Anda di halaman 1dari 14

DISKRIMINASI RASIAL DALAM NOVEL “THE KITE

RUNNER” KARYA KHALED HOSSEINI


Salsyabila Balqis
1175030241
salsyabilabalqis@gmail.com

Abstract
Khaled Hosseini's novel entitled The Kite Runner is his first novel that tells about
social conflict, racial discrimination between Pashtun and Hazara, two different races
and ethnicities in Afghanistan played by Amir and Hassan. The aims of this study are
to find out more deeply about racial discrimination in Afghanistan in the 1970s, and
to analyze the causes of the impact of racial discrimination on certain societies. The
theory of racial and social class discrimination by Karl Marx is used in this study.
The results of this study indicate that racial discrimination at The Kite Runner is
caused by two factors, structural factors and social psychological factors. Between
Pashtun and Hazara they differ in terms of religious beliefs, culture, social status, and
also physical appearance. In addition, racial discrimination in The Kite Runner also
causes several adverse impacts on certain individuals and communities. Therefore, it
can be concluded that racial discrimination is dangerous for individuals and society
because it will be able to make stereotypes about other people in terms of
expectations or group-based standards.
Keywords : Racial Discrimination, Pashtuns, Hazaras.
A. Pendahuluan
Karya sastra adalah sebuah bentuk tulisan yang dapat merujuk pada karya
individu itu sendiri atau pemahaman kategorikal sastra, seperti sastra Inggris atau
sastra Amerika. Pada umumnya orang-orang dapat menganggap tulisan-tulisan
yang lebih diterima sebagai sastra adalah karya-karya seperti novel, esai, puisi, dan
drama. Sastra itu sendiri sudah ada sejak zaman dahulu kala. Secara teoritikal,
semua karya sastra itu bersifat kontekstual karena dilihat dari prosesnya dimana
para penulis atau pengarang mulai menuangkan pikirannya baik mengenai apa
yang mereka rasakan ataupun mengenai situasi dan kondisi di sekitar mereka, lalu
dituangkan ke dalam bentuk sebuah tulisan. Sastra juga memiliki banyak arti yang
berbeda. Bagi sebagian orang, sastra mungkin memiliki makna yang sangat jelas.
Bagi sebagian yang lain, mungkin juga mereka percaya pada pemahaman yang
sangat sederhana tentang sastra itu sendiri. Perspektif mengenai sastra itu sendiri
sangat umum, bisa jadi berbeda-beda menurut masing-masing orang. Keindahan
sastra itu sendiri ada di mata orang yang melihatnya.
Suatu karya sastra secara tersirat dapat menyampaikan suatu pesan moral
yang pada umumnya berkaitan dengan kehidupan ataupun keadaan yang dialami
oleh penulis atau pengarang karya sastra tersebut, seperti yang ada di dalam novel
“The Kite Runner” karya Khaled Hosseini yang banyak menyiratkan berbagai
konflik mengenai kehidupan sosial di Afganistan. Untuk itu berdasarkan paparan
diatas, penulis akan melakukan kajian mendalam mengenai representasi konflik
sosial dalam novel “The Kite Runner” karya Khaled Hosseini.
Pemilihan topik kajian di atas didasarkan pada pertimbangan berikut ini.
Pertama, untuk lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai
diskriminasi rasial di Afganistan pada tahun 1970-an. Kedua, untuk mengetahui
penyebab dari diskriminasi rasial di Afganistan saat itu. Ketiga, untuk mengetahui
dampak dari pada diskriminasi rasial tersebut pada masyarakat tertentu. Ketiga,
agar topik kajian ini memberikan referensi kepada peneliti atau penulis lain yang
mempelajari sastra, terutama dalam berdiskusi mengenasi multikulturalisme dan
pluralisme.
Untuk membatasi topik di atas, maka kajian ini hanya akan membatasinya
pada beberapa aspek, yakni a) Diskriminasi rasial di Afganistan pada tahun 1970-
an, b) Penyebab adanya diskriminasi rasial di Afganistan, c) Dampak dari pada
diskriminasi rasial tersebut pada masyarakat tertentu.
Untuk mengkaji permasalahan di atas, maka penulis menggunakan teori-teori
kelas sosial oleh Karl Marx, dan beberapa kritik berbeda lainnya seperti jurnal, dan
artikel. Sedangkan terkait dengan metode kajian, penulis menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Karen data yang dikumpulkan bukan angka, melainkan data
yang dikategorikan ke dalam data kualitatif. Novel “The Kite Runner” karya
Khaled Hosseini sebagai data utama atau data primer akan dianalisis dan didukung
oleh beberapa referensi seperti yang tercantum di dalam daftar pustaka atau data
sekunder. Data sekunder diambil juga dari teori kelas sosial oleh Karl Marx, dan
beberapa kritik berbeda lainnya seperti jurnal, dan artikel. Sebelum menganalisis
novel “The Kite Runner” karya Khaled Hosseini ini, langkah pertama yang
dilakukan adalah mempelajari, memilih, dan mengumpulkan bab novel. Peneliti
membaca setiap bab novel, dan secara otomatis peneliti mengetahui masalah sosial
intrinsic dari novel. Itu akan memudahkan peneliti untuk mendapatkan data.
B. Pembahasan
1. The Kite Runner karya Khaled Hosseini
The Kite Runner adalah novel pertama yang ditulis oleh Khaled
Hosseini pada tahun 2003, lalu diikuti dengan novel-novel lain setelahnya.
Novel ini adalah novel pertama yang ditulis dalam bahasa Inggris, juga novel
ini sudah diterjemahkan ke lebih dari 25 bahasa, dan terjual lebih dari 10 juta
kopi di seluruh dunia. Novel ini sangat terkenal pada saat itu dan masuk ke
dalam catatan “Banned and Challenged Books”.
The Kite Runner yang dibuka dengan bertempat di Kabul, Afganistan
pada pertengahan 1970-an sampai awal tahun 2000-an. Selain itu novel ini
juga mengambil tempat di Pakistan dan Amerika. Para tokoh utamanya yang
dibesarkan di rumah yang sama tetapi dipisahkan oleh kelas sosial. Amir dan
sahabatnya, Hassan, tidak dapat dipisahkan sampai suatu peristiwa tragis yang
mengubah hubungan mereka selamanya. Perjalanan hidup dan nasib mereka
mencerminkan bagaimana akhirnya tragedi dunia di sekitar mereka. Amir
seorang muslim Sunni yang berjuang untuk menemukan tempatnya yang ia
anggap sebagai efek samping dari serangkaian peristiwa masa kecilnya yang
cukup traumatis.
Pada awal novel ini yang dibuka oleh sosok Amir yang sudah dewasa
dan kini tinggal di Amerika bersama istrinya. Lalu kemudian novel ini
kembali ke masa kecil Amir di Afganistan. Selain pengalaman masa kecil,
Amir berjuang dengan menjalin hubungan yang lebih dengan dengan ayahnya
yang biasa ia panggil dengan sebutan Baba. Lalu hubungan Amir dengan
sahabat kecilnya, Hassan, seorang muslim syiah. Sampai akhirnya membuat
Amir kembali ke Afganistan untuk menebus kesalahannya di masa itu yang
berakibat jangka panjang hingga Amir tumbuh dewasa.
Salah satu perjuangan terbesar bagi sosok Amir adalah belajar
menavigasi budaya sosial-ekonomi kompleks yang dihadapinya, tumbuh besar
di Afganistan sebagai anggota kelas atas tetapi tidak merasa seperti anggota
istimewa di lingkungan keluarganya sendiri. Sedangkan Hassan dan ayahnya,
Ali, adalah seorang pelayan di rumah besar milik ayahnya Amir itu, namun
terkadang hubungan Amir dengan mereka lebih seperti hubungan anggota
keluarga. Juga ayah Amir, Baba, yang tidak secara konsisten berpegang teguh
pada prinsip-prinsip budayanya, membingungkan dari pada menjelaskan hal-
hal untuk Amir kecil. Dalam novel ini banyak menyinggung penguasa kelas
sosial di Afganistan yang memandang dunia secara hitam dan putih, namun
Amir mengidentifikasikan banyak warna abu-abu.
Selain masalah yang mempengaruhi kehidupan pribadinya, Amir juga
harus bersaing dengan ketidakstabilan system poltik di Afganistan pada 1970-
an saat itu. Selama di beberapa bagian penting dalam novel ini seperti yang
terjadi saat turnamen terbang layang-layang, Amir memutuskan untuk tidak
betindak atau melawan, tetapi ia memutuskan untuk tidak menghadapi para
pengganggu walaupun ia memiliki kesempatan saat itu, dan pilihan itu yang
membuat ia larut dalam penyesalannya lalu berantai yang memicu rasa
bersalah, kebohongan, dan pengkhianatan. Sampai akhirnya, karena iklim
politik yang berubah, Amir dan ayahnya terpaksa harus melarikan diri dari
Afganistan. Pandangan Amir datang ke Amerika saat itu adalah sebagai
kesempatan untuk meninggalkan masa lalunya.
Meskipun Amir dan Baba bekerja keras untuk menciptakan kehidupan
baru bagi diri mereka sendiri di Amerika Serikat, masa lalu tidak dapat tetap
terkubur. Ketika itu muncul kembali, Amir terpaksa harus kembali ke tanah
kelahirannya untuk menghadapi penyesalan di masa mudanya, dengan hanya
sedikit harapan untuk menebus kesalahan.
Pada akhirnya, The Kite Runner adalah novel tentang hubungan
bagaimana hubungan yang kompleks dalam hidup kita tumpang tindih dan
terhubung untuk menjadikan kita sebagaimana kita semestinya.

2. Unsur-Unsur Sastra dalam The Kite Runner karya Khaled Hosseini


Unsur-unsur dalam sebuah karya sastra sangat lah penting, selain
dapat memudahkan para peneliti untuk menganalisis sebuah karya sastra
tersebut, memudahkan para membaca juga untuk dapat mengerti dan
memahami sejarah, latar belakang, maksud, serta keseluruhan dari sebuah
karya sastra itu sendiri. Pada umumnya, unsur-unsur sastra terbagi menjadi
dua yakni, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Di dalam setiap karya sastra, unsur-unsur atau elemen yang dimiliki
karya sastra tersebut tidak lah jauh berbeda. Seperti di dalam karya sastra
seperti cerpen, drama, puisi, juga novel, terdapat beberapa unsur-unsur
intrinsik karya sastra yang sangat lah penting seperti tema, tokoh dan
penokohan, latar, alur, gaya bahasa, simbol, sudut pandang, serta amanat.
Sedangkan di dalam unsur ekstrinsik biasanya meliputi, biografi pengarang,
dan latar belakang karya sastra tersebut.
a. Unsur Intrinsik
1) Tema
Dalam novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini ini, ada
beberapa garis besar yang dapat diambil sebagai tema dalam novel ini.
Pertama, pengkhianatan dan penebusan. Pengkhianatan, yang dapat
dianggap sebagai bentuk dosa, bertahan, lalu akhirnya menjadi siklus
dalam The Kite Runner. Untuk sebagian besar novel, Amir berusaha
mengatasi kesalahannya dengan menghindarinya, itu sangat jelas
dideskripsikan dalam novel ini. Tetapi melakukan hal ini dengan jelas
tidak dapat memperbaiki apa pun yang sudah dilakukannya di masa
lalu untuk menebus kesalahan dirinya sendiri, dan dengan demikian
rasa bersalah itu tetap ada dan bertahan. Itu sebabnya ia masih
meringis setiap kali nama Hassan disebutkan. Ketika Amir mengetahui
tentang pengkhianatan ayahnya, Baba, terhadap ayah Hassan, Ali, ia
menyadari bahwa semua yang ia pikir ia ketahui dan ia pahami tentang
ayahnya adalah salah. Lalu Amir sendiri merasa dikhianati. Tetapi
Baba telah mati selama bertahun-tahun silam, dan tidak ada yang bisa
ia lakukan terhadap situasi ini. Perasaan pengkhianatan atau hukuman
seperti itu tidak cukup untuk menebus rasa bersalah Amir.
Menyelamatkan anaknya Hassan, Sohrab, dari Assef juga tidak cukup.
Hanya ketika Amir memutuskan untuk membawa Sohrab ke Amerika
Serikat dan memberikan keponakannya itu kesempatan untuk bahagia
yang ditolak oleh saudara tirinya, Amir mengambil langkah perlahan-
lahan yang diperlukan untuk menuju ke pendamaian dan kebahagian
atas segala kesalahan yang ia lakukan di masa lalunya terhadap
sahabat kecilnya, Hassan.
Kedua, Pengampunan. Banyak gagasan mengenai
“pengampunan” yang meresapi novel The Kite Runner. Tindakan
Hassan menunjukkan bahwa ia memaafkan pengkhianatan Amir di
masa lalu, meskipun Amir perlu menghabiskan seluruh novel praktis
untuk belajar mengenai sifat pengampunan itu sendiri. Perlakuan Baba
terhadap Hassan adalah upayanya untuk mendapatkan pengampunan
dari publik atas apa yang bahkan tidak secara terbuka diakui telah
dilakukannya. Namun di antara banyak orang yang berbicara
mengenai pengampunan, yang paling pedih dan sangat diingat oleh
Amir mengenai sifat pengampunan adalah dari Rahim Khan. Dalam
suratnya, ia meminta Amir untuk memaafkannya karena telah menjaga
rahasia Baba tetapi juga menulis secara terus terang bahwa “God will
forgive” pada halaman 260 (Published, Mellat, & Library, 2003),
Rahim Khan yakin bahwa Tuhan akan mengampuni semua kesalahan,
dan ia mendorong Amir untuk melakukannya juga. Rahim Khan
memahami bahwa Tuhanlah yang siap mengampuni mereka yang
meminta pengampunan, tetapi orang-orang lah yang sulit memaafkan.
Dengan demikian, satu-satunya cara untuk “pengampunan” total dapat
terjadi adalah ketika seseorang mengampuni dirinya sendiri, dan itu
hanya akan terjadi ketika seseorang benar-benar berusaha untuk
menebus kesalahan yang telah dilakukan seseorang.
2) Tokoh dan Penokohan
Di dalam novel ini juga banyak beberapa tokoh yang terlibat
dan yang paling sering muncul, diantaranya ada Amir, Hassan, Baba,
Ali, Rahim Khan, Assef, Soraya, Sohrab,
Pertama, Amir. Amir adalah narator di dalam novel ini, ia
protagonis, dan juga seorang muslim Pashtun dan Sunni, ini terbukti
dengan adanya kutipan yang menyatakan bahwa Amir seorang suku
Pashtun di Afganistan, “I read that my people, the Pashtun…” pada
halaman 7 (Published et al., 2003). Meskipun bukan sosok karakter
yang sepenuhnya simpatik, tetapi Amir adalah karakter yang membuat
sebagian besar para pembacanya merasa iba. Amir memiliki perasaan
yang bertentangan tentang ayahnya, Baba, dan teman bermainnya,
Hassan. Seringkali, Amir cemburu dengan cara Baba memperlakukan
Hassan, meskipun Amir menyadari bahwa Hassan secara sosial
memiliki tempat yang lebih rendah dalam masyarakat. Karakter yang
bertentangan, Amir berjuang antara sisi logis dan emosional mengenai
keberadaannya.
Selanjutnya Hassan. Hassan adalah teman bermain Amir saat
kecil dan pelayan Amir, ia putra dari Ali. Hassan dan Ali adalah
muslim Hazara dan Syiah, seperti yang disebutkan di dalam novel
tersebut mengenai Hassan seorang muslim dari suku Hazara pada
halaman 7, “They called him “flat-nosed” because of Ali and Hassan’s
characteristic Hazara Mongoloid features.” (Published et al., 2003).
Hassan menganggap Amir temannya, meskipun Amir tidak pernah
secara sadar menganggap Hassan seperti itu. Hassan melambangkan
pelayan yang sempurna yang setia kepada tuannya, bahkan setelah
tuannya mengkhianatinya.
Selanjutnya Baba. Baba adalah ayah Amir, yang dianggap
sebagai pahlawan dan pemimpin di Kabul, Afganistan. Baba dan Amir
telihat seperti tidak begitu dekat. Baba selalu melakukan hal-hal untuk
orang lain dan sepertinya selalu mengharapkan sesuatu yang lebih dari
putranya. Baba tampaknya mencontohkan seorang pria yang hidup
dengan caranya sendiri, namun ia membawa rahasia yang jika
diungkapkan, dapat merusak segalanya yang ia sudah perjuangkan.
Selanjutnya Rahim Khan. Rahim Khan adalah sahabat dan
teman bisnis dari Baba. Ia juga seperti sosok ayah bagi Amir karena
Rahim Khan selalu mendorong tulisan Amir, menjaga dan merawat
rumah Baba, membawa Hassan kembali ke Kabul saat Baba dan Amir
melarikan diri ke Amerika Serikat, dan bahkan membawa Amir
kembali ke Afghanistan. Rahim Khan juga berbagi rahasia terdalam
Baba dengan Amir.
Lalu ada tokoh Assef. Assef adalah tokoh yang sering
mengganggu di Kabul yang akhirnya bergabung dengan Taliban.
Assef bukan hanya tokoh yang jahat, tetapi ia juga melambangkan
semua penjahat. Assef menjadi anggota Taliban yang mengidolakan
Adolf Hitler dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk menunjukkan
otot politik para pria yang bertanggung jawab.
Selanjutnya Soraya. Soraya adalah istri Amir. Ia tidak dapat
memiliki anak sendiri, lalu Soraya dengan sukarela menyetujui untuk
mengadopsi Sohrab. Sohrab sendiri adalah anak dari Hassan dan
istrinya, Farzana.
3) Latar
Novel The Kite Runner ini latar utamanya berada di
Afganistan dan Amerika Serikat yang terjadi antara tahun 1960-an
sampai awal 2000-an, terbukti di dalam kutipan novel ini yang
menyebutkannya di awal cerita pada halaman 2, “I became what I am
today at the ae of twelve, on a frigid overcast day in the winter of 1975.”
(Published et al., 2003)
Latar Afganistan sangat penting di dalam novel ini, karena
kekerasan dan pengkhianatan yang ditimbulkan pada Negara adalah
refleksi dari peristiwa yang terjadi pada tokoh utamanya. Khususnya,
ada beberapa orang Afganistan yang digambarkan dalam novel ini.
Lalu saat pasukan militer Soviet datang untuk menyerbu Afganistan
beberapa tahun kemudian hingga membuat Amir dan Baba harus
melarikan diri ke Amerika.
4) Gaya Bahasa
Gaya bahasa atau majas merupakan cara yang digunakan oleh
pengarang, atau ciri khas pengarang dalam menyampaikan karya atau
tulisannya kepada publik. Di dalam novel The Kite Runner ini, ada
beberapa gaya bahasa atau majas yang ditulis oleh pengarang, seperti
simile, imagery, metaphor, dan lain-lain.
Simile adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang
berbeda dengan menggunakan kata penghubung. Simile digunakan
oleh Khaled Hosseini cukup luas di dalam novel ini. Salah satu contoh
utama dari perumpamaan yang digunakan penulis ada di halaman 52,
“It made a sound like a paper bird flapping its wings” (Published et al.,
2003). Ini mengacu pada saat Amir menerbangkan layang-
layangannya di turnamen Kite Fighter dan mendengar suara layang-
layangnya mengambang di langit. Simile atau perumpamaan seperti
itu dapat membuat apa yang dikatakan oleh penulis menjadi hidup dan
membuat para pembaca lebih mudah untuk memahami perasaan yang
sebenarnya dari karakter di dalam novel ini.
Selain itu ada juga imagery. Imagery adalah perumpamaan.
Salah satu contoh perumpamaan yang digunakan Khaled Hosseini di
dalam novel ini ada di halaman 91, “Blue skies stood tall and far, the sun
like a branding iron searing the back of your neck” (Published et al., 2003).
Hosseini memasukkan perumpamaan ke dalam citra untuk
menambahkan lebih banyak mkna pada kutipan.
Ada juga metaphor. Metaphor adalah gaya bahasa yang
menunjukkan perbandingan secara jelas atau secara langsung. Di
dalam novel ini metaphor yang digunakan salah satunya terdapat di
halaman 31, “Assef “the Ear Eater” (Published et al., 2003). Metaphor
ini menunjukkan keburukan Asef. Sebutan “the Ear Eater” berasal dari
seorang anak yang melawan Assef atas sebuat kit dan akhirnya
memancing telinga kanannya dari selokan yang berlumpur.
Selanjutnya terdapat juga gaya bahasa irony di dalam novel
The Kite Runner karya Khaled Hosseini ini. Irony adalah gaya bahasa
yang menunjukkan sesuatu yang bertentangan baik dengan kenyataan,
apa yang dilakukan, maupun apa yang dikatakan. Salah satu contoh
irony di dalam novel ini yaitu terdapat di halaman 109, “Baba walked
out of the walfare office like a mand cured of a tumor” (Published et al.,
2003). Kutipan tersebut menunjukkan irony di dalam novel ini karena
membandingkan seorang pria yang sembuh dari tumor, tetapi
kemudian mencari tahu melalui buku ini ia terkena kanker.
5) Simbol
Simbol merupakan suatu gagasan yang ingin disampaikan oleh
penulis melalui tulisannya, dan biasanya simbol tersebut berupa benda,
dan lain-lain. Ada beberapa simbol yang terdapat di dalam novel ini
seperti slingshot atau katapel, cerita Rostam dan Sohrab, dan the
pomegranate tree atau pohon delima.
Katapel di dalam novel The Kite Runner ini dapat mewakili
dua maksud, katapel melambangkan masa kanak-kanak juga
kebutuhan untuk membela yang benar. Seperti yang disebutkan di
dalam kutipan halaman 34, “Hassan had pulled the wide elastic band all
the way back. In the cup was a rock the size of a walnut. Hassan held the
slingshot pointed directly at Assef’s face” (Published et al., 2003).
Lalu sedangkan cerita Rostam dan Sohrab yang beberapa kali
disebutkan seperti pada halaman 23, “ Hassan’s favorite book by far was
the Shahnamah, the tenth-century epic of ancient Persian heroes… But his
favorite story, and mine, was “Rostam and Sohrab,” the tale of the great
warrior Rostam and his fleet-footed horse, Rakhsh” (Published et al.,
2003). Rostam dan Sohrab adalah cerita mengenai pahlawan yang
legendaris serta cerita dan literasi pada umumnya, melambangkan
persamaan dan perbedaan muslim Sunni dan muslim Syiah. Para
pahlawan budaya Afganistan dan Timur Tengah juga memiliki
kepercayaan dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda. Karakter
Rostam, yang bertindak tidak terhormat terhadap raja dengan tidur
dengan putrinya, melambangkan Amir. Sedangkan karakter Sohrab,
yang tidak tahu siapa ayahnya, yang menjadi pahlawan kesukaan
Hassan dan yang menemui ajal sebelum waktunya, melambangkan
Hassan.
Dan ada juga pohon delima yang bisa disebut sebagai simbol.
Saat Amir dan Hassan masih kanak-kanak, Amir mengukir namanya
dan nama Hassan di pohon delima yang berbuah. Seperti yang ada di
halaman 21, “There was a pomegranate tree near the entrance to the
cemetery. One summer day, I used one of Ali’s kitchen knives to carve our
names on it: “Amir and Hassan the sultans of Kabul”” (Published et al.,
2003). Dengan demikian, pohon delima itu melambangkan hubungan
mereka. Bertahun-tahun kemudian, setelah kematian Hassan dan Amir
dihantui dengan rasa bersalah, pohon delima itu menjadi seperti
ingatan Amir, pohon itu masih kokoh berdiri tetapi tidak lagi berbuah.
Pohon itu tidak hanya melambangkan kekuatan pemersatu antara Amir
dan Hassan tetapi juga berfungsi sebagai sumber perpecahan. Amir
ingin Hassan memukulnya dengan buah delima untuk menjatuhkan
hukuman fisik dan mengurangi rasa bersalahnya, tetapi yang terjadi
malah sebaliknya, Hassan memecahkan buah itu di atas kepalanya,
seperti yang tertulis di halaman 78, “I hit him with another pomegranate,
in the shoulder this time. The juice splattered his face. “Hit me back!” I
spat... Then Hassan did pick up a pomegranate. He walked toward me. He
opened it and crushed it against his own forehead. “There,” he croaked, red
dripping down his face like blood.” (Published et al., 2003).
6) Alur Cerita
Alur di dalam novel The Kite Runner ini menggunakan alur
maju (flashforward) dan mundur (flashback) dalam timeline yang agak
linier, karena di dalam novel ini ada saat-saat dimana sedang
menceritakan kejadian sekarang dan terus berlanjut seperti pada awal
cerita. Lalu dipertengahan novel ini menggunakan alur mundur, karena
mulai menceritakan masa lalu dari Amir dan Hassan.
7) Sudut Pandang
Di dalam novel ini sudut pandang yang digunakan adalah sudut
pandang orang pertama, yakni orang pertama serba tahu yaitu Amir.

b. Unsur Ekstrinsik
1) Biografi Pengarang
Khaled Hosseini lahir di Kabul pada tahun 1965 dan
merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Ayahnya adalah seorang
diplomat untuk Kementrian Luar Negerti Afganistan, dan ibunya
adalah seorang guru sekolah menengah. Hosseini memiliki teman
masa kecil seorang muslim Syiah, dan Hosseini tumbuh dalam
kehidupan yang nyaman, ia juga menyukai film-film Amerika dan
bermain layang-layang. Hosseini mulai menulis cerita pendek saat
duduk di bangku sekolah dasar. Hosseini dan keluarganya pindah ke
Paris ketika invasi Rusia ke Afganistan terjadi pada tahun 1980.
Pengalaman imigran dalam novel ini berdasarkan pada pengalaman
dan kesulitan yang dialami oleh Hosseini dan orang tuanya di San
Jose, California, Amerika Serikat.
Pada tahun 1984, Hosseini lulus dari sekolah menengah setelah
menjadi fasih dalam berbahasa Inggris. Ia menempatkan aspirasi
pribadinya untuk menjadi seorang penulis ditahan, Hosseini
memutuskan untuk mengejar ilmu kedokteran. Pada tahun 1989, is
lulus dari Santa Clara University dengan gelar sarjana dalam bidang
biologi dan lulusan dari Fakultas Kedokteran UC San Diego pada
tahun 1993. Hosseini kembali ke California Utara pada tahun 1999,
dimana ia bergabung dengan cabang Grup Medis Kaiser Permanente.
Pada saat ini, ia juga kembali menulis cerita pendek, beberapa di
antaranya diterbitkan di berbagai majalah sastra. Satu cerita
pendeknya yang dimulai pada 1997 yaitu novel ini “The Kite Runner”
yang mendapat penolakan oleh The New Yorker, Atlantic Monthly,
dan Esquire. Empat tahun kemudian, Hosseini memperluas cerita
pendeknya menjadi novel pertamanya (Ghilzai, 2016).
2) Latar Belakang “The Kite Runner” karya Khaled Hosseini
Novel ini menceritakan tentang invasi pra-Rusia dan
pemerintahan Afganistan pra-Taliban, juga kehidupan di Afganistan di
bawah pemerintahan Taliban dan kehidupan di Afganistan pasca-
Taliban. Meskipun ceritanya fiktif, informasi mengenai sistem politik,
sosial, dan budaya Negara Timur Tengah ini memberikan kontras
dengan tajuk berita kontemporer tentang Afganistan yang menjadi sel-
sel teroris. The Kite Runner menggambarkan potret realistis dari
sebuah Negara dimana sebagian besar pembaca mungkin tahu sedikit
dan memungkinkan pembaca untuk memisahkan orang-orang suatu
Negara dari para pemimpinnya yaitu Taliban dan kelompok (teroris)
yang terkait dengannya (Van Metre, Geiger, 2010).
The Kite Runner novel baru tentang menemukan tempat di
dunia yang penuk gejolak dan transisi. Ini mengeksplorasi kesulitan
berkembang menjadi hubungan orang dewas dengan orang tua kita
dengan secara bersamaan mengeksplorasi ide-ide tentang bagaimana
kapasitas manusia untuk kebaikan dan kejahatan, dan juga hubungan
antara dosa, pengampunan, serta penebusan. Latar yang diambil di
Afganistan dan Amerika Serikat, menggambarkan universalitas dari
karakter dan tema, juga menyinggung sedikit mengenai kesadaral
sosial dan agama.
Kombinasi dari permainan alur dalam narasi di dalam novel ini
yang menggabungkan flashback dan flashforward, pengembangan
karakter, penyisipan kata-kata Afganistan, serta penggabungan
simbolisme yang sangat luas menghasilkan penghargaan kritis dan
keberhasilan popular untuk The Kite Runner, sebuah novel yang
secara serentak dianut oleh akademisi seperti dan masyarakat umum.

3. Analisis Novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini


a. Diskriminasi Rasial
Konflik sosial yang terjadi di dalam novel ini, di dalam
masyarakat Afganistan, umumnya disebabkan oleh perbedaan kelas
sosial dan ras. Masyarakat di Afganistan pada abad ke-20 secara
fundamental dipisahkan oleh dua kelompok besar yakni, Pashtun dan
Hazara. Mereka mendiami Afganistan sebagaimana yang diceritakan
dalam novel The Kite Runner. Pashtun (Sunni) bertindak sebagai
masyarakat kelas atas yang mendominan di Afganistan, dan Hazara
(Syi’ah) yang membentuk sekitar 12% dari dunia satu miliar Muslim.
Mereka dianggap sebagai bidat yang berbahaya oleh beberapa Muslim
Sunni ortodoks, mereka lah yangmengisi masyarakat kelas bawah.
(Pearson, 2002). Konflik anatara Pashtun dan Hazara ini terjadi karena
perbedaan ras dan keyakinan agama. Menurut Karl Marx mengenai
kelas sosial, ada dua kelas yakni proletariat dan borjuis. Proletariat
yaitu kelas bawah, yang biasanya menjual jasa mereka karena tidak
memiliki alat produksi apapun. Sedangkan borjuis yaitu kelas atas,
yang diperuntukkan bagi mereka para kapitalis dalam ekonomi
modern dan sangat memadai, dan yang mempekerjakan para pekerja
proletariat (Helemejko, 2012).
Dalam The Kite Runner, diskriminasi rasial ini disebabkan
oleh faktor struktural sosial dan faktor psikologis sosial. Faktor
struktural sosial dipengaruhi oleh cara kebanyakan masyarakat dalam
memandang orang Hazara. Penampilan fisik Hazara menjadi sangat
penting. Secara genetik, di dalam novel ini Hazara dikatakan
berhubungan dengan Mongol dan Uygur di Tiongkok Barat, yang
memberi mereka bentuk hidung yang datar dan seperti Tiongkok.
Penampilan mereka terbilang berbeda dari Pashtun yang cenderung
berkulit cukup terang, hidung yang mancung, dengan berbagai warna
bola mata, dan rahang pipi yang tajam. Terlihat dalam kutipan
halaman 7, “They called him “flat-nosed” because of Ali and Hassan’s
characteristic Hazara Mongoloid features. For years, that was all I knew
about the Hazaras, that they were Mogul descendants, and that they looked
a little like Chinese people”. (Published et al., 2003). Orang-orang
Hazara dianggaap memiliki beberapa kesamaan dengan bangsa
Mongol, termasuk fisik mereka, penampilan, bahasa, dan sistem
kekerabatan. Dengan kata lain, Hazara adalah campuran Mongol-
Persia.
Meskipun Pashtun dan Hazara sama-sama Muslim, mereka
berbeda keyakinan. Pashtun adalah Sunni, dan Hazara adalah Syi’ah,
seperti yang ada dalam kutipan halaman 7, “…the reason Pashtun had
oppressed the Hazaras was that Pashtuns were Sunni Muslims, while
Hazaras were Shi’a” (Published et al., 2003).
Sementara itu, faktor psikologis sosial yang menyebabkan
diskriminasi rasial adalah prasangka-prasangka dan stereotip yang
terjadi di masyarakat yang jelas dinyatakan bahwa ekonomi dan status
sosial antara Pashtun dan Hazara dalam novel The Kite Runner
berbeda. (HANDAYANI, 2016). Orang Hazara hidup baik di jalan-
jalan atau di akomodasi pelayan keluarga yang mereka layani,
sementara Pashtun tinggal di rumah mewah besar dengan banyak
pelayan dan barang-barang mahal yang mengelilingi mereka. Oleh
karena itu Pashtun dianggap sebagai ras tekuat dan terkaya, sedangkan
Hazara dianggap sebagai ras terendah, terlemah, dan termiskin di
Afganistan.
Seperti yang digambarkan dalam The Kite Runner, Hazara
diberi cap atau label sebagai kelas pelayan yang jahat dan kotor.
Persepsi ini masih mempengaruhi cara berpikir orang Pashtun. Mereka
masih menganggap orang Hazara lebih sedikit jumlahnya, sehingga
orang Hazara tidak memerlukan hak istimewa apapun seperti yang
dimiliki orang Pashtun. Semua prasangka itu menyebabkan stereotip
negatif bahwa orang Hazara miskin, bodoh, dan budak. Hassan dan
Ali sangat cocok dengan stereotip itu di dalam novel The Kite Runner,
karena mereka bekerja hanya sebagai pelayan di rumah besar milik
Baba dan Amir.
b. Dampak dari Diskriminasi bagi Masyarakat
Dampak dari adanya konflik sosial dalam diskriminasi rasial
dapat menimbulkan beberapa dampak buruk baik pada individu yang
mengalaminya, maupun masyarakat itu sendiri. Pada individu,
diskriminasi rasial seperti itu dapat menyebabkan beberpa hal buruk
yang berdampak pada kesehatan psikologis. Dalam The Kite Runner,
diskriminasi rasial sangat memengaruhi mental Hassan. Hassan yang
tak berdaya saat dilecehkan oleh Assef, tak bisa melawan, ia harus
menanggung semua penghinaan sendiri. Pelecehan seksual yang
terjadi padanya sangat memengaruhi Hassan, tetapi ia tidak
menunjukkan bagaimana perasaannya setelah itu kepada orang-orang,
bahkan kepada ayahnya, Ali, dan sahabatnya sendiri, Amir. Hassan
memilih untuk diam dan mengabaikan apa yang terjadi padanya dan
melanjutkan hidupnya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Kecelakaan ini sangat sulit dan berat bagi Hassan. Ia pura-pura diam
saat ini bahkan mungkin selamanya. Dalam kasus seperti Hassan ini,
Hassan telah berubah menjadi seseorang yang tidak memiliki
kepercayaan karena diskriminasi yang ia terima.
Sedangkan bagi masyarakat, diskriminasi seperti itu dapat
menyebabkan genosida massal atau pembunuhan besar-besaran secara
berencana terhadap suatu bangsa atau ras, menyebabkan perbudakan,
dan penindasan. Tidak ada tindakan genosida di dalam novel The Kite
Runner ini, tetapi diskriminasi rasial ini dapat menyebabkan orang-
orang berencana untuk melakukan tindakan genosida terhadap orang
Hazara di dalam novel ini.
Sebagai kelompok mayoritas, Pashtun selalu percaya bahwa
Afganistan harus menjadi rumah hanya bagi orang Pashtun. Karena
itu, mereka menjadikan Hazara sebagai subjek “ethnic cleansing” untuk
membuat Afganistan sebagai “land of Pashtuns” (HANDAYANI,
2016). Dampak dari diskriminasi rasial ini adalah perbudakan dan
penindasan. Meskipun tidak ada perbudakan dalam novel ini, orang
Hazara masih diperlakukan dan ditindas seperti budak di Negara
mereka sendiri. Setiap keluarga Pashtun yang kaya, selalu memiliki
pelayang atau pekerja Hazara mereka sendiri. Pelayan Hazara tidak
dibayar dan melalukan pekerjaan untuk makan dan tempat tinggal.
Kondisi ini digambarkan dalam kehidupan Ali dan Hassan seperti di
dalam novel ini yang menjadi pelayang atau pekerja. Hassan masih
harus menjadi pelayang untuk Amir meskipun mereka pada dasarnya
Hassan selain ia adalah sahabat Amir, ia juga saudara tiri dari Amir.

4. Perspektif Islam tehadap Diskriminasi Rasial


Dalam perspektif Islam mengenai konteks manusia dan melihat faktor
yang sangat mendasar yang mempengaruhi persepsi interpersonal dan
intraprersonal Muslim. Manusia sangat penting untuk menghargai sifat
keterlibatan manusia lainnya dalam interaksi lintas budaya maupun antar
komunitas. Orang menemukan bahwa pandangan Al-Qur’an mengenai
hubungan manusia yang diilhami dengan landasan teologis dari kesatuan
ciptaan dan prinsip itu sendiri, yaitu manusia sebagai anak dan cucu dari
Adam, dan tidak ada yang berhak atas perlakuan istimewa dari yang lain.
Dengan demikian, tidak ada nilai efektif yang diberikan pada karakteristik
manusia seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, usia bahasa, status sosial,
penampilan fisik, dan sejenisnya.
Di dalam surat Al-Hujurat ayat ke-13, juga menjelaskan tentang
bagaimana Allah SWT menentang adanya diskriminasi di lingkungan
hidup manusia.
Yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu”. Q.S Al-Hujurat : 13.
Dengan pandangan ini lah Al-Qur’an mendesak para pengikutnya
untuk memulai ruang untuk berdialog, berinteraksi, dan sopan. Sumber-
sumber Muslim membahas persatuan, kesamaan ras manusia, dan lebih
jauh menggarisbawahi keharusan untuk mengaktifkan kerohanian dan
religiusitas untuk menjaga kualitas moral. Adanya perbedaan adalah hal
yang menjadi kewajaran karena Allah SWT memang menciptakan
manusia dengan beragam-ragam, sehingga kita seharusnya tidak boleh
mempermasalahkan hal itu. Allah SWT tidak akan melihat apa dan
bagaimana latar belakang dari mana manusia itu berasal, apapun
agamanya, bangsa, ras, jenis kelamin, bahkan warna kulit, karena Allah
SWT hanya akan menilai kemuliaan seseorang dari ketawaannya dalam
beribadah kepada-Nya.

C. Simpulan
Novel The Kite Runner karya Khaled ini adalah novel pertama dari Hosseini,
yang setelah diterbitkan banyak mendapat pujian dan juga teguran sekaligus
karena cerita di dalamnya yang dianggap sangat sensitif untuk dipubliksikan dan
dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam novel ini ada tiga karakter yang sangat
membangun alur cerita. Karakter Amir yang juga menjadi narrator dan tokoh
protagonist utama di dalam novel ini. Seorang Pashtun yang kaya raya bersama
ayahnya, Baba. Sedangkan Hassan, anak dari seorang pekerja di rumah Amir, Ali.
Amir dan Assef adalah seorang Pashtun Sunni, ras dan etnis mayoritas di
Afganistan. Sementara itu, Hassan adalah seorang Hazara Syi’ah, ras dan etnis
minoritas di Afganistan.
Hazara yang dianggap sebagai ras terendah di Afganistan karena penampilan
fisik, kepercayaan agama, dan kedudukan sosial mereka, membuat para Hazara
sering didiskriminasi oleh ras-ras lain di Afganistan, terlebih Pashtun. Insiden
yang erkait dengan diskriminasi rasial ini juga mewakili konflik dalam The Kite
Runner. Novel ini membahas masalah diskriminasi rasial di Afganistan
sebagaimana yang digambarkan dalam kisah cerita antara Amir, Hassan, dan
Assef. Diskriminasi rasial ini disebabkan oleh faktor struktural sosial dan faktor
psikologis sosial. Faktor struktural sosial dipengaruhi oleh cara kebanyakan
masyarakat dalam memandang orang Hazara. Sementara itu, faktor psikologis
sosial yang menyebabkan diskriminasi rasial adalah prasangka-prasangka dan
stereotip yang terjadi di masyarakat yang jelas dinyatakan bahwa ekonomi dan
status sosial antara Pashtun dan Hazara dalam novel The Kite Runner berbeda.
D. Kepustakaan
Ghilzai, S. (2016). Biography of Khaled Hosseini. Retrieved December 6, 2019, from
https://www.afghan-web.com/biographies/biography-of-khaled-hosseini/
HANDAYANI, F. S. (2016). Racial Discrimination Towards the Hazaras As
Reflected in Khaled Hosseini’S the Kite Runner.
Helemejko, T. (2012). The concept of Marxism. Semantic Scholar, (March), 9–20.
Retrieved from
https://pdfs.semanticscholar.org/ac94/0670569e5020dba62f523d1419e4ee21086
b.pdf?_ga=2.25339454.2009270161.1572196442-1836718592.1572196442
Pearson, F. T. (2002). The Hazara People of Afghanistan. (August).
Published, K. H., Mellat, A., & Library, O. (2003). THE KITE.
Van Metre, Geiger, & K. (2010). SPeCIAL RePoRt 2301. New York.

Biografi Singkat Penulis :

Salsyabila Balqis, lahir di Bekasi 27 Oktober 1999.


Anak kedua dari tiga bersudara. Pernah bersekolah di SDUT
Widya Duta, SMPN 21 Bekasi, SMA Taman Harapan 2
Bekasi. Saat ini sedang belajar di Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati Bandung di Jurusan Bahasa dan Sastra
Inggris. Memilih program studi Bahasa dan Sastra Inggris
karena menyukai bahasa Inggris sejak duduk di bangku
Sekolah Dasar.

Anda mungkin juga menyukai