak
mempunyai anak. Ketika menderita arthritis, McCarthy
memutuskan untuk memberikan kesempatan yang tidak ia
dapatkan. Ia berkata saya harus bekerja keras sepanjang hidupku
agar mereka dapat memiliki kesempatan yang tidak saya miliki.
Beasiswa McCarthy diberikan kepada lulusan sekolah menengah
yang tidak bisa melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi.
Pemberian McCarthy telah memberi inspirasi begitu banyak
orang untuk melakukan tindakan kemurahhatian, tetapi beberapa
orang jadi bingung. Ia selalu ditanya mengapa ia tak
menggunakan tabungannya untuk dirinya sendiri? Ia menjawab
secara sederhana, “aku telah menggunakannya bagi diriku.” Dari
kata-katanya kita bisa menafsirkan bahwa dengan
menyumbangkan tabungannya bagi mereka yang kurang
beruntung, ia telah menemukan makna hidupnya, dan dengan
begitu, ia bahagia. Kasus ini benar-benar terjadi. Kesempatan
menggunakan uangnya cukup besar, tetapi uang itu ia
sumbangkan untuk mengambil kembali kesempatannya yang
hilang dengan memberi kesempatan bagi orang lain untuk tidak
menjadi seperti dia.

77
Anda dapat menanya secara kritis prinsip apakah yang menuntun
keputusannya? Darimanakah prinsip itu ia dapatkan dan
kembangkan dalam hidupnya? Apa hubungan iman dan moralitas
serta karakter di sini? Topik etika dan moralitas yang dibahas di
atas selalu berkaitan dengan karakter kristiani karena
berhubungan dengan sifat/karakter individu dan komunitas yang
membentuknya. Di bawah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
karakter tersebut.

Today’s students are tomorrow’s leaders and citizens. If the


schools educate the students to be young people of high
character, our country will eventually become a nation of high
character” (Ryan dan Bohlin 1999, xi).

Kutipan ini ingin menunjukkan bahwa karakter itu sangat


penting, bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat
bahkan bangsa. Karena itu, kita perlu menggali dan mengkaji
karakter, hubungan karakter dengan iman dan Etika Kristen, serta
bagaimana membangun karakter. Silakan Anda mengumpulkan
banyak informasi dari berbagai buku dan sumber belajar yang
lain mengenai pengertian karakter, hubungannya dengan iman
dan Etika Kristen serta bagaimana membangun karakter.

Apakah karakter itu? Mengapa karakter itu penting? Inilah


beberapa pertanyaan awal kita. Gill adalah seorang yang dengan
teliti mencoba menggali dari berbagai sumber apa itu karakter
dan juga menunjukkan hubungan antara karakter dan iman
Kristen.
Sumber:
http://qbq.com/3-traits-
of-accountable-

people/
Mengapa kita melakukan hal yang kondisi mental dan
kita lakukan? Ini suatu pertanyaan psikologis kita. Kalau
penting dan kompleks. Pilihan- kita sedang stres, kita
pilihan kita tentang baik dan berbicara
buruk mempunyai sejumlah faktor dan bertindak lain
dibandingkan waktu kita
penyumbang: misalnya

78
tidak stres. Lingkungan sosial banyak berperan dalam keputusan
dan tindakan etis kita. Hubungan-hubungan masa lampau kita
juga bisa memengaruhi kita, begitu pula orang-orang sekitar kita
bisa memberi tekanan atau mendukung yang pada gilirannya
memengaruhi kita. Kadang kita juga mengatakan pikiran-pikiran
jahat selalu membisikkan kepada kita untuk melakukan sesuatu,
atau sebaliknya Tuhan mengatakan agar kita melakukannya
(Gill,2000:27).

Sebelum lebih jauh dibicarakan tentang karakter, perlu


diperhatikan beberapa konsep penting berikut ini: prinsip-prinsip
(principles), nilai-nilai (values) dan kebajikan-kebajikan
(virtues). Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin yang dapat menunjukkan dengan jelas perbedaan antara
prinsip-prinsip (principles), nilai- nilai (values) dan kebajikan-
kebajikan (virtues).

Manakala seseorang melakukan sesuatu yang secara moral terpuji


atau sebaliknya, perhatian orang tertuju kepada prinsip-prinsip
moral mereka (apakah tinggi, rendah atau tidak ada). Prinsip-
prinsip moral diartikan sebagai pernyataan singkat (brief
statement) yang berfungsi sebagai penuntun tindakan yang
menentukan hal benar apa yang harus dilakukan (atau sebaliknya
yang tak boleh dilakukan). Pada dasarnya prinsip- prinsip bersifat
luas, umum, dan inklusif seperti halnya apa yang sering disebut
sebagai kaidah kencana (Do unto others as you would have them
do unto you). Sama seperti engkau suka orang lain perbuat
kepadamu, perbuatlah itu kepada orang lain, kata Yesus (lih.
Luk.6:31). Contoh lain adalah “principle of utility” (Do what
results in the greatest happiness for the greatest number).

Akan tetapi, masalah dalam pengambilan keputusan etis ini tidak


terletak pada kurangnya prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang
baik. Mereka yang korupsi uang rakyat dari pajak atau
membunuh orang yang tak berdosa pasti juga tahu perintah
jangan mencuri dan jangan membunuh. Karena itu menurut Gill,
kalau ada orang yang baik seperti Mother Theresa dll., mungkin
prinsip-prinsip yang baik saja tak cukup menjelaskan mengapa
mereka melakukan apa yang dilakukan. Di mana-mana kita
menyaksikan kemerosotan prinsip- prinsip moral dalam berbagai
tindakan manusia, namun ada banyak bukti pula bahwa memiliki
prinsip-prinsip moral tidak dengan sendirinya akan menuntun
kepada pelaksanaannya.

Menurut Gill, ada sesuatu yang lebih mendasar daripada sekadar


prinsip-prinsip: yaitu karakter. Prinsip cenderung melayang-
layang di atas eksistensi kita seperti formula- formula yang
terpisah dari diri kita. Kita berkonsultasi
79
dengan mereka; kadang juga terkait dalam ingatan kita. Prinsip
tidak selalu diaplikasikan terhadap situasi konkret. Dibutuhkan
motivasi dan upaya keras untuk mengingat, menafsirkannya, dan
menerapkan serta menghidupi prinsip-prinsip tersebut. Pada sisi
lain, karakter Anda selalu ada bersama Anda, selalu secara segera
hadir dalam situasi apapun. Kekuatan karakter dapat menolong
membawa kita melalui situasi-situasi saat kita tidak dapat
mengingat suatu prinsip pun. Jadi, apakah karakter itu? Bill
Hybels, seorang pendeta, mengatakan karaktermu adalah “siapa
Anda ketika tidak seorangpun melihatmu,” maksudnya adalah
bahwa Anda harus tetap jujur bahkan ketika tidak seorangpun
tahu apa yang Anda lakukan. Misalnya, Anda tidak akan
mengambil barang bukan milik Anda meskipun tidak seorangpun
tahu bahwa Anda yang mengambilnya, karena karakter Anda
selalu bersama Anda, yakni karakter kejujuran itu. Kita baru
mengatakan seseorang itu jujur, bukan karena ia tahu dan
memiliki prinsip kejujuran, melainkan karena ia mempraktikkan
kejujuran dan telah menjadi pola hidupnya.

Karakter adalah apa dan siapa kita tanpa orang lain melihat kita
atau tidak. Karakterku adalah orang macam apa saya (siapa saya).
Ada macam-macam karakter: fisik, emosional, intelektual, dll.
Yang terutama adalah karakter moral (moral character).
Mungkin, suatu latihan yang baik, kalau kita membayangkan apa
kata orang kelak pada saat penguburan kita. Bukan gelar, harta
yang mereka katakan tetapi karakter kita, bahwa kita seorang
yang murah hati suka menolong atau orang akan mengatakan kita
sangat pelit.

Kedua, nilai-nilai (values). Konsep lain yang perlu kita bahas


dalam upaya memahami apa itu karakter dan pembentukannya,
adalah konsep mengenai nilai-nilai (values). Sekali lagi perhatian
kita dalam bagian ini adalah tentang karakter moral dan etis.
Suatu cara modern untuk berbicara tentang etika kita adalah
bertanya “apa saja nilai- nilai” kita. Apakah yang kita jawab
tentang nilai-nilai kita? Atau, nilai-nilai apa saja yang secara
aktual menuntun kita (meskipun implisit dan tidak dianalisis)?
Istilah nilai- nilai (values) ini menunjuk kepada fakta bahwa kita
menganggap atau memandang atribut-atribut tertentu dari
karakter kita sebagai “layak” (penting) bagi kita, sebagai hal yang
kita setujui.
80
Sumber:
http://onapitupulu70.wordpress.com/2013/05/21/pendidikan-
karakter-berbasis-nilai-

nilai-kristiani-3/

Persoalan kita dengan bahasa nilai-nilai (values), bukanlah pada


apa yang kita katakan melainkan pada apa yang tidak kita
katakan. Ia menyungguhkan sisi yang subjektif dari isu (walau
adalah penting untuk menghargai beberapa atribut karakter).
Namun ia mengesampingkan pertanyaan apakah “nilai-nilai saya
ini” adalah layak dianut, dan secara aktual memang baik. Kita
juga harus mencatat fakta bahwa kita mengambil dari suatu
istilah ekonomi (value), dan menerapkannya secara total kepada
isu-isu karakter. Hal ini menunjuk kepada konsumerisme dari
perspektif kita dan bahwa hal ini tidak terlalu menggembirakan.

Ketiga, kebajikan-kebajikan (virtues). Menurut Gill lebih baik


menggunakan bahasa nilai-nilai secara terbatas saja, dan berusaha
menemukan kembali bahasa klasik yang penting: virtues
(kebajikan-kebajikan). Pada waktu lalu umum untuk berbicara
tentang atribut atau ciri (trait) dari karakter yang baik sebagai
virtues (kebajikan- kebajikan) sedangkan karakter yang buruk
disebut dengan vices (sifat buruk). Virtues berasal dari bahasa
Latin virtus yang secara harfiah berarti sesuatu seperti “power”
(kekuatan/kuasa). Jadi, virtues pada dasarnya bukan sekadar
values (nilai-nilai) yakni ciri-ciri (traits) yang kita rasakan
berguna/layak, tetapi kekuatan-kekuatan yang merupakan
kemampuan yang riil untuk mencapai sesuatu yang baik. Silakan
Anda

81
mengumpulkan informasi yang lain sebanyak-banyaknya dari
berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai pengertian
kebajikan-kebajikan.

Dari perspektif kebajikan ini, pertanyaannya yang muncul adalah


“apa saja kekuatan-kekuatan (virtues) yang perlu dikembangkan
untuk mencapai suatu kehidupan yang baik?

Sebenarnya, menurut Gill, sebelum istilah Latin virtus sudah ada


konsep Yunani yang disebut arête (yang oleh orang Romawi
diterjemahkan dengan virtus). Karena itulah para filsuf moral
menterjemahkan “the ethics of character” (etika karakter) sebagai
“aretaic ethics” (etika aretaic). Sedangkan arête dalam bahasa
Yunani mungkin paling baik diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sebagai excellence ‘keunggulan‘. Keunggulan ini bukan
keunggulan dalam semua hal, melainkan hanya keunggulan
dalam terang tujuan yang sudah ditentukan. Karena itu, virtue
sebagai arête ‘keunggulan’ merujuk kepada kekuatan-kekuatan
dan kemampuan-kemampuan yang kita miliki–bukan semua
kekuatan dan kemampuan, melainkan hanya yang memungkinkan
kita mencapai secara unggul tujuan-tujuan kita. Dapat juga
dikatakan bahwa virtues adalah keterampilan yang dibutuhkan
untukmencapai tugas kehidupan (yang baik). Ketika kebajikan-
kebajikan seperti itu terjalin dalam karakter kita, kebajikan-
kebajikan itu tidak menjadi sekadar komponen-komponen
pengalaman hidup kita tetapi sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan,
kecenderungan-kecenderungan, dan watak-watak yang terus-
menerus. Ketika bermacam- macam tantangan muncul, kita tidak
hanya berkonsultasi dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai, tetapi
kita sudah mempunyai kecenderungan dan keinginan untuk
bereaksi dengan kebaikan, keadilan, atau dengan kebajikan-
kebajikan lain yang tepat- kita juga telah memeroleh
keterampilan dan kemampuan untuk bertindak dengan cara yang
tepat.

Kembali lagi kepada pertanyaan awal: apakah sesungguhnya


karakter itu? Ryan dan Bohlin mencoba dengan cara yang agak
beda menjelaskan tentang apa itu karakter. Dengan mengutip
Exupery yang mengatakan “It is only with the heart that one
seesrightly; what is essential is invisible to the eye.” Dari kutipan
itu mereka berdua ingin mengatakan bahwa karakter adalah satu
dari hal-hal yang esensial tersebut. Karakter adalah salah satu dari
kata-kata yang biasa kita dengar, tetapi yang sulit dijelaskan.
Seperti halnya semua hal abstrak, kita tak bisa melihat,
menjamah, maupun merasakannya. Bilamana kita berada di dekat
seseorang yang mempunyai karakter yang baik, kita bisa
menyadarinya (Ryan 1999, 5).
82
Kata bahasa Inggris “character” berasal dari bahasa Yunani
charassein yang berarti ’mengukir, memahat ‘seperti tindakan
mengukir pada lempengan lilin, batu permata, atau permukaan
logam. Dari akar tersebut, berkembanglah arti karakter sebagai
suatu tanda atau petunjuk yang khusus, dan dari situ
bertumbuhlah konsepsi bahwa karakter adalah pola perilaku
individu yakni keadaan moralnya. Setiap manusia ditandai oleh
berbagai campuran khas antara hal-hal negatif, kesabaran,
kelambanan, keprihatinan, kebaikan dan sejenisnya. Menurut
Ryan dan Bohlin, suatu karakter yang sudah tetap– misalnya
karakter yang baik–jauh melebihi sekadar pola perilaku dan
kebiasaan bertindak yang tetap.

Mereka menyimpulkan bahwa karakter yang baik adalah sifat


mengetahui apa yang baik, mencintai yang baik, dan melakukan
apa yang baik. Ketiganya secara dekat berhubungan. Kita lahir
dengan orientasi yang berpusat pada diri sendiri, dan tidak tahu
apa-apa di mana dorongan-dorongan primitif kita menguasai
penalaran kita. Semua upaya pendidikan dan pengasuhan adalah
untuk membawa kecenderungan, perasaan, dan cita-cita dalam
harmoni dengan penalaran.

Untuk mengetahui yang baik, tibalah pada pemahaman akan yang


baik dan jahat. Tindakan ini berarti mengembangkan kemampuan
untuk menilai situasi, dan secara sadar memilih hal yang benar
untuk dilakukan dan melakukannya. Inilah yang disebut oleh
Aristoteles sebagai penalaran praktis (practical reason). Ini tidak
hanya bijaksana mengatur waktu tetapi juga menentukan
prioritas, dan memilih dengan baik dalam semua bidang
kehidupan.

Mencintai yang baik berarti mengembangkan suatu perasaan dan


emosi moral yang penuh, termasuk mencintai apa yang baik dan
membenci yang jahat, termasuk suatu kemampuan untuk
berempati dengan orang lain. Ini adalah masalah menyukai untuk
melakukan yang baik. Mencintai yang baik memungkinkan kita
menghargai dan mengasihi meski kita tahu tindakan-tindakannya
salah. Ia mengizinkan kita mencintai orang yang berdosa dan
membenci dosanya.

Melakukan yang baik berarti, bahwa setelah pertimbangan yang


teliti dan sungguh-sungguh atas semua keadaan dan fakta-fakta
yang relevan, kita mempunyai kemauan untuk berbuat/bertindak.
Dunia kita penuh dengan orang-orang yang tahu hal benar apa
yang harus dilakukan, tetapi kurang sekali kemauan untuk
melakukannya. Mereka tahu apa yang baik, tetapi tak dapat
menghantar mereka kepada melakukan yang baik.

83
Pertanyaannya adalah apakah yang baik? Kebudayaan sangat
majemuk dan pendapat orang mengenai yang baik itu juga
kadang majemuk, walaupun ada tumpang tindihnya di sana sini.
Semua budaya mempunyai semacam bentuk “golden rule” (Ryan
dan Bohlin 1999, 6-7). Biasanya apa yang baik melampaui batas-
batas budaya dan bahkan batas-batas agama.

Namun dari perspektif Kristen, yang baik adalah yang


dikehendaki Tuhan. Apa yang dikehendaki Tuhan? Sangat
banyak dan tersebar dalam seluruh Alkitab. Intinya adalah
“kasih” atau mengasihi karena itulah hukum utama dan pertama.
Apa artinya mengasihi itu? Tentu saja masih membutuhkan
penjelasan. Bisa juga kita katakan bahwa hukum kasih yakni
“mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama seperti mengasihi
diri sendiri” (lih. Mat. 22:37-40) adalah prinsip utama dan
terdalam. Hal ini masih bisa dijabarkan secara lebih spesifik
seperti dalam kata-kata Tuhan Yesus dalam Lukas yang
mengatakan: “sama seperti kamu suka orang lain perbuat
kepadamu, maka perbuatlah itu kepada orang lain.”

Bagaimanakah hubungan antara iman dan etika Kristen dan


karakter Kristen? Hubungan di antara ketiganya sangat erat dan
bahkan menyatu. Iman Kristiani, bilamana dipahami dengan
betul, tidak hanya menyangkut kepercayaan dalam arti kognitif,
sebagai pengakuan intelektual kita mengenai kebenaran dari yang
kita percayai. Iman Kristiani juga mencakup pengertian
mempercayakan diri kepada yang dipercayai dan membangun
sikap dalam hubungan dan komitmen dengan yang dipercayai.
Pada akhirnya, pengetahuan dan sikap saja tidak cukup untuk
mewujudkan iman Kristiani itu. Kita perlu melakukan apa yang
kita percayai dan kita ketahui bahwa hal itu baik.

Tuhan Yesus setelah selesai membasuh kaki para murid-Nya,


menantang mereka dengan pertanyaan: mengertikah mereka akan
apa yang sudah dilakukan-Nya? Dan tanpa menunggu jawaban
mereka, Tuhan Yesus langsung melanjutkan dengan kata-kata
berikut ini: “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan
melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang
mendirikan rumahnya di atas batu” (Mat. 7:24).

Intinya jelas bahwa karakter Kristen tidak hanya terbatas pada


tahu apa yang baik, tetapi juga mempunyai kecintaan, dan
keinginan melakukannya, serta melakukannya dalam tindakan
nyata. Berkali-kali Alkitab mempertegas hal ini, misalnya dalam
Yakobus 2:26 yang mengatakan bahwa “sama seperti tubuh tanpa
roh adalah mati, demikianpun iman tanpa perbuatan adalah mati.”
Di
84
sini seolah-olah iman dan perbuatan dipisahkan, mungkin saja
iman dalam arti tahu apa yang baik.

Gill kembali lagi menegaskan perlunya memahami konsep “hati”


di dalam Alkitab. Bagi mereka yang percaya akan Alkitab
sebagai Firman Tuhan, “hati” adalah pusat yang mengontrol
kehidupan seseorang. Tuhan Yesus mengatakan, “sebab dari
dalam, dari hati orang timbul segala pikiran jahat, percabulan,
pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan,
kelicikan, hawa nafsu, irihati, hujat, kesombongan, kebebalan.
”Semua hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang (lih.
Markus 7:21-23). Karena itu, kita butuh hati yang baru, cara
pandang baru, yang berasal dari Allah dan diasuh oleh firman-
Nya serta didukung oleh komunitas orang berkarakter baik,
sehingga seseorang terbangun karakter Kristianinya.

Hati kita adalah hakikat paling inti dari keberadaan kita, dari jiwa
kita, dan menjadi pusat yang mengontrol karakter kita. Hati
menjadi sumber mata air dari motivasi-motivasi dan perilaku kita.
Anda dapat melihat betapa dekat hubungannya dengan karakter
kita. Dalam membangun dan membangun kembali karakter kita,
hati kita harus terkait dengan hati baru, dan hidup baru yang
dijanjikan Allah.
Bagaimanakah pembangunannya? Inilah yang kita sebut
pendidikan karakter. Tanggungjawab siapakah pendidikan
karakter itu? Pertama, dari sudut pandang manapun, terutama
teologis, pendidikan karakter adalah tanggungjawab utama dan
pertama dari orang tua, karena setiap anak pada umumnya terlahir
dalam keluarga, dan dipercaya anak sebagai karunia Tuhan.
Karena itu, orang tua lah penanggungjawab utama untuk
pendidikan karakter bagi anak-anaknya.

Kedua, secara tradisional, komunitas agamawi juga


bertanggungjawab terhadap pendidikan karakter umatnya. Fungsi
agama, antara lain, sebagai penuntun moral, termasuk karakter
moralnya. Di sinilah dipertanyakan apakah keluarga maupun
komunitas iman benar-benar telah menjalankan tanggungjawab
ini? Apa hambatan dan halangannya? Coba Anda diskusikan
dengan rekan Anda, apa yang salah dengan keluarga dan Gereja
sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap pendidikan
karakter. Apa solusi yang Anda hendak berikan?

Ketiga, sekolah bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter.


Belakangan ini, sekolah diingatkan untuk mengerjakan
tanggungjawab ini khususnya
85
masyarakat Amerika yang sudah menjadikan pendidikan karakter
sebagai suatu gerakan nasional.

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, bahwa karakter adalah


“tahu apa yang baik, mencintai apa yang baik, serta melakukan
apa yang baik”. Pendidikan karakter adalah upaya sengaja untuk
menolong naradidik di dalam konteks manapun untuk
mengetahui apa yang baik, mencintai apa yang baik serta
maumelakukan apa yang baik itu.

Sudah dikatakan bahwa suatu kebajikan itu baru akan menjadi


kebiasaan bilamana hal-hal itu sudah terjalin dalam pengalaman
kehidupan. Jadi, untuk menjadi orang berkarakter baik
dibutuhkan pembiasaan, pengajaran dan dorongan. Pembiasaan
itu hanya bisa terwujud bilamana para pendidik apakah orang tua,
pemimpin umat, dan guru dapat menjadi teladan yang berwibawa
dan bisa menegakkan disiplin dan kebiasaan yang baik.

Di sinilah dibutuhkan dukungan komunitas karakter. Keluarga,


sekolah dan gereja/komunitas agamawi dapat menjadi komunitas
karakter. Hal ini hanya bisa terjadi bila keluarga,
sekolah/universitas, serta komunitas agamawi mempunyai budaya
berkarakter: adil, memberi perhatian, disiplin, terbuka, dll.
Pendidikan agama hanyalah salah satu unsur kecil dalam
keseluruhan budaya suatu komunitas keluarga, gereja dan
sekolah. Alangkah baiknya bila ketiga pilar tadi bekerjasama
secara sinergis sehingga karakter anak didik benar-benar
terbangun. Ingat bahwa dunia melalui berbagai industri budaya
dan hiburan/mainan menawarkan dan membangun karakter anak-
anak muda tetapi karakternya yang bertentangan dengan
kebajikan yang dianut keluarga, sekolah dan gereja.

http://ethicalframeworks.wikispaces
.com/

Ethical+Frameworks

Sumber:
sistem etika Islam, sistem etika
Hindu, sistem etika Buddha, atau
sistem etika filsafati seperti
utilitarianisme, positivisme dan
Berbicara tentang etika, sebagainya. Fokus tulisan ini adalah
yang akan dibicarakan etika Kristen. Etika Kristen yakni
adalah sistem etika yakni ilmu yang mempelajari norma-
sistem etika Kristen, norma atau

86
nilai-nilai yang digunakan oleh orang Kristen untuk menilai
tindakan dan motivasi manusia itu dapat dikatakan baik, benar,
dan bertanggungjawab atau sebaliknya. Untuk itu, acuannya
adalah kitab suci Alkitab yang dipercayai sebagai standar bagi
kepercayaan dan perilaku/motivasi orang Kristen. Apakah etika
Kristen itu masuk dalam kategori teleologis atau deontologis?
Atau keduanya? Apakah Alkitab langsung memberi hukum-
hukum dan aturan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh?
Ataukah pernyataan Alkitab hanya memberi prinsip umum yang
harus diaktualisasikan dalam situasi yang konkret? Misalnya,
menghadapi masalah nilai kesetaraan gender, dari bagian
manakah nilai kesetaraan gender itu diambil? Tentu tidak ada
hukum kesetaraan gender, tetapi prinsipnya ada yakni bahwa
manusia diciptakan oleh Tuhan menurut gambar-Nya dan mereka
diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Karena keduanya
diciptakan segambar dengan khaliknya, manusia laki-laki
maupun perempuan setara dan sederajat, jadi ada kesetaraan
gender (equality=kesamaderajatan manusia laki-laki dan
perempuan). Kesetaraan dalam harkat, martbat dan hak-hak
paling asasi, dan tidak dimaksudkan setara atau sama dalam
segala fungsi. Laki-laki tentu tidak bisa mengandung dan
melahirkan, mengandung dan melahirkan adalah kodrat
perempuan dan tidak ada kaitannya dengan perbedaan derajat.
Dekalog/sepuluh perintah Tuhan memuat larangan-larangan dan
bisa dianggap sebagai hukum-hukum. Kalau dibaca dari kaca
mata Perjanjian Baru, dekalog tetap merupakan acuan moral dan
karakter orang percaya. Walaupun Tuhan Yesus
memperbaharuinya dengan mengatakan bahwa hanya ada satu
hukum utama yakni hukum kasih, baik kasih kepada Allah dan
dan kasih kepada sesama manusia (atau lebih akurat dikatakan:
kasih kepada Allah melalui kasih kepada sesama dan
pemeliharaan terhadap ciptaan Allah). Inilah jiwa dari sepuluh
hukum dalam dekalog tersebut. Tanpa kasih, ketaatan terhadap
kesepuluh hukum itu akan kehilangan roh dan justru bisa
mengorbankan esensinya yakni kasih.

Setiap sistem etika ada prinsip utamanya (ultimate principle).


Demikian pun dalam sistem etika Kristen ada prinsip utamanya:
yakni prinsip kasih. Silakan Anda memberikan argumentasi Anda
yang memperlihatkan kesetujuan Anda bahwa prinsip utama
dalam sistem etika Kristen adalah kasih! Kasih lebih dari sekadar
tidak melakukan kepada orang lain apa yang tidak kita suka orang
lain lakukan kepada kita, melainkan terutama sebuah prinsip
“sama seperti kita suka orang lain lakukan kepada kita
demikianlah juga kita melakukan kepada orang lain” (lih. Lukas
6:3). Jadi, kaidah kencana itu bisa kita ambil dari Matius
87
22:37-40 tentang Hukum Kasih (prinsip kasih) dan Lukas 6:31
sebagai prinsip umumnya. Keduanya tidak hanya prinsip yang
abstrak di luar diri manusia melainkan harus
ditumbuhkembangkan sehingga terjalin dalam pengalaman
keseharian manusia. Itulah yang menjadi dasar karakter Kristiani.

Kasih adalah melakukan apa yang terbaik bagi yang dikasihi.


Kasih tanpa syarat, bukan kasih karena…, melainkan kasih
walaupun….

Bila etika adalah ilmu yang mempelajari norma-norma sebagai


ukuran untuk menilai perilaku dan motivasi manusia apakah baik
atau tidak, pertanyaan yang muncul adalah dari manakah sumber
norma manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua
kategori jawaban. Pertama, dari Allah atau yang dianggap Tuhan.
Kedua, dari manusia sendiri melalui kontrak sosial atau
penalarannya.

Berikut ini adalah deskripsi tentang etika teologis dan filsafati.


Amatilah perbedaan antara etika teologis dan filsafati dalam
uraian berikut. Setelah itu, Anda diminta untuk
mengomunikasikan perbedaan antara etika teologis dan filsafati
dengan menggunakan kata-kata Anda sendiri di kelas.

1. Etika Teologis

Etika teologis adalah sistem etika yang sumber normanya


dipercayai berasal dari Tuhan atau setidak-tidaknya lahir dari
asumsi-asumsi teologis baik tentang Tuhan dan manusia yang
sumber utamanya dari kitab suci masing-masing agama.
Pernyataan- pernyataan dari kitab suci masing-masing agama itu
masih perlu ditafsirkan dalam konteks dan sejarahnya agar
menemukan arti serta nilai-nilai yang bisa dijadikan norma
perilaku dan motivasi manusia. Etika Kristen, etika Islam, etika
Hindu, etika Buddha, dll. termasuk dalam kategori etika teologis.
Memang cara orang percaya menggunakan kitab suci untuk
menyimpulkan nilai moral sebagai norma etis berbeda antara satu
orang/kelompok dengan orang/kelompok lain. Walaupun
demikian, tidak dapat disangkal bahwa dari berbagai etika
teologis itu banyak sekali nilai-nilai yang tumpang tindih atau
sama. Mengapa demikian? Bisakah Anda memberi penjelasan
berupa deskrispsi yang memadai? Menurut Anda, adakah
masalah ketika seseorang menganut suatu sistem etika yang
sumber normanya dipercayai berasal dari Tuhan? Berilah contoh
dalam deskripsi atau jawaban Anda! Mungkinkah seseorang
dapat melakukan kesalahan/pelanggaran serius
88
melulu karena yakin bahwa nilai moralnya dari Tuhan dan
diterapkan secara harafiah tanpa memahami konteksnya dulu
maupun sekarang?

Bagi sistem etika Kristen, acuan utamanya adalah pada tokoh dan
teladan Kristus sendiri, melalui ajaran-ajaran-Nya terutama
melalui contoh kehidupan-Nya. Karakter yang ideal sesuai
kehendak Allah terwujud dan tercermin dalam keseluruhan
hidup-Nya. Jadi, apa yang sudah dijelaskan di atas, tidak ada
etika Kristen dan karakter Kristen kalau tidak dikaitkan dengan
Yesus Kristus baik melalui ajaran-Nya dan teladan-Nya.

2. Etika Filsafati

Etika filsafati adalah etika yang dibangun atas dasar pemikiran


filsafati manusia maupun berdasarkan kontrak sosial. Etika
filsafat ini sudah ada sejak dulu, bahkan setiap kebudayaan
melahirkan sistem nilai yang menjadi norma perilaku dan
motivasi yang baik. Yang menjadi persoalan, apakah sistem etika
teologis/keagamaan tidak membutuhkan sistem etika filsafati atau
setidaknya pemikiran filsafati keagamaan, atau sebaliknya?
Mungkinkah?

Yang masuk dalam kategori etika filsafati adalah positivisme,


hedonisme, utilitarianisme dan lain-lain. Dalam kaitan dengan
etika filsafati, di manakah letak sistem etika Kristen? Apakah
sistem etika Kristen hanya menjadikan kitab suci agamanya
(Alkitab) sebagai sumber satu-satunya. Sebagai suatu sistem,
dibutuhkan koherensi dan penalaran sehingga pasti butuh
penalaran filsafati juga walaupun etika Kristen tidak bisa
dikatakan sebagai produk penalaran manusia saja. Bila produk
penalaran manusia saja, etika Kristen kekurangan daya
pendorong untuk dilakukan.

Agama tanpa dimensi etis, moral, dan karakter, hampir tidak ada
fungsi yang signifikan bagi kemanusiaan dan dunia ciptaan
Tuhan. Agama mungkin hanya berfungsi memberi penghiburan
di kala duka, dan pengharapan di kala putus asa sambil
menggiring orang masuk surga. Pada bab ini, secara agak panjang
lebar telah dibahas etika, moral, dan karakter serta kaitannya
dengan iman Kristiani. Walau etika sebagai ilmu mempelajari
prinsip-prinsip dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibangun,
etika juga kurang berguna bila suatu sistem etika tidak memberi
seperangkat penuntun untuk bertindak konkret. Etika Kristen
sebagai suatu sistem memang menjadi seperangkat penuntun
untuk bertindak secara moral di tengah-tengah nilai-nilai yang
bertabrakan di sana sini yang membuat manusia bingung. Sudah
tentu etika Kristen bukan satu-
89
satunya penuntun yang berlaku di masyarakat karena masing-
masing sistem etika menawarkan penuntun. Meski sumber
penuntun moral itu adalah Alkitab, dan tersebar di mana-mana,
ada prinsip utama yang menjadi Kaidah Kencananya, yakni yang
terdapat dalam Hukum Kasih: kasih kepada Allah melalui kasih
kepada sesama dan alam ciptaan Tuhan. Bisa juga sumber
penuntun moral diambil dari kata-kata Tuhan Yesus:
sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah juga demikian kepada mereka. Pada akhirnya etika
dan moralitas harus menunjukkan kebajikan-kebajikan (virtues)
yang kemudian melalui pendidikan membangun karakter
kebajikan-kebajikan tersebut terjalin dengan pengalaman
keseharian kita. Itulah karakter yang baik, sehingga tujuan
pendidikan semula untuk menjadi naradidik “smart and good”
menjadi suatu kenyataan yang pada gilirannya menyumbang
untuk menjadikan bangsa dan masyarakat ini berkarakter.

Coba Anda telusuri bagaimana karakter dari masyarakat kita


terutama para pejabat publik, apakah menurut Anda karakter
mereka cukup menggembirakan? Ataukah memprihatinkan? Beri
alasan atas jawaban Anda! Apakah Anda mempunyai solusi jika
hal itu memprihatinkan? Apa solusi Anda? Presentasikan di
depan kelas!
90
BAB V

HUBUNGAN IMAN KRISTIANI DENGAN ILMU


PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI

Sumber: http://www.blogs.hss.ed.ac.uk/science-and-religion/
Kita hidup pada zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan dalam
banyak hal persoalan-persoalan manusia banyak teratasi
walaupun masalah-masalah baru terus bermunculan. Kemajuan
ilmu pengetahuan juga membawa dampak bagi kehidupan
manusia termasuk kehidupan beragamanya. Beberapa negara
barat, yang dibangun atas dasar industri, atas dasar kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami kemerosotan dalam
hal kehidupan beragama. Manusia cenderung sulit mengambil
sikap yang tepat dalam kaitan antara imannya dan ilmu
pengetahuan yang sangat maju.

Kita juga hidup dalam suatu dunia saat teknologi telah mencapai
kemajuan yang tidak terbayangkan dalam berbagai bidang
terutama teknologi komunikasi. Sudah banyak dampaknya baik
yang lebih memanusiakan manusia, maupun yang kurang atau
tidak memanusiakan manusia.

91
Seni adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia termasuk kehidupan agamawinya. Ada pengaruh timbal
baliknya di antara keduanya.

Bab ini akan mempelajari bagaimana hubungan iman dengan


ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mencari hubungan
yang bermakna di antara ketiganya.

Setelah Anda mempelajari bab ini, Anda diharapkan mencapai


beberapa tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang
hendak dicapai adalah: (i) bersikap rendah hati dan bergantung
kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang
teratur; (ii) berpengharapan akan masa depan yang lebih baik;
(iii) berdisiplin dan bertanggung jawab dalam menuntut,
mengembangkan, serta menggunakan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni;

(iv) menjelaskan tanggung jawab etis kristiani dalam konteks


kehidupan sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni; serta (v) menggunakan hasil rumusan tanggung jawab
etis kristiani dalam konteks

kehidupan sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, teknologi,


dan seni.
Silakan Anda mengamati dan menilai hubungan antara iman dan
ilmu pengetahuan dalam sejarah kekristenan dari berbagai buku
dan sumber belajar yang lain. Amati juga apa yang menjadi
pokok persoalan dalam membahas topik llmu pengetahuan dan
teknologi dalam hubungannya dengan pendidikan agama di
perguruan tinggi. Pada satu sisi, perguruan tinggi adalah tempat
ilmu pengetahuan dan teknologi dipelajari sekaligus
dikembangkan. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak hanya untuk menguasainya, namun agar dapat
menyumbang baik untuk perkembangan manusia secara pribadi
maupun untuk masyarakat secara bersama-sama. Bila ilmu
pengetahuan dan teknologi dijadikan salah satu substansi kajian,
ada asumsi, bahwa agama memberi sumbangan yang berarti
dalam rangka memotivasi manusia untuk mempelajari dan
mengembangkannya demi kegunaan bagi manusia dan
masyarakat.

Selain itu, tantangan terbesar dari kemajuan ilmu pengetahuan


dan teknologi adalah bahwa agama bisa menjadi kurang atau
tidak relevan lagi dalam memecahkan persoalan hidup manusia
dan masyarakatnya. Disadari benar bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dapat dibuktikan secara empiris,
dapat saja memerosotkan iman seseorang sehingga tidak percaya
lagi pada kebenaran agama bilamana temuan ilmu pengetahuan

92
ternyata berbeda dengan deskripsi Kitab Suci. Singkatnya,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi
ancaman bagi kehidupan beragama.

Jadi, bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tetap


diusahakan berkembang, tetapijuga iman dan takwa manusia
dalam kehidupan beragamanya ditingkatkan. Karena itu, haruslah
dicari hubungan yang bermakna antara iman, ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hubungan yang

bagaimanakah di antara
keduanya yang

Sumber:
http://www.google.com/iFreligio
n- and-

science.jpg&imgrefurl=d
dapat dipertanggungjawabkan? mempertanyakan eksistensi
Tuhan dan kebenaran dari apa
Tantangan dari kemajuan ilmu yang dianggap penyataan Ilahi
pengetahuan dan teknologi dalam kitab-kitab suci
belum begitu terasa di keagamaan. Hal ini tidak berarti
Indonesia. Karena ideologi bahwa secara individual orang
Pancasila mengasumsikan
semua orang percaya kepada tidak secara kritis
Tuhan, secara publik jarang ada mempertanyakan dasar iman
orang mereka. Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional juga secara tegas merumuskan tujuan
pendidikan nasional pertama-tama untuk meningkatkan keimanan
dan ketakwaan kepada Tuhan, dan juga memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Bagaimanakah sifat hubungan antara iman (agama) dan ilmu


pengetahuan dalam sejarah (khususnya sejarah kekristenan)?
Hubungan yang bagaimanakah yang dapat kita kembangkan agar
berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
sekaligus meningkatkan keimanan dan ketakwaan manusia
kepada Tuhan? Inilah persoalan substansial kajian ini.
Sebelum kita menelusuri tipologi hubungan iman dan ilmu
pengetahuan menurut Ian Barbour, baiklah secara sederhana
dilihat dua tipe hubungan yang terlihat tidak membangun.

93
1. Dominasi Iman/Agama terhadap llmu Pengetahuan/Sains

Di Barat, tempat kekristenan berasal, selama berabad-abad


lamanya, khususnya selama Abad Pertengahan, dapat disaksikan
dominasi iman atas ilmu pengetahuan atau sains. Teologi yang
menjadi acuan kehidupan iman orang Kristen, dianggap sebagai
ratu ilmu pengetahuan, telah menempatkannya sebagai ukuran
kebenaran untuk segala hal, bukan hanya untuk soal iman
danetika.

Tragisnya, ketika Galileo mengemukakan temuan ilmu


pengetahuannya bahwa bukan matahari yang beredar dari timur
ke barat, melainkan bumilah yang beredar mengelilingi matahari,
gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran ajaran teologi
menjatuhkan hukuman yang mengerikan terhadap dia.
Penemuannya justru dianggap bertentangan dengan deskripsi
Alkitab yang ditafsirkan secara literal (harfiah) dan dikenal
dengan istilah Biblical Literalism, tanpa memerhatikan konteks
budaya ketika Alkitab ditulis.

Alkitab ditulis dalam konteks masyarakat agraris dan masih


sederhana, dan deskripsi tentang fenomena alam berdasarkan
pengamatan semata-mata. Secara awam sudah tentu deskripsi
bahwa matahari yang beredar mengelilingi bumi adalah hal yang
wajar tetapi tentu maksud Alkitab bukanlah untuk memberi
deskripsi tentang gejala-gejala alam dan menjadi buku teks ilmu
pengetahuan alam. Tujuannya jauh lebih tinggi dari deskripsi
seperti itu. Penulis hendak menyaksikan bahwa di balik semua
yang ada, ada penciptanya. Suatu pengakuan tentang eksistensi
Tuhan dan bahwa Tuhan adalah Allah yang hidup dan bertindak
dalam sejarah umat manusia. Silakan Anda amati dan nilai
dampak negatif dominasi iman/agama terhadap ilmu
pengetahuan/ sains.
94
Untungnya, setelah
beberapa abad kemudian
Gereja mengakui bahwa
hukuman terhadap Galileo
Galilei adalah suatu
kekeliruan, dan Gereja
telah meminta maaf atas
hal tersebut. Umumnya,
pada masa kini tidak ada
yang beranggapan bahwa
mataharilah yang beredar
mengelilingi bumi dan
bukan bumi yang
mengelilingi matahari,
walaupun tidak berani
menolak otoritas Alkitab,
karena Alkitab bukan buku
teks ilmu pengetahuan.
Lalu bagaimana sebaiknya
hubungan iman/agama
dengan ilmu pengetahuan?
2. Dominasi llmu Pengetahuan terhadap Agama

Sejak zaman Pencerahan, dominasi iman atas ilmu mulai


dipertanyakan, malahan berkembang menjadi dominasi ilmu atas
iman. Tantangan utama atas agama atau iman dalam abad ilmu
pengetahuan adalah keberhasilan metode ilmu pengetahuan.
Tampaknya ilmu pengetahuan memberikan satu-satunya jalan
yang dapat dipercaya menuju kepada pengetahuan (knowledge).
Banyak orang menganggap sains (ilmu pengetahuan) bersifat
objektif, universal, rasional, dan didasarkan pada bukti
observasi/pengamatan yang kuat. Sedangkan agama pada sisi
yang lain, bersifat sangat subjektif, lokal (sempit skopnya),
emosional, dan didasarkan pada tradisi atau sumber kewibawaan
yang saling bertentangan satu sama lain. Lama-kelamaan, orang
lebih yakin akan metode ilmu pengetahuan, mulai meragukan
keyakinannya, dan bahkan meninggalkannya sebagai suatu yang
tidak berdasar. Rasio manusia menjadi ukuran atas segala-
galanya bukan hanya dalam bidang sains (ilmu pengetahuan)
tetapi juga dalam hal-hal yang bersifat imaniah dan kepercayaan.

Sebagai akibatnya, para teolog ada juga yang mencoba


menyesuaikan pernyataan Alkitab dengan temuan ilmu
pengetahuan, dan dengan demikian iman tunduk kepada ilmu
pengetahuan. Inilah dominasi ilmu atas iman. Silakan Anda amati
dan nilai dampak negatif dominasi ilmu pengetahuan atas
iman/agama!

95
Dari dua sifat hubungan di atas, dapat dikatakan bahwa keduanya
kurang sehat baik untuk agama dan iman maupun untuk ilmu
pengetahuan.

Ian Barbour membagi tipe hubungan iman dan ilmu pengetahuan


masa sekarang dalam 4 tipe hubungan. Liek Wilardjo telah
membuat suatu ringkasan yang sangat baik tentang keempat tipe
itu serta menerbitkannya dalam Jurnal Waskita (Wilardjo 2004,
15-29).

Menurut Wilardjo, keempat pengelompokkan yang dibuat


Barbour itu, dapat disingkat dengan empat (4) P, yakni:
Pertentangan (Conflict), Perpisahan (lndependence),
Perbincangan (Dialogue), dan Perpaduan (lntegration).

