Anda di halaman 1dari 17

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mashail Fiqhiyah
Dosen pengampu: Dr. Oyoh Bariah, S.Ag., M.Ag.

Di susun oleh :
Fikri Fadlurrahman 1710631110055
Gemah Abdillah . K 1710631110060
Ika Nurjanah 1710631110068
Indah Hamidah 1710631110074

Kelas: PAI 7 B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR
‫الر ِحي ِْم‬
َّ ‫الرحْ َم ِن‬
َّ ِ‫س ِم هللا‬
ْ ‫ِب‬

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqhiyah dengan judul Hukum Menikahi
Wanita Hamil Karena Zina. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.
Terimakasih kami haturkan kepada dosen pengampu mata kuliah Masail Fiqhiyah yakni Ibu Dr.
Oyoh Bariah, S.Ag.,M.Ag. yang telah memberikan dukungan, bimbingan, dan kepercayaan yang begitu
besar, sehingga kendala – kendala yang kami hadapi dapat teratasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca khususnya para
mahasiswa Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna. Maka, kami sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Karawang, 23 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA P ENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 2
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 2
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 3
C. Tujuan ......................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 4
A. Deskripsi Permasalahan Married By Accident dalam Islam ....................................... 4
B. Dampak dari Married By Accident ............................................................................... 8
C. Praktik Budaya dan Hukum yang Berlaku di Indonesia terkait Married By Accident10
D. Tanggapan Fiqih dalam Memberikan Solusi Kasus Married By Accident ................ 13
BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 14
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 14
B. Saran ......................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan mempunyai fungsi sebagai suatu proses keberlangsungan hidup dari generasi ke
generasi, menyalurkan nafsu birahi yang dimiliki manusia sebagai makhluk Allah SWT dan untuk
menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama, seperti halnya sex bebas (free sex),
prostitusi, dan lain sebagainya. Pernikahan adalah salah satu cara efektif dan efesien untuk mencegah
dan menghindari perbuatan zina. Sebagaimana yang sudah ditegaskan dalam firman Allah dalam (Q.S.
Al-Isrā`:32)
ۤ ِ َ‫الز ىٰن اِنَّه َكا َن ف‬
‫اح َشة ۗ َو َساءَ َسبِْيل‬ ٓ ِّ ‫َوََل تَ ْقَربُوا‬
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan
yang buruk”.
Larangan mendekati zina yang dijelaskan ayat di atas adalah bentuk dari tidak ridhanya Allah SWT
melihat hambanya terjerumus kedalam neraka. Fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran
masyarakat mengenai kaidah-kaidah moral, agama, dan etika sehingga dapat terjerumus kepada sex
bebas. Dalam Hukum Islam sex bebas merupakan perbuatan tercela dan dilaknat oleh Allah, karena
perbuatan zina dapat berakibat buruk terhadap pelakunya, dari mulai penyakit yang menular hingga
terjadinya hamil di luar nikah. Untuk menyikapi keadaan ini biasanya ada tiga kemungkinan yang akan
dilakukan pertama melakukan aborsi, kedua membuang bayi setelah lahir, dan ketiga menikah dalam
keadaan hamil. Ketiga perilaku di atas senada dengan pernyataan yang mengatakan “biasanya suatu
pebuatan dosa akan ditutupi dengan perbuatan dosa yang kedua atau yang ketiga”.
Kini, karena banyaknya orang yang menikah dalam keadaan hamil, maka istilah untuk masalah ini
diperhalus orang dengan menyebutnya “pernikahan dini” atau dengan istilah lain yang kedengarannya
lebih keren yaitu Married by accident (MBA), yaitu penikahan karena “kecelakaan “ yang disengaja.
Dalam kehidupan sekarang ini pergaulan pemuda pemudi banyak keluar dari norma-norma agama,
hingga terjadi yang diistilahkan dengan accident (kecelakaan). Ini merupakan sebuah akibat perbuatan
yang menabrakkan syahwatnya pada hal yang haram, sehingga terjadilah hamil di luar nikah.
Hamil di luar nikah sendiri sudah diketahui sebagai perbuatan zina, baik oleh laki-laki yang
menghamilinya maupun perempuan yang hamil, dan itu merupakan dosa besar. Konsekuensinya bagi
yang belum menikah adalah didera seratus kali dan bagi yang sudah menikah adalah dirajam sampai
mati. (Rajam adalah menghukum dengan cara mengubur tubuh pezina sampai keleher, lalu setiap yang
lewat di tempat itu melemparnya dengan batu hingga mati).
2
Namun, di saat umat Islam yang berada pada wilayah-wilayah yang syariat Islamnya tidak
diterapkan secara kaffah (menyeluruh) maka timbullah persoalan yaitu dibiarkan hamil dengan
menanggung aib yang besar sampai anak lahir atau dinikahkan baik dengan laki-laki yang
menghamilinya atau dengan yang tidak menghamilinya untuk menutup aib.
Kasus hamil di luar nikah terjadi disebabkan banyak faktor, baik internal atau eksternal. Faktor
internal berkaitan dengan kondisi psikis pelaku dan hubungannya dengan masalah keimanan.
Sedangkan faktor eksternal terkait dengan masalah luar, baik menyangkut ilmu pengetahuan teknologi
di era keterbukaan informasi serta akses internet yang sudah tidak bisa dibendung lagi.
Penyebab lain dari terjadinya nikah MBA adalah budaya masyarakat kita yang sudah aman jika
anak gadisnya dilamar/dipinang dan pemuda tersebut diizinkan untuk membawa jalan-jalan ke mana
saja, bahkan sampai dibolehkan tidur bersama karena telah siap melaksanakan pernikahan. Ini salah
satu pemicu terjadinya puluhan bahkan ratusan kasus nikah MBA. Menurut catatan Kantor Kementerian
pendataan dilakukan secara rahasia – terdapat lebih dari separoh yang hukum berhubungan dengan hal
itu. Oleh karena itu, penulis menyusun makalah mengenai MBA yang bertujuan untuk mengupas
hukum MBA dalam Islam yang merujuk pada sumber hukum dan kaidah ushul fiqh serta mengupas
hukum yang berlaku di Indonesia terkait problematika tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana deskripsi permasalahan Married By Accident dalam Islam
2. Bagaimana dampak dari Married By Accident
3. Bagaimana praktik budaya dan hukum yang berlaku di Indonesia terkait Married By Accident
4. Bagaimana tanggapan Fiqih dalam memberikan solusi kasus Married By Accident

