Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

ILMU KESEHATAN ANAK


EPIDEMIOLOGICAL INVESTIGATION IN DIPHTHERIA CONTROL
IN BANDA ACEH, INDONESIA

Pembimbing :

dr. Budi Muliantoro, Sp. A

Penyusun :

Meidy Adlina Firliyani 20190420124

SMF/BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

RSAL DR. RAMELAN SURABAYA

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Journal Reading dengan judul “Epidemiological Investigation in


Diphtheria Control in Banda Aceh, Indonesia” telah diperiksa dan
disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan
studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSPAL
Dr. Ramelan Surabaya.

Surabaya, 8 Oktober 2020

Pembimbing

dr. Budi Muliantoro, Sp. A

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga journal reading Ilmu Kesehatan Anak yang
berjudul “Epidemiological Investigation in Diphtheria Control in Banda
Aceh, Indonesia” dapat terselesaikan dengan baik. Adapun pembuatan
journal reading ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSPAL Dr. Ramelan
Surabaya.

Keberhasilan dalam menyelesaikan journal reading ini tentunya


tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Ucapan terima kasih kepada dr.
Budi Muliantoro, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan journal
reading dan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian journal reading ini.

Tiada gading yang tak retak, seperti halnya penulisan ini yang
masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu
diperbaiki dalam penulisan maupun dalam pengetahan, untuk itu, penulis
mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan journal
reading ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Surabaya, 8 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...............................................................................................iv
JOURNAL READING........................................................................................1
Abstrak......................................................................................................1
Pendahuluan.............................................................................................2
Subjek dan Metode...................................................................................3
Hasil..........................................................................................................3
Karakteristik Sampel.............................................................................3
Diskusi......................................................................................................8
REFERENSI....................................................................................................14

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Characteristics of the sample…………………………………..4

iv
JOURNAL READING

Epidemiological Investigation in Diphtheria Control in Banda Aceh,


Indonesia
Zahratul Aini, Eti Poncorini Pamungkasari, Ari Natalia Probandari
Abstrak
Latar Belakang: Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri masih ditemukan di kota
banda aceh. Diperlukan suatu tindakan untuk memutus mata rantai kasus
difteri dan mengurangi jumlah morbiditas atau mortalitas dari kasus difteri,
salah satunya dengan cara melakukan penyelidikan epidemiologi difteri.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana penerapan penelusuran
epidemiologi difteri di kota Banda Aceh dan bagaimana caranya hal ini
berkaitan dengan adanya kasus difteri di Kota Banda Aceh.

Metode: Subjek dan metode ini adalah kualitatif studi kasus ganda. Data
dikumpulkan dengan melakukan wawancara dengan dokter dalam lima
sampel Puskesmas di Kota Banda Aceh. Puskesmas dipilih secara sengaja
yaitu dengan pengambilan sampel berdasarkan data primer mengenai
penyebaran difteri selama tahun 2017 dan 2018 di Kota Banda Aceh. Studi
ini digabungkan sumber tri-angulation. Triangulasi sumber Informan adalah
pihak yang bertugas dalam pengawasan di Dinas Kesehatan Kota Banda
Aceh.

Hasil: Penelusuran epidemiologi ini dilakukan di puskesmas dengan segera


yaitu dimulai dengan mengirim tim pengawasan difteri yang dapat bergerak
cepat dalam survei terkait kronologis kasus dan mengumpulkan data tentang
penduduk warga di lingkungan kasus tersebut. Ada pengumpulan data warga
di Puskesmas daerah yang pencatatannya tidak lengkap sehingga profilaksis
tidak dapat mencakup keseluruhan wilayah di daerah tersebut. Tahapan
pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu swab tenggorokan atau spesimen
hidung terkadang juga tidak dilakukan di beberapa puskesmas.

1
Kesimpulan: Penelusuran epidemiologi berperan penting dalam memutus
rantai distribusi difteri. Apabila ada yang terlewatkan dalam tahapan
penelusuran epidemiologi ini dapat memberikan celah untuk perkembangan
kasus difteri ini dalam lingkungan Hidup. Puskesmas yang melaksanakannya
dengan lengkap pada tahap penelusuran epidemiologi ini terbukti mampu
memberantas kejadian difteri di wilayah kerjanya.

