Anda di halaman 1dari 35

1.

Mengapa didapatkan pada pemeriksaan fisik RR naik, Nadi naik dan tekanan darah turun, tanda
tanda kebiruan dan akral dingin?

Reaksi Anafilaktoid 
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama
dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan
mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya
dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi
(idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID
lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat

terhambatnya enzim siklooksgenase.


 
Manifestasi klinik
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat
yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan
gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang
kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin
cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.(4,5,6,7)
 
Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian
segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan
penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan
sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan
gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme
merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.
 
Sistem sirkulasi 
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa juga
berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala
hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai
akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan
kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi
pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang
interstitiel (terjadi hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga
tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti
jantung.

Syok kegagaaln perfusi secara umum dan kurangnya perfusi organ vital
Syok adalah merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke
jaringan, sehingga mengakibatakan gangguan metabolism sel.
Secara umum dapat digambarkan gambaran kegagagaln perfusi jaringan yang terjadi melalui
salah satu mekanisme di bawah ini :
1.berkurangnya volume sirkulasi (syok hipovolemik)
2.kegagalan dalam pompa jantung (syok kardiogenik)
3.perubahan resistensi pembuluh darah perifer, penurunan vasomotor (syok anafilaktik, neurogenik,
dan kegagalan endikrin) atau peninggian resistensi (syok septic dan obstruksi aliran darah)

Syok diwali dengan perfusi organ yang berkurang


Penyebab syok  penurunan curah jantung jika pada syok anafilaktik (alergi obat atau
makanan sehingga terjadi pelepasan zat vasoaktif) dikarenakan pelebaran pembuluh darah perifer
dengan penurunan venous return

Gejala yang Nampak


1. sistem jantung dan pembuluh darah
- Hipotensi, sistolik < 90 mmHg ATAU turun ≥ 30mmHg dari semula
- takikardi , denyut nadi > 100 kali/menit, kecil, lemah, tidak teraba
- penurunan aliran darah koroner
- penurunan aliran darah kulit, sianotik, dingin dan basah; pengisian kapiler yg lambat
2. system saluran nafas
- hiperventilasi akibat anoksia jaringan, penurunan venous return
3. system saraf pusat
- hipoksi terjadi peningkatan permeabilitas kapiler  edem serebri  penurunan
kesadaran
4. system saluran kemih
- oliguria (dieresis<30ml/jam), dapat berlanjut jadi anuria, uremia akibat payah ginjal akut
5. perubahan biokimiawi
- asidosis metabolic akibat anoksia jaringan dan gangguan fungsi ginjal
- hiponatremi dan hiperkalemi
- hiperglikemi
s
Penurunan konsentrasi oksigen dalam darah  perangsangan kemoreseptor (glomus
karotikum dan glomus aortikum)  perangsangan pusat pernafasan RR naik

Penurunan oksigen dalam darah  hipoksia (jaringan kekurangan oksigen)  aliran darah ke
jaringan diperlama (agar jaringan mendapat pasokan oksigen lebih banyak )  venous return
turun  stroke volume menurun Tekanan darah menurun

Tekanan darah menurun  merangsang baroreseptor (di glomus karotikum dan aortikum) 
merangsang dilatasi arteri sistemik frekuensi jantung menurun

Volume darah menurun→ aliran darah ke jantung sedikit→simpatik→meningkatkan kontraksi


dan daya konduksi jantung→takikardia

 Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK UNDIP
 Agus Purwadinanto dan Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi Pedoman
Penatalaksanaan Praktis. Jakarta : Binarupa Aksara

Penurunan konsentrasi oksigen dalam darah  perangsangan kemoreseptor (glomus karotikum


dan glomus aortikum)  perangsangan pusat pernafasan RR naik
Nadi naik dan tekanan darah turun
Penurunan oksigen dalam darah  hipoksia (jaringan kekurangan oksigen)  aliran darah ke
jaringan diperlama (agar jaringan mendapat pasokan oksigen lebih banyak )  venous return
turun  stroke volume menurun Tekanan darah menurun
Tekanan darah menurun  merangsang baroreseptor (di glomus karotikum dan aortikum) 
merangsang dilatasi arteri sistemik frekuensi jantung menurun
Mekanismetakikardia
Perdarahan→ volume darah menurun→ aliran darah ke jantung
sedikit→simpatik→meningkatkan kontraksi dan daya konduksi jantung→takikardia
Mekanismehypotensi
Volume darah menurun → penurunan tekanan pengisian sirkulasi rata-rata→ penurunan aliran
balik darah vena ke jantung→ curah jantung menurun→ hypotensi

RR naik karena adanya usaha untuk bernafas oleh karena adanya sumbatan jalan nafas parsial
sehingga selain RR naik nafas juga dangkal.