C. Tujuan
1. Untuk memahami deskripsi permasalahan Married By Accident dalam Islam
2. Untuk memahami dampak dari Married By Accident
3. Untuk mengetahui praktik budaya dan hukum yang berlaku di Indonesia terkait Married By
Accident.
4. Untuk mengetahui tanggapan Fiqih dalam memberikan solusi kasus Married By Accident

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Deskripsi Permasalahan Married By Accident dalam Islam


Arah yang diharapkan dari pernikahan adalah terwujudnya suatu institusi yang sah berupa mahligai
rumah tangga yang kokoh, dan diakui baik secara agama maupun hukum. Married by accident merupakan
penghimpunan dua hamba Allah dalam suatu ikatan lahir dan batin yang secara normatif tampak terpaksa
sebab kecelakaan (hamil luar nikah). Realitas pernikahan ini seakan-akan tidak bertujuan untuk
mewujudkan keluarga yang bahagia dan tenteram, tapi hanya menyelamatkan dari rasa malu dan menutup
aib.
Kedudukan nikah MBA dalam wujudnya hanya dijadikan sebagai jalan solusi yang tidak dibenarkan
syariat. Maka pernikahan MBA dalam kenyataan hukum secara lahir adalah tidak sah, sedangkan secara
batin melegalkan perzinaan. Hal itu dapat kita lihat dari beberapa landasan yang digunakan para Ulama
dalam menetapkan tidak sahnya pernikahan MBA:
a. Ayat Al-Qur‟an terkait MBA
Berbicara mengenai menikah dalam keadaan hamil disebabkan MBA, tentu tidak akan ditemukan
secara langsung pembahasannya dalam Al-Quran. Karena MBA adalah perbuatan zina yang memiliki
aturan tersendiri dalam penyelasaiannya. Dalam Islam, hukuman bagi orang yang berzina, bila yang
bersangkutan sudah menikah, lalu berzina dengan orang lain, maka hukuman baginya adalah di rajam.
Akan tetapi bila pezina itu belum menikah, maka hukuman baginya adalah dicambuk 100 kali. Di era
sekarang hukuman bagi pezina seperti ini, hampir tidak lagi dikenal dalam masyarakat Islam. Yang
ada, bila seseorang berzina, tidak ada hukuman baginya selain menikahkan pasangan yang berzina
tersebut. Permasalahannya adalah bila si wanita yang dinikahkan itu dalam keadaan hamil, sahkah
nikah mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, sekalipun dalam al-Quran secara langsung tidak
dibicarakan, bukan berarti persoalan ini luput dari penjelasan al-Quran. Salah satu ciri al-Quran dalam
menyampaikan pesan-pesannnya adalah ia datang dalam redaksi yang umum, sehingga banyak
persoalan dapat dikembalikan pada keumuman pesan yang ada di dalamnya. Dalam persoalan ini,
maka di antara ayat al-Quran yang terkait dengannya adalah al-Quran surat At-Thalaq ayat 4 yang
berbunyi:

‫ض ْع َن‬ ِ ۟ ‫يض ِمن نِسآَّٰئِكم إِ ِن ٱرتـبـتم ف ِعدتـهن ثـلَثة أَشه ٍر وٱلَّٰٓـِى ََل َِيضن ۚ وأ‬
ِ ِ ‫وٱلَّٰٓـِى يئِسن ِمن ٱلْم‬
َ َ‫َجلُ ُهن أَن ي‬
َ ‫أ‬ ‫ال‬َ‫َْح‬
ْ ‫ٱْل‬
ْ ‫ت‬
ُ ‫ل‬
َ‫ُو‬ َ َ ْ َ ْ َ ُ ْ ُ َ َ ُ ُ َ ُ ْ َ
ْ ْ ْ َ ُ ّ ‫ح‬ َ َ َْ َ َ
‫َْحْلَ ُهن ۚ َوَمن يَـت ِق ٱَّللَ ََْي َعل لهُۥ ِم ْن أ َْم ِرهِۦ يُ ْس ًرا‬