Wilardjo lebih jauh menjelaskan makna dari keempat tipologi


hubungan iman dan ilmu di atas sebagai berikut.

a. Pertentangan (conflict)

Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan
iman dan ilmu yang pertama, yakni pertentangan. Pertentangan
ialah hubungan yang bertentangan (conflicting), dan dalam kasus
yang ekstrem mungkin bahkan bermusuhan (hostile). Barbour
menunjukkan bahwa contoh historis dari konflik ini adalah kasus
Galileo. Lebih jauh dia katakan bahwa pada satu sisi mereka yang
menganut Materialisme Ilmiah (pada pihak ilmu pengetahuan)
berada pada pertentangan yang tidak terdamaikan dengan mereka
dari pihak agama/iman yang menganut Literalisme Alkitabiah.
Baik Materialisme IImiah dan Literalisme Alkitabiah percaya
bahwa ada konflik yang serius antara ilmu pengetahuan masa kini
dengan kepercayaan-kepercayaan agamawi klasik. Keduanya
mencari pengetahuan dengan fondasi yang pasti: pada satu sisi
berdasarkan pada data logika dan indrawi, sedang pada sisi yang
lainnya berdasarkan pada kitab suci yang tidak ada salahnya
(infallible scripture). Keduanya mengklaim bahwa baik ilmu
pengetahuan maupun teologi membuat pernyataan-pernyataan
yang bertentangan tentang hal yang sama, misalnya sejarah dari
alam ini, dan seseorang harus memilih salah satunya. Menurut
Barbour, keduanya justru mewakili penyalahgunaan ilmu
pengetahuan. Penganut Materialisme Ilmiah mulai dengan ilmu
pengetahuan tetapi kemudian berakhir dengan membuat klaim-
klaim filosofis yang luas. Sebaliknya, penganut Literalisme
alkitabiah bergerak dari teologi lalu membuat klaim-klaim
tentang hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.
Kedua aliran/kubu kurang memberi penghargaan yang memadai
kepada perbedaan-perbedaan kedua disiplin ilmu itu.
96
b. Perpisahan (independence)

Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipe hubungan
iman dan ilmu yang kedua, yakni perpisahan. Perpisahan berarti
ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan,
cara, dan tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu
atau mempedulikan. Ini salah satu cara untuk menghindari
konflik atau saling menyalahkan. Masing-masing mempunyai
bidang yang berbeda, dan dengan metode yang khas yang dapat
dibenarkan atas dasar terminologinya sendiri-sendiri. Pendukung
dari pandangan ini berpendapat bahwa ada dua yuridiksi
(otoritas) dan tiap pihak tidak boleh campur urusan pihak yang
lain, melainkan berurusan dengan urusannya sendiri. Setiap cara
inkuiri (penelitian) bersifat selektif dan mempunyai keterbatasan.
Perpisahan yang tajam ini dimotivasi atau didorong bukan saja
oleh keinginan untuk menghindari konflik yang tidak perlu,
melainkan oleh keinginan untuk setia kepada sifat yang berbeda
dari setiap bidang kehidupan dan pemikiran. Beberapa ahli
bahkan berpendapat bahwa ilmu dan agama mempunyai
perspektif yang berbeda atas bidang yang sama, ketimbang
bidang penelitian yang berbeda. Apakah ini cara terbaik untuk
melihat hubungan keduanya? Pada satu sisi tampaknya cara ini
agak aman, namun bagaimanakah seorang ilmuwan yang juga
adalah seorang beriman? Mungkinkah cara ini berfungsi?
c. Perbincangan (dialogue)

Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan
iman dan ilmu yang ketiga, yakni perbincangan. Perbincangan
ialah hubungan yang saling terbuka dan saling menghormati,
karena kedua belah pihak ingin memahami perbedaan dan
persamaan antara keduanya. Dalam kategori ini pun ada berbagai
kelompok pendapat yang masih ada perbedaan di sana sini. Ada
banyak tokoh baik bidang ilmu pengetahuan maupun teologi yang
menjadi pendukung dari tipe ini. Salah satu argumen dari tipe ini
menurut Barbour ialah adanya kesejajaran metodologis dalam
kedua disiplin ini: ilmu pengetahuan dan teologi/iman. Sebelum
tahun 1950-an, ada pembedaan yang tajam antara sifat dan
metode ilmu pengetahuan dan teologi. Ilmu pengetahuan
dikatakan bersifat objektif, yang berarti bahwa teori-teorinya
divalidasi dengan kriteria yang jelas, diuji oleh persetujuan data
yang tidak dapat dibantah dan bebas teori/nilai. Baik kriteria
maupun data ilmu pengetahuan diakui tidak tergantung pada
subjek individual, dan tidak dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh
budaya. Pada sisi yang lain menurut pendapat itu, agama atau
teologi bersifat subjektif karena ada keterlibatan

97
pribadi di dalamnya. Sesudah tahun 1950-an, kontras atau
perbedaan yang tajam ini secara berangsur-angsur dipertanyakan.
Ilmu pengetahuan tidak seluruhnya objektif, agama tidak
seluruhnya subjektif sebagaimana diduga sebelumnya. Memang
ada perbedaan-perbedaan dalam tekanan di antara kedua bidang
ini, tetapi perbedaannya tidak semutlak seperti yang diduga.
Data-data ilmiah didasarkan pada teori/anggapandan bukan bebas
nilai. Asumsi- asumsi teoretis ikut bermain dalam menyeleksi,
melaporkan, dan menafsirkan apa yang dianggap sebagai data.
Lebih lagi, teori-teori tidaklah lahir dari analisis data yang logis,
melainkan melalui tindakan imajinasi kreatif kadang-kadang
analogi dan model-model memainkan peranan. Model-model
konseptual menolong kita membayangkan apa yang tidak dapat
diamati secara langsung.

Pada sisi yang lain, banyak dari ciri-ciri ini juga dapat ditemukan
dalam agama khususnya dalam berteologi. Kalau data agama
termasuk pengalaman agamawi, ritus- ritus, dan teks kitab suci,
data-data seperti itu bahkan lebih dipengaruhi oleh interpretasi
konseptual. Bahasa-bahasa agamawi juga penuh dengan
metafora-metafora dan model-model. Sudah jelas bahwa
kepercayaan religius tidaklah tunduk terhadap pengujian empiris
yang ketat, namun dapat didekati dengan semangat yang sama
yang terdapat di dalam penelitian ilmu pengetahuan. Kriteria
ilmiah mengenai koherensi, menyeluruh, dan kegunaannya
mempunyai kesejajaran dalam pemikiran agamawi.

Barbour juga mengutip Thomas Khun yang mengatakan bahwa


baik teori-teori dan data dalam ilmu pengetahuan tergantung pada
paradigma dari komunitas ilmiah (keilmuan). Khun mengartikan
paradigma sebagai suatu kelompok presuposisi (praanggapan)
konseptual, metafisik dan metodologis yang terwujud dalam
suatu tradisi pekerjaan ilmiah. Dengan paradigma baru, data lama
direinterpretasikan dan dilihat dengan cara baru, dan data baru
dicari. Dalam memilih paradigma, tidak ada aturan untuk
menerapkan kriteria ilmiah. Evaluasinya merupakan suatu
tindakan menilai oleh komunitas ilmu (ilmiah). Tradisi agamawi
dapat juga dipandang sebagai komunitas- komunitas yang
berpegang pada paradigma yang sama. Penafsiran data (seperti
pengalaman agamawi dan peristiwa sejarah), bahkan lebih
bergantung kepada paradigma dibandingkan dengan ilmu
pengetahuan.

Banyak cara dan wilayah yang dapat digunakan oleh ilmu


pengetahuan dan teologi/iman untuk berdialog satu sama lain
yang dapat memperkaya keduanya dalam memenuhi
panggilannya untuk memanusiakan manusia, menjaga kelestarian
alam semesta, dan pada saat yang sama memperkuat
98
ketakwaan dan keimanannya kepada Allah. Salah satu yang
diusulkan adalah mengembangkan spiritualitas yang berpusat
kepada alam (nature). Teologi Kristen sebaiknya menjaga
keseimbangan antara imanensi Ilahi (Allah) dalam alam, dan
pada saat yang sama transendensi Ilahi (Allah) atas alam. Belajar
dari ilmu-ilmu sosial khususnya teori sosial kritis, para teolog
Pembebasan misalnya mengembangkan teologi yang memberi
perhatian kepada ketidakadilan dan dominasi, dan membaca
Alkitab secara kritis serta melakukan kritik sosial maupun kritik
agamawi khususnya kritik terhadap teologi yang mengalienasi
manusia baik dari diri sendiri, sesama, alam semesta, bahkan dari
Tuhan.

d. Perpaduan (Integration)

Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipe hubungan
iman dan ilmu yang keempat, yakni perpaduan. Beberapa penulis
berpendapat bahwa semacam integrasi antara ilmu dan
iman/agama adalah mungkin. Ada tiga versi yang berbeda dari
integrasi menurut Ian Barbour. Yang pertama, dalam teologi
natural (alamiah), diklaim bahwa eksistensi Allah dapat
disimpulkan dari bukti-bukti rancangan dalam alam. Bahwa alam
sedemikian teratur menunjukkan adanya suatu perancang di
baliknya. Ia tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Ilmu
pengetahuan menolong kita untuk lebih menyadarinya. Yang
kedua, dalam teologi tentang alam, sumber utama dari teologi
terletak di luar ilmu pengetahuan, namun teori-teori ilmiah dapat
memengaruhi perumusan ulang dari doktrin- doktrin tertentu
dalam agama, khususnya doktrin tentang penciptaan dan hakikat
manusia. Yang ketiga, dalam sintesa sistematis, baik ilmu
maupun agama, menyumbang untuk pengembangan dari suatu
metafisik yang inklusif, seperti dalam filsafat proses.

Barbour memberi penjelasan yang panjang lebar dari ketiga


macam versi integrasi ilmu dan agama di atas, namun tidak
dimuat di sini. Liek Wilardjo menyimpulkan bahwa Barbour
berpendapat bahwa “perpaduan” adalah hubungan yang bertumpu
pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan
penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan
menyatu. Perpaduan itu menurut Barbour seperti disimpulkan
oleh Wilardjo, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu
(Natural Theology), atau dari sisi agama (Theology of Nature).
99
Tipe manakah yang seharusnya dipakai? Barbour sangat
mendukung tipe keempat yakni perpaduan (integrasi) walaupun
ia juga pro perbincangan/dialogue. Wilardjo cenderung ke tipe
ketiga yakni perbincangan (dialog), karena di antara keduanya
ada perbedaan yang menipiskan kemungkinan perpaduan, tetapi
juga ada persamaan sebagai dasar perbincangan. Wilardjo tidak
menolak tipe perpaduan, dan terbuka terhadap kemungkinan itu,
namun menurutnya tidak perlu dipaksakan. Tampaknya memang
untuk sementara tipe perbincangan lebih memungkinkan,
walaupun kita tetap terbuka pada tipe perpaduan, tetapi tidak
perlu dipaksakan. Secara alkitabiah dan imaniah, kita pada satu
sisi menerima bahwa ilmu pengetahuan dapat dikembangkan
manusia, karena hal ini adalah mandat kebudayaan. Untuk
melaksanakan mandat itu Tuhan, memperlengkapi manusia
dengan kemampuan rasional dan kemampuan yang lain. Pada
saat yang sama, manusia adalah juga makhluk religius dan
karenanya agama tidak bisa tidak hadir dalam kehidupan manusia
dan menjadi kebutuhan manusia untuk berelasi dengan Tuhan.
Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana kedua potensi itu
dipakai untuk membentuk kepribadian yang utuh, dan bagaimana
keduanya saling menunjang dan mendukung? Lebih-lebih
bagaimana pengembangan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas
demi ilmu itu sendiri tetapi demi kemaslahatan manusia dan
kelestarian alam, dan karena dengan demikian kita telah
melaksanakan kehendak Tuhan yang telah menciptakan dunia
dan isinya dengan perintah untuk mengasihi sesama, dan
memelihara alam ciptaan Tuhan. Tujuan akhir agama adalah
transformasi manusia dan masyarakat dalam rangka mentaati
kehendak Tuhan.
100
Kini kita akan mengalihkan perhatian kita kepada teknologi
sebagai aplikasi ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah.

Reaksi dan tanggapan terhadap perkembangan teknologi modern


dan canggih bermacam-macam. Oleh sebab itu, silakan Anda
mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang berkaitan dengan
manfaat dan dampak negatif teknologi modern.

Ada tiga kelompok dalam merespon perkembangan teknologi


modern. Kelompok pertama melihat perkembangan teknologi
modern sebagai sumber yang memungkinkan standar kehidupan
lebih tinggi, meningkatkan kesehatan, dan komunikasi yang lebih
baik maupun mudah. Pokoknya, teknologi modern dianggap
memberi dampak peningkatan kesejahteraan manusia. Klaim
bahwa persoalan apa pun yang diakibatkan oleh teknologi
modern pada dirinya sendiri tunduk atau dapat dikontrol oleh
solusi teknologis. Kelompok kedua bersikap kritis terhadap
teknologi, karena teknologi modern dapat menyebabkan alienasi
dari alam, penghancuran lingkungan hidup, mekanisasi dari
kehidupan manusia, dan hilangnya kebebasan manusia.
Kelompok ketiga berpendapat bahwa teknologi bersifat ambigu,
dampaknya bervariasi tergantung pada konteks sosial karena
teknologi dirancang dan digunakan, dan menjadi produk maupun
sumber dari kekuatan ekonomis dan politis.

Terlepas dari bervariasinya respons terhadap teknologi modern,


persoalan pokoknya adalah kita hidup di dalam situasi teknologi
modern dan kita tidak dapat menghindarinya. Cepat atau lambat,
pengaruh dan dampaknya akan dirasakan oleh semua orang.
Lebih repot lagi mereka yang tertinggal oleh teknologi akan
semakin tertinggal dalam kesejahteraan hidupnya. Bagaimana
sikap agamawi (kristiani) terhadap pengembangan maupun
penggunaan teknologi modern. Selanjutnya akan dibicarakan
pengertian teknologi modern dan diteruskan dengan beberapa tipe
respons manusia terhadap teknologi modern dengan mengikuti
kategori Ian Barbour.

Menurut Eka Darmaputera, tujuan akhir dari sains adalah


mengetahui sebanyak-banyaknya tentang dunia dan alam
semesta, sedangkan tujuan akhir dari teknologi mengubah dunia
dalam arti bagaimana pengetahuan dari sains tadi dapat
diaplikasikan dalam peralatan untuk memecahkan masalah
(Supardan 1991, 241). Ada yang mengatakan bahwa teknologi
adalah aplikasi sains untuk memecahkan masalah manusia.
Dalam pengertian itu ada kaitan erat antara ilmu pengetahuan
(sains) dan teknologi. Tanpa sains tidak mungkin
101
teknologi berkembang, sebaliknya tanpa teknologi, sains menjadi
mandul. Teknologi, menurut Darmaputera, tidak pernah cukup
dijelaskan hanya dengan kategori-kategori sains saja. Teknologi
mengimplikasikan pilihan, dan pilihan menuntut keputusan yang
tidak hanya menyangkut aspek ilmiah, namun juga yang
berdimensi etis dan religius. Misalnya, secara ilmiah, teknologi
kloning dapat diterapkan juga kepada manusia, tetapi apakah
seorang ilmuwan/wati boleh melakukan hal tersebut? Ada banyak
sekali pertimbangan dalam membuat keputusan apakah seseorang
dapat melakukan kloning manusia, dan perdebatan mengenani hal
ini masih terus berjalan.

Barbour mengutip pendapat ahli yang mengatakan bahwa


teknologi dapat didefinisikan sebagai aplikasi dari pengetahuan
yang terorganisir kepada tugas- tugas praktis dengan atau melalui
sistem-sistem yang tertata, dan mesin-mesin (Barbour 1993, 3).
Menurut Barbour ada tiga kekuatan dan keuntungan dari definisi
luas ini. Pertama, “organizedknowledge” (pengetahuan yang
terorganisir) memungkinkan untuk mencakup teknologi-teknologi
yang didasarkan pada pengalaman dan penemuan praktis, tetapi
juga didasarkan pada teori-teori keilmuan (ilmiah). Kedua, istilah
“practical tasks” (tugas-tugas praktis) dapat mencakup baik
produksi dari barang-barang materiil (seperti dalam industri dan
pertanian), dan penyediaan pelayanan (melalui komputer, media
komunikasi, bioteknologi, dan lain-lain). Ketiga, istilah “ordered
systems of people and machine” (sistem tertata dari orang-orang
dan mesin-mesin) mengarahkan perhatian kita kepada institusi-
institusi sosial maupun perangkat keras teknologi. Luasnya
definisi itu juga mengingatkan kita akan adanya perbedaan-
perbedaan yang besar di antara berbagai teknologi.

Singkatnya teknologi adalah aplikasi ilmu pengetahuan dalam


peralatan demi memecahkan masalah. Semua ini terjadi dalam
sistem tertata dari orang-orang dan mesin-mesin.

Menurut Anda masalah-masalah apa saja yang dapat dipecahkan


dengan teknologi? Berilah contoh konkret dari jawaban Anda!
Khususnya dalam bidang komunikasi, apa saja dampaknya yang
Anda rasakan?

Rupanya respons orang Kristen terhadap teknologi modern


tidaklah sama sepanjang sejarah. Oleh sebab itu, silakan Anda
mengumpulkan informasi
102
sebanyak- banyaknya dari berbagai buku dan sumber belajar yang
lain mengenai respons orang Kristen terhadap teknologi modern!

Pada satu sisi, ada yang sangat positif dan menganggap teknologi
sebagai pembebas, tetapi sebaliknya ada juga yang sangat pesimis
dan menganggap teknologi sebagai ancaman. Ada juga yang
berada di jalan tengah dan sangat berhati-hati dalam merespons
teknologi modern. Kita akan menggali pandangan-pandangan
tersebut dalam bagian berikut ini. Ada tiga respons terhadap
teknologi, menurut Ian Barbour (Barbour 1993:4-21).

1. Teknologi sebagai Pembebas (Liberator)

Sepanjang sejarah modern, perkembangan teknologi telah


disambut secara bersemangat oleh karena potensinya untuk
membebaskan kita dari kelaparan, penyakit, dan kemiskinan.
Teknologi telah dirayakan sebagai sumber dari kemajuan materiil
dan pemenuhan kemanusiaan kita. Silakan Anda mengumpulkan
informasi yang sebanyak-banyaknya dari buku-buku dan sumber
belajar yang lain tentang tokoh-tokoh yang menganut pandangan
teknologi sebagai liberator. Berikut ini diidentifikasi beberapa
kegunaan teknologi.
Sumber: http://nirkabeld3mi09.blogspot.com/

111
Pertama, standar kehidupan yang lebih tinggi. Obat-obat baru,
perhatian medis yang lebih baik, sanitasi dan nutrisi yang
meningkat telah meningkatkan masa/lama kehidupan manusia
lebih dari dua kali di negara-negara industri sepanjang abad yang
lalu. Mesin-mesin, misalnya, telah membebaskan manusia dari
pekerjaan berat yang menghabiskan waktu dan energi. Kemajuan
materiil berarti pula pembebasan manusia dari tirani alam. Impian
kuno untuk hidup bebas dari kelaparan maupun penyakit sedang
mulai terealisasi melalui teknologi. Jadi, banyak orang di negara-
negara sedang berkembang kini berpaling kepada teknologi
sebagai sumber pengharapan yang utama. Produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi akhirnya akan membawa manfaat bagi
setiap orang.

Kedua, kesempatan untuk memilih. Pilihan individu mempunyai


cakupan yang lebih luas dewasa ini dibandingkan sebelumnya
karena teknologi telah menghasilkan opsi baru yang belum
tersedia sebelumnya, dan juga menghasilkan berbagai barang dan
jasa. Mobilitas geografis dan sosial memungkinkan suatu pilihan
yang lebih besar baik untuk pekerjaan ataupun tempat. Dalam
masyarakat industri urban (perkotaan), pilihan atau opsi
seseorang tidaklah terlalu dibatasi oleh ekspektasi/harapan
orangtua maupun komunitas seperti pada masyarakat pedesaan
yang bersifat agraris. Dinamisme teknologi dapat membebaskan
manusia dari tradisi yang statis dan membelenggu untuk
bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri. Kekuasaan
atas alam memberi kesempatan yang lebih besar untuk
mewujudkan kebebasan manusiawi.

Ketiga, lebih banyak waktu luang. Peningkatan dalam


produktivitas telah membawa kita kepada jam kerja yang lebih
pendek. Komputer dan otomasi menjanjikan untuk mengurangi
banyak dari pekerjaan yang bersifat monoton yang merupakan
ciri dari industrialisasi fase awal. Sejak lama, waktu luang untuk
menikmati hal-hal yang bersifat kultural (nonton pertunjukan
misalnya) hanyalah hak istimewa dari segelintir masyarakat kelas
atas, sedangkan kebanyakan warga masyarakat masih bergumul
bagaimana bisa tetap hidup. Dalam masyarakat maju ada waktu
untuk mengikuti pendidikan yang berkelanjutan, seni, pelayanan
sosial, olah raga, dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Teknologi dapat menyumbang untuk memperkaya kehidupan
manusia, dan berkembangnya kreativitas. Peralatan yang
membuat hemat tenaga dan waktu kerja membebaskan kita untuk
melakukan apa yang tidak dapat dikerjakan oleh mesin-mesin.
112
Pendukung dari pandangan ini mengatakan bahwa manusia dapat
mengatasi materialisme ketika kebutuhan-kebutuhan materiil
mereka telah terpenuhi.

Keempat, komunikasi-komunikasi yang meningkat. Dengan


bentuk-bentuk baru transportasi, seseorang dalam waktu beberapa
jam saja dapat bepergian ke tempat-tempat yang jauh yang
sebelumnya butuh waktu berbulan- bulan untuk mencapainya.
Dengan teknologi elektronik (radio, televisi, jaringan komputer,
telepon genggam, dan sebagainya), kecepatan, jangkauan, dan
skop komunikasi telah berkembang dengan pesat. Kombinasi
antara gambar dan berita yang didengar mempunyai tingkat
kesegeraan yang tidak terdapat dalam kata-kata yang tercetak.
Media yang baru ini menawarkan kemungkinan komunikasi
sedunia yang instan, interaksi dan pemahaman yang lebih besar,
dan saling menghargai dalam apa yang kita sebut “global village”
(desa global). Jadi, menurut pendukung dan pembela tipe ini,
teknologi membawa kegunaan psikologis maupun sosial, bahkan
kemajuan material.

Di samping membuat daftar kegunaan teknologi sebagai liberator,


ada banyak penulis dari dunia sekuler maupun dunia agama
mengemukakan pandangan yang sangat optimis tentang
teknologi. Berikut ini disampaikan beberapa contoh pandangan
para teolog Kristen yang mendukung tipe ini. Mereka pada
dasarnya melihat teknologi bukan saja sebagai sumber standar
hidup yang lebih tinggi, melainkan juga sumber kebebasan yang
lebih besar dan ekspresi kreatif.

Harvey Cox, misalnya, dalam tulisan awalnya berpendapat bahwa


kebebasan untuk menguasai dan membentuk dunia melalui
teknologi membebaskan kita dari kungkungan tradisi.
Kekristenan menyebabkan desakralisasi dari alam, dan
memungkinkannya dikontrol dan dipakai untuk kesejahteraan
manusia. Norris Clarke juga berpendapat bahwa teknologi
merupakan suatu alat pemenuhan manusiawi dan ekspresi diri
dalam menggunakan inteligensi karunia Tuhan untuk mengubah
dunia. Pembebasan dari perbudakan alam adalah kemenangan roh
atas hal yang materiil. Sebagai kokreator Allah, kita dapat
merayakan kontribusi akal/pikiran manusia untuk memperkaya
kehidupan manusia. Teolog-teolog lain malah mengonfirmasi
bahwa teknologi sebagai alat atau instrumen kasih dan belas
kasih dalam meringankan penderitaan manusia sebagai suatu
respons modern terhadap perintah Alkitab untuk memberi makan
kepada yang lapar, dan menolong kebutuhan sesama.
113
Pierre Teilhard de Chardin berpendapat bahwa membangun dunia
adalah suatu hal yang penting karena tindakan itu berarti ikut
bekerja sama dalam pekerjaan kreatif Allah. Teknologi adalah
suatu partisipasi dalam kreativitas Ilahi. Teknologi memberi visi
tentang masa depan planet yang di di dalamnya teknologi dan
perkembangan spiritual dihubungkan satu sama lain. Walaupun
demikian, tidak kurang pula yang merespons secara kritis
terhadap pihak yang sangat optimis terhadap perkembangan
teknologi. Ada sejumlah respons terhadap para pendukung
teknologi yang optimis. Barbour mengidentifikasikan beberapa
contoh.

Pertama, risiko kerugian manusiawi dan kerugian pada


lingkungan hidup yang diakibatkan oleh teknologi tidak terlalu
diperhatikan oleh mereka yang bersikap optimis. Menurut mereka
yang optimis, solusi teknis dapat ditemukan untuk masalah
lingkungan hidup. Limbah beracun bisa mengotori air tanah
beberapa dekade kemudian setelah dikuburkan. Lubang pada
lapisan ozon belum terlalu dipikirkan oleh para ilmuwan. Selain
itu, erosi tanah dan penggundulan hutan secara besar-besaran
mengancam sumber-sumber biologis yang sangat
esensial/penting untuk kehidupan manusia.

Kedua, perusakan lingkungan hidup adalah gejala dari masalah


yang lebih mendalam, yakni keterasingan dari alam. Ide tentang
dominasi manusia atas alam mempunyai banyak akar. Misalnya,
tradisi agamawi Barat sering menarik garis pemisah yang tajam
antara manusia dan ciptaan yang lain. Lembaga-lembaga
ekonomi memperlakukan alam sebagai suatu sumber untuk
dieksploitasi oleh manusia. Mereka yang bersemangat dalam
teknologi menambah evaluasi dari dunia alamiah karena mereka
memandangnya sebagai objek untuk dikontrol dan dimanipulasi.
Para ahli teknologi kurang sensitif terhadap alam dibandingkan
dengan para pengkritiknya.

Ketiga, teknologi ternyata menyumbang kepada pemusatan


kekuasaan ekonomi dan politis. Hanya kelompok dan bangsa
kaya yang bisa memiliki teknologi mutakhir. Dengan demikian,
jurang antara yang kaya dan miskin telah dipertahankan dan
dalam banyak kasus diperlebar oleh perkembangan teknologi.
Bangsa-bangsa kaya memakai energi dan kekayaan dunia secara
tidak proporsional. Komitmen untuk keadilan membutuhkan
suatu analisis yang lebih serius mengenai kerugian dan
keuntungan dari teknologi. Banyak macam teknologi yang
keuntungannya dinikmati satu kelompok sedangkan kelompok
lain dihadapkan pada risiko dan biaya sosialnya.
114
Keempat, teknologi berskala besar penuh risiko. Sifatnya padat
modal dan bukan padat karya sehingga menimbulkan
pengangguran di mana-mana. Sistem berskala besar sangat rentan
terhadap kesalahan, kecelakaan, ataupun sabotase. Contoh paling
konkret adalah malapetaka Chernobyl pada tahun 1986, yang
merupakan produk dari kesalahan manusia, peralatan yang cacat,
rancangan yang buruk, dan prosedur keamanan yang tidak dapat
diandalkan.

Kelima, ketergantungan kepada ahli untuk membuat keputusan


mengenai kebijakan, tentu tidak diharapkan. Para teknokrat
mengklaim bahwa pertimbangan mereka bersifat bebas nilai; dan
para elite teknis diharapkan bersikap nonpolitis. Mereka yang
punya kuasa, jarang menggunakan kuasanya secara rasional dan
objektif, khususnya kalau kepentingannya terancam.

Walaupun kita masih bisa menambah lagi deretan pertanyaan


terhadap pendukung tipe pertama, untuk sementara cukup dulu.
Kita kini beralih kepada tipe kedua: teknologi sebagai ancaman.

2. Teknologi sebagai Ancaman

Pada ekstrem yang berlawanan adalah kritik terhadap teknologi


modern yang melihatnya sebagai ancaman terhadap kehidupan
manusia yang autentik. Silakan Anda mengumpulkan informasi
yang sebanyak-banyaknya dari buku-buku dan sumber belajar
yang lain tentang tokoh-tokoh yang menganut pandangan
teknologi sebagai ancaman. Kita akan membatasi diri hanya pada
kritik terhadap kemanusiaan, daripada kritik terhadap lingkungan
hidup. Ada lima ciri teknologi industri yang dijadikan dasar kritik
mereka khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan
kemanusiaan.

Pertama, uniformitas
(keseragaman) dalam
masyarakat yang bersifat
massal. Produksi besar-
besaran menuntut adanya
hasil yang distandarkan,
dan media massa
cenderung menghasilkan
budaya nasional yang
seragam. Individualitas
hilang dan perbedaan-
perbedaan lokal atau
regional dihilangkan
dalam

keseragaman
industrialisasi.
Ketidakmampuan
menyesuaikan diri
dianggap tidak efisien,
sehingga pekerja yang
bisa bekerja sama diberi

115
hadiah.Identitas individu ditentukan oleh peranannya dalam
organisasi.

Penyesuaian diri dengan masyarakat merusak spontanitas dan


kebebasan.

Kedua, kriteria yang sempit tentang efisiensi. Teknologi


membimbing ke arah organisasi yang rasional dan efisien, yang
pada gilirannya menuntut fragmentasi, spesialisasi, kecepatan,
hasil yang maksimum. Kriterianya adalah efisiensi dalam
mencapai suatu tujuan tunggal atau suatu rangkaian tujuan-tujuan
yang sempit. Sedangkan efek sampingan ataupun kerugian
manusiawi diabaikan. Kriteria kuantitatif lebih diutamakan
daripada kriteria kualitatif. Pekerja menjadi budak dari mesin
ketika menyesuaikan diri dengan jadwal kerjanya dan temponya,
menyesuaikan diri dengan tuntutannya. Peranan-peranan kerja
yang bermakna hanya dimiliki oleh segelintir orang dalam
masyarakat industri kini. Reklame menciptakan kebutuhan
(demand) untuk produk baru, tidak peduli apakah produk itu
sungguh dibutuhkan atau tidak. Tujuannya tidak lain adalah
hanya supaya mendorong volume produksi yang lebih besar.

Ketiga, tidak bersifat pribadi (impersonality) dan manipulasi.


Hubungan-hubungan dalam masyarakat teknologi dijadikan
spesialisasi dan fungsional. Komunitas yang sesungguhnya dan
interaksi antarpribadi terancam. Ketika mentalitas teknologis
begitu dominan, orang diperlakukan sebagai objek-objek.

Keempat, tidak dapat dikontrol. Teknologi-teknologi yang


terpisah membentuk suatu sistem yang saling terkait, suatu
jaringan kerja yang menyeluruh, saling memperkuat, yang
tampaknya berjalan sendiri tanpa bisa dikontrol. Beberapa
pengkritik mengatakan bahwa teknologi bukan hanya satu set
peralatan yang dapat disesuaikan untuk dipakai manusia,
melainkan sudah menjadi suatu bentuk kehidupan yang
mencakup segalanya, suatu struktur yang persuasif dengan logika
dan dinamikanya sendiri.

Kelima, keterasingan pekerja. Keterasingan dari pekerja adalah


tema sentral dari tulisan Karl Marx. Ditempatkan di bawah
kapitalisme, katanya, pekerja tak memiliki alat dan mesinnya, dan
mereka sangat tidak berdaya dalam kehidupan pekerjaannya.
Mereka dapat menjual tenaga kerjanya sebagai suatu komoditi,
tetapi pekerjaan mereka bukan suatu bentuk yang bermakna
untuk ekspresi diri. Marx berpendapat bahwa keterasingan
semacam itu merupakan produk dari pemilikan kapitalis yang
dengan sendirinya akan hilang di bawah kepemilikan negara.
Banyak penulis kini sadar bahwa keterasingan itu juga tetap saja
ada dalam kepemilikan negara atas modal dan alat-alat produksi.
Dengan begitu, perasaan kecewa, frustrasi, dan rasa tidak berdaya
adalah

116
gejala umum dari pekerja-pekerja di mana saja termasuk dalam
negara kapitalis. Dalam kaitan ini, kita catat seorang filsuf
Perancis yang sangat keras memberi kritik terhadap teknologi
yakni Jacques Ellul. Menurutnya, teknologi adalah suatu
kekuatan yang otonom dan tidak dapat dikontrol yang
merendahkan martabat manusia siapa saja yang disentuhnya.
“Tehnique” suatu istilah yang luas yang dipakai Ellul untuk
merujuk kepada mentalitas dan struktur teknologis yang meresapi
bukan saja proses industri, melainkan juga kehidupan sosial,
politik, dan ekonomi pun telah dipengaruhi olehnya. Efisiensi dan
organisasi diterapkan dalam semua aktivitas.

Ahli-ahli lain mengatakan bahwa dalam negara yang kaya atau


maju, keprihatinan yang sah untuk mencapai kemajuan materiil,
dengan mudah menjadi tujuan hidup tertinggi dan dikejar habis-
habisan. Obsesi seperti itu akan mendistorsi nilai-nilai dasar
kemanusiaan, maupun relasi-relasi kita dengan orang lain.
Teknologi, selanjutnya, bersifat imperialistis dan membuat
manusia kecanduan (adiktif).

Beberapa teolog juga ada yang menganut tipe ini dan


melancarkan kritiknya terhadap kemajuan teknologi, terutama
dalam kaitan dengan dampaknya terhadap kehidupan spiritual.
Paul Tillich, misalnya, mengatakan bahwa rasionalitas serta
impersonality dari sistem-sistem teknologi merendahkan atau
mengabaikan praanggapan pribadi dari komitmen agamawi.
Gabriel Marcel juga mengatakan bahwa cara pandang teknologis
yang sangat memengaruhi hidup manusia akan mengabaikan
“rasa sakral” (sense of sacred). Teknisi memperlakukan segala
sesuatu sebagai masalah yang dapat dipecahkan dengan teknik
manipulatif tanpa harus ada keterlibatan pribadi. Hal ini akan
mengabaikan misteri dan eksistensi manusia, yang hanya dapat
diketahui melalui keterlibatan sebagai manusia yang utuh atau
menyeluruh.

Barbour khususnya juga memberi respons terhadap para pesimis


dalam bidang teknologi. Rupanya para pengkritik terlalu
membuat generalisasi atas teknologi yang begitu bervariasi itu.
Selain itu, mereka seolah menyangkal kemungkinan bahwa
teknologi dapat diarahkan kembali (redirect). Kemudian mereka
lupa bahwa teknologi dapat menjadi pelayan manusia.
117
3. Teknologi sebagai Instrumen Kekuasaan
Tetapi analisis historis memperkuat
Posisi atau respons ketiga kesimpulan bahwa kebanyakan
berpendapat bahwa teknologi sudah dibentuk oleh
teknologi tidak secara interes/kepentingan
inheren baik atau
jelek/jahat, tetapi
teknologi adalah
instrumen kekuasaan yang
ambigu/mendua, yang
konsekuensi-
konsekuensinya
tergantung pada konteks
sosialnya. Beberapa
teknologi tampaknya
netral jika mereka dapat
dipakai untuk kebaikan
atau kejahatan sesuai
dengan tujuan
pemakainya. Pisau dapat
dipakai untuk operasi atau
membunuh, dan
seterusnya.
Sumber:

http://rido_prasojo2403.blog.ug
m.ac.i d/2011/10/19/teknologi-
yang-semakin-maju/

dan tujuan-tujuan institusional yang khusus. Teknologi adalah


konstruksi sosial, dan jarang sekali bersifat netral sebab tujuan
khusus sudah terjalin dalam rancangannya. Tujuan alternatif akan
menuntun kepada rancangan alternatif. Beberapa rancangan
masih memungkinkan beberapa pilihan tentang bagaimana
menggunakannya. Barbour mengemukakan dua hal dalam kaitan
dengan posisi ketiga ini. Pertama, tentang hubungan teknologi
dengan kekuasaan politik. Kedua adalah mengarahkan kembali
teknologi. Silakan Anda mengumpulkan informasi yang
sebanyak-banyaknya dari buku-buku dan sumber belajar yang
lain tentang tokoh-tokoh yang menganut pandangan teknologi
sebagai instrumen kekuasaan.

Menurut Anda, apakah teknologi memiliki hubungan yang erat


dengan kekuatan politis? Coba kemukakan argumentasi Anda
jika Anda menyatakan teknologi memiliki hubungan yang erat
dengan kekuatan politis.

Pada satu sisi, para pendukung teknologi memiliki hubungan


dengan politik bersikap kritis terhadap teknologi. Mereka juga
menawarkan pengharapan bahwa teknologi dapat dipakai untuk
tujuan yang lebih manusiawi, baik oleh kekuatan politis maupun
ekonomi. Menurutnya, ada dua kekuatan yang

118
sangat menentukan perkembangan teknologi yakni para pembuat
keputusan dalam perusahaan-perusahaan besar (Trans-National
Corporations) dan pemerintah. Karena itu, merekalah yang
paling bertanggung jawab untuk apa teknologi dikembangkan.
Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, kita dapat berharap
bahwa keputusan politis yang dibuat oleh para birokrat dapat
sungguh-sungguh memerhatikan kepentingan rakyat banyak dan
bukan hanya kepentingan perusahaan-perusahaan besar. Dengan
perkataan lain, sesungguhnya rakyatlah yang harus mengontrol
teknologi macam apa yang dikembangkan dan untuk tujuan apa
dikembangkan. Sayangnya, kerja sama antara penguasa ekonomi
yakni perusahaan-perusahaan besar dan birokrat telah begitu kuat
dan saling menguntungkan sehingga tak bisa lagi dikontrol oleh
rakyat. Karena itu, kepentingan rakyat banyak sulit dijamin dalam
pengembangan teknologi modern.

Salah seorang yang secara optimis percaya bahwa teknologi dapat


diarahkan kembali adalah Victor Ferkis, seorang ahli ilmu politik.
Bagi dia, baik yang optimis maupun yang pesimis terhadap
teknologi, telah mengabaikan keragaman di antara teknologi, dan
khususnya peranan potensial dari struktur politik dalam
mereformulasikan kebijakan-kebijakan. Pada masa lalu, katanya,
teknologi telah menjadi instrumen keuntungan, dan keputusan-
keputusan dimotivasikan oleh kepentingan-kepentingan pribadi
yang berjangka pendek dari perusahaan-perusahaan. Kebebasan
yang dipahami secara individualistis telah menjadi lisensi bagi
mereka yang secara ekonomi berkuasa. Hak individu diutamakan
di atas kepentingan dan kebaikan bersama, walaupun disadari
bahwa manusia semakin saling tergantung. Ferkis masih percaya
bahwa kriteria ekonomi dapat ditempatkan di bawah kriteria
sosial seperti keseimbangan ekologis dan kebutuhan manusia. Ini
adalah peranan dari kekuatan politis yang dalam sistem
demokratis dikontrol oleh rakyatnya.

Setelah mendeskripsikan ketiga macam respons terhadap


teknologi, yang manakah yang dapat kita anggap sebagai sikap
Kristen yang bertanggung jawab? Silakan Anda
mengomunikasikan sikap Anda terhadap teknologi kepada rekan-
rekan di kelas dengan menggunakan kata-kata sendiri. Tentu
masing-masing dapat menentukan pilihannya. Sejalan dengan
pandangan Ian Barbour, sikap ketiga terlihat lebih realistis dan
sejalan dengan sikap etis Kristen. Pertama, kita tidak dapat terlalu
optimis dan mengagungkan teknologi sebagai penyelamat, karena
hanya Tuhan yang dapat menyelamatkan.
119
Keasyikan dengan teknologi dapat berkembang menjadi sikap
mendewakan teknologi, suatu penyangkalan dari kedaulatan dan
kekuasaan Allah, dan juga suatu ancaman terhadap eksistensi
manusia yang khas. Akan tetapi, kita juga jangan terlalu pesimis
dengan teknologi, sebab teknologi yang diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang sesungguhnya adalah
perwujudan dan ekspresi yang sah dari kapasitas kreatif manusia
dan merupakan kontribusi esensial bagi kesejahteraannya. Dalam
dunia yang penuh dengan penyakit dan kelaparan, teknologi yang
secara benar digunakan dapat menjadi ekspresi keprihatinan yang
luar biasa kepada manusia. Pemahaman alkitabiah tentang
hakikat manusia adalah realistis tentang penyalahgunaan kuasa,
dan pelembagaan dari kepentingan pribadi. Alkitab juga sangat
menekankan pentingnya keadilan sosial dalam mendistribusikan
buah dari teknologi.

Apa saja kriteria yang dapat menuntun setiap pihak dalam


pengembangan dan penggunaan teknologi modern? Ada yang
berpendapat bahwa pengembangan dan penggunaan teknologi
modern haruslah menjamin tiga hal berikut ini.

1. adanya jaminan bahwa harkat dan martabat manusia


dijunjung tinggi, termasuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
2. haruslah menjamin adanya kelestarian alam, yakni
menjaga keseimbangan antara kepentingan manusia kini dan
manusia yang akan datang.
3. adanya jaminan keadilan sosial dari distribusi hasil dari
teknologi.

Silakan Anda menambahkan dan mengomunikasikan kriteria-


kriteria lain yang sejalan dengan nilai dan keyakinan religius
Anda kepada rekan-rekan di kelas.

Kita tidak mungkin menghindar berhadapan dengan kemajuan


ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun seni. Semuanya
menuntut respons kita sebagai orang percaya bagaimana
mengembangkan pola hubungan yang positif antara iman dengan
ilmu, teknologi dan seni.

Pertama, hubungan yang positif antara iman dan ilmu bisa


disimpulkan pertama dengan mensyukuri karunia Tuhan kepada
manusia untuk berakal budi dan berpikir rasional sehingga ilmu
dapat berkembang. Ilmu tidak bisa berkembang tanpa kriteria dan
kontrol yakni harus membawa kemaslahatan manusia dan dunia
ini sehingga dengan demikian Allah dimuliakan.
120
Kedua, hubungan positif atara iman dan teknologi juga harus
disyukuri dan diterima secara positif, karena melaluinya Allah
menyatakan kasih-Nya kepada manusia melalui kemajuan
teknologi. Jangan pernah berilusi bahwa teknologi tidak
membawa dampak negatif yang tidak memanusiakan manusia.
Karena itu, harus dikritisi dan ada upaya meminimalkan dampak
negatifnya. Teknologi tak perlu dielu-elukan sebagai liberator,
karena akhirnya hanya Tuhanlah sang Liberator sesungguhnya.

Ketiga, seni adalah karunia Tuhan dalam kehidupan yang harus


disyukuri. Kita perlu menikmati keindahan. Seni dapat dipakai
sebagai ekspresi iman, melalui puji-pujian, dan berbagai
manifestasi seni yang lain. Beragama tanpa melibatkan unsur seni
sangatlah kering dan membosankan, tidak imajinatif. Tak ada
ekspresi keagamaan yang bebas dari seni. Seni memperkaya
kehidupan keagamaan dan mendekatkan manusia kepada Tuhan.
Sebaliknya, agama dan iman juga perlu mewarnai seni dan
mengontrolnya agar dikembangkan untuk mendatangkan
kebaikan dan bukan kejahatan, seperti pornografi dll.

Mahasiswa terlebih dahulu melakukan ekplorasi dalam


kelompok-kelompok kecil bagaimana hubungan iman dan ilmu
pengetahuan dalam perspektif historis, untuk dapat
mengidentifikasi kecenderungan saling mendominasi dan
karenanya saling menghambat. Kemudian mahasiswa/i ditantang
untuk melakukan penyelidikan bagaimana hubungan yang
bermakna dibangun antara iman dan ilmu, teknologi dan seni,
dalam arti mengembangkan alasan imaniah mengenai tanggung
jawab pengusahaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu,
teknologi dan seni demi kesejahteraan manusia dan kelestarian
lingkungan hidup, yang pada gilirannya untuk kemuliaan Tuhan.
Presentasikan hasil penyelidikan yang Anda lakukan!
121
BAB VI

MENCIPTAKAN KERUKUNAN
ANTARUMAT BERAGAMA

Sebenarnya persoalan kerukunan hidup umat beragama bukanlah


sesuatu yang baru sama sekali. Kerukunan hidup umat beragama
adalah sesuatu yang didambakan, dan sekaligus juga dibutuhkan
perjuangan berat untuk mewujudkannya. Hal ini tidak
mengherankan karena agama-agama dapat menimbulkan
ketegangan, bahkan konflik. Segala ketegangan bahkan konflik
tidaklah semata-mata disebabkan oleh agama. Unsur kekuasaan
serta dominasi politik dan ekonomi dapat memainkan peranan
yang sangat menentukan dalam menyulut api konflik. Dalam
keadaan demikian, agama diperalat untuk mencapai tujuan yang
bertentangan dengan misi agama itu sendiri.

Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan


pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai
adalah: (i) menumbuhkembangkan sikap sabar, tangguh, dan
pembawa damai; (ii) menunjukkan sikap hormat terhadap orang
lain dalam kepelbagaian agama, suku dan budaya; (iii) bersikap
peduli terhadap sesama manusia; (iv) bersikap terbuka untuk
bekerja sama dengan semua pihak dalam rangka mendatangkan
kebaikan bersama; (v) mengevaluasi kerukunan antarumat
beragama dewasa ini; dan (vi) mencipta kerukunan antarumat
beragama dewasa ini.

Menurut Anda, apakah pernah terjadi dalam sejarah dunia


peperangan yang didorong agama? Jika pernah terjadi, apa yang
menyebabkan terjadinya konflik antarumat beragama tersebut?
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, Anda bisa melihat
buku karangan A. A. Yewangoe yang berjudul Iman, Agama dan
Masyarakat dalam Negara Pancasila atau buku yang lain.

122
Indonesia adalah sebuah bangsa yang masyarakatnya sangat
majemuk, demikian pula agamanya. Indonesia sangat potensial
untuk terpecah-belah. Pancasila sebagai ideologi negara dan
sekaligus sebagai “payung” mengabsahkan bahwa benarlah
bangsa ini sebuah keluarga besar. Permasalahan-permasalahan
yang muncul di dalam masyarakat mestinya merupakan persoalan
bersama. Demikian juga, segala sesuatu yang telah dicapai
haruslah dilihat sebagai hasil bersama. Tidak ada satu golongan
agama pun yang merasa dirinya lebih berjasa dalam membangun
bangsa Indonesia. Ketegangan akan terjadi apabila satu golongan
agama mementingkan kepentingan golongannya sendiri dan
mengabaikan golongan-golongan lainnya.

Pancasila telah menyediakan ruangan bagi terciptanya kerukunan


di antara bangsa Indonesia. Agaknya istilah “kerukunan” jauh
lebih positif dan dinamis ketimbang istilah “toleransi” yang statis
(Yewangoe 2002, 4). Toleransi lebih mengisyaratkan adanya
persetujuan satu pihak untuk memberikan hak hidup kepada
pihak lain. Artinya, keberadaan satu pihak hanya dapat terjadi
lantaran pihak lain menghendakinya. Andaikata pihak itu tidak
berkenan, pihak lain dengan mudah ditiadakan. Perhatikan
ilustrasi berikut ini. Sebuah kutil yang terdapat di kulit Anda pada
hakikatnya bukan merupakan bagian normal dari kulit tersebut. Ia
adalah unsur asing yang mengganggu. Anda tetap
membiarkannya di situ, bukan karena Anda suka, melainkan
karena Anda “berkenan.” Itulah makna toleransi. Sedangkan
“kerukunan” mengandung pengertian bahwa walaupun kita
berbeda, kita mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Hak
hidup Anda tidak tergantung pada izin pihak lain. Kita justru
secara bersama-sama tergantung pada sesuatu yang lebih luhur,
yaitu cita-cita bernegara, berbangsa dan bermasyarakat untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur, damai sejahtera
berdasarkan Pancasila, yang akhirnya tergantung pada Tuhan.
Oleh sebab itu, istilah “kerukunan” lebih dipopulerkan daripada
toleransi. Kerukunan tidak mengharuskan kita seragam dalam
segala sesuatu. Kerukunan memang memungkinkan kita supaya
“sepakat” justru dalam persoalan yang kelihatannya sulit
disepakati.
123
Kerukunan antarumat beragama

Sumber: blog.uad.ac.id
Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang autentik
dan dinamis (Darmaputera 2011, 105). Kerukunan yang autentik
adalah kerukunan yang lahir dari penghayatan iman masing-
masing. Kerukunan yang dinamis adalah kerukunan yang secara
aktif dan kreatif berjalan bersama mengupayakan kesepakatan-
kesepakatan baru. Selain itu, kerukunan yang kita kehendaki
adalah kerukunan yang berada dalam interaksi yang seimbang
dengan kebebasan. Kerukunan dan kebebasan saling menghidupi.
Hanya bila ada kerukunan, kebebasan terpelihara. Hanya dalam
kebebasan, ada kerukunan yang sejati. Kerukunan beragama dan
kebebasan beragama dalam arti kebebasan untuk memeluk,
menyiarkan, dan berpindah agama perlu diperjuangkan bersama-
sama. Ukuran bagi kedewasaan kita beragama dan kesiapan kita
untuk menyambut positif kepelbagaian agama-agama adalah
kemampuan untuk menciptakan kerukunan di samping
penghormatan terhadap kebebasan agama (Ngelow 1993, 73).
Kerukunan tidak dikorbankan untuk kebebasan, dan sebaliknya
kebebasan tidak dikorbankan untuk kerukunan. Kerukunan yang
kita kehendaki adalah kerukunan yang tidak mengurangi atau
membatasi, melainkan malah justru mengembangkan kebebasan
beragama di tanah air kita. Artinya harus dalam keseimbangan
yang dinamis, kebebasan tidak merusak kerukunan dan
sebaliknya kerukunan tidak mematikan kebebasan. Silakan Anda
amati dan analisis dampak positif konsep kerukunan yang kita
kehendaki!
124
Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah kerukunan hanya
dipahami sebagai keadaan tanpa konflik. Konflik tidak dengan
sendirinya buruk. Misalnya konflik antara Yesus dan Orang
Farisi, Paulus dan Petrus, Elia dan Ahab dan lain- lain. Tentu saja
benar yang dinasihatkan Paulus, “sedapat-dapatnya, kalau hal itu
bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua
orang” (Rm.12:8). Kerukunan harus dilandaskan pada kebenaran,
dan tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menindas
kebenaran. Kerukunan sejati terjadi ketika semua pihak dalam
interaksi intens terus mencari pemahaman kebenaran yang lebih
tinggi. Dalam proses itu, bisa terjadi perbedaan yang tajam,
bahkan ketegangan, namun tidak perlu merusak kerukunan
selama segala sesuatu bisa dan boleh dibicarakan dengan terbuka,
bukan basi-basi dalam semangat, terus- menerus berusaha
mencapai kesepakatan yang lebih maju.

Kerukunan yang tidak dikehendaki adalah bila kerukunan


dipahami sebagai tujuan pada dirinya. Kerukunan penting dan
dikehendaki Allah sejak awal karya penciptaan-Nya, bukan yang
terpenting. Kerukunan bukan satu-satunya dan segala-galanya
dan tidak boleh dijadikan tujuan akhir dan satu-satunya pada
dirinya. Nilai-nilai kehidupan yang lain tidak boleh dikorbankan
demi kerukunan. Yang benar adalah yang sebaliknya: ketika
kebenaran dijunjung tinggi, ketika keadilan diperjuangkan dan
diwujudkan secara tulus dan murni dan ketika kebebasan asasi
dialami, di situlah kerukunan yang sejati dengan sendirinya akan
terjadi.

Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah bila kerukunan


hendak dipaksakan dari luar. Kerukunan yang sejati harus
tumbuh secara bebas dan sadar dalam diri masing-masing. Tidak
bisa dipaksakan oleh pemerintah. Tidak bisa diwujudkan dengan
undang-undang. Kerukunan harus menjadi urusan masing-
masing agama. Kekuatan-kekuatan eksternal dapat menciptakan
kondisi yang kondusif bagi terangsangnya kesadaran dari dalam.
Sebaliknya, kekuatan eksternal juga bisa merusak kemungkinan
itu. Sikap berpihak dan pilih kasih, misalnya, amat merusak.
Kerukunan dapat didorong dari luar, namun harus tumbuh dari
dalam. Kerukunan yang dipaksakan atau disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal, biasanya akan tipis dan sementara saja, tidak
mendalam dan tidak awet.

Kerukunan yang tidak dikehendaki adalah bila kerukunan harus


dibayar dengan hilangnya perbedaan dan kebebasan. Usaha untuk
menghilangkan perbedaan dan kebebasan itulah yang justru
merusak kerukunan. Menekan ketegangan dan menyembunyikan
konflik ke bawah permukaan. Silakan Anda
125
amati dan analisis dampak negatif konsep kerukunan yang tidak
kita kehendaki!

Simaklah gaya hidup jemaat Galatia yang saling menggigit dan


saling menelan yang terdapat dalam Galatia 5:13-15. Menurut
Anda, bolehkah antarumat beragama saling menggigit dan saling
menelan? Mengapa tidak boleh? Apa akibatnya jika antarumat
beragama saling menggigit dan menelan? Silakan Anda
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang lain lagi! Setelah
menyimak gaya hidup jemaat Galatia tersebut dan paparan di
bawah ini, Andapun diberi kesempatan lagi untuk mengajukan
pertanyaan kritis yang lain sebanyak- banyaknya yang berkaitan
dengan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

Untuk mencapai kerukunan antarumat beragama, pemerintah


telah melakukan berbagai program antara lain program
“Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama” yang dalam
Pelita I-V mengambil bentuk dalam kegiatan- kegiatan Dialog,
Studi Kasus, Kerja Sama Sosial, Kunjungan Silaturahmi dan lain-
lain. Pembentukan Wadah Musyawarah Antarumat Beragama
tanggal 30 Juni 1980 dilihat sebagai usaha yang sangat penting
dalam hubungan dengan pembinaan kerukunan antarumat
beragama (Sairin 1996, 187).
Dari antara bentuk-bentuk kegiatan yang berhubungan dengan
kerukunan antarumat beragama, bentuk dialog adalah bentuk
yang paling awal dilaksanakan dengan prakarsa pemerintah dan
telah dilakukan di berbagai kota di Indonesia. Dialog adalah suatu
percakapan yang bertolak pada upaya untuk mengerti mitra
percakapan dengan baik, saling mendengarkan pendapat mitra
percakapan. Dialog menunjuk pada adanya percakapan antara dua
orang atau lebih mengenai berbagai permasalahan yang
menyangkut kepentingan bersama. Dialog antarumat beragama
adalah pertemuan yang disengaja untuk bertukar pikiran,
informasi dan pengalaman tentang keyakinan masing-masing
tanpa pretensi menganggap diri lebih benar. Yang berdialog
adalah manusia. Oleh sebab itu, dalam konteks kepelbagaian
agama yang ada di Indonesia, bukanlah dialog agama, tetapi
dialog antarorang beragama. Banyak pemikiran keagamaan yang
dapat disumbangkan oleh umat beragama seandainya ada wadah
dialog. Banyak kecurigaan yang tidak wajar dalam hubungan
antarumat akan lenyap, akan berganti dengan pergaulan yang
akrab.

126
Dialog antarumat beragama di Indonesia mulai mendapat
perhatian sejak tahun 1960-an, khususnya setelah berdirinya Orde
Baru. Musyawarah kerukunan beragama yang diprakarsai oleh
Departemen Agama telah berlangsung pada tahun 1967.
Kemudian berbagai pertemuan di tingkat pemuka agama
berlangsung di banyak daerah, sekitar masalah kerukunan dan
toleransi beragama. Mukti Ali, semasa menjabat Menteri Agama,
paling gencar mengupayakan terciptanya dialog antarumat
beragama (Sitompul 2006, 8). Semboyannya yang terkenal ialah
“dialog dan bukan apolog”

Dari sifatnya dialog dapat dibedakan menjadi dialog formal dan


informal. Dialog formal adalah suatu dialog yang membahas
suatu tema tertentu dalam suatu pertemuan yang pembahasannya
bertolak dari visi teologis masing-masing. Dialog informal adalah
suatu dialog yang terjadi dalam bentuk-bentuk pergaulan, kerja
sama, dan hubungan social antarumat yang berbeda agama.
Melalui kesempatan itu mereka saling mengenal satu sama lain.

Dalam dialog informal inilah warga gereja banyak terlibat karena


mereka sehari-hari bertemu serta bergaul dengan umat dari
berbagai agama. Untuk melakukan dialog, ada empat hal yang
harus diperhatikan. Pertama, kita memerlukan pendalaman
tentang isi kepercayaan/agama kita sendiri. Kita mesti mampu
menjelaskan dengan jujur pokok-pokok iman kita, tradisi gereja
kita dan lain-lain yang berkaitan dengan agama kita sendiri.
Kedua, kita memerlukan pemahaman tentang agama mereka.
Ketiga, kita harus bersikap saling menghormati tanpa
memandang latar belakang “mayoritas dan minoritas” dan lain-
lain. Keempat, dialog tidak berarti merelatifkan kebenaran Injil
atau menuju ke sinkretisme.

Pada umumnya kita membedakan antara dialog verbal dan dialog


karya. Dialog verbal sudah sangat populer, bukan saja di
Indonesia melainkan juga di bagian lain di dunia. Dialog dengan
segala kesulitannya memang merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindarkan. Interaksi antara penganut agama-agama sudah
sedemikian rupa sehingga berbagai kesulitan dapat saja muncul
jika tidak tercapai pengertian yang mendalam. Sesungguhnya,
dialog bisa terjadi karena berbagai faktor. Pertama, pengetahuan
dan pemahaman terhadap agama-agama makin lama makin luas
dan menyeluruh, terutama akibat makin canggihnya alat- alat
komunikasi. Kedua, muncul masyarakat majemuk di seluruh
dunia. Homogenitas yang merupakan ciri masyarakat tradisional
sudah mulai ditinggalkan.
127
Dialog juga bisa menimbulkan berbagai ketegangan. Misalnya,
apakah kita boleh mempercakapkan dogma-dogma dalam dialog?
Bukankan dogma-dogma agama selalu bersifat kaku sehingga
tidak mungkin dipercakapkan dengan penganut agama lain? Di
kalangan Kristen misalnya, timbul pertanyaan apakah dialog bisa
menggantikan Pekabaran Injil? Dengan kata lain, setelah
mengadakan dialog, apakah kita masih membutuhkan Pekabaran
Injil? Tidak jarang pula dialog dicurigai sebagai upaya
terselubung untuk menobatkan mereka yang beragama lain.
Tuduhan yang lebih fatal lagi adalah bahwa dialog merupakan
upaya mencampuradukkan agama-agama (sinkretisme).

Kekhawatiran bahwa dialog akan menyinggung perasaan orang


lain membuat kita enggan untuk berdialog. Kekhawatiran lain
secara tidak disadari ialah kita takut seandainya yang kita
percayai itu tidak benar, kita khawatir jangan-jangan kepercayaan
kita menjadi goyah.

Humanitas dan keprihatinan sosial sebagai dasar dialog (Singgih


1999, 101). Yang dimaksud dengan “humanitas” adalah apa yang
mewujudkan keberadaan manusia. Oleh sebab itu, humanitas
meliputi segala komponen yang menyebabkan kita menamakan
diri kita manusia. Tentu, hal ini terdengar aneh. Sebab, bukankah
dengan sendirinya kita tahu bahwa kita adalah manusia, yang
berbeda dari binatang misalnya? Tentu, pada satu pihak
kesadaran bahwa kita adalah manusia bersifat prareflektif.
Artinya tidak perlu dipikir dalam-dalam, sudah jelas bahwa kita
adalah manusia. Namun, pada pihak lain, ada masalah apakah
kesadaran bahwa kita adalah manusia juga menyebabkan kita
mau mengakui bahwa orang lain juga manusia? Dalam sejarah
dunia, kita melihat betapa sulitnya bagi manusia untuk mengakui
bahwa mereka yang lain dari dia adalah juga sesama manusia,
misalnya yang berwarna kulit lain, berambut dan bermata lain,
yang berkeyakinan lain, yang berideologi lain, yang beragama
lain, yang termasuk suku atau bangsa lain, pada pokoknya,
kelompok lain. Pokok humanitas berhubungan dengan persoalan
bagaimana mengakui kemanusiaan orang lain juga, dan dari sana
bertolak untuk menggumuli permasalahan bersama manusia dan
aspirasi bersama manusia.

Keprihatinan sosial bersangkut-paut dengan masalah-masalah


sosial yang dihadapi bersama oleh umat beragama: kemiskinan
yang parah dan penderitaan yang disebabkannya. Di samping itu,
penderitaan oleh karena keterasingan manusia yang disebabkan
tekanan dari struktur masyarakat modern yang memperlakukan
manusia sebagai sekadar “mur” atau “baut” dari

128
mesin produksi. Oleh banyak orang, keprihatinan sosial ini
dimasukkan ke dalam dialog karya. Kelihatannya, tahap dialog di
Indonesia baru bersifat tukar pikiran terutama di kalangan pejabat
dan intelektual. Dari situ, baru ada ajakan agar melakukan dialog
karya sebagai sesuatu yang lebih konkret daripada dialog yang
bersifat tukar pikiran.

Dalam perjalanan pemikiran mengenai dialog, orang tidak terlalu


puas dengan istilah “dialog karya”. Seakan-akan orang-orang dari
agama yang berbeda-beda hanya berkumpul pada satu saat
tertentu untuk “bekerja bakti”, lalu pulang kembali ke rumahnya
masing-masing. Dalam rangka kehidupan yang memungkinkan
kerukunan beragama dalam arti kata yang sebenarnya, orang dari
agama yang berbeda-beda perlu berkumpul dan bergaul bersama.
Bukan hanya sebagai warga negara di tempat pekerjaan kita
bersama, melainkan juga dalam pergaulan sehari-hari. Oleh
karena itu, ada yang mengusulkan supaya istilah dialog karya
diperluas menjadi “dialog kehidupan”. Dalam pengertian ini
orang dari berbagai agama diajak untuk hidup berdampingan
secara damai dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan secara
menyeluruh yang meliputi baik aspek rohani maupun jasmani.

Akan tetapi, segera jelas bahwa dialog karya atau dialog


kehidupan, kerja sama di bidang penanganan masalah-masalah
sosial masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan yang
biasanya dianggap sebagai “aras horizontal” dan tidak
berhubungan dengan masalah ajaran, tidak bisa begitu saja
dilepaskan dari “aras vertikal”, yaitu hal-hal yang berhubungan
dengan masalah ajaran. Mau tidak mau orang akan
menghubungkan kedua aras itu. Bagi banyak orang beragama,
keterlibatan dalam aras horizontal tidak akan dilakukan kalau
tidak ada amanat dari aras vertikal. Alasan untuk menjamin
mulusnya kerukunan pada akhirnya tidak dapat dicari di luar
tubuh agama saja, tetapi seharusnya juga dari dalam tubuh
agama. Meskipun segala wujud dialog yang disebutkan di atas
merupakan hal yang baik dan harus dilakukan oleh kalangan
umat beragama sehingga tidak terasing satu dengan yang lain,
tampaknya belum cukup kalau setiap agama tidak melakukan
upaya teologis untuk melegitimasikan upaya-upaya kerukunan
beragama.

Halangan terbesar dari upaya teologis ini adalah asumsi bahwa


suatu agama dalam segi ajaran pasti tidak akan sesuai atau cocok
dengan agama lain. Tidak ada agama yangsama ajarannya.
Bahkan, bisa saja orang berpendapat bahwa ajaran agama yang
satu pasti bertentangan dengan ajaran agama yang lain. Di pihak
lain, percuma saja apabila asumsi ini dilawan dengan asumsi lain,
yaitu yang menganggap bahwa semua agama sama saja. Jalan
keluar yang
129
paling baik adalah memulai dari asumsi bahwa banyak hal yang
tidak sama dalam agama- agama, tetapi ada juga hal-hal yang
sama, yang dapat menjadi titik temu dalam kepelbagaian yang
ada. Dalam setiap agama ada hal-hal yang khas, yang partikular,
tetapi sekaligus ada juga hal-hal yang umum, yang universal.

Dialog perlu terus diupayakan, bukan saja karena perkembangan


internasional dan nasional, melainkan juga karena komitmen
sebagai umat beragama mendorong kita melakukannya. Pertama,
upaya membangun kesejahteraan tidak dapat terlaksana dengan
mengabaikan eksistensi orang lain. Masalah-masalah kehidupan
di sekitar kita yang semakin kompleks adalah masalah bersama.
Kepercayaan kita kepada Allah, pertama-tama harus membuat
kita mengakui dengan rendah hati bahwa pluralitas masyarakat
adalah karunia Tuhan untuk dikembangkan dengan maksimal
melalui dialog. Dialog akan membuka perspektif baru dalam
menjalankan komitmen keagamaan. Kedua, adalah tepat untuk
mengupayakannya di kalangan pemuda. Sebab pemuda memiliki
potensi besar untuk membangun masa depan bersama yang lebih
dinamis, terbuka dan penuh kemungkinan. Ketiga, kalau agama-
agama ingin tetap berperan di dalam arah pembangunan bangsa,
dialog adalah cara yang tepat untuk menggalang potensi. Jika
tidak ada dialog, kehidupan akan semakin terfragmentasi dan
pada gilirannya akan diabaikan oleh masyarakat. Keempat, dialog
bukan saja sarana untuk makin saling mengenal, melainkan
membuat kita makin mengenal jati diri kita sendiri.

Menurut Anda, apa pandangan Alkitab mengenai kerukunan


antarumat beragama? Dapatkah hubungan kita dengan orang-
orang yang beragama lain lebih daripada sekadar hubungan
antara orang yang memberi kesaksian dan yang menerimanya?
Dapatkah hubungan itu merupakan hubungan kerja sama yang
saling membantu dengan kedudukan yang sejajar? Silakan Anda
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari buku-buku dan
sumber belajar yang lain mengenai kerukunan antarumat
beragama dalam Alkitab.

Umat manusia sebagai keluarga besar Allah harus hidup rukun.


Salah satu penyebab mengapa orang mengalami kesulitan untuk
menjalin hubungan baik dengan yang berbeda agama adalah
karena kecenderungan manusia untuk mempertuhankan agama
dan kebenaran agama masing-masing. Bahwa hanya agama kita
saja yang benar dan oleh karena itu, semua agama yang lain
130
itu salah. Hanya kita saja yang akan masuk ke surga dan oleh
karena itu, semua orang yang beragama lain pasti akan masuk ke
neraka. Kalau sudah begini pemahaman kita, tentu sulit kita
menghargai orang yang beragama lain. Kalau kita tidak dapat
menghargai orang yang beragama lain, mustahil kita dapat
menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Allah memang
mutlak, tetapi agama tidak mutlak! Kita menyembah Allah,
bukan menyembah agama. Agama tidak sama dengan Allah dan
Allah tidak sama dengan agama. Tentu saja agama adalah “jalan”
untuk menyembah Allah. Benar! Oleh karena itu, agama penting,
tetapi “jalan” itu bukan “tujuan.” Jalan itu tidak sama dengan
tujuan. Kita tidak boleh mengidentifikasi jalan dengan tujuan.

Akibat dari sikap melihat agama sebagai tujuan itu tragis. Ada
keluarga yang pecah karena agama. Orang saling membenci,
bahkan saling membunuh karena agama. Tragis dan ironis karena
semua agama mengajarkan belas kasih dan kasih sayang. Karena
penganut- penganutnya memutlakkan agama sendiri sebagai
tujuan, agama lalu berwajah seram.

Anda tidak percaya bahwa agama itu relatif, tidak mutlak? Dalam
percakapan dengan perempuan Samaria, Yesus berkata,
”Percayalah kepada- Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba,
bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan
bukan juga di Yerusalem” (Yoh. 4:21). Lalu ayat 24, “Allah itu
roh dan barang siapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya
dalam roh dan

kebenaran.” Orang cenderung memutlakkan agamanya masing-


masing. Kalau mau menyembah Tuhan, mesti di sini, mesti
begini, lain dari itu salah, sesat dan dosa.

Tentang agama, Yesus mengatakan bukan di mana orang itu


menyembah itu yang penting, bukan pula dengan cara apa orang
menyembah itu yang paling menentukan, tetapi apakah ia
menyembah Allah.

Dalam Kisah Para Rasul 10, ada sebuah kisah yang amat menarik
tentang bagaimana Tuhan mendidik Petrus agar ia lebih terbuka
terhadap orang yang berbeda agama dan kritis terhadap ajaran
agamanya sendiri. Petrus diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi
bahkan bermalam di rumah Kornelius, seorang perwira tentara
Roma, yang baik tetapi menurut ajaran agama

131
dikategorikan sebagai kafir. Petrus tentu saja amat ragu-ragu
untuk melaksanakan perintah ini. Berkunjung, apalagi bermalam
di rumah dan kemudian makan bersama-sama dengan orang kafir
adalah haram. Sampai tiga kali, Tuhan harus mempersiapkan
Petrus, supaya hatinya lebih terbuka. Tiga kali Tuhan
menurunkan dari langit, benda berbentuk kain lebar yang isinya
adalah binatang-binatang yang halal dan haram. Dua kali Petrus
disuruh makan, Petrus menolak. “Tidak Tuhan, tidak, sebab aku
belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir”
(ay. 14). Tetapi apa kata Tuhan? “Apa yang dinyatakan halal oleh
Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (ay. 15). Menurut
aturan agama, Kornelius itu kafir, haram dan najis. Pada ayat 28,
Petrus mengatakan begitu kepada Kornelius, “Kamu tahu, betapa
kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan
orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka.
Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh
menyebut orang najis atau tidak tahir.”

Agama itu dapat mengotak-ngotakkan manusia, menyekat-nyekat


manusia, memisah-misahkan manusia. Agama dapat membuat
seseorang saling menajiskan satu dengan yang lain, penuh
prasangka., tidak dapat saling menerima seperti apa adanya.
Padahal Tuhan tidak begitu. Tuhan menerima orang seperti apa
adanya, yang baik Ia katakan baik, yang buruk Ia katakan buruk.
Ada hal yang amat penting dalam Kisah Para Rasul 10:34-35,
ketika Petrus akhirnya berkata, ”Sesungguhnya aku telah
mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang
dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang
mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya” (Galatia 3:26-
27). Begitulah kita harus memandang sesama kita yang beragama
lain.

Dalam Yohanes 3:16 tertulis, “Karena begitu besar kasih Allah


akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang
tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Pada kutipan
tersebut dikatakan, bahwa yang dikasihi oleh Allah adalah dunia
ini, semua orang, seluruh umat manusia. Allah tidak
membedakan orang. Artinya, Allah tidak pilih kasih. Allah tidak
hanya mengasihi sekelompok orang. Allah tidak hanya mengasihi
orang Kristen. Lebih dari itu, Allah menerima semua orang tanpa
memandang bangsa atau agama.

Jangan memusuhi orang lain, atau menganggap siapa pun sebagai


musuh. Surat Paulus kepada jemaat di Roma (12:18)
mengajarkan sebuah perilaku kristiani yang amat penting,
“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah
dalam perdamaian dengan semua orang!” Bahkan bila ada orang
bermaksud jahat kepada kita pada ayat 19, dikatakan bahwa,”
janganlah
132
kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada
murka Allah” Berusahalah hidup damai dengan semua orang,
oleh karena Yesus sendiri mengatakan, “Berbahagialah orang
yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak
Allah” (Mat. 5:9).

Dalam 1 Raja-raja 5: 1-12 diceritakan kerja sama yang indah


antara Salomo, Raja Israel, dengan Hiram, Raja Tirus. Kerja
sama antara dua bangsa yang beragama lain. Yang satu biasa
disebut sebagai “umat Allah,” yang lain disebut “bangsa kafir.”
Yang mungkin mengejutkan, ini bukan saja kerja sama yang
bersifat sosial saja (misalnya kerja sama atau gotong royong
membangun jembatan atau memperbaiki jalan), tetapi kerja sama
untuk membangun Bait Allah.

Bagi orang-orang Kristen yang ekstrem hal ini sulit sekali


diterima. Kita sering ditanya, “Boleh tidak orang Kristen bekerja
di sebuah percetakan yang mencetak kitab-kitab agama lain? Apa
dengan begitu, orang Kristen tersebut tidak membantu
menyebarkan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran
Kristen?” Begitu pertanyaan mereka.

Menurut 1 Raja-raja 5:1-12 orang kafir, dalam hal ini Hiram,


Raja Tirus, malah diundang oleh Salomo untuk ikut membangun
Bait Allah. Kerja sama yang indah sekali menandakan adanya
kerukunan antarumat beragama. Hiram memasok bahan dan
tukang untuk Salomo, sedangkan Salomo memasok bahan pangan
untuk Hiram. Kalau orang kafir boleh ikut membangun Bait
Allah, tentu saja adil kalau orang Kristen juga boleh membantu
membangun rumah ibadah orang lain. Tidak adil namanya, kalau
orang itu hanya mau dibantu, tetapi tidak mau membantu.

Apakah di percetakan LAI, tempat Alkitab kita itu dicetak, ada


orang- orang beragama lain yang ikut bekerja? Pasti ada! Kalau
ada, baru adil, jika orang Kristen boleh bekerja di percetakan
yang mencetak kitab-kitab agama lain. Sekadar untuk cari nafkah
kan boleh? Tentu boleh! Kecuali kalau ada yang begitu
ekstremnya sampai ada yang berpendapat, kalau mau
membangun gedung gereja, tukang-tukangnya harus Kristen
semua. Kalau tidak, haram! Mungkin ini biasa. Bila mau
konsisten betul, semennya juga mesti semen yang dibuat oleh
orang Kristen, kayunya mesti berasal dari orang Kristen, juga
genteng, paku, dan sebagainya. Mungkinkah?

Alkitab tidak menghendaki kita berpikiran serta bersikap


eksklusif seperti itu. Seolah-olah semuanya mesti dari Kristen,
oleh Kristen dan untuk Kristen. Dalam masyarakat majemuk
seperti masyarakat Indonesia, kerja sama antara
133
pemeluk berbagai agama hanya mungkin, tetapi bahkan tak
bukan terelakkan. Oleh beragama harus mengembangkan
sebab itu, umat kerukunan
antarumat beragama.

Dalam kehidupan masyarakat, kerja sama itu juga merupakan hal


yang tak terhindarkan sebab dalam banyak hal kita menghadapi
masalah yang sama. Masalah keamanan kampung, misalnya,
bukan hanya dihadapi oleh orang-orang Kristen, tetapi juga
orang-orang Islam, Buddha, Hindu dan Khonghucu. Karena
itulah, orang-orang dari berbagai agama harus bersama-sama ikut
siskamling. Dalam mengurus kepentingan-kepentingan kita
sendiri, kita mau tidak mau melibatkan orang-orang beragama
lain. Waktu penahbisan pendeta, kita minta bantuan beberapa
hansip dan polisi yang bukan beragama Kristen. Dari contoh-
contoh tersebut, jelaslah bahwa kerja sama kita dengan orang-
orang yang beragama lain merupakan hal yang bukan hanya
mungkin tetapi bahkan, mau tidak mau harus. Masalahnya
sekarang adalah sejauh mana kita boleh dan dapat bekerja sama
dengan para penganut agama lain?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiklah kita belajar dari


kisah Salomo yang terdapat dalam 1 Raja-raja 11:1-13. Dalam
kitab 1 Raja-raja 11:1-13 kita diperingatkan bahwa kita harus
mau bekerja sama seerat-eratnya, sebanyak-banyaknya dan
setulus-tulusnya dengan siapa saja tetapi ada batasnya. Salomo
tidak salah bekerja sama dengan Hiram, Raja Tirus, atau bekerja
sama dengan siapa saja. Dalam 1 Raja-raja 11 kita membaca
bahwa Salomo akhirnya jatuh, tidak diperkenankan Allah dan
dihukum oleh Allah. Karena apa? Karena ia melanggar batas itu!
Dikatakan dalam ayat 1, “Adapun raja Salomo mencintai banyak
perempuan asing.” Ayat 3, “Ia mempunyai tujuh ratus isteri dari
kaum bangsawan dan tiga ratus gundik; isteri-isterinya itu
menarik hatinya dari pada TUHAN.” Ayat 4, “Sehingga ia tidak
dengan sepenuh hati berpaut kepada TUHAN.”

Kerja sama baik dan harus, tetapi jangan kita mengkhianati


keyakinan dan kepercayaan kita sendiri. Jangan kita kalah
pengaruh, jangan sampai kepercayaan kita hilang. Menghormati
kepercayaan orang lain, ya, tetapi juga menghormati dan menjaga
kepercayaan serta keyakinan kita sendiri adalah harus! Kita harus
ingat bahwa di samping sebagai mitra dari orang-orang yang
beragama lain, pertama-tama kita adalah mitra Allah. Oleh karena
itu, kerja sama kita dengan manusia harus kita tempatkan di
bawah kerja sama kita dengan Allah. Bahkan kerja sama kita
dengan orang lain seharusnya kita lakukan dalam rangka menjadi
rekan sekerja Allah. Kesetiaan kita terhadap Allah tidak boleh
menghalangi kita dalam bersikap terbuka dan mau bekerja
134
sama dengan orang-orang yang beragama lain. Kesetiaan kita
dalam kerja sama dengan orang-orang yang beragama lain tidak
boleh mengurangi sedikit pun kesetiaan kita terhadap Allah.

Berdasarkan uraian tentang dasar Alkitab mengenai kerukunan


antarumat beragama di atas, kita dapat mengatakan bahwa
Alkitab mendorong umat Kristen untuk hidup rukun dengan
penganut agama yang lain. Selain itu, Alkitab tidak mendorong
umat Kristen ke arah sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal,
Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan toleran. Memang
ada sikap yang keras terhadap pengaruh luar tetapi hal itu dilihat
dalam pengaruh yang merusak kehidupan dan ditujukan bukan
kepada penganut lain, tetapi kepada umat Allah sendiri.

Setelah Anda menelusuri dasar Alkitab mengenai kerukunan


antarumat beragama, Anda juga perlu mengetahui dasar teologis
bagi kerukunan antarumat beragama. Di bawah ini akan
dikemukakan dua buah dasar teologis bagi kerukunan antarumat
beragama, yakni sebagai berikut:

1. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan

Dasar yang pertama adalah apa yang kita baca terutama dalam
Kitab Kejadian pasal 1-11, tetapi juga dalam banyak bagian-
bagian Alkitab yang lain, yaitu pengakuan iman bahwa Allah
adalah Pencipta alam semesta dan bahwa manusia adalah
makhluk ciptaan-Nya. Bagi banyak orang, pokok pengakuan ini
akan terdengar sangat biasa saja. Kesan “biasa” ini didapatkan
karena kita selalu menghubungkan pokok penciptaan dengan
masalah adanya Allah dan bagaimana manusia harus hidup di
hadapan Allah, bukan dengan masalah kerukunan antarumat
beragama dan kebersamaan manusia sebagai sesama ciptaan
Allah. Dalam konteks percakapan mengenai kerukunan antarumat
beragama, kita memerlukan perspektif baru yang khas Indonesia,
yang bisa menyoroti pokok penciptaan secara baru pula. Dalam
kerangka ini, penting sekali bagi kita untuk menyadari bahwa
“Adam” bukanlah sekadar nama dari manusia pertama. Memang
dalam Kejadian 4:25 “Adam” adalah nama orang, akan tetapi
sebelum itu “Adam” selalu berarti “Manusia.”
135
Dalam Kejadian
1:26-28 manusia
disebut “gambar

Allah.”Biasanya, orang

memulai
pendekatan
terhadap “gambar
Allah” secara
keliru, yaitu
mulai
mempertanyakan
apakah yang
dimaksud bahwa
manusia adalah
gambar Allah?

Padahal, kisah Kejadian mau

memperlihatkan bahwa gambar Allah adalah manusia. Hanya


manusia dari seluruh ciptaan Allah yang lain yang disebut
gambar Allah. Itu berarti, pada satu pihak manusia adalah ciptaan
sama seperti makhluk lainnya, tetapi tetap ada keunikannya. Di
mana letak keunikannya? Gambar Allah menunjuk pada
kemanusiaan manusia. Dalam situasi mana pun manusia berada,
dia tetap gambar Allah, dia tetap manusia. Tidak dapat
dibinatangkan oleh siapa pun.

Dalam teologi tradisional calvinisme, gambar Allah yang ada


pada manusia sudah rusak oleh karena kejatuhannya dalam dosa.
Baru oleh karya Yesus Kristus yang adalah gambar Allah yang
sejati, hakikat manusia sebagai gambar Allah dipulihkan kembali.
Tanpa bermaksud menentang teologi yang tradisional ini, ada
baiknya kita menyadari bahwa dalam Kejadian 1-11 secara
eksplisit tidak dikemukakan bahwa gambar Allah sudah rusak.
Penentangan atau pemberontakan manusia terhadap Allah pun
tidak merusak kemanusiaan manusia. Bila kita menghubungkan
Kejadian 1-11 dengan ayat-ayat mengenai Imago Dei dalam
Perjanjian Baru, penafsiran mengenai gambar Allah yang sudah
rusak dapat dikonstruksikan. Bila kita tetap mau mengikuti
teologi tradisional, jalan ke luar yang dapat diambil adalah
mengakui bahwa, pada satu pihak, dosa menyebabkan manusia
kehilangan gambar Allah, tetapi oleh Yesus Kristus, gambar
Allah ini dipulihkan kembali. Dipulihkannya ini tidak mesti
sesudah manusia menerima Kristus. Sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Paulus, ”Allah menunjukkan kasih-Nya kepada
kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih
berdosa” (Rm. 5:8).
Masih ada satu segi dari pokok penciptaan yang perlu menjadi
perhatian kita, yakni manusia sering disebut sebagai “daging”
(basar). Maksudnya, bukan pertama-tama mau mengungkapkan
aspek kejasmanian manusia, melainkan aspek kerapuhannya
sebagai makhluk fana yang dapat mati. Tradisi Hikmat

136
yang berada di belakang Kitab-kitab Kejadian, Ayub, Amsal,
Pengkhotbah dan juga sebagian Mazmur memuat pelbagai
macam himbauan mengenai apa yang harus dibuat oleh manusia
untuk menerima kefanaannya. Namun, itu sekaligus juga
membuat hidup manusia yang singkat ini menjadi berharga.
Dalam tradisi ini, pergumulan universal manusia sebagai
makhluk dari darah dan daging, yang meliputi harapan dan
sukacita, tetapi juga amat menonjolkan kekecewaan dan
keputusasaannya. Kefanaan manusia dan kerinduan manusia
untuk imortalitas merupakan masalah fundamental bagi agama-
agama. Oleh karena itu, pokok mengenai manusia sebagai
“daging” dapat menjadi dasar untuk pemahaman yang membantu
memotivasi kerukunan antarumat beragama.

2. Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia

Dasar yang kedua adalah pemahaman mengenai umat Allah.


Pokok ini sering dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif
sifatnya. Abraham dipanggil keluar dari Ur supaya menjadi cikal
bakal umat Israel, sedangkan umat Israel dipanggil keluar
(Exodus) supaya menjadi umat kesayangan Tuhan. Demikian kita
baca di dalam Ulangan 7:6. Pemahaman mengenai Israel sebagai
umat kesayangan Tuhan, umat yang dipilih Tuhan dari antara
bangsa-bangsa yang lain memang amat menonjol di dalam
Alkitab. Bahkan, dalam Perjanjian Baru yang sudah berwawasan
universal, ide ini tetap kuat juga. Keselamatan datang dari orang
Yahudi (Yoh. 4:22). Dalam Surat Paulus kepada jemaat di Roma
pasal 11, Paulus tetap mempertahankan bahwa Israel adalah umat
Allah sedangkan orang Kristen non-Yahudi cuma “cangkokan”
saja (Rm. 11:17). Ide umat Allah kemudian diteruskan dalam
Surat-surat Petrus. Orang Kristen menjadi bagian dari “imamat
yang rajani” (1 Ptr. 2:9). Berbeda dengan Israel yang mempunyai
golongan imam dan awam, Israel baru, jemaat Tuhan, semuanya
adalah imam. Dalam Perjanjian Baru tidak banyak ayat yang
mengungkapkan kelompok Kristen sebagai umat (laos). Yang
banyak dipakai adalah “persekutuan” (koinonia). Dalam teologi
tradisional, Gereja biasanya digambarkan menggantikan tempat
Israel sebagai umat Allah. Gereja adalah Israel baru, yang
menjadi kesayangan Tuhan.

Yang jarang disadari adalah, bahwa di dalam Alkitab juga ada


pemahaman mengenai umat Allah yang tidak menekankan status
sebagai “kesayangan Tuhan.” Hal ini terutama terdapatn pada
ayat-ayat yang dekat sekali dengan masa pembuangan dan yang
berasal dari zaman pembuangan. Dalam Zefanya 3:12 umat Israel
yang luput dari hukuman Tuhan akan dibiarkan, menjadi “suatu
umat yang rendah hati dan lemah.” Maksudnya, umat yang tidak
bisa
137
membanggakan status mereka sebagai umat terpilih, sedangkan
dalam Kitab Yesaya terdapat 4 buah syair yang oleh para penafsir
disebut “syair-syair Hamba Tuhan” (ebed Yahweh), yaitu Yesaya
42:1-4, 49:1-6, 50:4-11 dan 52:13-53:12. Pada pokoknya, dalam
keempat syair ini direfleksikan bagaimana Israel harus
memandang penderitaan masa lalunya berupa kehinaan
pembuangan yang telah memalukan mereka, bagaimana mereka
harus bersikap sekarang dan bagaimana Israel di masa depan
sesudah pembuangan berakhir, dapat menjadi bangsa-bangsa,
bagaimana harus hidup. Model ini bukanlah model yang
triumfalistik, eksklusif ataupun intoleran, melainkan model yang
rendah hati, inklusif dan toleran. Biasanya seorang tokoh tertentu
disebut sebagai hamba. Israel secara keseluruhan sebagai umat
disebut Hamba. Tekanan tidak lagi pada umat kesayangan, sebab
pembuangan telah diinterpretasikan sebagai hukuman yang layak
bagi umat yang berdosa dan tidak bisa mempertanggung-
jawabkan keberadaan mereka sebagai umat terpilih.

Dalam syair terakhir (Yesaya 52:13-53:12) yang sangat padat


makna dan karena itu juga bersifat multitafsir, penderitaan Israel
dilihat sebagai sesuatu yang bermakna, bukan hanya bagi Israel
sendiri, melainkan juga bagi yang lain. Israel tidak dilihat sebagai
model penampilannya menarik dan mengagumkan, tetapi model
yang sebetulnya pantas dipertanyakan, apakah layak menjadi
model. Penggambaran yang menjijikkan bermakna sebagai
metafor dari Israel dalam pembuangan yang menderita malu yang
amat sangat. “Kita” dalam syair terakhir ini adalah dunia (bangsa-
bangsa) yang menyaksikan penderitaan Israel. Meskipun
menderita malu yang amat sangat, penderitaan ini tidak
berdampak traumatik, yang menyebabkan Israel nantinya
membangun konsep umat terpilih yang triumfalis, eksklusif dan
intoleran sebagai kompensasi atas penderitaan masa lalu dan
tidak mau menderita lagi atas alasan apa pun sehingga daripada
menderita lebih baik menderitakan orang lain, tetapi penderitaan
dilihat sebagai penebusan bagi dunia ini. Israel menderita untuk
dunia dalam rangka melayani dunia.

Di dalam narasi Matius kita mencatat ada Khotbah di Bukit (pasal


5-7) yang ditujukan baik kepada para murid dan siapa pun yang
mau mendengar dan yang isinya berkaitan dengan bagaimana
manusia yang satu berelasi dengan manusia yang lain. Dalam
Matius 7:13 Yesus meringkaskan isi seluruh hukum Taurat dan
kitab para nabi sebagai berikut: “Segala sesuatu yang kamu
kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian
juga kepada mereka.” Ratusan tahun sebelumnya Khong Hu Cu
sudah berkata demikian,
138
tetapi dengan perumusan yang berbentuk negatif, “yang tidak
kamu kehendaki.” Mereka yang berpola pikir partikular akan
mengatakan bahwa ucapan Yesus tetap unik oleh karena
dirumuskan secara positif, sedangkan ucapan Khong Hu Cu
kurang dibandingkan ucapan Yesus oleh karena dirumuskan
secara negatif. Di sini terjadi kerancuan berpikir yang
menganggap sebuah rumusan yang berbentuk negatif sebagai
bermakna negatif! Mengapa tidak menerima saja bahwa baik
Yesus maupun Khong Hu Cu mengambil inspirasi dari kebenaran
universal yang laku sepanjang masa?

