Mengapa didapatkan pada pemeriksaan fisik RR naik, Nadi naik dan tekanan darah turun, tanda
tanda kebiruan dan akral dingin?
Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama
dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan
mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya
dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi
(idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID
lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat
Syok kegagaaln perfusi secara umum dan kurangnya perfusi organ vital
Syok adalah merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke
jaringan, sehingga mengakibatakan gangguan metabolism sel.
Secara umum dapat digambarkan gambaran kegagagaln perfusi jaringan yang terjadi melalui
salah satu mekanisme di bawah ini :
1.berkurangnya volume sirkulasi (syok hipovolemik)
2.kegagalan dalam pompa jantung (syok kardiogenik)
3.perubahan resistensi pembuluh darah perifer, penurunan vasomotor (syok anafilaktik, neurogenik,
dan kegagalan endikrin) atau peninggian resistensi (syok septic dan obstruksi aliran darah)
Penurunan oksigen dalam darah hipoksia (jaringan kekurangan oksigen) aliran darah ke
jaringan diperlama (agar jaringan mendapat pasokan oksigen lebih banyak ) venous return
turun stroke volume menurun Tekanan darah menurun
Tekanan darah menurun merangsang baroreseptor (di glomus karotikum dan aortikum)
merangsang dilatasi arteri sistemik frekuensi jantung menurun
Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK UNDIP
Agus Purwadinanto dan Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi Pedoman
Penatalaksanaan Praktis. Jakarta : Binarupa Aksara
RR naik karena adanya usaha untuk bernafas oleh karena adanya sumbatan jalan nafas parsial
sehingga selain RR naik nafas juga dangkal.
(Sumber : Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK
UNDIP),, (Agus Purwadinanto dan Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi
Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta : Binarupa Aksara)
Sianosis
Sianosis terjadi akibat darah yang beredar ke seluruh tubuh mengandungdarah kotor yang
rendah oksigen. Bila kadar oksigen yang beredar teralurendah (pasien biru sekali), bisa
terjadi gangguan otak dengan manifestasigelisah, menangis merintih, lemas bahkan sampai
kejang
sianosis adalah suatu klinis atau gejala dari adanya gangguan pada tubuhseseorang, warna
kebiru-biruan pada kulit dan selaput lendir yang terjadiakibat peningkatan jumlah
absolut Hb tereduksi (Hb yang tak berkaitandengan O2).
dalam arti sebenarnya sianosis adalah kebiruan pada bagiantubuh seseorang. biasanya karena
kekurangan oksigen yang dibawa olehdarah. Sianosis dapat tanda insufisiensi pernapasan,
meskipun bukanmerupakan tanda yang dapat diandalkan.
Posisi pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah daripada
bagian kaki.
Tujuan posisi Tendelenburg :
a. Dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak pada pasien shock dan pada
pasien yang dipasang skintraksi pada kakinya.
Cara Pelaksanaan :
b. Jelaskan pada klien mengenai prosedur yang akan dilakukan
c. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang. Letakkan bantal di antara kepala dan
ujung tempat tidur pasien, serta berikan bantal di bawah lipatan lutut.
d. Pada bagian kaki tempat tidur, berikan balok penopang atau atur tempat tidur secara
khusus dengan meninggikan bagian kaki si pasien.
POSISI TRENDELENBURG
Friedrich Trendelenburg mempopulerkan posisi operasi dengan head down 45o sekitar
tahun 1870an dengan tujuan meningkatkan akses menuju pelvis disebabkan isi
abdomen akan bergeser ke arah cephal mengikuti gravitasi. Istilah “ Trendelenburg
”sekarang ini mencakup setiap derajat head down, tanpa memperhitungkan apakah
pasien berbaring supine, lateral atau prone. Semua posisi head down sekarang dikenal,
meskipun , secara potensial berbahaya pada penyakit jantung, paru, okular, dan
penyakit susunan saraf pusat, dan secara esensial tidak berguna untuk resusitasi volume
vaskuler.
3. Mengapa pasien mengalami keluhan sesak napas hebat setelah meminum obat antibiotic golongan
penisilin?
Reaksi anafilaksis terjadi akibat pajanan ulang alergen yang sama yang dimediasi oleh Ig E
spesifik yang melekat pada dinding mastosit dan basofil. Reaksi ini dapat diperberat dan
diperpanjang oleh mediator sekunder yang dikeluarkan oleh sel-sel radang yang tertarik ke
lokasi reaksi.2 Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi
antigen dengan Ig E yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos,
meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mucus. Kejang bronkus
gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai
edema laring keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit
bernapas. Manifestasi klinis renjatan anafilaksis dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis
F. Estelle R. Simons, MD, FRCPC, Ledit R. F. Ardusso, MD,M. Beatrice Bilò, MD, Yehia M. El-
Gamal, MD, PhD, Dennis K. Ledford, MD, Johannes Ring, MD, PhD, Mario Sanchez-Borges,
MD, Gian Enrico Senna, MD, Aziz Sheikh, MD, FRCGP, FRCP, and Bernard Y. Thong, MD,
for the World Allergy Organization. World Allergy Organization Guidelines for the
Assessment and Management of Anaphylaxis. February 2011
Akibat respons hipersensitivitas tipe I, yakni reaksi antigen dengan antibodi IgE.