4
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuan mu
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Ayat di atas secara tekstual berbicara tentang iddah wanita yang dicerai oleh suaminya, yaitu:
1. Perempuan yang sudah monopause (perempuan tua yang sudah tidak haid lagi) dan perempuan
yang sudah menikah tetapi belum haid. Bila dicerai suaminya, maka iddah mereka adalah tiga
bulan
2. Perempuan hamil, bila dicerai suaminya maka iddahnya adalah sampai melahirkan
Ayat di atas berbicara tentang iddah perempuan. Kebanyakan orang memahami iddah dikaitkan
dengan pernikahan. Iddah ada karena ada pernikahan, sebaliknya bila tidak ada pernikahan maka tidak
ada iddah. Sebenarnya makna iddah tidak sesimple itu, bahwa hakikat dari iddah itu adalah suatu
keadaan dan masa menunggu bagi seorang perempuan. Dalam masa menunggu ini si perempuan
tersebut dilarang untuk melakukan aqad nikah. Di antara keadaan dan ketentuan berapa lama masa
menunggunya dapat diurai sebagai berikut:
1. Kondisi pertama perempuan yang menopous yang dicerai suaminya, bila ingin menikah lagi ia
harus menunggu terlebih dahulu 3 bulan setelah dicerai.
2. Kondisi kedua perempuan yang belum haid, yang dicerai suaminya, bila ingin menikah lagi ia
juga harus menunggu terlebih dahulu 3 bulan setelah dicerai.
3. Kondisi ketiga Perempuan hamil yg dicerai suaminya, bila ingin menikah lagi ia harus
menunggu anaknya lahir terlebih dahulu.
Dari penjelasan ayat di atas, dapat dipahami bahwa perempuan yang hamil yang dicerai tidak boleh
menikah dengan laki-laki lain kecuali setelah melahirkan kandungannya. Artinya bahwa wanita hamil
yang mau menikah, hendaklah menunggu sampai anak yang dikandunganya lahir. Kata hamil dalam
ayat ini umum, sehingga hamil dalam perkawinan sah atau hamil karena zina masuk dalam
pengertiannya.
Dengan demikian yang dimaksud dari penggalan ayat di atas adalah “Dan perempuan-perempuan
yang hamil (baik hamil hasil zina atau bukan), waktu iddah (masa menunggu untuk bisa
menikah) ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.