Pada akhir Injil Matius kita menjumpai pasal yang terkenal


mengenai penghakiman terakhir (Mat. 25:31-46). Menarik sekali
bahwa di sini Yesus mengidentikkan pelayanan kepada-Nya
dengan pelayanan kepada mereka yang tersisih dalam
masyarakat. Pada penghakiman terakhir “semua bangsa” harus
mempertanggungjawabkan tindak-tanduk mereka. Perikop ini
tidak berbicara mengenai penghakiman orang yang tidak percaya,
tetapi penghakiman orang yang tidak menolong sesama yang
membutuhkan pertolongan konkret. Itu makna dari perikop ini.
Dalam sejarah makna ini sering diselubungi dengan makna
partikular yang sangat berat sebelah. Pada ayat 32 dan 33
disebutkan mengenai “domba” dan “kambing.” Domba
ditempatkan di sebelah kanan sedangkan kambing di sebelah kiri.
Yang di sebelah kanan masuk ke hidup yang kekal, tetapi yang di
sebelah kiri masuk ke siksaan yang kekal (ayat 46). Otomatis
“domba” diidentikkan dengan partikularitas umat! Dalam rangka
mencari dasar Alkitab bagi kerukunan umat antarumat beragama,
sudah mendesak adanya upaya menafsirkan kembali ayat- ayat
yang universal sifatnya, tetapi yang terang universalnya lama
terselubung oleh penafsiran tradisional yang tidak sesuai dengan
makna harfiahnya. Uraian di dalam Alkitab mengenai kekhasan
umat tidak pernah dapat dilepaskan dari keuniversalan manusia.
Kekhasan umat bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Orang
terpanggil untuk menyadari jati dirinya, supaya dapat
berkembang bersama yang lain menuju keuniversalan manusia.
Oleh karena itu, pembinaan keumatan tidak dapat dilaksanakan
terlepas dari pembinaan kemanusiaan.

Menurut Anda, bagaimana sikap orang Kristen terhadap


kemajemukan agama-agama? Adakah titik temu antara agama
Kristen dengan agama lain? Bagaimana Anda menyikapi umat
lain sementara pokok-pokok kepercayaan sangat berbeda atau
bertentangan? Silakan Anda menyatakan argumentasi Anda yang
menunjukkan bahwa pluralisme agama sebagai persoalan
teologis.

139
Setiap umat beragama, tentu saja, akan menganggap agama yang
dianutnya sebagai agama yang benar. Ini tidak bisa disalahkan.
Bahkan seharusnya begitu. Agama adalah soal kepercayaan
sehingga orang itu tidak layak ragu-ragu terhadap agama yang
dianutnya.

Hal yang dikemukakan terakhir ini tidak akan menjadi soal besar
andaikata agama yang diturunkan Tuhan hanya satu. Dengan kata
lain, andaikata Tuhan menyatakan diri atau kehendak-Nya hanya
melalui satu saluran saja. Dalam kenyataannya tidaklah demikian.
Ada sekian banyak agama yang kita kenal. Hebatnya lagi, agama-
agama itu selalu mengajarkan hal-hal luhur, walaupun
kenyataannya para penganut agama sering membelokkan ajaran-
ajaran agama demi tujuan mereka sendiri. Hal inilah yang
menyebabkan agama-agama dicemarkan, bahkan tidak jarang
mendapat cap yang tidak mengenakkan. Misalnya, Karl Marx,
yang memandang agama sebagai candu bagi masyarakat.

Pluralisme agama bukan saja merupakan sebuah kenyataan yang


sudah ada selama berabad-abad, melainkan juga merupakan
persoalan teologis. Kalau orang berkata-kata mengenai persoalan
teologis, yang dimaksudkan adalah persoalan tentang
“kebenaran” itu sendiri. Artinya, jika kita memerhatikan banyak
agama haruskah kita berkata bahwa ada satu agama yang benar
dengan konsekuensi bahwa agama lain dianggap tidak benar?
Sebuah pertanyaan yang menarik tetapi jawabannya tidak mudah.

G.E. Lessing, seorang filsuf dan teolog yang hidup pada abad
XVIII di Jerman, juga dihantui pertanyaaan seperti itu
(Yewangoe 2002, 17). Dalam sebuah drama yang berjudul
Nathan, der Weise, ia mencoba menguraikan pendapatnya.
Konon hiduplah seorang ayah yang mempunyai tiga orang putra.
Ketiga-tiganya dikasihi. Tidak ada dari ketiganya yang lebih
dikasihi dibanding yang lain. Sebelum meninggal si ayah
bermaksud mewariskan sesuatu yang paling berharga bagi ketiga
anaknya. Apakah yang paling berharga yang dimiliki sang ayah?
Ternyata ia memiliki sebuah cincin yang sangat indah dan mahal.
Kalau cincin itu hanya diberikan kepada salah seorang dari
ketiganya, terbukti bahwa hanya satu orang yang dikasihi. Ini
bertentangan dengan sifat sang ayah yang mengasihi ketiganya.
Kalau cincin tersebut dibagi tiga, cincin itu tidak berharga lagi.
Akhirnya, sang ayah mendapat akal. Ia memanggil seorang
jauhari dan menyuruhnya membuat dua cincin lain yang sama
persis dengan cincin yang asli. Begitu sempurnanya tiruan cincin
tadi sehingga si ayah pun tidak tahu lagi mana cincin yang
sungguh-sungguh asli. Ketika meninggal, sang ayah mewariskan
kepada
140
masing-masing anak sebuah cincin dengan klaim bahwa itulah
yang asli.

Demikian cerita itu.

Tentu saja, tiga cincin yang dimaksud adalah ibarat tiga agama
besar yang sudah dikenal waktu itu: Yahudi, Kristen dan Islam.
“Dari ketiga agama ini tentu harus ada satu yang sungguh-
sungguh merupakan agama yang benar,” demikian kata Sultan
Saladin yang juga merupakan tokoh dalam drama tersebut. Ia lalu
bertanya kepada Nathan, “Seorang yang bijaksana seperti Anda,”
kata Saladin selanjutnya, “Tidak bisa tetap berdiri saja di tempat
Anda dilahirkan. Kalau pun Anda tetap berdiri di situ, pilihan
tersebut harus dapat dijelaskan sebagai yang sungguh-sungguh
lebih baik.” Dengan kata lain, Anda harus dapat meyakinkan
dengan bukti mengapa Anda memilih agama ini, bukan agama
itu. Perlu Anda ketahui bahwa Lessing hidup dalam suatu zaman
ketika segala sesuatu harus disertai bukti-bukti yang masuk akal.

Cincin mana yang sejati? Jawaban yang diberikan Nathan adalah


bahwa pertanyaan itu tidak berguna, hendaknya mereka bertiga
bersama-sama bersikap bijak dan memerintah negara.
Kesimpulan dari cerita ini tentunya bahwa segala pertengkaran
tentang agama mana yang lebih benar adalah tidak relevan dan
kampungan (Suseno 2004, 135-136).
Kembali ke perumpamaan tiga cincin tadi. “Jikalau cincin sejati
tidak dapat dibuktikan, biarlah kekuatan cincin sejati itu yang
membuktikan dirinya sendiri,” kata Nathan. Dengan kata lain,
biarlah setiap orang membuktikan melalui pengalaman hidupnya
bahwa “cincin” yang dipegangnya adalah sungguh-sungguh
cincin sejati. “Biarlah setiap orang berperilaku sesuai dengan
kasih yang tidak cacat dan cinta yang tanpa iri hati.” Puas? Inikah
jawaban yang dinantikan? Ternyata tidak semudah itu. Sebab
pertanyaan lanjutan yang muncul adalah apakah memang
kebenaran dapat disamakan begitu saja dengan manfaat sebuah
agama. Dapatkah kebenaran sebuah agama direduksi hanya
lantaran agama itu bermanfaat, menolong, dan memuaskan
kebutuhan-kebutuhan?

Anda yang jeli akan segera melihat bahwa pertanyaan tersebut


tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan teologis. Artinya,
kita tidak dapat menyelesaikan begitu saja pertanyaan tersebut
dengan satu atau dua jawaban yang kedengarannya sederhana.
Kita ditempatkan pada posisi yang terus-menerus mencari,
walaupun tidak berarti bahwa kita harus mengisolasi diri dari
sesama yang berbeda agama dari kita. Kita bisa menyebutnya
sebagai penjelajahan teologis.
141
Adalah Hans Kung, seorang teolog Katolik kondang, yang
menggambarkan empat posisi dasar relasi antaragama (Yewangoe
2002, 19).

Posisi pertama adalah tidak ada agama yang benar atau semua
agama sama-sama tidak benar. Tentu saja Kung tidak sedang
mempromosikan sebuah pandangan yang bersifat ateis di sini.
Memang inilah tantangan yang diajukan kepada semua agama.
Dalam bentuknya yang ekstrem, dunia pernah mengenal seorang
Nietzsche yang memproklamirkan bahwa “Allah Telah Mati.”
Barangkali kita tidak perlu cepat-cepat mencela Nietzsche akibat
ucapan ini, tetapi kita perlu merenungkannya secara mendalam
apa makna beragama dan percaya kepada Tuhan. Posisi kedua
adalah bahwa hanya ada satu agama yang benar atau semua
agama lain tidak benar. Pendirian ini langsung mengingatkan kita
pada pendirian Gereja tradisional yang pada masa awalnya
diperkembangkan oleh Origenes, Cyprianus dan Augustinus.
Belakangan dalam Konsili Lateran IV (1215) pendirian itu
dikenal secara luas sebagai slogan Extra Ecclesia Nulla Salus (Di
Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan).
Sumber
p=2673

Konsili Florence (1442) kembali


menegaskan bahwa Gereja
percaya dengan teguh sambil
mengaku dan menyatakan bahwa
tidak ada seorang pun di luar
Gereja yang akan mengambil
bagian dalam kehidupan kekal.
Sebaliknya mereka, yaitu orang
kafir dan orang Yahudi serta
semua orang yang tidak percaya
telah dikutuk supaya masuk ke
dalam api yang kekal kecuali
apabila mereka masuk dan ambil
bagian dalam Gereja sebelum
mereka meninggal. Tentu saja,
pendirian ini telah menjadi “masa
lalu” dari Gereja. Konsili Vatikan
II (1962-1965) dalam
konstitusinya mengenai gereja
menjelaskan bahwa mereka yang
bukan karena kesalahan mereka
sendiri tidak mengenal Injil
Kristus dan

gereja- Nya, tetapi tetap mencari Allah dengan hati yang jujur
serta berupaya memenuhi kehendak-Nya sebagaimana diakui di
dalam perintah-perintah suara hati dan dalam perbuatan-
perbuatan yang didorong oleh karya anugerah-Nya, akan
mencapai keselamatan kekal. Kemudian dalam deklarasi
mengenai agama-agama non-Kristen terdapat perhargaan
terhadap agama

142
tersebut yang memuncak pada kalimat berikut: “Gereja Katolik
tidak menolak apa yang benar dan kudus di dalam agama-agama
ini.”

Posisi ketiga adalah bahwa setiap agama adalah benar atau semua
agama sama-sama benar. Jelas pendirian ini cenderung
menyamaratakan semua agama yang sebenarnya tidak mungkin.
W.C. Smith, seorang pakar ilmu agama asal Kanada, berkata
bahwa bahkan dalam satu agama saja tidak mungkin agama itu
tetap sama sepanjang masa. Seiring dengan perjalanan waktu,
kebudayaan dan peradaban umat manusia berkembang sehingga
agama pun ikut berkembang. Jadi, kalau dalam satu agama sudah
terjadi perbedaan antara “dulu” dan “sekarang,” mana mungkin
setiap agama dapat dianggap sebagai sama-sama benar. Kalau
begitu posisi ketiga agama ini memang mustahil. Posisi keempat
beranggapan bahwa hanya satu agama yang benar dan semua
agama mempunyai andil dalam kebenaran agama yang satu ini.
Pendirian semacam ini, terutama kita temukan pada agama yang
berasal dari India. Semua agama adalah empiris. Artinya,
pengalaman sehari-hari hanya menampilkan satu segi tertentu
dari sebuah kebenaran universal. Agama tersebut bukannya tidak
benar, tetapi hanya bersifat sementara. Semuanya mempunyai
bagian dalam kebenaran universal. Pandangan yang lazim disebut
inklusivisme ini juga ditemukan dalam kekristenan. Karl Rahner,
seorang teolog Katolik dari Jerman, memperkenalkan anonymous
Christian (‘Orang Kristen Anonim’). Menurutnya, semua orang
Yahudi, Hindu, Muslim dan Buddha akan diselamatkan. Sebab,
pada akhirnya mereka juga Kristen atau lebih tepat Orang Kristen
Anonim.

Keempat posisi yang dikemukakan Kung mungkin tidak


memuaskan dalam upaya memahami kemajemukan agama-
agama itu. Penjelasan itu telah makin meyakinkan kita bahwa
persoalan ini tetap akan diketengahkan sebab ia menyangkut
eksistensi manusia itu sendiri. Kemajemukan agama bukanlah
masalah teoretis atau akademis belaka, melainkan ia berkaitan
dengan kebutuhan manusia yang sering tidak berjalan mulus. Ada
orang yang tidak mau bersusah payah mempertanyakan secara
teologis persoalan ini dan hanya mendorongnya ke arah praktis
belaka. Tidak dapat dihindarkan bahwa orang akan
mempertanyakan hakikat pluralisme itu sendiri. “Bila hanya ada
satu Tuhan, tidakkah seharusnya hanya ada satu agama saja?”
demikian pernah orang bertanya kepada Gandhi. Apa jawaban
Gandhi? Ia berkata: “Sebatang pohon punya sejuta daun. Ada
banyak agama sebagaimana ada banyak pria dan wanita, tetapi
semuanya berakar pada satu Tuhan saja.” Jawaban Gandhi ini
barangkali tidak tepat betul. Ia hendak memperingatkan
143
bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengklaim kebenaran
sebagai miliknya sendiri. Demikian juga Allah tidak mungkin
diklaim sebagai milik dari satu agama tertentu. Sayangnya, kata
Wesley Ariarajah, seorang Pendeta Metodis di Sri Lanka, Tuhan
telah didorong begitu rupa supaya menjadi Tuhan dari “suku”
tertentu, padahal Ia adalah Tuhan dari segala suku, bangsa dan
umat (Ariarajah 1989, 14-15).

Menyadari bahwa kebenaran tidak mungkin dapat diklaim, akhir-


akhir ini, khususnya di kalangan teolog Protestan, ada usul yang
kuat sekali untuk membuat sebuah “Revolusi Copernicus” dalam
teologi. Secara khusus hal itu diketengahkan oleh John Hick,
seorang teolog dari Inggris. Kalau dulu Copernicus melawan teori
Ptolemeus yang menempatkan “bumi” sebagai pusat alam
semesta dan menggantikannya dengan “matahari” yang
dikelilingi planet- planet lain, perubahan berpikir yang radikal
juga harus terjadi dalam teologi. Sudah tiba masanya, kata Hick,
meninggalkan pandangan bahwa agama Kristen adalah pusat
sedangkan agama-agama lain hanya berputar-putar mengelilingi
pusat. Sekarang “kebenaran” harus ditempatkan pada pusat,
sedangkan agama Kristen bersama agama-agama lain beredar di
sekitar “Kebenaran” itu.

Setiap agama percaya bahwa Allah adalah mahakuasa,


mahamurah dan maharahim. Pendeknya, Ia adalah Allah yang
tidak menghendaki kebinasaan manusia. Allah senantiasa
memberi kesempatan kepada manusia supaya bertobat.
Bagaimana kita mengetahui bahwa Allah sungguh-sungguh
menghendaki manusia selamat? Hampir setiap agama
mengajarkan bahwa hal ini hanya dapat diketahui kalau Allah
sendiri memberitahukannya kepada manusia. Pemberitahuan ini
dalam agama Kristen disebut “Penyataan,” sedangkan dalam
agama Islam disebut “Wahyu.” Tentu saja, setiap agama akan
mengklaim bahwa pemberitahuan Allah kepadanyalah yang
paling autentik dan lengkap. Sekali lagi klaim ini tetap sulit
dibantah karena ia merupakan perkara keyakinan.

Namun demikian, kita harus tetap mempunyai pemikiran bahwa


Allah pun dapat memakai kemungkinan lain untuk menyatakan
kehendak-Nya kepada manusia. Artinya, karena Allah adalah
mahakuasa, kemahakuasaan-Nya tidak mungkin dapat dibatasi
hanya ke satu “saluran” saja. Allah lebih besar dibanding agama-
agama dan segala perumusan agama tentang Allah
144
Konfrontasi, Koeksistensi, Pluralisme

Ada tiga model hubungan antarumat berbeda agama, yakni


konfrontasi, koeksistensi damai dan pluralisme. Pada pola yang
pertama, yang dahulu lazim dianut agama-agama besar dunia,
pendekatannya adalah konfrontatif: berupaya dengan segala cara
mengenyahkan yang lain. Tidak ada tempat bagi agama- agama
lain, agama-agama lain adalah kafir. Pola yang kedua adalah
koeksistensi (kebersamaan statis). Di dalam pola ini mereka
hidup bersama tanpa kebersamaan, mereka sering bekerja
bersama-sama namun tidak terjadi interaksi, mereka bercakap-
cakap tetapi tidak ada dialog sejati. Apa yang terjadi adalah
“Kuhidupi hidupku dan kau hidupilah hidupmu,” atau “Jangan
ganggu aku dan tak akan kuganggu kau.” Orang hidup bersama
secara sosial dan praktis, tetapi tidak secara teologis. Pola yang
ketiga adalah prinsip dan sikap pluralisme, yakni kebersamaan
kreatif. Dengan prinsip ini perbedaan agama tidak dilihat semata-
mata sebagai sesuatu yang secara praktis tidak terhindarkan,
melainkan sesuatu yang bermakna dan teologis. Dalam wawasan
pluralisme ini, yakni yang menerima serta menghayati
kepelbagaian secara positif, misi masing-masing agama tidak
dihapuskan, melainkan dikembangkan dari monolog (dengarlah
aku) ke dialog (marilah kita saling mendengarkan). Demikian
juga perbedaan asasi antara agama-agama tidak dinisbikan,
melainkan ditonjolkan untuk saling memperkaya wawasan.
Dalam dialog dan interaksi dengan penganut agama-agama lain
penghayatan iman saya diperdalam dan komitmen sosial saya
diperkokoh. Wawasan pluralis akan menciptakan hubungan
antarumat berbeda agama yang lebih rukun dan berinteraksi
secara positif dalam kemanusiaan bersama yang kreatif dan
keberagamaan yang dinamis. Wawasan primordial digantikan
wawasan kemanusiaan, yang antara lain terungkap dalam
perjuangan bersama untuk melaksanakan hak dan kewajiban
sebagai warga Negara, menegakkan demokrasi, hak-hak asasi,
keadilan sosial dan kedaulatan hukum, bertolak dari sumber
keagamaan masing-masing yang dikembangkan secara sehat dan
dinamis.
145
Ada tiga posisi dasar beragama dewasa ini (Suseno 2004, 137-
139). Pertama, eksklusivisme agama. Sikap ini bertolak dari
keyakinannya akan wahyu yang diterima dari Allah dan karena
itu yakin bahwa agamanya sendiri adalah agama yang benar.
Agama-agama lain tidak benar dan bahwa keselamatan kekal
hanya terbuka bagi mereka yang menyembah Allah menurut
wahyu Allah itu. Menurut eksklusivisme, di luar agamanya
sendiri tidak ada keselamatan. Pendek kata, menurut
eksklusivisme hanya ada satu agama yang benar, ialah agamaku
sendiri dan hanya penganut agamaku itu dapat masuk surga.
Kedua, inklusivisme agama. Inklusivisme agama tidak
melepaskan keyakinan bahwa yang benar adalah agamanya
sendiri. Jadi, bagi orang Kristen, bahwa hanyalah karena Yesus
dari Nazaret semua orang dapat selamat. Inklusivisme tidak
mengakui semua agama lain sebagai sama-sama benar. Akan
tetapi, disebut inklusivisme karena mereka menerima bahwa
orang dari agama-agama lain juga dapat selamat. Ketiga,
pluralisme agama. Pluralisme agama diperjuangkan di kalangan
Kristen oleh teolog-teolog seperti John H. Hick, Paul F. Knitter
dari Protestan dan Raimundo Pannikar dari Katolik. Mereka
menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan
bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan
kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama-tama
memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap diri lebih
benar daripada yang lain-lain. Teologi yang mendasari anggapan
itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda, anggapan
bahwa agama-agama merupakan ekspresi religiositas umat
manusia. Para pendiri agama, seperti Buddha, Yesus dan
Muhammad merupakan genius-genius religius. Mereka
menghayati dimensi religius secara mendalam. Salah satu
implikasi pluralisme adalah penolakan terhadap misi. Apabila
agama-agama sekadar ungkapan dimensi religius semesta, mau
“mempertobatkan” umat beragama lain tidak masuk akal. Yang
dapat mereka benarkan paling-paling saling memperkenalkan
penghayatan rohani masing-masing untuk saling memperkaya,
saling membantu dalam mengatasi unsur-unsur sempit yang tidak
memadai dan mengembangkan semacam sinergi kepositifan
antara agama-agama.

Menurut Anda, haruskah agama yang mempunyai nilai-nilai


luhur ditundukkan begitu saja ke bawah nafsu rendah manusia
untuk mencapai tujuan yang sering kali bertentangan dengan
ajaran agama itu sendiri? Haruskah agama dipurukkan sebagai
topeng bagi kemunafikan serta menjadi alat manipulasi

146
psikologis yang menanamkan fanatisme sempit dan menyebarkan
kebencian kepada sesama manusia serta tidak jarang menjadi
sumber legitimasi bagi pertumpahan darah? Bagaimana bisa
agama dijadikan alat manipulasi psikologis yang menanamkan
fanatisme sempit dan menyebarkan kebencian kepada sesama
manusia? Apa akibatnya jika agama dijadikan sumber legitimasi
bagi pertumpahan darah? Silakan Anda mengomunikasikan
dengan kata-kata dan gagasan Anda sendiri mengenai peran umat
beragama dalam mengembangkan kerukunan antarumat
beragama.

Untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama empat hal


berikut ini harus diperhatikan oleh umat beragama. Pertama,
tanggung jawab yang lebih besar pada yang lebih besar. Jika
kerukunan hanya menjadi urusan dan perjuangan yang kecil akan
menjadi sia-sia. Tidak ada perubahan yang berarti bisa terjadi
tanpa dukungan umat mayoritas yang banyak dan militer yang
kuat. Lebih mulus lagi bila juga memeroleh dukungan dari
birokrasi yang berkuasa. Seperti tidak mungkin ada demokrasi
tanpa mereka, juga tidak akan ada kerukunan tanpa mereka.
Kedua, kerukunan harus diupayakan terus-menerus. Tidak hanya
menjadi topik seminar setelah ada konflik, melainkan dirawat dan
ditumbuhkan terus-menerus melalui pengalaman bersama. Saat
mengupayakan kerukunan terus-menerus kebebasan harus ditata.
Kebebasan yang liar dan binal akan menghancurkan kebebasan
itu sendiri. Masing-masing menata kebebasannya sendiri dengan
bertanggung jawab, dan dengan ini masing-masing mewujudkan
kerukunan beragama dan sekaligus memelihara kebebasan itu
sendiri. Selain itu, kerukunan harus diupayakan langkah demi
langkah dengan mengupayakan kesepakatan-kesepakatan
minimal yang semakin maju melalui pengalaman perjalanan
bersama. Ketiga, tugas mewujudkan kerukunan hidup antarumat
beragama adalah tugas bersama: lembaga-lembaga keagamaan,
umat beragama serta pemerintah. Keempat, kita harus menerobos
dan merobohkan tembok prasangka religius (Ismail 2002, 47).
Hal tersebut kita lakukan dalam rangka meneladani sikap Yesus
Kristus.

Yesus Kristus telah menerobos dan merobohkan tembok


prasangka rasial dan religius sebagaimana tercatat dalam
Yohanes 4:1-42. Menurut ayat 3 Tuhan Yesus dan para murid
berniat meninggalkan Yudea (Israel bagian selatan) menuju
Galilea (Israel bagian utara). Lalu, di ayat 4 tertulis, “Ia harus
melintasi daerah Samaria.” Perhatikan kata harus dalam kalimat
itu. Samaria adalah bagian tengah Israel. Sebenarnya sangat wajar
bila orang melintasi wilayah tengah dalam perjalanan dari selatan
ke utara atau sebaliknya. Orang Yahudi
147
menghindari wilayah Samaria kecuali bila sangat terpaksa.
Mereka lebih bersedia berputar jalan daripada harus melintasi
daerah orang Samaria, sebab mereka enggan bertemu dengan
orang Samaria. Ada tembok prasangka antara kedua etnik itu.
Sumber: http://buktidansaksi.com/blogs/1/2009/12/-Did-Allah-
Exist-

Tembok pemisah itu tergambar dalam kalimat, “Masakan


Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang
Samaria?” (ay. 9a). Lalu pengarang Injil memberi keterangan,
“Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria” (ay.
9b). Prasangka antara orang Yahudi dengan orang Samaria itu
ternyata sudah berlangsung lebih dari 500 tahun. Awalnya begini.
Pada tahun 722 sM., Asyur menaklukkan wilayah Samaria.
Penduduk Samaria yang berjumlah sedikit itu dicampur dengan
beberapa bangsa pendatang sehingga agamanya pun tercampur
(lih. 2 Raj. 17:24-41).

Ketika kemudian orang Yudea membangun ulang Bait Allah di


Yerusalem, orang Samaria menawarkan bantuan. Namun,
bantuan itu ditolak, sebab orang Yudea menganggap orang
Samaria sebagai bukan Yahudi murni lagi akibat kawin campur
dengan bangsa-bangsa lain. Ini menjadi benih kebencian antara
etnik Yahudi dengan etnik Samaria. Apalagi ketika kemudian
orang Samaria membangun sebuah Bait Allah sendiri di Gunung
Gerizim. Akibatnya orang Samaria dianggap bukan orang Yahudi
lagi dan bukan beragama

148
Yahudi lagi. Sejak itu orang Samaria menjadi kelompok
minoritas yang dijadikan tumpahan kebencian dan kedengkian.
Bahkan pernah pula pada tahun 129 sM. orang Yahudi
menyerang orang Samaria (Ismail 2002, 46).

Sebagai seorang yang berbangsa Yahudi dan beragama Yahudi,


sebenarnya bisa dimengerti seandainya Yesus juga berprasangka
terhadap orang Samaria. Ternyata Yesus tidak berprasangka
demikian! Sebaliknya, Yesus malah mengambil langkah yang
menerobos dan merobohkan tembok prasangka itu. Ia menyapa
seorang Samaria (lih. ay. 7). Tentu saja para murid-Nya menjadi
heran (lih. ay. 27). Lalu Yesus melakukan terobosan yang lebih
mengejutkan lagi. Ia menerima baik ajakan orang Samaria untuk
menginap di rumah orang Samaria (lih. ay. 40). Bayangkan
kebingungan para murid-Nya ketika tiba waktu makan. Seumur-
umur mereka belum pernah makan dari piring dan mangkok
orang Samaria sebab menurut aturan agama Yahudi pinggan dan
cawan orang beragama lain adalah najis atau haram.

Selain empat hal di atas, untuk mewujudkan kerukunan antarumat


beragama umat beragama perlu mengembangkan sikap
proeksistensi ketimbang koeksistensi (Sitompul 2006, 49). Di
dalam koeksistensi kita memang mengakui orang lain dan merasa
cukup kalau tidak saling mengganggu. Sedangkan proeksistensi
mencakup saling menghargai dan berupaya mengembangkan
kehidupan bersama yang harmonis dan dinamis. Ini berkait erat
dengan pengakuan bahwa umat beragama lain mempunyai
“legitimasi religius” yang tidak berhak kita nilai apakah benar
atau salah. Umumnya umat beragama masih terjebak pada sikap
superior atau eksklusivisme, merasa diri sendiri satu-satunya
yang benar, sedangkan yang lain salah. Walaupun tidak
diungkapkan terang- terangan, paling tidak “di kalangan sendiri”
gencar diucapkan. Sikap merelatifkan agama bahwa semua
agama itu sama juga tidak baik. Menyamakan semua agama
berarti merendahkan penghayatan religius kita sendiri.
Penghayatan agama atau spiritualitas adalah sesuatu yang
personal, eksistensial dan menentukan bagi kualitas hidup kita,
sesuatu yang tidak mungkin disamaratakan begitu saja dengan
penghayatan orang lain.

Kita perlu merenungkan kembali cara kita menghayati agama kita


masing-masing. Meskipun agama adalah pilihan pribadi, ia juga
berdampak bagi hubungan-hubungan sosial. Di dalam keluarga
besar Bangsa Indonesia yang pluralistik, cara-cara kita
menghayati dan mengungkapkan iman memainkan peranan
penting agar kita terhindar dari konflik-konflik yang tidak perlu
dan tidak produktif.
149
Kerukunan yang kita usahakan dan kembangkan bukanlah
sekadar “rukun-rukunan,” melainkan kerukunan yang benar-
benar autentik dan dinamis. Kerukunan yang autentik bukanlah
kerukunan yang diusahakan hanya oleh karena alasan-alasan
praktis, pragmatis dan situasional, tetapi semangat kerukunan
yang benar-benar keluar dari hati yang tulus dan murni.
Kerukunan itu benar-benar dapat keluar dari hati yang tulus dan
murni karena ia didorong dari suatu keyakinan iman yang dalam
sebagai perwujudan dari ajaran agama yang diyakini. Oleh sebab
itu, kerukunan bukanlah sekadar masalah politis atau teknis.
Kerukunan juga tidak kurang adalah masalah teologis atau
masalah keyakinan iman. Bertolak dari situ, umat beragama yang
lain bukan saingan atau ancaman apalagi musuh, melainkan
sebagai saudara-saudara sesama ciptaan Tuhan yang oleh Tuhan
ditempatkan untuk hidup bersama dan bekerja bersama bagi
kebaikan bersama dan oleh karena itu untuk dikasihi. Kerukunan
yang autentik akan terwujud oleh keyakinan yang eksistensial
seperti ini dan bukan hanya oleh kesepakatan-kesepakatan formal
saja.

Kerukunan yang dinamis bukan sekadar kerukunan yang


berdasarkan kesediaan untuk menerima eksistensi yang lain
dalam suasana hidup bersama tetapi tanpa saling menyapa.
Kerukunan yang dinamis adalah kerukunan yang didorong oleh
kesadaran bahwa meskipun berbeda, semua umat beragama
mempunyai tugas dan tanggung jawab bersama yang satu, yaitu
mengusahakan kesejahteraan lahir batin yang sebesar-besarnya
bagi semua orang (bukan hanya umatnya sendiri), dan oleh
karena itu mesti bekerja sama dan bukan hanya sama- sama
bekerja.

Salah satu tantangan terhadap pengembangan kerukunan adalah


adanya peristiwa-peristiwa lokal yang mengarah pada
peningkatan benturan dan konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antargolongan). Adanya cara-cara melaksanakan dakwah,
penginjilan, dan misi yang melecehkan dan menghakimi agama
lain juga merupakan tantangan terhadap pengembangan
kerukunan. Selain itu, adanya fundamentalisme agama dalam
masyarakat majemuk juga merupakan tantangan terhadap
pengembangan kurikulum.

Fundamental berbeda dari Fundamentalisme. Fundamentalisme


tidak hanya terdapat dalam satu agama. Fundamentalisme adalah
gejala yang dapat terjadi dalam setiap agama. Berdasarkan asal
usulnya, fundamentalisme adalah gerakan yang muncul dalam
gereja pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Eropa. Pada abad
ke-19 gereja berhadapan dengan ilmu pengetahuan
150
yang makin lama makin menguasai kehidupan banyak orang.
Gereja yang selama ini berperanan besar dalam kehidupan sehari-
hari menjadi terdesak. Bahkan muncul kecenderungan bahwa
gereja sudah mulai ditinggalkan, entah karena ajarannya dianggap
tidak relevan lagi atau karena pengaruhnya yang selama ini
sangat dominan dianggap tidak sesuai lagi dengan roh zaman
yang menghendaki kebebasan yang lebih besar bagi manusia.
Perkembangan semacam itu dianggap berbahaya bagi kelanjutan
hidup gereja.

Untuk mengatasi kesulitan, muncullah fundamentalisme yang


bertujuan membangun benteng yang kokoh demi
mempertahankan diri dari serangan dunia luar yang dianggap
membahayakan gereja. Di dalam benteng itu gereja berupaya
mengokohkan pokok-pokok ajaran Kristen sekaligus juga peri
kehidupan sehari- hari sebagai tandingan perilaku kehidupan
masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan yang
sekularistis. Setelah benteng itu dibangun, mereka dengan
sendirinya mengurung dirinya dari orang-orang lain yang berada
di luar benteng. Dialog tidak mungkin dilakukan. Yang terjadi
adalah pemaksaan kehendak yang dalam bentuk ekstremnya
dapat berupa konflik bersenjata.

Dalam penampilan yang militan, fundamentalisme merumuskan


segala sesuatu dalam terminologi-terminologi yang serba mutlak.
Kemutlakan itu dipaksakan kepada setiap orang. Dengan
demikian, fundamentalisme menuntut komitmen orang atas
kebenaran yang absolut, kalau perlu mempertaruhkan segala
sesuatu.

Tentu saja fundamentalisme sangat berbahaya, apalagi dalam


suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia. Kalau kelompok
agama A memaksakan kehendaknya kepada kelompok agama B,
pemaksaan-pemaksaan yang absolut pasti terjadi yang akan
menimbulkan ketegangan atau bahkan konflik. Pemaksaan itu
bukan saja terjadi antara agama A dan agama B, melainkan dapat
pula terjadi di dalam agama itu sendiri secara intern. Kalau ini
terjadi, kecenderungan perpecahan tidak dapat dihindarkan.

Gejala fundamentalisme dapat bermacam-macam. Secara umum


dapat dikatakan bahwa sikap agresivitas sangat menonjol dalam
cara penyebaran ajaran mereka. Bahkan muncul kecenderungan
bahwa fundamentalisme keagamaan ini terpisah sama sekali dari
asas-asas kemanusiaan, spiritual dan etika yang justru bagi
kebanyakan agama merupakan unsur yang terpenting. Terdapat
juga kecenderungan fanatisme yang berlebih-lebihan yang
akhirnya
151
merupakan ancaman bagi keserasian sosial, keadilan dan hak-hak
asasi manusia.

Istilah “kerukunan” jauh lebih positif dan dinamis ketimbang


istilah “toleransi” yang statis. Kerukunan yang kita kehendaki
adalah kerukunan yang autentik dan dinamis. Kerukunan yang
tidak kita kehendaki adalah bila kerukunan harus dibayar dengan
hilangnya perbedaan dan kebebasan.

Dari antara bentuk-bentuk kegiatan yang berhubungan dengan


kerukunan antarumat beragama, bentuk dialog adalah bentuk
yang paling awal dilaksanakan dengan prakarsa pemerintah dan
telah dilakukan di berbagai kota di Indonesia. Dari sifatnya,
dialog dapat dibedakan menjadi dialog formal dan informal.
Selain itu, pada umumnya kita membedakan antara dialog verbal
dan dialog karya.

Alkitab mendorong umat Kristen untuk hidup rukun dengan


penganut agama yang lain. Alkitab tidak mendorong umat
Kristen ke arah sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal,
Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan toleran. Memang
ada sikap yang keras terhadap pengaruh luar tetapi hal itu dilihat
dalam pengaruh yang merusak kehidupan dan ditujukan bukan
kepada penganut lain, tetapi kepada umat Allah sendiri.

Pluralisme agama bukan saja merupakan sebuah kenyataan yang


sudah ada selama berabad-abad, melainkan juga merupakan
persoalan teologis. Kalau orang berkata-kata mengenai persoalan
teologis, yang dimaksudkan adalah persoalan tentang
“kebenaran” itu sendiri.

Untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama empat hal


berikut ini harus diperhatikan oleh umat beragama. Pertama,
tanggung jawab yang lebih besar pada yang lebih besar. Kedua,
kerukunan harus diupayakan terus-menerus. Ketiga, tugas
mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama adalah tugas
bersama: lembaga-lembaga keagamaan, umat beragama serta
pemerintah. Keempat, kita harus menerobos dan merobohkan
tembok prasangka religius.

Buatlah makalah sebanyak 15 halaman tentang kerukunan


antarumat beragama di tempat Anda tinggal! Tugas ini juga
dipresentasikan di depan kelas.
152
BAB VII

PENJAGA CIPTAAN ALLAH

Teknologi canggih yang diterapkan dalam dunia bisnis tidak


semuanya bersahabat dengan lingkungan alam. Sejak tahun 1960-
an, kita sudah sangat sering mendengar teriakan tentang
menipisnya sumber alam, pengotoran udara, air dan tanah,
pemanasan bumi, musim yang berubah tanpa aturan lagi, hutan-
hutan menjadi gundul, efek rumah kaca dan lain-lain. Semuanya
itu membuat kita berpikir untuk menemukan suatu relasi yang
benar dalam perspektif hubungan yang tidak saling mematikan
antara dunia bisnis, manusia dan alam lingkungan. Dewan
Gereja-Gereja se-Dunia (WCC), yang pada bulan Februari 1992
menyelenggarakan Sidang Raya yang ke-8 di Canberra-Australia,
menyerukan agar upaya kita tidak berorientasi lagi kepada
manusia (man oriented) tetapi kepada kehidupan (life oriented).
Manusia diserukan supay sadar bahwa dia bukanlah tujuan
penciptaan. Upaya-upaya untuk mengeksploitasi bumi bagi
kepentingannya sendiri harus diganti oleh sikap dasar bahwa
manusia pada hakikatnya tidak mempunyai arti apa-apa bila
dilepaskan dari makhluk-makhluk lainnya dalam suatu lingkaran
ekologis yang tidak putus-putusnya.
Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan
pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai
adalah: (i) bersyukur kepada Tuhan yang telah mencipta,
menyelamatkan, memelihara dan membarui ciptaan- Nya; (ii)
mengembangkan sikap kasih kepada Tuhan sebagai Pencipta,
Penyelamat, Pemelihara dan Pembaru ciptaan-Nya; (iii)
berpengharapan akan masa depan yang lebih baik; (iv) peduli dan
bertanggung jawab memelihara ciptaan Tuhan; (v) menganalis
karya Tuhan berdasarkan kesaksian Alkitab; (vi) menganalisis
ajaran tentang karya Tuhan berdasarkan kesaksian Alkitab; (vii)
menerapkan tanggung jawab etis Kristen dalam pemeliharaan
lingkungan hidup; (viii) merumuskan hasil penelaahan dasar-
dasar Alkitab yang menunjukkan Tuhan sebagai Pencipta; (ix)
menyajikan hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab yang
memperlihatkan Tuhan sebagai

153
Pemelihara dan Pembaharu ciptaan-Nya; serta (x) melakukan
tindakan pemeliharaan lingkungan hidup sebagai tanggung jawab
etisnya.
Gambar kerusakan alam berupa polusi udara akibat penerapan
teknlogi

Sumber: fransiscofaldo.wordpress.com

Simaklah pernyataan sejarawan Amerika, Lynn White, berikut. Ia


menyatakan bahwa “kekristenan bukan saja mentahbiskan
dualisme manusia dan alam, tetapi juga menggarisbawahi
kehendak Allah bahwa manusia mengeksploitasi alam demi
kepentingan pribadinya. Kekristenan memikul beban kesalahan
yang maha besar” (Stott 2005, 158-159). Menurut Anda, apakah
benar pernyataan White tersebut? Mengapa White mengeluarkan
pernyataan seperti itu? Apa yang perlu Anda lakukan untuk
mematahkan pernyataan White tersebut? Silakan Anda
mengamati dan menganalisis hubungan antara ekonomi dan
ekologi yang terjadi dewasa ini di Indonesia!

Hubungan antara ekonomi dan ekologi menjadi pusat perhatian,


sebab pada dasarnya masalah ekologi timbul sebagai akibat serta
menjadi korban dari kegiatan ekonomi (Sumartana 1994, 110).
Kegiatan ekonomi yang menjadi tulang punggung pembangunan
sering dianakemaskan sebegitu rupa sehingga ia menjadi terlalu
manja dan kurang diawasi, kenakalan mereka dibiarkan.
Hubungan antara ekonomi dan ekologi kemudian menampakkan

154
wajah yang buruk. Dalam tayangan televisi dapat disaksikan
rusaknya lingkungan laut yang menyebabkan matinya ikan,
kerang dan kepiting, serta merugikan para nelayan dan petani
kerang. Mereka sangat dirugikan oleh pembuangan limbah pabrik
yang seenaknya sehingga mematikan dan merusak lingkungan.
Tingkah para pencari untung tersebut mencerminkan sikap etik
tertentu yang perlu dipertimbangkan secara kritis. Mereka
menganggap seolah-olah mereka hidup tanpa tetangga, tanpa
orang lain, tidak mau tahu bahwa perilaku mereka telah amat
merugikan orang lain, merusak lingkungan hidup. Para pemilik
pabrik yang tidak bertanggung jawab dan pencari untung tersebut
telah berbuat seolah-olah mengejar keuntungan diri sendiri layak
membuat rugi orang lain. Hubungan antara ekonomi dan ekologi
dalam praktik dipertentangkan satu terhadap yang lain. Inilah
awal dari malapetaka itu.

Sebenarnya hubungan antara ekonomi dan ekologi bisa


dijabarkan dari pengertian etimologis yang justru bisa saling
membantu dan membina. Ekonomi berasal dari kata oikos dan
nomos. Oikos berarti ’rumah tangga‘ dan nomos berarti ’aturan,
hukum.’ Ekonomi bisa diartikan sebagai upaya untuk mengatur
atau penatalayanan rumah tangga (housekeeping). Sedang ekologi
gabungan dari kata oikos dan logos. Oikos berarti ’rumah tangga‘,
logos berarti ‘perkataan, pemahaman dan pengertian.’ Hubungan
antara ekonomi dan ekologi tergabung dalam pemahaman bahwa
kita tidak bisa menata masyarakat dan alam ini tanpa mengerti
dan memeliharanya. Dengan kata lain, maka usaha untuk
melakukan housekeeping harus dibarengi naturekeeping.

Berbicara tentang ekonomi dan ekologi, khususnya dari


perspektif Indonesia, harus dimulai dengan mengatakan bahwa ia
tidak merupakan masalah pilihan “ini atau itu,” seolah-olah
dengan bebasnya dapat dipilih antara ekonomi atau ekologi. Atau
andai dipaksa untuk memilih, yang harus kita katakan adalah
bahwa ini bukanlah pilihan yang mudah atau sederhana. Akar
masalahnya memiliki sejarah yang cukup panjang. Selama lebih
dari 200 tahun, pertumbuhan industri yang menjadi sakaguru
pertumbuhan ekonomi Barat, telah didukung oleh tersedianya
bahan bakar yang murah, sumber alam yang melimpah ruah serta
lingkungan yang seakan-akan tanpa batas mampu menyerap
semua limbah (Daraputera 1996, 120). Keadaan seperti ini

155
tidak hanya terjadi di Barat. Selama dasawarsa pertama
pembangunan di Indonesia, kita juga dibuai oleh asumsi yang
sama: persediaan minyak dan gas bumi yang melimpah,
simpanan sumber alam yang kaya raya, dan tidak sedikit pun
terpikirkan bahwa limbah industri akan menjadi masalah.

