Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH

CITRA DPR DALAM PANDANGAN MASYARAKAT INDONESIA

Kelompok 6
1. NUR IKHSAN YOGA
2. M. KIKY PRIBADI
3. SHEILA DWI AGUSTINA

PRODI PERPOLISIAN TATA PAMONG PRAJA


FAKULTAS HUKUM TATA PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sistem Pemerintahan
Indonesia . Dalam makalah ini kami mencoba menyajikan pembahasan mengenai “CITRA DPR
DALAM PANDANGAN MASYARAKAT INDONESIA”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, Kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kami berharap semoga tulisan ini dapat memberi informasi yang berguna bagi
pembacanya,.

16 Oktober 2019, Praya


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………. i


KATA PENGANTAR ……………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………….. 1
A. Latar Belakang ………………………………………….. 2
B. Rumusan Masalah ……………………………………… 2
C. Tujuan Penulisan ……………………………………….. 3
D. Manfaat Penulisan ……………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………. 4
A. Pengertian Erosi Air …………………………………… 4
B. Penyebab Erosi Air …………………………………….. 6
C. Dampak Erosi Air ………………………………………. 12
D. Contoh Kasus Erosi Air ………………………………. 16
E. Cara Mengatasi Erosi Air ……………………………. 20
F. Upaya Pencegahan Erosi Air ……………………….. 25
BAB III PENUTUP ……………………………………………… 26
A. Simpulan …………………………………………………… 30
B. Saran ………………………………………………………… 31
LATAR BELAKANG

Nuansa kehidupan demokratis semakin terasa ketika para elit politik kembali melakukan
peran dan fungsi masing-masing. Sentralisasi kekuasaan yang menumpuk pada lembaga
eksekutif pada masa lalu, berubah menjadi pemerataan kekuasaan dengan saling kontrol di
antara tiap lembaga negara Hal ini pula yang memulihkan kembali peran lembaga perwakilan.
Lembaga yang merupakan simbol dari keluhuran demokrasi di mana didalamnya terdapat
orang- orang pilihan yang dijadikan wakil rakyat yang memiliki integritas, tanggung jawab, etika
serta kehormatan, yang kemudian dapat diharapkan menjadi perangkat penyeimbang dan
pengontrol terhadap kekuasaan eksekutif sebagi penggerak roda pemerintahan. Bagi negara
yang menganut kedaulatan rakyat keberadaan lembaga perwakilan hadir sebagai suatu
keniscayaan. Tidak mungkin membayangkan terwujudnya suatu pemerintah yang menjujung
demokrasi tanpa kehadiran institusi tersebut. Karena lewat lembaga inilah kepentingan rakyat
tertampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai dengan aspirasi
rakyat. DPR adalah suatu lembaga yang bertujuan untuk menampung dan menyalurkan
aspirasi dan kepentingan rakyat di daerah dalam kerangka membentuk suatu tatanan hidup
sesuai dengan kehidupan demokrasi yang berdasarkan Pancasila.daerah dalam kerangka
membentuk suatu tatanan hidup sesuai dengan kehidupan demokrasi yang berdasarkan
Pancasila Untuk itu selama ini DPR diberi kepercayaan oleh rakyat sebagai penyalur aspirasi
mereka . hal ini membuat DPR menjadi lembaga kekuasaan negara yang diharapkan oleh
rakyat agar suara mereka dapat terwakili, maka dari itu rakyat yang selama ini mengawasi
bagaimana kinerja DPR memiliki berbagai macam pendapat dan pandangan mengenai
lembaga tersebut. Didalam makalah ini kami akan menjelaskan bagaimana pandangan
masyarakat mengenai kinerja DPR selama ini

RUMUSAN MASALAH
1. apa gaji dan fasilitas yang didapatkan anggota dpr
2. apa saja hasil kinerja yang dicapai dpr?
3. bagaimana tanggapan rakyat mengenai kinerja dan citra dpr?

Tujuan penulisan
1. Mendeskripsikan factor pendorong keterpilihan anggota dpr
2. Mendeskripsikan hasil kinerja yang dicapai dpr
3. Mendeskripsikan tanggapan rakyat mengenai kinerja dan citra dpr
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga negara yang menjalankan
sistem pemerintahan negara memiliki tugas dan wewenang tersendiri yang
bertujuan agar dalam pelaksanaannya tidak mengalami ketidakjelasan atau
tumpang tindih dengan lembaga negara lainnya.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang
dimaksudkan dengan DPR adalah lembaga perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Berkaitan dengan pengertian DPR, B.N. Marbun (1982:55) mengutip pendapat
Mh. Isnaeni mengemukakan bahwa dewan perwakilan rakyat adalah suatu
lembaga kenegaraan yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat mengenai
penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa DPR
adalah suatu lembaga yang bertujuan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi
dan kepentingan rakyat di daerah dalam kerangka membentuk suatu tatanan hidup
sesuai dengan kehidupan demokrasi yang berdasarkan Pancasila.
10
B. Tugas, Wewenang dan Fungsi DPR
Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dinyatakan bahwa
dibentuk DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai kedudukan sejajar dan
menjadi mitra pemerintah. DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat dan
berkedudukan sebagai salah satu lembaga tinggi negara.
Di dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 diatas, ditetapkan
bahwa DPR mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
1. DPR mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang;
c. menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan
DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya
dalam pembahasan;
d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
dan agama;
e. menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD;
f. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,
anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah;
11
g. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh
DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
h. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan
pertimbangan DPD;
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas
pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan;
j. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
k. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi
Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden;
l. memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya
kepada Presiden untuk ditetapkan;
m. memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta,
menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan
dalam pemberian amnesti dan abolisi;
n. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara dan/atau pembentukan undang-undang;
12
o. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat; dan
p. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam
undang-undang.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib.
Mengenai fungsi dan badan legislatif, Sanit (1985 : 204) mengemukakan bahwa
memuaskan kehendak masyarakat atau keamanan umum, adalah esensi dari
fungsi anggota legislatif selaku wakil rakyat. Perlu diingat bahwa badan legislatif
merupakan salah satu unit dari suatu sistem politik. Anggota masyarakat yang
terdiri dari berbagai kelompok kepentingan juga merupakan salah satu aspek
jaringan kekuasaan disamping eksekutif dan lembaga lainnya. Maka anggota
badan tersebut perlu mempertimbangkan berbagai kehendak atau opini yang ada,
baik yang datang perorangan, berbagai kesatuan individu seperti kekuatan politik,
kelompok kepentingan eksekutif tersebut. Sehingga, para wakil rakyat dituntut
untuk menyelaraskan berbagai kehendak atau opini tersebut dalam proses
perumusan dan pemutusan kebijakan.
Atas dasar kebijakan tersebut tentang usaha DPR dalam menyelaraskan kehendak
atau opini pihak terwakil, menuntut perlunya integritas, kemampuan dan
kemandirian anggota DPR dalam mewujudkan aspirasi rakyat karena banyak
kehendak individu, kelompok-kelompok kepentingan yang mempengaruhi dalam
penentuan Kebijakan/Peraturan Daerah.
13
Di dalam sistem perwakilan politik, badan legislatif (DPR) mempunyai posisi dan
fungsi yang sentral dalam arti DPR merupakan lembaga yang berkewajiban
mewakili rakyat di daerah yang berwenang membentuk peraturan darah untuk
melaksanakan penyelenggaraan pemerintah daerah. Berkenaan dengan fungsi
legislatif yang paling penting adalah :
1. Membuat policy (kebijakan) dan pembuat undang-undang. Untuk ini badan
legislatif diberi hak inisiatif, hak. untuk mengadakan amandemen terhadap
undang-undang yang disusun pemerintah dan hak budget.
2. Mengontrol badan eksekutif, dalam anti menjaga supaya semua tindakan
eksekutif sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan Untuk
menyelenggarakan tugas badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol
khusus.
Kedua fungsi legislatif tersebut diatas, merupakan fungsi yang paling pokok yang
dimiliki dan dijalankan oleh badan legislatif kedua fungsi tersebut juga
merupakan konkretisasi dari tugas perwakilan yang diemban oleh DPR.
Kemudian apabila kedua fungsi tersebut terutama fungsi pembuatan undangundang tidak
berjalan, maka akan terjadi kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
Berkaitan dengan wujud fungsi legislatif, Sarundajang (2001 :123-124)
mengemukakan dalam tiga dimensi, yaitu :
1. Fungsi Respresentasi;
Sebagai fungsi respresentasi, DPR mewakili keanekaragaman demografis
(jenis kelamin, umur, lokasi), sosiologi (strata sosial), ekonomi pekerjaan
14
pemilikan atau kekayaan), kultur (adat. kepercayaan, agama), dan politik
dalam masyarakat.
2. Fungsi Pembuatan Keputusan;
Merupakan fungsi DPR dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah
demi tercapainya kesejahteraan yang disepakati.
3. Fungsi Pembentukan Legitimasi.
Merupakan fungsi DPR, atas nama rakyat, dalam mengahadapi pihak
eksekutif. Secara konstitusional, DPR berfungsi membentuk citra
pemerintahan umum dimana pimpinan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
baik dan tidak baik, atau yang dapat diterima dan atau didukung oleh seluruh
rakyat, sehingga iklim kerja eksekutif dapat bekerja secara efektif.
Sebagai wakil rakyat yang secara institusional berada paling dekat dengan
masyarakat, DPR dituntut untuk lebih berperan menyuarakan serta menyalurkan
aspirasi dan kepentingan rakyat pemilihnya. DPR mempunyai tanggung jawab
untuk menjadi mitra pemerintah daerah dalam pembuatan setiap kebijakan daerah
serta mengawasi pelaksanaannya yang dilakukan oleh Eksekutif Daerah.
C. Hak dan Kewajiban DPR
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, DPR mempunyai hak seperti di atur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor
22 tahun 2003.
15
DPR mempunyai hak sebagai berikut :
1. Hak Interpelasi
a. Hak interpelasi ialah hak dimana meminta keterangan yang ditujukan
kepada seorang presiden mengenai kebijaksanaan pemerintah yang dengan
syarat harus didukung dan ditandatangani oleh paling sedikit tiga puluh
orang anggota dan disetujui oleh suatu sidang paripurna DPR.
b. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a
diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan
lebih dari 1 (satu) fraksi.
c. Pengusulan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya: materi kebijakan
dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang akan dimintakan
keterangan; dan alasan permintaan keterangan.
d. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPR
apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih
dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan
persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
2. Hak Angket
a. Hak angket adalah salah satu hak DPR yang diajukan kepada pemerintah
(presiden) untuk mengklarifikasi suatu kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah menjadi lebih jelas, lebih transparan, dan mempersoalkan
16
keabsahan kebijakan yang dilakukan pemerintah, apakah sudah memenuhi
koridor hukum, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
b. Pelaksanaan hak angket telah di tentukan dalam UU Nomor 6 Tahun 1954
tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat, sekurang-kurangnya
diajukan oleh 10 orang anggota DPR bisa menyampaikan usulan angket
kepada Pimpinan DPR. Usulan disampaikan secara tertulis, disertai daftar
nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya. Usul dinyatakan
dalam suatu rumusan secara jelas tentang hal yang akan diselidiki, disertai
dengan penjelasan dan rancangan biaya sedangkan dalam pasal 177
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan
bahwa hak angket harus diusulkan oleh paling sedikit oleh dua puluh lima
orang anggota serta lebih dari satu fraksi disertai dengan dokumen yang
memuat sekurang-kurangnya materi kebijakan memuat mengenai
pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan.
Sidang Paripurna DPR dapat memutuskan menerima atau menolak usul hak
angket dan bila menerima usul hak angket kemudian DPR membentuk panitia
angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR apabila ditolak maka usul
tersebut tidak dapat diajukan kembali.
3. Hak Menyatakan Pendapat
a. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk
menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai
17
kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b. Pelaksanaan hak menyatakan pendapat terdapat pada Pasal 184 ayat (1)
mengatur hak menyatakan pendapat diusulkan paling sedikit 25 orang
anggota DPR. Pengusulan diusulkan disertai dokumen yang memuat
materi dan alasan usul, dan materi hasil hak angket disertai bukti yang sah
atas dugaan pelanggaran hukum sebagaimana Pasal 77 ayat (4) hutuf c.
Menggunakan hak menyatakan pendapat selanjutnya diputuskan oleh 3/4
dari 3/4 jumlah anggota DPR. DPR kemudian bersidang untuk
memutuskan menerima atau menolak usulan hak menyatakan pendapat.
Anggota DPR mempunyai hak sebagai berikut :
a. mengajukan rancangan undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
18
Anggota DPR mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara
kesatuan Republik Indonesia
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan
daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan peraturan tata tertib DPR; dan
j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Menurut Jimly Asshiddiqie (Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap
Pembangunan Hukum Nasional : 2005 : 14) :
(1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat
negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk
memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi
kepentingan bangsa dan negara.
(2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
19
(3) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling
lama lima belas hari sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4) habis
masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas
dari penyanderaan demi hukum.

pembahasan

Dalam periode keanggotaan DPR 2014-2019, telah terpilih 560 (lima ratus enam puluh) wakil rakyat yang
duduk di DPR RI, dari 77 Daerah Pemilihan (Dapil). Anggota Dewan yang terpilih bertugas mewakili rakyat
selama 5 (lima) tahun, kecuali bagi mereka yang tidak bisa menyelesaikan masa jabatannya. Anggota Dewan
yang berhenti di tengah-tengah masa jabatannya akan digantikan oleh Calon Legislator lain (yang mengikuti
Pemilu Legislatif) melalui PAW (Pergantian Antar Waktu).
 
Untuk dapat dipilih menjadi Anggota Dewan, calon legislator harus berusia minimal 21 (dua puluh satu) tahun
dengan latar belakang pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) dan merupakan Warga Negara
Indonesia yang sehat jasmani dan rohani. Calon Anggota DPR juga diwajibkan berasal dari partai politik (tidak
ada calon independen).
 
Sebelum memangku jabatannya, Anggota DPR terlebih dahulu mengucapkan sumpah/janji secara bersama-
sama dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna DPR. Sedangkan Anggota Pengganti Antar
Waktu, mengucapkan sumpah/janji dipandu oleh Pimpinan DPR, yang juga dilaksanakan dalam rapat
paripurna DPR

hasil kinerja dpr

Ada 3 fungsi di DPR yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran.
Mari menengok yang pertama yaitu fungsi legislasi.

DPR telah menyusun program legislasi nasional (prolegnas) 2015-2019 yang kemudian
disusun prioritasnya berupa prolegnas 2015. Awalnya, ada 37 RUU di dalam prolegnas
2015 yang kemudian ditambah menjadi 39 RUU.

Dalam laporan kinerjanya, DPR menyebut sudah menyelesaikan 12 RUU. Tiga RUU
yang sudah disahkan menjadi UU yang berasal dari Prolegnas yaitu:

1. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD
2. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota menjadi UU
3. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menjadi UU

Penyelesaian 3 RUU ini bisa dibilang menjadi 'prestasi' yang memprihatinkan bagi
DPR. Sebab, prolegnas prioritas DPR di tahun sidang 2014-2015 ini berjumlah 37 RUU,
dan bahkan ditambah lagi 2 RUU, sehingga total jumlah prolegnas prioritas tahun ini 39
RUU. Dengan demikian, berarti DPR baru menyelesaikan 7,7 persen prolegnas
prioritas.

Prolegnas DPR 2014-2019 totalnya berjumlah 160. Berarti, 10 bulan bekerja, DPR baru
menyelesaikan 1,875 persen prolegnas.

Selain 3 RUU prolegnas yang sudah diselesaikan, ada 9 RUU Kumulatif Terbuka yang juga
diselesaikan oleh DPR. RUU Kumulatif Terbuka adalah RUU di luar prolegnas. RUU ini muncul
menyesuaikan dengan Perppu yang diterbitkan Presiden, perjanjian pemerintah atau putusan
terbaru MK. Di antara 9 RUU yang sudah diselesaikan DPR tahun ada RUU soal APBN dan
kerja sama Indonesia dan Timor Leste.

Beralih ke fungsi pengawasan, DPR sudah membuat banyak Panitia kerja (Panja) dari Komisi I
hingga Komisi IX selama 1 tahun. Panja-panja ini yang bekerja secara spesifik mengawasi kerja
Pemerintah.

Totalnya ada 38 panja, di antaranya adalah Panja Renstra Alutsista TNI, Panja Penegakan
Hukum, Panja Swasembada Pangan, Panja Keselamatan Keamanan dan Kualitas
Penerbangan Nasional, Panja Migas, Panja Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, Panja BPJS
Kesehatan, Panja Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan sejumlah Panja lainnya.

Panja-panja ini sudah bekerja mengawasi kinerja Pemerintah. Masyarakat juga bisa
menyampaikan aspirasinya lewat panja-panja tersebut, atau ke komisi terkait.

Selain 38 panja, DPR juga sudah membuat 4 tim, yaitu:

1. Tim Pemantau DPR terhadap pelaksanaan UU terkait otonomi daerah khusus Aceh, Papua,
Papua Barat, dan Keistimewaan DIY
2. Tim Pengawas DPR terhadap perlindungan tenaga kerja Indonesia
3. Tim Implementasi Reformasi DPR
4. Tim Mekanisme penyampaian hak mengusulkan dan memperjuangkan program
pembangunan daerah pemilihan

Di bidang penganggaran, DPR sudah melakukan sejumlah aksi. Selama setahun, DPR telah
membahas dan menyetujui RUU tentang perubahan APBN tahun anggaran 2015 dan telah
diundangkan.

Sesuai siklus pembahasan, maka DPR juga membahas pembicaraan pendahuluan penyusunan
RAPBN tahun 2016 yang dimulai pada tanggal 20 Mei 2015. Pembahasan masih bergulir
hingga sekarang dan direncanakan diketok pada Oktober 2015 ini.

DPR juga telah membahas RUU tentang pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN tahun
anggaran 2014 sejak tahun sidang 2014-2015. Pembahasan dilanjutkan pada tahun sidang
2015-2016 dan sudah diketok.

Untuk sidang paripurna, selama 1 tahun ini sudah digelar 42 kali. Ketua DPR Setya Novanto
memimpin 7 paripurna, Wakil Ketua DPR Fadli Zon 5 paripurna, Wakil Ketua DPR Agus
Hermanto 5 paripurna, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan 16 paripurna, Wakil Ketua DPR
Fahri Hamzah 7 paripurna, Popong Otje Djunjunan 2 paripurna

 Banyak PR
Berkaca dari DPR RI 2014-2019, banyak pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan DPR RI periode kali untuk menjawab kepercayaan publik. Paling
tidak dari sisi fungsi legislasi.

CNN Indonesia menuliskan, DPR RI 2014-2019 telah menetapkan sebanyak 222


Rancangan Undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) periode 2015-2019. Perinciannya 189 RUU (55 diantaranya adalah
RUU prioritas) dan 33 RUU lain yang bersifat kumulatif.

Riset yang dilakukan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut RUU yang
berhasil disahkan hingga April 2019 hanya sebanyak 26 UU atau sebesar 10
persen dari total target Prolegnas. Jumlah itu sudah termasuk penetapan
Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) menjadi UU.

Data terbaru dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) per 26


September 2019, hanya 35 RUU yang berhasil disahkan dewan selama
menjabat.

Data ICW dan Formappi menunjukkan DPR hanya bisa menyelesaikan lima
sampai tujuh pembahasan UU atau revisi UU setiap tahun. Jumlah itu tentunya
di luar RUU Kumulatif yang sudah disahkan.

Selain dari sisi jumlah, kualitas UU yang dihasilkan pun jauh dari harapan dan
kadang memicu kontroversi di masyarakat. Misalnya, revisi UU tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menjadi UU MD3, Februari 2018.

Substansinya banyak digugat oleh elemen masyarakat sipil. Seiring perjalanan,


hanya butuh tiga bulan saja bagi sejumlah elemen masyarakat sipil untuk
menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK
mengabulkan permohonan uji materi terkait pasal pemanggilan paksa bagi yang
menghina atau merendahkan kehormatan DPR

CITRA DPR

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, sebanyak 62,4% responden menilai


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki citra yang buruk. Responden yang
menilai citra DPR baik hanya 24,8%. Responden yang menjawab tidak tahu dan
tidak menjawab masing-masing sebesar 11,5% dan 1,3%. Selain itu, responden
juga merasa langkah partai politik pilihan di DPR juga tidak mewakili aspirasi
masyarakat.

 
Sebagai informasi, DPR tengah gencar mendorong pengesahan beberapa
revisi Undang-Undang (UU). Pada rapat paripurna masa persidangan I 2019-
2020, Selasa (24/9), DPR mengesahkan RUU Pemasyarakatan dan RUU
Pesantren. Sementara empat RUU lainnya diputuskan untuk ditunda. Hasil
survei Litbang Kompas juga menunjukkan RUU yang saat ini digarap oleh DPR
dinilai sarat akan kepentingan partai politik, yaitu sebanyak 69,2%.

Survei ini diselenggarakan pada 18-19 September 2019 dengan melibatkan 529
responden berusia minimal 17 tahun yang dipilih secara acak bertingkat di 16
kota besar Indonesia. Adapun tingkat kepercayaan dalam survei ini sebesar 95%
dengan margin error kurang lebih 4,3%.

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, sebanyak 69,2% responden menilai


revisi sejumlah undang-undang (UU) yang tengah dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) ditujukan untuk kepentingan elite politik. Sebagai
informasi, menjelang akhir jabatan, DPR merevisi sejumlah UU. Namun revisi
UU tersebut justru menimbulkan kontroversi.

 
Adapun revisi UU yang menimbulkan kontroversi mencakup Revisi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pemasyarakatan, Revisi UU
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Sumber Daya Air (SDA), dan
RUU Pertanahan. Sementara itu, responden yang menilai revisi UU saat ini
berpihak kepada rakyat hanya 20,6%. Responden yang menjawab tidak tahu dan
tidak menjawab masing-masing sebesar 9,1% dan 1,1%. Penelitian ini
diselenggarakan pada 18-19 September 2019 melalui telepon.

Responden yang terlibat sebanyak 529 orang, berusia minimal 17 tahun, dan
berbasis rumah tangga yang dipilih secara acak bertingkat di 16 kota besar
Indonesia. Adapun tingkat kepercayaan dalam survei ini sebesar 95%
dengan margin error kurang lebih 4,3%.

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, sebanyak 69,2% responden menilai


revisi sejumlah undang-undang (UU) yang tengah dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) ditujukan untuk kepentingan elite politik. Sebagai
informasi, menjelang akhir jabatan, DPR merevisi sejumlah UU. Namun revisi
UU tersebut justru menimbulkan kontroversi.

 
Adapun revisi UU yang menimbulkan kontroversi mencakup Revisi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pemasyarakatan, Revisi UU
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Sumber Daya Air (SDA), dan
RUU Pertanahan. Sementara itu, responden yang menilai revisi UU saat ini
berpihak kepada rakyat hanya 20,6%. Responden yang menjawab tidak tahu dan
tidak menjawab masing-masing sebesar 9,1% dan 1,1%. Penelitian ini
diselenggarakan pada 18-19 September 2019 melalui telepon.

Responden yang terlibat sebanyak 529 orang, berusia minimal 17 tahun, dan
berbasis rumah tangga yang dipilih secara acak bertingkat di 16 kota besar
Indonesia. Adapun tingkat kepercayaan dalam survei ini sebesar 95%
dengan margin error kurang lebih 4,3%.

kinerja buruk disertai maneuver di akhir jabatan dengan membahas dan


mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) kontroversial yang nyaris
tak melibatkan publik. Misalnya revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Revisi UU KPK
dinilai dapat melemahkan KPK, sedangkan RKUHP berpotensi memudahkan
kriminalisasi terhadap masyarakat. Sebagai contoh, dalam rancangan RKUHP
disebutkan bahwa orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan atau
dikenal istilah gelandangan diancam denda Rp 1 juta. Akibatnya, gelombang demo
mahasiswa pun pecah. Ribuan mahasiswa dan masyarakat di sejumlah kota seperti
Jakarta, Yogyakarta, Purwokerto, Malang, Bandung, Samarinda, Balikpapan,
Palembang, Semarang, Solo, Lampung hingga Medan turun ke jalan menyampaikan
tuntutan mereka. Situasi tersebut memprihatinkan karena DPR sebagai panyambung
lidah rakyat terkesan acuh dan tidak sensitif. Mereka lebih mengikuti irama segilintir
elite partai ketimbang aspirasi publik. Inilah yang kemudian membuat persepsi publik
terhadap anggota dewan tak kunjung membaik. DPR dan Persepsi Publik Buruknya
persepsi publik terhadap DPR tersebut misalnya terkonfirmasi dari sejumlah hasil
survei. Sebagai contoh, berdasarkan survei Charta Politika, tingkat kepercayaan
publik terhadap DPR sebesar 49,3%. Sedangkan menurut survei lembaga Arus Survei
Indonesia tingkat kepercayaan public terhadap DPR berada di angka 48,7%. Adapun
berdasarkan survei Kompas, hanya 45,1% yang menganggap baik citra DPR. Data
ketiga lembaga survei tersebut menunjukkan kepercayaan public terhadap DPR
masih di bawah 50%. Bahkan dibandingkan lembaga-lembaga demokrasi lainnya,
kepercayaan public terhadap DPR masih di bawah MPR, MK, MA, BPK, KPU, Polri,
KPK, dan TNI. DPR hanya lebih baik dari DPD dan Partai Politik. Setidaknya ada
sejumlah sebab yang membuat persepsi publik terhadap DPR tak kunjung membaik.
Pertama, soal kinerja legislasi. Dari 189 pembahasan RUU dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) 2015-2019, hanya 77 RUU atau sekitar 40% yang mampu
dituntaskan DPR. Kinerja legislasi DPR periode 2014-2019 bahkan mengalami
penurunan dibandingkan dengan DPR periode 2009-2014 yang dari target 247 RUU
Prolegnas mampu diselesaikan 193 buah undang-undang. Rendahnya kinerja legislasi
tersebut tak pelak membuat kepercayaan publik jadi turun. Kedua, persoalan
korupsi. Urusan rasuah juga terus menambah noktah di wajah DPR. Sebagai contoh,
jika DPR periode 2009-2014 adalah anggotanya yang terjerat kasus korupsi, maka di
periode 2014-2019 justru seorang Ketua DPR RI (Setya Novanto) yang terlibat dalam
balada korupsi paling akrobatik sepanjang sejarah. Data Indonesia Corruption Watch
(ICW) bahkan mencatat setidaknya ada 22 anggota DPR 2014-2019 yang ditetapkan
sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Jika digabung antara DPR RI dan DPRD
maka data ICW menyebutkan sedikitnya terdapat 254 anggota dan mantan anggota
DPR/D menjadi tersangka korupsi dalam lima tahun terakhir. Ketiga, persoalan
ketidakpatuhan. Yakni mulai dari absennya mayoritas anggota dewan di sidang
paripurna hingga ketidakpatuhan dalam melaporkan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN). Sebagai contoh, pada 7 Januari 2019, tercatat ada
310 anggota DPR tak hadir dalam rapat paripurna. Begitu pula pada rapat paripurna
ke-14 masa sidang IV yang digelar 19 Maret 2019 lalu, hanya diikuti oleh 24 anggota
DPR. Sementara itu, hasil pelaporan LHKPN per 8 April 2019 menyebutkan hanya
sekitar 63,82% anggota DPR yang melaporkan harta kekayaannya. Tentu masih
banyak lagi deretan catatan kurang sedap terkait DPR periode 2014-2019.

Anda mungkin juga menyukai