Pendahuluan

Difteri merupakan penyakit infeksi yang akut dan menular. Agen


penyebabnya adalah Corynebacterium difteri dengan gejala khas dari pseudo
membrane yang terbentuk pada kulit atau mukosa. Difteri bisa menular
melalui tetesan dari pasien atau pembawa nasofaring (Poorwo et al.,
2008;Murhekar, 2017).
Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri masih ditemukan di indonesia.
Insiden difteri relatif tinggi di Aceh. Di tahun 2018, ada 143 kasus difteri yang
dilaporkan. Banda Aceh sebagai ibu kota Provinsi Aceh yang jumlah
penderita difteri tertinggi diantara 13 provinsi lainnya. Dari 143 kasus pada
2018, 24 kasus terjadi di Kota Banda Aceh (Afif, 2018).
Suatu daerah dikatakan sebagai wabah pada kasus difteri jika ada
dugaan difteri. Diperlukan tindakan khusus untuk memutus rantai penyebaran
kasus difteri dan mengurangi jumlah morbiditas atau mortalitas difteri.
Langkah awal yang perlu dipersiapkan adalah untuk membentuk tim difteri
yang dapat bergerak cepat yaitu terdiri dari dokter, tim pengawasan,
laboratorium personel dan tenaga kesehatan lain yang telah dilengkapi
dengan peralatan perlindung diri (Anggraeni et al., 2017; Phan etal., 2018).
Tim ini terlibat dalam menangani kasus difteri agar tidak semakin
tersebar luas yaitu dengan melakukan prosedur penelususran epidemiologi.
Epidemiologis investigasi adalah kegiatan yang terdiri dari pengumpulan data
kronologis yang terkait dengan adanya kejadian kasus difteri, pendataan
kontak dekat dan karier, pemeriksaan spesimen dilakukan pada pasien yang

2
terduga dan yang kontak dekat dengan profilaksis atau dengan tindakan
pencegahan untuk kontak dekat (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji penerapan pada penyelidikan
epidemiologi difteri di Banda Aceh, Indonesia.

Subjek dan Metode

1. Desain Studi
Ini adalah studi kasus ganda kualitatif. Penelitian dilakukan di kota
Banda Aceh, dari bulan Juni hingga Oktober 2018.
2. Populasi dan Sampel
Puskesmas sampel dipilih secara sengaja dengan pengambilan
sampel berdasarkan data primer mengenai distribusi difteri selama
2017 dan 2018 di Kota Banda Aceh. Contoh Puskesmas kemudian
diberi kode A, B, C, D dan E.
3. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam pada
dokter di beberapa puskesmas.
Hasil

Karakteristik Sampel
Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang menjadi sampel
penelitian adalah mereka yang pernah menghadapi kasus difteri dalam
rentang waktu tahun 2017 dan 2018. Data Endimisitas sebaran difteri di
setiap komunitas Puskesmas diperoleh dari Dinas Kesehatan Banda Aceh.
Dari sebelas komunitas Puskesmas di Kota Banda Aceh, lima komunitas
Puskesmas yang diambil sebagai sampel. Berikut adalah contoh
karakteristiknya.

3
Table 1. Characteristics of the sample

Puskesmas Name Number of positive Number of positive


diphtheria diphtheria
cases in 2017 cases in 2018

Puskesmas A 1 case No case

Puskesmas B 4 cases 3 cases

No case
Puskesmas C 3 cases

Puskesmas D 1 case No case

Puskesmas E 2 cases No case

Peneliti mewawancarai dokter sebagai bagian dari tim respons cepat


pada kasus difteri dan sebagai tim yang bertanggung jawab. Dari wawancara
tersebut diperoleh bahwa penyelidikan epidemiologi di setiap puskesmas
sampel dilakukan dengan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kota Banda
Aceh, seperti diungkapkan oleh dokter puskesmas E: "Saat itu (saat
ditemukan kasus masuk 2017) penyelidikan epidemiologi ini mulai dilakukan,
berkoordinasi dengan departemen kesehatan, karena ini bukan lelucon, satu
kasus dianggap wabah.”
Prosedur penyelidikan epidemiologi ini dimulai dengan
mengumpulkan informasi tentang data pribadi pasien yang diduga difteri
(suspek). Tim difteri yang bergerak cepat untuk terjun langsung dalam
pengawasan kasus ini, menuju ke alamat pasien yang diduga difteri untuk
mengumpulkan semua informasi tentang kronologis dari penyakit difteri.
Namun, tim pengawasan sering dijumpai kendala yaitu data pasien yang
tidak valid dan banyak keluarga pasien yang tidak kooperatif dalam
memberikan informasi kepada tim pengawasan, bahkan adanya perlawanan
dari masyarakat. Mereka beranggapan bahwa difteri adalah penyakit yang