Kesadaran bahwa industrialisasi juga menciptakan masalah


datangnya amat lambat. Pengalaman Amerika Serikat
memberikan ilustrasi yang menarik. Pada tahun 1960-an, mereka
telah mulai menyadari terjadinya degradasi lingkungan yang
disebabkan oleh industrialisasi. Namun demikian, pada waktu itu,
mereka masih yakin bahwa teknologi pada akhirnya pasti akan
mampu memecahkan masalah tersebut. Baru kemudian, sebelum
dasawarsa itu berakhir, mereka menyadari bahwa walaupun
teknologi mampu membantu dalam menemukan sumber daya
alternatif, teknologi menciptakan masalah lingkungan yang amat
serius. Oleh karena itu, pada awal tahun 1970-an, disahkanlah
beberapa perangkat peraturan untuk mengendalikan polusi serta
melindungi kelestarian alam. Pada pertengahan tahun 1970-an,
kembali terjadi titik balik. Pada waktu itu, Amerika Serikat
menderita akibat embargo minyak dan resesi ekonomi.
Menghadapi keadaan seperti itu, banyak orang beranggapan
bahwa masalah energi serta pertumbuhan ekonomi jauh lebih
penting ketimbang masalah lingkungan. Pada akhir tahun 1970-
an, peraturan mengenai lingkungan mulai dikendorkan demi
pertumbuhan ekonomi.

Indonesia juga mempunyai cerita yang hampir sama. Selama


Pelita I-III, fokus pembangunan Indonesia adalah pertumbuhan
ekonomi. Baru kemudian kita terkejut menyadari betapa
tingginya harga yang harus dibayar untuk itu: kelestarian ekologi
yang telah kita kurbankan demi pertumbuhan ekonomi. Didorong
oleh kesadaran ini lahirlah konsep “Pembangunan Berwawasan
Lingkungan,” “Amdal” (Analisis dampak atas lingkungan), dan
sebagainya. Belakangan ini, untuk lebih menarik para investor
asing ke Indonesia, ada kecenderungan untuk mengendurkan
masalah ekologi lagi.

Alasan yang paling banyak dikemukakan untuk mengendurkan


aturan- aturan mengenai lingkungan hidup adalah ekonomi: demi
pertumbuhan ekonomi, penanaman modal asing, industrialisasi,
menciptakan lapangan kerja, persaingan global dan sebagainya.
Alasan-alasan itu ada benarnya. Namun demikian, harus
dipertanyakan alasannya yang paling dasar: apakah memang
dapat dibenarkan bila kita mengurbankan ekologi demi ekonomi?

156
Mengurbankan sesuatu hanya sah apabila: kita harus
melakukannya demi tujuan yang lebih luhur dan kita yakin bahwa
manfaatnya lebih besar daripada yang kita kurbankan.

Tampak jelas bahwa di balik isu ekonomi dan ekologi,


sesungguhnya ada konflik-konflik kepentingan, konflik-konflik
kekuasaan, dan konflik-konflik nilai- nilai yang pelik. Betapa
sulitnya menentukan kebijakan yang secara seimbang sekaligus
menjamin baik lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi,
tersedianya lapangan kerja, maupun kesehatan manusia.

Di satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia


membutuhkan pertumbuhan ekonomi dan industri untuk
menciptakan lapangan kerja. Indonesia juga membutuhkan
teknologi pertanian yang baru untuk memproduksi bahan pangan
yang lebih banyak, bahkan teknologi tinggi untuk mampu
bertahan dalam persaingan global. Pada sisi lain, kita mengetahui
bahwa semua itu juga akan menguras habis sumber daya alam
kita, menciptakan polusi terhadap lingkungan hidup kita, serta
membahayakan kesehatan manusia, dan sebagainya.

Kompleksitas masalah ini penting kita sadari terus-menerus, agar


kita tidak terjerembab pada penyederhanaan masalah yang
berlebihan. Namun demikian, kita juga tidak boleh hanya
berhenti dalam frustasi lalu tidak mampu bertindak apa-apa,
sementara tindakan begitu dibutuhkan. Untuk mampu bertindak
secara benar dan tepat, kita perlu melakukan analisis biaya dan
manfaat. Analisis ini akan membantu Anda untuk mengetahui
kerumitan permasalahannya.

Namun demikian, analisis ini hanyalah awal saja, yang segera


harus diikuti dengan analisis etis. Analisis etis akan membantu
menentukan tindakan yang benar, baik dan tepat.

Analisis biaya dan manfaat mengasumsikan bahwa semuanya


dapat dihitung dengan pasti. Di dalam beberapa kasus, kalkulasi
seperti itu memang mungkin. Misalnya, kita dapat menghitung
dengan hampir pasti berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk
membersihkan air laut dari tumpahan minyak mentah dari sebuah
kapal tanker yang tenggelam. Dalam banyak kasus yang lain,
terutama apabila polusi itu melibatkan kerugian bagi

157
kesehatan manusia atau kematian, kerugian itu tidak pernah dapat
diukur dengan angka. Berapakah harga sebuah kehidupan?

Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkirakan dan


menghitung risiko. Penghitungan risiko merupakan masalah
karena ada begitu banyak teknologi mutakhir yang tidak pernah
dapat kita perkirakan risikonya dengan tepat, baik bagi generasi
sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Contohnya
penggunaan teknologi nuklir. Persoalan etis mendasar yang harus
kita kemukakan sehubungan dengan analisis biaya dan manfaat
adalah sebagai berikut. Misalnya diasumsikan bahwa kita dapat
membuktikan manfaat dari teknologi tertentu memang jauh lebih
besar dari kerugiannya. Apakah ini dengan sendirinya
memperbolehkan kita memaksakannya kepada semua orang,
termasuk kepada mereka yang berkeberatan? Bagaimana dengan
hak-hak moral mereka yang paling dasar? Bukankah setiap orang
mempunyai hak untuk diperlakukan atas sesuatu oleh orang lain,
hanya setelah ia menyatakan persetujuannya? Bila orang dengan
jelas telah menyatakan ketidaksetujuannya, bukankah hak moral
dasar mereka itu dilanggar bila dipaksakan juga?

Ketika analisis biaya dan manfaat tidak mampu memberikan


petunjuk yang pasti mengenai bagaimana harus bertindak,
keputusan mengenai hal itu haruslah diserahkan kepada
masyarakat yang bersangkutan. Ini tentu saja benar! Namun
demikian, di dalam kenyataan, prinsip ini amat sulit diterapkan.
Orang akan dapat memberikan persetujuannya hanya apabila ia
sebelumnya mengetahui benar apa yang harus disetujuinya dan
apa saja risiko dari persetujuannya itu. Harus diingat bahwa
teknologi mutakhir itu sering begitu kompleksnya sehingga
masyarakat awam tidak mungkin menguasai seluk-beluk
persoalannya, apalagi risiko-risiko yang mungkin dapat
ditimbulkannya. Bahkan di kalangan para ahli pun,
ketidaksepakatan mengenai ini adalah sesuatu yang lazim. Bila
kita tidak mampu mengetahui, bagaimana kita harus mengambil
keputusan?

Kita memerlukan pendekatan yang lain, yakni pendekatan yang


tidak sepenuhnya cuma bergantung pada analisis biaya dan
manfaat. Kehidupan, pada akhirnya, selalu melampaui kalkulasi
angka-angka. Dalam hal ini, yang kita butuhkan adalah sebuah
komitmen moral. Komitmen moral yang

158
menghormati kehidupan di atas segala-galanya, termasuk
melampaui keuntungan ekonomi.

Ecology
Environt
ment

Society Economy
Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa keuntungan ekonomi
itu tidak penting bagi kehidupan. Sebaliknya, ekonomi adalah
bagian kehidupan yang amat penting. Ekonomi mempunyai
fungsi yang amat vital bagi kehidupan, dan oleh karena itu jangan
kita meremehkannya. Yang hendak dikatakan adalah ekonomi itu
penting sepanjang menopang kehidupan. Oleh sebab itu,
persoalan kita bukanlah ekonomi atau kehidupan, melainkan
ekonomi untuk kehidupan

Walaupun bermanfaat, suatu tindakan tidak dapat digantungkan


sepenuhnya pada kalkulasi untung rugi. Ketika biaya atau risiko
tidak dapat dipastikan sebelumnya, kehidupan harus ditempatkan
di depan, menjadi pertimbangan kita satu-satunya.

Bagaimana menerjemahkan prinsip ini ke dalam tindakan? Ada


beberapa kemungkinan. Beberapa ahli mengusulkan bahwa
ketika risiko tidak mungkin diperkirakan dengan pasti, jalan
terbaik adalah memilih proyek-proyek yang tidak mengandung
risiko kerusakan yang tidak mungkin diperbaiki. Sekalipun
sebuah teknologi baru dapat diharapkan memberikan manfaat
yang

159
maksimum, tetapi bila ia juga mengandung risiko penghancuran
yang fatal, proyek ini harus mutlak kita tolak.

Beberapa ahli lain mengusulkan cara lain, demi keadilan


diidentifikasikan siapa-siapa yang akan paling dibahayakan atau
menanggung risiko yang terbesar sekiranya kemungkinan yang
paling buruk terjadi, dan kemudian direncanakan langkah-
langkah untuk memastikan bahwa mereka terlindungi. Generasi
mendatang dan anak-anak, misalnya, termasuk dalam kategori
yang mesti dijamin perlindungannya.

Pendekatan lain lagi adalah sebagai berikut. Ketika risiko tidak


mungkin diperhitungkan dengan pasti sebelumnya, harus
diasumsikan kemungkinan yang paling buruk, dan kemudian
mempertanyakan apakah dalam situasi yang seperti itu,
kehidupan terlindungi. Tentu saja risiko adalah bagian yang tidak
terelakkan dari kehidupan. Namun demikian, hidup ini bukan
permainan untung-untungan. Ketika yang dipertaruhkan adalah
kehidupan itu sendiri, kita tidak punya pilihan lain. Ketika hidup
itu sendirilah yang menghadapi risiko kehancuran, manfaat apa
lagi yang masih mungkin kita harapkan?

Bisnis memang bertujuan untuk mencari untung. Dan harus


diakui bahwa mencari untung tidak haram. Seorang pengusaha
bekerja untuk mencari untung. Tujuan hidup (termasuk
pengusaha) adalah mencari untung serupa dengan analogi bahwa
tujuan hidup adalah bernafas. Kita tidak bisa hidup tanpa
bernafas, tetapi agaknya sulit diterima kalau dikatakan bahwa
tujuan hidup “hanya” untuk bernafas. Di samping itu, ada batasan
moral mengenai keuntungan, sebab jual beli manusia, jual beli
obat terlarang, jual beli minuman keras, jual beli pornografi,
sekalipun mungkin amat menguntungkan; jelas-jelas
bertentangan dengan moral masyarakat. Termasuk di dalamnya
menipu pajak, memperkerjakan anak-anak, menindas buruh,
memanipulasi peraturan; semuanya bisa menguntungkan, akan
tetapi bukan itu bisnis yang bercorak etis.

Dalam kaitan dengan ekologi, ekonomi sering berjalan sendiri.


Ekonomi sering dikelola dengan naluri atau dorongan ketamakan,
ketidaksabaran, kerakusan, kebodohan dan kecerobohan.
Kalangan bisnis sering menganggap bahwa alam ini adalah suatu
aset modal yang didapat dengan gratis. Di pihak lain, tenaga
manusia yang melimpah menyebabkan sumber daya manusia itu

160
dihargai seminimal mungkin, ditekan serendah mungkin sebagai
“faktor produksi.” Bisnis dijalankan seolah-olah “tidak ada hari
esok,” mengeruk dan mengeruk keuntungan, seolah-olah manusia
tidak mempunyai anak-anak yang harus tetap hidup. Bisnis
dilakukan seolah-olah perusahaan sedang mengalami likuidasi.
Cara kita mengeksploitasi alam dan sesama manusia, bagaikan
menjelang mengalami proses kebangkrutan, sehingga dilakukan
pengurasan habis-habisan terhadap sumber daya alam dan sumber
daya manusia.
Melaksanakan kewajiban perpajakan merupakan salah satu
bentuk tanggung jawab warga negara untuk turut serta dalam
membangun bangsa dan negara Sumber: bisnis.liputan6.com

Kebebasan dalam berbisnis, ternyata ada batas-batasnya.


Kebebasan itu berakhir ketika ia mengancam kehidupan orang
lain, dan sekarang ini dengan amat nyata ditambahkan aspek baru
yang sangat menonjol yaitu kelestarian lingkungan. Hubungan
antara ekonomi dan ekologi berkenaan dengan batas-batas ini.
Kebebasan kita berakhir ketika kebebasan itu sudah mulai
mengancam hak hidup orang lain. Menyangkut soal lingkungan,
lebih fundamental lagi, karena yang dipertaruhkan bukan hanya
kehidupan orang lain belaka, akan tetapi seluruh umat manusia
dalam seluruh sejarahnya.

Untuk menghadapi destruksi alam dan kemanusiaan di


masyarakat, pendekatan etika ekologis dimulai dari asumsi
mengenai keterikatan yang menyatu antara semua unsur
kehidupan di muka bumi. Kehidupan ini bukan
161
hanya kehidupan untuk manusia (lebih-lebih bukan untuk
segelintir orang), akan tetapi semuanya merupakan sebuah
komunitas, yaitu “komunitas biotik.” Kita perlu mencari
keseimbangan antara kebebasan individu yang merupakan asumsi
dari dunia bisnis, dengan seluruh lingkungan biotik, baik dalam
bentuk alam lingkungan dan masyarakat. Dilihat dari perspektif
ekologis, setiap individu berada dalam suatu jaringan kehidupan
yang saling bergantung satu dengan yang lain. Keseluruhan
kehidupan itu merupakan satu kesatuan organis yang memberikan
kepada setiap “warganya” hak yang sama untuk hidup. Ada
“kodeterminasi” yang dinamis antara individu dan masyarakat,
ada saling ketergantungan antara ekonomi dan ekologi, antara
manusia dan alam, antara buruh dan majikan.

Pada akhirnya, segala persoalan yang kita hadapi berkaitan


dengan kerusakan lingkungan, adalah bertemu dengan musuh
terbesar kita, yaitu diri kita sendiri. Manusia yang batil, serakah
dan yang tidak mempedulikan alam serta sesama. Manusia berada
di dalam sistem, struktur serta institusi yang ia ciptakan sendiri,
yang menguras sesamanya dan alam sekitarnya. Dalam segala
upaya kita untuk memperbaiki kualitas lingkungan, kita juga
bertemu dengan partner yang terbaik dan terpercaya, yaitu diri
kita sendiri. Manusia merindukan perbaikan dirinya dan percaya
pada kebaikan, baik sebagai lawan maupun sebagai kawan. Kita
disadarkan bahwa alam lingkungan sekitar kita dan mereka yang
menjadi korban dari penganiayaan adalah tanggung jawab
seluruh warga masyarakat bersama. Etika haruslah kritis terhadap
segala keputusan yang kena-mengena dengan manusia dan
menyangkut integritas alam. Kelemahan-kelemahan manusiawi
dalam dirinya maupun institusinya haruslah tetap ditempatkan di
bawah kritik etika terus-menerus. Etika lingkungan menuntut
agar kita belajar untuk menghormati alam. Kita juga harus
membatinkan suatu perasaan tanggung jawab khusus terhadap
lingkungan lokal kita sendiri. Kita harus merasa bertanggung
jawab terhadap kelestarian biosfer. Etika lingkungan memuat
larangan keras untuk merusak, mengotori dan meracuni. Selain
itu, sikap solidaritas dengan generasi-generasi yang akan datang
juga dituntut oleh etika lingkungan.

Kita harus menolak pandangan bahwa bila diperlukan kita harus


mengurbankan ekologi demi ekonomi, seolah-olah ekonomi itu
lebih luhur daripada ekologi. Sebaliknyalah, dalam
mempertimbangkan situasi ekologis

162
secara global sekarang ini, kita harus mengatakan ekonomilah
yang harus melestarikan ekologi! Apabila kita mesti
mengurbankan ekologi, pengurbanan ini hanya dapat dibenarkan
apabila itu benar-benar diperlukan demi kehidupan itu sendiri.
Kehidupan adalah sesuatu yang lebih luhur ketimbang ekonomi
ataupun ekologi. Kehidupan itu lebih dari sekadar “ada” secara
fisik. Yang kita maksudkan dengan “kehidupan” adalah apa yang
dijanjikan oleh Yesus “hidup dalam segala kepenuhannya.”
Dengan demikian, jelaslah bahwa baik ekonomi maupun ekologi
adalah bagian-bagian yang penting dari kehidupan. Pentingnya
masing-masing ditentukan oleh sumbangan masing-masing, baik
kuantitatif maupun kualitatif bagi hidup dalam segala
kepenuhannya itu.

Simaklah renungan yang berjudul Maka Alam Menjadi Murka


berikut ini (Ismail 2002, 120-122).

Maka Alam Menjadi Murka

Sengsara. Semua orang jadi sengsara. Banjirnya makin lama


makin gawat. Di rumah ini seumur-umur belum pernah banjir,
10 tahun lalu banjir 5 cm, lima tahun lalu 40 cm, eh sekarang
80 cm! Di sana lebih parah lagi, tinggi air dalam rumah sampai
140 cm! Ranjang, meja makan dan lemari pakaian terendam
air lumpur. Orang mengungsi naik perahu. Rumah yang tidak
kena banjir juga ikut sengsara. Listrik padam. Telepon putus.
Air bersih tidak ada. Tidak bisa keluar rumah. Jalan jadi
sungai. Mobil mogok. Lalu lintas macet. Sampah berserakan.
Kantor tutup. Pasar tutup. Toko tutup. Ekonomi lumpuh total.

Penduduk desa lebih sengsara lagi. Bukit longsor. Rumah


tertimbun.

Bendungan jebol. Pohon tumbang. Jembatan roboh. Sawah


membusuk.

Ternak mati. Ikan hanyut. Penyakit merajalela.

Pokoknya, semua orang merasa sengsara. Kalau alam menjadi


murka kita semua menderita. Mengapa alam menjadi murka?

Cobalah bermawas diri dan lihat apa yang telah kita perbuat
terhadap alam. Kita mulai dengan perkara kecil yaitu sehelai
kantong plastik yang kita buang di sembarangan tempat.
Kantong plastik itu masuk ke got, lalu terbawa ke kali lalu
bertumpuk di waduk. Got jadi mampat, kali jadi dangkal dan
pompa waduk jadi macet. Akibatnya meluaplah air. Lihat
contoh lain. Tanah terbuka kita lapisi semen dan beton. Taman
dan situ kita timbun, lalu di atasnya kita bangun rumah,
kantor, sekolah, dan sebagainya. Padahal wilayah itu adalah

163
daerah resapan air atau tempat parkir bagi air. Akibatnya air
hujan jadi liar dan menggenangi kita. Lihat juga apa yang kita
perbuat terhadap alam di pedalaman. Hutan digunduli. Bukit
digaruk. Akibatnya semua air hujan langsung masuk ke
sungai. Terjadilah longsor. Terjadilah banjir.

Pokoknya kita telah menggerayangi gunung, menyakiti hutan,


mencekik sungai, melukai danau, mencemari waduk dan
membekap tanah.

Kita telah mengusik alam, maka sekarang alam mengusik kita.


Kita telah memusuhi alam, maka sekarang alam memusuhi
kita.

Padahal sebenarnya alam adalah sahabat dan mitra kita. Baik


alam maupun kita adalah sama-sama ciptaan Allah. Tuhan
menempatkan kita di tengah alam supaya kita hidup bersama
dengan alam.

Hal itu sudah ditulis sejak halaman pertama dalam Alkitab.


Dalam Kitab Kejadian terdapat dua cerita penciptaan. Cerita
pertama terdapat dalam Kejadian 1:1 sampai dengan 2:4a,
ditulis oleh para pengarang kelompok imam pada abad ke-5
sM. Menurut cerita pertama ini manusia bertugas menguasai
dan menggarap alam. Istilah yang digunakan adalah
“taklukkanlah

... berkuasalah” (1:28). Cerita kedua terdapat dalam Kejadian


2:4b sampai dengan 25, ditulis oleh para pengarang kelompok
Yahwist empat abad sebelum cerita pertama. Menurut cerita
kedua tugas manusia adalah “mengusahakan dan memelihara”
(Kej. 2:15). Dalam bahasa Ibrani abad (menghambakan diri,
melayani) dan shamar (menjaga, merawat, melestarikan).

Kemudian dengarkan pengakuan pemazmur: “Tuhanlah yang


empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam
di dalamnya” (Mzm. 24:1) dan “Punya-Mulah langit, punya-
Mulah juga bumi, dunia serta isinya Engkaulah yang
mendasarkannya” (Mzm. 89:12).

Alam ini bukan milik kita, melainkan milik Tuhan. Kita hanya
menumpang tinggal, tanpa bayar sewa atau kontrak. Kita
punya tugas memelihara gunung, hutan, sungai, laut, waduk,
danau, serta tanah kepunyaan Tuhan ini, bukan merusaknya.

Kita telah merusak dan mengotori alam ini. Kita kurang ramah
terhadap alam. Kita makin serakah dalam menggaruk alam.
Akibatnya alam murka. Makin lama ia makin murka dan kita
makin menjadi sengsara.
Bukankah lebih baik kita berdamai dengan alam? Sebetulnya
alam bisa bersahabat dengan kita, kalau kita juga mau bersahabat.
Lebih baik kita bersahabat dengan alam supaya hidup kita di
tengah alam bukan menjadi

164
sengsara melainkan sejahtera. Setelah menyimak renungan di atas
yang berjudul Maka Alam Menjadi Murka dan paparan di bawah
ini, Anda diberi kesempatan untuk menanya sebanyak-banyaknya
pertanyaan kritis yang berkenaan dengan tugas manusia dalam
alam.

Skala pencemaran lingkungan pada abad ke-21 ini menjadi


semakin besar. Pada masa lampau masalah lingkungan itu nyata
di kota-kota besar saja, misalnya dalam hal pencemaran udara
dan air. Jumlah perusahaan dan industri memang masih sangat
terbatas. Sementara dalam abad ke-21 ini pengaruh pencemaran
lingkungan memang meningkat dengan sangat pesat dan bukan
hanya terjadi di kota-kota besar saja.

Di samping itu, laju perkembangan produksi sintetis-organis dari


bahan- bahan kimia tidak dapat dibendung, dan merupakan suatu
hal yang baru. Semakin meningkatnya jumlah kebutuhan
produksi kimia ikut mendorong agar penanganan atas masalah
lingkungan dilakukan pada tingkat internasional. Masalah
lingkungan juga semakin rumit: bukankah rumah kaca untuk
pembibitan tanaman juga mengandung berbagai macam bahan
kimia yang dapat merusak kesehatan, belum lagi robeknya
lapisan ozon, hujan asam, peracunan udara, air dan dasar bumi
dan sebagainya. Penyebab utama krisis ekologi adalah
keserakahan manusia yang pernah diungkapan sebagai mendapat
laba ekonomis melalui rugi ekologis. Mahatma Gandhi
menyatakan, “Bumi ini mempunyai cukup untuk memenuhi
kebutuhan semua orang, namun tidak cukup untuk memenuhi
keserakahan semua orang.” Sumber-sumber alam secara global
cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar semua orang, apabila
dimanfaatkan secara bijak dan didistribusikan secara adil.
Kecukupan bagi semua orang harus didahulukan ketimbang
kelimpahan bagi segelintir orang (Darmaputera 1996, 128).

Perusakan lingkungan hidup mempunyai banyak sebab. Polusi


dari industri dan kendaraaan bermotor merupakan salah satu
sebab yang ditemukan di mana-mana. Ada juga sebab yang
berlaku khusus untuk suatu wilayah tertentu. Sampai sekarang
kita mendapat kesan bahwa persoalan spesifik bagi Indonesia di
bidang lingkungan hidup adalah penebangan hutan tropis (dengan
izin maupun liar) dan kebakaran hutan yang hampir setiap musim
kemarau terjadi di beberapa tempat. Tanah air kita sebagai negara
kepulauan dulu dianggap diganggu oleh penebangan hutan bakau
yang secara alamiah

165
melindungi keutuhan pantai di belakangnya. Kini kita menyadari
bahwa ada sebab lebih dahsyat lagi, yaitu pengerukan pasir laut
yang menghilangkan ratusan hektar tanah dari tujuh pulau kecil
di Kalimantan Timur dan merusak seluruh ekosistem di
sekitarnya sehingga para nelayan pun banyak dirugikan, karena
menangkap ikan menjadi semakin sulit (Bertens 2004, 213-214).
Sekaligus kita dengar bahwa cara merusak ini sudah berlangsung
lama dan tidak sebatas Kalimantan Timur saja. Di Kepulauan
Riau rupanya sebelumnya sudah terjadi hal yang sejenis.
Tenggelamnya Pulau Nipah disebut sebagai contohnya. Di daerah
perbatasan ini akibat perusakan jelas lebih parah lagi sebab selain
pengaruh destruktif atas lingkungan hidup, hilangnya pulau,
timbulnya persoalan territorial. Sebuah pulau berperanan pula
sebagai titik pangkal penentuan batas RI dengan negara-negara
tetangga.

Pada bulan Juni 1992, di Rio de Janairo, Brazilia,


diselenggarakan KTT Bumi yang dihadiri oleh hampir seluruh
Kepala Negara di dunia. KTT tersebut mencetuskan tekad untuk
menyelamatkan bumi dari malapetaka yang bakal datang oleh
ulah manusia. Bersamaan dengan KTT tersebut, diselenggarakan
pula pertemuan tokoh-tokoh agama yang terkenal di dunia:
Katolik, Protestan, Islam, Buddha dan Yahudi. Tokoh agama
tersebut secara bersama-sama mengaku dosa mereka atas
kealpaan mereka selama ini. Mereka mengaku bahwa selama ini
mereka sibuk dengan pertentangan dan pertengkaran di antara
mereka untuk memperebutkan anggota-anggota, sedangkan
masalah bumi yang tercemar sangat diabaikan. Mereka bertekad
untuk memperbarui komitmen. Mereka sepakat untuk bekerja
sama seerat-eratnya untuk mencari jalan bagaimana caranya
menyelamatkan “Ibu Bumi” yang setia mengayomi dan
merangkul anak-anaknya, kendati anak-anaknya telah
memperkosanya selama bertahun-tahun.

Sesuatu yang dipercayakan kepada kita tentu kita jaga baik-baik.


Merawat kehidupan tidak cukup hanya dengan pengendalian
polusi. Kita juga harus berbicara mengenai konservasi.
Memelihara kelestarian sesuatu itulah yang disebut konservasi.
Ancaman terbesar terhadap umat manusia bisa saja pada akhirnya
bukan perang nuklir, melainkan risiko yang datangnya dari suatu
masa damai, yakni perusakan sumber daya alami bumi oleh
kebodohan, kerancuan berpikir dan keserakahan manusia.
Konservasi merupakan tindakan penyelamatan atau penjatahan
sumber-sumber alam untuk penggunaan yang

166
kemudian. Oleh karenanya, konservasi melihat ke depan:
kebutuhan untuk membatasi konsumsi sekarang agar kita
mempunyai persediaan bagi hari esok, bagi generasi-generasi
yang akan datang. Dua pertanyaan dapat dikemukakan
sehubungan dengan konservasi. Pertama, mengapa kita mesti
melakukan konservasi bagi generasi-generasi mendatang? Kedua,
berapa banyak yang harus kita konservasikan?

Pertanyaan ini kedengarannya aneh. Namun demikian,


pertanyaan ini harus kita sampaikan sebab ada beberapa ahli yang
mengemukakan bahwa kita tidak mempunyai dasar rasional
untuk menyesuaikan tindakan kita sekarang demi kepentingan
generasi yang akan datang. Kita tidak dapat dengan pasti
mengetahui, begitu kata mereka, apakah generasi yang akan
datang itu akan betul-betul ada, kita juga tidak dapat mengetahui
secuil pun bagaimana mereka itu nanti. Apa yang mereka
butuhkan dan apa yang mereka inginkan, bisa saja amat berbeda
dari kita. Siapa tahu mereka sudah dapat memperkembangkan
sumber-sumber daya pengganti yang murah dan cukup banyak
guna menggantikan sumber-sumber yang langka yang kita miliki
sekarang. Karena kita tidak mengetahui dengan pasti mengenai
hal-hal ini, begitu kata mereka selanjutnya, salahlah kita bila kita
mesti mengurbankan kebutuhan-kebutuhan kita sekarang dengan
risiko menghancurkan seluruh peradaban hanya demi
kepentingan masa depan yang sama sekali di luar pengetahuan
kita.

Tentu saja benar untuk mengatakan bahwa kita tidak memiliki


kepastian apa-apa mengenai generasi-generasi yang akan datang.
Namun demikian, tidak berarti kita lalu tidak mempunyai
kewajiban moral untuk bersikap adil terhadap mereka. Tentu saja
tidak adil bila kita secara berlebihan mengurbankan generasi
sekarang demi kepentingan generasi-generasi yang akan datang.
Sama tidak adilnya apabila generasi sekarang tidak meninggalkan
apa pun bagi generasi- generasi mendatang. Kita mempunyai
kewajiban moral untuk mewariskan kepada generasi yang akan
datang suatu kondisi kehidupan yang lebih baik daripada kondisi
sewaktu kita menerimanya dahulu dari generasi yang sebelum
kita. Sudah waktunya kita menyadari tanggung jawab kita
terhadap generasi-generasi yang akan datang. Setiap orang tua
yang baik berusaha untuk menjaga rumah, perabot, dan tanah
yang dimiliki sebagai warisan bagi anak cucu mereka. Sikap ini
harus

167
menjadi sikap umum manusia terhadap generasi-generasi yang
akan datang. Kita dibebani kewajiban berat untuk mewariskan
ekosistem bumi ini dalam keadaan baik dan utuh kepada anak,
cucu, dan cicit kita.

Kalau begitu, berapa banyak yang mesti kita konservasikan agar


kebutuhan-kebutuhan kita sekarang terpenuhi dan sekaligus hak-
hak generasi mendatang terlindungi? Apakah Anda dapat
mengusulkan angka-angka? Sebenarnya yang dibutuhkan
bukanlah angka-angka, tetapi sebuah pergeseran paradigma.
Perubahan seluruh cara berpikir kita. Kita mesti bergeser dari
paradigma lama ke paradigma baru. Paradigma lama adalah
paradigma era industri yang memiliki komponen-komponen
sebagai berikut: harapan akan kemajuan material yang tidak
terbatas serta konsumsi yang terus bertumbuh, keyakinan bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu memecahkan
semua persoalan, mencapai sasaran efisiensi, pertumbuhan dan
produktivitas dalam segala hal, penguasaan atas alam, serta hidup
yang diwarnai oleh persaingan dan individualisme. Paradigma
inilah yang telah menyeret dunia kepada degradasi lingkungan,
pengurasan sumber-sumber alam, hilangnya makna hidup,
distribusi yang tidak merata serta tidak terkendalinya teknologi
dengan efektif. Paradigma baru adalah paradigma era
pascaindustri yang memiliki komponen-komponen sebagai
berikut: kecukupan material yang didasarkan pada terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan dasar, hemat dalam pemanfaatan sumber-
sumber alam, sedikit demi sedikit beralih kepada sumber-sumber
yang dapat didaur ulang, pergeseran dari hak milik pribadi
kepada pemerataan melalui pembayaran pajak, dari orientasi
jangka pendek ke jangka panjang, dari isu-isu nasional ke isu-isu
global, tekanan kepada etika lingkungan dan penatalayanan
terhadap alam, tujuan diarahkan kepada perkembangan dan
realisasi diri manusia, serta pertumbuhan kesadaran dan
kreativitas dan kerja sama serta solidaritas sebagai pengganti
persaingan dan individualisme. Paradigma era pascaindustri
sebagai dasar bagi terbentuknya sebuah masyarakat yang lestari.

Kita harus berusaha berpikir dan bertindak ekologis. Kita


bertobat dari segala tindakan yang bersifat menghambur-
hamburkan sumber daya alam, mencemarkan dan merusak tanpa
alasan. Kita sadar bahwa bagi manusia lebih mudah menaklukkan
bumi daripada menaklukkan dirinya sendiri.

168
Allah memberi alam kepada manusia dan memberi manusia
kepada alam. Dari satu segi, hasil bumi diberikan kepada manusia
sebagai makanan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang lain
(Kej. 1:29). Dari segi yang lain, manusia diberi tugas untuk
berkuasa di bumi dan memelihara bumi (Kej. 2:15) sesuai dengan
kehendak Tuhan. Hubungan ini berfaedah bagi manusia dan juga
bagi alam.

Tugas pertama adalah manusia diberi tugas untuk menggunakan


alam dan berkuasa atas alam. Waktu Allah menciptakan manusia,
Ia berkata kepada mereka, “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej.1:28).
Manusia diberi tugas untuk membimbing dan menjinakkan alam.

Pandangan Alkitab ini sering dikritik oleh orang-orang yang


merasa bahwa pandangan ini menyebabkan manusia merusak dan
kurang menghargai alam. Perlu diingat bahwa perintah untuk
menaklukkan dunia diberikan kepada manusia sebagai wakil
Allah. Manusia diletakkan dalam dunia sebagai sarana
pemerintahan Allah. Manusia dimaksudkan untuk berkuasa
sesuai dengan kehendak Allah, bukan dengan sewenang-wenang.
Dia bertanggung jawab untuk menggunakan alam bukan dengan
mengutamakan dirinya sendiri tetapi dalam pelayanan kepada
sesamanya dan penghargaan kepada alam.
Tugas kedua ialah memelihara alam. Manusia harus menjaga
alam sehingga tidak rusak. Menurut Alkitab alam tanpa
pemeliharaan manusia tidak lengkap. Manusia dibutuhkan untuk
mengatur alam bukan demi keuntungan manusia saja tetapi juga
demi kebaikan alam. Manusia bertanggung jawab untuk
memelihara alam sebagai karunia dari Allah, yang juga mencintai
alam itu.

Sumber: http://naturenesia.wordpress.com/about/
169
Tugas manusia untuk menggunakan alam dan berkuasa di atas
alam perlu dipisahkan dari tugasnya untuk memelihara alam. Di
negara-negara industri tugas menaklukkan alam sering
diutamakan dengan mengabaikan tugas menjaga, merawat, dan
mengagumi alam. Sebagai akibat teknologi dan industri,
penaklukan alam sering disertai sikap yang terlalu keras dan
eksploitatif terhadap alam. Manusia modern sering kehilangan
sikap yang lembut dan ramah terhadap alam. Ia menggunakan
alam tetapi kurang menyayangi alam.

Tugas manusia dalam dunia diberikan oleh Allah, dan ia


bertanggung jawab kepada Allah atas pelaksanaan tugas itu.
Prinsip utama yang mendasari pandangan orang Kristen tentang
lingkungan ialah bahwa dunia adalah milik Tuhan. Ia yang
menciptakan dan memelihara dunia juga memiliki alam dan
mempunyai kewibawaan tertinggi atasnya. “Tuhanlah yang
empunya bumi serta segala isinya dan dunia serta yang diam di
dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan
menegakkannya di atas sungai-sungai” (Mzm. 24:1-2). Manusia
tidak mempunyai hak milik yang mutlak atas bumi. Ia hanya
menjadi pengurus atau manajer. Bumi dipercayakan kepada
manusia untuk diolah dan diurusnya.
Simaklah renungan berikut ini yang berjudul Lagi-lagi Bencana
Alam (Ismail 2012, 65-67). Negeri apa yang paling banyak
gunung berapinya? Indonesia. Gunung apinya ada 129. Negeri
apa yang frekuensi gempanya paling kerap dan paling kontinu
sepanjang tahun? Juga Indonesia.

Lagi-lagi Bencana Alam

“Para ahli geologi memperkirakan bahwa kepulauan Indonesia


tercipta sedikit demi sedikit sejak 55 juta tahun lalu melalui
benturan-benturan lempeng bumi yang sudah berlangsung 136
juta tahun. Proses penciptaan ini masih berlangsung hingga kini,
misalnya terciptanya gunung api yang baru seperti Gunung Anak
Krakatau yang setiap tahun bertambah tinggi dan bertambah
aktif kepundannya sejak munculnya pasca tahun 1883. Sebuah
lempeng adalah bagian kulit bumi setebal 50 sampai 250 km.
Tiga buah lempeng, yakni lempeng Eurasia, Indoaustralia, dan
Pasifik bertemu di bawah bumi Indonesia. Benturan ketiga
lempeng mendongkrak kerak bumi ke atas dan mencuatkan
deretan gunung api.
170
Di peta tampak gunung api berderet sepanjang Sumatera terus ke
Jawa, Nusa Tenggara, Banda, Sulawesi, dan Halmahera. Selain
itu, benturan lempeng juga mengakibatkan adanya zona sesar
yang lemah sehingga rawan gempa. Di peta geologi terlihat
sayatan sesar itu bagaikan menyayat perut bumi Indonesia
sampai ke Papua. Oleh sebab itulah, kita sering terkena bencana
letusan gunung api dan gempa yang kadang-kadang juga
mengakibatkan tsunami.

Tetapi, itu baru sedikit. Sebagian besar bencana alam justru


terjadi di luar kaitan gunung api dan gempa. Di Indonesia 65%
dari bencana alam adalah bencana hidrometeorologi, yaitu
berhubungan dengan iklim dan curah hujan seperti banjir,
longsor, angin topan, air pasang, kekeringan, kebakaran hutan,
dan gelombang laut.

Berbeda dengan letusan gunung dan gempa yang tidak dapat


dicegah, sebaliknya kebanyakan bencana iklim dan hujan
sebetulnya dapat dicegah karena penyebabnya adalah kita
sendiri. Banjir terjadi karena kita menebangi pohon, sehingga air
hujan tidak tersimpan di dalam tanah. Lalu kita pun sembarangan
membuang sampah, sehingga saluran air tersumbat dan sungai
dangkal. Longsor terjadi karena kita menebangi pohon di lereng.
Naiknya air pasang ke daratan terjadi karena kita merusak hutan
bakau di pesisir.
Akhir-akhir ini muncul pula jenis bencana alam lain. Di tengah
musim kemarau tiba-tiba turun hujan lebat dan badai berhari-
hari. Atau sebaliknya, di tengah musim hujan terjadi kekeringan.
Akibatnya panen gagal. Jenis bencana alam ini karena
pemanasan global atau krisis iklim, dan pemanasan global ini
yang paling berbahaya karena mengancam keberlangsungan
hidup di bumi.

Duduk perkaranya begini. Es yang ada di Kutub Utara dan


Selatan sejak ribuan tahun lalu kini mulai mencair karena suhu
semakin panas. Akibatnya, permukaan air laut di seluruh dunia
sedikit demi sedikit naik. Ada kemungkinan permukaan laut
akan naik sampai tujuh meter sehingga pantai dan dataran rendah
di seluruh dunia akan tenggelam. Gejala lain adalah terjadinya
cuaca ekstrem. Cuaca jadi sulit diprediksi. Terjadi banjir di satu
tempat dan kekeringan di lain tempat atau suhu sangat dingin di
satu tempat dan sangat panas di tempat lain.

Siapa penyebabnya? Kita! Pemanasan global dan krisis iklim


terjadi akibat perbuatan kita. Asap mobil dan motor, pabrik,
pembangkit tenaga listrik, peternakan, dan penumpukan sampah
memproduksi beberapa macam gas yang memicu pemanasan
global.
Kebanyakan bencana alam terjadi akibat sikap kita yang keliru.
Kita merasa diri mampu berbuat sewenang-wenang terhadap
alam. Kita merasa diri kuat sehingga bersikap kasar terhadap
alam, sama seperti kita merasa diri kuat

171
sehingga bersikap kasar terhadap kelompok minoritas. Bagaikan
hukum karma, bencana demi bencana timbul.

Kita memang mempunyai dua pilihan dalam bersikap terhadap


bumi, yaitu bersikap kasar dan sewenang-wenang, atau bersikap
harmonis. Cerita penciptaan di Alkitab bagaikan menawarkan
dua macam pilihan itu. Cerita penciptaan menurut mazhab Imam
(Kej. 1:1-2:4a) yang ditulis pada awal masa pembuangan Babel
abad ke-6 SM menawarkan manusia untuk “menaklukkan dan
menguasai” (Kej. 1:28; Ibrani kabash artinya ‘mengalahkan,’
dan radah artinya ‘menginjak-injak’). Sebaliknya, cerita
penciptaan menurut mazhab Yahwis (Kej. 2:4b-3:24) yang
ditulis pada masa kerajaan Daud abad ke-10 SM, menawarkan
manusia untuk “mengusahakan dan memelihara” (Kej. 2:15;
Ibrani abad artinya ‘mengabdi,’ dan syamar artinya
‘melestarikan’). Cerita penciptaan tradisi imam berkonteks bumi
yang basah dan hijau, sedangkan cerita tradisi Yahwis
berkonteks bumi yang gersang. Lalu kedua versi itu disambung
menjadi satu sebagaimana yang ada pada kita sekarang oleh para
editor di Babel pada akhir masa pembuangan, atau pasca
pembuangan sekitar tahun 530 SM.”

Memang ada dua pilihan. Pertama, kita mencemari dan merusak


bumi. Kedua, kita menyayangi dan memelihara bumi. Kita boleh
memilih. Pilihannya terpulang pada kita. Setelah menyimak
renungan tersebut, menurut Anda, mengapa pemanasan global
dan krisis iklim terjadi? Apa akibatnya jika pemanasan global dan
krisis iklim terjadi? Apa yang perlu Anda lakukan agar
pemanasan global dan krisis iklim tidak terjadi? Silakan Anda
mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari
berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai dasar
teologis dari pemahaman mengenai keutuhan ciptaan.

Seorang sejarawan Amerika Serikat yang bernama Lynn White,


Jr. pernah mengajukan pertanyaan berikut ini (Singgih 1993,
245). Apakah ada kesalahan yang dibuat di dalam sistem ajaran
Kristen mengenai manusia dan dunia sehingga menyebabkan
terangsangnya orang Kristen di masa lalu untuk mengeksploitasi
dunia ini sehabis-habisnya “demi nama Tuhan?” Ia menjawab
sendiri pertanyaan tersebut secara positif “ya.”

Menurut dia kesalahan itu terdapat dalam doktrin penciptaan di


dunia Kristen Barat yang membedakan tajam sekali di antara
manusia sebagai gambar Allah (imago Dei) dan dunia sebagai
ciptaan yang bukan gambar Allah. Penghayatan terhadap doktrin
ini menghasilkan rasa superioritas dan transenden dari

172
manusia terhadap alam yang sedemikian rupa, sehingga manusia
dilihat sebagai penguasa alam, sedangkan alam hanya menjadi
objek untuk kepentingan manusia. Apa yang dikatakan White
menimbulkan kegemparan di kalangan orang Kristen.
Kegemparan tersebut dapat dimengerti sebab orang
mempertanyakan suatu doktrin atau interpretasi suatu doktrin
keagamaan, yang biasanya oleh kalangan penganut agama
tersebut tidak dipermasalahkan sama sekali. Biasanya doktrin
dianggap “tidak bisa salah.”

John Macquarrie dan James Barr berusaha membuktikan bahwa


tuduhan mengenai Alkitab sebagai pokok gara-gara yang
menyebabkan kerusakan alam bukan merupakan tuduhan yang
kuat, sekaligus kedua orang ini bersedia mengakui bahwa dalam
perkembangan sejarah ada penafsiran tertentu terhadap manusia
sebagai penguasa yang eksploitatif, dan bahwa gambaran ini
tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam teks Alkitab itu.
Penafsiran ini sama sekali tidak sesuai dengan teks Alkitab.
Manusia diakui sebagai yang utama, sebagai penguasa, tetapi
pengakuan ini oleh penafsir tertentu di kemudian hari diberi
penekanan berlebih-lebihan, sehingga akhirnya “menguasai”
berarti “mengeksploitasi.”

Menurut Macquarrie ada hubungan organik antara Allah dan


dunia. Macquarrie memulai uraiannya dengan mencatat
kecenderungan para teolog modern untuk mengusut asal-usul
ilmu pengetahuan dan teknologi dari Alkitab dan dari doktrin
Kristen mengenai penciptaan. Kalau alam dilihat sebagai ciptaan,
alam yang tadinya dianggap ilahi dapat dilihat secara objektif
sebagai alam semata-mata. Dengan demikian, alam dapat
dipelajari dan dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.

