Anda di halaman 1dari 135

PENDIDIKAN PANCASILA

R.A.INDRAWATI., S.Pd., M.Si

Materi ini Hanya digunakan Pada Lingkungan Sendiri Pada Mahasiswa Semester I
Jurusan Administrasi Negera

2
SAMPU

KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
hidayahnya berupa Kesehatan dan kesempatan sehingga dapat menyusun buku
acuan mata kuliah Pendidikan Pancasila ini.

Ucapan terimakasih kami haturkan kepada Prof. Dr. Dra. Hj. Andi
Cahaya, M.Si. selaku Rektor Universitas Cahaya Prima Bone yang telah memberi
kepercayaan dalam membawakan mata kuliah Pendidikan Pancasila. Tak lupa
pula saya maupun materil guna terselesaikannya modul ini tepat pada waktunya.
Semoga dapat memberi konstribusi dalam dunia pendidikan umumnya dan dalam
dunia perkuliahan di Universitas Cahaya Prima Bone khususnya saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan dari rekan-rekan Dosen dan juga dari
pembaca pada umumnya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA........................................................2
BAB I.......................................................................................................................5
A. Asal Mula Pancasila......................................................................................5
B. Tinjauan Pancasila dari Berbagai Segi..........................................................6
C. Dasar Pemikiran (Perlunya) Pendidikan Pancasila.....................................11
D. Sumber Pendidikan Pancasila.....................................................................15
BAB II....................................................................................................................18
A. Pancasila Pra kemerdekaan.........................................................................18
B. Era Kemerdekaan........................................................................................25
C. Orde Lama...................................................................................................28
D. Orde Baru....................................................................................................31
E. Era Reformasi.............................................................................................42
BAB III..................................................................................................................50
A. Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.........................................................................................................52
B. Penjabaran Pancasila dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945. .57
C. Implementasi Pancasila Dalam Pembuatan Kebijakan Negara Dalam
Bidang Politik, Ekonomi, Sosial Budaya Dan Hankam..............................62
BAB IV..................................................................................................................68
A. Pengertian Ideologi.....................................................................................68
B. Fungsi Ideologi...........................................................................................69
C. Sifat ideologi...............................................................................................71
D. Hakikat Pancasila sebagai Ideologi Negara................................................72
E. Pancasila dan Ideologi Dunia......................................................................72
F. Perbandingan Ideologi Pancasila Dengan Paham Ideologi Besar Lainnya
Di Dunia.............................................................................................................81
BAB V....................................................................................................................84
A. Pengertian Filsafat.......................................................................................84

ii
B. Pancasila sebagai system Filsafat...............................................................90
C. Kesatuan Sila-Sila Sebagai Sistem Filsafat................................................92
D. Hakikat Sila-Sila Pancasila.........................................................................96
E. Pentingnya Pancasila sebagai sistem Filsafat.............................................97
BAB VI..................................................................................................................99
A. Pengertian Etika..........................................................................................99
B. Aliran Besar Etika.....................................................................................103
C. Etika dan Agama.......................................................................................107
D. Konsep Pancasila Sebagai Sistem Etika...................................................108
E. Perlunya Pancasila Sebagai Sistem Etika.................................................114
BAB VII...............................................................................................................118
A. Ilmu dalam perspektif historis..............................................................118
B. Pilar-Pilar Penyangga Bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan................121
C. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah.............................................................123
D. Pentingnya Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu.......................123
E. Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu..........................................126
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................128

iii
PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA
Pancasila sebagai Mata Kuliah Wajib Kurikulum Pendidikan Tinggi
(MKWK-PT) memiliki posisi strategis dalam melakukan transmisi pengetahuan
dan transformasi sikap serta perilaku mahasiswa (masyarakat) Indonesia melalui
proses pembelajaran. Dalam upaya meningkatkan mutu lulusan dan pembentukan
karakter bangsa perlu dilakukan peningkatan dan perbaikan materi yang dinamis
mengikuti perkembangan yang senantiasa dilakukan terus menerus, dan
dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perkembangan zaman,
serta semangat bela negara dalam upaya mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara.
Sejak dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Nomor 84/E/KPT/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Mata Kuliah Wajib pada
Kurikulum Pendidikan Tinggi (MKWK), Dirjen Pendidikan terus mengadakan
sosialisasi mengenai kebijakan ini. Melalui MKWK, Dirjen Pendidikan menaruh
harapan kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk menyiapkan dan
menerapkannya dengan baik.
Seluruh mata kuliah wajib tersebut diberikan agar mahasiswa bisa memiliki
sumber daya manusia yang baik tanpa harus meninggalkan budaya dan adab dari
bangsa ini. Menurut Prof. Nizam, di dalam Pasal 35 (3) UU Nomor 12 tahun 2012,
kurikulum perguruan tinggi wajib memuat mata kuliah yang bisa membentuk karakter
mahasiswa. Beberapa mata kuliah tersebut adalah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan,
dan Bahasa Indonesia.
Keempat mata pelajaran tersebut tidak hanya dilihat dari knowledge
content saja. Namun bisa diterapkan dan meningkatkan kompetisi yang ada di dalam
diri mahasiswa. Kedepannya, mahasiswa bisa menghadapi kemajuan zaman dengan
tepat.
Dari hasil pembelajaran ini, tak hanya ilmu saja yang bisa diserap. Namun juga
perilaku yang bisa diadaptasi melalui program ini di berbagai konteks sosial. Mengingat
banyaknya berita dan krisis sosial yang sering terjadi akhir-akhir ini. Sehingga
mahasiswa bisa mengatasinya dan berpikir kritis untuk menyelesaikan hal itu.
Berdasarkan undang-undang Indonesia no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan
tinggi menjelaskan bahwa a. pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan

iv
nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora
serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan, b. Untuk
meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang,
diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya
dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran
untuk kepentingan bangsa; c. untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang
berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan
kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan
penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan
memperhatikan aspek demografis dan geografis; d untuk menjamin penyelenggaraan
pendidikan tinggi diperlukan pengaturan sebagai dasar dan kepastian hukum. Dari
penjelasan diatas undang-undang no. 12 kita dituntut sebagai pendidik tinggi
menjalankan tugas dan amanah secara terarah sehingga menghasilkan bibit-bibit yang
memiliki kualitas unggul dan dapat bersaing di era globalisasi terutama dalam mata
kuliah Pendidikan Pancasila. Bagaimana cara kita mengembangkan potensi yang dimiliki
peserta didik sehingga mereka bisa mencerna apa yang terjadi dimasa lalu, sekarang dan
masa kini .
Dalam pasal 4 undang-undang no 12 tahun 2012, Pendidikan tinggi memiliki
fungsi: a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang martabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b. Mengembangkan
Sivitas Akademika yang inovatif, responsive, kreatif,terampil, berdaya saing dan
kooperatif ; c. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan
dan menerapkan nilai humaniora.
Pasal 35 mengatur seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
bahan ajar,serta pedoman penyelenggara kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
Pendidikan tinggi sebagaimana memuat mata kuliah agama, Pancasila, kewarganegaraan
dan Bahasa.
Selain itu dalam keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Nomor
84/E/KPT/2020 tentang pedoman pelaksanaan mata kuliah wajib pada kurikulum
Pendidikan tinggi yang bersifat saling menunjang dan mendukung serta dilaksanakan
secara mandiri serta berfungsi untuk membentuk watak dan keadaban mahasiswa yang
bermartabat.

v
Tujuan dari Pendidikan tinggi ini untuk a) mengembangkan potensi yang dimilik
mahasiswa agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berahlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompoten dan
berbudaya untuk kepentingan bangsa. b) Menghasilkan lulusan yang menguasai cabang
Ilmu pengetahuan, atau teknologi untuk memenuhi
kepentingan nasioanal dan peningkatan daya saing. c) Menghasilkan penelitian
melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa,
peradaban, kesejahteraan umat manusia dan d) Terwujudnya pengabdian kepada
masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian yang bermanfaat dalam memajukan
kesejahteraan umum dan kecerdasan bangsa.

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Asal Mula Pancasila


Sebelum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman
dahulu kala. Nilai-nilai tersebut kemudian digali oleh para pendiri negara (the
founding father) dan dijadikan sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia.
Menurut Prof. Dr. Notonegoro, S.H. (dalam Kaelan, 1996) Pancasila kalau
ditinjau dari asal mulanya, atau sebab musabab Pancasila dapat dipakai
sebagai falsafah negara, maka Pancasila memenuhi syarat empat sebab
(kausalitas) yakni:
1. Causa Materialis (asal mula bahan)
Causa materialis artinya asal mula bahan, artinya sebelum
Pancasila dirumuskan sebagai asas kehidupan bangsa, maka unsur-unsur
Pancasila sudah ada sejak zaman dahulu, yang dapat dilihat dari adat
istiadat, kebudayaan, dan dalam agama-agama.
2. Causa Formalis (asal mula bentuk)
Causal formalis artinya asal mula bentuk atau bangunan. Hal ini
mengandung arti bahwa pembentuk negara dalam hal ini adalah Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai anggota BPUPKI bersama-sama
anggota BPUPKI lainnya merumuskan dan membahas Pancasila. Hal ini
juga disebut sebagai asal mula tujuan.
3. Causa Efisien (asal mula karya)
Causa efisien atau asal mula karya mengandung arti bahwa sejak
mulai dirumuskannya, dibahas dalam sidang BPUPKI pertama dan kedua,
juga dalam rangka proses pengesahan Pancasila oleh PPKI yang
menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara pada tanggal 18
Agustus 1945 sebagai asal mula karya. Juga di dalam Panitia Sembilan 22

vii
Juni 1945 yang merumuskan Piagam Jakarta yang memuat rancangan
dasar negara Pancasila sebagai asal mula sambungan.

4. Causa Finalis (asal mula tujuan)


Causa finalis atau asal mula tujuan yakni berkaitan dengan tujuan
dirumuskannya Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Panitia
Sembilan termasuk di dalamnya Ir.Soekarno dan Drs. Moh. Hatta,
menyusun Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945) pertama kali dibentuk,
dan yang memuat Pancasila. Kemudian BPUPKI menerima rancangan
tersebut dengan segala perubahannya. Hal ini dimaksudkan agar Pancasila
dijadikan dasar filsafat Negara Republik Indonesia. (Prof. Dr.Notonagoro,
1975, dalam Kaelan, 1996).

B. Tinjauan Pancasila dari Berbagai Segi


1. Pengertian Pancasila secara Etimologis
Pengertian Pancasila secara Etimologis. Bila dilihat secara harfiah
(Etimologis) “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta dari India (bahasa
kasta Brahmana), yang dapat dijabarkan dalam dua kata, yaitu Panca yang
berarti lima, dan Sila yang berarti dasar. Sehingga Pancasila berarti lima
dasar, yaitu lima Dasar Negara Republik Indonesia. Istilah “sila” juga bisa
berarti sebagai aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau
bangsa; kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun);
akhlak dan moral.
Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa Sansekerta perkataan
Pancasila memiliki dua macam arti, yaitu : “ panca” yang artinya “lima “
dan “syila” dengan vokal (i) pendek yang artinya “batu sendi”, atau “alas”,
atau “dasar, dan “syiila” dengan vokal (i) panjang, yang artinya “peraturan
tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.(Kaelan,
2004:21). Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama
bahasa Jawa diartikan “susila” yang memiliki hubungan dengan moralitas.
Oleh sebab itu secara etimologi kata “Pancasila’ yang dimaksudkan adalah

viii
istilah Pancasila dengan vokal (i) pendek yang memiliki makna “berbatu
sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun
istilah “Panca Syiila” dengan huruf (i) panjang, berarti lima aturan tingkah
laku yang penting.
Pancasila mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India.
Ajaran Budha bersumber pada kitab suci Tri Pitaka, yang terdiri atas tiga
macam buku besar yaitu: Suttha Pitaka, Abhidama Pitaka, dan Vinaya
Pitaka. Dalam ajaran budha terdapat ajaran moral untuk mencapai
Nirwana dengan melalui samadhi, dan setiap golongan berbeda kewajiban
moralnya. Adapun ajaran-ajaran moral tersebut adalah: Dasasyila,
Saptasyila, dan Pancasyila. Ajaran Pancasila menurut Budha adalah
merupakan lima aturan (larangan) atau five moral prenciples yang harus
ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut biasa atau awam, yang
larangan tersebut meliputi: Pertama: Panatipada veramani sikhapadam
samadiyani, maksudnya jangan mencabut nyawa atau membunuh. Kedua:
Dinna dana veramani shikapadam samadiyani, maksudnya: jangan
mengambil barang yang bukan haknya atau mencuri. Ketiga: Kameshu
micchacara veramani shikapadam samadiyani, maksudnya: janganlah
berbuat zina. Dan keempat Musawada veramani sikapadam samadiyani,
artinya janganlah berdusta. Dan yang kelima: Sura meraya masija pamada
tikana veramani, yang maksudnya: Janganlah meminum minumas keras
yang dapat memabukkan.
Berikutnya dengan masuknya kebudayaan India dan menyebarnya
agama Hindu dan Budha ke wilayah Nusantara, maka secara tidak
langsung ajaran Pancasila Budhismepun juga masuk ke dalam kepustakaan
jawa, terutama pada Jaman Majapahit. Oleh sebab itu di zaman kerajaan
Majapahit di bawah raja Hayam Wurk dan Maha Patih Gajah Mada,
terdapat keropak Negarakertagama (syair pujian) dalam pujangga istana
yang bernama Empu Prapanca (selesai 1365), yang berbunyi
“Yatnaggegwani pancasyiila kertasangskarbhisekaka kerama”, yang

ix
maksudnya: Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (Pancasila),
begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-penobatan.
Seiring dengan runtuhnya kerajaan Majapahit dan agama Islam
mulai berkembang di kerajaan Maja Pahit, namun sisa-sisa ajaran moral
Budha (Pancasila) terutama tentang berbagai larangan masih tetap dikenal
di masyarakat. Ajaran tersebut dikenal dengan 5 M atau lima Ma. Yaitu
larangan untuk mateni atau membunuh, larangan untuk maling atau
mencuri, larangan Madon atau main perempuan/berzina, larangan mabok
atau meminum minuman keras, dan larangan main atau berjudi.
2. Pengertian Pancasila secara Historis
Keinginan dalam merumuskan dasar negara selanjutnya diawali
pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritu Zyunbi Tyoosakai yang pada saat itu
dipimpin oleh Dr. K.R.T Radjiman Widyodiningrat. Sidang BPUPKI
Pertama dilaksanakan selama empat hari yakni yang dimulai pada tanggal
29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945.
Pidato pertama disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin (29 Mei
1945). Dalam pidatonya Mr.Muhammad Yamin menyampaikan tentang
gagasannya terhadap negara Indonesia yang akan dibentuk. Dalam
pidatonya yang berjudul “Pidato Untuk Konsep Negara Yang Merdeka”
Mr. Muhammad Yamin menguraikan tentang E’tat nation atau National
staat (negara kebangsaan) dan tujuan kemerdekaan dengan dasar
kemanusiaan (internasionalisme) dasar kedaulatan rakyat atau kedaulatan
Negara (Kaelan, 2013). Kemudian secara lisan Mr. Muhammad Yamin
menyampaikan usul secara lisan dan tulisan konsep dasar negara
Indonesia yakni:
a) Ketuhanan Yang Maha Esa.
b) Kebangsaan persatuan Indonesia.
c) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.

x
e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pidato kedua disampaikan oleh Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, pada
tanggal 31 Mei 1945. Pidato Mr. Soepomo ini lebih menekankan pada
negara persatuan, kebersamaan (paham integralistik) sebagai prinsip dasar
negara. Beberapa pokok pikiran yang disampaikan oleh Mr. Soepomo
tentang dasar negara yakni:
1) Mengusulkan pendirian negara berdasarkan negara kesatuan yang
bersifat integralistik atau negara nasional yang bersifat totaliter.
Negara yang totaliter yakni negara yang mengatasnamakan semua
golongan (baik golongan besar atau kecil).
2) Setiap warga negara harus hidup ber-Ketuhanan (taat kepada Tuhan
dalam setiap saat). Berkaitan dengan agama harus diserahkan kepada
setiap golongan-golongan agama yang bersangkutan.
3) Negara harus dibentuk suatu Badan Permusyawaratan. Hal ini
dilakukan agar pimpinan negara dapat bersatu jiwa dengan rakyat. 17
Kepala negara harus tetap bersama dengan wakil rakyat agar dapat
selalu merasakan rasa keadilan dan cita-cita bersama.
4) Sistem ekonomi hendaknya sesuai dengan asas kekeluargaan. Karena
kekeluargaan merupakan sifat dari masyarakat timur yang harus
dipelihara. Sistem ekonomi tolong menolong dan sistem koperasi
merupakan salah satu sistem dasar yang harus digunakan.
5) Berkaitan dengan hubungan antar bangsa, agar kiranya negara
Indonesia bersifat negara Asia Timur Raya sebagai bangsa Indonesia
yang asli.
Pidato ketiga, disampaikan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni
1945. Setelah menyampaikan panjang lebar pidatonya, maka Ir. Soekarno
mengusulkan dasar negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya
adalah:
1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia).
2) Internasionalisme (peri kemanusiaan).
3) Mufakat (demokrasi).

xi
4) Kesejahteraan sosial.
5) Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan).
Kelima asas atau dasar tersebut beliau mengajukan usul agar diberi
nama “Pancasila” yang beliau katakan atas saran dari seorang temannya
ahli bahasa, namun tidak disebutkan siapa nama ahli bahasa tersebut.
Kelima sila tersebut menurutnya dapat diperas menjadi tiga sila atau “Tri
Sila” yaitu 1) sosio nasional yaitu nasionalisme dan internasionalisme, 2)
sosio demokrasi yaitu demokrasi dengan kesejahteraan rakyat dan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketiga sila tersebut kemudian dapat diperas
lagi menjadi satu sila atau “Eka Sila” yang intinya adalah gotong royong.
3. Pengertian Pancasila sesuai Istilah Resmi
Istilah resmi adalah “Pancasila” atau “lima dasar” yang diusulkan
oleh Ir.Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 tepatnya dalam sidang Pertama
BPUPKI. Pada tanggal 1 Juni saat ini diperingati sebagai hari lahirnya
Pancasila. Hal ini karena pada tahun 1947 pidato Ir. Soekarno diterbitkan
dan dipublikasikan dengan diberi judul “lahirnya Pancasila”, sehingga
pada saat itu sangatlah popular bahwa 1 Juni disebut sebagai hari lahirnya
Pancasila.
a. Pengertian Pancasila secara Yuridis Secara yuridis (hukum)
pengertian Pancasila atau lima dasar terdapat dalam tata
urutan/rumusannya tercantum dalam alinea ke-empat Pembukaan
UUD 1945. Rumusan Pancasila tersebut yakni :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia.
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 ini kemudian
secara konstitusional menjadi rumusan yang sah dan benar sebagai

xii
dasar negara Indonesia yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945.

C. Dasar Pemikiran (Perlunya) Pendidikan Pancasila


Ada beberapa hal atau kondisi yang menjadi dasar pemikiran
pentingnya pendidikan Pancasila diberikan kepada mahasiswa pada khususnya
dan kepada bangsa Indonesia secara keseluruhan pada umumnya. Dasar
pemikiran tersebut antara lain:
1) Nilai-nilai perjuangan bangsa (semangat kebangsaan) telah mengalami
pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan dan telah mengalami
penurunan sampai pada titik kritis.
2) Pengaruh globalisasi, pengaruh negara maju, dan pengaruh kekuatan
lembaga-lembaga internasional yang telah sering menimbulkan berbagai
konflik kepentingan di kalangan bangsa Indonesia.
3) Pengaruh perkembangan IPTEKS, khususnya teknologi informasi,
komunikasi, dan transportasi yang membuat dunia menjadi semakin
transparan.
4) Pengaruh isu-isu/persoalan/permasalahan global (demokratisasi, HAM,
dan lingkungan hidup) yang sering dan telah mempengaruhi kondisi
nasional.
Berbagai kondisi di atas, secara langsung atau tidak langsung, jelas
akan mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan dari segenap
komponen bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pembinaan moral dan mental
spiritual berdasarkan nilai-nilai Pancasila perlu ditingkatkan dan mendapat
perhatian yang serius dan mendalam agar berbagai kemungkinan pengaruh
negatif dari keempat kondisi tersebut di atas dapat ditangkal dan diantisipasi.
Sebagaimana telah diketahui bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia telah dilaksanakan dalam kehidupan
bermasyarakat sejak sebelum Pancasila menjadi dasar negara. Sejak zaman
dahulu berbagai wilayah Nusantara ini mempunyai beberapa nilai yang
dipegang teguh oleh masyarakatnya seperti percaya adanya Tuhan Yang Maha

xiii
Esa, berperikemanusian, toleransi, gotong royong, musyawarah,
kesetiakawanan, dan menegakkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang
menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila belum dilaksanakan dengan baik
dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Diantara masalah
yang dihadapai bangsa Indonesia sekarang antara lain:
1. Masalah Korupsi
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa korupsi telah menyebabkan
terjadinya krisis ekonomi di Indonesia tahun 1998. Masalah korupsi
sampai sekarang masih terjadi, baik di pusat maupun di daerah. Indonesia
termasuk peringkat 64 dari 177 urutan negara paling korup di dunia tahun
2013
(Transparansi Internasional tahun 2013). Hal ini menunjukkan bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dasar negara belum
dilaksanakan oleh pejabat publik.
2. Masalah Disintegrasi Bangsa
Setelah terjadinya reformasi di Indonesia sejak tahun 1998
bermunculan masalah-masalah. Salah satu masalah dihadapi bangsa
Indonesia adalah masalah disintegrasi bangsa. Reformasi di Indonesia
disamping menghasilkan perbaikan-perbaikan dalam tatanan negara
Republik Indonesia.
juga memunculkan dampak negatif yaitu berkurangnya rasa
persatuan dan kesatuan bangsa. Akibatnya banyak bermunculan kerusuhan
misalnya kasus Aceh, Ambon, Dayak, Sampit dan lain-lain. Selain itu
otonomi daerah yang digulirkan untuk menjalankan pemerintahan di
daerah menyebabkan segelintir elit politik di daerah menganggap daerah
hanya boleh dipimpin dan dikuasai oleh putra daerah. Konflik-konflik
yang terjadi akibat disintegrasi bangsa tidak lain adalah karena kurangnya
pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.
3. Masalah Dekadensi Moral

xiv
Akhir-akhir ini fenomena materialisme dan hedonisme telah
mempengaruhi kehidupan bermasyarakat. Paham-paham tersebut telah
mengikis moralitas dan akhlak masyarakat khususnya generasi muda
Indonesia. Fenomena dekadensi moral tersebut banyak kita ketahui
melalui berbagai media, baik media cetak maupun media televisi dan alat
komunikasi lain yang telah berkembang
Munculnya masalah-masalah tersebut di atas tidak lain adalah
karena pemahaman dan penghayatan serta pengamalan terhadap nilai-nilai
Pancasila belum terwujud dengan baik sehingga Pendidikan Pancasila
sangat penting diajarkan di setiap jenjang pendidikan khususnya di
perguruan tinggi. Urgensi Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi ialah
agar mahasiswa tidak menyimpang dari jati diri bangsa yang merupakan
budaya sendiri sehingga memiliki pedoman dan kaidah penuntun dalam
berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari dengan berlandaskan
nilai-nilai Pancasila.
Selain itu urgensi Pendidikan Pancasila adalah agar dapat
memperkokoh jiwa kebangsaan mahasiswa sehingga menjadi pendorong
utama untuk merubah dan memperlihatkan sikap sebagai salah seorang
Pancasilais yang sejati dalam bertindak dan bertingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu Pendidikan
Pancasila bagi mahasiswa sebagai calon pemegang tongkat estafet
kepemimpinan bangsa untuk berbagai bidang tingkatan agar tidak
terpengaruh oleh paham-paham asing yang negatif yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. dengan pesat dewasa ini. Akibat
dekadensi moral tersebut 20 bermunculan perilaku tidak bermoraltersebut
bermunculan perilaku tidak bermoral, tidak senonoh, pelecehan seksual,
pembunuhan secara sadis, pemerkosaan dan lain sebagainya. Hal ini
terjadi karena tidak menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari.
4. Masalah Narkoba

xv
Masalah narkoba di Indonesia sekarang ini sangat menyedihkan
karena telah menyentuh hampir semua lapisan masyarakat, anak-anak,
remaja, pejabat Negara, seniman yang mengakibatkan dampak negatif bagi
keselamatan hidup bangsa Indonesia. Bagi generasi muda masalah ini
mengakibatkan masa depannya menjadi suram dan akan menjadi beban
pemerintah. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kepolisian Republik
Indonesia (POLRI) tahun 2013 POLRI telah menangani 32.470 kasus
narkoba, baik narkoba yang berjenis narkotika, narkoba yang berjenis
psikotropika maupun narkoba jenis bahan berbahaya lainnya. Angka ini
meningkat 5909 kasus dari tahun sebelumnya. Terjadinya penggunaan
bahan narkoba itu jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila
yang melarang mengkonsumsi makanan yang haram.
5. Masalah Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Kualitas penegakan hukum di Indonesia saat ini menjadi sorotan
yang sangat tajam. Tujuan hukum adalah untuk menegakkan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Salah satu tujuan dan gerakan reformasi adalah
mereformasi sistem hukum dan sekaligus meningkatkan kualitas
penegakan hukum. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas
penegakan hukum akan tetapi faktor dominan ialah manusianya.
Penegakan hukum yang baik sangat ditentukan oleh kesadaran hukum
masyarakat dan profesionalitas aparat penegak hukum. Di sinilah perlunya
mata kuliah Pendidikan Pancasila yaitu meningkatkan kesadaran hukum
para mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa.
6. Masalah Terorisme
Salah satu masalah besar yang dihadapi manusia sekarang ini
adalah terorisme, yaitu kelompok ekstrim yang melakukan kekerasan
kepada orang lain dengan melawan hukum dan mengatasnamakan agama.
Yang menjadi pertanyaan mengapa mereka begitu mudah terpengaruh
paham ekstrim tersebut? Sejumlah tokoh berasumsi bahwa lahirnya
terorisme disebabkan oleh himpitan ekonomi, rendahnya tingkat

xvi
pendidikan, dan pemahaman keagamaan yang kurang komprehensif
sehingga mereka mudah dipengaruhi oleh keyakinan ekstrim. Agama yang
sejatinya menuntun manusia berperilaku santun dan penuh kasih sayang
antara sesama manusia tanpa melihat latar belakang keyakinan dan
keturunan.
Munculnya masalah-masalah tersebut di atas tidak lain adalah
karena pemahaman dan penghayatan serta pengamalan terhadap nilai-nilai
Pancasila belum terwujud dengan baik sehingga Pendidikan Pancasila
sangat penting diajarkan di setiap jenjang pendidikan khususnya di
perguruan tinggi. Urgensi Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi ialah
agar mahasiswa tidak menyimpang dari jati diri bangsa yang merupakan
budaya sendiri sehingga memiliki pedoman dan kaidah penuntun dalam
berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari dengan berlandaskan
nilai-nilai Pancasila. Selain itu urgensi Pendidikan Pancasila adalah agar
dapat memperkokoh jiwa kebangsaan mahasiswa sehingga menjadi
pendorong utama untuk merubah dan memperlihatkan sikap sebagai salah
seorang Pancasilais yang sejati dalam bertindak dan bertingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu Pendidikan
Pancasila bagi mahasiswa sebagai calon pemegang tongkat estafet
kepemimpinan bangsa untuk berbagai bidang tingkatan agar tidak
terpengaruh oleh paham-paham asing yang negatif yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri.