4
menakutkan. Keluarga pasien takut dikucilkan, sehingga data pribadi bersifat
rahasia langsung diserahkan ke petugas. Ini diungkap oleh informan
triangulasi di Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh: “Kami di lapangan
sebenarnya tidak semudah orang yang duduk di belakang meja, kataku
(katakanlah) terus terang, (itu) anak-anak saya (bawahan informan) yang
berada di puskesmas atau di kantor ini bagian pengawasan juga cukup
banyak menemui kendala. Bagian tim yang melakukan epidemiologis
investigasi (kendala) yang pertama adalah alamat pasien. Terkadang alamat
yang diberikan sering kali mereka (pasien) hanya mengatakan nama desa,
maka kita harus mencari tahu lebih lanjut secara menyeluruh. Kemudian
penerimaan dari komunitas itu sendiri, penerimaan dari keluarga yang
terkena kasus, sehingga hal-hal seperti itu kita hanya perlu lebih berbesar
hati saja. Bagi petugas saya sendiri, itu kendala kami di lapangan, yang
pertama adalah penolakan dari keluarganya sehingga alamat yang diberikan
atau yang dicantumkan tidak jelas dalam data pribadinya sendiri, jadi itu yang
membuat petugas saya harus bolak-balik melakukan penelusuran lagi, itulah
kendala yang ditemukan sampai sekarang".
Investigasi epidemiologi tidak hanya mengumpulkan informasi
tentang data pribadi pasien tetapi juga merekam kemungkinan orang yang
kontak erat dengan pasien yang terpapar dan karier di lingkungan pasien.
Kontak erat yang direkam tidak hanya terbatas pada keluarga anggota yang
tinggal serumah dengan pasien difteri yang dicurigai tetapi juga termasuk
kemungkinan kontak dekat dengan yang lainnya seperti tetangga, teman
bermain, teman sekolah dan guru di sekitar lingkungan yang dicurigai. Tim
difteri yang bergerak cepat di Puskesmas A, C, D dan E juga melakukan
pemantauan kemungkinan karier pada orang yang kontak dekat dengan
pasien. Tim melakukan penyelidikan epidemiologi ini terus menerus selama
sebelas hari dengan mengamati keluarga dan tetangga di daerah yang dekat
dengan tempat tinggal pasien. Jika ada keluhan penyakit mirip difteri seperti
batuk, pilek dan kesulitan menelan pada pengamatan kontak dekat,

5
selanjutnya dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk memastikan
diagnosis yang tepat apakah terinfeksi difteri atau tidak.
Seperti yang dinyatakan dalam kutipan wawancara berikut dari
dokter puskesmas A : "Kami telah melakukan (profilaksis), jadi kami biasanya
memberikan eritromisin kepada pasien yang suspek tersebut, kemudian
keluarga yang tinggal dirumah yang sama, orang yang kontak erat dengan
pasien dan karier".
Pengumpulan data pribadi warga sekitar di wilayah puskesmas B
diketahui belum lengkap. Sumber informasi utama di puskesmas B
mengatakan apabila ditemukan kasus difteri, petugas kesehatan segera
melakukan survei untuk mengumpulkan data dan memberikan edukasi
secara langsung keluarga yang salah satu anggotanya suspek difteri. Tim
komunitas pengelola difteri di puskesmas B hanya melakukan pengumpulan
data kontak erat di rumah pasien saja. Tidak ada pengumpulan data yang
dilakukan tentang kemungkinan kontak erat lainnya di lingkungan sekitar
pasien. Hal yang sama juga berlaku pada pengumpulan data yang karier. Ini
dibuktikan dengan laporan investigasi epidemiologi di Puskesmas B yang
didapat dari triangulasi data.
Berikut wawancara dengan dokter dari Puskesmas B : “ Bahkan jika
ada kasus yang kami temui di lapangan, ada yang dicurigai adalah kasus
difteri, kami langsung (melakukan) survei ke rumah (pasien), melihat kondisi
pasien, kami melakukan edukasi berupa penjelasan pada keluarga tersebut.
Kami memberi edukasi kepada pasien agar mengerti difteri menyeluruh. Jadi
meski ada satu keluarga (hanya ditemukan) satu orang yang terinfeksi oleh
difteri tetapi (anggota lain dari) keluarga lain juga harus diberikan pengobatan
profilaksis untuk mencegah difteri ".
Rangkaian pengobatan difteri berikutnya secara penyelidikan
epidemiologi adalah pemeriksaan dari spesimen hidung atau tenggorokan.
Pemeriksaan spesimen difteri tidak hanya dilakukan pada pasien yang
diduga difteri saja, tetapi juga harus dilakukan pada orang-orang yang kontak