Pada waktu mereka merumuskan pandangan ini, dunia berada


dalam dekade 60-an. Orang sedang jenuh terhadap tekanan pada
keselamatan di dalam sejarah dan mulai kembali memerhatikan
pokok penciptaan. Belum ada kritik terhadap teknologi. Bahkan
teknologi dihargai tinggi sekali. Kalau teknologi yang mulia ini
dapat diusut sebagai berasal dari penghayatan iman Kristen atau
bahkan dari penghayatan iman di Alkitab, agama Kristen dapat
dihargai tinggi pula oleh dunia.

Tanpa diduga sebelumnya, segera timbul reaksi keras terhadap


kecenderungan teologis ini. Teknologi tiba-tiba menjadi bulan-
bulanan,

173
dianggap sebagai sumber pelbagai kesulitan dan kerugian
manusia, misalnya kerusakan serius pada lingkungan hidup dan
hancurnya hidup kebersamaan dalam masyarakat akibat
perkembangan individualisme yang diakibatkan oleh penerapan
teknologi. Ironisnya, reaksi yang muncul itu tetap
mempertahankan bahwa teknologi berasal dari Alkitab dan
doktrin penciptaan. Hanya saja kalau pandangan sebelumnya
menilainya amat positif, kecenderungan baru ini menilainya amat
negatif. Kalau iptek menghasilkan begitu banyak kerugian, pasti
ada yang salah pada sumbernya. Kecenderungan baru ini
menganjurkan penggantian tekanan dalam hubungan antara
Allah, manusia dan dunia. Hubungan ini harus dirumuskan ulang.

Masalah-masalah yang merupakan dampak penerapan teknologi


tidak dapat diselesaikan dengan hanya menciptakan teknologi
yang lebih baik, melainkan dengan menyediakan suatu struktur
pemikiran yang dapat menjadi landasan bertolak bagi tingkah
laku manusia. Di sinilah menurut Macquarrie seorang teolog
dapat berperan di dalam krisis ekologi. Bagaimana bentuknya
sumbangan itu? Yang harus dilakukan ialah meninjau kembali
tradisi Kristen dan memeriksa mana tahap-tahap perkembangan
tradisi itu yang telah terjadi distorsi karena tekanan yang
terlampau dilebih-lebihkan, dan menanyakan apakah di dalam
tradisi ini tidak ada sumber-sumber yang laten, yang dapat
menjawab kebutuhan masa kini. Tindakan selanjutnya adalah
mengoreksi tekanan yang berlebih-lebihan ini dan
mempromosikan apa yang tadinya laten. Macquarrie mengajak
untuk melihat ke penciptaan di dalam Alkitab. Bahwa konsep
penciptaan akan melahirkan teknologi tidak dapat dibuktikan jika
ditinjau dari Alkitab. Orang Ibrani tidak menelurkan teknologi.
Mesir dan Mesopotamia lah yang menjadi pelopor teknologi.
Orang Kristen mula-mula juga tidak melahirkan teknologi
meskipun mengambil alih doktrin penciptaan dari Perjanjian
Lama. Hal itu malah terjadi di Yunani. Ini berarti bahwa
hubungan antara doktrin penciptaan dengan teknologi baru terjadi
sebagai perkembangan kemudian, di dalam kebudayaan Eropa
Barat.

Ada kecenderungan untuk melihat hubungan antara Allah –


manusia – dunia sebagai hubungan penguasaan. Model ini
disebut model monarkhis. Model ini dominan, ditekankan secara
berlebih-lebihan. Menurut model monarkhis Allah tanpa dunia =
Allah. Sebaliknya dunia tanpa Allah = nol. Kita bisa setuju bahwa
dunia tanpa Allah = nol, namun kita tidak bisa setuju bahwa
Allah tanpa dunia

174
= Allah. Tanpa dunia/bumi/ciptaan, Allah tidak bermakna
apa-apa. Allah berada dalam hubungan dengan bumi sejak
semula. Hakikat Allah adalah bahwa Ia pencipta. Tanpa hakikat-
Nya sebagai Pencipta, Ia bukan Allah.

Macquarrie menyatakan bahwa ada model lain yang laten, yakni


model organis. Model organis inilah yang perlu dipromosikan.
Menurut model organis, dunia ini berhubungan secara organis
dengan Tuhan. Bahkan Tuhan berada di dalam dunia ini.
Macquarrie tidak menganjurkan panteisme yang berpandangan
Allah = Dunia, tetapi model organis menuntut agar paling tidak
Tuhan dilihat secara integral, sebagai yang transenden sekaligus
yang imanen.

Selama ini apologetika Kristen mencoba membela dan


mempertahankan doktrin penciptaan dari tuduhan sebagai sumber
penyebab kerusakan ekologi dengan menunjuk pada konsep
penatalayanan (stewardship). Bagi Macquarrie hal ini belum
memuaskan sebab penatalayanan masih menganggap bahwa
dunia ini milik manusia, jadi berarti manusia masih lebih tinggi
daripada alam, masih tetap penguasa alam. Padahal model
organis menaikkan derajat alam dan menurunkan derajat
manusia, sehingga hasil akhir adalah suatu keseimbangan.
Manusia dan alam, kedua-duanya bersumberkan Tuhan.
Menurut James Barr perlu ada penafsiran baru terhadap
pemahaman manusia mengenai “gambar Allah.” Barr sadar
bahwa terdapat tuduhan-tuduhan serius yang melemparkan
tanggung jawab kerusakan ekologis masa kini ke atas Perjanjian
Lama. Kerusakan ini disebabkan oleh teknologi, yang dilahirkan
oleh ilmu pengetahuan, sedangkan pada gilirannya ilmu
pengetahuan lahir dari sikap religius Yahudi-Kristen terhadap
alam. Sikap ini adalah menganggap alam sebagai objek yang
harus dikuasai dan dilumpuhkan oleh manusia. Sama seperti
Macquarrie, ia mencatat bahwa para teolog pada umumnya
menganggap hubungan IPTEK dengan Alkitab sebagai sesuatu
yang positif, sedangkan para sejarawan menilainya sebagai
sesuatu yang negatif. Barr mengusulkan untuk melihat kembali
ke dalam Kitab Kejadian secara khusus dan Perjanjian Lama
secara umum, agar dapat dipastikan apakah hubungan di antara
keduanya ini betul merupakan hasil penafsiran yang tepat dan
apakah dalam sejarah memang ada hubungan antara Alkitab dan
IPTEK.

Oleh karena White mengkritik doktrin Kristen dengan bertitik


tolak dari pokok yang disetujui juga oleh para teolog, yakni
hubungan di antara Alkitab dan
175
IPTEK, menurut Barr kita harus meninggalkan pokok ini. Sebab
kritik terhadap suatu pokok dari titik tolak yang sama biasanya
sulit ditangkis. Untuk melakukan hal ini kita tidak perlu
memutuskan hubungan antara konsep penciptaan dan IPTEK.
Pandangan hidup Kristen bisa memengaruhi perkembangan
IPTEK. Kenyataan berbicara bahwa IPTEK mengalami
perkembangannya di dunia Barat yang berlatar belakang Kristen.
Agak berlebih-lebihan kalau kita merumuskan bahwa konsep
penciptaan mengakibatkan lahirnya IPTEK.

Barr meninjau masalah istilah “gambar Allah” yang terdapat di


dalam Kejadian 1:26-28. Kecenderungan umum adalah melihat di
dalam istilah ini ada dominasi atas alam. Karena Tuhan
memerintahkan segala sesuatu, demikian juga manusia sebagai
gambar Allah memerintahkan ciptaan lain. Gambar Allah
memperlihatkan relasi yang bersifat analogikal. Menurut Barr,
tafsiran seperti ini tidak tepat. Istilah gambar Allah sebenarnya
mau memberi jalan keluar bagi permasalahan di Israel, sampai
seberapa jauh kemiripan manusia dengan Allah. Memang ada
hubungan antara gambar Allah dan penguasaan alam, tetapi
bukan dalam arti bahwa gambar itu semata-mata terdiri dari
penguasaan. Relasinya lebih bersifat konsekuential: oleh karena
manusia adalah gambar Allah, biarlah ia berkuasa.
Berbicara mengenai penguasaan, tekanan umumnya diletakkan
pada kekuatan manusia dan kegiatan-kegiatannya yang
eksploitatif. Jadi kata rada, ‘berkuasa’ ditarik sampai ke
etimologinya yang memang melukiskan proses penginjak-
injakkan buah anggur untuk dijadikan minuman. Demikian pula
kata kabasy, ’menaklukkan’ diartikan sebagai “menindas.”
Sebenarnya konteks tidak menunjuk makna yang sekeras itu.
Dalam Kejadian 1, manusia adalah vegetarian. Baru sesudah Air
Bah, manusia boleh makan daging (Kej. 9). Jadi di dalam
Kejadian 1 penguasaan terhadap alam tidak mengandung unsur
kekuatan yang mengorbankan binatang dan bagian dunia yang
lain. Rada lebih baik diartikan sebagai ’menaungi,’’mengayomi.’
Kabasy menurut etimologinya memang berarti menginjak-injak,
menindas. Konteksnya di sini berhubungan dengan bumi,
“penuhilah bumi dengan anak cucumu dan taklukanlah itu.”
Apakah mengusahakan bumi/tanah dapat dianggap sebagai
eksploitasi? Dapat saja ditafsirkan seperti itu jika menuruti
tafsiran yang dominan, tetapi tidak mesti begitu. Salah satu
prinsip penafsiran Alkitab yang elementer

176
adalah bahwa arti kata-kata tidak boleh semata-mata ditetapkan
berdasarkan etimologinya saja, melainkan juga berdasarkan
caranya kata-kata itu dipakai dalam konteksnya.

Jadi, kalau kita mau menjawab tuduhan White, di masa depan


pemahaman terhadap kata-kata rada dan kabasy haruslah
melepaskan tekanan yang berlebih- lebihan pada nada keras dan
kuat yang eksploitatif. Kalau pada mulanya kedua kata ini tidak
eksploitatif, sebenarnya teks Kejadian 1:26-28 tidak dapat
dijadikan bulan-bulanan sebagai penyebab kerusakan terhadap
alam. Kisah-kisah penciptaan Perjanjian Lama tidak
memperlihatkan perhatian teknologis dan metode-metodenya.
Jika ada uraian mengenai hal itu, seperti misalnya dalam kisah
Kain dan Habel serta keturunan Kain, bagian itu diinspirasikan
oleh cerita- cerita kuno di luar Israel yang memang gemar pada
teknologi. Menurut Barr tradisi Yahudi-Kristen tidak langsung
berhubungan dengan teknologi, dan karena itu terlebih-lebih lagi
tidak bersangkut paut dengan kerusakan ekologi. Barr tidak
mengungkapkan hal ini untuk melepaskan diri dari tanggung
jawab, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab akademis untuk
mengungkapkan kebenaran ilmiah. Kalau begitu siapa yang
bertanggung jawab atas kerusakan ekologis? Menurut Barr,
eksploitasi habis-habisan terhadapalam dilakukan di dalam alam
humanisme liberal yang berpandangan manusia tidak lagi
menganggap diri sebagai berada di bawah naungan sang
Pencipta. Pengaruh humanisme liberal inilah yang dimasukkan ke
dalam pemahaman mengenai Kejadian 1:26-28 dan pada
pandangan Perjanjian Lama terhadap alam. Kalau begitu, apa
peran kisah penciptaan bagi masa kini yang sedang mengalami
krisis ekologis?

Sumber:
http://smpksantostanislaus.wordpress.com/2013/06/05/dampak-rokok-
pada-
peringatan-hari-lingkungan-hidup-sedunia-di-smpk-st-stanislaus/

177
Pertama kita menekankan bahwa ciptaan itu baik adanya. Kita
bertanggung jawab untuk mengontrol dan membatasi pelbagai
usaha kita untuk mengelola danmemanfaatkan alam ini, sehingga
kebaikan alam ciptaan tetap terjaga. Kedua, kisah penciptaan di
dalam Kitab Kejadian mengungkapkan dunia ini sebagai dunia
yang teratur. Alam dibagi-bagi atas fungsi dan jenis. Prinsip-
prinsip IPTEK tidak berasal dari Kitab Kejadian, tetapi apa yang
kita lihat di dalam Kitab Kejadian mempunyai keparalelan
dengan apa yang kita lihat di bidang IPTEK. Ketiga, kerangka
Kejadian 1 menunjukkan tempat manusia. Manusia adalah
manusia apabila ia berada pada tempatnya di dalam alam.
Tempatnya adalah tempat yang utama, tetapi sebagai pemelihara
alam. Keempat, kita melihat bahwa Israel melakukan alih
teknologi dari luar Israel. Orang Israel tidak mengklaim teknologi
sebagai “anak” mereka. Mereka bisa hidup dengan “orang lain.”
Bukankah ini contoh yang baik bagi kita yang memiliki tradisi
penciptaan Yahudi-Kristen untuk hidup berdampingan dengan
dunia IPTEK tanpa mengklaimnya sebagai “anak?”

Bumi ini milik Allah sekaligus milik manusia. Bumi adalah milik
Allah sebab Ia yang menciptakannya, milik kita sebab Ia telah
memberikannya kepada kita (lih. Mzm. 115:16). Jelas Allah
bukan memberikannya kepada kita sedemikian tuntas sehingga Ia
sama sekali tak punya hak dan tak punya kontrol lagi atasnya,
melainkan memberikannya kepada kita supaya kita menguasainya
atas nama Dia. Itulah sebabnya penguasaan kita atas bumi ini
adalah berdasarkan hak pakai, bukan berdasarkan hak milik. Kita
hanya penggarap saja, Allah sendiri tetap “Tuan tanahnya,” Tuan
atas semua tanah.

Simaklah renungan berikut ini yang berjudul Bumi Hampir


Punah? (Ismail 2009, 65-68).

Bumi Hampir Punah?

Apalagi kalau hujan, tidak ada hujan pun terjadi banjir. Kenapa?
Karena muara sungai meluap. Kenapa meluap? Karena air laut
pasang kian tinggi tiap tahunnya. Kenapa? Karena permukaan
laut di seluruh dunia kian naik. Kenapa? Karena bongkah-
bongkah es di kutub yang membeku sejak ratusan ribu tahun
lalu kini
178
mulai mencair secara mencolok. Kenapa? Karena suhu udara
kian panas. Kenapa? Karena kita menebang pohon, mencemari
udara dengan knalpot kendaraan, cerobong asap pabrik,
pembakaran sampah, dan banyak pencemaran lain. Itu gambaran
sederhana tentang mata rantai kerusakan lingkungan hidup kita.

Emangnye gue pikirin? Tunggu dulu, sebab kita semua akan


kena akibatnya. Lihat gambaran sederhana berikut ini.

Mengapa penebangan pohon dan asap knalpot atau pabrik


menyebabkan suhu kian panas? Karena udara jadi tercemar,
sehingga dalam lapisan udara yang disebut lapisan ozon timbul
semacam “tenda” yang menyelubungi bumi. Akibatnya, segala
macam asap beracun dan udara panas dari bumi terperangkap
oleh selubung itu. Ini disebut efek rumah kaca.

Apa itu rumah kaca? Para petani di negeri bermusim dingin


bercocok tanam dalam rumah yang berdinding dan beratap kaca
agar udara pengap di situ menimbulkan suhu hangat bagi
tanaman sebab di luar turun salju. Inilah juga yang sedang
terjadi dengan lapisan udara bumi. Selubung di udara kita
mengakibatkan udara menjadi pengap dan panas. Lalu ini
disebut efek rumah kaca atau pemanasan global.
Knalpot kendaraan, cerobong asap, penebangan pohon dan
berbagai gas racun lainnya telah mencemarkan ozon sehingga
mengacaukan keseimbangan kadarnya. Asap berkabut
menggantung di udara. Akibatnya ozon yang selama berjuta-juta
tahun telah melindungi dan menopang kehidupan di bumi kini
malah menjadi ancaman. Tanaman cepat menguning dan rusak.
Hewan dan manusia terkena cacat lahir, kanker, atau penyakit
lainnya. Kehidupan alam, tanaman, hewan, dan manusia
terancam. Bumi bisa menjadi tandus.

Apa yang telah diciptakan oleh Allah selama berabad-abad kini


rusak dengan cepat akibat kecerobohan dan keserakahan kita.
Dalam Guinness Book of World Record Indonesia tercatat
sebagai perusak hutan tercepat di dunia, yaitu lima lapangan
sepak bola per menit. Batubara yang digali dalam setahun adalah
hasil endapan alami selama 400.000 tahun. Tidak heran bahwa
bumi sedang menjadi tandus.

Ketika Nabi Yesaya menggambarkan kedahsyatan kuasa Allah


atas hidup manusia, ia menggambarkan bahwa bumi akan
menjadi tandus jika manusia melanggar ketetapan Tuhan. Dalam
pasal 24-27, Yesaya menulis puisi bergaya bahasa apokaliptik.
Tulisnya, “TUHAN akan menanduskan bumi dan akan
menghancurkannya ... Bumi akan ditanduskan setandus-
tandusnya ...” (Yes. 24:1, 3). Tentang lambang kehidupan, yaitu
pohon anggur, ia menulis. ”..pohon anggur merana” (ay. 7).
Tulisnya, “Bumi cemar karena penduduknya, sebab mereka
melanggar undang-undang, mengubah ketetapan dan
mengingkari perjanjian abadi” (ay. 4). Tetapi sebagai penutup
nubuat akhir zaman, Yesaya memberi pengharapan jika manusia
bertobat, yaitu: “kalau putri malu dan rumput ...

mencari damai dengan Aku, ya mencari damai dengan Aku! ...


Yakub akan berakar, Israel akan berkembang dan bertunas”
(27:5-6).

179
Manusia ditempatkan di bumi untuk memelihara bumi. Tetapi
jika manusia merusak dan mencemarkan bumi, bumi akan
menjadi tandus lalu manusia akan terkena akibatnya.
Kelangsungan hidup terancam punah.

Dalam buku Dunia di Ambang Kepunahan, Antony Milne


menulis, “Sejarah menunjukkan bahwa awal menurunnya
peradaban adalah gangguan iklim. Bangsa-bangsa seluruhnya
terjepit oleh gerakan penekan udara dingin dari utara dan
perluasan gurun pasir ke selatan, atau jika mereka tinggal di
pantai mereka harus melarikan diri dari gelombang pasang yang
terus bergerak cepat. Generasi sekarang menghadapi ancaman
yang sama.”

Apakah kita bisa mencegah kepunahan ini? Ya! Kita masing-


masing bisa berbuat sesuatu untuk menyelamatkan bumi.

Tanamlah pohon di halaman rumah, sekolah, mesjid, gereja, dan


kantor kita. Hijaukan lingkungan! Dalam hal kehijauan
lingkungan, Indonesia tertinggal di peringkat 102, kalah dari
Malaysia (26) dan Sri Lanka (50).

Berhematlah dengan air meskipun itu air sumur yang gratis! Di


muka bumi memang ada banyak air, tetapi hanya 1% yang bisa
diminum.
Jangan tinggalkan ruangan dengan lampu atau alat elektronik
yang menyala.
Tenaga listrik dibuat dengan membakar banyak bahan energi.

Jika bisa berjalan kaki atau bersepeda, jangan gunakan


kendaraan bermotor. BBM yang kita gunakan dalam sejam
adalah hasil dari proses alam selama ratusan ribu tahun.

Jangan buang sampah sembarangan supaya sampah tidak jatuh


ke got lalu masuk ke sungai yang mengakibatkan sungai itu
dangkal dan airnya berbau busuk serta berwarna hitam pekat.

Berhematlah dengan plastik dan styrofoam karena sampahnya


susah terurai. Jika semua sampah plastik ditebar, seluruh daratan
permukaan bumi akan tertutup oleh plastik.

Sedapat mungkin pakailah penyemprot yang dipompa, bukan


penyemprot aerosol, sebab aerosol ikut merusak ozon.

Ada gereja yang berlitani, “Bapa surgawi, begitu nyaman kami


berbakti di sini, tetapi kami tidak peduli pada lingkungan hidup
yang telah Engkau kerjakan selama berabad-abad dan kini sedang
kami rusakkan dalam sekejap.” Ada pula gereja yang berlitani,
“Sesamaku ciptaan Tuhan, yaitu gunung, hutan, laut, hewan dan
tanaman, ampunilah dosa kami terhadap bumi dan surga.” Setelah
menyimak renungan tersebut, menurutAnda, mengapa bumi
hampir punah? Apa akibatnya jika bumi punah? Apa yang akan
Anda lakukan untuk mencegah bumi tidak punah? Silakan Anda
memberikan argumentasi Anda

180
yang menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang
mempunyai tempat bersama dengan makhluk-makhluk yang lain
dalam ciptaan.

Sumber:

http://hettyherawati2704.wordp
ress.com/auth
or/hettyherawati2704/page/4/
Kita perlu menyajikan satu Sebaliknya, manusia juga
batasan istilah “alam” karena “terpisah” dari alam karena kita
arti istilah alam cenderung memiliki kesadaran dan
kabur yang disebabkan faktor- sanggup mengambil keputusan
faktor berikut. Manusia adalah secara sadar tentang cara
bagian dari “alam” dalam arti mengubah alam di sekitar kita.
kita ikut serta dalam proses- Oleh sebab itu, istilah alam
proses biologis dan fisiologis, yang dimaksud dalam bagian
sama seperti binatang dan ini dibatasi pada ciptaan bukan
makhluk hidup lainnya. manusia.

Nilai alam bagi manusia tidak bisa disangkal. Makanan yang


dimakan manusia, minuman yang diminumnya, udara yang
dihirupnya, serta bahan untuk pakaiannya, perumahannya, alat-
alatnya dan tenaga yang menjalankan mesin- mesinnya semuanya
disediakan dari alam.

Yang menjadi pertanyaan ialah apakah alam mempunyai nilai


terlepas dari gunanya bagi manusia. Jawaban pertama kepada
pertanyaan ini ialah bahwa nilai alam yang utama dalam rencana
Allah ialah nilainya untuk manusia. Alam bernilai tetapi nilai
manusia jauh lebih tinggi daripada tumbuh-tumbuhan atau
binatang-binatang. Dalam Kejadian 2 semua makhluk diciptakan
untuk dinikmati dan digunakan oleh manusia.
Keistimewaan manusia itu perlu ditekankan karena banyak buku
yang penuh angan-angan tentang lingkungan menilai alam
setinggi manusia atau lebih tinggi dari manusia. Manusia dilihat
sebagai benalu yang mengganggu karunia

181
alam, merampas kekayaan alam dan mengotorkan keindahan
alam. Hutan yang indah tidak dapat diganti dalam seribu tahun
tetapi manusia dapat lekas melahirkan anak-anak. Maka pohon
mempunyai nilai yang tidak dipunyai orang. Keindahan alam
makin susah ditemui tetapi orang-orang sukar dihindari karena
mereka ada di mana-mana. Hak-hak alam sama pentingnya
dengan hak-hak manusia. Keindahan bukit atau lembah lebih
penting daripada perut yang kenyang.

Kepada pandangan semacam ini kita perlu menjawab bahwa


orang lebih berharga daripada pohon atau binatang. Walaupun
keindaham alam itu penting, kebutuhan manusia lebih penting.
Setiap orang unik dan tidak dapat diganti. Oleh sebab itu, tepatlah
kalau ekologi menjadi manusia sentris. Keselarasan alam perlu
dijaga terutama demi kesejahteraan manusia. Pencemaran udara
dan air merugikan manusia. Penghanyutan tanah dan penghabisan
pohon-pohon di hutan menghambat usaha untuk menyediakan
makanan dan perumahan untuk manusia. Nilai alam yang utama
ialah gunanya untuk manusia.

Namun demikian, perlu ditambah bahwa alam juga bernilai


terlepas dari nilainya bagi manusia. Allah menganggap ciptaan-
Nya baik sebelum manusia dijadikan (Kej. 1:10, 12, 18, 21, 25).
Salah satu alasan mengapa Allah menciptakan manusia adalah
untuk memelihara kebaikan alam. Sesudah air bah Allah
membuat perjanjian bukan saja dengan Nuh dan keturunannya
tetapi juga “dengan segala makhluk hidup” (Kej. 9:10).
Walaupun perjanjian dinyatakan kepada Nuh sebagai wakil
makhluk-makhluk lain, tetapi Allah mempunyai hubungan
dengan semua makhluk. Bahkan Ia mempunyai kewajiban kepada
makhluk-makhluk itu berdasarkan perjanjian-Nya.

Walaupun alam dimaksudkan untuk digunakan manusia, alam


tidak semata-mata untuk maksud itu. Hutan lebih dari sekadar
sumber kayu bagi manusia. Binatang-binatang lebih dari sekadar
sumber daging untuk dimakan. Setiap unsur alam mempunyai
nilai dalam dirinya sebagai ciptaan Tuhan. Dalam alam semesta
ada banyak bintang yang begitu jauh dari bumi sehingga tidak
dapat dilihat manusia. Astronom mengatakan bahwa mungkin
sekali di planet yang lain dalam alam semesta ada makhluk-
makhluk hidup lainnya. Karena itu menjadi nyata bahwa alam
memiliki nilai terlepas dari gunanya bagi manusia. Meskipun
manusia mempunyai tempat yang terpenting dalam maksud

182
Allah bagi dunia, tidak bisa dikatakan bahwa alam semesta
berada semata-mata bagi manusia.

Kita perlu mengingat dasar nilai alam. Alam tidak bernilai karena
keramat atau karena mempunyai kepribadian seperti manusia,
tetapi karena sifat-sifatnya sebagai alam. Suatu pohon bernilai
bukan karena penuh dengan zat ilahi atau karena mempunyai
perasaan atau kebajikan manusiawi tetapi karena diciptakan oleh
Tuhan dengan ciri khasnya sebagai pohon, dan sebagai pohon ia
mempunyai fungsi dalam maksud Tuhan.

Para ahli etika lingkungan menganggap alam memiliki tiga nilai


(Drummond 2001, 78). Kalau kita memandang alam sebagai
sumber untuk dikelola bagi kepentingan manusia, alam
mempunyai nilai instrumental (instrumental value). Kalau kita
yakin bahwa alam memiliki nilai di dalam dan dari dirinya
sendiri, alam mempunyai nilai bawaan (inherent value). Nilai
bawaan ini sering digunakan oleh para ahli etika sebagai acuan
pada nilai sesuatu, dengan asumsi bahwa ada nilai subjek.
Misalnya, kayu mempunyai nilai bawaan bagi pemiliknya selama
ia ada. Sebaliknya, kalau kita yakin bahwa alam memiliki nilai
hakiki (intrinsic value), nilai itu ada terbebas dari manusia atau
kehadiran manusia sebagai subjek yang menilai.
Dalam Alkitab manusia adalah bagian dari alam. Ia terikat dalam
kesatuan dengan bagian-bagian alam yang lain. Manusia juga
berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain. Ia mempunyai
kedudukan khas di atas alam.

Pada satu segi manusia itu sebagian dari ciptaan Tuhan. Seperti
unsur- unsur ciptaan yang lain, ia tidak ilahi dan tidak
mahakuasa. Seperti makhluk-makhluk yang lain, manusia ialah
makhluk biologis-alamiah. Ia harus takluk kepada hukum-hukum
alam. Ia harus makan, minum dan tidur. Ia memeroleh keturunan
melalui proses kehamilan dan kelahiran seperti binatang
menyusui yang lain. Akhirnya manusia seperti binatang-binatang
yang lain akan mati.

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam


cerita tentang penciptaan. “Tuhan Allah membentuk manusia itu
dari debu tanah” (Kej. 2:7) seperti Ia juga “membentuk dari tanah
segala binatang hutan dan segala burung di udara” (Kej. 2:19).
Dalam bahasa Ibrani kata untuk manusia, yaitu adam,
mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah yaitu
adamah. Manusia, adam, dibentuk dari tanah, adamah. Manusia

183
“mengusahakan tanah” (Kej. 3:23) dan hidup dari tanah, dan
manusia kembali menjadi tanah (Kej. 3:19).

Pandangan bahwa manusia ialah salah satu makhluk di antara


makhluk-makhluk yang lain paling jelas terlihat dalam Mazmur
104:20-24. Pemazmur tersebut mencatat, “Apabila Engkau
mendatangkan gelap, maka hari pun malamlah; ketika itulah
bergerak segala binatang segala binatang hutan. Singa- singa
muda mengaum-aum akan mangsa, dan menuntut makanannya
dari Allah. Apabila matahari terbit, berkumpullah semuanya dan
berbaring di tempat perteduhannya; manusia pun keluarlah ke
pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang. Betapa banyak
perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kau jadikan dengan
kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu.”

Dengan demikian Alkitab menggambarkan manusia sebagai


makhluk yang mempunyai tempat bersama dengan makhluk-
makhluk yang lain dalam ciptaan. Pandangan ini sesuai dengan
pandangan ekologi. Manusia dan makhluk- makhluk yang lain
terikat bersama dalam hubungan timbal balik. Kita hidup dalam
suatu ekosistem yang terdiri dari semua faktor dalam lingkungan
kita. Dalam ekosistem ini binatang-binatang, tanam-tanaman, air,
udara, cuaca dsb. serta manusia dan kebudayaannya saling
memengaruhi. Kalau satu faktor diganggu, semua faktor ikut
terganggu. Karena itu manusia tidak bisa merusak alam tanpa
merugikan dirinya sendiri.

Walaupun demikian manusia juga berbeda dengan unsur-unsur


alam yang lain. Ia mempunyai kuasa lebih besar daripada
makhluk-makhluk yang lain. Sama seperti Allah ialah Raja di
sorga, manusia dinobatkan sebagai raja di dunia. Ia dimahkotai
dengan kemuliaan dan hormat sehingga kedudukannya hanya
sedikit lebih rendah daripada penghuni-penghuni sorga (Mzm.
8:6).

Manusia diciptakan dalam gambar Allah (Kej. 1:26-27).


Walaupun ia tidak ilahi, ia mempunyai sifat-sifat yang mirip
dengan Allah sendiri. Ia menjadi wakil Allah di antara makhluk-
makhluk yang lain. Ia hidup di dunia ini sebagai duta dari Allah.
Sebagai duta dari Allah itu ia diberi tugas untuk mengatur dunia
sesuai dengan kehendak Allah.

Apakah ciri khas manusia yang membedakannya dari semua


makhluk yang lain? Secara jasmani ia mempunyai otak yang
lebih besar, dan ia mampu

184
berjalan lebih tegak daripada binatang-binatang yang lain. Tetapi
ciri-ciri jasmani ini bukan hal yang menentukan statusnya.
Banyak orang merasa bahwa keunggulan manusia terletak dalam
kemampuannya untuk berpikir secara rasional dan membentuk
konsep-konsep yang abstrak. Orang-orang lain menekankan
kemampuan manusia untuk berbahasa, membuat dan
menggunakan alat-alat dan membentuk kebudayaan sehingga ia
tidak hanya hidup dalam lingkungan alam tetapi juga
menciptakan lingkungannya sendiri dan bisa belajar dari manusia
yang lain. Ada juga orang-orang yang menganggap bahwa ciri
khas manusia terletak dalam keinsafan dirinya yaitu
kemampuannya untuk menyadari proses pemikirannya dan
menujukan proses itu sesuai dengan kehendak-Nya.

Secara teologis perlu dikatakan bahwa manusia hanya sungguh-


sungguh menjadi manusia jikalau iamenyadarihubungannya
dengan Tuhan dan dapat berdoa. Menurut cerita penciptaan,
walaupun manusia seperti binatang-binatang yang lain diciptakan
dari debu dan tanah, tetapi hanya manusia mempunyai nafas
hidup yang dihembuskan ke dalam hidungnya langsung dari
Allah sendiri (Kej. 2:7). Seperti makhluk-makhluk yang lain,
kehidupan biologis manusia bergantung kepada tanah dan Allah.
Berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain manusia
mempunyai kehidupan khusus yang datang langsung dari Allah.
Manusia memerlukan roti dan nasi, tetapi makanan itu tidak
cukup. Ia juga hidup dari firman Allah (Mat. 4:4). Hanya manusia
bisa berdoa dan beribadah kepada Allah. Hanya manusia bisa
mentaati atau tidak mentaati Allah. Hanya manusia bisa berbicara
dengan Allah dan mengerti kehendak Allah.

Singkatnya manusia mempunyai dua segi. Sebagai ciptaan Allah


ia bersatu dengan makhluk-makhluk yang lain. Ia juga dapat
bersatu dengan Allah. Ia terlibat dalam alam tetapi ia berwibawa
atas alam. Sebagai gambar Allah ia mewakili Allah dalam
ciptaan. Sebagai makhluk termulia ia mewakili ciptaan di depan
Allah. Walaupun Allah berhubungan langsung dengan seluruh
ciptaan-Nya, salah satu cara hubungan yang pokok ialah melalui
manusia. Oleh sebab itu, manusia perlu mengembangkan
kemampuannya untuk mengasihi Allah tanpa melupakan
kekerabatannya dengan makhluk-makhluk yang lain.

185
Sumber:http://1.bp.blogspot.com/-

OoyHZx4zg1w/TyJIk8Lsw7I/AAAAAAAAARg/18CiSg8S
V1w/s1600/care_eart h.png
Simaklah tulisan berikut ini yang termuat di Kompas pada hari
Rabu, 12 Maret 2014. Tulisan tersebut berjudul Rakyat Menuntut
Keadilan Ekologis. Isi tulisannya adalah sebagai berikut.

Rakyat Menuntut Keadilan Ekologis

Rakyat menuntut keadilan lingkungan dari penyelenggara


pemerintah. Kehancuran hutan dan punahnya kekayaan alam,
serta pangan lokal akibat aktivitas tambang, perkebunan sawit,
dan pencemaran laut merupakan potret wajah Indonesia dari
wilayah barat hingga timur, dan kini mengancam Papua. Sekitar
2.000 orang, Selasa (11/3), mengikuti Rapat Akbar Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) di Gedung Tenis Indoor, Senayan,
Jakarta. Mereka aktivis lingkungan, buruh, petani, nelayan, dan
masyarakat sipil lain. Mereka membawa pesan bagi para
pemilih: “tolak perusak lingkungan.” Direktur Eksekutif
Nasional Wahli Abetnego Tarigan membacakan Platform Politik
Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia, ditandai pemukulan
kentongan bersama. Platform yang dicanangkan, menurut
Abetnego, merupakan hasil advokasi dan proses gerakan
perjuangan bersama masyarakat adat, korban kekerasan,
nelayan, petani, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil lain.
Terdapat lima agenda perubahan pada platform itu, yaitu
pengembalian mandat negara di mana pemimpin memiliki
agenda eksplisit dan bersih dari jejak kekerasan, penataan ulang
relasi negara – modal – rakyat, penyelesaian secara adil konflik
sumber daya alam, pemulihan

186
keseimbangan alam, dan penyelesaian utang luar negeri untuk
menciptakan kemandirian rakyat. Menurut Abetnego, krisis
ekologi terjadi karena pemerintah, pemodal, dan ilmu
pengetahuan membuat sumber daya alam menjadi komoditas
untuk memeroleh keuntungan ekonomi. Semua berujung krisis
multidimensi: ekonomi, sosial budaya, politik, dan ekologi yang
kian sulit dipulihkan. Itu ditandai absennya keadilan sosial
ekologis dan keadilan antargenerasi.

Setelah menyimak tulisan tersebut, menurut Anda, mengapa


rakyat menuntut keadilan ekologis dari penyelenggara
pemerintah? Bagaimana cara penyelenggara pemerintah
menciptakan keadilan ekologis? Apa yang perlu dilakukan oleh
Anda agar terjadi keadilan ekologis? Silakan Anda
mengomunikasikan sikap Anda terhadap alam kepada rekan-
rekan di kelas.

Karena alam bernilai, manusia perlu menghargai alam. Ia patut


menggemari keindahan alam. Ia mengiakan penilaian Allah
waktu Dia memandang ciptaan-Nya dan “melihat bahwa
semuanya itu baik.” Ia patut memeroleh pembaruan semangat dan
beriang hati karena keelokan alam.

Penghargaan ini disertai dengan rasa kagum terhadap alam.


Manusia perlu mengindahkan keajaiban alam. Rasa kagum sangat
penting dalam zaman teknologi dan ilmu pengetahuan ini.
Pengertian kita tentang alam tidak usah menghilangkan kesadaran
kita tentang keajaiban alam. Malahan pengertian kita dapat
menjadikan kita lebih sadar akan sifat-sifat alam yang dahsyat
dan megah.

Menghargai alam tidak sama dengan menyembah alam.


Pemazmur menulis: “Aku melayangkan mataku ke gunung-
gunung, dari manakah akan datang pertolonganku?”
Pertolongannya datang bukan dari gunung-gunung tetapi “dari
Tuhan yang menjadikan langit dan bumi” (Mzm. 121:1-2).
Karena alam tidak ilahi, alam tidak layak disembah. Penghargaan
kita kepada alam disertai dengan rasa syukur kepada Penciptanya.

Kalau kita memperlakukan alam seolah-olah alam itu tidak


bernilai, kita mengurangi nilai diri kita sendiri. Kalau kita
mengabaikan arti yang ada dalam alam, kehidupan kita
kehilangan sebagian artinya. Kalau kita memperlakukan alam
seperti mesin, kehidupan kita menjadi lebih seperti mesin. Kalau
kita hanya melihat alam sebagai sumber keuntungan bagi kita
sendiri, kehidupan kita menjadi lebih egois dan kering.

187
Penghargaan kepada alam tidak berarti bahwa kita tidak boleh
menggunakan alam, tetapi penggunaan kita jangan merosot
sehingga menjadi perkosaan. Kita boleh saja menebang pohon
untuk membangun rumah, tetapi kita jangan menebang pohon-
pohon dengan sembarangan atau tanpa memikirkan bagaimana
hutan dapat dipelihara. Kita boleh saja membunuh binatang untuk
makanan, tetapi kita jangan membunuh binatang-binatang dengan
membabi buta. Kita juga perlu berusaha supaya kita tidak
menyebabkan penderitaan binatang (Ul. 22:6-7). Kita boleh saja
memakai hewan untuk membajak tanah tetapi kita wajib
memerhatikan kebutuhan-kebutuhan hewan itu (Ul. 25:4; Ams.
12:10).

Manusia juga perlu bersahabat dengan alam. Ia mencintai alam.


Kesan yang diberikan oleh Kejadian 2:18-20 ialah bahwa Allah
memberi binatang-binatang dan burung-burung untuk manusia
supaya manusia dapat hidup dalam persekutuan dengan binatang-
binatang dan burung-burung itu. Tentu persekutuan itu kurang
memenuhi kebutuhan manusia untuk persahabatan dan
persekutuan, karena di antara binatang-binatang dan burung-
burung tidak ada “penolong yang sepadan dengan” manusia (Kej.
2:20). Persekutuan manusia yang lengkap hanya mungkin dengan
Allah dan manusia yang lain. Namun demikian, persahabatan
manusia dengan alam juga penting.
Istilah “sesama makhluk” patut dipakai dalam membicarakan
hubungan kita dengan makhluk-makhluk yang lain. Sesama
makhluk berbeda dengan sesama manusia. Ada orang-orang yang
ingin menambah hukum ketiga kepada kesimpulan hukum Taurat
dalam Matius 22:37-39. Menurut mereka kita harus mengasihi
Allah, sesama manusia dan alam. Saran mereka kurang
memerhatikan perbedaan antara manusia dan makhluk-makhluk
yang lain. Saran itu juga mengurangi makna kasih. Dalam
Perjanjian Baru kasih mengandung kesanggupan untuk berkorban
bagi orang yang dikasihi. “Tidak ada kasih yang lebih besar
daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya” (Yoh. 17:13). Kasih semacam ini hanya
patut kepada manusia atau Allah. Walaupun demikian, perlu
dikatakan bahwa kita harus menyayangi sesama makhluk kita.
Kita perlu merasakan kesatuan antara kita dan makhluk-makhluk
lain berdasarkan penciptaan kita oleh Allah.

Umumnya ada tiga sikap manusia terhadap alam (Brownlee 1993,


152-157). Pertama, orang dapat memandang alam sebagai ruang
kuasa-kuasa

201
yang menakutkan sehingga manusia perlu tunduk kepada alam
dan menyenangkan kuasa-kuasa alam dengan sesajen, kenduri
atau upacara-upacara. Kedua, sebaliknya dari yang pertama, alam
dipandang bukan sebagai subjek (dan manusia sebagai objek)
yang menentukan nasib manusia, alam dipandang sebagai objek
(dan manusia sebagai subjek) yang dapat diselidiki dan
dipergunakan oleh manusia. Alam berada untuk kita, bukan kita
untuk alam. Ketiga, baik alam maupun manusia dilihat sebagai
dua subjek yang saling memengaruhi. Manusia dan alam perlu
berjalan bersama dalam hubungan yang selaras karena manusia
adalah satu dengan alam.

Sikap ketiga lebih lazim di Indonesia, terutama di Jawa. Dalam


kebudayaan Jawa, alam merupakan suatu keseluruhan yang
sakral. Tentu tidak semua bagian dari alam sama kesuciannya.
Ada bagian-bagian alam misalnya puncak bukit tinggi, jurang
yang curam, kuburan dan pohon-pohon (beringin, bunga gading,
pohon aren) yang lebih indah daripada bagian-bagian yang lain.
Seluruh alam bersifat sakral tetapi sifat itu terserak, bukan
homogen, tetapi heterogen. Dalam pandangan ini manusia bersatu
dengan alam. Ia tidak berdiri berhadapan dengan kosmos,
melainkan ia sebagian daripadanya.

Karena alam bersifat keramat, manusia ingin mencari keselarasan


dengan alam. Ia cenderung lebih menyesuaikan diri dengan alam
daripada menguasai dan menggarap alam. Tentu kecenderungan
ini tidak mutlak karena setiap bangsa harus menggunakan alam.
Namun dalam kebudayaan-kebudayaan Indonesia, terutama
kebudayaan Jawa, ada kecenderungan yang kuat untuk lebih
mencari keselarasan dengan alam daripada menaklukkan alam.

Dalam pandangan modern manusia berusaha menguasai dan


mempergunakan alam sama dengan sikap kedua di atas. Bagi
pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, alam perlu
dilihat bukan sebagai kosmos yang sakral tetapi sebagai bidang
untuk diselidiki dan digarap oleh manusia. Manusia tidak
menyesuaikan diri dengan alam yang keramat tetapi berhasrat
mengerti hukum-hukum alam dan menaklukkan alam. Dalam
pandangan Barat umumnya manusia berdiri di luar alam sebagai
subjek yang dapat mengatur dan menguasai alam. Manusia bukan
sebagian dari alam tetapi pengolah dan penguasa alam.

202
Manusia membentuk peradaban, yaitu suatu lingkungan yang
tidak alamiah untuk mempertahankan manusia melawan
kekerasan alam.
Sumber:
http://trianawuri.blogspot.com/2011_04_01_archive.html

Pandangan tradisional itu menekankan keselarasan manusia


dengan alam tetapi kurang mendorong manusia untuk
mengembangkan dirinya sendiri serta kebudayaannya dan
masyarakatnya. Pandangan itu kurang menolong manusia
mengatasi kesulitan-kesulitan dan halangan-halangan yang
disebabkan oleh alam. Pada pihak lain pandangan modern
mendorong kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sehingga
manusia dapat mengatur alam dan menggunakan sumber-sumber
alam untuk membangun masyarakat yang lebih sejahtera.

Namun dengan mengabaikan kesatuan manusia dengan alam,


pandangan modern membuka pintu bagi perusakan alam oleh
manusia. Manusia yang menganggap dirinya sebagai penakluk
alam merasa bebas untuk memperlakukan alam dengan
sewenang-wenang demi keuntungan manusia itu. Karena ia tidak
lagi menghormati alam sebagai lingkungan keramat, maka ia
merasa bebas untuk memperkosa alam. Karena ia dibebaskan dari
keharusan untuk menyesuaikan diri dengan alam, ia
menghancurkan dan memeras alam. Ia hanya melihat alam
sebagai sumber keuntungan. Masalah-masalah ekologi masa kini,
seperti misalnya pencemaran air dan udara serta pengurasan
sumber-sumber alam, menunjukkan bahwa pandangan modern
tentang lingkungan alam, walaupun penting bagi pengembangan
teknologi

203
dan ilmu pengetahuan, disertai dengan kelemahan- kelemahan
yang perlu diperbaiki.