D. Sumber Pendidikan Pancasila


1. Historis
Sejarah mempunyai makna yang sangat penting dalam membangun
kehidupan bangsa supaya lebih bijaksana di masa depan. Pentingnya
sejarah dalam membangun bangsa ditegaskan oleh Soekarno presiden
pertama Indonesia, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Hal ini
dipertegas oleh salah seorang fisuf Yunani yang bernama Cicero (106-
43SM) yang menyatakan bahwa “Sejarah memberikan kearifan”. Pendapat

xvii
umum menegaskan bahwa “Sejarah merupakan guru yang sangat berharga
dalam kehidupan”. Dengan demikian pengayaan materi Pendidikan
Pancasila melalui pendekatan historis adalah amat penting untuk belajar
dari sejarah bangsa Indonesia guna mewujudkan kejayaan bangsa
Indonesia di kemudian hari. Melalui pendekatan historis ini mahasiswa
diharapkan dapat mengambil pelajaran atau hikmah dari berbagai sejarah,
baik sejarah nasional maupun sejarah bangsa-bangsa lain.
Dengan pendekatan historis, mahasiswa diharapkan akan
memperoleh inspirasi untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa
sesuai dengan program studi masing-masing, sekaligus dapat berperan
serta secara aktif dan arif dalam berbagai kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta berusaha menghindari perilaku yang bernuansa
mengulangi kesalahan sejarah.
2. Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar individu
dalam masyarakat. Di dalamnya mengkaji antara lain latar belakang
susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok
masyarakat serta mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan
pembaharuan dalam masyarakat. Soekarno (1982) menegaskan bahwa
dalam perspektif sosiologis suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat
memiliki nilainilai tertentu. Melalui pendekatan sosiologis ini juga
diharapkan dapat mengkaji struktur sosial, proses sosial, termasuk
perubahan-perubahan sosial dan masalah-masalah sosial yang patut
disikapi secara arif dengan menggunakan standar nilai-nilai Pancasila
dasar negara.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia
mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara pada suatu asas yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu
sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung
dalam sila-sila Pancasila bukan hanya hasil konseptual seseorang saja,
melainkan juga hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri melalui proses
refleksi filosofis para pendiri negara

xviii
3. Sumber Yuridis Pendidikan Pancasila.
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), artinya
penyelenggaraan pemerintahan negara harus berdasarkan hukum (rule of
law). Pancasila sebagai dasar negara merupakan landasan dan sumber
dalam membentuk dan menyelenggarakan negara hukum tersebut. Ini
berarti pendekatan yuridis merupakan salah satu pendekatan dalam
pengembangan atau pengayaan materi mata kuliah Pendidikan Pancasila.
Adapun yang menjadi pendekatan yuridis materi mata kuliah Pendidikan
Pancasila ialah UUD 1945, Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah,
Keppres, Perda dan produk hukum lain sebagai implementasi Pancasila
dasar negara Republik Indonesia. Melalui pendekatan yuridis akan
terwujud pelaksanaan negara Indonesia sebagai negara hukum.
4. Sumber Politik Pendidikan Pancasila
Salah satu sumber pengayaan materi Pendidikan Pancasila adalah
berasal dari fenomena kehidupan politik bangsa Indonesia. Pancasila
sebagai dasar negara merupakan ideologi politik bangsa Indonesia yang
mengandung nilai-nilai dan kaidah penuntun dalam mewujudkan tata tertib
sosial yang ideal. Hal ini sejalan dengan pendapat Budiarjo (1998) yang
menyatakan sebagai berikut:
Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai, ide-ide, norma-norma,
kepercayaan, dan keyakinan, suatu ”Weltanschaung”, yang dimiliki
seseorang atau sekelompok orang. Atas dasar mana dia menentukan
sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya dan
yang menentukan tingkah laku politiknya.
5. Landasan Pokok Pendidikan Pancasila
Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea IV menjadi dasar pertama
untuk mempelajari Pancasila tersebut. Berdasarkan pokok pikiran IV
menegaskan adanya kewajiban bagi pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara agar memelihara budi pekerti yang luhur. Ini berarti
supaya seluruh rakyat Indonesia berbudi luhur sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dasar negara. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999
tentang Pendidikan Tinggi Pasal 13 ayat (2) menegaskan bahwa kurikulum

xix
yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang secara lebih terperinci Pendidikan Pancasila diatur
dalam surat keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi. SK Dirjen
Dikti Nomor 38/Dikti/Kep/2002 yang isinya bahwa Pendidikan Pancasila
merupakan salah satu komponen dari Mata kuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa di
perguruan tinggi.

BAB II
PANCASILA SEBAGAI KAJIAN SEJARAH

BANGSA INDONESIA

Presiden Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan


sejarah”. Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai
fungsi yang beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani
yang bernama Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae
Magistra”, yang bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang
lebih umum yaitu “sejarah merupakan guru kehidupan”.
Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa
menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang masa. Hal tersebut disebabkan
ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and deepen” identitas Bangsa
Indonesia. Ia lebih dari itu. Ia adalah identitas Bangsa Indonesia sendiri sepanjang
masa. Sejak Pancasila digali kembali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan
Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan identitas
yang dormant, yang “tertidur” dan yang “terbius”selama kolonialisme”

A. Pancasila Pra kemerdekaan


Ketika itu Dr. Radjiman Widiodiningrat selaku ketua Badan dan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal
29 Mei 1945 meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (negara)
Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan anamnesis yang
memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang, hal ini yang

xx
mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohaniaan, kepribadian,
wawasan bangsa yang terpendam lumpur sejarah. Begitu lamanya penjajahan
dibumi pertiwi menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam menentukan
dasar negara. Dengan permintaan DR. Radjiman, inilah figur-figur negarawan
bangsa Indonesia nerpikir keras untuk menemukan Kembali jati diri bangsa
Indonesia.
Pada sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 tampil
berturut-turut untuk berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar negara.
Rumusan Moh. Yamin secara lisan dan tertulis diusulkannya pada sidang
pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Adapun rumusan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Peri kebangsaan.
2) Peri kemanusian.
3) Peri Ketuhanan.
4) Peri kerakyatan.
5) Kesejahteraan rakyat.
Di depan Sidang pertama BPUPKI Ir. Soekarno menyebutkan lima
dasar negara, beliau juga menawarkan kemungkinan, sekiranya ada yang tidak
menyukai bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari
segala dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila
bahkan dapat dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila. Tri Sila meliputi: socio-
nationalisme, socio democratie dan ke-Tuhanan. Sedangkan Eka Sila yang
dijelaskan oleh Ir. Soekarno yaitu “Gotong Royong” karena menurut Ir.
Soekarno negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong.
Tetapi yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila (disamping
nama Trisila dan Ekasila yang tidak terpilih). Ini bukan merupakan kelemahan
Ir. Soekarno, melainkan merefleksikan keluasan wawasan dan kesiapan
berdialog dari seorang negarawan besar. Faktanya Ir, Soekarno diakhir sejarah
terbukti sebagai penggali Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.
Setelah sidang pertama BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan
sengit yang disebabkan perbedaan pendapat. Karena apabila dilihat lebih

xxi
jauh para anggota BPUPKI terdiri dari elit Nasionalis netral agama, elit
Nasionalis Muslim dan elit Nasionalis Kristen. Elit Nasionalis Muslim di
BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar Negara, namun dengan kesadaran
yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik antara Nasionalis netral
agama dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati Piagam Jakarta (22
Juni 1945) yang berisi “tujuh kata”: “…dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang
Maha Esa” ” (Risalah Sidang BPUPKI, 1995; Anshari, 1981; Darmodihardjo,
1991). Kesepakatan peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan
legowo demi kepentingan nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus
Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit Muslim
sendiri tidak ingin republik yang dibentuk ini merupakan negara berbasis
agama tertentu
Rumusan ini disebut rumusan secara lisan karena disampaikan pada
waktu beliau berpidato di depan sidang BPUPKI. Setelah Moh. Yamin
menyampaikan pidatonya dia menyampaikan pula usul tertulis berupa
rancangan Undang-undang Dasar Negara Merdeka yang dalam pembukaannya
termuat lima rumusan dasar negara sebagai berikut:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Kebangsaan dan persatuan Indonesia.
3) Rasa kemanusian yang adil dan beradab.
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 31 Mei 1945 pada sidang pertama hari ketiga dari
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Prof. Soepomo mendapat kesempatan menyampaikan pemikirannya mengenai
dasar negara yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1) Persatuan
2) Kekeluargaan
3) Keseimbangan lahir dan batin

xxii
4) Musyawarah
5) Keadilan rakyat
Selanjutnya dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno
mendapat kesempatan menyampaikan pokok pikiran mengenai dasar negara
yang rumusannya adalah sebagai berikut :
1) Kebangsaan Indonesia
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
3) Mufakat atau demokrasi
4) Kesejahteraan sosial
5) Ketuhanan yang berkebudayaan
Kemudian pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan
dekrit yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden 5 Juli
1959 mencerminkan suasana kembali ke UUD 1945 sehingga rumusan
Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 berlaku sebagai dasar
negara sampai sekarang.
Sidang kedua BPUPKI (10-16 Juli 1945): Perumusan Rancangan
Undang-undang Dasar (RUUD) terdapat peristiwa:
a) Pada sidang II ini dibentuk Panitia Perancang UUD (19 orang) diketuai
oleh Ir. Soekarno, kemudian panitia ini juga membentuk Panitia Kecil
(Panitia 7) diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo.
b) Pada tgl 14 Juli, BPUPKI sepakat menerima Naskah Piagam Jakarta
sebagai Rancangan Pembukaan UUD, termasuk rumusan dan sistematika
Dasar Filsafat Negaranya.
c) Pada sidang paripurna terakhir (16 Juli) diterima pula UUD hasil rumusan
Panitia Perancang UUD, dan Rancangan UUD inilah pada akhirnya
ditetapkan dan disahkan oleh PPKI sebagai UUD Negara RI pada tanggal
18 Agustus 1945, yang terdiri dari:
(1) Pembukaan (4 Alinea).
(2) Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, 2 ayat
Aturan Tambahan).
(3) Penjelasan (resmi autentik) UUD 1945, yang disusun oleh Soepomo.

xxiii
Selain itu Pancasila dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia bisa
dibagi ke dalam beberapa masa:
1. Perjuangan sebelum abad XX
Penjajahan Eropa yang memusnahkan kemakmuran bangsa
Indonesia itu tidak dibiarkan begitu saja oleh segenap bangsa Indonesia.
Sejak semula, imprialis itu menjejakkan kakinya di Indonesia, di mana-
mana bangsa Indonesia melawannya dengan semangat patriotik melalui
perlawanan secara fisik.
Kita mengenal nama-nama pahlawan bangsa yang berjuang dengan
gigih melawan penjajah. Pada abad ke-XVII dan XVIII perlawanan
terhadap penjajah digerakkan oleh Sultan Agung (Mataram 1645), Sultan
Ageng Tirtayasa dan Ki Tapa di Banten (1650), Hasanuddin di Makasar
1660), Iskandar Muda di Aceh (1635), Untung Surapati dan Trunojoyo di
Jawa Timur (1670), Ibnu Iskandar di Minangkabau (1680), dan lain-lain.
Pada permulaan abad ke-XIX penjajah Belanda mengubah sistem
kolonialismenya yang semula berbentuk perseroan dagang partikelir yang
bernama VOC berganti dengan badan pemerintahan resmi, yaitu
pemerintahan Hindia Belanda. Semula pernah terjadi pergeseran
pemerintahan penjajahan dari Hindia Belanda kepada Inggris, tetapi tidak
berjalan lama dan segera kembali kepada Belanda lagi. Dalam usaha
memperkuat kolonialismenya, Belanda menghadapi perlawanan bangsa
Indonesia yang dipimpin oleh Patimura (1817), Imam Bonjol di
Minangkabau (1822-1837), Diponegoro di Mataram (1825-1830),
Badaruddin di Palembang (1817), Pangeran Antasari di Kalimantan
(1860), Jelantik di Bali (1850), Anang Agung Made di Lombok (1895),
Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro dan Cut Nya' Din di Aceh (1873-1904),
Si Singamangaraja di Batak (1900).
Pada hakikatnya perlawanan terhadap Belanda itu terjadi hampir di
setiap daerah di Indonesia. Akan tetapi, perlawanan-perlawanan secara
fisik terjadi secara sendiri-sendiri di setiap daerah. Tidak adanya persatuan
serta koordinasi dalam melakukan perlawanan sehingga tidak berhasilnya

xxiv
bangsa Indonesia mengusir kolonialis, sebaliknya semakin memperkukuh
kedudukan penjajah. Hal ini membuktikan betapa pentingnya rasa
persatuan (nasionalisme) dalam menghadapi penjajahan.
Kerajaan pada abad ke VII muncul di Sumatra (Palembang)
Kerajaan Sriwijaya sebagai Kerajaan nasional pertama di Indonesia
dibawah oleh Dinasti Syailendra dengan Raja Balaputra . Sebagai negara
maritim, Sriwijaya mempersatukan seluruh nusantara sampai abad XII.
Selama enam abad Sriwijaya banyak mencatat peninggalan sejarah salah
satu Candi Borobudur yang menunjukkan pusat kegiatan agama Budha di
Asia Tenggara. Kerajaan Majapahit di dirikan oleh Raden Wijaya di
bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk di damping oleh Mahapatih
Gajah Mada. Wilayahnya meliputi seluruh nusantara , tidak hanya itu
dalam buku Negarakertagama karangan Mpu Prapanca memiliki hubungan
persahabatan politik luar negeri . Berkat “Sumpah Palapa “ ini terkenal
dapat mempersatukan seluruh nusantara. Dalam buku Kuno Sutasoma
karangan Mpu Tantular berisi semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka
Tunggal Ika” pada masa ini agama Hindu dan Budha dapat hidup
berdampingan secara tertib, tanpa benturan hal ini yang menunjukkan
toleransi diantara umat beragama dijunjung tinggi bahkan salah satu
kekuasaan mereka pada saat itu telah memeluk agama islam.
Kerajaan Islam tertua di Indonesia berada di Sumatra Utara yaitu
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Raja I bernama Sultan Malik
Al Saleh yang akhirnya di tundukkan oleh portugis tahun 1522. Dan
banyaknya kerajaan-kerajaan di bumi nusantara yang tdak dapat
dijabarkan satu persatu pada masa itu. Dalam bidang keagamaan terlihat
bahwa agama hindu, budha, dan islam dapat diterima masyarakat pada saat
bersamaan tanpa paksaan dan benturan.
2. Perjuangan setelah abad XX
Awal abad XX, muncul gerakan anti penjajah bangsa Barat, seperti
Republik Filipina (1898) dipelopori dr. Jose Rizal; kemenangan Jepang
melawan Rusia di Tsusima (1905); gerakan dr. Sun Yat Sen, yang

xxv
membentuk Republik Cina (1911), Partai Kongres di India yang melawan
Inggris.
Menurut R. Kennedy dalam buku The Science of Man in the World
of Crisis, pendidikan dapat dipandang sebagai sebuah dinamit bagi sistem
kolonial, dan menurut H. Colijn, merupakan tragedi politik kolonial,
karena ia membentuk dan membangun kekuatan- kekuatan yang di
kemudian hari akan melawan pemerintah kolonial. Pada 20 Mei 1908, dr.
Wahidin Sudirohoesodo, Soetomo, dan banyak dari pemuda pelajar
Sekolah Kedokteran Jawa mendirikan organisasi Boedi Oetomo di Batavia
(Jakarta). Organisasi ini memiliki tujuan pada bidang pendidikan, buday,a
dan politik. Peristiwa pendirian Boedi Oetomo 20 Mei 1908, diperingati
oleh bangsa Indonesia sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pada 1909, mulai bermunculan organisasi elit terdidik dengan
identitas suku, antara lain Sarekat Ambon, Jong Java, Sarekat Pasundan,
Sarekat Sumatera, Jong Minahasa, Timorsch Bond, Kaum Betawi, Jong
Islamieten Bond, Pakempalan Politik Katolik Djawi dll Selain itu, pada
1909 lahir Sarekat Dagang Islam, dipelopori Tirtoadisurjo di Batavia
(Jakarta), yang pada mendorong H. Samanhudi di Solo, seorang pedagang
batik. Untuk membentuk organisasi yang sama. Tujuannya untuk
menyejajarkan pedagang pribumi Islam dengan pengusaha Cina
(Golongan Timur Asing). Organisasi ini kemudian berubah menjadi
Sarekat Islam (1911) yang digerakkan oleh HOS Tjokroaminoto (1882-
1934), seorang lulusan OSVIA di Surabaya, yang nanti pindah ke Jakarta.
Pada tahun 1913, lahir Indische Partij di Bandung yang dipimpin
Douwes Dekker, Tjiptomangunkusumo, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara); Partai Komunis Indonesia (PKI, 1924) dengan tokohnya
Darsono dan Semaun. PKI melakukan pemberontakan tahun 1926/1927,
tetapi gagal. Tokohnya ditangkap, dibuang ke Digul (Irian Jaya) dan
sebagian lari ke luar negeri. Tokoh awal pendiri ide sosial demokratis yang
revolusioner adalah H.J.FM Sneevliet yang mendirikan Indische Social
Democratische Vereniging (ISDV) di Semarang yang beraliran kiri, yang

xxvi
akhirnya menjadi partai Komunis pertama di Asia yang berada di luar
negeri, Uni Soviet; Partai Nasional Indonesia (PNI, 1927) dipelopori
Soekarno, Tjiptomangunkusumo, Sartono, dll. Pimpinan PNI ditangkap
dan diadili karena dianggap memberontak (1930). PNI dibubarkan dan
dibentuk Partai Indonesia (Partindo, 1930). Mereka, yang tidak setuju,
membentuk Pendidikan Nasional Indonesia atau Partai Nasional Indonesia
Pendidikan/PNI Baru, dengan tokohnya Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.
Kemudian, Moh. Hatta, Syahrir, dan Soekarno ditangkap.
Tahun 1939 organisasi nasionalis Indonesia, kecuali PNI Baru,
membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menghendaki
dibentuknya parlemen penuh bagi Indonesia. Muncul partai yang lebih
moderat seperti Partai Indonesia Raya (Parindra, 1935), Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo, 1937), dengan taktik koperasi.
3. Sumpah pemuda 1928
Tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peristiwa sejarah
perjuangan bangsa Indonesia mencapai cita-citanya. Pemuda-pemuda
Indonesia yang di pelopori oleh Muh. Yamin, Kuncoro Purbopranoto, dan
lain-lain mengumandangkan sumpah pemuda yang berisi pengakuan akan
adanya bangsa, tanah air, dan bahasa satu, yaitu Indonesia.
Melalui sumpah pemuda ini, makin tegaslah apa yang diinginkan
oleh bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan tanah air dan bangsa. Oleh
karena itu, diperlukan perjuangan Bangsa Indonesia adanya persatuan
sebagai suatu bangsa yang merupakan syarat mutlak. Sebagai tali pengikat
persatuan itu adalah bahasa Indonesia.
Sebagai realisasi perjuangan bangsa, pada tahun 1930 berdirilah
Partai Indonesia yang disingkat dengan Partindo (1931) sebagai pengganti
PNI yang dibubarkan. Kemudian golongan Demokrat yang terdiri atas
Moh. Hatta dan Sutan Syahrir mendirikan PNI Baru, dengan semboyan
kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.

B. Era Kemerdekaan
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima

xxvii
oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang.
Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI menegaskan
keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom kedua
dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan
sekutunya. Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya.
Untuk merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16
Agustus 1945 terjadi perundingan antara golongan muda dan golongan
tua dalam penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai
pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo di ruang makan
Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol No 1.
Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda)
mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks
proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik.
Isi Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan
semangat yang tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.
Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-
kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara Republik
Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San
Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo 15 Agustus 1945) itu ialah
sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh
sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945,
setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”, diubah
menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai bangsa yang telah merdeka, bangsa Indonesia memiliki hak
untuk mulai Menyusun program-program dalam rangka rencana mengisi
kemerdekaan. berdasarkan cita-cita nasional yang berdasarkan Pancasila dan

xxviii
Undang-undang Dasar 1945 memiliki tujuan nasional yaitu :
1. Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan
4. Ikut dalam ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi
dan keadilan sosial
Isi teks proklamasi Indonesia

Pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan


Indonesia (PPKI) berhasil merumuskan Pancasila dasar negara yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan Pancasila tanggal 18 Agusutus 1945 adalah rumusan


dasar negara yang berlaku sampai 27 Desember 1949. Sejak tanggal 27
Desember 1949 sampai tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku
Konstitusi RIS 1949. Adapun rumusan dasar negara dalam Mukadimah

xxix
Konstitusi RIS 1949 adalah sebagai berikut:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Perikemanusiaan
3) Kebangsaan
4) Kerakyatan
5) Keadilan sosial

Pada tanggal 17 Agustus 1950 sampai tanggal 5 Juli 1959 terdapat


pula rumusan Pancasila pada pembukaan UUDS 1950 yaitu:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Perikemanusiaan
3) Kebangsaan
4) Kerakyatan
5) Keadilan Sosial
Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil merumuskan
Pancasila dalam Piagam Jakarta yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
C. Orde Lama
Orde lama berlangsung pada tahun 1959-1966, sebelum memasuki
tahun Pemilu tahun 1955, dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi harapan
masyarakat, bahkan kestabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun
hankam. Keadaan ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
a. Makin berkuasanya modal-modal raksasa terhadap perekonomian
Indonesia.
b. Akibat silih bergantinya Kabinet, maka pemerintah tidak mampu
menyalurkan dinamika masyarakat ke arah pembangunan, terutama

xxx
pembangunan bidang ekonomi.
c. Sistem liberal berdasarkan UUDS 1950 mengakibatkan kabinet jatuh
bangun sehingga pemerintahan tidak stabil.
d. Pemilu 1955 ternyata dalam DPR tidak mencerminkan perimbangan
kekuasaan politik yang sebenarnya hidup dalam masyarakat, karena
banyak golongan- golongan di daerah-daerah belum terwakili di DPR.
e. Konstituante yang bertugas membentuk UUD yang baru ternyata gagal
Atas dasar hal tersebut Presiden menyatakan, bahwa negara dalam
keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa
serta keselamatan negara. Untuk itu, Presiden mengeluarkan dekrit pada
tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut adalah sebagai berikut:
1. Membubarkan Konstituante.
2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUDS
1950.
3. Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dengan dasar pemikiran supaya tidak terulang lagi peristiwa di masa
lampau, maka pada waktu itu Presiden Soekarno sebagai kepala eksekutif
menerapkan demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin adalah suatu paham
demokrasi yang tidak didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme-nasional,
fasisme, dan komunisme, tetapi oleh suatu paham demokrasi yang didasarkan
kepada keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia, seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 yang menuju kepada suatu tujuan masyarakat
adil dan makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai
dengan cita-cita Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Keluarnya dekrit menempatkan posisi Presiden Soekarno sangat kuat,
sehingga mengukuhkan dirinya sebagai presiden yang mempunyai kekuasaan
besar. Menurut Prof. M. Mardojo, S.H. dalam Darji Darmodiharjo, et al
(1991). pandangan waktu itu berpokok pangkal pada berlakunya suatu
"Revolusi Permanen" di bawah seorang Pemimpin Besar Revolusi (PBR) yang
mengatur dan mengemudikan revolusi itu. Revolusi itu melahirkan hukum-
hukum revolusi, maka PBR-lah yang menganggap dirinya paling berhak

xxxi
mengemudikan hukum-hukum revolusi itu, yang dilakukannya dengan melalui
peraturan-peraturan seperti penetapan presiden (Penpres), keputusan presiden
(Keppres) dan peraturan presiden (Perpres). Dengan demikian, revolusi
dianggap sebagai sumber dari sumber hukum dan merupakan hukum tertinggi
dalam negara yang menurut Prof. M. Mardojo, S.H. di atas dan di luar UUD
1945, sehingga PBR merasa berhak mengeluarkan peraturan-peraturan yang
sering bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UUD 1945.
Di bidang politik, terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden,
yakni semua anggota lembaga tertinggi dan tinggi negara seperti MPRS, DPR-
GR, dan DPAS diangkat oleh presiden. Proses ke arah pemusatan kekuasaan
itu dikritik dan dikoreksi antara lain oleh Drs. Moh. Hatta (mantan wakil
presiden) yang telah mengundurkan diri dari jabatannya pada 20 Juli 1956
yang mulai berlaku sejak 1 Desember 1956, serta tokoh-tokoh politik lainnya
terutama dari tokoh Partai Masyumi dan PSI. Tetapi, kritikan dan koreksi
tersebut tidak ada artinya, pemusatan kekuasaan di tangan presiden pun terus
terjadi.
Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno, dibentuklah cabinet yang
semua menterinya diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada
presiden. Nama-nama kabinet yang dibentuk yaitu Kabinet Kerja I (10 Juli
1959-18 Februari 1960), Kabinet Kerja II (18 Februari 1960-6 Maret 1962),
Kabinet Kerja III (6 Maret 1962- Agustus 1964)Kabinet Kerja IV (13
November 1963 (13 November 1963-27, Kabinet Dwikora 1 (27 Agustus
1964-22 Februari 1966), Kabinet Dwikora II (24 Februari 1966-28 Maret
1966), Kabinet Dwikora III (28 Maret 1966-25 Juli 1966) Ampera I (25 Juli
1966-17 Oktober 1967), Kabinet Ampera II, Kabinet (17 Oktober 1967-6 Juni
1968)
Nama Kabinet Dwikora disesuaikan dengan perjuangan melawan
terbentuknya Negara Malaysia yang dianggap sebagai ciptaan Inggris,
sehingga ada komando dari Presiden Soekarno yang dikenal Dwi Komando
Rakyat (Dwikora). Sedangkan, Kabinet Ampera diambilkan dari Amanat
Penderitaan Rakyat (Ampera) yang bertepatan dengan tahun 1966 setelah