6
erat dengan pasien. Berbasis pada data yang ditemukan saat observasi
penelitian dikumpulkan, tahapan pemeriksaan spesimen pada orang-orang
yang kontak langsung dengan pasien hampir terlewatkan oleh semua contoh
puskesmas. Mereka hanya meminta pemeriksaan spesimen pada pasien
difteri saja. Menurut informasi dari utama informan di Puskesmas E, karena
keterbatasan Tenaga ahli laboratorium di Kota Banda Aceh yang menjadi
kendala bagi puskesmas untuk memeriksa spesimen untuk orang-orang yang
kontak langsung dengan pasien. Pusat kesehatan di Kota Banda Aceh belum
memiliki staf laboratorium yang terlatih untuk melaksanakan pemeriksaan
spesimen yang dicurigai penderita difteri. Banda Aceh hanya memiliki satu
petugas laboratorium yang berkompeten dan bekerja di bidang kesehatan
daerah Kota Banda Aceh laboratorium.
Dokter di puskesmas E menyatakan: "Tidak ada pelatihan tentang
cara mengumpulkan spesimen untuk asisten laboratorium, tidak ada reagen,
jadi semuanya diserahkan ke puskesmas ". Puskesmas C adalah satu-
satunya komunitas Puskesmas yang dapat melalukan pemeriksaan spesimen
orang-orang yang kontak langsung dengan pasien pada tahun 2017 saat
difteri terjadi di puskesmas C. Data ini diperoleh berdasarkan hasil observasi
dan wawancara dengan dokter dan surveilans di puskesmas C tim
pencegahan difteri bergerak cepat telah melakukan investigasi epidemiologi
dengan merekam semua kontak langsung dengan pasien dan juga secara
acak memeriksa apusan tenggorokan. Apusan tenggorokan diambil oleh staf
laboratorium terlatih dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Banda
Aceh.
Tahap selanjutnya dalam penyelidikan epidemiologi adalah
profilaksis untuk orang-orang yang kontak langsung dan kemungkinan karier.
Dalam wawancara dengan lima orang informan utama di semua puskesmas
sampel, ditemukan bahwa sebelum memberikan profilaksis dalam bentuk
eritromisin untuk mencegah kontak terinfeksi, petugas pertama memberikan
edukasi kepada keluarga penderita yang di suspek difteri tentang risiko

7
penularan difteri kepada seluruh anggota keluarga penderita. Dokter
menjelaskan pentingnya profilaksis sebagai obat pencegahan, prosedur
pemberian profilaksis dan bagaimana efek sampingnya. Semua yang
mengalami kontak langsung terhadap pasien positif difteri diberikan antibiotik
eritromisin dengan dosis 4 x 500 mg selama tujuh hari. Dokter juga
memberikan antasida untuk menekan efek samping dari eritromisin.
Berikut ini adalah kutipan dari wawancara dengan dokter dari
Puskesmas B tentang profilkasis difteri: "Jadi seperti kasus kemarin, masih
ada kasus bahwa saat kami sudah mencurigai atau suspek pada anggota
keluarga yang menderita difteri, kami segera menjelaskan kepada anggota
keluarga di rumah yaitu ibu dan ayah mereka, kami menjelaskan bahwa jika
salah satu anggota keluarga telah terinfeksi difteri, kami curiga penularan ini
dapat terjadi. Keluarga anggota di rumah segera kami berikan antibiotik
eritromisin 4x500 mg selama tujuh hari dan kami juga menjelaskan efek
samping eritromisin yang bisa meningkatkan asam lambung, sehingga untuk
antisipasi kita memberikan obat antasida, untuk menekan efek samping dari
eritromisin. Kami memberikannya kepada anak-anak dalam bentuk sirup
sesuai dengan dosis berat badan anak dan kami juga memberikannya
selama tujuh hari ".
Kontak langsung dengan penderita difteri tercatat dalam
epidemiologi investigasi di Puskesmas B terbatas kepada anggota keluarga
yang tinggal dalam satu rumah dengan pasien, sehingga profilaksis tidak
mencakup keseluruhan orang-orang yang kontak langsung atau karier yang
dicurigai.