5
b. Hadist terkait MBA
1. Dalam suatu riwayat disebutkan; seorang laki-laki menikahi wanita setelah menikah diketahui
wanita itu sedang hamil, kemudian Rasulullah menyuruh untuk memisahkan keduanya (cerai).
Dalam riwayat lain disebutkan “lalu rasul menceraikan mereka berdua”. Matan hadistnyaadalah:
“ Telah menceritakan kepada kami Makhlad bin Khalid serta Al Hasan bin Ali dan Muhammad
bin Abu As Sari secara makna, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq,
telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, dari Shafwan bin Sulaim, dari Sa'id bin Al
Musayyab, dari seorang laki-laki anshar, Ibnu Abu As Sari berkata; yang merupakan sahabat
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tidak mengatakan; anshar. Kemudian mereka sepakat
mengatakan; yang dipanggil Bashrah, ia berkata; aku menikahi seorang budak perawan dalam
tabirnya, kemudian aku menemuinya dan ternyata ia sedang hamil. Maka Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Baginya mahar karena farji yang telah engkau halalkan, dan
anaknya adalah budakmu apabila ia telah melahirkan." Al Hasan berkata; cambuklah dia.
Ibnu Abu Assari berkata; cambuklah dia. Atau mengatakan; hukumlah dia.
Abu Daud berkata; hadits ini telah diriwayatkan oleh Qatadah dari Sa'id bin Yazid dari Ibnu Al
Musayyab, dan telah diriwayatkan oleh Yahya bin Abu Katsir dari Yazid bin Nu'aim dari Sa'id
bin Al Musayyab serta 'Atha` Al Khurasani, dari Sa'id bin Al Musayyab. Mereka semua telah
memursalkannya. Dan di dalam hadits Yahya bin Abu Katsir disebutkan bahwa Bashrah bin
Aktsam menikahi seorang wanita, dan seluruh mereka mengatakan dalam haditsnya; ia
menjadikan anak tersebut sebagai budaknya. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Al Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Utsman bin Umar, telah menceritakan kepada
kami Ali bin Al Mubarak, dari Yahya dari Yazid bin Nu'aim dari Sa'id bin Al Musayyab bahwa
seorang laki-laki yang dipanggil Bashrah bin Aktsam telah menikahi seorang wanita….
Kemudian ia menyebutkan makna hadits dan menambahkan; dan beliau memisahkan diantara
mereka berdua.” Hadits Ibnu Juraij lebih sempurna. Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟asy al-
Sajastani, Sunan abu Daud, Juz II, cet. II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1999). lihat juga Lidwa Pusaka i-
Software - Kitab 9 Imam Hadist, ABUDAUD – 1820
2. Dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda : "Tidak halal bagi orang yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.”
“Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh Asy Syaibani Al Bashri, telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Wahb telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dari Rabi'ah
bin Sulaim dari Busr bin 'Ubaidullah dari Ruwaifi' bin Tsabit dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah
memasukkan air maninya ke dalam rahim wanita (yang telah disetubuhi orang lain)."
6
Abu Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan. Telah diriwayatkan dari Ruwaifi' melalui banyak
jalur. Hadits ini diamalkan oleh para ulama. Mereka tidak membolehkan seorang lelaki yang
membeli budak wanita yang sedang hamil untuk menyetubuhinya hingga dia melahirkan
anaknya.” Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Darda`, Ibnu Abbas, Al 'Irbad bin Sariyah dan
Abu Sa'id. Abu absy Muhammad bin surah al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi al-Jami‟ al-Shahih, Juz
II.lihat juga Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, TIRMIDZI – 1050
Bahasa yang dipakai hadis ini adalah bahasa kinayah yang mengandung maksud bahwa tidak
boleh menikahi wanita yang dalam rahimnya sudah ada benih orang lain. Mungkin sebagian orang
mengatakan, bahwa janin yang ada dalam rahim perempuan itu adalah berasal dari air mani si
laki-laki yang hendak menikahinya. Jawabnya adalah di sini ada dua perbedaan air (mani), najis
dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram. Mengauli
perempuan sebelum pernikahan adalah haram dan buruk, sebaliknya mengaulinya setelah
pernikahan adalah halal dan baik. Bila dalam suatu perkara berkumpul antara yang haram dengan
yang halal, maka perkara tersebut menjadi haram. Hal ini sesuai dengan kaidah “apabila
berkumpul antara yang halal dan yang haram pada waktu yang sama maka dimenangkan yang
haram”. Dengan demikian sekalipun laki-laki yang menghamilinya yang akan menikahinya, maka
tetap tidak boleh.
Jadi, inilah hadis yang menyatakan tidak boleh menikahi wanita hamil. Sebenarnya, bila
orang ragu akan kedudukan hadis di atas, menurut kami tanpa hadis pun, ayat di atas sudah cukup
jelas penunjukannya akan ketidakbolehan menikahi wanita hamil, akan tetapi bila dua hadis itu
juga dipakai maka semakin kuatlah kekuatan hukumnya.

7
B. Dampak dari Married By Accident
Married by accident merupakan suatu pernikahan yang dilakukan seakan-akan terpaksa dan sebagai
alternatif untuk menutup perbuatan dosa zina, sedangkan di sisi Allah tercatat serta harus
dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Pernikahan hamil duluan baru nikah adalah sebuah fenomena yang
mengerikan. Di antara penyebabnya adalah dekadensi moral dan nilai-nilai agama dikesampingkan serta
mencontoh budaya barat. Dalam pelaksanakan nikah bagi orang yang hamil duluan dengan laki-laki yang
menzinainya atau laki-laki lain yang menerima kehamilan pasangannya dari orang lain berdampak legalisasi
perzinaan. Rentetan masalah yang datang dari dari persoalan ini adalah bahwa ada konsekuensi hukum bagi
anak-anak yang lahir di luar nikah, diantaranya hilang hak nasab, hak waris, dan bahkan bila si anak perempuan,
maka hilang hak walinya.
Nikah MBA dalam realitanya merajut beberapa dampak buruk (mafsadah) yang tidak dapat dihindari.
Mafsadah yang terdapat dalam nikah MBA adalah:
1. Masalah Nasab Anak
Islam mensyariatkan pernikahan dalam rangka menjaga alur keturunan anak, yaitu nasab seorang
anak yang lahir di permukaan bumi ini. Untuk menjaga nasab itu maka diharamkan semua bentuk
perzinaan dan menganjurkan pernikahan demi melangsungkan keturunan umat manusia, disamping itu
mempunyai hubungan kekerabatan yang sah dan jelas.
Seorang anak yang alur keturunannya dinasabkan kepada bapaknya harus memenuhi beberapa syarat
diantaranya:
1) Seorang anak yang lahir dari rahim seorang perempuan berdasarkan akibat perbuatannya dengan
suaminya yang sah.
2) Masa hamil perempuan tidak kurang dari masa hamil pada umumnya.
3) Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari rahim istrinya (Zaidan, jilid 9, 1993: 321).
Konteks permasalahan married by accident kemudian melahirkan seorang anak, dimana anak
tersebut terwujud dari akibat perbuatan zina, tentu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang
menikahi ibunya saat hamil akibat zina. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa ketentuan Rasulullah SAW
terhadap status anak akibat perbuatan zina:
Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: seseorang berkata: Ya
Rasulallah, sesungguhnya seseorang itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika masih
masa jahiliyyah, Rasulullah SAW pun bersabda: “Tidak ada pengakuan anak dalam Islam,
telah lewat urusan di masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/dari perempuan
yang (firasy) dan bagi pezina adalah di hukum rajam.
Firasy dalam ungkapan rasulullah di atas adalah pemilik tempat tidur. Ada juga mengatakan bahwa
firasy adalah nama sebutan untuk perempuan (pezina) dan Abu Hanifah mengatakan nama sebutan untuk
8
suami yang berzina, tapi dalam kamus mengatakan bahwa firasy adalah pasangan zina dari seorang laki-
laki.
2. Masalah Wali Nikah
Islam memandang anak hasil zina mempunyai kedudukan yang berbeda dengan anak yang sah dari
hasil pernikahan yang benar. Kenyataan perbedaan ini bahwa anak yang lahir dari hasil perbuatan zina
dalam mendapatkan hak-haknya dari orangtua tidak sama, sebagaimana yang didapatkan oleh anak yang
lahir dari hubungan pernikahan yang sah.
Realisasi dari kelahiran anak sebab perbuatan zina melalui jalan yang diharamkan Islam, sehingga
anak tersebut secara alur keturunan tidak dinasabkan kepada bapak biologisnya dan bapak yang
menikahi ibunya saat hamil akibat zina. Dalam hal ketiadaan nasab di antara mereka berdua, maka anak
tersebut akan terputus kewaliannya dan jika dia seorang anak perempuan pada saat mau menikah
nantinya, maka tidak mendapat hak wali untuk melakukan ijab qabul. Wali nikahnya dikembalikan
kepada qadi atau penghulu yang mendapat tauliyah dari pemerintah, untuk orang yang tidak punya wali
dalam pernikahan. Hal itu dikembalikan kepada lafaz umum dari hadits Nabawi tentang qadi atau hakim
wali nikah bagi yang tidak punya wali saat akad nikah:

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak sak suatu pernikahan
kecuali dengan wali dan sultan (qadi) adalah wali bagi orang yang tidak punya wali”.
Lagi-lagi hal ini luput dari pemahaman masyarakat, sehingga tidak jarang ditemukan di tengah
masyarakat, bila anak perempuan diluar nikah tadi menikah biasanya tetap dinikahkan oleh ayah
biologisnya. Padahal sejatinya dia bukanlah wali dari anak perempuan itu, wali dari anak perempuan itu
adalah wali hakkim. Bila ini yang terjadi maka pernikahannya tentu tidak sah. Bila nikah tidak sah, maka
hubungan suami istri mereka diangap berzina, anak-anak yang terlahir diangap anak yang tidak sah pula.
Maka merajalelalah perzinaan di tengah masyarakat Akibat patalnya adalah nasab masyarakat menjadi
kabur, na‟udzubillahimindzalik.
Karena hal tersebut marak terjadi di masyarakat, tugas kita yang sudah belajar tentang ini adalah
memberikan pemahaman terhadap mereka, bahwa walaupun yang menikahi ibu dari anak tersebut adalalah
bapak biologisnya atau laki-laki yang menzinahi ibunya tapi tetap salah satu dampak buruk atau konsekuensi
hukum islam bagi anak yang lahir akibat zina adalah tidak dinasabkan kepada ayahnya dan ketika tidak ada
nasab maka hilang hak walinya. semuanya itu jelaskan secara baik-baik tentunya dengan tutur kata yang
santun agar mereka dapat menerima apa yang kita sampaikan.

9
3. Masalah Warisan
Dampak mafsadah dari nikah MBA adalah anak yang lahir dari hasil perbuatan zina tidak
mempunyai hubungan kewarisan dengan laki-laki yang menikahi ibunya saat hamil akibat zina dan juga
kepada laki-laki yang menzinai ibunya sehingga hamil, karena tidak ada nasab yang sah. Dalam ilmu
mawaris terdapat sebab-sebab seseorang mendapatkan harta warisan dengan adanya hubungan yang
terjalin;
1) Pernikahan, dengan akad nikah antara laki-laki dan perempuan yang sah menurut syara`.
2) Karib kerabat yang berlandaskan pada ikatan nasab, seperti orang tua, anak, saudara, paman dan
seterusnya.
3) Al-Wala`, yaitu: Kekerabatan yang berdasarkan pada pembebasan budak (al-Zuhaili, 1986: 249-251;
al-Jaziri, 1994: 403).
Dari tiga sebab di atas, anak yang lahir sebab zina tidak berkaitan dengan pernikahan yang sah dan
tidak mempunyai hubungan ikatan karib kerabat yang berlandaskan pada hubungan nasab, sehingga
jalur penerimaan harta warisan terputus dan tidak berhak mendapatkannya. Namun dalam hal hukum
waris, anak yang lahir dari hasil zina masih memiliki jalur hubungan kewarisan dengan ibunya (al-
Kuwait, jilid 6, 1427H: 78). Mereka dapat harta warisan dari ibunya yang meninggal dunia dan kerabat-
kerabat ibunya dapat mewarisi harta peninggalannya (al-Jaziri, 1994: 404).