xxxii
muncul berbagai macam aksi mahasiswa, pemuda, masyarakat untuk
memperjuangkan penderitaan rakyat, karena keadaan ekonomi negara yang
kurang baik.
Namun, pelaksanaan demokrasi terpimpin itu (dalam menyimak arti
yang sebenarnya) justru bertentangan dengan Pancasila, yang berlaku adalah
keinginan dan ambisi politik pemimpin sendiri. Kebijakan yang menyimpang
dari UUD 1945 dalam bidang politik adalah sebagai berikut :
1. Pembubaran DPR hasil pemilu tahun 1955 melalui Penetapan Presiden
No. 1 tahun 1960 dengan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPR- GR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden
2. Pembentukan MPRS yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
3. Pembentukan DPA dan MA dengan penetapan Presiden dan anggotanya
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
4. Lembaga-lembaga negara, seperti yang disebutkan di atas dipimpin sendiri
oleh Presiden.
5. Mengangkat Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. II/
MPRS/1963 dan Tap. MPR No. III/MPRS/1963.
6. Melalui ketetapan MPRS No. I/MPRS/1963 Manifesto politik dari
Presiden dijadikan GBHN.
7. Hak budget DPR tidak berjalan, karena pemerintah tidak mengajukan
RUU APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya
tahun anggaran yang bersangkutan. Karena DPR tidak menyetujui
rancangan APBN yang diajukan Presiden, maka DPR dibubarkan tahun
1960.
8. Menteri-menteri diperbolehkan menjabat sebagai Ketua MPRS, DPR-GR,
DPA, MA, MPRS, dan DPR-GR yang seharusnya menjadi lembaga
perwakilan rakyat yang tugasnya mengawasi jalannya pemerintahan,
malah sebaliknya harus tunduk kepada kebijakan Presiden

xxxiii
D. Orde Baru
Perubahan dari masa orde lama ke orde baru diawali setelah gagalnya
pemberontakan G30 S/PKI yang terjadi pada tanggal 30 september 1965.
Pemberontakan tersebut telah mengakibatkan gugurnya pahlawan revolusi.
Letjen TNI A. Yani. Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI Haryono MT.
Mayjen TNI S. Parman. Brigjen TNI Sutojo S, Brigjen TNI D.I. Pandjaitan.
Sedangkan. Jenderal A.H. Nasution lolos dari penculikan walaupun putrinya
gugur ditembak oleh penculik. Pemberontakan (G 30 S/PKI) dipimpin oleh
Politbiro CC PKI D. N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan Sudisman yang,
melalui biro khusus sentral, memerintahkan Letkol Inf. Untung untuk
melakukan pemberontakan. Selain itu, beberapa perwira Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Kepolisian, dan Angkatan Udara juga terlibat dalam
pemberontakan tersebut. Pemberontakan ini telah membentuk Dewan
Revolusi, yang dipimpin Letkol Inf. Untung dengan wakil Brigjen Supardjo,
Letkol Udara Heru A. Kol. Laut Sunardi, dan AKBP Anwas yang diumumkan
melalui RRI Jakarta dan disiarkan ke seluruh Indonesia. Pemberontakan dapat
ditumpas oleh Kostrad, RPKAD (sekarang Kopassus) dan satuan ABRI
lainnya yang dipimpin oleh Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto, sehingga
terjadi polarisasi kekuatan pemberontakan di lapangan terbang Halim Perdana
Kusuma dan kekuatan penumpas pemberontakan markas kostrad.
Peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 oleh Partai
Komunis Indonesia atau G 30 S/PKI telah memicu rakyat antikomunis/PKI
melakukan gerakan perlawanan secara meluas ke berbagai wilayah Indonesia
menuntut pembubaran PKI kepada Presiden Soekarno. Kekuatan rakyat
tersebut tergabung dalam organisasi Front Pancasila, dibentuk pada 4 Mei
1966, sebagai wadah persatuan dan kesatuan rakyat sebagai sarana perjuangan
untuk mengamankan Pancasila, yang terdiri dari organisasi partai
politik,organisasi massa, yaitu NU, PSII, Katholik, IPKI, Parkindo, Perti, PNI,
Muhammadiyah, SOKSI, dan Gasbiindo). Selain itu, muncul kesatuan aksi
pada masyarakat seperti KAMI, KAPI, KAPPI, KASI, KAGI, KABI, KAWI,
dan lain-lain. Pada 10 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia

xxxiv
(KAMI) mencetuskan tiga tuntutan rakyat dikenal dengan Tri Tuntutan
Rakyat (Tritura). Tokoh-tokoh KAMI seperti Abdul Gafur, Cosmas Batubara,
Zamroni, Akbar Tanjung, Mar'i Muhammad, David Napitupulu, Fahmi Idris,
dan lain-lain bersama-sama Front Pancasila sangat berperan mendorong ke
arah perubahan tatanan baru di Indonesia yang menyangkut penataan kembali
kehidupan kenegaraan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Pada 25
Februari 1966, Presiden Soekarno mengadakan rapat KOGAM sebagai
pengganti KOTI dan mengambil keputusan membubarkan KAMI dengan
Surat Keputusan Presiden Nomor 41/KOGAM/1966 tanggal 26 Februari
1966. Pembubaran KAMI tidak menimbulkan masalah bagi eksponen KAMI
dalam berjuang menegakkan Orde Baru melawan Orde Lama, karena
dukungan sebagian besar rakyat yang menuntut perubahan telah merata di
seluruh Indonesia. Tema perjuangan telah bergeser menuntut tegaknya tatanan
baru yang didasarkan atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen, yang selama masa Orde Lama telah diselewengkan.
Presiden Soekarno memberi tugas kepada Mayjen Soeharto selain
sebagai Panglima Kostrad juga Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban, untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban, karena telah terjadi konflik horizontal
antara rakyat prokomunis dan antikomunis. Pada 11 Maret 1966, Kabinet
Dwikora yang mengadakan sidang di Istana Negara tidak berlangsung lama
dan Presiden Soekarno meninggalkan sidang menuju ke istana Bogor.
Kepergian Presiden Soekarno ke Bogor, diikuti oleh tiga orang perwira tinggi
TNI-AD, yaitu Mayjen TNI Basuki Rachmat (Menteri Urusan Veteran),
Brigjen TNI M. Jusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Brigjen TNI Amir
Machmud (Pangdam V/Jaya), dengan maksud agar Presiden Soekarno tidak
merasa terpencil dan supaya yakin bahwa ABRI khususnya TNI AD tidak ada
masalah dengan Presiden Soekarno. Pada saat itu, Presiden Soekarno memberi
perintah tertulis kepada Letjen Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat,
yang dikenal dengan sebutan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Isi Supersemar sebagai berikut:

xxxv
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnnya
keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan
jalan revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewajiban
pimpinan/presiden/panglima tertinggi/pimpinan besar revolusi/ mandataris
MPRS untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia, dan
melaksanakan dengan segala ajaran pimpinan besar revolusi
2. Mengadakan koordimasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima -
panglima angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya
3. Melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan
tanggung jawabnya
Berdasarkan kewenangan itu, pada 12 Maret 1966, Letjen Soeharto
atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS
menandatangani Surat Keputusan Presiden/Pangti/ Mandataris MPRS/PBR
No.1/3/1966, tentang pembubaran PKI dan organisasi yang bernaung dan
berlindung di bawahnya serta menyatakan sebagai organisasi terlarang di
seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia.
Pergantian Presiden Soekarno ke jendral Soeharto sebagai pejabat
presiden terjadi pada sidang istomewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1976,
pada tanggl 21-30 Maret 1968 diadakan Sidang Umum V MPRS yang
mengangkat jabatan Lima Tahun . berbagai pemikiran tersebut dijadikan
landasan kerja pemerintah Orde baru, karena dukungan dan dorongan
masyarakat untuk Kembali melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsukuen. Kesepekatan utama ity , disebut Konsensus Nasional
(Nugroho Notosusanto, et.al,1985). Kemudian dituang dalam Tap MPRS
Nomor XX/MPRS/1966. Konsensus kedua adalah consensus antara partai-
partai politik dan pemerintahan mengenai RUU tentang kepartaian,
keormasan, dan kekaryaan, RUU tentang pemilihan UMum/ anggota –
anggota MPR dan DPR, RUU tentang susunan MPR, DPR, DPRD menjadi
UU. RUU tersebut diajukan sejak November 1966 dan disahkan oleh DPR-
GR pada 1968, setelah melalui proses dialog yang Panjang
Dengan berakhirnya pemerintahan Soekarno dalam orde lama,

xxxvi
dimulailah pemerintahan baru yang dikenal dengan orde baru, yaitu suatu
tatanan kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang menuntut dilaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni daan konsenkuen. Munculnya orde
baru diawali dengan tuntutan aksi-aksi dari seluruh masyarakat, seperti
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI), dan lain-lain. Tuntutan mereka dikenal dengan nama
Tritura. Isi tuntutan tersebut sebagai berikut.
a. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
b. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI.
c. Penurunan harga.
Orde baru mengambil tugas utamanya, yaitu penciptaan ketertiban
politik dan kemantapan ekonomi. Oleh karena itu, orde baru segera
mengambil jarak dengan kelompok-kelompok yang kuat orientasi
ideologisnya. Pemimpin orde baru segera menyusun birokrasi yang
mendukung kebijakannya. Diciptakan ABRI yang loyal di bawah
komandonya. Semua lembaga negara baik supra maupun infrastruktur
ditentukan kepemimpinan atas dasar loyalitas kepadanya. ekonomi.
Setelah Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto
yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi
mulai diperbaiki. kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto
mengatakan, "Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin
bulat tekad kita mempertahankan Pancasila". Selain itu, Presiden Soeharto
juga mengatakan, "Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk
dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar
dikeramatkan dalam naskah UUD melainkan Pancasila harus diamalkan".
Pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi Presiden
No 12 Tahun 1968 yang menjadikan panduan dalam mengucapkan Pancasila
sebagai dasar negara yaitu,
Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab.

xxxvii
Tiga : Persatuan Indonesia.
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968.
Pada tanggal 22 Maret 1978 dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa) Pasal 4 menjelaskan, "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik pusat maupun daerah dan dilaksanakan secara bulat dan
utuh".
Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 36 butir sebagai berikut :
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab
b. Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina
kerukunan hidup
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan
kewajiban antara sesama manusia
b. Saling mencintai sesama manusia
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro

xxxviii
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia,
i. Karena itu, dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja
sama
dengan bangsa lain
3. Sila Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan
bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
c. Cinta tanah air dan bangsa
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan.
a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
e. Dengan kad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil keputusan musyawarah
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur
g. Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat

xxxix
manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan
5. Sila Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia
a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g. Tidak bersifat boros.
h. Tidak bergaya hidup mewah.
i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
j. Suka bekerja keras.
k. Menghargai hasil karya orang lain.
l. Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.

Produk hukum yang dihasilkan masa orde baru:


1. Tap MPRS (1) Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia, yang dikenal dengan pengukuhan
Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar);
2. Tap MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-
lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada posisi dan Fungsi diatur
dalam UUD 1945
3. Tap MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum, yang
dilaksanakan selambat-lambatnya pada 5 Juli 1968;
4. Tap MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan
Kebijaksanaan Politik Luar Negeri;
5. Tap MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera;

xl
6. Tap MPR Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia
Ad Hoc MPRS yang Bertugas Melakukan Penelitian Lembaga-lembaga
Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan di antara Lembaga-
Lembaga Negara Menurut Sistem UUD 1945, Penyusunan Rencana
Penjelasan Pelengkap UUD 1945 dalam penyusunan perincian Hak asasi
Manusia
7. Tap MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil
Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, dalam Tap ini
MPRS tidak mengadakan pemilihan wakil presiden, dan apabila presiden
berhalangan maka pemegang Supersemar memegang jabatan presiden
yang didamping oleh Pimpinan MPRS dan DPR-GR;
8. Tap MPRS Nam XVII/ MPRS/1966 tentang Pengertian Mandataris
MPRS, berisi penegasan status dan kewajiban Presiden sebagai
Mandataris MPRS:
9. Taps MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi
yang menegaskan bahwa Pemimpin Besar Revolusi adalah perdikar untuk
fungsi kepemimpinan yang sudah dimiliki oleh Bung Karno mengingat
jasa-jasanya kepada nusa, bangsa, dan revolusi dan predikat tersebut tidak
membawa wewenang hukum:
10. Tap MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap
MPRS Nomor III/MPRS/1963 mengenai Pengangkaran Pemimpin Besar
Revolusi menjadi Presiden Seumur Hidup:
11. Tap MPRSNomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-
produk Legislatif Negara di luar Produk MPRS yang Tidak Sesuai dengan
UUD 1945, seperti Penetapan Presiden Peraturan Presiden. UU, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang yang
bertentangan dengan UUD 1945:
12. Tap MPRS Nomor XX/ MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
Mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia;

xli
13. Tap MPRS Nomor XXV/ MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI.
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/
Marxisme- Leninisme;
14. Tap MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia
Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno:
15. Tap MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan
Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan pembangunan
16. Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan kekuasaan
pemrintag negara dari Presiden Soekarno dan Mengangkat Jenderal
Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga pemilihan Presiden oleh MPR
hasil pemilihan umum:
17. Tap MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang Peninjauan Kembali Tap
MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesta Politik Republik Indonesia
sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara
18. Tap MPRS Nomor XXXVIII/MPRS/1968 tentang Pencabutan Tap MPRS
Nomor II/MPRS/1960, Nomor IV/MPRS/1963. Nomor V/MPRS/1965,
Nomor VI/MPRS/1965 dan Nomor VII MPRS/1965;
19. Tap MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban
Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia,
yaitu Jenderal Soeharto menggantikan Presiden Soekarno:
20. Tap MPRS Nomor XXXVII/ MPRS/1968 tentang Pencabutan Tap MPRS
Nomor VIII/MPRS/ 1965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan
yang Dipimpinm oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan, Tap ini dinamakan Ketetapan tentang Pedoman Pelaksanaan
Demokrasi;
21. Tap MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa);
22. Tap MPR Nomor 111/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan
Tarakerja Lembaga tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga

xlii
Tinggi Negara;
23. Ketetapan MPR Nomor IV/ MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara;
24. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan
Wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia:
25. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1978 tentang Pelimpahan Tugas dan
Wewenang kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Rangka
Pengsuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional;
26. Tap MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum:
27. UU No. 16/1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD,
yang dilakukan penyempurnaan sesuai dengan runtutan
28. UU No. 3 /1967 tentang Susunan dan Kedudukan Dewan Pertimbangan
Agung
29. UU No. 5/1973 tentang Susunan dan kedudukan Badan Pemeriksa
Keuangan
30. UU No. 14/1970 tentang pokok-pokok Kehakiman.

Kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan Orde Baru


1. Kelebihan
a. Meningkatkan Gros Domestic produk perkapita Indonesia yang
sebelumnya hanya mencapai $70 berhasil melonjak naik menjadi
$1000 pada tahun 1996
b. Berhasil melakukan Program Keluarga Berencana yang pada masa
sebelumnya tidak dilakukan
c. Semakin banyak rakyat yang pintar membaca dan menulis sehingga
tingkat pengangguran berkurang.
d. Kebutuhan pangan rakyat terpenuhi
e. Kestabilan keamanan negara semakin meningkat
f. Sukses melaksanakan gerakan wajib belajar dan gerakan nasional
orang tua asuh
g. Rencana pembangunan Lima Tahun sukses dilaksanakan

xliii
h. Sudah mulai bekerja sama dengan pihak asing dan banyak menerima
pinjaman dana dari luar.
2. Kekurangan
a. Meningkatnya Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pada semua
kalangan Masyarakat
b. Pembangunan negara tidak merata, dan terdapat perbedaan signifikan
antara pembangunan pada pusat dan di daerah
c. Rasa ketidakpuasaan rakyat bermunculan diberbagai daerah di
Indonesia seperti Aceh dan Papua yang tidak tersentuh oleh
Pembangunan
d. Kekuasaan yang berkelanjutan dan tidak terdapat tanda-tanda akan
mundur
e. Hak Asasi Manusia masih banyak dikekang, dan kekerasan banyak
digunakan sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai macam
permasalahan.
f. Banyak koran dan majalah yang dihentikan penerbitan dan
peredarannya secara paksa, karena dianggap tidak sepaham dengan
pemerintah sehingga menyebabkan kebebasan pers sangat terbatas
g. Kebebasan berpendapat masih sangat terkekang yang melawan akan
menghilang
h. Terdapat kesenjangan sosial bagi si kaya dan si miskin dimana orang
kaya yang memiliki hanya yang lebih baik jika dibandingkan dengan
orang miskin. Orang kaya lebih berkuasa.

E. Era Reformasi
Awal keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan mundurnya
Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan
dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan kedudukan
Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi
Pembanguna Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan
transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi

xliv
secara menyeluruh, terutama perubahan paket UU politik tahun 1985,
kemudian diikuti dengan reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan
hukum. Yang lebih mendasar reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi
dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan
sendirinya harus dilakukan melalui pemilu secepatnya.
Oleh karena itu pergerakan reformasi yang bertujuan mengembalikan
tatanan kehidupan kenegaraan ke arah sumber nilai dasarnya yang merupakan
platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama ini diselewengkan
demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa Orde Lama maupun Orde
Baru. Proses reformasi harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas
dan merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta
platform yang jelas dan bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itulah yang
merupakan paradigma reformasi total tersebut.
Sesungguhnya gerakan reformasi di Indonesia yang dimulai pada
masa pemerintahan Orde Baru yang tersebut bermula dari model penerapan
sistem "birokratik otoritarian" dan sistem keberpihakan "korporatik" yang
menyebabkan terjadinya krisis ekonomi Asia terutama Asia Tenggara yang
menyebabkan stabilitas politik menjadi goyah. Sistem ini ditandai dengan
konsentrasi kekuasaan dan partisipasi di dalam pembuatan keputusan-
keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan penguasa
negara, kelompok militer, kelompok cerdik cendekiawan dan kelompok
wiraswasta bekerja sama dengan masyarakat bisnis internasional. Kondisi dari
kebijakan tersebut tentu saja membuat ekonomi masyarakat kecil dan
menengah tidak kuat. Akibatnya, pada pertengahan tahun 1997, Indonesia
mengalami goncangan krisis ekonomi yang memporak-porandakan sendi
kehidupan warga negaranya. Harga-harga yang melambung tinggi
menyebabkan daya beli masyarakat menurun drastis karena pendapatan yang
tidak pasti. sementara nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama
dolar Amerika semakin merosot tajam. Menyikapi hal tersebut pemerintah
Indonesia menempuh beberapa kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas

xlv
perekonomian kita. Namun hal tersebut tidak berdampak signifikan terhadap
perekonomian kita, namun justru semakin memperparah keadaan yang
sebelumnya sudah sangat parah.
Ditambah lagi dengan merajalelanya praktik Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme pada hampir seluruh instansi pemerintahan, serta penyalahgunaan
kekuasaan dan jabatan di kalangan para pejabat dan pelaksana pemerintahan.
Para wakil-wakil rakyat yang seharusnya membawa amanat rakyat dalam
kenyataannya tidak dapat berfungsi secara demokratis, DPR serta MPR
menjadi mandul karena sendi-sendi demokrasi telah dijangkiti penyakit
nepotisme. Pancasila yang seharusnya sebagai sumber nilai, dasar moral etik
bagi negara dan aparat pelaksana negara dalam kenyataannya digunakan
sebagai alat legitimasi politik, semua kebijaksanaan dan tindakan pengusaha
mengatasnamakan Pancasila, bahkan kebijaksanaan dan tindakan yang
bertentangan sekalipun diistilahkan sebagai pelaksanaan Pancasila yang murni
dan konsekuen. Kondisi yang sangat ironi ini menyebabkan negara
dihadapkan pada ambang kehancurannya. Oleh karena itu, tuntutan reformasi
disegala sendi kehidupan bernegara mencuat pada periode 1998 menjadi
alasantepat untuk mengembalikan bangsa ini ke jalur yang sesuai dengan
ketentuan Pancasila.
Seperti halnya penjelasan di atas, jika kita melihat sedikit ke belakang,
hantaman krisis pada tahun 1997 tersebut ternyata tidak hanya memporak-
porandakan sendi-sendi perekonomian Indonesia, namun juga menghantam
kehidupan politik dan sosial di Indonesia. Pada aspek politik, masyarakat
sudah tidak lagi mempercayai pemerintah, sehingga gelombang anti
pemerintah bermunculan bagai "cendawan di musim hujan" di hampir seluruh
wilayah Indonesia. Demonstrasi massif yang dipelopori oleh pergerakan
mahasiswa, cendekiawan, kaum intelektual dan berbagai kelompok
masyarakat lainnya semakin menimbulkan kekacauan yang = berujung pada
terjadinya instabilitas politik di Indonesia. Kondisi yang kian parah, di tambah
gelombang demonstrasi yang terjadi di hampir seluruh penjuru Indonesia
membuat pemerintah tidak mampu lagi mengendalikan kondisi negara.

xlvi
Tuntutan besar dating dari elit politik dan masyarakat secara umum berujung
pada pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Era ini
sekaligus menandai berakhirnya masa suarm rezim otoriter yang dipimpin
oleh Soeharto selama 32 tahun .
Perubahan Kepala negara dari Presiden Soeharto ke Prof. Dr. B.J.
Habibie menandai perubahan dari orde baru ke orde reformasi. Prof. Dr.B.J.
Habibie dilaksanakan Sidang Istimewa MPR pada tanggal 11-13 November
1998 yang menghasilkan 12 Tap MPRS diantaranya:
1) Tap MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR Nomor
IV/MPR/1983 tentang Referendum;
2) Tap MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR Nomor
II/MPR/1998 tentang GBHN;
3) Tap MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional sebagai Haluan Negara;
4) Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
5) Tap MPR Nomor XII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR Nomor
V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada
Presiden/Mandataris MPR dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan
Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
6) Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan
Presiden dan Wakil Presiden RI
7) Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan
8) Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR Nomor
11/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila
sebagai Dasar Negara.
Wakil Presiden BJ. Habibie mengganti kedudukan Presiden.
Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan.
Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan

xlvii
mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara
menyeluruh, terutama dalam pengubahan 5 paket Undang-Undang. Periode
reformasi manjadi era baru bagi harapan besar masyarakat Indonesia dalam
melakukan perubahan. Menurut Budimansyah (2008) gerakan reformasi
adalah perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih:
1. Demokratis
2. Transparan
3. Memiliki akuntabilitas tinggi
4. Terwujudnya good governance
5. Adanya kebebasan pendapat
Menurut Budimansyah (2008) perubahan-perubahan tersebut
sesungguhnya makin mendekatkan bangsa kita kepada pencapaian nasional.
Oleh karena itu gerakan reformasi harus mampu mendorong mental para
pemimpin dan rakyat, dengan menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai;
1. Kebenaran
2. Keadilan
3. Kejujuran
4. Tanggung jawab
5. Persamaan
6. Persaudaraan
Habibie tidak mencalonkan diri jadi presiden setelah laporan Peralihan
presiden terjadi lagi setelah Presiden Prof. Dr. B. J. pertanggungjawabannya
ditolak di sidang MPR. Kemudian, sidang MPR memilih K. H. Abdurrahman
Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputeri sebagai wakil presiden
(1999-2001). Kemudian, sidang istimewa MPR memberhentikan Presiden K.
H. Abdurrahman Wahid dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputeri yang
didampingi Wakil Presiden Hamzah Haz (2001-2004). Pada pemilihan umum
tahun 2004, pemilihan presiden dan wakil presiden tidak lagi dilakukan oleh
MPR melainkan langsung dipilih oleh rakyat dan Susilo Bambang Yudhoyono
dan M. Jusuf Kalla terpilihn sebagai presiden dan wakil presiden (2004-2009).
Kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Kabinet

xlviii
Indonesia Bersatu (21 Oktober 2004-20 Oktober 2009).Mantan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada acara peringatan lahir Pancasila di tahun
2006 yang bertajuk
Di masa awal reformasi, Pancasila telah dilupakan banyak orang.
Setidaknya hal ini diakui oleh mantan Presiden BJ Habibie dalam pidato
Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2011, yang menyatakan sebagai
berikut:

"Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah lenyap'dari kehidupan


kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah
baik di tingkat domestik, regional, maupun global. Situasi dan lingkungan
kehidupan bangsa pada tahun 1945 (66 Tahun lalu) yang lalu telah
mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah
pada masa yang akan datang. Sebelum keberhasilan kita melakukan
reaktualisasi nilai-nilai pancasila tersebut menyebabkan keterasingan
Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia. Kedua, terjadinya euforia
reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap
penyalahgunaan kekuasaan dimasa lalu yang mengatas namakan Pancasila…
berimplikasi pada munculnya “amnesia nasional” tentang pentingnya
kehadiran pancasila sebagai groundnorm (norma dasar) yang menjadi
payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku
bangsa, adat, istiadat, budaya, bahasa, agama, dan afliasi politik.”
(www.republika.co.id)

Azyumardi azra (2003) selaku Ketua Presidium Ikatan Cendikiawan


Muslim Indonesia (ICMI) mengatakan bahwa komitmen melaksanakan
pancasila dalam berbangsa dan bernegara semakin luntur. Hal ini disebabkan
karena laju liberalisasi disegala bidang bidang baik politik, hukum, ekonomi,
yang begitu kuat dalam masyarakat.
Selain itu reformasi berasal dari kata "reformation" dengan kata dasar
"reform" yg memiliki arti perbaikan, pembaharuan, memperbaiki dan menjadi
lebih baik. (Kamus Inggris-Indonesia, An English-In- donesia Dictionary,
oleh John M. Echols dan Hassan Shadily 2003). Secara umum reformasi di
Indonesia dapat diartikan sebagai melakukan perubahan ke arah yang lebih
baik dengan cara menata ulang hal-hal yang telah menyimpang dan tidak
sesuai lagi dengan kondisi dan struktur ketatanegaraan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Syarat-syarat Gerakan reformasi :

xlix
a. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-
penyimpangan. Misalnya pada masa Orde Baru, asas kekeluargaan
menjadi nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna
dan semangat UUD 1945.
b. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas
(landasan ideologis) tertentu. Dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi
bangsa dan Negara Indonesia.
c. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu
kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan
reformasi.
d. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang
lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, serta kehidupan keagamaan.
e. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia
yang berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan
kesatuan bangsa

a. Tujuan Reformasi
Tujuan reformasi dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Melakukan perubahan secara serius dan bertahap untuk menemukan
nilai-nilai baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
2. Menata kembali seluruh struktur kenegaraan, termasuk perundangan
dan konstitusi yang menyimpang dari arah perjuangan dan cita-cita
seluruh masyarakat bangsa;
3. Melakukan perbaikan di segenap bidang kehidupan baik politik,
ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan

b. Produk hukum yang dihasilkan masa orde reformasi:


1. Semua fraksi yang mempunyai anggota terbesar di MPR sepakat tidak
akan mengubah/mengganti Pembukaan UUD 1945 dengan konsep
yang lain,

l
2. Perubahan pertama UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Umum MPR
tanggal 14 sampai dengan 21 Oktober 1999. Keluarnya Tap MPR
antara lain
3. Tap MPR Nomor III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden
Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, yang
ditolak oleh MPR,
4. Tap MPR Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor
Timur
5. Tap MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden
Republik Indonesia (yaitu K. H Abdurrahman Wahid,
6. Tap MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil
Presiden Republik Indonesia (yaitu Megawati Soekarnoputeri)
7. Tap MPR Nomor IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk
Melanjutkan Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,
8. Perubahan kedua UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR tanggal 7
sampai dengan 18 Agustus 2000
9. Tap MPR Nomor 111/MPR/2000 tentang Sumber Hukum danTata
Urutan Perundangan,
10. Tap MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional,
11. Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri,
12. Tap MPR Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-
lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000,
13. Tap MPR Nomor IX/MPR/2000 tentang Penugasan Badan Pekerja
MPR untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945,
14. Perubahan ketiga UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR tanggal 1
sampai dengan 9 November 2001,
15. Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa,
16. TapMPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.

