10 Mengevaluasi dan Menyusun Informasi Berupa Fakta dan Opini dalam Artikel
RINGKASAN MATERI
A. Mengevaluasi Informasi dalam Sebuah Artikel
Pada bab sebelumnya, kita sudah membahas teks editorial. Pada bab ini,
kita akan membahas teks artikel. Teks editorial dan artikel bersumber
pada informasi yang bersifat fakta, kemudian dikuti opini penulis. Kedua
teks tersebut digolongkan sebagai teks opini karena ditulis berdasarkan
sudut pandang penulis . Bedanya , penulis teks editorial
mengatasnamakan redaksi surat kabar , sedangkan artikel atas nama
pribadi sehingga nama penulisnya dicantumkan di bawah judul.
Seperti halnya editorial , teks artikel juga terdapat di surat kabar,
majalah, atau internet yang membahas topik tertentu, seperti tentang
kesehatan, pendidikan, agama, sejarah , politik, ekonomi, penelitian, dan
sebagainya.
Perhatikan contoh artikel yang berisi opini berikut yang di kutip dari
kompas.
Pendidikan Penyembuh Kemiskinan
Ahmad Baidowi
Riset terbaru para ahli ekonomi menyebutkan bahwa pendidikan
hanya menyumbang sedikit, yaitu sekitar16,1 % per tahun,
pertumbuhan produk domestik bruto rata-rata negara di dunia (Greg)
Duncan,2010. Disamping memercayai bahwa investasi di bidang
pendidikan memang sangat strategis dan signifikan , para ahli ekonomi
menyarankan agar dunia pendidikan memiliki kepekaan pasar dalam
rangka menumbuhkan semangat enterpreneurship di kalangan para
siswa.
Memadukan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan dunia
kerja merupakan sebuah keniscayaan yang harus ditekuni para
pengambil kebijakan bidang pendidikan . Namun masalah yang kerap
muncul adalah dunia pendidikan sangat bergantung pada situasi politik
dan ekonomi sebuah negara. Oleh karena itu , pendidikan bukan satu
satunya alat untuk mengurangi kemiskinan,apalagi jika dilihat dari
konteks politik dan sistem ekonomi yang dianut. Tidak ada yang
meragukan tenaga kerja berpendidikan lebih baik dan lebih mungkin
menikmati pendidikan yang lebih tinggi . Orang miskin benar-benar
membutuhkan lebih banyak pendidikan dan pelatihan keterampilan.
Mereka juga membutuhkan konteks ekonomi . Namun , pada beberapa
dekade terakhir , institusi dan norma-norma yang mempertahankan
hubungan antara keterampilan dan pendapatan berkurang. Hal itu
menyebabkan sulitnya mengangkat orang miskin menjadi lebih terdidik.
Meskipun keyakinan para ekonom bisa salah, pandangan mereka
hanya menjadikan pendidikan sebagai prasyarat bagi seseorang masuk
dunia kerja. Padahal, pendidikan dapat menjadikan seseorang memiliki
kepekaan sosial yang kuat . Jepang contohnya, bagaimana menjadikan
pendidikan sebagai nilai yang harus ditandingkan dengan persoalan
budaya dan kepercayaan sebuah bangsa.
Menurut data statistik Kementrian Pendidikan Nasional tahun
2009 jumlah sekolah di Indonesia mencapai 183.767. Jumlah itu terdiri
atas 144.224 SD, 28.777 SMP , 10.762 SMA. Dari jumlah tersebut, SD N
sebanyak 131.490, SD Swasta 12.738, SMP N 16.898, SMP Swasta
11.870, SMA N 4797, SMA Swasta 5965, jika ditambah dengan jumlah
madrasah , tsanawiyah dan aliyah total jumlah sekolah 208.815.
Angka tersebut seakan memastikan dua hal . pertama, masalah
aksesibilitas masih menjadi kendala bagi proses pendidikan kita. Jika
jumlah SD lebih banyak dari SMP dan SMA, berarti ada problem
mendasar soal rentannya anak putus sekolah. Kedua, data itu juga
menunjukkan bahwa dukungan masyarakat melalui sekolah swasta amat
signifikan untuk dikesampingkan begitu saja oleh pengambil kebijakan
bidang pendidikan. Bahkan, jika separo dari saja dari dari jumlah
sekolah swasta mengalami kendala dalam hal operasional , angka putus
sekolah dipastikan bertambah banyak. Oleh karena itu dimensi sosial
sekolah harus dihitung secara benar dalam perencanaan.
Selain itu data jumlah sekolah itu menggambarkan bahwa masih
banyak anak miskin yang bersekolah di tingkat SD menemui kesulitan
untuk melanjutkan pendidikan. Tak sedikit, sekolah swasta yang berada
di kampung-kampung dan desa terpencil tutup hanya karena mereka tak
memiliki dana opersional yang cukup dalam menjalankan PBM.
Dalam All Together Now : Common Sense for a
FairbEconomyn(2006), Jared Bernstein menegaskan pentingnya sebuah
program yang secara sistematis mampu menolong orang miskin supaya
memperoleh pendidikan yang baik dan layak dalam rangka menjawab
secara sungguh-sungguh problem menurunkan tingkat kemiskinan
suatu negara.