8
Diskusi
Penyelidikan epidemiologi adalah aktivitas yang dilakukan secara
terencana untuk menyelidiki kasus kesehatan yang terjadi di suatu wilayah
kerja. Penyelidikan berkaitan dengan bagaimana cara kronologis kasus itu
terjadi, mengkonfirmasi diagnosis, mencari kasus tambahan, dan
memastikan apakah ada wabah. Dalam kasus difteri, penyelidikan
epidemiologi ini bertujuan untuk menentukan faktor risiko difteri agar
penyebaran difteri ini dapat dihentikan segera (Widoyono, 2008; Ramdan et
al., 2018).
Penelitian sebelumnya meneliti penyelidikan epidemiologi difteri
telah dilakukan dilakukan di kabupaten Ngawi oleh Rahman et al. (2015),
disebutkan bahwa petugas di umum telah melakukan prosedur penyelidikan
epidemiologi saat terjadi wabah. Kegiatan yang dilakukan dimulai dari
berkunjung langsung ke rumah penderita, sekolah dan taman bermain survei
dengan orang-orang yang kontak langsung. Kemudian kontak langsung ini
diamati selama beberapa hari, tujuannya adalah jika ada yang menunjukkan
gejala yang mirip dengan difteri segera ditangani lebih lanjut. Koordinasi
dengan Dinas Kesehatan Provinsi tersebut, dimana laporan harus diserahkan
dalam satu hari setelah penemuan kasus (Rahman dan Hargono, 2016).
Berdasarkan tahapan prosedur disiapkan oleh Kementerian
Kesehatan RI Republik Indonesia, kejadian difteri harus dilaporkan dalam
waktu kurang dari 24 jam sejak kasus tersebut ditemukan (Anggraeni et al.,
2017). Jika kasusnya ditemukan di masyarakat wilayah kerja puskesmas, tim
pengawasan bertugas saling berkoordinasi dengan dokter puskesmas untuk
mengkonfirmasi diagnosis dari pasien. Setelah didiagnosis dengan difteri,
segera dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas isolasi yang tersedia untuk
pengobatan pasien difteri. Namun, jika pasien yang didiagnosis dengan difteri
ditemukan di rumah sakit, dinas kesehatan akan menghubungi surveilans
puskesmas sesuai dengan domisili pasien segera melakukan penyelidikan
epidemiologi. Dalam hal ini pengawasan dilakukan terlebih dahulu untuk