li
17. Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arab
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme,
18. Tap MPR Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan
MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang tahunan MPR Tahun
2001,
19. Tap MPR Nomor XI/MPR/2001 tentang Perubahan atas Tap MPR
Nomor IX/MPR/2000 rentang Penugasan Badan Pekerja. MPR untuk
Mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945, dan 5 Keputusan
MPR yang mengatur interrnal MPR
20. Perubahan Keempat UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tanggal 1
sampai dengan 11 Agustus 2002,
21. TapMPR Nomor I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi
Konstitusi.
22. Tap MPR Nomor 11/MPR/2002 tentang Rekomendasi
1.

lii
BAB III
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Dasar negara Indonesia, dalam pengertian historisnya merupakan hasil


pergumulan pemikiran para pendiri negara (The Founding Fathers)
untukmenemukan landasan atau pijakan yang kokoh untuk di atasnya didirikan
negara Indonesia merdeka. Walaupun rumusan dasar negara itu baru mengemukan
pada masa persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), namun bahan-bahannya telah dipersiapkan sejak awal
pergerakan kebangsaan Indonesia. Latif (2002: 5) menyebutkan bahwa
setidaknyasejak dekade 1920-an pelbagai kreativitas intelektual mulai digagas
sebagai usaha mensintesiskan aneka ideologi dan gugus pergerakan dalam rangka
membentuk "blok historis" (blok nasional) bersama demi mencapai kemerdekaan.
BPUPKI (Badan Persiapan Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan) dibentuk
pada 29 April 1945 dalam Bahasa jepang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai sebagai
realisasi janji kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus dari pemerintahan
Jepang. Anggota BPUPKI berjumlah 63 orang diketuai Dr. KRT.Radman
Wedvodiningrat sebagai iti Inbangase Yosao (anggota luar biasa yang dari
pemerintah yang berkebangsaan Jepang)dan R Pandji Soeroso (merangkap tata
usaha) masing masing sebagai wakil ketua pembicaraan mengenai rumusan dasar
negara Indonesi Melalui sidang-sidang BPUPKI berlangsung dalam dua babak
yaitu pertama, mulai 29 Mei sampai 1 Juni 1945 dan kedua, mulai 10 Juli sampai
17 Juli 1945.
Pergumulan pemikiran sejarah dalam sejarah perumusan dasar negara
dimulai dengan mengemukakan dasar negara Indonesia merdeka melalui
pandangan-pandangan sidang terkait tata negara , pandangan hidup, Hasrat, jiwa
yang sedalam-dalamnya . terdapatnya perbedaan usul bersifat perorangan maka
dibentuklah Untuk menampung usulan-usulan maka dibentuklah panitia kecil
yang diketuai oleh Soekarno dan dikenal sebagai "Panitia Sembilan. Dari rumusan
usulan-usulan itu, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan Mukadimah

liii
(Pembukaan) Hukum Dasar yang dinamakan 'Piagam Jakarta’ atau Jakarta
Charter oleh Muhammad Yamin pada 22 Juni 1945. Rumusan dasar negara yang
secara sistematik tercantum dalam alinea keempat, bagian terakhir pada rancangan
Mukadimah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan
perwakilan
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
Sidang BPUPKI kedua, yaitu 10 Juli sampai 17 Juli 1945 merupakan masa
penentuan dasar negara Indonesia merdeka. Selain menerima Piagam Jakarta
sebagai hasil rumusan Panitia Sembilan, dalam masa sidang BPUPKI kedua juga
dibentuk panitia panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga
kelompok Panitia Perancang Hukum Dasar Sidang lengkap BPUPKI pada 14 Juli
1945 mengesahkan naskah rumusan Panitia Sembilan berupa Piagam Jakarta
sebagai Rancangan Mukadimah Hukum Dasar (RMHD) dan menerima seluruh
Rancangan Hukum Dasar (RHD) pada hari berikutnya, yaitu 16 Agustus 1945
yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya termuat Piagam Jakarta sebagai
Mukadimah.
Setelah sidang BPUPKI berakhir pada 17 Juli 1945, maka pada 9 Agustus
1945 badan tersebut dibubarkan oleh pemerintah Jepang dan dibentuklah Panitia
Persiapan Kemerdekaan atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyunbi
Inkai yang kemudian dikenal sebagai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) dengan mengangkat Soekarno sebagai ketua dan Moh. Hatta sebagai wakil
ketua Panitia ini memiliki peranan yang sangat penting bagi pengesahan dasar
negara dan berdirinya negara Indonesia yang merdeka. Panitia yang semula
dikenal sebagai 'Buatan Jepang' untuk menerima "hadiah" kemerdekaan dari
Jepang tersebut, setelah takluknya Jepang di bawah tentara Sekutu pada 14
Agustus 1945 dan proklamasi kemerdekaan negara Indonesia, berubah sifat

liv
menjadi 'Badan Nasional Indonesia yang merupakan jelmaan seluruh bangsa
Indonesia. Dalam sidang pertama PPKI, yaitu pada 18 Agustus 1945, berhasil
disahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) yang
disertai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Sebelum pengesahan, terlebih dahulu dilakukan perubahan atas Piagam
Jakarta atau Rancangan Mukadimah Hukum Dasar (RMHD) dan Rancangan
Hukum Dasar (RHD) Pengesahan dan penetapan setelah dilakukan perubahan atas
Piagam Jakarta tersebut tetap mencantumkan lima dasar yang diberi nama
Pancasila. Atas prakarsa Moh. Hatta, sila Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya', dalam Piagam Jakarta
sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut
diubah menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Dengan demikian, Pancasila
menurut Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

A. Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD Negara Republik


Indonesia Tahun 1945
Berdasarkan ajaran Stuffen theory dari Hans Kelsen, hubungan
Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945dapat digambarkan
sebagai berikut:

lv
Pada gambar piramida diatas menunjukkan Pancasila sebagai suatu
cita-cita hukum yang berada di puncak segi tiga. Pancasila menjiwai seluruh
bidang kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, gambar piramidal
tersebut mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah cerminan dari jiwa
dan cita-cita hukum bangsa Indonesia. Pancasila sebagai cerminan dari jiwa
dan cita-cita hukum bangsa Indonesia tersebut merupakan norma dasar dalam
penyelenggaraan bernegara dan yang menjadi sumber dari segala sumber
hukum sekaligus sebagai cita hukum (recht-idee), baik tertulis maupun tidak
tertulis di Indonesia. Cita hukum inilah yang mengarahkan hukum pada cita-
cita bersama bangsa Indonesia. Cita-cita ini secara langsung merupakan
cerminan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga bangsa.
Dalam pengertian yang bersifat yuridis kenegaraan, Pancasila yang
berfungsi sebagai dasar negara tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945, yang dengan jelas menyatakan, “...maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang
memperlihatkan nafas humanisme, karenanya Pancasila dapat dengan mudah
diterima oleh siapa saja Sekalipun Pancasila memiliki sifat universal, akan
tetapi tidak begitu saja dapat dengan mudah diterima oleh semua bangsa.
Perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa nilai- nilai secara sadar
dirangkai dan disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis
perilaku politik dan sikap moral bangsa Dalam arti bahwa Pancasila adalah
milik khas bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi identitas bangsa berkat

lvi
legitimas moral dan budaya bangsa Indonesia sendiri Nilai-nilai khusus yang
termuat dalam Pancasila dapat ditemukan dalam sila-silanya berikut ini :

1. Sila Petama, Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya memuat


pengakuan akan eksistensi Tuhan sebagai sumber dan pencipta. Pengakuan
ini sekaligus memperlihatkan hubungan antara yang mencipta dan yang
diciptakan serta menunjukkan ketergantungan yang diciptakan terhadap
yang mencipta.
2. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, sesungguhnya merupakan
penjabaran lebih lanjut dari sila pertama, Sila ini memperlihatkan secara
mendasar dari negara atas martabat manusia dan sekaligus komitmen
untuk melindunginya. Manusia, mempunyai kedudukan yang khusus di
antara ciptaan-ciptaan lainnya, mempunyai hak dan kewajiban untuk
mengembangkan kesempatan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya
sebagai manusia. Dengan demikian, manusia dengan akal dan budinya
mempunyai kewajiban untuk mengembangkan dirinya menjadi person
yang bernilai.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, secara khusus meminta perhatian setiap
warga negara akan hak dan kewajiban dan tanggung jawabnya pada
negara, khususnya dalam menjaga eksistensi negara dan bangsa.
4. Sila keempat, demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan, memperlihatkan pengakuan negara serta
perlindungannya terhadap kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dalam
iklim "musyawarah dan mufakat". Dalam iklim keterbukaan untuk saling
mendengarkan, mempertimbangkan satu sama lain dan juga sikap belajar
serta saling menerima dan memberi. Hal ini berarti bahwa setiap orang
diakui dan dilindungi haknya untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik.
5. Sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, secara istimewa
menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Setiap warga negara
harus bias menikmati keadilan secara nyata, tetapi iklim keadilan yang

lvii
merata hanya bisa dicapai apabila struktur sosial masyarakat sendiri adil.
Keadilan sosial, terutama menuntut informasi struktur struktur sosial, yaitu
struktur ekonomi, politik, budaya dan ideologi ke arah yang lebih
akomodatif terhadap kepentingan masyarakat.
Dengan berlakunya Pembukaan UUD 1945 maka berhentilah tertib
hukum yang lama dan timbullah tertib hukum Indonesia. Tertib hukum
merupakan keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang memenuhi 4 syarat,
yaitu :

1) Ada kesatuan subjek yang mengadakan peraturan-peraturan hukum.


2) Adanya kesatuan asas kerohanian yang meliputi keseluruhan peraturan-
peraturan hukum itu.
3) Ada kesatuan waktu dalam mana peraturan itu berlaku.
4) Ada kesatuan daerah dalam mana peraturan-peraturan hukum itu berlaku
Pembukaan UUD 1945 telah memenuhi syarat terhadap adanya tertib
hukum Indonesia. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 termuat
unsur-unsur yang menurut ilmu hukum disyaratkan bagi adanya suatu tertib
hukum di Indonesia (Rechts Order) atau (Legal Order), yaitu suatu kebulatan
dan keseluruhan peraturan-peraturan hukum. Syarat-syarat tertib hukum
tersebut meliputi 4 hal, yaitu:
1) Adanya kesatuan subjek yaitu penguasa yang mengadakan peraturan
hukum. Hal ini terpenuhi dengan adanya suatu pemerintahan negara
Republik Indonesia (pembukaan UUD 1945).
2) Adanya kesatuan asas kerohanian sebagai dasar dari keseluruhan
peraturan-peraturan hukum yang merupakan sumber dari segala sumber
hukum. Hal ini terpenuhi dengan adanya dasar-dasar filsafat negara
Pancasila (alinea IV Pembukaan UUD 1945).
3) Adanya kesatuan objek tempat peraturan-peraturan hukum itu berlaku. Hal
ini terpenuhi dengan adanya kalimat ‘seluruh tumpah darah Indonesia
(alinea IV Pembukaan UUD 1945).
4) Adanya kesatuan daerah tempat peraturan-peraturan itu berlaku. Hal ini
terpenuhi dengan adanya kalimat.”maka disusunlah kemerdekaan

lviii
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara
Indonesia” (alinea IV Pembukaan UUD 1945).
Hal ini menunjukan saat mulai berdirinya negara RI yang disertai
dengan suatu tertib hukum, sampai seterusnya selama kelangsungan hidup
Negara RI. Dengan demikian seluruh peraturan hukum yang ada di dalam
wilayah negara RI sejak saat ditetapkan Pembukaan UUD 1945 pada tanggal
18 Agustus 1945, telah memenuhi syarat sebagai suatu tertib hukum negara.
Syarat-syarat tersebut pada hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD
1945 itu sendiri.
Selanjutnya, di dalam tertib hukum dapat diadakan pembagian susunan
yang hirarkis dari peraturan-peraturan hukum. Berdasarkan susunan hirarkis
tersebut, UUD (pasal-pasalnya) yang merupakan hukum dasar negara
bukanlah merupakan tertib hukum yang tertinggi. Di atasnya masih terdapat
suatu norma dasar yang menguasai hukum dasar termasuk UUD maupun
konvensi yang pada hakikatnya memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi
(Kaelan, 2003). Norma dasar tersebut pada hakikatnya memiliki kedudukan
hukum yang lebih tinggi yang dalam hukum tata negara disebut sebagai pokok
kaidah negara yang fundamental (staatsfundamental-norm).
Staats fundamental norm mengandung 3 syarat mutlak, yaitu: 1)
ditentukan oleh pembentuk negara, 2) memuat ketentuan-ketentuan pertama
yang menjadi dasar negara, dan 3) bukan hanya mengenai soal organisasi
negara (Notonagoro, 1974). Pembukaan UUD 1945 telah memenuhi syarat
sebagai staats fundamentalnorm. Dengan demikian maka Pembukaan UUD
1945 mempunyai kedudukan dua macam terhadap tertib hukum Indonesia,
yaitu :
1) Menjadi dasarnya, karena Pembukaan UUD 1945 memberikan faktor-
faktor mutlak bagi adanya suatu tertib hukum Indonesia. Hal ini dalam
Pembukaan UUD 1945 telah terpenuhi dengan adanya empat syarat
adanya suatu tertib hukum.
2) Pembukaan UUD 1945 memasukkan diri di dalamnya sebagai ketentuan
hukum yang tertinggi, sesuai dengan kedudukannya yaitu sebagai asas

lix
bagi hukum dasar baik yang tertulis (UUD), maupun hukum dasar tidak
tertulis (konvensi), serta peraturan-peraturan hukum yang lainnya yang
lebih rendah.
Oleh karena Pembukaan UUD 1945 merupakan staats fundamental
norm maka Pembukaan UUD 1945 menentukan adanya tertib hukum
Indonesia. Dengan demikian, Pembukaan UUD 1945 secara hukum tidak
dapat diubah. Hal ini sesuai dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966, juga
ditegaskan dalam Ketetapan No. V/MPR/1973, Ketetapan MPR No.
IX/MPR/1978, serta Ketetapan No. III/MPR/ 1983
Kedudukan Pembukaan UUD 1945 memiliki dua (2) aspek di
antaranya yaitu sebagai berikut: a. Memberikan faktor mutlak bagi
terwujudnya tertib hukum Indonesia. b. Memasukan diri dalam tertib hukum
Indonesia sebagai tertib hukum tertinggi. Dalam Berita Republik Indonesia
Tahun II No.7 dijelaskan bahwa”... Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya
terkandung pokok-pokok pikiran, meliputi suasana kebatinan dari UUD
Negara Indonesia, serta mewujudkan suatu cita-cita hukum yang menguasai
hukum dasar tertulis (convence)”. Pokok-pokok pikiran tersebut dijelmakan
dalam pasal-pasal UUD 1945, dan dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD
1945 adalah sebagai sumber hukum positif Indonesia, dengan demikian
seluruh peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia harus
bersumber pada Pembukaan UUD 1945 yang merupakan asas kerohanian
negara atau dasar filsafat negara Indonesia.

B. Penjabaran Pancasila dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945


Pembukaan UUD NRI tahun 1945 mengandung pokok-pokok
pikiran yang meliputi suasana kebatinan, cita- cita hukum dan cita-cita
moral bangsa Indonesia. Pokok- pokok pikiran tersebut mengandung nilai-
nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia karena bersumber dari
pandangan hidup dan dasar negara, yaitu Pancasila. Pokok-pokok pikiran
yang bersumber dari Pancasila itulah yang dijabarkan ke dalam batang tubuh
melalui pasal-pasal UUD NRI tahun 1945.

lx
Hubungan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang memuat
Pancasila dengan batang tubuh UUD NRI tahun 1945 bersifat kausal dan
organis. Hubungan kausal mengandung pengertian Pembukaan UUD NRI
tahun 1945 merupakan penyebab keberadaan batang tubuh UUD NRI tahun
1945, sedangkan hubungan organis berarti Pembukaan dan batang tubuh
UUD NRI tahun 1945 merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dengan dijabarkannya pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD NRI tahun
1945 yang bersumber dari Pancasila ke dalam batang tubuh, maka
Pancasila tidak saja merupakan suatu cita-cita hukum, tetapi telah menjadi
hukum positif.
Sesuai dengan Penjelasan UUD NRI tahun 1945, Pembukaan
mengandung empat pokok pikiran yang diciptakan dan dijelaskan dalam
batang tubuh. Keempat pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut.
1) Pokok pikiran pertama berintikan ‘Persatuan’, yaitu;
“Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
2) Pokok pikiran kedua berintikan ‘Keadilan sosial’, yaitu;
“negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat”.
3) Pokok pikiran ketiga berintikan ‘Kedaulatan rakyat’, yaitu;
“negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan”.
4) Pokok pikiran keempat berintikan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’,
yaitu; “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab’.
Pokok pikiran pertama menegaskan bahwa aliran pengertian negara
persatuan diterima dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945, yaitu negara
yang melindungi bangsa Indonesia seluruhnya. Negara, menurut pokok
pikiran pertama ini, mengatasi paham golongan dan segala paham
perorangan. Demikian pentingnya pokok pikiran ini maka persatuan

lxi
merupakan dasar negara yang utama. Oleh karena itu, penyelenggara
negara dan setiap warga negara wajib mengutamakan kepentingan negara di
atas kepentingan golongan atau perorangan.
Pokok pikiran kedua merupakan causa finalis dalam Pembukaan
UUD NRI tahun 1945 yang menegaskan tujuan atau suatu cita-cita yang
hendak dicapai. Melalui pokok pikiran ini, dapat ditentukan jalan dan aturan-
aturan yang harus dilaksanakan dalam Undang-Undang Dasar sehingga tujuan
atau cita-cita dapat dicapai dengan berdasar kepada pokok pikiran pertama,
yaitu persatuan. Hal ini menunjukkan bahwa pokok pikiran keadilan sosial
merupakan tujuan negara yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia
Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan
keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pokok pikiran ketiga mengandung konsekuensi logis yang
menunjukkan bahwa sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang
Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan permusyawaratan
perwakilan. Menurut Bakry (2010: 209), aliran ini sesuai dengan sifat
masyarakat Indonesia. Kedaulatan rakyat dalam pokok pikiran ini
merupakan sistem negara yang menegaskan kedaulatan sebagai berada di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Pokok pikiran keempat menuntut konsekuensi logis, yaitu Undang-
Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan
lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan
yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok
pikiran ini juga mengandung pengertian taqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga
mengandung maksud menjunjung tinggi hak asasi manusia yang luhur dan
berbudi pekerti kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran keempat
Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan asas moral bangsa dan negar
MPR RI telah melakukan amandemen UUD NRI tahun 1945 sebanyak
empat kali yang secara berturut-turut terjadi pada 19 Oktober 1999, 18

lxii
Agustus 2000, 9 November 2001, dan 10 Agustus 2002. Keseluruhan pasal-
pasal UUD 1945 telah mengalami amandemen dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian.
1. Pasal-pasal yang terkait aturan pemerintahan negara dan kelembagaan
negara.
2. Pasal-pasal yang mengatur hubungan antara negara dan penduduknya yang
meliputi yang warga negara, agama, pertahanan negara, pendidikan, dan
kesejahteraan sosial
3. Pasal-pasal yang berisi materi lain berupa aturan mengenai bendera
negara, Bahasa negara, lambing negara, lagu kebangsaan, perubahaan
UUD, aturan peralihan dan aturan tambahan.
Pancasila ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal UUD NRI tahun 1945.
1. Sistem pemerintahan negara dan kelembagaan negara
a. Pasal 1 ayat (3) : Negara Indonesia adalah negara hukum.\
b. Pasal 3 Ayat (1) : Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan Undang- Undang
Dasar;
Ayat (2) : Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden;
Ayat (3) : Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya menurut Undang- Undang
Dasar.
2. Hubungan antara negara dan penduduknya yang meliputi
warga negara, agama, pertahanan negara, pendidikan, dan
kesejahteraan sosial.
a. Pasal 26 Ayat (2): Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang
asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Orang asing yang menetap
di wilayah Indonesia mempunyai status hukum sebagai penduduk
Indonesia. Sebagai penduduk, maka pada diri orang asing itu melekat
hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

lxiii
yang berlaku (berdasarkan prinsip yuridiksi teritorial) sekaligus tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang
berlaku umum (general international law).
b. Pasal 27 Ayat (3): Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) tersebut bermaksud
untuk memperteguh konsep yang dianut bangsa dan negara Indonesia
di bidang pembelaan negara, yaitu bahwa upaya pembelaan negara
bukan monopoli TNI, namun juga merupakan hak sekaligus
kewajiban setiap warga negara.
c. Pasal 29 Ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 29 ayat (2)
tersebut menunjukkan bahwa negara menjamin salah satu hak
manusia yang paling asasi, yaitu kebebasan beragama. Kebebasan
beragama bukanlah pemberian negara atau golongan tetapi bersumber
pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
d. Pasal 31 Ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya; Ayat (3): Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang
e. Pasal 33 Ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pasal 34 Ayat (2): Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan. Dari ketentuan pasal 34 ayat (2)
tersebut dapat diperoleh pengertian bahwa sistem jaminan sosial
merupakan bagian upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara
kesejahteraan (welfare state) sehingga rakyat dapat hidup sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
3. Materi lain berupa aturan bendera negara, bahasa negara, lambang

lxiv
negara, dan lagu kebangsaan
a. Pasal 35 :Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
b. Pasal 36 :Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
c. Pasal 36A : Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
d. Pasal 36B : Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
C. Implementasi Pancasila Dalam Pembuatan Kebijakan Negara Dalam
Bidang Politik, Ekonomi, Sosial Budaya Dan Hankam
Pokok-pokok pikiran persatuan, keadilan sosial, kedaulatan rakyat,
dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang terkandung dalam Pembukaan UUD
NRI tahun 1945 merupakan pancaran dari Pancasila. Empat pokok pikiran
tersebut mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara,
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Penjabaran keempat pokok pikiran Pembukaan ke dalam pasal-
pasal UUD NRI tahun 1945 mencakup empat aspek kehidupan bernegara,
yaitu: politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan yang
disingkat menjadi POLEKSOSBUD HANKAM. Aspek politik dituangkan
dalam pasal 26, pasal 27 ayat (1), dan pasal 28. Aspek ekonomi dituangkan
dalam pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan pasal 34. Aspek sosial budaya
dituangkan dalam pasal 29, pasal 31, dan pasal 32. Aspek pertahanan
keamanan dituangkan dalam pasal 27 ayat (3) dan pasal 30
Pasal 26 ayat (1) dengan tegas mengatur siapa-siapa saja yang dapat
menjadi warga negara Republik Indonesia. Selain orang berkebangsaan
Indonesia asli, orang berkebangsaan lain yang bertempat tinggal di Indonesia,
mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada
Negara Republik Indonesia yang disahkan oleh undang-undang sebagai
warga negara dapat juga menjadi warga negara Republik Indonesia. Pasal
26 ayat (2) menyatakan bahwa penduduk ialah warga negara Indonesia dan
orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Adapun pada pasal 29
ayat (3) dinyatakan bahwa syarat-syarat menjadi warga negara dan penduduk
Indonesia diatur dengan undang-undang. Pasal 27 ayat (1) menyatakan

lxv
kesamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan
dengan tidak ada kecualinya. Ketentuan ini menunjukkan adanya
keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak ada diskriminasi di antara
warga negara baik mengenai haknya maupun mengenai kewajibannya. Pasal
28 menetapkan hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya, yang diatur dengan undang-undang. Dalam ketentuan ini,
ditetapkan adanya tiga hak warga negara dan penduduk yang digabungkan
menjadi satu, yaitu: hak kebebasan berserikat, hak kebebasan berkumpul, dan
hak kebebasan untuk berpendapat.
Pasal 26, 27 ayat (1), dan 28 di atas adalah penjabaran dari
pokok-pokok pikiran kedaulatan rakyat dan kemanusiaan yang adil dan
beradab yang masing- masing merupakan pancaran dari sila keempat dan
kedua Pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi kehidupan
nasional bidang politik di negara Republik Indonesia.
Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketentuan ini
memancarkan asas kesejahteraan atau asas keadilan sosial dan kerakyatan
yang merupakan hak asasi manusia atas penghidupan yang layak.
Pasal 33 ayat (1) menyatakan perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan, sedangkan pada ayat (2) ditetapkan
bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan pada ayat (3) ditegaskan
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Ayat (1) pada pasal ini menunjukkan adanya hak asasi manusia atas
usaha perekonomian, sedangkan ayat (2) menetapkan adanya hak asasi
manusia atas kesejahteraan social.
Selanjutnya pada pasal 33 ayat (4) ditetapkan bahwa perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

lxvi
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional. Sesuai dengan pernyataan ayat (5) pasal ini, maka
pelaksanaan seluruh ayat dalam pasal 33 diatur dalam undang-undang
Pasal 34 ayat (1) mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan. Ketentuan dalam ayat (2) ini menegaskan adanya hak
asasi manusia atas jaminan sosial.
Adapun pada pasal 34 ayat (4) ditetapkan bahwa negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak. Pelaksanaan mengenai isi pasal ini, selanjutnya diatur
dalam undang-undang, sebagaimana dinyatakan pada ayat (5) pasal 34 ini.
Pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan pasal 34 di atas adalah penjabaran
dari pokok-pokok pikiran kedaulatan rakyat dan keadilan sosial yang
masing-masing merupakan pancaran dari sila keempat dan kelima Pancasila.
Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan sistem
ekonomi Pancasila dan kehidupan ekonomi nasional.
Pasal 29 ayat (1) menyatakan negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Menurut Penjelasan Undang- Undang Dasar, ayat (1) pasal
29 ini menegaskan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Adapun dalam pasal 29 ayat (2) ditetapkan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini jelas
merupakan pernyataan tegas tentang hak asasi manusia atas kemerdekaan
beragama.
Pasal 31 ayat (1) menetapkan setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Ketentuan ini menegaskan bahwa mendapat pendidikan adalah
hak asasi manusia. Selanjutnya pada ayat (2) pasal ini dikemukakan bahwa
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib
membiayainya. Dari ayat (2) pasal ini diperoleh pemahaman bahwa untuk

lxvii
mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban asasi manusia. Sebagai
upaya memenuhi kewajiban asasi manusia itu, maka dalam ayat (3) pasal ini
diatur bahwa pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dalam undang-undang. Demikian pula, dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, maka dalam ayat (4) pasal 31 ini ditetapkan bahwa
negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua
puluh persen) dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta
dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam pasal 31 ayat (5)
ditetapkan pula bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai- nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Pasal 32 ayat
(1) menyatakan negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Ketentuan
menegaskan mengembangkan nilai-nilai budaya merupakan hak asasi
manusia. Selanjutnya, ayat (2) pasal 32 menyatakan negara
menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 di atas adalah penjabaran dari pokok
pikiran persatuan yang merupakan pancaran dari sila pertama Pancasila.
Pokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan bidang pertahanan
keamanan nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok pikiran persatuan tersebut, maka
implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang
pertahanan keamanan harus diawali dengan kesadaran bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Dengan demikian dan demi tegaknya hak- hak warga
negara, diperlukan peraturan perundang- undangan negara untuk mengatur
ketertiban warga negara dan dalam rangka melindungi hak-hak warga
negara. Dalam hal ini, segala sesuatu yang terkait dengan bidang pertahanan

lxviii
keamanan harus diatur dengan memperhatikan tujuan negara untuk
melindungi segenap wilayah dan bangsa Indonesia.
Pasal 29, pasal 31, dan pasal 32 di atas adalah penjabaran dari
pokok-pokok pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, dan persatuan yang masing-masing merupakan pancaran dari
sila pertama, kedua, dan ketiga Pancasila. Ketiga pokok pikiran ini adalah
landasan bagi pembangunan bidang kehidupan keagamaan, pendidikan, dan
kebudayaan nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran tersebut, maka
implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang
sosial budaya mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia harus diwujudkan dalam proses
pembangunan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Menurut
Koentowijoyo, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2000: 240), sebagai
kerangka kesadaran, Pancasila dapat merupakan dorongan untuk: 1)
universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur; dan
2) transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan, manusia, dan
kebebasan spiritual. Dengan demikian, Pancasila sebagai sumber nilai dapat
menjadi arah bagi kebijakan negara dalam mengembangkan bidang kehidupan
sosial budaya Indonesia yang beradab, sesuai dengan sila kedua, kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Selain itu, pengembangan sosial budaya harus dilakukan dengan
mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai
Pancasila. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari fungsi Pancasila sebagai sebuah
sistem etika yang keseluruhan nilainya bersumber dari harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang beradab. Perbenturan kepentingan politik
dan konflik sosial yang pada gilirannya menghancurkan sendi-sendi
kehidupan bangsa Indonesia, seperti kebersamaan atau gotong royong
dan sikap saling menghargai terhadap perbedaan suku, agama, dan ras harus
dapat diselesaikan melalui kebijakan negara yang bersifat humanis dan
beradab.