Alergen masuk ke dalam darah akan dikenali oleh antigen-presenting cell (APC) di mukosa
maupun darah APC selanjutnya akan mempresentasikan antigen ke sel limfosit Th2 sel Th2
akan mengeluarkan sitokin-sitokin (seperti IL-4 dan IL-13) memicu sel memori (limfosit)
menghasilkan IgE apabila alergen kembali muncul, maka alergen akan langsung berikatan dengan
IgE mengaktivasi sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator anafilaksis (degranulasi sel
mast), seperti histamin, eikosanoid, prostaglandin D2, trombosit activating factor, bradikinin,
leukotrin C4, D4 & E4, dan sebagainya histamin mengaktifkan reseptor H1 dan H2
bronkospasme sesak nafas.
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan saluran
sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2
menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas.
pelepasan berbagai mediator itulah yang mendasari gejala pada kulit, saluran nafas, sistem vaskular,
dan traktus gastrointestinal.
Cris Tanto, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4 Jilid II
4. Mengapa ditemukan angioedema pada kedua kelopak mata dan urtikaria di seluruh tubuh?
Urtikaria adalah lesi kulit yang menimbul (wheals), berwarna merah, pucat bila ditekan,
berbatas tegas, gatal. Ukuran lesi bervariasi mulai dari 1 mm sampai beberapa cm. Pada
sebagian besar kasus urtikaria, lesi timbul sementara dan akan menghilang kurang dari 24
jam di suatu lokasi tetapi bisa timbul kembali di lokasi tubuh lain. Angioedema adalah edema
pada struktur kulit yang lebih dalam atau jaringan subkutan. Angioedema tidak disertai rasa
gatal, tetapi dapat disertai dengan rasa nyeri
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu atau etiologinya. Berdasarkan waktu,
urtikaria dibagi menjadi urtikaria akut dan urtikaria kronik. Urtikaria akut adalah urtikaria
yang berlangsung kurang dari 6 minggu dan urtikaria kronik adalah urtikaria yang
berlangsung lebih dari 6 minggu.
Urtikaria dan angioedema timbul akibat adanya mediator vasoaktif seperti histamin,
leukotrien, dan prostaglandin yang lepas dari sel mast. Namun, urtikaria terjadi pada daerah
superfisial kulit, sementara angioedema terjadi pada struktur kulit yang lebih dalam atau
subkutis. Histamin akan menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah di daerah kulit yang mengakibatkan timbulnya edema, eritema, dan rasa gatal.
Respons fase lambat pada kulit akan mengakibatkan indurasi dan eritema pada 1-2 jam,
dengan puncak 6-12 jam, dan menetap sampai 24 jam setelah degranulasi sel mast.
Degranulasi sel mast yang dimediasi oleh immunoglobulin E akibat pajanan terhadap suatu
alergen menjadi sebagian penyebab dari urtikaria/angioedema pada anak. Namun, terdapat
mekanisme lain yang dapat menyebabkan degranulasi sel mast tanpa pajanan suatu alergen
atau tanpa dimediasi immunoglobulin E. Berbagai hal dapat menyebabkan degranulasi sel
mast secara langsung seperti infeksi, anafilatoksin, stimulus fisik, dan beberapa jenis obat.
Penyakit autoimun juga dapat disertai urtikaria kronik
Sudung O. Pardede Mulyadi M. Djer Frida Soesanti Cahyani Gita Ambarsari Amanda
Soebadi. Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak. FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN
ANAK. Cetakan Pertama 2013
F. Estelle R. Simons, MD, FRCPC, Ledit R. F. Ardusso, MD,M. Beatrice Bilò, MD, Yehia M. El-
Gamal, MD, PhD, Dennis K. Ledford, MD, Johannes Ring, MD, PhD, Mario Sanchez-Borges,
MD, Gian Enrico Senna, MD, Aziz Sheikh, MD, FRCGP, FRCP, and Bernard Y. Thong, MD,
for the World Allergy Organization. World Allergy Organization Guidelines for the
Assessment and Management of Anaphylaxis. February 2011
6. Mengapa didapatkan napas cuping hidung +, retraksi subcostal, stridor +, wheezing + dan fase
ekspirasi memanjang?