C. Praktik Budaya dan Hukum yang Berlaku di Indonesia terkait Married By Accident
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur sah-nya perkawinan secara umum
tidak dikelompokkan wanita hamil dan tidak hamil. Sahnya perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat 1, yaitu
“perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.”
Kemudian dilakukan pencatatan perkawinan, kalau beragama Islam di Kantor Urusan Agama, dan Kantor
Catatan Sipil untuk non muslim.
Jadi secara umum, perkawinan adalah sah jika dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Dan agar mendapat perlindungan hukum dari negara, perkawinan tersebut harus
dicatat. Jika perkawinan sudah sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing, maka
perkawinan tersebut sah dan anak-anak yang terlahir dari perkawinan itu juga sebagai anak yang sah,
sebagaimana disebutkan dalam pasal 42 UU Perkawinan, yaitu “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Aturan khusus wanita yang hamil di luar nikah terdapat di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI merupakan rangkuman dari berbagai kitabyang ditulis oleh
ulama fiqih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan
dikembangkan serta dihimpun ke dalam suatu himpunan. Dalam KHI Bab VIII Kawin Hamil. Pasal 53 dari
BAB tersebut berisi tiga (3) ayat, yaitu :
10
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir.
Ketentuan yang disebutkan di dalam KHI tersebut sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi dan Syafi‟I
yang membolehkan menikah dalam keadaan wanita hamil sebab zina, tanpa harus menunggu kelahirannya.
Ketentuan tersebut juga diperkuat dengan pendapat mayoritas „ulama yang membolehkan pernikahan wanita
hamil sebab zina dengan pria yang menghamilinya, tanpa harus menunggu kelahiran anaknya..
Namun di dalam KHI, terdapat istilah anak yang lahir di luar perkawinan, yaitu pasal 100 KHI berbunyi:
“ Anak yang lahir diluar perkawin hanya mempunyai hubungn nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak
ibunya”.
Namun yang perlu kita perhatikan bersama dalam KHI terkait perkawinan terdapat asas persetujuan
kedua belah pihak dan asas kebebasan memilih, jadi tidak serta merta apa yang ada di KHI harus diterapkan
oleh semua masyarakat, maka apabila keluarga berniat tetap menegakkan syariat islam dengan cara
menikahkannya kembali setelah melahirkan dengan tujuan agar anak yang kedua dan seterusnya mempunyai
nasab yang jelas maka itu sangat diperbolehkan. Karena merujuk pada UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1
adalah “perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya.”

11
D. Tanggapan Fiqih dalam Memberikan Solusi Kasus Married By Accident
Dalam kajian fiqh, permasalahan ini memang masuk dalam perkara yang diperselisihkan, ada yang
mengatakan boleh secara muthlak, ada yang mengatakan boleh bersyarat, dan ada pula yang mengtakan
haram. Berikut ini adalah perinciannya :
a. Boleh menikahi wanita hamil sebab zina dan tidak disyaratkan wanita tersebut bertobat lebih dulu. Ini
adalah pandangan mazhab Syafi‟I, juga pandangan Imam Abu Hanifah dan Ibn Hazm, hanya saja
menurut Imam Abu Hanifah dan Ibn Hazm, boleh menikah tetapi tidak boleh melakukan hubungan
suami isteri sebelum perempuan itu melahirkan.
b. Tidak boleh menikahi wanita hamil, baik yang menzinahi sendiri maupun laki-laki yang tidak
menzinahinya, sebelum wanita itu melahirkan. Ini adalah pandangan mazhab Malikyah dan Hanbaliyyah
serta Abu Yusuf dari mazhab Hanafiyyah. Mazhab Hanbali mensyaratkan untuk bolehnya menikahi, jika
wanita tersebut sudah melahirkan dan sudah betaubat.
Namun diluar dari perbedaan pendapat itu mari kita perhatikan kaidah-kaidah ushul fiqh terkait MBA
berikut ini :

1. ‫دﻊﻓ اﺪﺳﺎﻔﻤﻟ ﺪﻘﻣم ﻞﻋ ﺐﻠﺟ اﺢﻟﺎﺼﻤﻟ‬ (menghindar dari dampak negatif lebih diutamakan dari
mengambil dampak positif). Maksudnya keputusan yang akan diambil harus lebih mempertimbangkan
dampak negatifnya dulu dari pada manfaatnya. Dalam hal ini, di antara dampak negatif dari orang yang
berzina, lalu hamil, kemudian dinikahkan adalah pertama Perzinahaan dipandang remeh dan
dianggap gampang penyelesaiannya sehingga perbuatan zina merajalela. Kedua Dengan
menikahkan orang yg berbuat zina, membuat hukum berzina tidak berbibawa di mata umat
Islam. Ketiga Perbuatan menikahkan orang yg berbuat zina seolah-olah menghilangkan hukum
zina yg sudah ditetapkan Allah. Akhirnya nanti bisa jadi umat Islam tidak tahu kalau berzina itu
ada hukumannya. Sedangkan dampak positif dari menikahkan wanita hamil tidak lain hanya karena
alasan untuk menutupi aib si perempuan dan menjaga nama baik keluarganya. Melihat dampak negatif
yang begitu besar dibanding manfaatnya, maka dalam hal ini memperhatikan dampak negatif harus
didahulukan dari pada dampak positifnya. Artinya menikahkan memberikan dampak negatif yang
banyak, karenanya jangan dinikahkan.