lxix
Pasal 27 ayat (3) menetapkan bahwa setiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam pembelaan negara. Dalam ketentuan ini, hak dan
kewajiban warga negara merupakan satu kesatuan, yaitu bahwa untuk turut
serta dalam bela negara pada satu sisi merupakan hak asasi manusia, namun
pada sisi lain merupakan kewajiban asasi manusia.
Pasal 30 ayat (1) menyatakan hak dan kewajiban setiap warga
negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Ketentuan
ini menunjukkan bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara adalah
hak dan kewajiban asasi manusia. Pada ayat (2) pasal 30 ini dinyatakan
bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan
rakyat sebagai kekuatan pendukung. Selanjutnya pada ayat (3) pasal 30 ini
juga dijelaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan
negara. Dalam ayat (4) pasal 30 dinyatakan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum. Ayat (5) pasal 30 menyatakan susunan dan kedudukan
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan
kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga
negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang
terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.

lxx
BAB IV
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

A. Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata “idea” dan “logos”. Idea berarti
gagasan, konsep, pengertian dasar, ide-ide dasar, cita-cita. Kata idea berasal
dari bahasa Yunani, eidos yang berarti bentuk atau idein yang berarti melihat.
Idea dapat diartikan sebagai cita-cita, yaitu cita-cita yang bersifat tetap dan
akan dicapai dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, cita-cita ini pada
hakikatnya merupakan dasar, pandangan, atau paham yang diyakini
kebenarannya. Sedangkan logos berarti ilmu. Secara harfiah, ideologi berarti
ilmu pengetahuan tentang ide-ide (the science of ideas), atau ajaran tentang
pengertian-pengertian dasar.
Istilah “ideologi” pertama kali dilontarkan oleh seorang filsuf
Perancis, Antoine Destutt de Tracy pada tahun 1796 sewaktu Revolusi
Perancis tengah menggelora (Christenson, et.al., 1975). Tracy menggunakan
istilah ideologi guna menyebut suatu studi tentang asal mula, hakikat, dan
perkembangan ide-ide manusia, atau yang sudah dikenal sebagai “Science of
Ideas”. Gagasan ini diharapkan dapat membawa perubahan institusional
dalam masyarakat Perancis. Namun, Napoleon mencemoohnya sebagai suatu
khayalan yang tidak memiliki nilai praktis. Pemikiran Tracy ini sebenarnya
mirip dengan impian Leibnitz yang disebut one great system truth.
Menurut beberapa ahli pengertian menurut beberapa kamus, ideologi
mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:
1) Menurut Soerjanto Poespowardojo, ideologi adalah prinsip untuk
mendasari tingkah laku seseorang atau suatu bangsa dalam kehidupan
kemasyarakatan dan kenegaraan.
2) Menurut Sumarno, ideologi adalah kestuan gagasan fundamental dan
sistematis yang menyeluruh tentang kehidupan manusia.
3) Menurut Krech, Crutchfield, dan Ballachey ideologi adalah doktrin-

lxxi
doktrin pemikiran atau cara berpikir seseorang atau lainnya.
4) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ideologi adalah himpunan nilai,
ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki seseorang atau
sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap
kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan
tingkah laku politik.
5) Menurut The Advanced Learner’s Dictionary ideologi adalah suatu sistem
pemikiran yang telah dirumuskan untuk teori politik dan ekonomi.
6) Menurut Webster New Collegiate Dictionary ideologi adalah cara hidup
atau tingkah laku atau hasil pemikiran yang menunjukkan sifat-sifat
tertentu pada seorang individu atau suatu kelas atau pola pemikiran
mengenai pengembangan pergerakan atau kebudayaan
Menurut Koento Wibisono, bila diteliti dengan cermat terdapat
kesamaan dari semua unsur ideologi. Kesamaan-kesamaan tersebut adalah,
Pertama, Keyakinan, berarti dalam setiap ideologi selalu memuat gagasan-
gagasan vital dan konsep-konsep dasar yang menggambarkan seperangkat
keyakinan. Seperangkat keyakinan tersebut diorientasikan pada tingkah laku
atau perbuatan manusia sebagai subjek pendukungnya untuk mencapai suatu
tujuan yang dicita-citakan. Kedua, Mitos, berarti setiap ideologi selalu
memitoskan sesuati ajaran secara optimistik-determistik. Artinya,
mengajarkan bagaimana ideologi pasti akan dicapai. Ketiga, Loyalitas, berarti
dalam setiap ideologi selalu menuntut adanya loyalitas serta keterlibatan
optimal dari para pendukungnya.

B. Fungsi Ideologi
Fungsi Ideologi menurut Soerjanto Poespowardojo (1990) yaitu
memberikan:
1. Struktur kognitif, yaitu keseluruhan pengetahuan yang didapat merupakan
landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian
dalam alam sekitarnya.
2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna

lxxii
serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
3. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk
melangkah dan betindak.
4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya. Kekuatan
yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan
kegiatan dan mencapai tujuannya.
5. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati
serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-
norma yang terkandung di dalamnya.
Selain itu ada fungsi ideologi dari Tim Penyusun Glossarium Sekitar
Pancasila Laboratorium Pancasila IKIP Malang (1981), secara umum telah
merumuskan peranan atau fungsi ideologi dalam kehidupan bangsa dan
negara, menurut beberapa ahli yang mencakup fungsi dan aspek-aspek
kehidupan:
1) Tata cara bagaimana menanggapi realita atau lingkungan hidup, baik segi-
segi kepercayaan, agama maupun bidang ilmu pengetahuan.
2) Sebagai tatacara dan pedoman hidup, nilai-nilai dan pedoman umum
dalam kehidupan, tentang apa yang sebaiknya dicapai/dilakukan (asas
normatif), tata aturan tentang hak-hak asasi, kewajiban masing-masing
warga masyarakat.
3) Segi perasaan, seperti kesadaran harga diri, kesadaran nasional dan
kebanggaan nasional, setia kawan, integritas dan martabat sebagai manusia
atau bangsa.
4) Sikap dan pola tingkah laku, yang menentukan semangat dan motivasi,
mendorong usaha dan perjuangan. Berwujud pola dan kesepakatan dalam
pemikiran, perjuangan dan tindakan. Pola ini menyangkut pula disiplin
hidup atau tatacara yang melembaga dalam kehidupan masyarakat.
5) Segi keterampilan dan kemampuan bagaimana melaksanakan dan
mewujudkan ideologi yang diyakini itu dalam kehidupan. Tegasnya sistem
pendidikan dan pengembangan ideologi itu sendiri.
6) Segi kelembagaan (organisasi) yang fungsi utamanya ialah melaksanakan
sistem ideologi tersebut seperti organisasi negara, organisasi politik (partai

lxxiii
politik, organisasi), kelembagaan sosial, pendidikan, dan juga lembaga
keluarga.
C. Sifat ideologi
Dari sifatnya, ideologi dapat dibagi menjadi dua: terbuka dan tertutup.
Ciri khas ideologi terbuka adalah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak
dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari suatu kekayaan rohani,
moral, dan budaya masyarakat itu sendiri. Dasarnya bukan keyakinan
ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dan consensus dari
masyarakat tersebut. Ideologi terbuka tidak diciptakan oleh negara melainkan
terbuka milik seluruh rakyat dan masyarakat dalam menemukan dirinya,
kepribadiannya di dalam ideologi tersebut. Selain itu, ideologi terbuka dapat
beradaptasi sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Artinya,
ideologi terbuka memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan
merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru, tanpa menghilangkan
atau mengingkari jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya. Ciri-
ciri ideologi terbuka yaitu :
1) Ideologi terbuka selalu hadir dalam diri subjek, sehingga selalu relevan
dan aktual
2) Bersifat realistis, yaitu mencerminkan realita atau kenyataan hidup dan
senantiasa berkembang dalam masyarakat yang menjadi tempat lahir dan
berkembangnya ideologi.
3) Bersifat idealis, yaitu mampu menghadirkan harapan. Optimisme dan
mampu mendorong penganutnya untuk mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari agar cita-cita yang diinginkan secara bersama dapat
terwujud.
4) Bersifat fleksibel, yaitu senantiasa mampu menyesuaikan diri sesuai
dengan perkembangan keadaan. Ideologi terbuka mampu memberikan
arah-arahan melalui tafsir-tafsiran yang konsisten dan relevan.
Sedangkan ciri khas ideologi tertutup yaitu ideologinya bukan cita-cita
yang hidup dalam masyarakat, melainkan cita-cita satu kelompok orang yang
mendasari program untuk mengubah dan memperbarui masyarakat. Dengan

lxxiv
demikian atas nama idelologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang
dibebankan kepada masyarakat. Demi ideologi masyarakat harus berkorban
dan kesediaan itu untuk menilai kepercayaan ideologi para warga masyarakat
serta kesetiaannya masing-masing sebagai warga masyarakat. Jadi akan selalu
ada tuntutan mutlak bahwa orang harus taat kepada ideologi tersebut. Dan itu
berarti juga orang harus taat kepada elite yang mengembannya. Tuntutan
ketaatan itu mutlak, dan orang tidak diizinkan untuk mempersoalkannya lagi,
misalnya berdasarkan hati nuraninya, tanggung jawabnya atas hak-hak
asasinya. Kekuasaannya bersifat totaliter dan menyangkut segala aspek
kehidupan. Selain itu, ideologi tertutup tidak mampu beradaptasi sesuai
dengan perubahan dan perkembangan zaman. Artinya, ideologi tertutup tidak
memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang
pengembangan pemikiran-pemikiran baru. (Kaelan, 113-114).

D. Hakikat Pancasila sebagai Ideologi Negara


Beranjak dari kata idea yang terdapat dalam istilah ideologi,yang
dapat diartikan berupa cita-cita pemikiran atau nilai-nilai, maupun norma yang
baik dapat di realisasikan dalam kehidupan praksis dan bersifat terbuka
dengan memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi Idealis, normatif, dan realitis.
a. Dimensi ideals, artinya nilai-nilai dasar dari Pancasila memiliki sifat yang
sistematis, juga rasional dan bersifat menyeluruh.
b. Dimensi normatif, merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila
Pancasila yang perlu dijabarkan ke dalam sistem norma sehingga tersirat
dan tersurat dalam norma-norma kenegaraan.
c. Dimensi realistis adalah nilai-nilai Pancasila yang dimaksud diatas harus
mampu memberikan pencerminan atas realitas yang hidup dan
berkembang dalam penyelenggaraan negara.

E. Pancasila dan Ideologi Dunia


1. Ideologi Dunia
Untuk mengetahui posisi ideologi Pancasila di antara ideologi besar

lxxv
dunia, maka perlu dipahami beberapa jenis ideologi dunia sebagai berikut :
a. Marxisme-Leninisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam
perspektif evolusi sejarah yang didasarkan pada dua prinsip, pertama,
penentu akhir dari perubahan social adalah perubahan dari cara
produksi, kedua, proses perubahan sosial bersifat dialektis.
b. Liberalisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif
kebebasan individual, artinya lebih mengutamakan hak-hak individu.
c. Sosialisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif
kepentingan masyarakat, artinya negara wajib menyejahterakan
seluruh masyarakat atau yang dikenal dengan kosep welfare state.
d. Kapitalisme; suatu paham yang memberi kebebasan kepada setiap
individu untuk menguasai sistem perekonomian dengan kemampuan
modal yang ia miliki (Sastrapratedja, 2001:50 - 69).
Adapun tabel Ideologi Pancasila dan Ideologi-ideologi Besar di Dunia
Struktur filsafat
Nama Tema-tema
Asal Usul yang menjadi Tujuan Ideologi
Ideologi Inti
Ideologi
Pancasila Lahir pada 1 Semangat Keyakinan, Mewujudkan
Juni 1945 persatuan kesejahteraan, cita-cita
dan Persatuan, masyarakat yang
kesatuan Musyawarah, adil dan makmur
melalui Keadilan berdasarkan
semboyan Pancasila dan
Bhinneka UUD tahun
Tunggal Ika 1945
Liberalisme Eksis sebelum Keutamaan Individualisme, Komitmen pada
abad ke -19, Individu Kebebasan, Individu dan
namun ide dan Toleransi, keinginan untuk
teorinya sudah Rasionalitas membangun
dikembangkan Keadilan suatu masyarakat
300 tahun yang dapat
sebelumnya memenuhi
kepentingannya
dan meraihnya.
Mewujudkan
cita-cita
kemakmuran
individu
Sosialisme Abad ke-19 Tidak ada Komunitas Politik Reaksi terhadap
(komunisme penggunaan orang yang kelas Kepemilikan kondisi sosial
& demokrasi paling awal bisa bersama dan kondisi

lxxvi
sosialis) tahun 1827 di sendirian Kesetaraan ekonomi yang
Inggris. Dan kerjasama muncul di Eropa
pada tahun akibat
1830- an tumbuhnya
pengikut kapitalisme
Robert Owen industri.
(Inggris) dan Berupaya
Henri de menyediakan
Saint- Simon alternatif yang
(Perancis) lebih manusiawi
menyebut secara sosial.
keyakinan
mereka
sebagai
“sosialisme”
Konservatisme Awal abad ke- Keinginan Hierarki dan Hasrat untuk
19 pada tahun untuk Otoritas tradisi mempertahankan
1820-an melestarikan ketidak yang tercermin
istilah ini sempurnaan dalam
digunakan manusia perlawanan
untuk masyarakat terhadap atau
menyebut organik minimal
oposisi kepemilikan kecurigan
terhadap terhadap
prinsip dan perubahan.
semangat Sebagai reaksi
Revolusi terhadap semakin
Perancis 1789 meningkatnya
perubahan
politik, ekonomi,
sosial yang
dalam banyak
sisi disimbolkan
oleh Revolusi
Perancis
Fasisme Abad ke-20 Kekuatan Perjuangan Anti Sebagai
khususnya melalui Rasionaelisme Pemberontakan
periode kesatuan Sosialisme terhadap
Perang Dunia. Kepemimpinan modernitas
Namun kata dan Elitisme terhadap ide-ide
Fascia Ultranasionalisme dan niali-nilai
digunakan di pencerahan dan
Italia pada kredo-kredo
tahun 1890-an politik.
Pemberontakan
terhadap nilai-
nilai yang
mendominasi
pemikiran politik
Barat baik politik

lxxvii
dari Revolusi
Peranciss dan
sesudahnya

2. Pancasila dan Ideologi Lain (Liberalisme dan Komunisme)


a. Pancasila dan Liberalisme
Periode 1950-1959 disebut periode pemerintahan demokrasi
liberal. Sistem parlementer dengan banyak partai politik memberi
nuansa baru sebagaimana terjadi di dunia Barat. Ketidakpuasan dan
gerakan kedaerahan cukup kuat pada periode ini, seperti PPRI dan
permesta pada tahun 1957.
Keadaan tersebut mengakibatkan perubahan yang begitu
signifikan dalam kehidupan bernegara. Pada 1950-1960 partai-partai
Islam sebagai hasil pemilihan umum 1955 muncul sebagai kekuatan
Islam, yaitu Masyumi, NU dan PSII, yang sebenarnya merupakan
kekuatan Islam di Parlemen tetapi tidak dimanfa atkan dalam bentuk
koalisi. Meski PKI menduduki empat besar dalam Pemilu 1955, tetapi
secara ideologis belum merapat pada pemerintah. Mengenai Pancasila
itu dalam posisi yang tidak ada perubahan, artinya Pancasila adalah
dasar negara Republik Indonesia meski dengan konstitusi 1950.
Indonesia tidak menerima liberalisme dikarenakan
individualisme Barat yang mengutamakan kebebasan makhluknya,
sedangkan paham integralistik yang kita anut memandang manusia
sebagai individu dan sekaligus juga makhluk sosial. Negara
demokrasi model Barat lazimnya bersifat sekuler, dan hal ini tidak
dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia. Hal terse- but
diperkuat dengan pendapat Kaelan yang menyebutkan bahwa negara
liberal memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama
dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama-nya masing-masing.
Namun dalam negara liberal diberikan kebebasan untuk tidak percaya
terhadap Tuhan atau ateis, bahkan negara liberal memberi kebebasan
warganya untuk menilai dan mengkritik agama. Berdasarkan

lxxviii
pandangan tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa sistem negara
liberal membedakan dan memisahkan antara negara dan agama atau
bersifat sekuler (Kaelan, 2002: 231)
Berbeda dengan Pancasila dengan rumusan Ketuhanan Yang
Maha Esa telah memberikan sifat yang khas kepada negara Indonesia,
yaitu bukan merupakan negara sekuler yang me misah-misahkan
agama dengan negara.
Tentang rahasia negara-negara liberal, Soerjono
Poespowardojo mengatakan bahwa kekuatan liberalisme terletak
dalam menampilkan individu yang memiliki martabat transenden dan
bermodalkan kebendaan pribadi. Sedangkan kelemahannya terletak
dalam pengingkaran terhadap dimensi sosialnya sehingga tersingkir
tanggung jawab pribadi terhadap kepentingan umum. Karena alasan-
alasan seperti itulah antara lain kenapa Indonesia tidak cocok
menggunakan ideologi liberalisme.
b. Pancasila dan Komunisme
Dalam periode 1945-1950 kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara sudah kuat. Namun, ada berbagai faktor internal dan eksternal
yang memberi nuansa tersendiri terhadap kedudukan Pancasila. Faktor
eksternal mendorong bangsa Indonesia untuk memfokuskan diri
terhadap agresi asing apakah pihak Sekutu atau NICA yang merasa
masih memiliki Indonesia sebagai jajahannya. Di pihak lain, terjadi
pergumulan yang secara internal sudah merongrong Pancasila sebagai
dasar negara, untuk diarahkan ke ideologi tertentu, yaitu gerakan
DI/TII yang akan mengubah Republik Indonesia menjadi negara Islam
dan Pemberontakan PKI yang ingin mengubah RI menjadi negara
komunis. Komunisme tidak pernah diterima dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan negara komunisme
lazimnya bersifat ateis yang menolak agama dalam suatu Negara.
Sedangkan Indonesia sebagai negara yang berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa, merupakan pilihan kreatif dan merupakan proses

lxxix
elektis inkorporatif. Artinya pilihan negara yang berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah khas dan nampaknya sesuai
dengan kondisi objektif bangsa Indonesia .
Selain itu, ideologi komunis juga tidak menghormati manusia
sebagai makhluk individu. Prestasi dan hak milik individu tidak
diakui. Ideologi komunis bersifat totaliter, karena tidak membuka
pintu sedikit pun terhadap alam pikiran lain. Ideologi semacam ini
bersifat otoriter dengan menuntut penganutnya bersikap dogmatis,
suatu ideologi yang bersifat tertutup. Berbeda dengan Pancasila yang
bersifat terbuka, Pancasila memberikan kemungkinan dan bahkan
menuntut sikap kritis dan rasional. Pancasila bersifat dinamis, yang
mampu memberikan jawaban atas tantangan yang berbeda-beda
dalam zaman sekarang (Poespowardojo, 1989: 203-204).Pelarangan
penyebaran ideologi komunis ditegaskan dalam Tap MPR No.
XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI, pernyataan sebagai
organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk
menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran
komunisme/marxisme dan leninisme yang diperkuat dengan Tap MPR
No. IX/MPR/1978 dan Tap MPR No VIII/MPR/1983.
3. Hubungan Pancasila dan Agama
Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan
negara dan agama merupakan karya besar bangsa Indonesia melalui the
founding fathers negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para
pendiri negara yang tertuang dalam Pancasila merupakan karya khas yang
secara antropologis merupakan local genus bangsa Indonesia.
Begitu pentingnya memantapkan kedudukan Pancasila, maka
Pancasila pun mengisyaratkan bahwa kesadaran akan adanya Tuhan milik
semua orang dan berbagai agama. Tuhan menurut terminologi Pancasila
adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan
dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan bahkan juga animisme

lxxx
(Chaidar, 1998: 36). Menurut Notonegoro, asal mula Pancasila secara
langsung salah satunya asal mula bahan (causa materialis) yang
menyatakan bahwa, "Bangsa Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-nilai
Pancasila, yang digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat-
istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia". Sejak zaman purbakala hingga
pintu gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia, masyarakat nusantara
telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal (sekitar) 14
abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam,
dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen. Dalam buku Sutasoma
karanganEmpu Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal
Bhinneka Tunggal Ika. Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap
berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua, artinya
walaupun berbeda, satu jua adanya, sebab tidak ada agama yang
mempunyai tujuan yang berbeda.
Kuatnya paham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia
membuat arus besar pendiri bangsa tidak dapat membayangkan ruang
publik hampa Tuhan politik bersama mengatasi komunitas kultural dari
ragam etnis dan agama, ide Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai
dibayangkan sebagai komunitas kebangsaan tidak terlepas dari Ketuhanan.
Secara lengkap, pentingnya dasar Ketuhanan ketika dirumuskan oleh
founding fathers negara kita dapat dibaca (philosophische grondslag) yang
menyatakan, "Prinsip Ketuhanan” Bukan saja bangsa pada pidato Ir.
Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara
Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa Al Masih, Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw.,
orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada
padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah
Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara

lxxxi
kebudayaan yakni dengan tiada "egoisme agama". Dan hendaknya negara
Indonesia satu negara yang ber-Tuhan" (Zoelva, 2012). Pernyataan ini
mengandung dua arti pokok. Pertama, pengakuan akan eksistensi agama-
agama di Indonesia yang menurut Ir Soekarno, "mendapat tempat yang
sebaik-baiknya". Kedua, posisi negara terhadap agama, Ir. Soekarno
menegaskan bahwa "negara kita akan ber-Tuhan". Bahkan dalam bagian
akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan, "Hatiku akan berpesta raya,
jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Indonesia berasaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal
29 UUD 1945.
Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula
bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab
pertama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan
terus-menerus mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran
tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-
af'al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan
perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di
Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63).
Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari
negara didefinisikan melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena
Pancasila tidak memasukkan kata sekularisme yang secara jelas
menyerukan untuk memisahkan agama dan politik atau menegaskan
bahwa negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi, hal-hal tersebut
terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama pun
sebagai agama yang diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari
komitmennya terhadap masyarakat yang plural dan egaliter. Namun,
dengan hanya mengakui lima agama (sekarang menjadi 6 agama: Islam,
Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu) secara
resmi, negara Indonesia membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa
dimiliki oleh warga negara. Pandangan yang dominan terhadap Pancasila

lxxxii
sebagai dasar negara Indonesia secara jelas menyebutkan tempat bagi
orang yang menganut agama tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak
menganutnya. Pemahaman ini juga memasukkan kalangan sekuler yang
menganut agama tersebut, tapi tidak memasukkan kalangan sekuler
yang tidak menganutnya. Seperti yang telah ditelaah Madjid, meskipun
Pancasila berfungsi sebagai kerangka yang mengatur masyarakat di
tingkat nasional maupun lokal, sebagai individu orang Indonesia bisa
dan bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang
berdasarkan agama.
Gagasan asas tunggal menimbulkan pro dan kontra selama tiga
tahun diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang mengharuskan mendaftar ulang bagi
semua ORMAS dan sekaligus mengharuskan semua ORMAS menerima
asas tunggal yang diberi batas akhir sampai tanggal 17 Juli 1987.
Golongan yang kontra bukan menolak Pancasila dan UUD 1945,
melainkan ada kekhwatiran dengan menghapuskan asas “Islam”, Pancasila
akan menjadi “agama baru” (Moesa, 2007: 123-124). Dalam
perkembangannya, kyai yang tergabung dalam organisasi NU yang
pertama kali menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. KH. As’ad
Syamsul Arifin menegaskan bahwa sebagian besar kyai dan umat Islam
Indonesia berpendapat bahwa menerima Pancasila hukumnya wajib.
Agama-agama dimandatkan oleh GBHN 1988 bahwa semua
golongan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
secara terus-menerus dan Bersama- sama meletakkan landasan moral,
etika dan spiritual yang kokoh bagi Pembangunan nasional sebagai
pengalaman Pancasila. Dalam konteks pelaksanaan mandat GBHN ini
(meskipun GBHN secara formal sudah tidak berlaku tapi spirit hubungan
agama dan pembangunan masih sesuai), maka agama-agama harus
mampu mengembangkan kerja sama dalam rangka menghadapi masalah-
masalah yang dihadapi bersama).
Pancasila dan agama dapat diaplikasikan seiring sejalan dan

lxxxiii
saling mendukung. Agama dapat mendorong aplikasi nilai-nilai Pancasila,
begitu pula Pancasila memberikan ruang gerak yang seluas-luasnya
terhadap usaha-usaha peningkatan pemahaman, penghayatan dan
pengamalan agama (Eksan, 2000). Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun
menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi untuk melihat apakah nilai-
nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap
menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agama- agama harus
memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang
akan menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan
bangsa tanpa terkecuali.
Hubungan negara dengan agama menurut NKRI yang
berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):
a. Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang ber- Ketuhanan
yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak
asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama
masing- masing.
c. Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya
manusia berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
d. Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar
dan inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
e. Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketakwaan
itu bukan hasil peksaan bagi siapapun juga.
f. Memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan
agama dalam negara.
g. Segala aspek dalam melaksanakan dan
menyelenggatakan negara harus sesuai dengan nilai- nilai Ketuhanan
yang Maha Esa terutama norma-norma hukum positif maupun norma
moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara.
Negara pada hakikatnya adalah merupakan “berkat rahmat Allah yang

lxxxiv
Maha Esa”.