Respon inflamasi tipe cepat dan lambat berperan terhadap munculnya manifestasi klinis
asma. Pada fase cepat, sel-sel mast mengeluarkan mediatormediator, seperti histamin,
leukotrien, prostaglandin dan tromboksan yang menimbulkan bronkokonstriksi. Pada fase
lambat, sitokin-sitokin dikeluarkan sehingga memperlama inflamasi dan mengaktivasi
eosinofil, basofil, limfosit dan sel-sel mast. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan
saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks yang akan merusak
epitel saluran nafas. Hiperplasia otot polos dan hiperresponsif bronkial akibat proses
inflamasi kronis menyebabkan menyempitnya saluran udara, hal ini menimbulkan gejala
gejala mengi, batuk, sesak dada dan nafas pendek
Cris Tanto, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4 Jilid II
Tahapan Syok Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi,
dekompensasi, dan ireversibel.
a. Tahap kompensasi
adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjagafungsi normalnya. Tanda atau gejala
yang ditemukan pada tahap awal seperti kulit pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan
darah normal, gelisah,dan pengisian pembuluh darah yang lama. Gejala-gejala pada tahap ini
sulit untuk dikenali karena biasanya individu yang mengalami syok terlihat normal.
b. Tahap dekompensasi
dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan
berupaya menjaga organ-organ vitalyaitu dengan mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai,
dan perut danmengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru.
Tanda dan gejala yang dapatditemukan diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan
denyut nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai
terganggu.
c. Tahap ireversibel
dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki. Tahap ini terjadi
jika tidak dilakukan pertolongan sesegeramungkin, maka aliran darah akan mengalir sangat
lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Mekanisme
pertahanan tubuh akanmengutamakan aliran darah ke otak dan jantung sehingga aliran ke organ-
organseperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi penyebab rusaknya hatimaupun
ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakanorgan yang terjadi telah
menetap dan tidak dapat diperbaiki
STADIUM SYOK
Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau irreversible.
a. Stadium 1 : ANTICIPATION STAGE
Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam batasnormal.
Biasanya masih cukup waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar.
b. Stadium 2: PRE-SHOCK SLIDE
Gangguan sudah bersifat sistemik. Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas atau
batas bawah kisarannormal.
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini
ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria, dan eritema kulit, diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik atau kondisi syok anafilaktik, dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk
umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaktik
yang terlokalisasi.
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dicurigai dikendalikan secara genetik dan
istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi alergi
terlokalisir tersebut.
Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK
UNDIP),, (Agus Purwadinanto dan Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi
Revisi Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta : Binarupa Aksara
Hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaksis terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam
beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan kejadian
anafilaksis adalah sebagai berikut:
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama
ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan
istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran
sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor
adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang
dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu.
Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang
nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia
ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita.
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
4. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang menimbulkan reaksi.
5. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini
ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria, dan eritema kulit, diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik atau kondisi syok anafilaktik, dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk
umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaktik
yang terlokalisasi.
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dicurigai dikendalikan secara genetik dan
istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi alergi
terlokalisir tersebut.
Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK
UNDIP),, (Agus Purwadinanto dan Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi
Revisi Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta : Binarupa Aksara
B - Pernapasan
Jamin pernapasan yang adekuat. Intubasi dan ventilasi mungkin diperlukan
Adrenalin akan mengatasi bronkospasme dan edema saluran napas atas.
Bronkodilator semprot (misalnya salbutamol 5 mg) atau aminofilin IV mungkin dibutuhkan jika
bronkospasme refrakter (dosis muat 5 mg/kg diikuti dengan 0,5 mg/kg/jam).
C - Sirkulasi
Akses sirkulasi. Mulai CPR jika terjadi henti jantung.
Adrenalin merupakan terapi yang paling efektif untuk hipotensi berat.
Pasang 1 atau dua kanula IV berukuran besar dan secepatnya memberikan infus saline normal. Koloid
dapat digunakan (kecuali jika diperkirakan sebagai sumber reaksi anafilaksis).
Aliran balik vena dapat dibantu dengan mengangkat kaki pasien atau memiringkan posisi pasien
sehingga kepala lebih rendah.
Jika hemodinamik pasien tetap tidak stabil setelah pemberian cairan dan adrenalin, beri dosis
adrenalin atau infus intravena lanjutan (5 mg dalam 50 ml saline atau dekstrose 5% melalui syringe
pump, atau 5 mg dalam 500 ml saline atau dekstrose 5% yang diberikan dengan infus lambat). Bolus
adrenalin intravena yang tidak terkontrol dapat membahayakan, yaitu kenaikan tekanan yang tiba-tiba
dan aritmia. Berikan obat tersebut secara berhati-hati, amati respon dan ulangi jika diperlukan. Coba
lakukan monitor EKG, tekanan darah dan pulse oximtry.