2. ‫( ﻢﻟ ﺎﻣ ﯾﺪكرﻠﻛ ﮫ ﻻ ﯾﺮﺘكﻠﻛ ﮫ‬perkara yang tidak dapat dilakukan semuanya, janganlah


ditinggalkan semua) maksudnya di sini perkara zina hukumannya adalah rajam atau dera dan ta`zir.
Ketika orang berzina tidak bisa diterapkan hukuman rajam atau dera, karena pelaksanaannya terkait
dengan wewenang negara (tidak boleh dilakukan oleh individu atau kelompok), maka hukuman ta`zir
janganlah diabaikan, paling tidak ada sangsi sosial dari lingkungan tempat ia berada. Sangsi yang
diberikan harus sangsi yang bisa menjadi pelajaran bagi yang bersangkutan dan bagi orang lain. Karena
12
salah satu sifat hukuman adalah menjerahkan pelakunya. Anehnya sekarang, bukan memberi sangsi
tetapi menikahkannya yang justru menabrak larangan Allah SWT lagi. Kalau sebelumnya yang
menabrak larangan Allah berdua (pezina laki-laki dan pezina perempuan), kini menabrak hukum Allah
dengan bersama-sama, orang tua dan masyarakat sekaligus. Maka pantaslah zina merajalela di mana-
mana, bahkan mengangap bahwa perbuatan zina suatu perbuatan lumrah yang dimaklumi (ini fakta).
3. Dalam kajian fiqh mengenai menikahi wanita hamil tidak hanya satu pendapat tetapi terdapat banyak
pendapat yang berkembang dikalang umat Islam. Ada yang mengatakan boleh dengan syarat akad nikah
diulang kembali setelah bayi lahir; boleh asal dengan laki-laki yang menghamili; atau boleh tetapi tidak
boleh serumah dulu, dan pendapat lainnya. Bila permasalahan ini dimasukan ke dalam masalah
khilafiyah, maka dalam menghadapi masalah khilafiyah ada kaidah mengatakan:

‫اﺮﺨﻟجوﻦﻣ اﻼﺨﻟف ﺐﺤﺘﺴﻣ‬ (keluar dari perbedaan pendapat adalah dianjurkan) Kaitan

kaedah ini dengan permasalahan yang lagi dibahas adalah menikahi wanita yang sedang hamil terjadi
perselisihan pendapat dikalangan ulama tentang kebolehan menikahkannya. Sedangkan menikahkannya
setelah wanita itu melahirkan, sepakat ulama mengatakan akan kebolehannya. Karena itu keluar dari
permasalahan yang diperdebatkan ke permasalahan yang tidak diperselisihkan adalah dianjurkan, yaitu
meninggalkan perkara yang dipedebatkat (menikahi saat hamil) kepada perkara yang sepakat
(menikahi setelah melahirkan) adalah lebih baik. Hal ini sesuai dengan kaedah

‫ﺪﻘﻣم ﻲﻠﻋ اﻓ ﻒﻠﺘﺨﻤﻟﮫﯿ اﻠﻋ ﻖﻔﺘﻤﻟﮫﯿ‬ (yang disepakati lebih didahulukan dari yang

diperselisihkan).

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa menikahkan wanita yang sedang hamil adalah
tidak boleh dan hukum pernikahannya tidak sah. Ketika yang berzina, lau hamil, kemudia dinikahkan
adalah perzinahaan dipandang remeh dan dianggap gampang penyelesaiannya sehingga perbuatan zina
merajalela. Dengan menikahkan orang yg berbuat zina, membuat hukum berzina tidak berbibawa di mata
umat Islam. Perbuatan menikahkan orang yg berbuat zina seolah2 menghilangkan hukum zina yg sudah
ditetapkan Allah. Akhirnya nanti bisa jadi umat Islam tidak tahu kalau berzina itu ada hukumannya.
Rentetan masalah berikutnya dari persoalan ini, adalah bahwa ada konsekuensi hukum bagi anak-
anak yang lahir di luar nikah, di antaranya hilang hak nasab, hak waris, dan bahkan bila si anak perempuan,
maka hilang hak walinya. Lagi-lagi hal ini luput dari pemahaman masyarakat, sehingga tidak jarang
ditemukan di tengga masyarakat, bila anak perempuan diluar nikah tadi menikah tetap dinikahkan oleh ayah
biologisnya. Sejatinya dia bukanlah wali dari anak perempuan itu, wali dari anak perempuan itu adalah wali
hakim. Bila ini yang terjadi maka pernikahannya tentu tidak sah. Bila nikah tidak sah, maka hubungan suami
istri mereka diangap berzina, anak-anak yang terlahir diangap anak yang tidak sah pula. Maka merajalelalah
perzinaan di tengah masyarakat. Akibat patalnya adalah nasab masyarakat menjadi kabur, na‟udzubillahi
mindzalik

B. Saran
Islam telah mengajarkan pada umatnya untuk menjauhi perbuatan zina. Dalam QS. Al-Isra‟ ayat 32
Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang
keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Mendekati di sini artinya melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengarahkan seseorang untuk
berzina, diantaranya di zaman sekarang ini: berboncengan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram,
berpandang-pandangan, berduaan dengan lawan jenis, pacaran, dan sebagainya. Jika anak-anak kita
terhindar dari perbuatan-perbuatan tersebut, insya Allah mereka akan selamat dari perbuatan yang layaknya
hanya dilakukan pasangan suami istri.
Yang lebih penting lagi, bekali dengan ilmu agama dan akhlak yang baik. Ingatkan bahwa semua
perbuatan mereka ada yang mengawasi, harus bisa dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Sehingga
setiap langkah mereka akan senantiasa dibayangi dengan rasa tanggung jawab.