F. Perbandingan Ideologi Pancasila Dengan Paham Ideologi Besar Lainnya


Di Dunia
Suatu ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas
serta karakteristik masing-masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu
sendiri. Namun demikian itu dapat terjadi bahwa ideologi pada suatu bangsa
datang dari luar dan dipaksakan keberlakuaannya pada bangsa tersebut
sehingga tidak mencerminkan kepribadian dan karakteristik tersebut. Ideologi
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berkembang melalui
suatu proses yang cukup panjang. Pada awalnya secara kausalitas bersumber
dari niali-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu dalam adat-istiadat,
serta dalam agama-agama bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup bangsa.
Ideologi Pancasila berbeda dengan ideologi liberalisme, Komunisme,
Sekulerisme, dan ideologi-ideologi keagamaan. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dalam beberapa hal berikut ini:
1) Dalam sejarah kelahirannnya Pancasila digali dan nilai-nilai sosial budaya
bangsa Indonesia, sehingga Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-
nilai sosial budaya bangsa Indonesia. Pancasila dirancang dan dirumuskan
dalam suatu proses oleh para pendiri negara Indonesia merdeka.
2) Ideologi Pancasila mengarah kepada keseimbangan antara kepentingan
kehidupan duniawi dengan kehidupan akhirat, antara kepentingan individu
dengan kepentingan masyarakat. Ideologi lain cenderung kepada salah satu
aspek kehidupan saja, misalnya Liberalisme lebih mengutamakan
kebebasan individu, Komunisme mengutamakan masyarakat dan kurang
memperhatikan hak-hak individu. Sekularisme memisahkan kehidupan
agama dengan kehidupan negara yang berarti mengutamakan duniawi.
Ideologi agama dapat diterima oleh penganut agama yang bersangkutan,
tetapi kurang diterima oleh penganut agama lain. Jadi, ideologi keagamaan
sukar diterapkan dalam masyarakat yang menganut berbagai agama.
3) Dalam bidang ekonomi, ideologi Pancasila menghendaki kesejahteraan

lxxxv
bersama dengan mengakui hak-hak individu dan berasaskan kekeluargaan.
Liberalisme menuju kepada Kapitalisme, Komunisme berusaha
mewujudkan sama-rata sama rasa. Hak-hak individu diserahkan kepada
negara dan negara yang mengaturnya.
4) Ideologi Pancasila bersifat terbuka, sedangkan ideologi lain tertutup.
5) Ideologi Pancasila melindungi semua penganut agama dan memberikan
jaminan terhadap agama yang bersangkutan untuk eksis dalam negara.
Liberalisme menyerahkan semua urusan agama kepada individu.
Komunisme tidak mengakui agarna bahkan agama dianggap racun dalam
kehidupan masyarakat. Sekularisme memisahkan urusan agama dengan
urusan negara.
6) Ideologi Pancasila berusaha mewujudkan masyarakat Pancasila yaitu
masyarakat yang menjiwai dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila,
Liberalisme melahirkan Individualisme, dan Komunisme ingin
mewujudkan masyarakat komunis.

lxxxvi
lxxxvii
BAB V
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A. Pengertian Filsafat
Secara etimologi, kata falsafah berasal dari bahasa Yunani, yaitu:
philosophis/phile/philos/philein yang artinya cinta/pecinta/mencintai dan
sophia, yang berarti kebijakan/wisdom/kearifan/hikmah/hakikat kebenaran
akan kebijakan atau hakikat kebenaran. Jadi, filsafat artinya cinta akan
kebijakan atau hakikat kebenaran.
Berfilsafat berarti berpikir sedalam-dalamnya (merenung) terhadap
sesuatu secara metodik, sistematis, menyeluruh, dan universal, untuk mencari
hakikat sesuatu. Menurut D. Runes, filsafat berarti ilmu yang paling umum
serta mengandung usaha mencari kebijakan dan cinta akan kebijakan (BP-7,
1993:8).
Pada umumnya, terdapat dua pengertian filsafat, yaitu filsafat dalam
arti proses dan filsafat dalam arti produk. Selain itu, ada pengertian lain, yaitu
filsafat sebagai ilmu dan filsafat sebagai pandangan hidup. Demikian pula,
dikenal ada filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis. Pancasila
dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan
hidup, dan filsafat dalam arti praktis.
Hal ini berarti filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan
sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan
dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan
bernegara bagi bangsa Indonesia di mana pun mereka berada. Sebelum
seseorang bersikap, bertingkah laku, atau berbuat, terlebih dahulu ia
akanberpikir tentang sikap, tingkah laku, dan perbuatan mana yang sebaiknya
dilakukan.
Hasil pemikirannya merupakan suatu putusan dan putusan ini disebut
nilai. Nilai adalah sifat, keadaan, atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Setiap orang di dalam

lxxxviii
kehidupannya, sadar atau tidak sadar, tentu memiliki filsafat hidup atau
pandangan hidup. Pandangan hidup atau filsafat hidup seseorang adalah
kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, ketepatan, dan manfaatnya.
Hal itulah yang kemudian menimbulkan tekad untuk mewujudkan dalam
bentuk sikap, tingkah laku, dan perbuatan.
Istilah system berasal dari istilah Yunani “systema” yang mengandung
arti keseluruhan yang tersusun dari sekian bagian yang berarti pula hubungan
yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur.
System dipergunakan untuk menunjukkan suatu himpunan bagian
yang saling berkaitan , keseluruhan organ-organ tubuh tertentu, sehimpunan
ide-ide, prinsip dan sebagainya; hipotesis atau teori; metode atau cara
prosedur; skema tau metode pengaturan susunan tertentu. Jadi dapat
dikemukakan system itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang
saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
Berikut disampaikan beberapa pengertian filsafat menurut beberapa
filsuf, yaitu antara lain:
1) Plato (427-347 SM); filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada
atau ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli;
2) Aristoteles (384-322 SM); filsafat adalah ilmu pengetahuanyang
meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-
ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika
atau filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda;
3) Marcus Tullius Cicero (106-43 SM); filsafat adalah pengetahuan
tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya;
4) Immanuel Kant (1724-1804); filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:
“apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika), apakah yang
dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika), sampai di manakah pengharapan
kita? (dijawab oleh antropologi)”.
Dalam pengertiannya sebagai pengetahuan yang menembus dasar-
dasar terakhir dari segala sesuatu, filsafat memiliki empat cabang keilmuan

lxxxix
yang utama, yaitu:
1) Metafisika; cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu
yang-ada dan yang mungkin-ada. Metafisika terdiri atas metafisika
umum yang selanjutnya disebut sebagai ontologi, yaitu ilmu yang
membahas segala sesuatu yang-ada, dan metafisika khusus yang terbagi
dalam teodesi yang membahas adanya Tuhan, kosmologi yang membahas
adanya alam semesta, dan antropologi metafisik yang membahas adanya
manusia.
2) Epistemologi; cabang filsafat mempelajari seluk beluk pengetahuan.
Dalam epistemologi, terkandung pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang
pengetahuan, seperti kriteria apa yang dapat memuaskan kita untuk
mengungkapkan kebenaran, apakah sesuatu yang kita percaya dapat
diketahui, dan apa yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan yang
dianggap benar.
3) Aksiologi; cabang filsafat yang menelusuri hakikat nilai. Dalam
aksiologi terdapat etika yang membahas hakikat nilai baik-buruk, dan
estetika yang membahas nilai-nilai keindahan. Dalam etika, dipelajari
dasar-dasar benar- salah dan baik-buruk dengan pertimbangan-
pertimbangan moral secara fundamental dan praktis. Sedangkan dalam
estetika, dipelajari kriteria-kriteria yang mengantarkan sesuatu dapat
disebut indah.
4) Logika; cabang filsafat yang memuat aturan-aturan berpikir
rasional. Logika mengajarkan manusia untuk menelusuri struktur-struktur
argumen yang mengandung kebenaran atau menggali secara optimal
pengetahuan manusia berdasarkan bukti-buktinya. Bagi para filsuf, logika
merupakan alat utama yang digunakan dalam meluruskan pertimbangan-
pertimbangan. Rasioanl mereka untuk menemukan kebenaran dari
problem-problem kefilsafatan.
5) Metodologi: filsafat yang membahas persoalan hakikat metode atau
metologi penelitian
6) Estetika: cabang filsafat yang berkaitan dengan permasalahan pemecahan

xc
konsep-konsep yang mengandung nilai keindahan dalam hal-hal bersifat
estetik.
B. Konsep pancasila sebagai sistem Filsafat
Selain itu adapun pandangan-pandangan dalam pidato oleh beberapa
presiden dan tokoh-tokoh tehadap Pancasila sebagai sistem Filsafat
1) Pandangan Bung Karno, Penegasan bung Karno tentang Pancasila sebagai
suatu sistem filsafat pada sidang BPUPK pada tanggal 1 Juni adalah
sebagai berikut:
Banyak anggota telah berpidato dan dalam pidato mereka itu diutarakan
hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua Yang
Mulia yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut Anggapan saya
yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua Yang Mulia ialah, dalam bahasa
Belanda: "Philosophische Grondslag" daripada Indonesia merdeka.
Philosophische Grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat dan sedalam-dalamnya untuk di atasnya
didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan Abadi...Paduka Tuan
Ketua minta dasar, minta Philosophische Grondslag atau jikalau boleh
memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua Yang Mulia
meminta suatu "Weltanschaunng", diatas mana kita mendirikan Negara
Indonesia itu.
2) Pandangan Muh. Yamin, memberikan pembuktian dalam bukunya yang
berjudul Sistem Falsafah Pancasila. Beliau mengambil pangkal otak
pembuktian dari definisi filsafat dan semboyan pada Lambang Garuda
Pancasila melalui Konteks Pembukaan UUD 1945. Beliau mengutip
definisi filsafat menurut Hegel bahwa hakikat filosofi adalah suatu
sintesis pikiran yang lahir dari antitesis. Pada alinea pertama pembukaan
UUD 1945 disebutkan, "penjajahan bertentangan dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan, sebab kemerdekaan ialah hak segala
bangsa." Jika ditelaah, maka kemerdekaan ialah hak segala bangsa itu
termasuk dalam kandungan tesis, sedangkan "penjajahan bertentangan
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" termasuk dalam kandungan

xci
antitesis. Jika antitesis hilang, maka lahirlah kemerdekaan. Kemerdekaan
ini disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
berdasarkan Pancasila, ini adalah suatu sintesis. Jadi, sejalan dengan
pandangan Hegel, Pancasila adalah suatu sistem falsafah.
3) Pandangan Notonagoro, Pada seminar Pancasila di Universitas Gajah
Mada pada tahun 1959 dan ditengah-tengah hangatnya perdebatan dalam
sidang Konstituante mengenai Dasar Negara, Prof. Dr. Notonogoro
menyampaikan dalam makalahanya bahwa “Berita pikiran ilmiah tentang
kemungkinan jalan keluar dari kesulitan mengenai Pancasila sebagai
Dasar Negara Republik Indonesia”. Suatu dasar filsafat negara harus
merupakan suatu kesatuan: boleh tersusun atas bagian-bagian, tetapi
bagian-bagian itu tidak boleh saling bertentangan. Oleh karena itu,
semuanya harus bersama- sama menyusun satu hal yang baru dan utuh
sehingga susunan Pancasila bersifat hierarkis-piramidal. Dilihat dari
isinya, urutan- urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian. Tapi, sila
merupakan pengkhususan dari sila sebelumnya. Jadi, Pancasila meru-
pakan satu kesatuan yang bulat. Dengan demikian Ketuhanan Yang Maha
esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan dan berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila harus ditulis
dalam satu kata. Bertitik tolak dari logika pengertian, suatu pengertian
yang bersifat umum- abstrak yang mempunyai isi (ciri) lebih sedikit
sehingga luasnya (jangkauan pengertiannya) menjadi tak terbatas.
4) Pandangan Soediman Kartohadiprodjo, Pembuktian yang disampaikan
oleh Soediman Kartohdiprodjo sebeneranya tidak berbeda jauh dengan
apa yang disampaikan oleh Notonagoro. Soediman Kartohdiprodjo
mengambil pangkal tolak hukum adat sebagai pancaran jiwa bangsa
sebagaimana yang diuraikannya dalam bukunya, Beberapa Pikiran Sekitar
Pancasila, bahwa Pancasila merupakan filsafat, pengertian yang telah
diberikan pada Pancasila harus merupakan satu rangkaian pikiran yang

xcii
bulat. Oleh karena itu yang primer bukanlah arti masing- masing sila,
tetapi arti dari satu sila dalam hubungannya dengan sila-sila lainnya
sehingga terdapat suatu rangkaian yang bulat dengan menggunakan alat
ukur jiwa bangsa Indonesia. Pancaran jiwa bangsa dapat diketemukan
dalam kebudayaan bangsa, seperti yang terdapat dalam hukum adat.
Filsafat Pancasila merupakan pikiran dari bangsa Indonesia
Indonesia mengenai pergaulan hidup manusia ialah suatu a mengenai
pergaulan hidup manusia. Asas-asas pikiran bangsa kekeluargaan. Kata
“kekeluargaan” berasal dari keluarga sebagai suatu pergaulan hidup,
karena di dalamnya terdapat perbedaan umur, dan jenis kelamin sekaligus
persamaan dan kesatuan (dalam tujuan). Jadi, pikiran yang berpangkal
pada kesatuan dalam perbedaan inilah yang merupakan pikiran yang
terdapat dalam filsafat Pancasila (Rindjin, 2012:214). Soediman
Kartohadiprodjojuga menjelaskan:
Filsafat itu adalah suatu pemikiran yang bulat, suatu pemikiran
yang terdiri dari rangkaian pikiran-pikiran dan kalau pikiran- pikiran itu
dilukiskan dalam beberapa inti, maka antara inti satu dan lainnya itu
terdapat suatu hubungan yang gait menggait..., apa yang dikemukakan
oleh Ir. Soekarno itu hanya merupakan inti-intinya dari filsafat yang
diminta oleh ketua; dasar filsafat negara (staats filosofie). Karena itu
dapatlah dimengerti kalau filsafat Pancasila ini dibawakan sebagai inti-
intinya hal-hal yang berkenaan dengan manusia, disebabkan negara itu
adalah manusia, organisasi manusia.
Dikiranya semua ini bahwa Pancasila ini adalah ciptaan Ir.
Soekarno, tetapi Ir. Soekarno menolaknya disebut pencipta Pancasila,
melainkan mengatakan bahwa Pancasila itu adalah isi jiwa bangsa
Indonesia. Kalau suatu falsafah adalah “isi jiwa bangsa” maka filsafat itu
adalah filsafat bangsa tadi. Jadi, Pancasila itu adalah filsafat bangsa
Indonesia. Pancasila ini adalah isi jiwa bangsa Indonesia, yang turun
temurun sekian abad lamanya, tetapi terpendam bisu oleh penjajahan
barat (dalam Sugiarto, 2009: 112).

xciii
5) Pandangan Soeharto, Pada peringatan hari lahir Pancasila pada tahun
1967 dan 1968 Presiden Soeharto telah mengetengahkan pandangannya
mengenai Pancasila, dalam pidatonya beliau banyak menyinggung dan
menegaskan kembali kedudukan Pancasila, di antara pidatonya yaitu:

Suatu bangsa memang harus mempunyai satu pandangan hidup, satu


falsafah hidup, agar dengan demikian bangsa itu melihat dengan jelas
semua persoalan yang dihadapinya den ke arah mana tujuan hidup yang
akan dicapainya. Tanpa pegangan hidup itu sesuatu bangsa dapat
terombang-ambing oleh berbagai masalah-masalah besar yang
dihadapinya, baik masalah-masalah dalam negeri maupun masalah-
masalah luar negeri... Tanpa pegangan hidup yang kuat dan tepat,
sesuatu bangsa akan goyah. Pegangan hidup itu sangat perlu, buat mas
kini depan, lebih-lebih bagi bangsa Indonesia yang dalam
pertumbuhannya selalu mengalami cobaan-cobaan yang berat (Soeharto,
1976: 13).

Dalam pidatonya pada tahun 1972 di Australia beliau juga menyatakan:

Negara Republik Indonesia memang tergolong muda dalam barisan


negara-negara di dunia. Tetapi bangsa Indonesia lahir dari sejarah dan
kebudayaan yang tua, melalui masa gemilangnya negara Kerajaan
Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, kemudian mengalami masa
penderitaan penjajahan sepanjang tiga setengah abad, sampai akhirnya
dalam tahun 1945 bangsa kami memproklamirkan kemerdekaan setelah
melakukan perlawanan dan pemberontakan melawan penjajahan yang
kejam, kesemuanya itu membentuk kepribadian kami. Kepribadian inilah
yang kami tetapkan menjadi pandangan hidup kami, falsafah negara
kami, Pancasila, yang merupakan kesatuan yang bulat dari: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
per- musyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
In- donesia (Soeharto, 1976: 9-10).

B. Pancasila sebagai system Filsafat


Pancasila dapat dikatakan sebagai system filsafat, karena telah
memenuhi persyaratan untuk dapat disebut sebagai system filsafat. Syarat-
syarat tersebut adalah kesatuan,
Syarat-syarat tersebut ialah: adanya kesatuan, adanya keteraturan,
adanya keterkaitan adanya kerja sama dan adanya tujuan bersama. seperti pada

xciv
uraian di bawah ini
1. Adanya kesatuan dari kelima sila Pancasila Sila-sila dalam Pancasila
merupakan rangkaian kesatuan dan kebulatan yang tidak dapat dipisahkan
karena tiap sila mengandung empat sila yang lainnya. Dengan demikian
maka sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh.
2. Adanya keteraturan daripada sila-sila Pancasila Susunan sila- sila
Pancasila itu adalah sistematis-hierarkis karena kelima sila Pancasila itu
menunjukkan suatu rangkaian urutan-urutan yang bertingkat, dimana tiap-
tiap sila mempunyai tempatnya sendiri di dalam rangkaian susunan
kesatuan itu sehingga tidak dapat pindah-pindahan. Artinya masing-
masing sila Pancasila itu berada pada posisi yang tetap dan tidak berubah.
Keteraturan tersebut ditegaskan pula dalam tata urutanya yang terdapat
dalam Pembukaan UUD 1945 dan Inpres No. 12 Tahun 1968.
3. Adanya keterkaitan antara sila yang satu dengan sila yang lain. Artinya
adanya ketergantungan antara sila yang satu dengan sila yang lain. Hal ini
terlihat dari pemberian makna terhadap sutu sila akan terkait dengan sila
yang lainnya. Misalnya Persatuan Indonesia adalah Persatuan yang
Berketuhanan YME, yang Berkemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang
Berkerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan yang Berkeadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
4. Adanya kerja sama antara sila yang satu dengan sila yang lain. Kerja sama
antara sila yang satu dengan sila yang lain adalah mutlak dalam hubungan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Antara sila yang satu dengan sila
yang lain tidaklah bertentangan, melainkan tiap-tiap sila merupakan
bagian yang mutlak dari sila yang lain, apabila dihilangkan satu sila saja,
sila-sila yang lain akan kehilangan kedudukan dan fungsinya, yaitu
merealisasikan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 dengan menjamin pemerintahan yang stabil. Jadi kerja sama antara
sila yang satu dengan sila yang lain merupakan suatu persatuan dan
kesatuan yang utuh karena Pancasila sebagai dasar filsafat negara itu

xcv
terdiri atas lima sila. Maka dari itu masing-masing sila saling berhubungan
dengansila yang lainnya. Sila yang berada di atas akan menjiwai/meliputi
sila-sila yang berada di bawahnya atau sila yang berada di bawa akan
dijiwai/diliputi oleh sila-sila yang berada di atasnya. Misalnya Sila
Persatuan Indonesia dijiwai/diliputi oleh sila Ketuhanan YME sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan menjiwal/melipun sila
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
5. Adanya tujuan bersama yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar
filsafat negara, yaitu mewujudkan tujuan nasional yang terdapat sdalam
Pembukaan UUD 1945.

C. Kesatuan Sila-Sila Sebagai Sistem Filsafat


Kesatuan sila-sila Pancasila sebagai system filsafat sebagai berikut :
1. Dasar ontologi
Istilah ontologi berasal dari kata Yunani onta yang berarti sesuatu
yang sungguh-sungguh ada, kenyataan yang sesungguhnya. dan logos
yang berarti teori atau ilmu. Ontologi mempelajari keberadaan dalam
bentuknya yang paling abstrak, dan pertanyaan yang diajukan adalah
"Apakah keberadaan (Ada) itu? Ontologi merupakan cabang filsafat yang
membicarakan tatanan dan struktur kenyataan dalam arti yang luas.
Kategori-kategori yang dipakai adalah mengada atau menjadi, aktualitas
atau potensionalitas, nyata atau nampak, perubahan, eksistensi atau non
eksistensi, hakikat, kemutlakan, yang terdalam.
Bidang ontologi ini meliputi penyelidikan tentang makna
keberadaan (ada, eksistensi) manusia, benda, ada alam semesta
(kosmologi), juga ada mutlak yang tidak terbatas sebagai maha sumber
ada semesta. Artinya, ontologi menjangkau adanya Tuhan dan alam gaib,
seperti rohani dan kehidupan sesudah kematian (alam di balik dunia, alam
metefisika). Jadi, ontologi adalah bidang yang menyelidiki makna yang

xcvi
ada (eksistensi dan keberadaan), sumber ada, jenis ada dan hakikat ada,
termasuk ada alam, manusia, metafisika, dan kesemestaan atau kosmologi.
Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul pembentukannya, Pancasila
memenuhi syarat sebagai dasar filsafat negara. Ada empat macam sebab
(causa) yang menurut Notonagoro dapat digunakan untuk menetapkan
Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, yaitu sebab berupa materi
(causa material), sebab berupa bentuk (causa formalis), sebab berupa
tujuan (causa finalis), dan sebab berupa asal mula karya (causa eficient).
Lebih jauh Notonagoro menjelaskan keempat causa itu seperti berikut.
Pertama, bangsa Indonesia sebagai asal mula bahan (causa materialis)
terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya;
kedua, seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Bung Karno yang kemudian
bersama-sama Bung Hatta menjadi Pembentuk Negara, sebagai asal
mula bentuk atau bangun (causa formalis) dan asal mula tujuan (causa
finalis) dari Pancasila sebagai calon dasar filsafat Negara; ketiga,
sejumlah sembilan orang, di antaranya kedua beliau tersebut
ditambah dengan semua anggota BPUPKI yang terdiri atas
golongan-golongan kebangsaan dan agama, dengan menyusun rencana
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tempat terdapatnya Pancasila,
dan juga Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang menerima rencana tersebut dengan perubahan sebagai asal
mula sambungan, baik dalam arti asal mula bentuk maupun dalam arti
asal mula tujuan dari Pancasila sebagai Calon Dasar Filsafat Negara;
keempat, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai asal
mula karya (causa eficient), yaitu yang menjadikan Pancasila sebagai
Dasar Filsafat Negara yang sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar
Filsafat Negara
2. Dasar epistomologis
Epistemologi berasal dari kata Yunani "episteme" dan
"logos".Episteme biasa diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran dan

xcvii
logos diartikan pikiran atau teori. Epistemologi dapat diartikan sebagai
teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut 'teori
pengetahuan' (theory of knowledge).
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki secara kritis
hakikat, landasan, batas-batas dan patokan kesahihan pengetahuan. Secara
sederhana pengetahuan adalah hasil aktivitas kejiwaan karena ada
hubungan antara subjek yang sadar dengan objek yang ingin dikenal atau
dengan kata lain hasil aktivitas kesadaran karena adanya hubungan antara
subjek dan objek yang diinginkan.
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang
memiliki hakikat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia menjadi
dasar adanya Pancasila. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok
sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu
terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa, jasmani dan rohani, sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat
manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber pengetahuan Pancasila dapat ditelusuri melalui sejarah
terbentuknya Pancasila. Dalam penelusuran sejarah mengenai
kebudayaan yang berkait dengan lahirnya Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia telah diuraikan di depan yang secara garis
besar dapat dikemukakan sebagai berikut. Akar sila-sila Pancasila ada dan
berpijak pada nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia.
Nilai serta budaya ejarahat bangsa Indonesia yang dapat
diungkap mulai awal sejarah pada abad IV Masehi di samping diambil
dari nilai asli Indonesia juga diperkaya dengan dimasukkannya nilai dan
budaya dari luar Indonesia. Nilai-nilai dimaksud berasal dari agama
Hindu, Budha, Islam, serta nilai- nilai demokrasi yang dibawa dari
Barat. Berdasarkan realitas yang demikian maka dapat dikatakan
bahwa secara epistemologis pengetahuan Pancasila bersumber pada nilai
dan budaya tradisional dan modern, budaya asli dan campuran.

xcviii
3. Dasar aksiologis
Aksiologi menurut Runes berasal dari istilah Yunani, yaitu axios
yang berarti nilai, manfaat, pikiran atau ilmu/teori. Dalam pengertian yang
modern, aksiologi disamakan dengan teori nilai, yakni sesuatu yang
diinginkan, disukai atau yang baik, bidang yang menyelidiki hakikat nilai,
kriteria, dan kedudukan metafisika suatu nilai
Menurut Prof. Brameld, aksiologi dapat disimpulkan sebagai suatu
cabang filsafat yang menyelidiki:
1. Tingkah laku moral yang berwujud etika,
2. Ekspresi etika yang berwujud estetika atau seni dan keindahan, sert
3. Sosio-politik yang berwujud idiologi
Bidang aksiologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki makna
nilai, sumber nilai, jenis dan tingkatan nilai, serta hakikat nilai.
Sebagaimana dihayati manusia,kehidupan manusia selalu berada dan
dipengaruhi nilai, seperti nilai alamiah dan jasmaniah (tanah subur, udara
bersih, air bersih, cahaya, dan panas matahari, tumbuh-tumbuhan dan
hewan) demi kehidupan. Ada pula nilai psikologis, seperti berpikir, rasa
karsa, cinta,estetika,etika, logika,dan cita-cita bahlan ada pula nila
ketuhanan dan agama.
Menurut Kaelan (2002: 128), nilai-nilai yang terkandung dalam sila I
sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan
bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Namun,
Pancasila yang pada tahun 1945 secara formal menjadi dasar Sollen bangsa
Indonesia, sebenarnya diangkat dari kenyataan rill yang berupa prinsip-prinsip
dasar yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan
keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana
dikutip oleh Kaelan (2002: 129), Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa
Indonesia, Pancasila merupakan Sein im Sollen. Pancasila merupakan
harapan, cita- cita, tapi sekaligus adalah kenyataan bagi bangsa Indonesia.
Pancasila mengandung nilai, baik intrinsik maupun ekstrinsik atau

xcix
instrumental. Nilai intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan antara nilai
asli milik bangsa Indonesia dan nilai yang diambil dari budaya luar Indonesia,
baik yang diserap pada saat Indonesia memasuki masa sejarah abad IV
Masehi, masa imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan
Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para pejuang
kemerdekaan lainnya yang mengambil nilai-nilai modern saat belajar ke
negara Belanda.
D. Hakikat Sila-Sila Pancasila
Kata ‘hakikat’ dapat diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari
segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang
mewujudkan sesuatu itu, sehingga terpisah dengan sesuatu lain dan bersifat
mutlak. Hakikat segala sesuatu mengandung kesatuan mutlak dari unsur-unsur
yang menyusun atau membentuknya. Misalnya, hakikat air terdiri atas dua
unsur mutlak, yaitu hidrogen dan oksigen. Kebersatuan kedua unsur tersebut
bersifat mutlak untuk mewujudkan air. Dengan kata lain, kedua unsur
tersebut secara bersama-sama menyusun air sehingga terpisah dari benda
yang lainnya, misalnya dengan batu, kayu, air raksa dan lain sebagainya.
Terkait dengan hakikat sila-sila Pancasila, pengertian kata‘hakikat’ dapat
dipahami dalam tiga kategori, yaitu:
1) Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau hakikat
umum yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak
berubah. Hakikat abstrak sila-sila Pancasila menunjuk pada kata:
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Menurut bentuknya, Pancasila terdiri atas kata-kata dasar Tuhan,
manusia, satu, rakyat, dan adil yang dibubuhi awalan dan akhiran, berupa
ke dan an (sila I, II, IV, dan V), sedangkan yang satu berupa per dan an
(sila III). Kedua macam awalan dan akhiran itu mempunyai kesamaan
dalam maksudnya yang pokok, ialah membuat abstrak atau mujarad,
tidak maujud atau lebih tidak maujud arti daripada kata dasarnya.
2) Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus, artinya
terikat kepada barang sesuatu. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada

c
ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila pada bangsa Indonesia, yaitu adat
istiadat, nilai-nilai agama, nila-nilai kebudayaan, sifat dan karakter
yang melekat pada bangsa Indonesia sehingga membedakan bangsa
Indonesia dengan bangsa yang lain di dunia. Sifat-sifat dan ciri-ciri ini
tetap melekat dan ada pada bangsa Indonesia. Hakikat pribadi inilah
yang realisasinya sering disebut sebagai kepribadian, dan totalitas
kongkritnya disebut kepribadian Pancasila.

3) Hakikat konkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya.


Hakikat konkrit Pancasila terletak pada fungsi Pancasila sebagai
dasar filsafat negara. Dalam realisasinya, Pancasila adalah pedoman
praktis, yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan negara,
bangsa dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan sehari- hari,
tempat, keadaan dan waktu. Dengan realisasi hakikat kongkrit itu,
pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan negara setiap hari bersifat
dinamis, antisipatif, dan sesuai dengan perkembangan waktu, keadaan,
serta perubahan zaman.

E. Pentingnya Pancasila sebagai sistem Filsafat


Pancasila dinilai sangat penting sebagai suatu sistem filsafat sebab
mempunyai peran sangat vital bagi bangsa Indonesia diantaranya yaitu:
1) Dapat memulihkan harga diri bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang
merdeka, dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan
bangsa Indonesia secara materil dan spiritual
2) Membangun alam pikiran yang berakal dari nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia sendiri sehingga mampu menghadapi berbagai ancaman dari
ideologi dunia
3) Menjadi dasar pijakan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang
dapat melunturkan semangat bangsa dan melemahkan beberapa sendi
kebudayaan dan sosial hidup bangsa Indonesia

ci
4) Menjadi way of life seaklaigus way of thinking bangsa Indonesia untuk
menjaga keseimbangan dan konsistensi antara tindakan dan pemikiran
Pentingnya Pancasila sebagai sistem filsafat ialah agar dapat diberikan
pertanggungjawaban rasional dan mendasar mengenai sila-sila dalam
Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik, agar dapat dijabarkan lebih lanjut
sehingga menjadi operasional dalam penyelenggaraan negara, agar dapat
membuka dialog dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara; dan agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala
kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan
bermasyarakat. (Kemenristek Dikti, 2016: 172)

cii
BAB VI
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

A. Pengertian Etika
Secara etimologis asal kata, etika berasal dari bahasa Yunani,
ethos, yang artinya padang rumput, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap
cara berpikir. Dalam bentuk jamak berarti adat kebiasaan. Etika berarti ilmu
tentangapa yang biasa dilakukan atau ilmu adat istiadat. Selain itu, etika
identik dengan istilah moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang
jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika
dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini
digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan
yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai
yang ada.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1991 edisi kedua, Etika
(a) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (ahlak). (b) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
ahlak (c) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
masyarakat.
Menurut K. Bertens (2011), Etika, memiliki 3 arti, yaitu (a) Nilai-nilai
dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok
orang dalam bertingkah laku (b) Kumpulan asas atau nilai moral, (c) Ilmu
tentng yang baik dan buruk.
Etika termasuk salah satu cabang filsafat yang mempunyai kedudukan
tersendiri. Etika membahas yang harus dilakukan oleh seseorang karenanya
berhubungan dengan yang harus dan tidak harus/ boleh dilakukan oleh
manusia dalam kehidupannya. Nilai dan norma etis banyak juga berasal dari
agama, sehingga setiap orang yang beragama akan berusaha menjadikan
agama sebagai pedoman nilai dan norma etis dalam kehidupan pribadi dan
sosialnya.

ciii
1. Etika dan Moral

Etika dan moral merupakan dua istilah yang berkaitan. Menurut


K. Bertens (2011:7), etimologi kata moral sama dengan etimologi kata
“etika”. Akan tetapi, kata “moral” dapat dipakai sebagai kata benda
(nomina) atau sebagai kata sifat (adjektiva). Kata “moral”berarti sama
dengan “etis” apabila digunakan sebagai kata sifat. Apabila kata “moral”
digunakan sebagai kata benda maka diartikan sebagai nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok
orang dalam bertingkah laku. Definisi tersebut sama dengan definisi kata
“etika” dalam arti yang mengemukakan bahwa kata moral selalu
menunjuk kepada manusia sebagai manusia. Misalnya, kita mengatakan
bahwa Bu Sintia adalah orang yang baik. “Baik” yang dimaksud adalah
dalam arti moral. Meskipun Bu Sintia dalam menyampaikan materi
(berprofesi sebagai guru) di dalam kelas kurang mudah dipahami oleh
siswa, akan tetapi sebagai manusia, Bu Sintia sangat baik sehingga dekat
dan dicintai oleh siswa-siswanya. Dengan demikian, kualitas moral
seseorang tergantung pada apakah ia baik sebagai manusia. Selain “etika”
dan “moral”, terdapat beberapa istilah yang berkaitan dan memiliki
perbedaan, yaitu “amoral” dan “immoral”.
Kata “amoral” menurut Wiktionary, merupakan kata sifat yang
berarti bukan moral maupun immoral (berkaitan dengan tindakan); tidak
berhubungan dengan moral maupun immoral (berkaitan dengan orang).
Kata “amoral” bersinonim dengan kata “non-moral”. Sedangkan
kata“immoral”, berkebalikan dengan kata “moral”. Immoral berarti tidak
bermoral; bertentangan dengan moral yang baik; tidak etis. Menurut
KBBI, kata “amoral” didefinisikan sebagai tidak bermoral; tidak
berakhlak. Misalnya memeras pensiunan adalah tidak amoral. Akan
tetapi, dalam buku ini akan digunakan definisi amoral maupun immoral
mengikuti definisi dari istilah-istilah Inggris agar segala maksud dapat
terwadahi. Misalnya, Ani hendak memasukkan buku- buku pelajaran dan
alat tulisnya ke dalam tas sekolahnya. Apabila Ani memasukkan buku

civ
pelajaran terlebih dahulu kemudian alat tulisnya, maka dapat dikatakan
bahwa Ani bermoral baik? Atau sebaliknya, apakah Ani disebut tidak
bermoral apabila memasukkan alat tulis sebelum memasukkan buku
pelajarannya ke dalam tas sekolahnya? Kedua kalimat tanya tersebut tidak
dapat dijawab karena tindakan Ani tidak ada kaitannya dengan moral
sehingga bukan bermoral maupun tidak bermoral. Tindakan Ani tersebut
merupakan amoral atau tidak berhubungan dengan konteks moral. Oleh
karena itu, penggunaan istilah “moral” , “amoral” dan “immoral”, akan
dapat membantu untuk memahami segala tindakan tentang baik dan buruk
dengan lebih lengkap dan terperinci.
2. Etika dan Sopan Santun
Etika kerap diartikan sebagai sopan santun. Sesungguhnya etika
dan sopan santun adalah dua hal yang berbeda. Apabila kita bandingkan,
bentuk kata dari kedua istilah tersebut dalam bahasa Inggris sangatlah
berbeda, yaitu ethics dan etiquette. Akan tetapi, kedua istilah tersebut
memiliki arti yang dekat satu sama lain. Etika dan sopan santun (etiket)
memiliki persamaan dan perbedaan, yaitu sebagai berikut .
a. Persamaan Etika dan Sopan Santun (Etiket)
1) Kedua istilah tersebut menyangkut tentang perilaku manusia dan
hanya dipakai mengenai manusia karena hewan tidak mengenal
etika maupun etiket.
2) Kedua istilah tersebut mengatur tentang perilaku manusia secara
normatif, yaitu memberi norma bagi perilaku manusia terkait
dengan yang seharusnya dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
b. Perbedaan Etika dan Sopan Santun (Etiket)
1. Sopan santun bersifat relatif, sedangkan etika bersifat mutlak atau
absolut. Misalnya, apabila menyebut atau memanggil nama orang
yang lebih tua menggunakan tambahan “bapak” atau “ibu” atau
imbuhan lainnya maka dianggap sopan di Indonesia karena untuk
menghormati. Sedangkan di Amerika, tidak selalu harus
menggunakan tambahan “Mr” atau “Mrs”atau “Miss” bahkan ada

cv
yang langsung menyebut nama untuk memanggil nama orang
yang lebih tua. Meskipun sopan santun tersebut dapat bergeser
penggunaannya. Misalnya, seseorang yang lebih muda dapat
memanggil orang lain yang lebih tua tanpa menggunakan sebutan
& quot ; bapak/ibu & quot; karena sudah akrab atau karena
alasan lainnya dan dianggap sopan. Dengan demikian, sopan
santun bergantung pada ruang dan waktu. Sedangkan Etika
bersifat mutlak. Etika tidak mengenal batasan ruang dan waktu.
Misalnya, mencuri adalah perbuatan yang tidak baik. Prinsip
tersebut berlaku di mana pun dan kapan pun baik di Indonesia, di
Amerika bahkan di seluruh dunia.
2. Sopan santun hanya berlaku pada pergaulan, sedangkan etika
berlaku kapan pun dan di mana pun. Sopan santun berlaku
apabila ada dua orang atau lebih yang saling berinteraksi.
Misalnya, suatu ketika Diana sedang menghadiri rapat bersama
dengan teman organisasi dan dosen pembimbingnya. Diana
dianggap sopan karena tidak tiduran di lantai tetapi duduk di
kursi. Namun, apabila semua orang, kecuali Diana, sudah
meninggalkan ruangan, kemudian Diana tiduran di lantai atau di
atas meja maka tidak akan dianggap tidak sopan. Dengan
demikian, sopan santun berlaku apabila ada lawan main.
Sedangkan Etika, tidak mempedulikan apakah seseorang sedang
sendiri atau sedang berinteraksi dengan orang lain. Misalnya,
setelah semua orang meninggalkan ruang rapat, kecuali Diana,
kemudian Diana mengambil kursi yang ada di ruangan tanpa izin
untuk di bawa pulang karena di kosannya tidak ada kursi.
Meskipun tidak ada satu orang pun yang mengetahui perbuatan
Diana, akan tetapi perbuatan tersebut tetap tidak dibenarkan.
3. Sopan santun menyangkut cara suatu perbuatan yang harus
dilakukan, sedangkan etika memberi norma tentang perbuatan itu
sendiri. Etiket menunjukkan cara yang tepat untuk melakukan

cvi
suatu perbuatan tertentu di masyarakat. Misalnya, seseorang
memberikan atau menyerahkan sesuatu kepada orang lain harus
menggunakan tangan kanan, maka dianggap sopan. Sedangkan
etika, memberikan norma terhadap perbuatan tersebut. Misalnya,
Diana dan teman-temannya sedang mengikuti ujian tulis di dalam
kelas. Suatu ketika, ada teman Diana yang meminta contekan
padanya. Lalu Diana memberikan contekan tersebut dengan
menggunakan tangan kanan. Etika tidak memandang apakah
sopan atau tidak sopan perbuatan tersebut dilakukan, tetapi
memberikan norma dari perbuatan itu sendiri. Meskipun Diana
memberikan contekan kepada temannya secara sopan, tetapi
perbuatan tersebut tidak dibenarkan. Cara melakukan suatu
perbuatan tidak dipertimbangkan apabila tidak sesuai dengan
norma etika.
4. Sopan santun hanya memandang dari segi lahiriah saja,
sedangkan etika memandang hingga segi batiniah. Seseorang
dapat kelihatan halus dan lembut dari luar, akan tetapi dari dalam
ternyata berkebalikan. Misalnya, Diana diminta dosen
pembimbingnya untuk membantu menyelesaikan penulisan
sebuah laporan penelitian. Diana bersedia membantu dengan
berkata secara sopan kepada dosennya bahwa dia ikhlas mem-
bantu. Akan tetapi, di luar itu, ternyata Diana membongkar
kejelekan dosen tersebut di depan teman-temannya karena Diana
memenuhi permintaan dosennya hanya demi mendapat nilai yang
bagus. Perbuatan tersebut adalah munafik. Oleh karena itu, etika
harus diiringi dengan perilaku yang konsisten dan integritas yang
tinggi antara pikiran, perkataan dan perbuatan.
B. Aliran Besar Etika
Dalam kajian etika ada tiga aliran /teori besar yaitu, deontology,
teleologi, dan keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri
dalam menilai apakah suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk.

cvii
1. Etika Deontology
Istilah “deontologi” berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“kewajiban” (duty). Karena itu etika deontologi menekankan kewajiban
manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu
tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau
tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri
sebagai baik pada dirinya sendiri. Jadi, tindakan itu bernilai moral karena
tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban. Misalnya, seorang
arsiparis demi kewajibannya bersedia untuk mencarikan arsip yang
dibutuhkan oleh seorang peneliti.
Teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban moral.
Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban moral.
Deontologi tidak terpusat pada konsekuensi perbuatan. Dengan kata lain,
deontologi melaksanakan terlebih dahulu tanpa memikirkan akibatnya.
Berdasarkan pandangan demikian, etika deontologi sangat
menekankan pentingnya motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari
para pelaku, terlepas dari akibat yang timbul dari perilaku para pelaku
tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Immanuel Kant (1734-1804), bahwa
“kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun
juga”. Dalam menilai seluruh tindakan kita, kemauan baik harus selalu
dinilai paling pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya,
merupakan tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap
orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang akan
diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa
korupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika
deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari oleh
motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih
apapun dari tindakan yang dilakukan.
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban,
kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan

cviii
baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan
demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh
kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melakukan
perbuatan itu, dan tindakan yang baik adalah didasarkan atas otonomi
bebasnya tanpa ada paksaan dari luar
2. Etika Teologi
Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur
baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai
dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, bila akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan itu baik. Misalnya, mencuri bagi teori teleologi tidak ditentukan
oleh apakah tindakan itu sendiri baik atau tidak, melainkan ditentukan oleh
tujuan dan akibat dari tindakan itu.
Bila tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik, seperti seorang
anak mencuri uang untuk membeli obat bagi ibunya yang sakit parah.
Akan tetapi bila tindakan itu tujuannya buruk atau jahat, maka tindakan itu
dinilai jahat. Dari segi ini kita dapat menilai bahwa etika teleologi
cenderung menjadi situasional (etika situasi), karena tujuan dan akibat dari
tindakan itu dapat sangat situasional sifatnya, dan karena itu setiap norma
dan kewajiban moral tidak dapat berlaku begitu saja dalam setiap situasi.
Sebaliknya, etika deontologi yang menekankan baik buruknya suatu
tindakan berdasarkan kewajiban, dan demi kewajiban lebih menjurus pada
etika peraturan yang hanya ingin menegakkan aturan moral tanpa
memedulikan situasinya.
Aliran-aliran etika teleologi meliputi eudaemonisme, hedonisme,
dan utilitarianisme. Pada intinya, etika ini mengukur etis tidaknya
perbuatan berdasar hasil akhir yang didapatkan, bukan pada kewajibannya
yang dijalaninya.
3. Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga
mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral

cix
universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap
orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan
menjadi orang yang baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara
meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh
besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang
didalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru
oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam
masyarakat yang majemuk, maka tokoh- tokoh yang dijadikan panutan
juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam pula,
dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Secara etimologi, keutamaan merupakan terjemahan dari kata
bahasa Inggris, virtue, dalam bahasa Latin, virtus, yang artinya sifat watak
yang dimiliki manusia. Etika keutamaan tidak menyoroti pada perbuatan
yang dilakukan manusia apakah sesuai dengan norma moral atau tidak,
tetapi lebih memfokuskan pada manusia itu sendiri, watak manusia.
Apakah kita sebagai manusia memiliki watak yang baik atau buruk. Fokus
perhatian etika ini adalah ingin menjawab pertanyaan “saya harus menjadi
orang yang bagaimana (what kind of person should I be)?” Jawaban akan
mengarah pada being manusia. Keutamaan memiliki beberapa kaitan
dengan watak moral, yaitu: (1) keutamaan merupakan suatu disposisi,
suatu kecenderungan tetap; (2) keutamaan berkaitan dengan kehendak; (3)
keutamaan diperoleh melalui pembiasaan; (4) keutamaan dibedakan
dengan keterampilan..
Keutamaan merupakan suatu disposisi atau suatu kecenderungan
yang bersifat tetap. Keutamaan adalah watak atau karakter yang tetap.
Meskipun demikian, karakter seseorang dapat berubah, namun tidak
mudah terjadi. Orang yang memiliki karakter yang berubah-ubah,
misalnya kemarin baik, sekarang jahat, besok baik lagi, lusa jahat lagi,
dst., bukan merupakan keutamaan. Keutamaan ditandai dengan watak dari
seseorang yang sudah mendarah daging yang memung- kinkan dia untuk
bertindak baik secara moral.

cx
Keutamaan berkaitan dengan kehendak karena keutamaan
membuat kehendak tetap cenderung ke arah tertentu. Misalnya, Diana
adalah orang yang dermawan sehingga cenderung tetap memiliki kemauan
ke arah tertentu (yaitu suka memberikan sesuatu kepada orang lain) dalam
semua situasi yang dihadapinya. Kaitan antara kehendak dengan motif
atau motivasi Diana untuk melakukan perbuatan tersebut menjadi penting.
Apabila Diana kebiasaan tidak mau berbagi barang- barang miliknya
dengan orang lain dan sudah dikenal sebagai orang yang pelit, maka meski
suatu ketika Diana berperilaku dermawan, tetap tidak sesuai dengan etika
keutamaan. Orang akan berpikir pasti ada maksud tersembunyi di balik
perbuatan yang dilakukan Diana. Oleh karena itu, perilaku yang
mencerminkan keutamaan selali disertai dengan maksud yang baik.
Keutamaan diperoleh melalui pembiasaan. Keutamaan tidak
diperoleh manusia sejak lahir tetapi diperoleh karena pengaruh dari
lingkungan. Pendidikan baik formal, non-formal, maupun informal
memiliki peran yang penting dalam proses perolehan keutamaan bagi
seseorang. Proses tersebut disertai dengan upaya korektif, yang berarti
perolehan keutamaan dengan mengoreksi suatu karakter awal yang tidak
baik. Misalnya, seseorang yang penakut akan menjadi pemberani apabila
dia terbiasa untuk melawan rasa takutnya, Meskipun demikian, seseorang
yang sejak lahir bisa saja memiliki sifat pemberani. Akan tetapi, suatu
ketika dia selamat setelah mengalami kejadian yang kurang
menyenangkan karena tidak tahu bahwa tindakannya dapat
membahayakan dirinya. Sifatnya yang demikian tidak termasuk
keutamaan dan netral dari sudut pandang moral atau amoral. Namun perlu
diakui bahwa sifat yang baik seperti itu sangat bermanfaat bagi
pembentukan keutamaan karena dapat mempermudah dan memperlancar
prosesnya.

C. Etika dan Agama


Seperti yang telah dijelaskan di atas, etika adalah filsafat praktis,

cxi
artinya filsafat yang ingin memberikan penyuluhan kepada manusia dengan
memperlihatkan tentang apa yang harus dilakukan sebagai manusia. Demikian
halnya dengan agama, setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi
pegangan bagi manusia dalam berperilaku bagi penganutnya. Bahkan sebagian
besar manusia di dunia memiliki motivasi dalam bertindak tidak lain adalah
agama. Misalnya, Dian tidak berani berbuat curang karena agamanya
melarangnya. Jika Dian berbuat curang maka kelak akan mendapat balasan
sesuai dengan yang diajarkan dalam agamanya. Dengan demikian, orang-
orang apabila dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan maka akan
menyelesaikannya dengan berpedoman ajaran agama. Meski ajaran moral dari
agama-agama yang ada di dunia akan menemui sedikit perbedaan, tetapi tidak
terlalu besar. Secara umum terdapat dua macam aturan dalam ajaran
agama, yaitu aturan yabg bersifat khusus dan aturan bersifat umum. Aturan
khusus misalnya aturan tentang pelaksanaan peribadatan. Aturan yang lebih
umum contohnya tidak boleh berkata dusta, tidak boleh mencuri dan lain
sebagainya. Aturan umum melampaui kepentingan salah satu agama saja
sehingga setiap agam juga mengajarkan hal yang sama.
Etika membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah aktual
terutama yang diakibatkan oleh perkembangan ilmiah yang modern. Ajaran
agama yang terdapat dalam kitab suci pada umumnya tidak memberikan
pegangan yang bersifat praktis bagi penganutnya. Kerap kali agama
membutuhkan argumentasi-argumentasi yang dasarnya bersifat filosofis pada
saat menghadapi masalah etis yang berbeda kondisi dengan pada zaman
dahulu. Menyebutkan beberapa kaitan antara etika dan agama, yaitu sebagai
berikut:
1. Agama dan etika sama-sama meletakkan dasar moral.
2. Sifat dogmatis dari ajaran agama dapat diimbangi dengan sikap kritis dari
etika.
3. Etika dapat membantu dalam memberikan rasionalisasi dalam
menafsirkan agama yang cenderung statis.

cxii
4. Agama dapat mengoreksi kecenderungan etika yang bebas karena sesuai
dengan perkembangan manusia, dengan meletakkan hati nurani
sebagai pijakan dasar

D. Konsep Pancasila Sebagai Sistem Etika


Pancasila mengandung nilai sila-sila yang mengarahkan rakyat
Indonesia dalam berperilaku. Dalam kedudukannya Pancasila sebagai dasar
filsafah sehingga pedomannya dijabarkan dalam penyelenggaraan Pemerintah
negara sebagai berikut:
1. Soekarno (1986: 47) mengatakan bahwa Ketuhanan merupakan Leidstar
(bintang pemandu) utama bagi bangsa Indonesia dalam mengejar
kebaikan. Makna kata dari nilai Ketuhanan secara morfologis (kata dasar
Tuhan, mendapat awalan ke- dan akhiran-an), yakni perilaku manusia
disesuai kan dengan hakekat nilai-nilai yang berasal dari Tuhan, dan
direalisasikan dalam nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu, nilai
Ketuhanan diletakkan pada sila yang pertama dalam Pancasila karena
Tuhan sebagai causa prima, yaitu sebab pertama dari segala macam sebab
yang ada. Suseno mengatakan bahwa Tuhan bersifat transedental. Tuhan
tidak muncul menjadi suatu objek akan tetapi di dalam setiap kegiatan
manusia sudah bersentuhan dengan Tuhan. Menurut KBBI, transenden
memiliki arti di luar segala kemampuan manusia; luar biasa; utama.
Dengan demikian, Tuhan melampaui eksistensi manusia bahkan dunia
sehingga di luar jangkauan manusia. Selain bersifat transenden, Tuhan
juga bersifat imanen. Imanen adalah berada dalam kesadaran atau dalam
akal budi (pikiran) (KBBI, 2005). Dengan kata lain, Tuhan “ada di
dalam” pikiran manusia. Hal tersebut tidak berarti manusia adalah Tuhan
atau Tuhan berdasarkan pemikiran manusia, karena Tuhan adalah
pencipta segala sesuatu yang ada di dunia termasuk manusia. Menurut
kamus Teologi, Tuhan memang berbeda dengan dunia, tetapi tidak
terpisah darinya karena sifat-sifat-Nya yang tidak mengenal batas dan
kehadiran-Nya tak terbatas. Tuhan ada di mana-mana. Tuhan hadir tidak

cxiii
seperti manusia atau makhluk yang lain, tetapi hadir secara ilahi sehingga
disebut imanesi.
Dengan adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa maka berusaha
melakukan pencarian terhadap titik temu dengan semangat gotong royong
untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik
berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan. Indonesia bukan merupakan negara
sekuler di mana urusan agama dijadikan sebagai urusan privat karena sila
pertama Pancasila menghendaki agar nilai-nilai dalam segala aspek.
Indonesia tidak memisahkan antara agama dengan Ketuhanan menjadi
pedoman dalam menyelenggarakan kehidupan negara. Akan tetapi,
Indonesia juga bukan merupakan negara agama di mana negara
menggunakan hukum satu agama tertentu menjadi hukum negara
sehingga negara hanya merepresentasikan satu kelompok keagamaan
tertentu. Indonesia tidak menggabungkan antara agama dengan negara.
Sebagai jalan tengah sebagai negara yang bukan “separasi” maupun
“menggabungkan antara agama dengan negara maka Indonesia dapat
dikatakan memilih konsep “diferensiasi” Indonesia membedakan antara
agama dengan negara.
Nilai Ketuhanan yang kemudian dijabarkan ke dalam UUD NRI
Tahun 1945, terutama Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama- nya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu “.Berdasarkan pasal tersebut maka setiap orang dapat
memeluk dan menjalankan peribadatan sesuai dengan agamanya masing-
masing. Kita memerlukan kehidupan agama yang menghormati
mekanisme dan kebajikan demokrasi dan kita memerlukan demokrasi
yang menghargai kebajikan dalam agama. Dengan demikian, negara dan
agama dibedakan agar dapat mengoptimalkan perannya dalam usaha
mengembangkan kehidupan publik. Agama berperan dalam
mengembangkan tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dengan
dukungan keberadaan negara. Negara bertanggung jawab dalam

cxiv
mengembangkan tatanan kehidupan negara yang beradab dengan
dukungan keberadaban masyarakat. Apabila negara ingin beradab maka
harus ditopang oleh masyarakat yang beradab dan sebaliknya
2. Etika Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Menurut Notonegoro (1995: 100) dan Anas (2017: 199), makna
adil sesuai dengan nilai kemanusiaan yang ada dalam sila Kema- nusiaan
yang adil dan beradab adalah manusia yang adil pada diri sendiri, adil
terhadap sesama, dan adil terhadap Tuhan. Kemanusiaan yang adil dan
beradab mengandung prinsip kemanusiaan atau interna- sionalisme dan
tidak terjebak pada ego kesukuan yang sempit. Kemudian yang
dimaksudkan dengan beradab adalah manusia yang menjunjung tinggi
martabat manusia baik dirinya sendiri maupun orang lain. Hakikat
manusia Indonesia adalah bhinneka tunggal ika dan makhluk yang
bersifat mono-pluralis, majemuk-tunggal. Hakikat manusia yang
membedakan dengan manusia lain terdapat pada pola berpikir, berasa, dan
berkehendak. Sedangkan hubungan antara manusia dengan negara berupa
hubungan sebab-akibat. Salah satu unsur pembentukan suatu negara
adalah adanya rakyat yang terdiri atas kumpulan manusia. Oleh karena
itu, negara memiliki keharusan untuk memiliki sifat- sifat yang ada pada
manusia.
Soekarno mengatakan bahwa kebangsaan yang kita anjurkan
adalah kebangsaan yang mengarah kepada kekeluargaan bangsa-bangsa
(internasionalisme) sehingga bukan kebangsaan yang menyendiri atau
chauvinisme juga bukan nasionalisme tiruan dari nasionalisme Barat.
Kemudian Soekarno mengutip pernyataan Gandhi, “Saya seorang
nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan “atau “my
nationality is humanity”;. Berpendapat bahwa akan lebih efektif apabila
keadilan diimplementasikan disertai dengan sikap empati, solidaritas, dan
kepedulian. Nilai-nilai kemanusiaan yang universal harus dipadukan
dengan daya serap budaya lokal melalui proses dialogis. Orientasi yang
“keluar “yaitu bangsa Indonesia secara bebas-aktif ikut melaksanakan

cxv
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Sementara orientasi kemanusiaan yang adil dan beradab
yang “ke dalam” adalah memuliakan hak-hak asasi manusia sebagai
individu masuk ke Indonesia maka bangsa Indonesia dapat menyerap
nilai-nilai yang positif dengan berdasar pada nilai-nilai Pancasila.
3. Etika Persatuan Indonesia
Sumpah Pemuda yang dilakukan pada 28 Oktober 1928
melahirkan komitmen bagi para pemuda dan pemudi untuk bersatu
menjadi satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia, yang bertumpah darah
yang satu tanah air Indonesia, dan berbahasa satu, yaitu bahasa Indonesia.
Akan tetapi, bahwa secara diam-diam terdapat penolakan dari beberapa
peserta terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Selain itu, terdapat
sebagian peserta yang tidak menolak namun tidak mampu berbahasa
Indonesia sehingga akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Kemudian
Siti Soendari, berpidato menjelaskan tentang komitmen kebangsaan yang
dapat mendorong hal yang sulit menjadi tekad untuk melakukannya.
Selengkapnya sebagai berikut:

Sebelum kami memulai membicarakan ini, patutlah rasanya kami


terangkan terlebih dahulu mengapa kami tidak memakai bahasa Belanda
atau bahasa Jawa. Bukan sekali-kali karena kami hendak merendahkan
bahasa-bahasa ini, atau mengurangi harganya. Tidak demikian. Tetapi
barang siapa di antara tuan yang ikut dalam sumpah pemuda di Kota
Jakarta, yang diadakan beberapa bulan yang lalu atau setelah membaca
hasil kesepakatan tersebut, tentu masih mengingat akan hasilnya yaitu
hendak berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, hendak bertumpah darah
yang satu, tanah Indonesia, dan hendak menjunjung tinggi bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kami sebagai putri
Indonesia berani memakai bahasa Indonesia di hadapan rakyat kita ini.

Komitmen kebangsaan yang diawali dari nasionalisme


kedaerahan berangsur mulai mempertautkan diri ke dalam komunitas
politik impian yang bersifat lintas budaya, yang bernama “Indonesia”.
Kalimat-kalimat yang terdapat dalam Sumpah Pemuda memiliki makna
yang berbeda. Ikrar tentang “tumpah darah” dan “bangsa “diakui hanya

cxvi
ada satu tumpah darah, yaitu tanah air Indonesia, dan satu bangsa, yaitu
bangsa Indonesia. Sedangkan dalam hal “bahasa” tidak menggunakan
ungkapan bahasa yang satu, tetapi menggunakan “menjunjung tinggi
bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Para pemuda saat itu dalam berikrar
sangat visioner karena berpandangan bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang majemuk sehingga tidak memungkinkan hanya
menggunakan satu bahasa. Komitmen untuk menjunjung tinggi bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan lebih urgen.
4. Etika Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyarawatan dan Perwakilan
Menurut pandang Soekarno, demokrasi permusyawaratan
berfungsi ganda. Pertama, badan permusyawaratan/perwakilan menjadi
ajang untuk melakukan konfrontasi dan memperjuangkan aspirasi dari
golongan-golongan yang ada dalam masyarakat. Misalnya, terdapat suatu
kesepakatan yang kurang dikehendaki oleh golongan tertentu maka dapat
dimusyawarahkan. Fungsi kedua dari demokrasi permusyawaratan/
perwakilan yaitu menguatkan negara berdasar persatuan karena negara
bukan untuk satu orang atau satu golongan. Berdasarkan pertimbangan
tersebut maka nilai demokrasi permusyawaratan/perwakilan diletakkan
dalam sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Kebulatan mufakat dalam suatu musyawarah tidak didasarkan
pada suara mayoritas dan tidak juga mengedepankan suara minoritas.
Apabila dalam penentuan mufakat didasarkan pada suara terbanyak maka
sama dengan demokrasi di negara-negara Barat. Roeslan Abdulgani
mengemukakan bahwa toleransi yang dimaksudkan oleh Pancasila
terutama sila keempat adalah kompromi yang positif. Kom- promi yang
lahir bukan karena kelemahan dari salah satu pihak, melainkan karena
keyakinan dalam menghadapi realitas yang mengharuskan menggunakan
toleransi dalam arti hidup berdampingan
5. Etika Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia

cxvii
Soekarno memgemukakan bahwa apabila kita mencintai bangsa
Indonesia maka mari kita terima prinsip kesejahteraan, yang berarti tidak
hanya memiliki persamaan di bidang politik tetapi juga memiliki hak
sama di bidang ekonomi sehingga tidak akan ada kemiskinan di Indonesia
yang prinsip kesejahteraan di Indonesia tidak berbasis pada
individualisme-kapitalisme, tetapi sosialisme Indonesia. Sosialisme
Indonesia bukan sosialisme mumi karena selain menjunjung tinggi
persamaan dan kebebasan individu, juga mengedepankan tanggung jawab
dan solidaritas sosial demi terciptanya keadilan sosial. Keadilan yang
dikehendaki adalah yang didasarkan pada kemakmuran dan kebahagiaan
rakyat.
Secara etimologi, kata adil berasal dari bahasa Arab al-adl, yang
berarti lurus; seimbang. Keadilan didefinisikan sebagai memperlakukan
setiap orang dengan prinsip kesetaraan, tanpa deskriminasi dengan semua
perbedaan yang ada. Komitmen keadilan berdasarkan Pancasila membuat
negara memiliki beberapa peran dalam mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, yaitu: (a) Menciptakan hubungan yang adil pada
semua tingkat dalam sistem kemasyarakatan; (b) Mengembangkan
struktur atau kondisi yang mendukung tersedianya kesetaraan
kesempatan; (c) Memfasilitasi akses informasi, memberikan layanan, dan
sumber daya yang diperlukan; (d) Mendukung partisipasi yang bermakna
bagi semua orang dalam mengambil keputusan .

E. Perlunya Pancasila Sebagai Sistem Etika


Perlunya Pancasila sebagai sistem etika dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertujuan untuk: (a) memberikan
landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dalam menjalankan
kehidupan kebangsaan dalam berbagai aspek; (b) menentukan pokok-pokok
etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; dan (c) menjadi
kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika dan moral
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

cxviii
Etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara sebagaimana
dituangkan dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/Tahun 2001 tentang etika
kehidupan berbangsa meliputi etika sebagai berikut:
1. Etika Sosial dan Budaya
Etika Sosial dan Budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang
mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling
memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan saling menolong di
antara sesama manusia dan warga bangsa. Sejalan dengan itu, perlu
menumbuh kembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat
kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-
nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, juga perlu ditumbuhkembangkan
kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para
pemimpin baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat.
Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan
kembali kehidupan berbangsa yang berbudaya tinggi dengan menggugah,
menghargai, dan mengembangkan budaya nasional yang bersumber dari
budaya daerah agar mampu melakukan adaptasi, interaksi dengan bangsa
lain, dan tindakan proaktif sejalan dengan tuntutan globalisasi. Untuk itu,
diperlukan penghayatan dan pengamalan agama yang benar, kemampuan
adaptasi, ketahanan dan kreativitas budaya dari masyarakat.
2. Etika Politik dan Pemerintahan
Etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana
politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung
jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam
persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan
kewajiban dalam kehidupan berbangsa.
Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara
memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada
publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan

cxix
system nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah
masyarakat, bangsa dan negara.
3. Etika Ekonomi dan Bisnis
Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku
pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi
ekonomi dan bisnis, baik oleh perseorangan, institusi, maupun mendorong
berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan realitas
ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, dan
kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan
ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara
berkesinambungan. Etika ini mencegah terjadinya praktik-praktik
monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan
korupsi, kolusi, dan nepotisme, diskriminasi yang berdampak negatif
terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan serta menghindarkan
perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan
4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Etika penegakan hukum yang berkeadilan dimaksudkan untuk
menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan
hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum
dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Keseluruhan aturan
hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan
dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil,
perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara
di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah
sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
5. Etika Keilmuan
Etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu
menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk
mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan

cxx
budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa,
cipta, dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif,
dan komunikatif, dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis,
berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Etika keilmuan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan
menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat,
serta menepati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik.
Di samping itu, etika ini mendorong tumbuhnya kemampuan menghadapi
hambatan, rintangan dan tantangan dalam kehidupan, mampu mengubah
tantangan menjadi peluang, mampu menumbuhkan kreativitas untuk
penciptaan kesempatan baru, dan tahan uji serta pantang menyerah
6. Etika Lingkungan
Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai
dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara
berkelanjutan dan bertanggung jawab. Dengan berpedoman pada etika
kehidupan berbangsa tersebut maka penyelenggara negara dan warga
negara dapat bersikap perilaku dan berperilaku secara baik bersumberkan
pada nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya.

cxxi
BAB VII
PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dewasa ini


mencapai kemajuan pesat sehingga peradaban manusia mengalami perubahan
yang luar biasa. Pengembangan iptek tidak dapat terlepas dari situasi yang
melingkupinya, artinya iptek selalu berkembang dalam suatu ruang budaya.
Perkembangan iptek pada gilirannya bersentuhan dengan nilai budaya dan agama
sehingga satu pihak dibutuhkan semangat objektivitas , dipihak lain iptek perlu
mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan agama dalam pengembangannya agar
tidak merugikan umat manusia.

A. Ilmu dalam perspektif historis


Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut
decade waktu dan menciptakan zamannya, dimulai dari zaman pra Yunani
kuno, Yunani Kuno,abad pertengahan, Renaissance, Zaman modern, dan masa
kontemporer.
1. Zaman Pra Yunani Kuno
Pada masa ini manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Oleh
karena itu zaman pra Yunani Kuno disebut juga Zaman Batu yang berkisar
antara empat juta tahun sampai 20.000 tahun. Pada zaman ini ditandai oleh
kemampuan:
a. Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada
pengalaman.
b. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta
dengan sikap receptive mind, keterangan masih dihubungkan dengan
kekuatan magis.
c. Kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan alam sudah
menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi.
d. Kemampuan menulis, berhitung, menyusun kalender yang didasarkan

cxxii
atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan.
e. Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-
peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi.
2. Zaman Yunani Kuno
Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu dan filsafat,
karena Bangsa Yunani pada masa itu tidak lagi memercayai mitologi-
mitologi. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman yang
didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima begitu saja),
melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang
senang menyelidiki sesuatu secara kritis)
3. Zaman Abad Pertengahan
Para ilmuwan pada masa ini hampir semua adalah para teologi
sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan Semboyan
yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah Ancilla Theologia atau abdi
agama
4. Zaman Renaissance
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan Kembali
pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama Renaissance ialah zaman
peralihan ketika kebudayaan Abad Pertengahan mulai berubah menjadi
suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman ini adalah manusia yang
merindukan pemikiran yang bebas. Manusia ingin mencapai kemajuan
atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan ilahi.
Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern sudah mulai dirintis pada
Zaman Renaissance. Ilmu pengetahuan yang berkembang maju pada masa
ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokoh yang terkenal seperti Roger
Bacon, Copernicus, Johannes Keppler, Galileo Galilei.
5. Zaman Kontemporer (abad ke-20 dan seterusnya)
Fisikawan termashur abad ke-20 adalah Albert Einstein la
menyatakan bahwa alam itu tak berhingga besarnya dan tak terbatas, tetapi
juga tak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke
waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi Ini berarti bahwa alam

cxxiii
semesta itu bersifat Kekal atau dengan kata lain tidak mengakui adanya
penciptaan alam. Di samping teori mengenai fisika, teori alam semesta,
dan lain-lain maka Zaman Kontemporer ini ditandai dengan penemuan
berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi
termasuk salah satu yang mengalami kemajuan sangat pesat. Mulai dari
penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan lain
sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga
terjadi spesialisasi-spesialisasi ilmu yang semakin tajam.
Dalam perkembangan berikutnya filsafat ditinggalkan oleh ilmu-
ilmu cabang yang dengan metodologinya masing- masing
mengembangkan spesialismenya sendiri-sendiri secara intens. Lepasnya
ilmu-ilmu cabang dari batang filsafatnya diawali oleh ilmu-ilmu alam atau
fisika, melalui tokoh-tokohnya:
1) Copernicus (1473-1543) dengan astronominya menyelidiki putaran
benda-benda angkasa. Karyanya de Revolutionibus Orbium
Caelistium yang kemudian dikembangakan oleh Galileo Galilei
(1564-1642) dan Johanes Kepler (1571-1630), ternyata telah
menimbulkan revolusi tidak hanya di kawasan ilmu pengetahuan saja,
tetapi juga di masyarakat dengan implikasinya yang amat jauh dan
mendalam.
2) Versalius (1514 -1564) dengan karyanya De Humani Corporis Fabrica
telah melahirkan pembaharuan persepsi dalam bidang anatomi dan
biologi.
3) Isaac Newtown (1642-1727) melalui Philosopie Naturalis Principia
Mathematica telah menyumbangkan bentuk definitif bagi mekanika
klasik.
4) Beberapa aspek penting dalam ilmu pengetahuan aspek fenomenal
menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud/memanifestasikan
dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk Sebagai masyarakat,
ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau
kelompok elit yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi

cxxiv
kaidah-kaidah ilmiah yang menurut partadigma Merton disebut
universalisme, komunalisme, dan skeptisme yang teratur dan terarah.
Sebagai proses, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
aktivitas atau kegiatan kelompok elit tersebut dalam upayanya untuk
menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, eksperimen,
ekspedisi, seminar, konggres. Sedangkan sebagai produk, ilmu
pengetahuan menampakkan diri sebagai hasil kegiatan kelompok elit
tadi berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain sebagaimana
disebarluaskan melalui karya-karya publikasi yang kemudian
diwariskan kepada masyarakat dunia.
Aspek struktural menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan di dalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1) Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui
(Gegenstand)
2) Objek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara
(metode) tertentu tanpa mengenal titik henti. Suatu paradoks bahwa
ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang justru muncul
permasalahan- permasalah baru yang mendorong untuk terus menerus
mempertanyakannya.
3) Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terus- menerus
dipertanyakan.
4) Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu
kesatuan sistem.

B. Pilar-Pilar Penyangga Bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan


Melalui teori relativitas Einstein paradigm kebenaran ilmu sekarang
sudah berubah dari paradigm lama yang dibangun oleh fisika Newton yang
ingin selalu membangun teori absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma
sekarang ilmu bukan sesuatu entitas yang abadi, bahkan ilmu tidak pernah
selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada kerangka objektif, rasional,
metodologis, sistematis, logis dan empiris. Dalam perkembangannya ilmu

cxxv
tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Itulah
sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif pengembangannya
melalui kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek ontologism,
epistemologis, maupun aksiologis. Karena setiap pengembangan ilmu paling
tidak validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dapat
dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context of
justification) maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu
ditemukan/dikembangkan (context of discovery). (Dikti, 2013) Kekuatan
bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar- pilarnya, yaitu pilar ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar
filosofis keilmuan.
1. Pilar ontologi (ontology)
Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi)
a) Aspek kuantitas: Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural
(monisme, dualisme, pluralisme)
b) Aspek kualitas (mutu, sifat) bagaimana batasan, sifat, mutu dari
sesuatu (mekanisme, teleologisme, vitalisme, dan organisme)
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan
asumsi, dasar-dasar teoretis, dan membantu terciptanya komunikasi
interdisipliner dan multidisipliner. Membantu pemetaan masalah,
kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi antarilmu. Misal
masalah krisis moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi
saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak mampu
dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti politik,
sosiologi.
2. Pilar epistemologi (epistemology)
Selalu menyangkut problematika tentang sumber pengetahuan,
sumber kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran,
proses, sarana, dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, strategi.
Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi kita:
(a)sarana leğitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu

cxxvi
tertentu (b) memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu (c)
mengembangkan keterampilan proses (d) mengembangkan daya kreatif
dan inovatif.
3. Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis,
moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan
ilmu Pengalaman aksiologis dapat memberikan dasar dan arah
pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang profesional
dan ilmuwan.

C. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah


1. Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari
faktor-faktor subjektif (misal : perasaan, keinginan, emosi, sistem
keyakinan, otoritas) .
2. Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh
orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan
dan otoritas.
3. Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten,
implikatif. Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap
pemikiran logis selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti
logis.
4. Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang
khas dalam setiap berfikir dan bertindak (misal: induktif, deduktif,
sintesis, hermeneutik, intuitif).
5. Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan
langkah prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki
target dan arah tujuan yang jelas.

D. Pentingnya Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu


Tahukah kamu? Pentingnya Pancasila sebagai dasar pengembangan
ilmu sebagai berikut:

cxxvii
1. Pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia
dewasa ini seiring dengan kemajuan iptek yang menimbulkan perubahan
dalam cara pandang manusia tentang kehidupan. Hal ini membutuhkan
renungan dan refleksi yang mendalam agar bangsa Indonesia tidak
terjerumus kedalam penentuan keputusan nilai yang tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa.
2. Dampak negative yang ditimbulkan kemajuan iptek terhadap lingkungan
hidup berada dalam titik nadir yang membahayakan eksistensi hidup
manusia dimasa yang akan dating. Oleh karena itu, diperlukan tuntutan
moral bagi ilmuwan dalam pengembangan iptek di Indonesia.
3. Perkembangan iptek yang di dominasi negara-negara barat dengan politik
global ikut mengancam nilai-nilai khas dalam kehidupan bangsa
Indonesia, seperti spiritual,gotong royong, solidaritas,musyawarah, dan
cita rasa keadilan. Oleh karena itu, diperlukan orientasi yan jelas untuk
menyaring dan menangkal pengaruh nilai-nilai global yang tidak sesuai
dengn nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa
berorientasi pada nilai-nilai Pancasila. Peran Pancasila (Syahrial Syarbaini
2012):
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa melengkapi ilmu pengetahuan
menciptakan perimbangan antara yang rasional dan irasional. antara rasa dan
akal Sila ini menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan
pusatnya.
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa melengkapi ilmu pengetahuan
menciptakan perimbangan antara yang rasional dan irasional. antara rasa
dan akal Sila ini menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya
dan bukan pusatnya.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: memberi arah dan
mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya
semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok atau
lapisan tertentu.

cxxviii
3. Sila Persatuan Indonesia: mengomplementasikan universalisme dalam
sila-sila yang lain, sehingga suprasistem tidak mengabaikan sistem dan
subsistem. Solidaritas dalam subsistem sangat penting untuk kelangsungan
keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu
pengetahuan dan teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa.
Eksperimentasi penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus
demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari
kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan ketiga
keadilan Aristoteles: keadilan distributif, keadilan konributif, dan keadilan
komutatif. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak
oleh kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan yang
memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.
6. Pancasila sebagai Dasar Nilai dalam Strategi Konsep Pancasila sebagai
Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pengertian Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat
mengacu pada beberapa jenis pemahaman. 1) bahwa setiap ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) yang dikembangkan di Indonesia haruslah tidak
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 2) bahwa
setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai
Pancasila sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri. 3) bahwa
nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan
iptek di Indonesia, artinya mampu mengendalikan iptek agar tidak keluar dari
cara berpikir dan cara bertindak bangsa Indonesia. 4) bahwa setiap
pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia
sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indegenisasi ilmu
(mempribumikan ilmu).
Keempat pengertian Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu

cxxix
sebagaimana dikemukakan di atas mengandung konsekuensi yang berbeda-
beda pengertian 1) bahwa iptek tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila mengandung asumsi bahwa iptek itu sendiri
berkembang secara otonom, kemudian dalam perjalanannya dilakukan
adaptasi dengan nilai-nilai Pancasila. Pengertian 2) bahwa setiap iptek yang
dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai Pancasila sebagai
factor internal mengandaikan bahwa sejak awal pengembangan iptek sudah
harus melibatkan nilai-nilai Pancasila. Namun, keterlibatan nilai-nilai
Pancasila ada dalam posisi tarik ulur, artinya ilmuwan dapat dipertimbangkan
sebatas yang mereka yang dianggap layak untuk dilbatkan. Pengertian 3)
bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi
pengembangan iptek mengasumsikan bahwa ada aturan main yang harus
disepakati oleh para ilmuwan sebelum ilmu itu dikembangkan Namun, tidak
ada jaminan bahwa aturan main itu akan terus ditaati dalam perjalanan
pengembangan iptek itu sendiri. Sebab ketika iptek terus berkembang. aturan
main seharusnya terus mengawal dan membayangi agartidak terjadi
kesenjangan antara pengembangan iptek dan aturan main. Pengertian 4) yang
menempatkan bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar dari budaya
dan ideologi bangsa Indonesia sendiri sebagai proses indegenisasi ilmu
mengandaikan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu, tetapi sudah menjadi paradigma ilmu yang berkembang
di Indonesia. Untuk itu, diperlukan penjabaran yang lebih teperinci dan
pembicaraan di kalangan intelektual Indonesia, sejauh mana nilai-nilai
Pancasila selalu menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan-keputusan
ilmiah yang diambil. (Dikti, 2016).

E. Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu


Pengertian Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat
mengacu pada beberapa jenis pemahaman.
Pertama, Bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang
dikembangkan di Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan

cxxx
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Bahwa iptek itu
sendiri mengandung asumsi berkembang secara otonom, kemudian
dalam perjalanannya dilakukan adaptasi dengan nilai-nilai
Pancasila.
Kedua, Bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus
menyertakan nilai-nilai Pancasila sebagai faktor internal
pengembangan iptek itu sendiri. Bahwa setiap iptek yang
dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai
Pancasila sebagai faktor internal mengandaikan bahwa sejak awal
pengembangan iptek sudah harus melibatkan nilai-nilai Pancasila.
Namun, keterlibatan nilai-nilai Pancasila ada dalam posisi tarik
ulur, artinya ilmuwan dapat mempertimbangkan sebatas yang
mereka anggap layak untuk dilibatkan.
Ketiga, Bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi
pengembangan iptek di Indonesia, artinya mampu mengendalikan
iptek agar tidak keluar dari cara berpikir dan cara bertindak bangsa
Indonesia. Bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu
normatif bagi pengembangan iptek mengamsumsikan bahwa ada
aturan main yang harus disepakati oleh para ilmuwan sebelum
ilmu itu dikembangkan. Namun, tidak ada jaminan bahwa aturan
main itu akan terus ditaati dalam perjalanan pengembangan iptek
itu sendiri. Sebab ketika iptek terus berkembang, aturan main
seharusnya terus mengawal dan membayangi agar tidak terjadi
kesenjangan antara pengembangan iptek dan aturan main.
Keempat, Bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan
ideologi bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan
istilah indegenisasi (mempribumian ilmu) mengandaikan bahwa
Pancasila bukan hanya sebagai dasar nilai pengembangan ilmu,
tetapi sudah menjadi paradigma ilmu yang berkembang di
Indonesia. Untuk itu, diperlukan penjabaran yang lebih perinci dan
pembicaraan di kalangan intelektual Indonesia, sejauhmana nila-

cxxxi
nilai Pancasila selalu menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan-
keputusan ilmiah yang diambil.

cxxxii
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Busrotun Nufus, dkk. 2018.Pendidikan Pancasila Sebagai Paradigma


Pembangunan. Madani Media Kelompok Intrans Publishing.
Malang

Achmad Fauzi. 2020. Pancasila Konteks Sejarah, Filsafat, Ideologi Nasional,


dan ketatanegaraan Republik Indonesia: Madani Media
Kelompok Intrans Publishing. Malang

Ali Amran . 2016. Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi:PT. Raja Grafindo


Persada. Depok

Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan DIKTI. 2013. Materi Ajar Mata


Kuliah Pendidikan Pancasila. Jakarta: DIKTI

Kaelan, M.S. dkk. 2002. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kemenristek Dikti.2016.Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi.


Direktorat Jendral pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi .

Latif, Yudi. 2012. Negara Paripurna Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas


Pancasila. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama

Notonagoro. 1975. Pemboekaan “oendang-Oendang Dasar 1945 (Pokok Kaidah


Fundamemtil Negara Indonesia)” . Surabaya : Pidato Dies
Natalies 11, Universitas Erlangga

Pandji Setijo. 2015. Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa


Dilengkapi dengan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil
Amandemen:PT. Grasindo. Jakarta

Poespowardojo, Soerjanto. 1992. Pancasila sebagai Ideologi Ditinjau dari Segi


Pandangan Hidup Bersama, dalam Oesman, Oetojo dan Alfian.
1992. Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta:
BP-7 Pusat

Rindjin, Ketut. 2012. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: PT.

cxxxiii
Gramedia Pustaka Utama.

Satrio Wahono dkk.2017. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan


Tinggi:Akademika PT Serambi Semesta Distribusi. Jakarta

Sugiarto, Lukas,dkk. 2009. Modul Pendidikan Pancasila. Surabaya: Unesa


University Press

Soeharto. 1976. Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila. Jakarta:


Yayasan Proklamasi CSIS

Syarbaini, Syahrial. 2009. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta


(Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa) Edisi Ketiga: Ghalia
Indonesia.

Tim Penyusun Glossarium Sekitar Pancasila Laboratorium Pancasila IKIP


Malang. 1981) Glossarium Sekitar Pancasila. Surabaya: Usaha
Nasional

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta. Balai Pustaka

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pendidikan


Tinggi\

Winarno. 2019. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila :Bumi Medika Imprint


PT Bumi Aksara Group. Jakarta

cxxxiv

Anda mungkin juga menyukai