(Sumber : Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK
UNDIP),, (Agus Purwadinanto dan Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi
Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta : Binarupa Aksara)

Sianosis
Sianosis terjadi akibat darah yang beredar ke seluruh tubuh mengandungdarah kotor yang
rendah oksigen. Bila kadar oksigen yang beredar teralurendah (pasien biru sekali), bisa
terjadi gangguan otak dengan manifestasigelisah, menangis merintih, lemas bahkan sampai
kejang

 sianosis adalah suatu klinis atau gejala dari adanya gangguan pada tubuhseseorang, warna
kebiru-biruan pada kulit dan selaput lendir yang terjadiakibat peningkatan jumlah
absolut Hb tereduksi (Hb yang tak berkaitandengan O2).
 dalam arti sebenarnya sianosis adalah kebiruan pada bagiantubuh seseorang. biasanya karena
kekurangan oksigen yang dibawa olehdarah. Sianosis dapat tanda insufisiensi pernapasan,
meskipun bukanmerupakan tanda yang dapat diandalkan.

Ada dua jenis sianosis: sianosissentral dan sianosis perifer


 Sianosis sentral disebabkan oleh insufisiensioksigenasi Hb dalam paru, dan paling mudah
diketahui pada wajah, bibir,cuping telinga, serta bagian bawah lidah. Sianosis biasanya
tak diketahuisebelum jumlah absolut Hb tereduksi mencapai 5g per 100 ml atau lebih
padaseseorang dengan konsentrasi Hb yang normal (saturasi oksigen [SaO2]kurang dari
90%). Jumlah normal Hb tereduksi dalam jaringan kapiler adalah 2,5 g per 100 ml. Pada
orang dengan konsentrasi Hb yang normal, sianosisakan pertama kali terdeteksi
pada SaO2 kira-kira 75% dan PaO2 50 mmHgatau kurang. Penderita anemia
(konsentrasi Hb rendah) mungkin tak pernahmengalami sianosis walaupun mereka
menderita hipoksia jaringan yang beratkarena jumlah absolut Hb tereduksi
kemungkinan tidak dapat mencapai 5 gper 100 ml. Sebaliknya, orang yang menderita
polisitemia (konsentrasi Hbyang tinggi) dengan mudah mempunyai kadar Hb
tereduksi 5 g per 100 mlwalaupun hanya mengalami hipoksia yang ringan sekali.
 Faktor -faktor lainyang menyulitkan pengenalan sianosis adalah variasi ketebalan
kulit,pigmentasi dan kondisi penerangan.
 sianosis perifer bila aliran darah banyak berkurangsehingga sangat menurunkan
saturasi darah vena, dan akan menyebabkansuatu daerah menjadi biru. Sianosis
perifer dapat terjadi akibat insufisiensijantung, sumbatan pada aliran darah, atau
vasokonstriksi pembuluh darahakibat suhu yang dingin. Sejumlah kecil
methemoglobin atau sulfhemoglobindalam sirkulasi dapat menimbulkan sianosis,
walaupun jarang terjadi

2. Mengapa pasien dibaringkan dan di elevasikan kedua tungkainya?

Posisi pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah daripada
bagian kaki.
Tujuan posisi Tendelenburg :
a.       Dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak pada pasien shock dan pada
pasien yang dipasang skintraksi pada kakinya.
Cara Pelaksanaan :
b.      Jelaskan pada klien mengenai prosedur yang akan dilakukan
c.       Pasien dalam keadaan berbaring terlentang. Letakkan bantal di antara kepala dan
ujung tempat tidur pasien, serta berikan bantal di bawah lipatan lutut.
d.      Pada bagian kaki tempat tidur, berikan balok penopang atau atur tempat tidur secara
khusus dengan meninggikan bagian kaki si pasien.