14
DAFTAR PUSTAKA

Julir, Nenan. 2014. MBA (Married By Accident) Dalam Tinjauan Ushul Fiqh.
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id. (24-10-2020)

Hasbi, Ridwan. 2013. Nikah MBA (Married by Accident) dalam Tinjauan Hadits Nabawi.
http://ejournal.uin-suska.ac.id. (24-10-2020)

Mujib, Fatkul. 2017. Pernikahan Wanita Hamil Karena Zina (Married By Accident) Dalam Perspektif Sosio
Kultural Masyarakat Metro Utara (Studi Tentang Dampak Dan Upaya Penanggulangannya).
https://repository.metrouniv.ac.id/id/eprint/2972/. Vol.1. (24-10-2020)

15

Anda mungkin juga menyukai

  • LOA Al-Ulum 2022 Eka
    LOA Al-Ulum 2022 Eka
    Dokumen1 halaman
    LOA Al-Ulum 2022 Eka
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 3
    Kelompok 3
    Dokumen13 halaman
    Kelompok 3
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 1
    Kelompok 1
    Dokumen17 halaman
    Kelompok 1
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 6
    Kelompok 6
    Dokumen46 halaman
    Kelompok 6
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 2
    Kelompok 2
    Dokumen20 halaman
    Kelompok 2
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 3
    Kelompok 3
    Dokumen21 halaman
    Kelompok 3
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 4
    Kelompok 4
    Dokumen11 halaman
    Kelompok 4
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 3
    Kelompok 3
    Dokumen21 halaman
    Kelompok 3
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 5
    Kelompok 5
    Dokumen17 halaman
    Kelompok 5
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Luqman 12 Eka
    Luqman 12 Eka
    Dokumen5 halaman
    Luqman 12 Eka
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 4
    Kelompok 4
    Dokumen11 halaman
    Kelompok 4
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Luqman 12 Eka
    Luqman 12 Eka
    Dokumen5 halaman
    Luqman 12 Eka
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 3
    Kelompok 3
    Dokumen13 halaman
    Kelompok 3
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Ima Naziroh - 1710631110071
    Ima Naziroh - 1710631110071
    Dokumen7 halaman
    Ima Naziroh - 1710631110071
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Maulid Nabi Muhammad SAW
    Maulid Nabi Muhammad SAW
    Dokumen3 halaman
    Maulid Nabi Muhammad SAW
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • PENGEMBANGAN-KURIKULUM Teori Dan Praktik
    PENGEMBANGAN-KURIKULUM Teori Dan Praktik
    Dokumen265 halaman
    PENGEMBANGAN-KURIKULUM Teori Dan Praktik
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Hadist TPQ
    Hadist TPQ
    Dokumen3 halaman
    Hadist TPQ
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • PTK Eka
    PTK Eka
    Dokumen17 halaman
    PTK Eka
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Hadits Tentang Penyakit Pasti Ada Obatnya
    Hadits Tentang Penyakit Pasti Ada Obatnya
    Dokumen7 halaman
    Hadits Tentang Penyakit Pasti Ada Obatnya
    Eka Syifa Nurfadillah
    100% (1)
  • Makalah Hadis
    Makalah Hadis
    Dokumen9 halaman
    Makalah Hadis
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Critical Book Report
    Critical Book Report
    Dokumen8 halaman
    Critical Book Report
    Ananda Nabila Rizqi Nasution
    Belum ada peringkat
  • Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020
    Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020
    Dokumen76 halaman
    Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020
    lpm iainmetro
    Belum ada peringkat
  • UTS Aplikasi KOMPUTER PAI 2018 PDF
    UTS Aplikasi KOMPUTER PAI 2018 PDF
    Dokumen1 halaman
    UTS Aplikasi KOMPUTER PAI 2018 PDF
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 1
    Kelompok 1
    Dokumen12 halaman
    Kelompok 1
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • MAKALAH Metodiik Pai
    MAKALAH Metodiik Pai
    Dokumen17 halaman
    MAKALAH Metodiik Pai
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Materi Pramuka Penggalang
    Materi Pramuka Penggalang
    Dokumen15 halaman
    Materi Pramuka Penggalang
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat
  • Materi Pramuka Penggalang
    Materi Pramuka Penggalang
    Dokumen15 halaman
    Materi Pramuka Penggalang
    Eka Syifa Nurfadillah
    Belum ada peringkat