Sikap terhadap alam yang seharusnya dipunyai manusia


disimpulkan dalam Kejadian 2:15: “TUHAN Allah mengambil
manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk
mengusahakan dan memelihara taman itu.” Manusia harus
mengusahakan alam tetapi ia juga harus memeliharanya.
Walaupun alam bukan Allah, alam menunjukkan Allah.
Walaupun alam tidak mempunyai kuasa keramat, alam bernilai.
Walaupun manusia harus menaklukkan alam, manusia harus
menghargai alam.

Hubungan antara ekonomi dan ekologi bisa dijabarkan dari


pengertian etimologis yang justru bisa saling membantu dan
membina. Ekonomi berasal dari kata oikos dan nomos. Oikos
berarti ’rumah tangga‘ dan nomos berarti

’aturan, hukum.’ Ekonomi bisa diartikan sebagai upaya untuk


mengatur atau penatalayanan rumah tangga (housekeeping).
Sedang
ekologi gabungan dari kata oikos dan logos. Logos berarti
perkataan, pemahaman dan pengertian. Sehingga hubungan
antara ekonomi dan ekologi tergabung dalam pemahaman bahwa
kita tidak bisa menata masyarakat dan alam ini tanpa mengertinya
dan memeliharanya. Dengan

kata lain, usaha untuk melakukan housekeeping harus


dibarengi

naturekeeping.

Ada dua tugas manusia dalam alam. Pertama manusia diberi


tugas untuk menggunakan alam dan berkuasa atas alam. Tugas
kedua ialah memelihara alam. Tugas manusia dalam dunia
diberikan kepadanya oleh Allah, dan ia bertanggung jawab
kepada Allah atas pelaksanaan tugas itu. Prinsip utama yang
mendasari pandangan orang Kristen tentang lingkungan ialah
bahwa dunia adalah milik Tuhan. Ia yang menciptakan dan
memelihara dunia juga memiliki alam dan mempunyai
kewibawaan tertinggi atasnya. “Tuhanlah yang empunya bumi
serta segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab
Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya
di atas sungai-sungai” (Mzm. 24:1-2). Manusia tidak mempunyai
hak milik yang mutlak atas bumi. Ia hanya menjadi pengurus atau
manajer. Bumi dipercayakan kepada manusia untuk mengolah
dan mengurusnya.

204
John Macquarrie dan James Barr berusaha membuktikan bahwa
tuduhan mengenai Alkitab sebagai pokok gara-gara yang
menyebabkan kerusakan alam bukan merupakan tuduhan yang
kuat. Tetapi sekaligus kedua orang ini bersedia mengakui bahwa
dalam perkembangan sejarah ada penafsiran tertentu terhadap
manusia sebagai penguasa yang eksploitatif, dan bahwa
gambaran ini tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam teks
Alkitab itu sendiri. Penafsiran ini bukannya sama sekali tidak
kena dengan teks Alkitab. Sebab dalam teks, manusia diakui
sebagai yang utama, sebagai penguasa. Pengakuan ini oleh
penafsir tertentu di kemudian hari diberi penekanan berlebih-
lebihan, sehingga akhirnya “menguasai” berarti
“mengeksploitasi” dan mereka melupakan fungsi memeliharanya.

Dalam Alkitab manusia adalah bagian dari alam. Ia terikat dalam


kesatuan dengan bagian-bagian alam yang lain. Manusia berbeda
dengan makhluk-makhluk yang lain. Ia mempunyai kedudukan
khas di atas alam.

Umumnya ada tiga sikap manusia terhadap alam. Pertama, orang


dapat memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa yang
menakutkan sehingga manusia perlu tunduk kepada alam dan
menyenangkan kuasa-kuasa alam dengan sesajen, kenduri atau
upacara-upacara. Kedua, sebaliknya dari yang pertama. Alam
dipandang bukan sebagai subjek (dan manusia sebagai objek)
yang menentukan nasib manusia. Alam dipandang sebagai objek
(dan manusia sebagai subjek) yang dapat diselidiki dan
dipergunakan oleh manusia. Alam berada untuk kita, bukan kita
untuk alam. Ketiga, baik alam maupun manusia dilihat sebagai
dua subjek yang saling memengaruhi. Manusia dan alam perlu
berjalan bersama dalam hubungan yang selaras karena manusia
adalah satu dengan alam.

Buatlah daftar jenis perubahan gaya hidup yang Anda bersedia


lakukan dalam rangka hidup dengan cara yang lebih harmonis
dengan lingkungan dan presentasikan di depan kelas!

205
BAB VIII

CARA BERGAUL YANG BAIK

Setiap orang ingin dikasihi dan diterima oleh orang-orang lain.


Seseorang senang bilaia mempunyai teman-teman yang dapat
bergaul dengannya. Ia senang bila terikat pada orang lain dalam
hubungan tolong-menolong. Manusia diciptakan sebagai hewan
sosial atau social animal. Artinya, kita diciptakan sebagai
makhluk yang paling bergaul. Kita ingin berhubungan dan
berteman. Kita diciptakan untuk mengasihi orang lain seperti
Tuhan mengasihi kita. Kita bisa bersyukur atas hubungan-
hubungan sosial kita. Kita bisa bersyukur atas sahabat-sahabat
kita yang memperkaya kehidupan kita dengan perkataan-
perkataan mereka, permainan mereka, keseriusan mereka dan
pertolongan mereka. Kehidupan kita sungguh lebih kering bila
kita tidak ikut serta dalam suka dan duka teman-teman kita dan
bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan
yang mulia.
Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan
pembelajaran.

Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah:(i)


memuliakan

Allah dalam
pergaulan muda-
mudi; (ii)
menunjukkan sikap
hormat terhadap
orang lain

dalam kepelbagaian
agama,suku,dan
budaya; (iii) bersikap
peduli terhadap
sesama manusia; (iv)
bersikap terbuka
untuk bekerja sama
dengan semua pihak
dalam rangka

mendatangkan kebaikan
bersama; (v) menerapkan
http://nadhasocial.blogspot.com/2
010/09
tanggung jawab etis kristiani Sumber:
/kehidupan-sosial-
manusia.html
dalam pergaulan muda-mudi;
dan (vi) menggunakan prinsip-
prinsip etis kristiani dalam pergaulan muda-mudi.

206
Ada orang yang disukai atau tidak disukai dalam pergaulan.
Menurut Anda, apa yang menyebabkan orang tersebut disukai
atau tidak disukai dalam pergaulan? Apa yang perlu dilakukan
agar Anda disukai dalam pergaulan? Apa akibatnya jika Anda
tidak disukai dalam pergaulan? Silakan Anda mengamati dan
menilai pergaulan muda-mudi di gereja Anda sendiri!

Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa hubungan dengan orang


lain. Oleh sebab itu, adanya individu-individu lain merupakan
suatu keharusan. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial
yang selalu akan hidup dalam suatu hubungan keterikatan dengan
individu lainnya. Seorang manusia selalu membutuhkan
pergaulan dengan manusia lainnya agar dapat mencapai taraf
tingkah laku manusia.

Dalam perkembangan usia, pola hubungan seseorang juga


berkembang. Pola itu jelas pada usia remaja dan terus bertahan
sampai usia lanjut. Pola itu terdiri atas lima dimensi (Ismail 2007,
109). Pertama, dimensi persamaan. Kita memilih teman yang
mempunyai persamaan dalam kepribadian, nilai-nilai hidup,
perilaku, minat dan latar belakang. Kedua, dimensi timbal balik.
Kita mencari teman yang bisa saling mengerti, saling percaya,
saling tolong, saling mengakui keunggulan dan saling
memaklumi kelemahan masing-masing. Ketiga, dimensi
kecocokan. Kita berteman karena merasa cocok dan senang
berada bersama dia. Keempat, dimensi struktur. Kita mencari
teman yang berjarak dekat, mudah dihubungi dan bisa langgeng.
Kelima, dimensi model. Kita berteman karena kita respek dan
mengagumi kualitas kepribadiannya.

Sejalan dengan berkembangnya kemampuan, kematangan dan


kebutuhan, pola hubungan antarorang berkembang dalam tujuh
tahap. Adapun ketujuh tahap tersebut adalah: tahap bayi, tahap
anak kecil (3-6 tahun), tahap anak besar (6-12 tahun), tahap
remaja dan pemuda (12-25 tahun), tahap dewasa muda (25-40
tahun), tahap dewasa (40-65) dan tahap usia lanjut.

Tahap bayi. Bayi berusia setahun terheran-heran melihat bayi


lain. Biasanya ia melihat orang dewasa, tiba-tiba ia melihat
makhluk kecil. Ia tertarik pada temannya dengan cara meraba,
menyentuh atau memukul. Ia ikut menangis ketika temannya
menangis. Menjelang usia dua tahun ia bisa menghibur temannya
dengan cara membelai atau memberikan mainan. Bayi yang
sekali-kali didekatkan pada bayi lain belajar berteman.
207
Sumber:http://biokuasyik.blogspot.com/2012/03/pertumbuhan-
dan-perkembangan-manusia.html

Tahap anak kecil (3-6 tahun). Pada tahap ini anak hanya melihat
dari sudut pandang dan kepentingannya sendiri. Ia mengukur
teman dari faktor kebendaan. Katanya, “Si Daniel temanku, ia
punya sepeda merah.” Pada usia ini perangai mulai tampak. Anak
yang menerima cukup kehangatan, pujian, dan perlakuan baik
dari orang tuanya akan lebih terbuka dan berprakarsa mendekati
teman. Sebaliknya, ada anak yang malu dan ragu-ragu, bahkan
bermasalah, misalnya merasa terancam, curiga, iri, merampas,
menjerit, mengejek atau membentak.

Tahap anak besar (6-12 tahun). Keberhasilan atau kegagalan


berteman pada tahap ini akan mewarnai hidup kita seterusnya.
Pergaulan dengan teman pada tahap ini membentuk kepribadian
kita. Ketika ada teman yang lebih pandai, apakah kita ikut bangga
ataukah mendengki? Di sinilah letak faedah utama bersekolah.
Anak yang mendapat ilmu secara pribadi di rumah, mungkin akan
menjadi orang dewasa yang hipersensitif terhadap ejekan,
perlakuan iseng dan persaingan, atau menjadi orang dewasa yang
cuma mau menang sendiri, sulit bergaul dan sulit bekerja sama.

Tahap remaja dan pemuda (12-25 tahun). Pada tahap ini kita
membentuk jati diri sambil menjauhkan diri dari pengaruh orang
tua, sehingga pengaruh teman menjadi dominan. Tanpa teman
kita merasa kurang percaya diri. Demi memelihara persahabatan,
kita meniru perbuatan teman dan menaati seluruh suruhannya.
Akibatnya kita kurang kritis dalam memilih teman. Kita
mengalami sejumlah ambivalensi. Di satu pihak kita merasa
mandiri, di lain pihak kita merasa bergantung, terutama pada
teman. Di satu pihak, kita
208
tidak mau diatur oleh orang tua, tetapi pada kenyataannya kita
justru diatur oleh teman.

Tahap dewasa muda (25-40 tahun). Jumlah kawan kita


memuncak pada usia ini karena teman di lingkungan perumahan,
kantor, gereja dan sesama orang tua anak di sekolah. Biasanya
pada usia ini kita sulit mempunyai intimasi karena tidak mau
mencampuri urusan pribadi teman. Pergaulan yang sehat ditandai
oleh teratasinya kesulitan itu, sehingga kita bisa intim dengan
kawan, namun tidak mencampuri urusan pribadinya. Mereka
yang sudah menikah juga akan menikmati “persahabatan ganda,”
yaitu dua pasang suami-istri yang cocok satu sama lain.

Tahap dewasa (40-65 tahun). Pada tahap ini kita cenderung


sibuk dengan kepentingan sendiri, karena kita berada pada
puncak karier. Kita tidak mendapat banyak teman baru, kecuali
tetangga atau teman organisasi.

Tahap usia lanjut. Pada usia ini biasanya jumlah teman


berkurang namun mutu persahabatan menjadi lebih matang dan
murni. Dengan teman segolongan usia, kita bisa saling ikut
merasakan dan saling menopang dalam suka maupun duka.
Sedangkan dengan teman yang lebih muda kita bisa menjadi
sumber hikmat dan bijak dalam menghadapi persoalan sehari-
hari, karena kita telah mengalami semua itu.
Manusia selalu akan terlibat dalam pergaulan. Pergaulan bila
disorot secara khusus akan memberikan gambaran yang berbeda-
beda dari segi kualitas waktu, misalnya, pergaulan yang hanya
bersifat sementara, meliputi jangka waktu yang pendek dan yang
meliputi jangka panjang. Demikian pula, sifat pergaulan tidak
selalu sama. Ada pergaulan yang menggambarkan hubungan
reaktif saja, seolah-olah antara dua individu atau lebih hanya
terjalin hubungan bagaikan tanya jawab saja. Ada pula pergaulan
yang individu-individunya aktif dan kreatif menciptakan
hubungan, masing-masing individu saling memajukan taraf
kehidupannya, dan saling menyempurnakan martabatnya.

Pergaulan merupakan suatu hubungan yang meliputi tingkah


lebih dari seorang individu (Gunarsa dan Gunarsa 1997, 36).
Pergaulan merupakan suatu hubungan antarmanusia yang tidak
dapat dihindarkan. Pergaulan ini acap kali menimbulkan
persoalan sehingga justru menimbulkan kesulitan bagi orang
yang bersangkutan. Pergaulan yang mengakibatkan timbulnya
kesulitan, kurang membantu kelancaran hidup bahkan
menimbulkan keguncangan jiwa yang menghambat dan
merugikan perkembangan individu yang bersangkutan.
209
Pergaulan yang sebenarnya diperlukan demi penyempurnaan
martabat manusia, tidak selalu mengarah ke kehidupan yang
positif dalam rangka pembangunan mental, akan tetapi sebaliknya
sering berakibat negatif dan menghambat kelancaran hidup sosial.
Pergaulan yang matang, dewasa dan positif membantu kelancaran
kehidupan sosial tidak mudah dicapai.

Seni bergaul adalah cara bagaimana membuat diri kita disukai


oleh sesama (Selan 1991, 103). Keinginan untuk disukai
merupakan kodrat manusia. Oleh sebab itu, manusia
mencurahkan segenap akal budinya untuk menemukan cara- cara
yang jitu agar dirinya disukai oleh banyak orang.

Faktor utama dalam memupuk seni bergaul adalah pengertian


dari kita sendiri tentang pribadi orang lain. Sering terjadi kita
tidak menyenangi seseorang, karena kita salah mengerti motif,
kemampuan, sikap dan kepribadian orang tersebut.

Hubungan antarpribadi yang baik akan meningkatkan nilai dan


arti dari seseorang. Hubungan tersebut akan menghasilkan
kepuasan bagi mereka yang tahu seni bergaul. Untuk
meningkatkan seni bergaul, Anda perlu memerhatikan empat
belas pedoman berikut ini (Selan 1991, 104-105). Pertama,
dalam pergaulan pada setiap individu perlu adanya keterbukaan
diri: melalui pertimbangan menerima apa yang diberikan oleh
orang lain dalam bentuk pendapat dan pandangan. Keterbukaan
mengharuskan kita berhubungan dengan orang lain tanpa
bersembunyi di balik topeng. Keterbukaan merupakan kunci
menuju persahabatan (Kesler 1994, 975). Kedua, melihat
seseorang sebagaimana Tuhan memandangnya. Ketiga,
mengenal individu lain sebagai seorang individu yang lain yang
tidak sama dengan diri kita sendiri. Mengenal individu lain
berarti berusaha mengetahui sifat-sifat, sikap, pandangan dan
latar belakangnya yang telah membentuk individu lain itu dan
yang mendasari kepribadiannya maupun tingkah lakunya. Sering
kali usaha mencari latar belakang sebab-sebab yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan tidak tercapai.
Usaha membuka tabir rahasia yang menyelubungi seseorang
tidak selalu dan tidak sepenuhnya berhasil. Keempat, mengerti
bahwa individu lain memiliki ciri khas, sifat khusus dan latar
belakang masing-masing. Adanya perbedaan ini tidak berarti
bahwa perbedaan tersebut perlu diubah dengan maksud agar
orang lain dipaksa menyamakan dirinya dengan diri kita. Kita
perlu menerima individu lain dengan kekhususannya, dalam arti
masih dalam batas-batas wajar dan dapat diterima oleh umum.
Kelima, memerhatikan orang lain dalam berbagai keadaan.
Keenam, ambillah waktu untuk bersahabat dengan dia dan
210
membiarkan dia berbicara tentang hobinya serta problemnya,
teman-temannya dan pokok-pokok yang menarik baginya.
Ketujuh, memahami faktor psikologis yang mendorong
kelakuannya. Mengapa seseorang bertindak demikian? Dengan
mengerti keadaan psikologisnya, kita lebih dapat menerima orang
lain sebagaimana adanya. Kedelapan, berusaha untuk
menghindari sifat atau sikap yang kurang menyenangkan
seseorang. Kesembilan, perbuatlah apa yang menurut pendapat
Anda harus diperbuat orang lain kepada Anda. Kesepuluh, setiap
orang mendambakan pujian. Usaha manusia yang terbesar adalah
untuk mendapatkan pujian. Alasannya, tentu saja, adalah bahwa
pujian yang tulus membuat kita merasa diterima, menambah
keyakinan diri kita dan membantu menghilangkan keragu-raguan
kita. Pujian adalah ungkapan penghargaan yang diberikan secara
tulus, tanpa pamrih untuk kepentingan pribadi. Memberikan
pujian selalu lebih efektif daripada kritik. Pujian menghasilkan
banyak perbuatan baik daripada keluhan. Manusia bertindak lebih
baik sebagai reaksi terhadap pujian yang positif daripada terhadap
ucapan yang negatif. Pujian sebaiknya jangan dimentahkan
dengan kata tetapi, “Pekerjaan Anda bagus sekali, dan saya
sangat menghargainya, tetapi ada satu hal yang tidak Anda
lakukan secara benar.” Kata “tetapi” ini menghilangkan semua
kegembiraan dan menghilangkan efektivitas pujian. Orang yang
tidak menerima diri sendiri, atau yang sebenarnya tidak menyukai
diri sendiri, sulit untuk memberikan pujian (Osborne 1996,13).
Kesebelas, hindarilah perbantahan. Ini bukan berarti menjadi,
yes-man, melainkan bahwa Anda terlalu bijaksana untuk terseret
dalam perbantahan yang sia-sia, yang tidak seorang pun akan
menang. Keduabelas, jangan merusak kesenangan orang lain.
Salam yang hangat, pujian atau penghargaan dapat memberikan
kesenangan dan membuat seseorang merasa enak sepanjang hari.
Ketigabelas, bersahabatlah dengan pemuda atau pemudi yang
akan membawa Anda ke hidup yang baik, jangan yang jahat.
Keempatbelas, pupuklah rasa humor. Rasa humor dapat
membuat suasana gembira dan santai. Banyak konflik dan
ketegangan dalam pergaulan dapat diatasi dengan sikap yang
suka humor. Humor haruslah yang sopan, dan tidak berkesan
menghina, menyindir, atau mengejek orang lain. Humor yang
sehat dapat mempererat persahabatan, tetapi humor yang kasar
dapat merusak pergaulan yang baik (Fances 1993, 84). Hati-
hatilah!
211
Sumber: http://inspirably.com/quotes/by-siti-marnina/sahabat
sejati- adalah-tertawa-bersama-dalam-kegembiraan-dan
Seorang sahabat adalah dia yang menerima kita sebagaimana
adanya. Ia menyelami kelemahan kita dan rela menolong
kelemahan itu. Sekaligus ia mengagumi keunggulan kita dan mau
memetik pelajaran dari keunggulan itu. Hanya orang yang
berjiwa besar bisa bersikap bersahabat. Ia bersih dari iri dan
dengki. Ia sama sekali tidak punya pikiran untuk menjegal dan
menjatuhkan kita. Ia beriktikad baik. Yang diinginkannya terjadi
pada kita adalah hal yang terbaik untuk kepentingan kita.

Mendapatkan sahabat bukanlah perkara yang mudah. Oleh sebab


itu, kita perlu mengetahui cara mendapatkan sahabat dengan
mudah. Bagaimanakah Anda mendapatkan sahabat dengan
mudah? Berikut ini ada beberapa hal praktis yang dapat
menolong Anda mendapatkan sahabat dengan mudah:

1. Memusatkan perhatian Anda pada orang lain. Pikirkanlah


tentang bagaimanakah Anda dapat menolong mereka. Jika
berbicara dengan orang lain, janganlah berbicara diri Anda.
Tunjukkanlah bahwa Anda menikmati kehadiran mereka.

2. Menghargai orang lain. Belajarlah untuk membuat orang


lain berharga. Perlakukanlah mereka sebagai gambar dan rupa
Allah yang sama dengan Anda. Penampilan, kedudukan sosial
dan keadaan ekonomi bukanlah dasar penghargaan kita.
Hargailah mereka sebagai ciptaan Allah.
3. Mengubah cara berpikir tentang orang lain. Kecurigaan
adalah senjata yang ampuh untuk melumpuhkan atau
memutuskan tali persahabatan.

212
Berpikiran negatif tentang orang lain akan mendorong tindakan
yang negatif pula.

4. Mencari orang yang terlantar dan sedih. Dunia penuh


dengan orang yang tidak mempunyai teman, orang yang
menderita kesakitan dan yang menjadi korban kekejian orang lain
sehingga mereka penuh dengan dendam.

Dengan menerapkan keempat hal di atas, tentu kita dapat


mendapatkan sahabat dengan mudah. Bagaimana bersahabat
dengan seteru? Benyamin Franklin pernah berkata, “Kasihilah
musuhmu sebab ia yang menunjukkan kesalahan- kesalahanmu.
Tuhan Yesus Kristus mengajar para pengikut-Nya: “Kasihilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”
(Matius 5:44). Bagaimanakah perintah ini dapat terwujud dalam
kehidupan kita sehari-hari sebagai pengikut-pengikut Yesus
Kristus? Berikut ini beberapa hal praktis yang dapat menolong
Anda bersahabat dengan seteru:

1. Pusatkan perhatian Anda pada bagaimana Anda dapat


menolong mereka. Hal yang pasti mereka butuhkan adalah
seorang sahabat. Salah satu kebutuhan yang mendasar dari
manusia ialah untuk bersosialisasi, yaitu bergaul dengan sesama.
Bantulah musuh Anda dan lakukanlah itu seperti Anda
melakukannya bagi Tuhan. Pikirkanlah tentang yang sedang
dikerjakan oleh Tuhan dalam hidupnya. Selanjutnya, pikirkanlah
tentang bagaimanakah Anda dapat memupuk persahabatan dan
bagaimana musuh Anda dapat memanfaatkan persahabatan Anda
dan bukan berpikir tentang manfaat atau keuntungan yang Anda
harapkan dari persahabatan Anda dengan dia.

2. Daftarkanlah kebaikan-kebaikan yang Anda lihat dari


orang yang kurang menyenangkan hati Anda. Setiap manusia
yang diciptakan Tuhan mempunyai kebaikan. Sejahat-jahatnya
seseorang, di dalam lubuk hatinya tersimpan kebaikan yang
belum sempat dinyatakan.

3. Bawalah mereka yang pernah menyakiti hati Anda kepada


Tuhan dalam doa.

Mengucap syukurlah kepada Tuhan atas apa yang menyenangkan


dalam pribadi mereka serta memohon berkat dan pertolongan
Tuhan bagi mereka. Kemudian, nikmatilah sukacita dariTuhan.
Anda telah taat kepada firman Tuhan untuk mengasihi musuh
Anda.
213
Simaklah kisah persahabatan antara Andar Ismail dan Syarif yang
dikisahkan oleh Andar Ismail dalam bukunya yang berjudul
Selamat Panjang Umur (Ismail 1995, 49-53). Andar Ismail
menceritakannya sebagai berikut.

Apa yang dapat diperbuat seseorang untuk memelihara


kenangan tentang seorang sahabat lama yang sudah sekian
tahun hilang jejaknya? Yang saya perbuat adalah
mengabadikan nama sahabat itu pada nama anak sendiri.
Begitulah ketika anak kami lahir, tanpa ragu-ragu kami
menamakan dia Syarif, yaitu nama seorang sahabat saya di
kelas 5 Sekolah Dasar Kristen di Bandung.

Sebenarnya ada banyak perbedaan antara Syarif dengan saya.


Syarif tinggal di rumah besar, berlantai dua, terbuat dari
tembok dan terletak di tepi jalan raya. Sebaliknya rumah saya
kecil, terbuat dari bilik bambu dan terletak pinggir gang.
Syarif anak keluarga dokter dan bergelar raden, sebaliknya
orang tua saya orang bersahaja. Syarif beragama Islam, saya
beragama Kristen. Syarif orang Jawa, saya orang Cina.

Segala perbedaan itu tidak kami rasakan. Tiap hari Syarif dan
saya bermain dan membuat pekerjaan rumah bersama. Kami
berdua menjadi ketua dan wakil ketua kelas. Kala menghadapi
ulangan berhitung, Syarif yang mengajar saya karena dia juara
kelas. Bila belajar sejarah dan ilmu bumi sayalah yang
mengajar dia. Hasil ulangan cepat-cepat kami bandingkan.
Kalau saya mendapat nilai buruk untuk berhitung (dalam
kenyataannya memang hampir selalu begitu), Syarif tampak
kecewa. Ketika saya menjadi juara untuk sejarah dan ilmu
bumi, ia menepuk pundak saya dan memuji, “Hoe kan je nou
zoveel weten?” (‘Bagaimana kamu bisa tahu sebanyak itu?’).

Syarif sering datang ke rumah saya, kadang-kadang kami


makan bersama. Saya masih ingat bagaimana dia
mengerinyutkan dahi sambil memerhatikan makanan di piring
lalu bertanya dengan nada gurau, “Zit er een varkentje in deze
soep?” (‘Apa ada anak babi di sayur ini?’). Lalu kami tertawa
terbahak-bahak. Ibu saya pun ikut tertawa, sebab di piring itu
sama sekali tidak ada daging apa-apa. Keluarga kami memang
hampir tidak pernah makan daging, sebab harganya terlalu
mahal.

Saya pun sering datang ke rumah Syarif dan menginap di situ.


Kami tidur seranjang dan mengobrol sampai larut malam.
Dengan berbisik kami saling bertanya siapa teman perempuan
yang kami senangi. Lalu kami tertawa bercekikikan dan cepat-
cepat menaruh jari telunjuk di bibir sebagai janji saling
menyimpan rahasia ini.

Pada suatu hari Syarif mendapat seekor anak ayam yang


sangat mungil. Bulu ayam itu kuning dan terasa sangat halus,
siang malam kami sibuk membuat kandang dan mengurus
ayam itu. Yang sulit adalah menyambung kawat dan
memasang lampu untuk menghangatkan ayam itu. Kalau ayam
itu kedinginan, segera kami dekatkan lampu pada ayam itu.
Kemudian ketika

214
ayam itu kegerahan, kami jauhkan lampu itu. Beberapa hari
kemudian kami mendapatkan ayam itu sudah kaku dan mati.
Kami tersentak dan saling memandang. Lama kami duduk di
depan kandang itu dengan kepala tertunduk. Syarif terdiam,
saya pun begitu. Kami saling berpegangan. Lalu kami
menangis bersama-sama.

Persahabatan menyatukan perasaan. Kita senang bersama dan


sedih bersama. Persahabatan tumbuh dari keterbukaan dan rasa
percaya. Kita merasa dekat. Kita saling mengagumi, tetapi ita
berani berterus terang menegur kesalahan masing-masing. Kita
saling membutuhkan, tetapi tidak saling memanfaatkan.
Sahabat tidak membujuk, tetapi juga tidak menuntut. Antara
sahabat tidak ada iri dan dengki. Keberhasilannya menjadi
kebanggaanku, kegagalannya menjadi kekecewaanku. Sahabat
saling mau mendengarkan, menyelami dan mengerti. Sahabat
saling peduli. Untuk bersahabat kita perlu berjiwa besar dan
berhati ikhlas. Terhadap sahabat kita boleh mengeluarkan
perasaan sebagaimana adanya, tanpa pura-pura ramah dan
memasang senyum buatan. Persahabatan dipupuk oleh iktikad
dari kedua belah pihak. Dalam persahabatan ada kedekatan.
Atau dengan kata-kata Amsal: “Seorang sahabat menaruh
kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam
kesukaran” (Ams. 17:17)
Demikian, kisah persahabatan antara Andar Ismail dan Syarif.
Setelah membaca kisah persahabatan antara Andar Ismail dan
Syarif serta paparan di bawah ini, Anda diberi kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan kritis sebanyak-banyaknya yang
berkaitan dengan cara menjadi sahabat sejati.
Sumber: http://www.dreamstime.com/royalty-free-stock-
photography-relationship-friends-friend-need-friend-indeed-
image30173487

215
Sahabat adalah sebuah kata yang tidak asing dalam hidup
manusia. Kata ini mempunyai makna yang sangat mendalam.
Setiap orang pasti membutuhkannya dan senantiasa berusaha
mendapatkan sahabat, bahkan bila orang tersebut telah
memilikinya, ia akan senantiasa memeliharanya. Menjadi sahabat
bagi orang lain dan mempunyai seorang sahabat adalah sesuatu
yang sangat berarti dan berharga dalam hidup seseorang, karena
memang Sang Pencipta menata manusia untuk hidup bersama
dengan orang lain. Bagi orang Inggris, arti seorang sahabat
diungkapkan dalam sebuah pepatah: afriend in need is a friend
indeed, artinya sahabat yang sejati ialah sahabat yang selalu siap
menolong ketika seseorang memerlukannya (Chandra 2006, 97).

Alasan utama mengapa orang sulit menjalin persahabatan adalah


kenyataan bahwa mereka tidak pernah benar-benar menerima diri
mereka sendiri. Jika kita tidak menerima diri kita sendiri, kita
akan mendapatkan kesulitan untuk menerima orang lain, dan
kebiasaan negatif ini akan tercermin dalam hubungan kita. Untuk
membangun persahabatan ada tujuh prinsip berikut ini yang perlu
diperhatikan. Pertama, perhatikan setiap orang baru di sekitar
Anda. Kedua, kembangkan ekspresi yang membuat suasana
ceria. Ketiga, berlatih menyapa orang dengan nama. Keempat,
ajukan pertanyaan yang tepat. Kelima, menjadi pendengar yang
baik. Keenam, jangan congkak dan merasa lebih baik dari orang
lain. Apakah Anda pernah bertemu dengan orang yang gila
hormat? Ia tentu ingin dikenal sebagai orang istimewa dan
penting, bukan orang sembarangan. Pasti selalu ingin mendapat
kesempatan menceritakan kehebatan, kekayaan dan lain- lain
yang lebih meninggikan dirinya. Setelah beberapa saat, pasti ia
tidak berkesempatan lagi. Setiap orang mulai menghindari
sejauh-jauhnya. Dari pengalaman itu, bersikaplah biasa.
Meskipun mungkin Anda merasa memiliki kemampuan-
kemampuan yang lebih daripada biasanya, hendaknya jangan
congkak dan merasa lebih baik dari orang lain. Ketujuh,
hendaknya sopan santun dalam tingkah laku.

Persahabatan yang baik berawal dari perkenalan dengan orang


yang memiliki suatu persamaan dengan kita. Ada daya tarik
timbal balik. Anda senang berada bersama-sama dengannya.
Anda merasa orang yang lain itu menyegarkan, memberi
dorongan dan menyenangkan. Anda melihat dia mau
mendengarkan Anda, memberi dorongan yang tepat kepada
Anda. Persahabatan pun tumbuh. Persahabatan itu memerlukan
waktu. Anda mungkin bertemu seseorang dan segera
berhubungan. Sebelum hubungan itu

216
bisa tumbuh menjadi persahabatan yang sungguh, Anda harus
saling mengenal selama suatu jangka waktu. Persahabatan jangan
seluruhnya bergantung pada perasaan. Perasaan memang penting,
tetapi jengkel atau kecewa terhadap seseorang jangan sampai
merusak hubungan itu. Kita hendaknya tidak membuang atau
mematikan persahabatan hanya karena ternyata tidak semuanya
menyenangkan.

Jika Anda berpikir untuk

menjalin persahabatan, ketahuilah bahwa tidak semua orang ingin


menjadi sahabat Anda. Orang

mempunyai kebebasan untuk membuat pilihan itu. Jikalau Anda


berusaha memaksakan persahabatan, akan timbul masalah.
Persahabatan harus tercipta

dengan sukarela. Adapun ciri-ciri persahabatan yang baik adalah


sebagai berikut. Pertama, persahabatan yang baik tidak
mementingkan diri sendiri. Amsal 17:17 mengatakan bahwa
“seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu.” Seorang sahabat
yang berkata, “Aku mengasihimu jika ...” atau “Aku
mengasihimu bila ...” bukan sahabat seperti yang dilukiskan oleh
Alkitab. Sahabat sejati akan berkata, “Aku mengasihimu setiap
waktu.” Kasihku tidak bersyarat dan tidak mementingkan diri
sendiri. Kedua, persahabatan sejati bersifat teguh. Jika Anda
ingin sungguh-sungguh mengetahui berapa banyak sahabat yang
Anda miliki dan siapa mereka, buatlah kesalahan dan lihatlah apa
yang terjadi. Setelah Anda mengalami kesulitan, coba lihat
berapa banyak sahabat Anda yang masih setia kepada Anda?
Persahabatan sejati itu teguh. Ketiga, persahabatan sejati bersedia
berkorban. Kalau Anda ingin menjadi sahabat, Anda harus hidup
dengan bersedia berkorban bagi orang yang menerima
persahabatan Anda. Keempat, persahabatan sejati bersifat
menyucikan. Amsal 27:17 berkata, “Besi menajamkan besi, orang
menajamkan sesamanya.” Seorang sahabat sejati akan
menjadikan Anda orang yang lebih baik. Persahabatan sejati
membuat hidup Anda lebih maju, mempertajam kecerdasan Anda
dan membuat Anda lebih giat. Anda akan menjadi orang yang
lebih baik dan lebih berguna karena persahabatan itu.
Persahabatan sejati tidak akan menumpulkan kerohanian Anda.
Seorang sahabat sejati adalah orang yang cukup peduli sehingga
ia akan menegur Anda

217
bila Anda salah. Alkitab berkata dalam Amsal 27:6, “Seorang
kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan
mencium secara berlimpah-limpah.”

Kita harus membangun persahabatan denganorang-orang non-


Kristen juga. Ini hendaknya tidak merupakan hubungan dengan
maksud penginjilan (persahabatan demi satu jiwa), melainkan
persahabatan karena kita benar-benar mengasihi orang-orang
tersebut. Bila Anda mempunyai sahabat orang-orang non-
Kristen, Anda perlu bertanya kepada diri Anda sendiri, apakah
persahabatan ini memungkinkan Anda tetap dekat dengan Tuhan
atau dapat memisahkan Anda dari Tuhan. Jikalau Anda mulai
melihat bahwa persahabatan Anda dengan seorang non-Kristen
tertentu menjauhkan Anda dari Tuhan, Anda harus melakukan
sesuatu.

Sulit rasanya membayangkan hidup tanpa kehadiran sahabat di


samping Anda. Ya, tanpa kehadiran sahabat, hari-hari Anda
akan terasa kosong dan hampa. Oleh sebab itu, hubungan
persahabatan harus dipupuk dengan baik. Apakah Anda sudah
merasa menjadi sahabat yang sejati bagi sahabat Anda?

Pertama, sahabat sejati adalah sahabat yang bersedia


mendengarkan segala macam cerita dan keluh kesah sahabatnya.
Oleh sebab itu, jadilah pendengar yang baik untuk sahabat-
sahabat Anda. Jika mereka membutuhkan masukan, berilah
pendapat Anda secara perlahan-lahan tanpa bersikap menggurui.

Kedua, belajarlah menghargai segala macam perbedaan sifat


sahabat Anda. Ingat setiap orang memiliki berbagai macam
kepribadian yang berbeda. Cobalah mengerti bagaimana karakter
sahabat Anda. Jika Anda mengalami perbedaan pendapat,
selesaikanlah masalah tersebut dengan baik-baik. Sebab, semua
masalah pasti ada jalan keluarnya.

Ketiga, jagalah baik-baik kepercayaan yang telah diberikan oleh


sahabat Anda. Jangan pernah sekali pun Anda membocorkan
rahasia penting sahabat Anda, apalagi yang berupa aib. Banyak
kejadian sahabat berubah menjadi musuh karena telah
membocorkan rahasia penting sahabatnya.

Keempat, jadilah sahabat yang selalu siap memberikan


dukungan. Jika sahabat Anda melakukan kesalahan, jadilah orang
pertama yang menyemangatinya. Jika perlu sebisa mungkin Anda
jangan menyalahkannya. Berilah sahabat Anda motivasi agar
dapat bangkit dari kesalahannya.
Kelima, jangan jadikan sahabat Anda sebagai saingan terberat
Anda. Hilangkan perasaan iri atas keberhasilan sahabatAnda.
Jadikanlah rasa iri tersebut

218
sebagai cambuk bagi Anda agar berbuat lebih baik lagi. Lalu,
jangan lupa ikutlah berbahagia dengan keberhasilan yang telah
dicapainya.

Keenam, jangan pernah ragu untuk minta maaf pada sahabat saat
Anda melakukan sebuah kesalahan padanya. Setelah itu,
berusahalah perbaiki kesalahan Anda. Begitu pula sebaliknya,
berikanlah maaf dan lupakan kesalahan sahabat Anda jika ia
bersalah.

Simaklah 1 Korintus 5:9-11. Dalam 1 Korintus 5:9-11 tersebut,


Paulus melarang jemaat di Korintus untuk bergaul dengan orang
cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau
penipu. Menurut Anda, mengapa Paulus melarang jemaat di
Korintus untuk bergaul dengan orang cabul, kikir, penyembah
berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu. Apa maksud dan
makna perkataan Paulus yang terdapat dalam 1 Korintus 5:9-11

“Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan


bergaul dengan orang-orang cabul. Yang aku maksudkan
bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia
ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan
semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus
meninggalkan dunia ini. Tetapi yang kutuliskan kepada kamu
ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang
sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir,
penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan
orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan
bersama-sama.”

Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari


berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai pergaulan
yang sehat dan benar menurut Alkitab.

“Jangan dipengaruhi oleh orang-orang lain” adalah nasihat


yang sia-sia. Setiap orang dipengaruhi oleh orang-orang lain.
Yang menjadi masalah ialah orang-orang macam apa yang
memengaruhi kita. Selain itu, yang menjadi masalah ialah
bagaimana kita dipengaruhi. Kita perlu bergaul dengan orang-
orang yang dapat menolong kita mengembangkan suatu
pandangan hidup yang lebih luas, lebih manusiawi dan lebih
sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita juga perlu mempunyai
suatu integritas yang tidak diombang-ambingkan oleh setiap
pengaruh, suatu pendirian yang sekaligus terbuka dan teguh.

Ada dua bahaya yang menyangkut hubungan kita dengan teman-


teman kita (Brownlee 1986, 77-78). Bahaya pertama adalah
keeksklusifan, yaitu kecenderungan untuk menolak orang-orang
dari kalangan tertentu. Mungkin

219
orang itu ditolak karena suku bangsanya, kemiskinannya,
dianggap bodoh atau terlalu pintar, atau karena alasan yang lain.
Sikap eksklusif ini merugikan baik orang yang menolak maupun
orang yang ditolak. Sikap itu mengembangkan kesombongan
dalam hati orang-orang yang menolak. Kesombongan itu merusak
kepribadian seseorang. Karena kesombongannya, orang yang
lemah lembut dapat menjadi keras hati dan kejam. Sikap
eksklusif juga merugikan orang yang ditolak. Ia merasa sepi
karena terputus hubungannya dengan sekelompok sesamanya
manusia. Setiap kali ia berhadapan dengan orang-orang yang
menolaknya, ia merasa dihina. Mungkin ia merasa rendah diri
dan sering bertanya dalam hatinya mengapa ia dinilai kurang.

Allah bekerja untuk mempersatukan orang-orang. Ia mengasihi


semua orang. Kasih kita perlu mencerminkan kasih Allah yang
sangat inklusif itu. Orang Kristen perlu menerima dan mengasihi
sebanyak mungkin orang, bukan menolak mereka. Terutama
orang Kristen perlu mengasihi orang-orang yang dianggap hina
oleh masyarakat. Yesus bergaul dengan orang-orang yang dibenci
oleh kebanyakan orang dalam masyarakat-Nya. Kalau kita yakin
bahwa kita diterima dan dikasihi oleh Allah, kita tidak usah
mengangkat harga diri kita dengan menganggap rendah orang
lain. Bila kita ditolak oleh orang-orang lain, kita bisa merasa
yakin bahwa kita masih diterima dan dianggap penting oleh
Tuhan.
Bahaya kedua yang menyangkut hubungan kita dengan teman-
teman ialah tekanan untuk menyesuaikan diri dengan pendapat
dan perbuatan yang tidak baik. Sering orang-orang membenarkan
suatu perbuatan yang diragukan benar salahnya dengan berkata,
“Semua orang berbuat demikian.” Kalau kebanyakan orang
dalam kalangan kita sudah berbuat demikian, seseorang akan
dianggap kolot bila ia berkata, “Aku tidak boleh berbuat
demikian.” Kalau kebanyakan orang dalam suatu kelas
menyontek, orang yang tidak menyontek dianggap aneh. Kalau
semua orang di kantor menerima suap, orang yang tidak
menerima suap dihindari.

Sering orang-orang menyerah kepada dorongan-dorongan dari


teman-temannya, walaupun dorongan-dorongan itu bertentangan
dengan suara hati mereka. Kalau demikian, kebutuhan untuk
diterima oleh teman-teman menjadi lebih penting daripada iman
dan pendirian diri sendiri. Pemuda-pemuda yang memiliki
kebebasan untuk mengambil keputusannya sendiri tanpa tekanan
dari orang tua atau lembaga-lembaga sering dengan rela
membuang kebebasan itu untuk mengikuti keinginan teman-
temannya. Penyesuaian dengan orang lain dapat menjadi ganti
bagi pikiran. Orang yang
220
ikut-ikutan tidak lagi berpikir bagi diri sendiri. Ia mengikuti arus
tanpa mengembangkan cara hidup berdasarkan pandangan
sendiri.

Sangat sukar untuk berdiri sendirian berlawanan dengan tekanan-


tekanan dari orang-orang lain. Karena itu, kita memerlukan
teman-teman yang juga berusaha untuk hidup sesuai dengan
kehendak Tuhan. Mereka dapat menolong kita menggumuli
masalah-masalah dan menentang godaan-godaan yang kita
hadapi.

Manusia adalah makhluk sosial, tidak terkecuali orang Kristen.


Sebab itu, sudah seharusnya manusia itu memiliki teman atau
sahabat dalam kehidupan ini. Orang yang membenci pergaulan
adalah orang yang tidak normal. Orang yang seperti itu biasanya
disebut antisosial. Mereka tidak membutuhkan pergaulan, bahkan
membenci pergaulan.

Tanpa sahabat rasanya hidup ini gersang dan sepi. Namun dalam
1 Korintus diberitahukan agar kita berhati-hati dalam pergaulan.
Karena pergaulan yang buruk dapat merusak kehidupan kita.
Misalnya, kita bisa terlibat dalam seks bebas, minum minuman
keras
dan memakai
narkotika. Di dalam
Amsal 18:24
dikatakan, “Ada
teman yang
mendatangkan
kecelakaan, tetapi
ada juga sahabat
yang lebih karib
daripada seorang
saudara.” Ada
sahabat yang lebih
baik daripada
saudara sendiri.