9
memastikan apakah pasien adalah warga negara sejati dan dimana pasien
tertular difteri pertama kali.
Tahap selanjutnya, tim pengawasan melakukan penyElidikan
epidemiologi dan menulis secara rinci laporan tentang W1 yang telah tersedia
(Wabah 1) di kertas. Laporan penyelidikan epidemiologi ini harus di bawah
pengawasan dokter sebagai kepala puskesmas. Mekanisme pembuatan
epidemiologi ini laporan dijelaskan dengan triangulasi informan di Kota Banda
Aceh Dinkes dalam wawancara berikut: "Selama ada kasus, setelah kita beri
tahu petugas pengawas, laporan itu berasal dari tim pengawasan. Ada istilah
laporan W1, laporan yang (harus dilaporkan dalam) 24 jam (setelah
ditemukan) wabah itu di W1 (adalah) tugas tim pengawasan yang akan
melaporkan.
Petugas pengawas, ketika dia mendapat sebuah kasus, dia
(pengawas) berkoordinasi dengan dokternya, kemudian dokter melakukan
pemeriksaan, Begitulah jika ditemukan adanya (kasus) di puskesmas. Tetapi
jika ditemukan di rumah sakit, pejabat yang menginformasikan, di bidang
tersebut ke Puskesmas yang terdapat kasus, lalu petugas pengawas (dari
komunitas Puskesmas) akan melakukan penyelidikan epidemiologi, dia
memastikan apakah kasus ini memang (terjadi) pertama di area pasien itu
berasal, yang kedua adalah bagaimana menyelidiki imunisasi di sana, Lalu
bagaimana ini bisa terjadi. Jadi, tim pengawasan ini harus tahu, laporan
(dari), dari W1 segera. Kronologi dibuat dari petugas untuk tahap pertama,
saat dia (pengawasan) (laki-laki) mendapat informasi, lalu kapan penyelidikan
epidemiologis dilakukan, (apa saja) apa yang dia temukan di lapangan, dan
tindakan apa telah diambil. Jika (kasus) ditemukan di Puskesmas, kemudian
dia (surveilans) sudah tahu (pasien) masuk (didiagnosis lebih awal) dari poli
(komunitas pusat kesehatan), apa (hanya) yang telah ada diberikan oleh
dokter (puskesmas), tetapi jika pasien telah dirawat di rumah sakit, dia harus
tahu di kamar mana dirawat, lalu apa implementasinya (terapi) yang

10
dilakukan oleh dokter di Rumah Sakit. Laporan W1 harus diketahui oleh
kepala puskesmas ".
Pencegahan penyebaran difteri tidak hanya pada penderita difteri
tetapi juga termasuk orang-orang di sekitar pasien difteri yang disebut kontak
dekat. Orang yang kontak langsung dengan penderita dianggap sebagai
orang yang sangat berisiko tertular bakteri difteri. Orang yang kontak
langsung dengan penderita harus dipantau selama tujuh hari dari kontak
terakhir dengan kasus ini hingga menyingkirkan dugaan menjadi karier.
Prosedur untuk orang yang kontak langsung hampir sama sama seperti pada
penderita difteri, teatpi tidak perlu diisolasi. Prosedur untuk orang yang
kontak langsung dengan penderita termasuk, pemberian eritromisin sebagai
obat profilaksis 4 x 500 mg selama tujuh sampai sepuluh hari, imunisasi
dasar difteri diberikan yang belum diimunisasi, sedangkan untuk yang sudah
diimunisasi diberikan booster dosis imunisasi jika imunisasi terakhir telah
lebih dari lima tahun, dan tahap terakhir adalah pemeriksaan tenggorokan
atau hidung spesimen smear (Phalkey et al., 2013; Departemen Kesehatan
Negara Bagian Washington, 2016).
Pemberian profilaksis untuk semua orang yang kontak langsung
dengan penderita berfungsi sebagai upaya memutus rantai penularan difteri.
Pengawasan sampel puskesmas sudah tercatat orang yang kontak langsung
dulu baru kemudian profilaksis. Pengumpulan data pribadi yang hanya
berputar di sekitar keluarga yang tinggal bersama pasien dalam kasus di
puskesmas B menyebabkan tidak semua mendapatkan profilaksis.
Investigasi epidemiologi memainkan peran penting dalam pencegahan difteri,
sehingga jika Anda melewatkan satu prosedur saja dalam penyelidikan
epidemiologi itu akan berpengaruh pada tahap selanjutnya. Seperti itu kasus
dengan puskesmas B, koleksi kontak dekat dan profilaksis yang tidak
mencakup semua kontak dekat bisa telah menjadi penyebab kasus difteri di
Puskesmas B sampai Oktober 2018.

11
Pemberian profilaksis juga mencakup karier. Karier adalah orang
yang tidak punya tanda dan gejala difteri tetapi di laboratorium tes telah
terbukti terinfeksi dengan bakteri C. Difteri. Untuk itu kita perlu menemukan
risiko karier antara orang yang pernah kontak langsung dengan pnderita.
Manajemen karier adalah dengan memberi bentuk anti mikroba penisilin 100
mg / Kg BB per hari secara oral atau intravena atau dengan memberi
eritromisin 40 mg / Kg BB per hari selama tujuh hari (Haryato, 2018).
Tahap selanjutnya dalam penyelidikan epidemiologi adalah
pemeriksaan spesimen pada orang yang kontak langsung dengan penderita.
Semua orang yang kontak langsung dengan penderita di sekitar pasien
didiagnosis dengan difteri sehingga perlu permeriksaan swab tenggorokan
atau spesimen hidung tanpa melihat sebelumnya status imunisasi dan
keberadaannya atau tidak adanya gejala seperti difteri (Fitriana dan Novriani,
2014).
Ini dilakukan untuk memastikan apakah orang yang kontak langsung
dengan penderita positif atau negatif terinfeksi dengan bakteri difteri.
Prosedur ini menentukan jangka waktu pemberian eritromisin, yang tujuh hari
jika terbukti negatif untuk C. Difteri bakteri atau dilanjutkan selama empat
belas hari jika terbukti positif C. Difteri bakteri (Kementerian Kesehatan,
Republik Indonesia, 2013).
Kota Banda Aceh terkendala oleh kurangnya staf laboratorium yang
terlatih untuk pengambilan spesimen difteri dan tidak tersedianya fasilitas
laboratorium mikrobiologi pemeriksaan (Aini dan Poncorini, 2019).
Akibat tidak memeriksa spesimen orang yang kontak langsung
dengan penderita, sehingga kesulitan untuk mendeteksi kemungkinan karier
dari orang yang kontak langsung dengan penderita dan tidak bisa menjadi
acuan dalam penyelenggaraan tindakan profilaksis. Kontak langsung yang
memiliki terbukti positif mengidap difteri dari tes laboratorium harus
diperlakukan berbeda dari kontak langsung yang negatif terhadap C. Difteri
(Irawan, 2014).

12
Penyelidikan epidemiologi sebagai bentuk pencegahan wabah difteri
di kota banda aceh umumnya sudah mencoba dilakukan secara optimal di
setiap puskesmas. Puskesmas telah melakukan tahap penyelidikan
epidemiologis secara lengkap terbukti mampu memberantas kejadian difteri
di area kerja mereka. Apabila melewati tahapan prosedur penyelidikan
epidemiologi bisa memberikan celah bagi penyebaran kasus difteri di
lingkungan sekitar. Pengumpulan data yang tidak lengkap pada Orang yang
kontak langsung dengan penderita di komunitas Puskesmas B menghasilkan
profilaksis yang tidak dapat mencakup keseluruhan. Karena orang yang
kontak langsung dengan penderita adalah orang yang sangat rentan positif
difteri. Jika tidak ditangani seluruhnya, maka rantai penularan difteri tidak
dapat dipatahkan (Irawan, 2014; Jané et al., 2018).
Pengawasan kinerja tim diperlukan, tidak hanya mengandalkan
penerapan penyelidikan epidemiologi untuk petugas lapangan seperti
pengawasan, tapi dokter juga dituntut untuk bisa mengawasi tahapan
melakukan investigasi epidemiologi sehingga tidak ada lagi tahapan yang
terlewat memutus rantai distribusi difteri. Pihak terkait seperti dinas
kesehatan juga diharapkan untuk melakukan observasi pada investigasi
epidemiologi di masing-masing pusat kesehatan masyarakat.
Peran dokter sebagai orang yang termasuk dalam tugas tim gerak
cepat difteri diperlukan untuk mengawasi prosedur penyelidikan epidemiologi.
Dokter diharapkan dapat berperan aktif, tidak hanya menyerahkan semua
penyelidikan epidemiologi ini ke petugas lapangan. Pengumpulan data tidak
lengkap di penyelidikan epidemiologi seperti di Puskesmas B, membuktikan
bahwa kurangannya pengawasan dokter atas kinerja petugas. Dalam
penelitian ini peneliti hanya melakukan wawancara dengan dokter sebagai
penanggung jawab dari tim pengawasan difteri yang bergerak cepat, tetapi
tidak mewawancarai anggota tim lainnya sehingga tidak dapat diketahui
mengapa beberapa petugas tidak melaksanakan tugas sesuai prosedur

13
penyelidikan epidemiologi berdasarkan yang telah ditentukan oleh
Kementerian Kesehatan RI Republik Indonesia.

REFERENSI

REFERENCE
Afif (2018). Aceh Jadi Provinsi Ketiga di Indonesia Pengidap Difteri
Terbanyak (Aceh Becomes the Third Province in Indonesia with the Most
Diphtheria). Aini et al./ Epidemiological investigation in diphtheria control
www.jepublichealth.com 148 Retrieved from: https://www.merdeka.
com/peristiwa/aceh-jadi-provinsiketiga-di-indonesia-pengidap
difteriterbanyak. Html

Aini Z, Poncorini E, Probandari AN (2019). Optimization of surveilance and


laboratory technicians in diphtheria outbreak control in Banda Aceh,
Aceh. Internationalconference on Public
health.https://doi.org/10.26911/theicph.2019.01.27.

Anggraeni ND, Yosephine P, Natalia U, Mazanova D, Handini S, Widodo N,


Anom IB, et al (2017). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri
(Guidelines for Prevention and Control of Diphtheria). Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Fitriana, Novriani H (2014). Penatalaksanaan Difteri (Management of


Diphtheria). Jurnal Indon Med Assoc, 64(12): 541–545

Haryato E (2018). Difteri Pada Anak (Diphtheria in Children). Sari Pediatri.


19(5): 300–306

Irawan H (2014). Diphteria: Re-Emerging Disease Dalam Current Evidences


In Pediatric Emergencies Management. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI/RSCM

14
Jané M,Vidal MJ, Camps N, Campins M, Martínez A, Balcells J, Martin-
Gomez MT, et al. (2018). A case of respiratory toxigenic diphtheria:
contact tracing results and considerations following a 30-year disease-
free interval, Catalonia, Spain, 2015. Euro Surveill. 23(13): pii= 17-00183.
https://doi.org/10.2807/15- 60-7917.ES.2018.23.13.17-00183

Ministry of Health RI (2013). Petunjuk teknis pelaksanaan imunisasi dan


surveilans dalam rangka penganggulangan kejadian luar biasa (KLB)
Difteri (Technical Guidelines for the Implementation of Immunization and
Surveillance in the Context of Overcoming Diphtheria Extraordinary
Events (KLB)). Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Murhekar M (2017). Epidemiology of Diphtheria in India, 1996–2016:


Implications for Prevention and Control. The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene. 97(2): 313 – 318. https:-
//doi.org/10.4269/ajtmh.17-0047

Phalkey RK, Bhosale RV, Joshi AP, Wakchoure SS, Tambe MP, Awate P,
Marx M (2013). Preventing the preventable through effective surveillance:
the case of diphtheria in a rural district of Maharashtra, India. BMC Public
Health. 13: 317. https://dx.doi.org/10.- 1186%2F1471-2458-13-317 Phan
LT, Pham Q, Phan HC, Nguyen TV, Phan TV, Luong QC, Vo DTT, et al..
(2018). An investigation of an outbreak of diphtheria in adolescents and
adults in southern Vietnam. Int J Infect Dis. 73(90): 3–398.
https://doi.org/10.10- 16/j.ijid.2018.04.3628.

Poorwo S, Garna H, Rezeki S, Irawan H (20- 08) Infeksi dan Pediatri Tropis
(Infections and Tropical Paediatrics). Kedua. Jakarta: bagian IKA
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Rahman F, Hargono A, Susilastuti F (2016). Penyelidikan Epidemiologi KLB


Difteri Di Kecamatan Geneng dan Karang Jati kabupaten Ngawi tahun

15
2015 (Epidemiological investigation of diphtheria outbreaks in Geneng
and Karang Jati Districts in Ngawi Regency in 2015). Jurnal Wiyata. 3(2):
199–212. http://- dx.doi.org/10.20473/jbe.V6I22018.10- 3-111.

Ramdan IM, Susanti R, Ifroh RH, Noviasty R (2018). Risk factors for
diphtheria outbreak in children aged 1-10 years in East Kalimantan
Province, Indonesia. F1000Research. 7: 1625. https://doi.-
org/10.12688/f1000research.16433.1

Washington State Department of Health (20- 16) Diphtheria Reporting and


Investigation Guideline. Washington DC: Washington State Department
of Health

Widoyono (2008). Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan


Dan Pemberantasannya (Tropical Disease, Epidemiology, Transmission,
Prevention and Eradication). Jakarta: Erlangga

16

Anda mungkin juga menyukai