POSISI TRENDELENBURG
Friedrich Trendelenburg mempopulerkan posisi operasi dengan head down 45o sekitar
tahun 1870an dengan tujuan meningkatkan akses menuju pelvis disebabkan isi
abdomen akan bergeser ke arah cephal mengikuti gravitasi. Istilah “ Trendelenburg
”sekarang ini mencakup setiap derajat head down, tanpa memperhitungkan apakah
pasien berbaring supine, lateral atau prone. Semua posisi head down sekarang dikenal,
meskipun , secara potensial berbahaya pada penyakit jantung, paru, okular, dan
penyakit susunan saraf pusat, dan secara esensial tidak berguna untuk resusitasi volume
vaskuler.

Fisiologi Posisi Trendelenburg


Walter Cannon menegaskan manfaat dari posisi Trendelenburg pada penanganan syok
pada awal tahun 1900-an. Kepercayaan itu menyatakan bahwa setiap posisi head-down
meningkatkan venous return dan memperbaiki aliran darah serebral.

Komplikasi Posisi Head-Down

 Regurgutasi atau muntah, dan aspirasi isi lambung, merupakan penyebab


morbiditas dan mortalitas yang penting pada anestesi. Secara umum dapat
diterima bahwa sfingter bawah esofagus merupakan mekanisme proteksi utama
dalam pencegahan regurgitasi. Kecenderungan untuk mengalami regurgitasi
dilawan oleh barier tekanan antara esofagus bagian bawah dan tekanan
lambung. Efek head-down 15o dan 30o pada pasien sehat yang berada di bawah
pengaruh anestesi umum menunjukkan peningkatan tekanan lambung dan
esofagus bagian bawah sehingga barier tekanan tidak mengalami perubahan
yang berarti. Penggunaan posisi Trendelenburg tidak menpredisposisi untuk
terjadi regurgitasi gastroesofageal. Meskipun demikian, pasien dengan riwayar
refluks gastroesofageal memiliki resiko tinggi untuk regurgitasi ketika
diposisikan Trendelenburg. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa babi
dengan tekanan sfingter esofagus bawah yang rendah sebelum induksi anestesi
mengalami regurgitasi jika diposisikan head-down dengan pneumopeitoneum
15 mmHg.
 Trauma pleksus brakhialis ( tingkat insidens 0,16% ) dilaporkan terjadi pada
penggunaan penyanggah bahu ketika lengan pasien diekstensikan 90 o.
Peregangan atau kompresi bundle neurovaskuler retrolavikular dipercaya
bertanggungjawab terhadap terjadinya defist neurologis. Sanggahan oleh kaki
selama posisi head-down ditambah posisi litotomi dibuat seadekuat mungkin
untuk mencegah penekanan pada nervus peroneal komunis.
 Jika posisi ini akan diakhiri, posisi ETT sebaiknya dikonfirmasi untuk menghindari
intubasi bronkhial yang disebabkan oleh pergeseran mediastinum kearah cephal
dan pergeseran carina. Resiko malposisi trakea pada pasien pediatrik biasanya
lebih tinggi karena jarak antara korda vokalis dan carina lebih pendek. Bahkan
fleksi dan ekstensi leher sederhana dapat menyebabkan pergeseran ETT yang
berarti, yang dapat menuju ke intubasi bronkhial atau ekstubasi yang tidak
disengaja.
 Peningkatan tekanan vena serebral dan tekanan intraokular dan intrakranial
dapat dipresipitasi oleh posisi Trendelenburg.

3. Mengapa pasien mengalami keluhan sesak napas hebat setelah meminum obat antibiotic golongan
penisilin?

Reaksi anafilaksis terjadi akibat pajanan ulang alergen yang sama yang dimediasi oleh Ig E
spesifik yang melekat pada dinding mastosit dan basofil. Reaksi ini dapat diperberat dan
diperpanjang oleh mediator sekunder yang dikeluarkan oleh sel-sel radang yang tertarik ke
lokasi reaksi.2 Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi
antigen dengan Ig E yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos,
meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mucus. Kejang bronkus
gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai
edema laring keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit
bernapas. Manifestasi klinis renjatan anafilaksis dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis

F. Estelle R. Simons, MD, FRCPC, Ledit R. F. Ardusso, MD,M. Beatrice Bilò, MD, Yehia M. El-
Gamal, MD, PhD, Dennis K. Ledford, MD, Johannes Ring, MD, PhD, Mario Sanchez-Borges,
MD, Gian Enrico Senna, MD, Aziz Sheikh, MD, FRCGP, FRCP, and Bernard Y. Thong, MD,
for the World Allergy Organization. World Allergy Organization Guidelines for the
Assessment and Management of Anaphylaxis. February 2011

Akibat respons hipersensitivitas tipe I, yakni reaksi antigen dengan antibodi IgE.

Alergen masuk ke dalam darah  akan dikenali oleh antigen-presenting cell (APC) di mukosa
maupun darah  APC selanjutnya akan mempresentasikan antigen ke sel limfosit Th2  sel Th2
akan mengeluarkan sitokin-sitokin (seperti IL-4 dan IL-13)  memicu sel memori (limfosit)
menghasilkan IgE  apabila alergen kembali muncul, maka alergen akan langsung berikatan dengan
IgE  mengaktivasi sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator anafilaksis (degranulasi sel
mast), seperti histamin, eikosanoid, prostaglandin D2, trombosit activating factor, bradikinin,
leukotrin C4, D4 & E4, dan sebagainya  histamin mengaktifkan reseptor H1 dan H2 
bronkospasme  sesak nafas.

Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan saluran
sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2
menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas.

pelepasan berbagai mediator itulah yang mendasari gejala pada kulit, saluran nafas, sistem vaskular,
dan traktus gastrointestinal.

Cris Tanto, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4 Jilid II

4. Mengapa ditemukan angioedema pada kedua kelopak mata dan urtikaria di seluruh tubuh?
Urtikaria adalah lesi kulit yang menimbul (wheals), berwarna merah, pucat bila ditekan,
berbatas tegas, gatal. Ukuran lesi bervariasi mulai dari 1 mm sampai beberapa cm. Pada
sebagian besar kasus urtikaria, lesi timbul sementara dan akan menghilang kurang dari 24
jam di suatu lokasi tetapi bisa timbul kembali di lokasi tubuh lain. Angioedema adalah edema
pada struktur kulit yang lebih dalam atau jaringan subkutan. Angioedema tidak disertai rasa
gatal, tetapi dapat disertai dengan rasa nyeri
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu atau etiologinya. Berdasarkan waktu,
urtikaria dibagi menjadi urtikaria akut dan urtikaria kronik. Urtikaria akut adalah urtikaria
yang berlangsung kurang dari 6 minggu dan urtikaria kronik adalah urtikaria yang
berlangsung lebih dari 6 minggu.
Urtikaria dan angioedema timbul akibat adanya mediator vasoaktif seperti histamin,
leukotrien, dan prostaglandin yang lepas dari sel mast. Namun, urtikaria terjadi pada daerah
superfisial kulit, sementara angioedema terjadi pada struktur kulit yang lebih dalam atau
subkutis. Histamin akan menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah di daerah kulit yang mengakibatkan timbulnya edema, eritema, dan rasa gatal.
Respons fase lambat pada kulit akan mengakibatkan indurasi dan eritema pada 1-2 jam,
dengan puncak 6-12 jam, dan menetap sampai 24 jam setelah degranulasi sel mast.
Degranulasi sel mast yang dimediasi oleh immunoglobulin E akibat pajanan terhadap suatu
alergen menjadi sebagian penyebab dari urtikaria/angioedema pada anak. Namun, terdapat
mekanisme lain yang dapat menyebabkan degranulasi sel mast tanpa pajanan suatu alergen
atau tanpa dimediasi immunoglobulin E. Berbagai hal dapat menyebabkan degranulasi sel
mast secara langsung seperti infeksi, anafilatoksin, stimulus fisik, dan beberapa jenis obat.
Penyakit autoimun juga dapat disertai urtikaria kronik
Sudung O. Pardede Mulyadi M. Djer Frida Soesanti Cahyani Gita Ambarsari Amanda
Soebadi. Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak. FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN
ANAK. Cetakan Pertama 2013
F. Estelle R. Simons, MD, FRCPC, Ledit R. F. Ardusso, MD,M. Beatrice Bilò, MD, Yehia M. El-
Gamal, MD, PhD, Dennis K. Ledford, MD, Johannes Ring, MD, PhD, Mario Sanchez-Borges,
MD, Gian Enrico Senna, MD, Aziz Sheikh, MD, FRCGP, FRCP, and Bernard Y. Thong, MD,
for the World Allergy Organization. World Allergy Organization Guidelines for the
Assessment and Management of Anaphylaxis. February 2011

5. Mengapa pada pasien didapatkan keluhan muntah dan nyeri abdomen?


I G N Paramartha W P. SYOK ANAFILAKTIK OLEH KARENA OBAT. BAGIAN/SMF
ILMU PENYAKIT DALAM FK UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH 2017

6. Mengapa didapatkan napas cuping hidung +, retraksi subcostal, stridor +, wheezing + dan fase
ekspirasi memanjang?

Respon inflamasi tipe cepat dan lambat berperan terhadap munculnya manifestasi klinis
asma. Pada fase cepat, sel-sel mast mengeluarkan mediatormediator, seperti histamin,
leukotrien, prostaglandin dan tromboksan yang menimbulkan bronkokonstriksi. Pada fase
lambat, sitokin-sitokin dikeluarkan sehingga memperlama inflamasi dan mengaktivasi
eosinofil, basofil, limfosit dan sel-sel mast. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan
saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks yang akan merusak
epitel saluran nafas. Hiperplasia otot polos dan hiperresponsif bronkial akibat proses
inflamasi kronis menyebabkan menyempitnya saluran udara, hal ini menimbulkan gejala
gejala mengi, batuk, sesak dada dan nafas pendek
Cris Tanto, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4 Jilid II

7. Bagaimana penilaian ABCDE dari scenario?


8. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari scenario?
9. Apa saja tanda dan gejala dari kasus di scenario?

Tahapan Syok Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi,
dekompensasi, dan ireversibel.
a. Tahap kompensasi
adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjagafungsi normalnya. Tanda atau gejala
yang ditemukan pada tahap awal seperti kulit pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan
darah normal, gelisah,dan pengisian pembuluh darah yang lama. Gejala-gejala pada tahap ini
sulit untuk dikenali karena biasanya individu yang mengalami syok terlihat normal.

b. Tahap dekompensasi
dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan
berupaya menjaga organ-organ vitalyaitu dengan mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai,
dan perut danmengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru.

Tanda dan gejala yang dapatditemukan diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan
denyut nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai
terganggu.

c. Tahap ireversibel
dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki. Tahap ini terjadi
jika tidak dilakukan pertolongan sesegeramungkin, maka aliran darah akan mengalir sangat
lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Mekanisme
pertahanan tubuh akanmengutamakan aliran darah ke otak dan jantung sehingga aliran ke organ-
organseperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi penyebab rusaknya hatimaupun
ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakanorgan yang terjadi telah
menetap dan tidak dapat diperbaiki

STADIUM SYOK 
Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau irreversible.
a. Stadium 1 : ANTICIPATION STAGE
Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam batasnormal.
Biasanya masih cukup waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar.
b. Stadium 2: PRE-SHOCK SLIDE
Gangguan sudah bersifat sistemik. Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas atau
batas bawah kisarannormal.

c. Sadium 3 : COMPENSATED SHOCK 


Compensated shock bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah, suatu
kondisi yang disebut "normotensive, cryptic shock". Banyak klinisi gagal mengenali bagian
dini dari stadium syok ini. Compensated shock memiliki arti khusus pada pasien DBD dan perlu
dikenali dari tanda-tanda berikut: Capillaryrefill time > 2 detik; penyempitan tekanan nadi,
takikardia, takipnea, akral dingin.
d. Stadium 4 DECOMPENSATED SHOCK, REVERSIBLE
Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairanintravena
dan/atau vasopresor 
e. Stadium 5 DECOMPENSATED IRREVERSIBLE SHOCK 
Kerusakan mikrovaskular dan organ sekarang menjadi menetap dan tak bisa diatasi.

Gejala yang Nampak


1. sistem jantung dan pembuluh darah
- Hipotensi, sistolik < 90 mmHg ATAU turun ≥ 30mmHg dari semula
- takikardi , denyut nadi > 100 kali/menit, kecil, lemah, tidak teraba
- penurunan aliran darah koroner
- penurunan aliran darah kulit, sianotik, dingin dan basah; pengisian kapiler yg lambat
6. system saluran nafas
- hiperventilasi akibat anoksia jaringan, penurunan venous return
7. system saraf pusat
- hipoksi terjadi peningkatan permeabilitas kapiler  edem serebri  penurunan
kesadaran
8. system saluran kemih
- oliguria (dieresis<30ml/jam), dapat berlanjut jadi anuria, uremia akibat payah ginjal akut
9. perubahan biokimiawi
- asidosis metabolic akibat anoksia jaringan dan gangguan fungsi ginjal
- hiponatremi dan hiperkalemi
- hiperglikemi

10. Apa saja etiologi dari kasus di scenario?

11. Apa saja pemeriksaan penunjang pada scenario?


12. Bagaimana patofisiologi dari kasus di scenario?
Hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaksis terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam
beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan kejadian
anafilaksis adalah sebagai berikut:
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama
ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan
istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran
sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor
adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang
dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu.
Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang
nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia
ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita.

1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang menimbulkan reaksi.

3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini
ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria, dan eritema kulit, diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik atau kondisi syok anafilaktik, dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk
umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaktik
yang terlokalisasi.

Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dicurigai dikendalikan secara genetik dan
istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi alergi
terlokalisir tersebut.
Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK
UNDIP),, (Agus Purwadinanto dan Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi
Revisi Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta : Binarupa Aksara

Hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaksis terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam
beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan kejadian
anafilaksis adalah sebagai berikut:
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama
ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan
istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran
sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor
adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang
dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu.
Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang
nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia
ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita.

1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

4. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang menimbulkan reaksi.

5. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini
ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria, dan eritema kulit, diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik atau kondisi syok anafilaktik, dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk
umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaktik
yang terlokalisasi.

Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dicurigai dikendalikan secara genetik dan
istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi alergi
terlokalisir tersebut.
Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK
UNDIP),, (Agus Purwadinanto dan Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi
Revisi Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta : Binarupa Aksara

Cara kerja spesifik penisilin dalam menyebabkan anafilaksis


13. Bagaimana tatalaksana awal dari kasus di scenario?
A – Saluran Napas dan Adrenalin
 Menjaga saluran napas dan pemberian oksigen 100%
 Adrenalin. Jika akses IV tersedia, diberikan adrenalin 1 : 10.0000, 0.5 – 1 ml, dapat diulang jika
perlu. Alternatif lain dapat diberikan 0,5 – 1 mg (0,5 – 1 ml dalam larutan 1 : 1000) secara IM
diulang setiap 10 menit jika dibutuhkan.

B - Pernapasan
 Jamin pernapasan yang adekuat. Intubasi dan ventilasi mungkin diperlukan
 Adrenalin akan mengatasi bronkospasme dan edema saluran napas atas.
 Bronkodilator semprot (misalnya salbutamol 5 mg) atau aminofilin IV mungkin dibutuhkan jika
bronkospasme refrakter (dosis muat 5 mg/kg diikuti dengan 0,5 mg/kg/jam).
C - Sirkulasi
 Akses sirkulasi. Mulai CPR jika terjadi henti jantung.
 Adrenalin merupakan terapi yang paling efektif untuk hipotensi berat.
 Pasang 1 atau dua kanula IV berukuran besar dan secepatnya memberikan infus saline normal. Koloid
dapat digunakan (kecuali jika diperkirakan sebagai sumber reaksi anafilaksis).
 Aliran balik vena dapat dibantu dengan mengangkat kaki pasien atau memiringkan posisi pasien
sehingga kepala lebih rendah.
 Jika hemodinamik pasien tetap tidak stabil setelah pemberian cairan dan adrenalin, beri dosis
adrenalin atau infus intravena lanjutan (5 mg dalam 50 ml saline atau dekstrose 5% melalui syringe
pump, atau 5 mg dalam 500 ml saline atau dekstrose 5% yang diberikan dengan infus lambat). Bolus
adrenalin intravena yang tidak terkontrol dapat membahayakan, yaitu kenaikan tekanan yang tiba-tiba
dan aritmia. Berikan obat tersebut secara berhati-hati, amati respon dan ulangi jika diperlukan. Coba
lakukan monitor EKG, tekanan darah dan pulse oximtry.

Penanganan syok anafilaktik 


I. Terapi medikamentosa (7,8,9)
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolaannya.
1.Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu :
 Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat, sehingga penderita dengan cepat terhindar dari
hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
 Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga tekanan
darah dengan cepat naik kembali.
 Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP sehingga
produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya.


0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5 –
10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon
pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml
adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian
subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada
akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
2.Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian
adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250
mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.

3. Antihistamin dan kortikosteroid.


Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat
syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan
tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah
komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan
adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrocortison 100 – 250 mg IV.

II. Terapi supportif


Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya dilakukan
secara bersamaan. (10,11,12)
1. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 ltr / menit harus dilakukan.
Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi ) akan
membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
3.Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka pemasangan
infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat
mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau
NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya
dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus
dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung
pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya di tiap ruang praktek seorang dokter tersedia
selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resucitation kit )
untuk memudahkan tindakan secepatnya.

FLOW CHART SYOK ANAFILAKTIK


14. Bagaimana tatalaksana lanjutan dari kasus di scenario?

Anda mungkin juga menyukai

  • 2) Study Case Control
    2) Study Case Control
    Dokumen6 halaman
    2) Study Case Control
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Bagus Ayu - LBM 1 Saraf
    Bagus Ayu - LBM 1 Saraf
    Dokumen30 halaman
    Bagus Ayu - LBM 1 Saraf
    Humam_Aziz_2281
    100% (1)
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen47 halaman
    Chapter II
    rani fajra
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Penurunan Kesadaran PDF
    Bab 3 Penurunan Kesadaran PDF
    Dokumen7 halaman
    Bab 3 Penurunan Kesadaran PDF
    Robi'ahAlAdawiyyah
    Belum ada peringkat
  • LBM 3 M
    LBM 3 M
    Dokumen25 halaman
    LBM 3 M
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Edsf
    Edsf
    Dokumen7 halaman
    Edsf
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Bahan Ajar Ensepalopati
    Bahan Ajar Ensepalopati
    Dokumen25 halaman
    Bahan Ajar Ensepalopati
    Tomi Rahmadani
    Belum ada peringkat
  • Tetanus
    Tetanus
    Dokumen52 halaman
    Tetanus
    wkwkwkhhhh
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis Kutis
    Tuberkulosis Kutis
    Dokumen30 halaman
    Tuberkulosis Kutis
    Dwi Permana Putra
    Belum ada peringkat
  • LBM T
    LBM T
    Dokumen12 halaman
    LBM T
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Spin
    Spin
    Dokumen9 halaman
    Spin
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • LBM 4 EH Armella
    LBM 4 EH Armella
    Dokumen15 halaman
    LBM 4 EH Armella
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis Kutis
    Tuberkulosis Kutis
    Dokumen30 halaman
    Tuberkulosis Kutis
    Dwi Permana Putra
    Belum ada peringkat
  • F 13693 Woc-Askep-Emfisema
    F 13693 Woc-Askep-Emfisema
    Dokumen4 halaman
    F 13693 Woc-Askep-Emfisema
    yuyusprasetiyo
    Belum ada peringkat
  • Master SGD Ipe LBM 5
    Master SGD Ipe LBM 5
    Dokumen9 halaman
    Master SGD Ipe LBM 5
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • LBM 2 Modul KPDL
    LBM 2 Modul KPDL
    Dokumen6 halaman
    LBM 2 Modul KPDL
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • LBM
    LBM
    Dokumen7 halaman
    LBM
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Sumber: Guyton: Bentuk Thorax Emfisematus
    Sumber: Guyton: Bentuk Thorax Emfisematus
    Dokumen9 halaman
    Sumber: Guyton: Bentuk Thorax Emfisematus
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Ekg Dokter
    Ekg Dokter
    Dokumen32 halaman
    Ekg Dokter
    Ilham Mustofa
    Belum ada peringkat
  • Ersfq
    Ersfq
    Dokumen8 halaman
    Ersfq
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Ersfq
    Ersfq
    Dokumen8 halaman
    Ersfq
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Derajat Sprain
    Derajat Sprain
    Dokumen2 halaman
    Derajat Sprain
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Master SGD Ipe LBM 5
    Master SGD Ipe LBM 5
    Dokumen9 halaman
    Master SGD Ipe LBM 5
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Derajat Sprain
    Derajat Sprain
    Dokumen2 halaman
    Derajat Sprain
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • LBM A
    LBM A
    Dokumen4 halaman
    LBM A
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • PDF
    PDF
    Dokumen6 halaman
    PDF
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • PI
    PI
    Dokumen4 halaman
    PI
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • Ses
    Ses
    Dokumen5 halaman
    Ses
    Armella Azzahra
    Belum ada peringkat
  • CHF
    CHF
    Dokumen19 halaman
    CHF
    elli reski ananda
    Belum ada peringkat