Ayat di atas bukan


mengajak kita hanya
bersahabat dengan
orang Kristen saja.
Siapa saja boleh
menjadi sahabat kita.
Dengan

kata lain, pergaulan Kristen bukanlah eksklusif pada orang


Kristen saja. Sebaliknya, pergaulan Kristen juga bukan “asal
bergaul” sehingga dapat merusak kehidupan dan kesaksian kita,
melainkan harus memerhatikan prinsip bergaul yang benar.

Pergaulan yang berprinsip bukan pergaulan yang eksklusif.


Tetapi pergaulan yang bertanggung jawab, beretiket pergaulan
yang sesuai dengan prinsip Firman Tuhan. Motif dalam pergaulan
Kristen adalah “kasih yang sudah kita

221
terima dari Kristus,” bukan “kasih yang sekuler,” misalnya kasih
yang dikuasai oleh hawa nafsu, kasih yang materialistis atau
kasih yang egoistis.

Beberapa prinsip pergaulan yang berdasarkan kasih Kristus dan


yang sesuai dengan kebenaran Alkitab adalah sebagai berikut.
Pertama, kemuliaan bagi Allah. Motif tertinggi yang patut
dimiliki orang yang menyebut dirinya anak-anak Allah ialah
melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah. Hanya Dialah
yang layak beroleh pujian tertinggi. Di dalam 1 Korintus 10:31
dikatakan, .”.. jika engkau melakukan sesuatu yang lain,
lakukanlah semua itu untuk kemuliaan Allah.” Selain itu, di
dalam Kolose 3:23 dikatakan, “Apapun juga yang kamu perbuat,
perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan
bukan untuk manusia.”

Kedua, demi kebaikan orang lain. Dalam 1 Korintus 10:24


dikatakan, “Jangan seorang pun yang mencari keuntungannya
sendiri, tetapi hendaklah tiap- tiap orang mencari keuntungan
orang lain.” Jadi dalam pergaulan kita tidak boleh merugikan
sesama, melainkan melakukan sesuatu yang mendatangkan berkat
bagi sesama.

Ketiga, kebaikan bagi diri sendiri. Dalam 1 Korintus 10:23


dikatakan, “Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan
segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan. Benar,
tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Manusia memang
diberi Tuhan kebebasan, tetapi harus diingat bahwa tidak semua
yang boleh dan dapat kita lakukan, berguna bagi sesama dan diri
kita sendiri. Oleh karena itu, kalau hendak melakukan sesuatu
hendaklah yang bermanfaat bagi manusia.

Keempat, saling mempercayai. Sikap saling mempercayai ini


akan membangun persahabatan yang baik. Sebaliknya, sikap
saling mencurigai akan menghancurkan persahabatan. Sikap
“saling curiga” membuat seseorang menjadi terlalu sensitif,
cemburu buta, penyebar gosip, atau tidak jujur. Hindarilah sikap
saling curiga.

Kelima, saling menghargai. Sikap saling menghargai


menghasilkan sifat suka menghormati orang lain, lebih banyak
mendengar daripada berbicara, toleransi, berani menerima
pendapat orang lain dan tidak suka memperalat orang lain.
Sebaliknya, orang yang “suka menghina” akan terlihat dari
sifatnya yang kurang menghargai pribadi orang lain, suka
mencela, emosinya tidak stabil, ceroboh, kasar, pemarah, dan
terlalu agresif. Hindarilah sikap suka menghina.
222
Keenam, saling mengasihi. Kasih yang benar adalah kasih yang
berasal dari Kristus. Kasih yang seperti itu terlihat dari sifat
tenggang rasa, tidak suka perhitungan dengan teman, tahan diri
untuk tidak selalu membicarakan diri sendiri, rela berkorban dan
suka mengalah untuk menang. Kasih yang seperti itu mendasari
pergaulan yang menjadi sahabat lebih baik daripada saudara,
karena orang yang seperti itu rela menerima sahabatnya
sebagaimana dia adanya. Dalam keadaan bagaimanapun, pada
saat kapanpun dan di mana pun tempatnya, dia tetap menjadi
“sahabat yang baik.”
Sumber: http://himpalaunas.com/artikel/etalase/2012/02/05/hati-
hati-situs-jejaring-sosial-dapat-mengubah-otak-manusia

Dalam hidup ini ada banyak sekali hal yang indah. Agaknya,
salah satu yang paling indah adalah persahabatan seperti yang
dirasakan oleh orang lumpuh dalam Injil Markus 2:1-12 (Ismail
2002, 20-23).
“Pada saat Tuhan Yesus sedang mengajar tiba-tiba terjadi
gangguan yang mengejutkan. Secara tiba-tiba ada tilam
diturunkan dengan tali dari atas atap. Di tilam itu terbaring
seorang lumpuh. Orang lumpuh itu digotong oleh empat orang
kawannya untuk disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Pasti berat
menggotongnya. Rumahnya mungkin jauh dari tempat itu.
Lalu ternyata

223
tempat itu sudah dipenuhi banyak orang sehingga tidak ada
lagi jalan masuk. Untunglah keempat kawannya mempunyai
akal. Mereka menggotong dia naik ke atap. Kemudian mereka
mengikat tilam pembaringan orang lumpuh itu dengan empat
utas tali. Sesudah itu mereka membuka atap. Lalu mereka
mengulur tali itu dan menurunkan orang lumpuh itu perlahan-
lahan ke lantai dasar. Pasti susah. Pasti harus berhati- hati dan
seimbang. Bayangkan betapa susahnya menurunkan orang
sakit yang terbaring di tilam dengan tali dari atas atap rumah.
Apa jadinya kalau salah satu utas tali itu terlalu cepat
turunnya, pasti tilam itu miring dan orang itu jatuh. Atau apa
jadinya kalau salah satu utas tali itu tiba-tiba putus. Tetapi
ternyata mereka berhasil. Hebat sekali. Bukan main cakapnya
para sahabat orang lumpuh itu. Hebat!

Sungguh menarik bahwa perhatian Yesus tertuju pada kawan-


kawan orang lumpuh tersebut. Mereka masih ada di atas atap.
Mereka tidak bisa turun. Mereka menatap dan menunggu di
atas. Rupanya Yesus juga langsung melihat ke atas. Yesus bisa
melihat mereka. Mungkin Yesus memerhatikan wajah
keempat orang itu. Mereka mungkin tampak agak takut, sebab
mereka tahu bahwa mereka mengganggu Yesus yang sedang
mengajar. Di wajah mereka juga tampak dambaan untuk belas
kasih agar kawan mereka yang lumpuh itu bisa disembuhkan.
Yesus menatap wajah mereka. Lalu Yesus melihat ke bawah
dan menatap wajah orang lumpuh itu yang tampak cemas
harap-harap dalam ketidakberdayaannya.

Sungguh beruntung orang lumpuh itu. Ia mempunyai kawan-


kawan. Mereka itulah yang menggotong dia. Mereka memberi
semangat dan pengharapan. Hidup terasa bermakna lagi. Tanpa
kawan-kawan ini, orang lumpuh itu hanya terkulai seorang diri di
rumah. Sungguh baik hati sahabat-sahabatnya.”

Di bagian Alkitab yang lain terdapat juga contoh pergaulan dan


persahabatan yang baik. Contoh pergaulan dan persahabatan yang
baik tersebut terlihat dengan jelas pada kisah pergaulan dan
persahabatan antara Yonatan dan Daud yang dipaparkan oleh
Andar Ismail dalam buku Selamat Berteman (Ismail 2007, 10-
14). Ceritanya begini. Selamat Berteman.

“Yonatan adalah putra sulung Raja Saul. Pada waktu itu, yakni
sekitar tahun 1000 sM., kerajaan Israel sedang ditekan oleh
tentara Filistin yang jauh lebih besar. Hampir seluruh wilayah
kerajaan dikuasai tentara Filistin. Mereka menjarah rumah
orang Israel. Mereka menyita semua senjata orang Israel.
Bahkan semua peralatan tukang besi disita dengan maksud
mencegah orang Israel membuat senjata. Para petani harus
pergi kepada orang Filistin untuk mengasah alat pertanian
dengan bayaran yang tinggi. Hanya Yonatan dan Raja Saul
yang masih mempunyai senjata (lih. 1 Sam. 13:19-22).

224
Dalam pasukan kerajaan yang nyaris lumpuh itu, Yonatan
menjadi komandan. Ia berprestasi dengan gemilang. Ia
mengalahkan pasukan Filistin di Gerba. Raja Saul
memanfaatkan kemenangan itu untuk menimbulkan percaya
diri pada rakyat (lih. 1 Sam. 13:3-4).

Prestasi Yonatan yang kedua adalah di Mikhmas. Ia meminta


tanda pertolongan Tuhan. Kata Yonatan, “Mungkin TUHAN
akan bertindak untuk kita, sebab bagi TUHAN tidak sukar
untuk menolong, baik dengan banyak orang maupun dengan
sedikit orang” (1 Sam. 14:6). Dengan hanya ditemani oleh
seorang pembantunya, Yonatan mendekati perkemahan musuh.
Yonatan berpegang pada tanda bahwa jika musuh mengusir
dia, maka itu pertanda TUHAN tidak berkenan, namun jika
musuh menantang, maka itu pertanda TUHAN akan menolong.
Yonatan dan pembantunya menaiki bukit perkemahan musuh.
Dari kaki bukit itu Yonatan memperlihatkan diri. Tentara
musuh berteriak, “Naiklah ke mari, maka kami akan menghajar
kamu.” Segeralah Yonatan dan pembantunya merangkak ke
puncak bukit. Mereka bertarung. Pasukan musuh itu tewas di
tangan Yonatan. Penyerbuan Yonatan itu berdampak sebagai
perang urat syaraf yang menjatuhkan moral pihak musuh (lih.
1 Sam. 14-15). Tetapi kemenangan itu masih bersifat lokal.
Tentara musuh masih menguasai sebagian besar wilayah
kerajaan.
Pada suatu hari, di istananya, Yonatan melihat seorang pemuda
berkulit “kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok”
yang menjadi pegawai baru di istana. Pegawai itu bertugas
sebagai pemain kecapi yang menghibur Raja Saul. Yonatan
menyukai pemain kecapi itu. Sejak itu mereka berteman.
Pemuda itu bernama Daud. Tidak ada yang tahu bahwa
sebenarnya Daud sudah diurapi oleh Nabi Samuel untuk kelak
menjadi raja atas seluruh Israel (lih. 1 Sam. 16:1-13).

Sementara itu pasukan Israel semakin terdesak musuh.


Seorang pendekar musuh bernama Goliat menantang untuk
berduel. Tidak ada yang berani. Lalu Daud menawarkan diri.
Ternyata Daud menang.

Selanjutnya Yonatan menjadi lebih berteman dengan Daud.


Tertulis, ”..berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; dan
Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri” (1 Sam. 18:1).
Lalu mereka berdua mengikat perjanjian persahabatan.
Yonatan menanggalkan jubah dan pedangnya lalu
diserahkannya kepada Daud sebagai tanda persahabatan.

Setelah itu Yonatan mengikutsertakan Daud dalam


pasukannya. Daud selalu berprestasi gemilang. Penduduk kota
menyambut Daud dengan nyanyian dan tarian, “Saul
mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.”
Raja Saul cemas bahwa kedudukannya akan goyah oleh
popularitas Daud. Ia “selalu mendengki Daud.” Dua kali ia
mencoba membunuh Daud (lih. 1 Sam. 18:8-12).

Yonatan juga tahu bahwa popularitas Daud melebihi dirinya.


Sebenarny popularitas Daud merugikan kedudukan Yonatan
sebagai putra mahkota. Tetapi Yonatan tidak mendengki.
Tolok ukur kepribadian yang bisa

225
bersahabat adalah bersih dari iri dan dengki. Yonatan malah
membela Daud. Ujar Yonatan kepada ayahnya, “Janganlah raja
berbuat dosa terhadap Daud, hambanya, sebab ia tidak berbuat
dosa terhadapmu ...” (1 Sam. 19:4).

Pada kesempatan lain Yonatan membela lagi Daud di hadapan


raja. Yonatan tahu bahwa dengan demikian ia mempertaruhkan
nyawanya sendiri demi membela nyawa Daud. Ternyata benar,
rajamenjadi marah sehingga “melemparkan tombaknya kepada
Yonatan untuk membunuhnya” (1 Sam. 20:33).

Sekarang Yonatan tahu bahwa Daudbetul-betul dalam keadaan


terancam. Lalu Yonatan merelakan Dau untuk mengungsi dan
mengembara supaya tidak bisa dilacak oleh raja. Sebelum
berpisah mereka mengulangi lagi sumpah persahabatan
mereka. Tercatat, “Dan Yonatan menyuruh Daud sekali lagi
bersumpah demi kasihnya kepadanya, sebab ia mengasihi
Daud seperti dirinya sendiri” (1 Sam. 20:17). Lalu dicatat juga,
“Mereka bercium-ciuman dan bertangis-tangisan” (1 Sam.
20:41). Kehilangan sahabat adalah derita berat.

Ketika kemudian Yonatan mengetahui bahwa Daud terus


dikejar pasukan ayahnya, ia berusaha untuk menemukan Daud.
Di gurun Zif, Yonatan dan Daud bertemu lagi. Di situ Yonatan
“menguatkan kepercayaan Daud kepada Allah” dan
meneguhkan komitmennya bahwa meskipun ia berhak atas
jabatan raja, namun jabatan itu ia peruntukkan bagi Daud. Kata
Yonatan, “Janganlah takut, sebab tangan ayahku Saul tidak
akan menangkap engkau; engkau akan menjadi raja atas Israel,
dan aku akan menjadi orang kedua di bawahmu” (1 Sam.
23:17). Dalam ayat berikutnya dicatat, “Kemudian kedua
orang itu mengikat perjanjian di hadapan TUHAN.”

Bayangkan konflik batin Yonatan. Sahabatnya begitu dibenci


oleh ayahnya. Lalu bagaimana sikap Yonatan terhadap kedua
orang itu? Ia tetap mencintai keduanya. Ia terus mendampingi
ayahnya dalam pertempuran melawan Filistin. Pada suatu
pertempuran, baik Yonatan maupun Raja Saul dibantai oleh
musuh.

Mendengar berita kematian itu merataplah Daud. Ratapannya


dicatat dalam 2 Samuel 1:19-27. Salah satu syairnya berbunyi,
“Merasa susah aku karena engkau, saudaraku Yonatan, engkau
sangat ramah kepadaku; bagiku cintamu lebih ajaib daripada
cinta perempuan.”

Ketika kemudian Daud menjadi raja, ia mencari keluarga


Yonatan. Ia menampung di istananya Mefiboset, putra
Yonatan yang cacat kaki karena jatuh dalam serbuan tentara
musuh. Kata Daud kepada Mefiboset, “Janganlah takut, sebab
aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena
Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala
ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan
sehidangan dengan aku” (2 Sam. 9:7).

226
Maka, persahabatan antara Yonatan dan Daud diteruskan melalui
keturunannya. Sahabat sejati menjadi sahabat abadi. Sahabat
abadi terpatri sampai mati.”

Simaklah Amsal 13:20, “Siapa bergaul dengan orang bijak


menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi
malang.” Menurut Anda, apa sukanya bergaul dengan orang bijak
dan apa dukanya bergaul dengan orang bebal? Apa akibatnya jika
Anda bergaul dengan orang bijak dan orang bebal? Apa yang
perlu Anda lakukan agar bisa bergaul dengan orang bijak dan
tidak berteman dengan orang bebal? Apa maksud dan makna
Amsal 13:20? Silakan Anda mengemukakan argumen Anda yang
menunjukkan bahwa ada suka dan duka dalam pergaulan.

Setiap orang mesti bergaul. Orang yang sama sekali tidak bergaul
akan lekas mati. Oleh para ahli sosiologi, pergaulan disebut
interaksi. Interaksi bisa bersifat luas (bergaul dengan banyak
orang) atau bersifat frekuen (sering bergaul dengan orang). Dua
orang yang bersahabat secara kental tidak bergaul secara luas
tetapi frekuen, sedangkan seorang ekstrovert bergaul secara luas
tetapi hanya sebentar saja (Brouwer 1981, 2).
Sejak dilahirkan manusia memang sudah mempunyai naluri
untuk hidup berkumpul dengan orang-orang lain. Bahkan pada
suatu saat orang tadi dipisahkan dari orang-orang lain,
kemungkinan besar keseimbangan jiwanya akan mengalami
gangguan. Manusia mempunyai naluri untuk hidup berkumpul
dengan orang-orang lain, karena memang manusia itu tidak
diperlengkapi dengan alat-alat yang cukup untuk dapat hidup
sendiri di dunia. Oleh karena itu, gejala yang wajar jika manusia
selalu akan mencari kawan, baik semas dia baru dilahirkan,
maupun sampai dewasa. Selain itu, tidaklah terlalu
mengherankan bila muda- mudi senang hidup berkumpul dan
bergaul dengan kawan-kawannya, walaupun hal tersebut tidak
selalu akan membawa pengaruh-pengaruh yang baik. Sebab sukar
untuk disangkal bahwa di samping pengaruh-pengaruh baik atau
positif, pergaulan juga memiliki banyak pengaruh-pengaruh
buruk atau negatif. Apalagi kalau kawan-kawannya berasal dari
lingkungan sosial yang kurang baik.

Sebagai salah satu buktinya, mengendarai kendaraa bermotor


dengan ugal-ugalan adalah hasil dari pengaruh tidak baik dari
lingkungan. Salah satu penyebab penyalahgunaan narkotika
adalah pengaruh yang tidak baik dari lingkungan yang negatif
sifatnya.
227
Orang yang ekstrovert mempunyai bakat bergaul. Selain itu,
orang yang mempunyai bakat bergaul biasanya adalah orang yang
menyukai keramaian dan suka bertemu dengan banyak orang.
Sebaliknya, orang yang tidak bisa bergaul dengan orang lain
adalah orang yang bertipe introvert. Orang yang tidak bisa
bergaul dengan orang lain biasanya kalau bertemu orang lain
merasa tegang dan membenci keramaian. Di samping itu, perlu
diperhatikan juga adanya beberapa sifat yang menghalangi
pergaulan, seperti sikap sombong, egois, cerewet, kecenderungan
suka memaksa orang lain dan sebagainya.

Suka dan duka dalam pergaulan tentu saja ada, bahkan boleh
dikatakan banyak. Contoh sukanya adalah sebagai berikut. Anda
sedang sendirian di rumah karena anggota keluarga yang lain
sedang pergi. Sendiri adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.
Tiba-tiba datang seorang teman dan akhirnya Anda asyik
ngobrol. Dengan bergaul Anda juga dapatmencari jalan untuk
memecahkan persoalan yang Anda hadapi bersama dengan
teman. Mengatasi kesulitan bersama-sama tentu lebih mudah
daripada mengatasi sendirian. Sukanya bergaul yang lain adalah
saat Anda sakit. Teman-teman Anda akan mengunjungi Anda
dengan segera. Selain itu, ketika Anda dalam keadaan sedih dan
susah teman dapat menghibur dan memberikan nasihat-nasihat.
Pergaulan mendatangkan banyak keuntungan. Misalnya, setelah
Anda mulai bergaul lebih dekat dengan teman-teman kuliah,
Anda memeroleh keterangan bahwa dahulu mereka menganggap
bahwa Anda merupakan pribadi yang sombong, lebih senang
bermain dengan teman yang sama sekali tidak setingkat dengan
Anda. Keuntungan yang lain adalah bergaul dengan teman-teman
sangat menyenangkan sebab dengan bergaul Anda dapat
menghilangkan kekesalan yang ada dalam hati Anda. Anda dapat
bergembira bersama, bertukar pendapat dan dapat juga
menambah pengetahuan tentang hal-hal yang ada dalam
masyarakat. Anda butuh teman juga untuk menumpahkan seluruh
isi hati Anda yang memang belum tentu teman Anda dapat
membantu, tetapi minimal Anda merasa seolah-olah bebas bila
Anda telah mencurahkan isi hati Anda.

Dalam pergaulan Anda tidak boleh terlalu acuh atau akrab sebab
dalam pergaulan ada duka. Misalnya, Anda telah akrab dengan
seseorang. Apabila terjadi perselisihan dengan orang tersebut,
rahasia Anda bisa dibongkar semua. Sikap tersebut tidaklah benar
bagi persahabatan. Adapun duka pergaulan yang lain yang bisa
Anda alami ialah jika seseorang dari teman-

228
teman Anda menjauhi Anda dengan alasan yang tidak jelas,
mungkin iri atau yang lain yang Anda sendiri tidak tahu pasti.
Duka lain, misalnya, ada teman yang mulai mengucapkan fitnah
supaya nama Anda menjadi jelek dan dijauhi oleh teman lain.
Duka pergaulan yang lain lagi adalah terjadi salah paham dalam
pergaulan antara Anda dengan teman dan mengakibatkan
hubungan menjadi agak terganggu. Ada pula yang mau
menghargai teman yang bermobil saja, kaya raya, dan
sebagainya, tetapi tidak mau menghargai teman yang kurang
mampu sehingga dalam pergaulan, Anda dapat melihat adanya
kelompok-kelompok dalam pergaulan. Yang kaya dengan yang
kaya, sedangkan yang miskin dengan yang miskin. Di dalam
bergaul, kita juga sering mendapat kesukaran karena tidak semua
orang mempunyai sifat yang sama, ada yang sombong, ada yang
genit, ada yang egois dan sebagainya.

Simaklah Amsal 20:19! Dalam Amsal 20:19 terdapat nasihat agar


Anda jangan bergaul dengan orang yang bocor mulut. Menurut
Anda, mengapa Anda dilarang bergaul dengan orang yang bocor
mulut? Apa akibatnya jika Anda bergaul dengan orang yang
bocor mulut? Apa yang perlu Anda lakukan agar tidak bergaul
dengan orang yang bocor mulut? Apa maksud dan makna Amsal
20:19 yang menyatakan, “Siapa mengumpat, membuka rahasia,
sebab itu janganlah engkau bergaul dengan orang yang bocor
mulut.” Silakan Anda mengomunikasikan kepada rekan-rekan di
kelas tahap-tahap pergaulan yang harus dilewati dalam kehidupan
manusia!

Tulus Tu’u (1988, 33-36) membagi pergaulan muda-mudi ke


dalam lima tahap. Pertama, sifatnya terbatas pada persahabatan
biasa. Dalam tahap ini, hubungan seorang dengan yang lain
masih bebas tanpa ikatan. Seseorang dapat bergaul dengan siapa
saja. Tahap pertama ini adalah persahabatan biasa baik dengan
teman-teman sejenis maupun teman-teman lawan jenis. Pada
tahap ini, tidak ada pikiran tentang pernikahan atau hubungan
seksual dengan sahabat- sahabat itu. Pergaulan tahap ini dapat
terjadi di sekolah, di gereja, di rumah teman-teman, dan di
tempat-tempat yang lain. Tahap ini penting sekali karena di
dalamnya kita mengenal teman lawan jenis sebagai manusia dan
bukan sebagai objek seksual saja. Di dalam persahabatan ini, kita
bertukar pikiran, bekerja sama, dan mengalami saat-saat biasa
dan istimewa dengan orang-orang lawan jenis tanpa hubungan
asmara.
229
Sumber:http://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F
%2Fm.hai

Kedua, persahabatan yang lebih istimewa. Adalah lumrah


apabila ada dua jenis manusia yang berbeda kelamin itu menjalin
persahabatan yang lebih akrab dan istimewa. Hubungan ini
berdasarkan keinginan untuk lebih mengenal seorang atau
beberapa orang lawan jenis karena kita merasa tertarik kepada
mereka. Kita berusaha untuk mengenal mereka dengan lebih baik
dengan bercakap-cakap bersama di gereja, di kampus pada waktu
santai. Pada tahap ini pertemuan- pertemuan tidak selalu terjadi
secara kebetulan saja, tetapi berdasarkan usaha dan rencana untuk
bertemu. Namun, pertemuan-pertemuan ini tidak mengikat dua
orang yang bertemu. Selalu ada kebebasan untuk tidak bertemu
lagi. Pertemuan- pertemuan semacam ini juga tidak usah terbatas
kepada satu orang lain saja. Seorang laki-laki bisa berusaha untuk
lebih mengenal beberapa orang wanita. Begitu juga seorang
wanita bisa berusaha untuk lebih mengenal beberapa orang laki-
laki. Pada tahap persahabatan yang lebih istimewa ini tidak ada
kemesraan yang intim. Pada tahap ini pertemuan diadakan dalam
kelompok, bukan sebagai pasangan yang terlepas dari kelompok.
Misalnya, malam ini di pertemuan Pemuda Gereja, Budi dapat
bercakap-cakap dengan Tini dan Dewi. Besok di sekolah ia
bercakap-cakap dengan Yuli. Pada hari Sabtu, ia akan berenang
dengan rombongan pemuda. Ia mengetahui bahwa Tini juga akan
mengikuti rombongan itu, dan ia mempunyai harapan untuk
berbicara dengan Tini, walaupun ia juga akan bergaul dengan
kawan-kawannya yang lain. Dengan pertemuan-pertemuan
seperti ini, ia dapat lebih mengenal beberapa orang tanpa
membentuk hubungan erat yang mengikat. Hubungan-hubungan
pada tahap ini masih dicurigai oleh banyak orang. Tahap ini
sangat perlu

230
dikembangkan oleh pemuda-pemudi yang memerlukan
kesempatan untuk mengenal baik lebih banyak orang dari lawan
jenis. Dengan demikian, mereka dapat memilih bakal jodoh
mereka dengan lebih matang. Perkembangan tahap ini dapat juga
mencegah kecenderungan untuk terlalu lekas membentuk
hubungan yang terlalu intim dengan seorang dari lawan jenis.
Tidak jarang terjadi bahwa dua orang yang masih muda jatuh
cinta. Dengan cepat mereka menjadi mesra sekali. Hubungan ini
menghilangkan kesempatan mereka untuk mengenal orang-orang
lain dari lawan jenis dengan lebih baik. Hubungan ini juga dapat
menimbulkan godaan untuk mengadakan hubungan seksual yang
belum patut.

Ketiga, pacaran. Pergaulan tahap ini sepasang pemuda pemudi


melakukan suatu persetujuan bahwa mereka akan mengadakan
hubungan khusus dan akan menghentikan semua hubungan
khusus dan akrab yang lain dengan orang-orang dari lawan
jenisnya. Mereka masih ingin saling mengenal dengan lebih baik,
tetapi sekarang ada unsur yang baru. Mereka masih bebas untuk
memutuskan hubungan mereka, tetapi sekarang tindakan putus itu
perlu disertai pembicaraan bersamadan keterangan bersama yang
lebih dalam daripada yang diperlukan pada tahap- tahap
sebelumnya. Karena tujuan pokok tahap ini adalah lebih
mengenal pacar, mereka perlu banyak berbicara bersama dan
banyak menjalankan aktivitas- aktivitas bersama. Tahap ini perlu
makan waktu yang cukup lama sehingga mereka dapat
mengetahui apakah mereka benar-benar tepat untuk meneruskan
hubungan mereka ke tahap yang lebih dalam. Tahap pacaran ini
tidak selamanya diakhiri dengan perkawinan. Mungkin juga
terjadi perpisahan apabila ternyata ada ketidakcocokan yang
hakiki. Oleh sebab itu, prinsip yang berlaku dalam pacaran adalah
tidak melangkah jauh kepada kemesraan yang membuat tidak
dapat mengendalikan diri, harus menjaga kesucian diri masing-
masing dan dapat menahan diri tidak terbuai oleh cinta berahi.
Karena hubungan pacaran jelas masih dapat putus!

Keempat, bertunangan. Berbeda dengan semua tahap


sebelumnya, pertunangan biasanya berdasar atas perjanjian resmi
yang diumumkan kepada orang-orang lain. Perjanjian ini
berbunyi bahwa sepasang pemuda pemudi akan menuju
pernikahan. Tahap ini merupakan masa ujian. Mereka
memperdalam hubungan mereka dengan menguji apakah mereka
tepat menikah atau cocok membangun suatu rumah tangga. Ada
persetujuan bahwa mereka akan menikah kecuali kalau ternyata
suatu alasan kuat untuk tidak menikah. Pertunangan dapat
dibatalkan, tetapi pembatalan harus disertai
231
dengan alasan-alasan yang penting yang penuh tanggung jawab.
Biasanya pertunangan akan berakhir dalam pernikahan. Bila
ternyata bahwa mereka sebaiknya tidak menikah, mereka
sebaiknya berpisah sebelum pernikahan mereka terjadi.

Kelima, pernikahan. Pada tahap ini, ada dua unsur baru. Pertama,
hubungan antara dua orang itu sekarang tidak boleh diceraikan.
Menurut ajaran Kristen mereka yang telah menikah tidak boleh
dipisahkan kecuali oleh kematian. Kedua, mereka mulai hidup
bersama dan bersenggama. Unsur kedua berhubungan erat
dengan unsur pertama, karena senggama hanya tepat kalau
dilindungi oleh hubungan yang tidak dapat dihentikan. Dengan
demikian, senggama memperkuat hubungan itu. Sebaiknya,
pernikahan di catatan sipil diadakan pada waktu yang sama atau
hampir sama dengan pemberkatan pernikahan oleh gereja. Bila
pemberkatan dua orang ditunda sesudah pernikahan di catatan
sipil, timbul kebingungan tentang status hubungan mereka dalam
mata orang banyak dan mungkin juga dalam pikiran mereka
sendiri.

Pada setiap tahap dalam proses ini ada derajat kesetiaan dan
kemesraan yang patut. Pada tahap-tahap pertama, hubungan tidak
begitu mesra dan dapat dibatalkan dengan aga mudah. Pada
tahap-tahap terakhir hubungan menjadi makin mesra dan makin
sukar untuk dibatalkan. Dua orang perlu berusaha supaya
kemesraan dan keintiman mereka berjalan sejajar dengan
kesetiaan mereka. Kalau derajat kemesraan menjadi lebih tinggi
daripada derajat kesetiaan, banyak masalah bisa muncul.
Pemuda-pemudi Kristen sering bertanya, “Perilaku macam apa
yang patut antara pemuda dan pemudi sebelum mereka menikah?
Kami tahu bahwa persetubuhan tidak baik. Bagaimana dengan
berciuman, berpeluk-pelukan dan meraba-raba?” Praktik
berciuman, berpeluk-pelukan dan meraba-raba dianggap oleh
kaum muda sebagai suatu tindakan “yang biasa,” yang “tidak
perlu diganggu gugat lagi,” yang “tidak usah dijadikan bahan
cerita lagi.” Menurut Anda, benarkah demikian?

Pertanyaan ini penting tetapi, sayang, tidak bisa dijawab dengan


mudah. Soalnya, arti perbuatan-perbuatan seperti mencium dan
memeluk tidak sama untuk semua orang. Misalnya bagi Tono
mencium sekali waktu mengucapkan “Selamat malam,” cuma
sebagai tanda terima kasih, dan ia sama sekali tidak merasa
terangsang. Bagi Matius mencium dalam situasi yang sama
adalah tanda kemesraan yang sangat dalam yang sangat
merangsang nafsu berahi. Dalam masalah ini, seperti banyak
masalah yan lain, Alkitab tidak memberikan

232
petunjuk-petunjuk yang menerangkan secara spesifik bagaimana
kita seharusnya berbuat. Namun ada hal-hal yang perlu kita
pertimbangkan. Misalnya, Matius 5:28 bisa dijadikan salah satu
pertimbangan kita.

Ada pemuda-pemudi yang mencium, memeluk dan meraba-raba


hanya untuk mengalami sensasi tubuh. Kita perlu bertanya,
“Kalau tubuhku adalah bait Roh Kudus (1 Kor. 6:19), apakah aku
patut menggunakan tubuhku dan tubuh orang lain hanya untuk
iseng-iseng?” Kemesraan seksual adalah hubungan antara dua
orang manusia. Kemesraan seksual seharusnya menjadi tanda
bahwa satu orang ingin memberikan dirinya kepada yang lain.
Kalau perbuatan-perbuatan seksual dipakai hanya untuk mencari
sensasi saja, makna hubungan antara pria dan wanita dikorbankan
demi kepuasan sementara dan dangkal.

Masalah menjadi lebih kompleks kalau dua orang sungguh-


sungguh saling mencintai. Wajarlah kalau kita ingin menyentuh
orang yang kita cintai. Wajarlah kalau kita ingin mengutarakan
cinta kasih kita secara jasmani. Bila kita sungguh- sungguh
mencintai orang lain, kita menginginkan yang terbaik baginya.
Seorang wanita yang sungguh-sungguh mencintai seorang pria
tidak mau menciptakan situasi yang membuat pria itu sukar untuk
membatasi dirinya. Bila seorang pria sungguh-sungguh
mengasihi seorang wanita, ia tidak mau membawanya kepada
perbuatan-perbuatan yang membuat dia merasa malu pada esok
harinya. Ada tiga pertanyaan kepada diri sendiri yang dapat
menolong kita memutuskan apakah suatu perbuatan baik atau
buruk dalam hubungan kita dengan orang yang lain jenis
kelaminnya. Pertama, apakah saya berbuat demikian hanya untuk
memuaskan nafsu seks saya atau apakah perbuatan itu
menyatakan hormat dan kasih saya kepada partner saya? Kedua,
dengan perbuatan demikian, apakah hubungan kita menjadi lebih
mulia atau apakah perbuatan itu merosotkan penghargaan partner
saya terhadap saya? Ketiga, sesudah perbuatan itu, apakah kita
berdua akan merasa puas dan dapat menguasai diri atau apakah
perbuatan itu dapat merangsang nafsu yang sukar untuk dikuasai
dan menyebabkan perbuatan-perbuatan yang akan kita sesali?

Pria dan wanita yang bergaul bersama perlu bersikap jujur.


Misalnya, kalau kita mempunyai banyak teman yang lain jenis
kelaminnya di tahap kedua, kita jangan berkata kepada salah satu
orang, “Engkau yang satu-satunya bagiku.” Kejujuran
menjadikan hubungan kita lebih wajar dan memungkinkan dua
orang menentukan hubungan mereka tanpa kekecewaan yang
berlebihan.
233
Ada empat ciri persahabatan yang baik. Pertama, persahabatan
yang baik tidak mementingkan diri sendiri. Kedua, persahabatan
sejati bersifat teguh. Jika Anda ingin sungguh-sungguh
mengetahui berapa banyak sahabat yang Anda miliki dan siapa
mereka, buatlah kesalahan dan lihatlah apa yang terjadi. Setelah
Anda mengalami kesulitan, coba lihat berapa banyak sahabat
Anda yang masih setia kepada Anda. Persahabatan sejati itu
teguh. Ketiga, persahabatan sejati bersedia berkorban. Kalau
Anda ingin menjadi sahabat, Anda harus hidup dengan bersedia
berkorban bagi orang yang menerima persahabatan Anda.
Keempat, persahabatan sejati bersifat menyucikan.

Ada enam prinsip pergaulan yang sesuai dengan kebenaran


Alkitab. Pertama, kemuliaan bagi Allah. Kedua, demi kebaikan
manusia. Ketiga, kebaikan bagi diri sendiri. Keempat, saling
mempercayai. Kelima, saling menghargai. Keenam, saling
mengasihi. Kasih yang benar adalah kasih yang berasal dari
Kristus. Kasih yang seperti itu terlihat dari sifat tenggang rasa,
tidak suka perhitungan dengan teman, tahan diri untuk tidak
selalu membicarakan diri sendiri, rela berkorban dan suka
mengalah untuk menang. Kasih yang seperti itu mendasari
pergaulan yang menjadi sahabat lebih baik daripada saudara.
Karena orang yang seperti itu rela menerima sahabatnya
sebagaimana dia adanya. Dalam keadaan bagaimanapun, pada
saat kapanpun dan di mana pun tempatnya, dia tetap menjadi
“sahabat yang baik.”

Suka dan duka dalam pergaulan tentu saja ada, bahkan boleh
dikatakan banyak. Pergaulan mendatangkan banyak keuntungan.
Misalnya, setelah Anda mulai bergaul lebih dekat dengan teman-
teman sekelas Anda memeroleh keterangan bahwa dahulu mereka
menganggap bahwa Anda merupakan pribadi yang sombong,
lebih senang bermain dengan teman yang sama sekali tidak
setingkat dengan Anda. Dalam pergaulan, Anda tidak boleh
terlalu acuh atau akrab sebab dalam pergaulan ada duka.
Misalnya Anda telah akrab dengan seseorang dan apabila terjadi
perselisihan, bisa dibongkar semua rahasia padahal sikap tersebut
tidaklah benar bagi persahabatan.

Ada lima tahap dalam pergaulan muda-mudi. Pertama, sifatnya


terbatas pada persahabatan biasa. Kedua, persahabatan yang lebih
istimewa. Ketiga, pacaran. Keempat, bertunangan. Kelima,
pernikahan.
234
Amatilah pergaulan muda-mudi yang terjadi di daerah sekitar
Anda tinggal.

Setelah itu buatlah makalah dan presentasikan kepada dosen dan


rekan-rekan

Anda di kelas!
Ariarajah, Wesley. 1989. Alkitab dan Orang-orang yang
Berkepercayaan Lain. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Barbour, Ian. 1993.Ethics in an Age ofTechnology. San


Francisco: Harper.

Barbour, Ian. 1997.Religion and Science: Historical and


Contemporary
Issues.San Francisco: Harper.

Barbour, Ian. 2000. When Science Meets Religion. San Francisco:


Harper.

Baum, Gregory. 1975. Religion and Alienation: A Theological


Reading of Sociology. New York: Paulist Press.

Bertens, K. 2004. Sketsa-Sketsa Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Boland B.J. dan Niftrik. 1980. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK
GunungMulia. Brouwer, M.A.W. 1981. Pergaulan. Jakarta:
Gramedia.

Brownlee, Malcolm. 1986. Hai Pemuda, Pilihlah! Jakarta: BPK


Gunung Mulia.
Brownlee, Malcolm. 1993. Tugas Manusia dalam Dunia Milik
Tuhan.
Jakarta: BPK GunungMulia.

Chandra, Robby I. 2006. Pendidikan Menuju Manusia Mandiri.


Bandung: Generasi Infomedia.

Cogley, John. 1968. Religion in a Secular Age: The Search for


Final Meaning. New York: Frederik A Praeger Publishers.

Darmaputera, Eka. 1987.Etika Sederhana Untuk Semua. Jakarta: BPK


Gunung Mulia.

Darmaputera, Eka. 1996. “Ekonomi dan Ekologi” dalam Banawiratma,


J.B. (eds.). 1996.Iman, Ekonomi, danEkologi. Yogyakarta:
Kanisius (hal.120-133.)

Darmaputera, Eka. 2011. “Bentuk dan Dimensi Kerukunan Hidup


Antarumat Beragama di Indonesia” dalam Weinata Sairin
(ed.). 2011. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama
Kerukunan Berbangsa: Butir- butir Pemikiran. Jkarta: BPK
Gunung Mulia.103-106
Drummond, Celia Deane. 2001. Teologi & Ekologi. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. Fances, Eddy. 1993. Bertumbuh Menuju
Kesempurnaan. Yogyakarta: Yayasan ANDI.

Fletcher, Verne H. 2007.Lihatlah Sang Manusia: Suatu


Pendekatan pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

Gill, David W. 2000. Becoming Good: Building


Moral
Character.DownerGrove: InterVarsity Press.

Groome, Thomas H. 1980. Christian Religious Education:


Sharing Our Story and Vision.SanFrancisco: Harper.

Gunarsa, Singgih D., dan Yulia Singgih D. Gunarsa. 1997. Psikologi


untuk Muda- Mudi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hauwerwas, Stanley. 1981. A Community of Character: Toward


a Constructive

Christian Social Ethics. Notre Dame: University of Notre Dame


Press.
Ismail, Andar. 1995. Selamat Panjang Umur: 33 Renungan
tentang Hidup. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ismail, Andar. 2002. Selamat Sejahtera: 33 Renungan tentang
Kedamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ismail, Andar. 2007. Selamat Berteman: 33 Renungan tentang


Hubungan.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ismail, Andar. 2012. Selamat Berjuang: 33 Renungan


tentang Perjuangan Hidup.Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Kesler, Jay. 1994. “Keterbukaan: Kunci Menuju Persahabatan” dalam


Kesler, Jay (ed.) 1994. Pola Hidup Kristen. Malang: Gandum
Mas (hal.975-977).
Lickona, Thomas. 2004. Pendidikan Karakter.Yogyakarta:
Kreasi Wacana.

McDonald, H.D. 1981.The Christian View of Man. Westchester:


Crossway Book.

McGrath, Alister E. 1994.Christian Theology: An Introduction. Oxford:


Blacwell Publisher.

Ngelow, Zakaria J. 1993. “Dari Kerukunan Sampai Kritik Profetis:


Fungsi SosialAgama-agama di Indonesia Dewasa ini” dalam
Sumartana Th. (eds.). 1993. Terbit Sepucuk Taruk: Teologi
Kehidupan 60 Tahun Dr. Liem Khiem Yang. Jakarta: P3M
STTJ Balitbang PGI (hal.70-84).

Niebuhr, Reinhold. 1964.The Nature and Destiny of Man. New York:


Charles Scribner’s Son.

Osborne, Cecil G. 1996. Seni Bergaul. Jakarta: BPK Gunung


Mulia.

Pelikan, Jaroslav. 1990. The World Treasure of Modern Religious


Thought. Boston: Litle Brown and Company.

Polkinghorne, John. Belief in God in the Age of Science. New Haven: Yale
University Press.

Robun, Keely dkk. 1982. An Introduction to the Christian Faith.


Oxford: Lynx. Ryan, Kevin dan Bohlin, Karen E.
1999.Building Character in Schools: Practical Ways to Bring
Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey- Bass.

Sairin, Weinata. 1996. Iman Kristen dan Pergumulan Kekinian.


Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Selan, Ruth F. 1991. Membina Kepribadian yang Menarik. Jakarta:
Yayasan Pekabaran Injil “Immanuel.”

Singgih, E. G. 1999. “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan


yangBersifatMajemuk” dalam Tim Balitbang PGI (eds.).
1996.Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia:
Theologia Religionum. Jakarta: BPK Gunung Mulia (hal.100-
121).

Singgih, E.G. 1993. “Dasar Teologis dari Pemahaman mengenai


Keutuhan Ciptaan” dalam Sumartana, Th. (eds.). 1993. Terbit
Sepucuk Taruk: Teologi Kehidupan 60 Tahun Dr. Liem
Khiem Yang. Jakarta: P3M STTJ Balitbang PGI (hal. 241-
258).

Sitompul, Einar M. 2006. Gereja Menyikapi Perubahan. Jakarta: BPK


Gunung Mulia.

Smith, Huston. 2008.Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan


Obor.

Sproul, R.C. 1995.Sifat Allah: Mencari dan Menemukan Allah.


Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sreight, David. Ed. 2008.Parenting for Character: Five Experts,
Five Practices.Portland: CSEE.

Stott, John. 2005. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan


Kristiani.
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.

Sumartana, Th. 1994. “Ekonomi, Ekologi dan Etika” dalam


Banawiratma, Y.B. (eds.) Merawat & BerbagiKehidupan.
Yogyakarta: Kanisius (hal.109-123).

Supardan, ed. 1991.Ilmu, Teknologi dan Etika. Jakarta: BPK


Gunung Mulia.

Suseno, Franz Magnis. 2004. Menjadi Saksi Kristus di Tengah


Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor.

Tu’u, Tulus. 1988. Etika dan Pendidikan Seksual. Bandung:


Kalam Hidup.

Wagner, Michael F. An Historical Introduction to Moral Philosophy.


New Jersey: Prentice Hill.

Wilardjo, Liek. 2004. “Ilmu dan Agama di Perguruan Tinggi: Dipadukan


atau Diperbincangkan?” dalam Jurnal Waskita, Vol 1. No.1.
Yewangoe, A.A. 2002. Iman, Agama dan Masyarakat dalam
Negara Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai