Anda di halaman 1dari 6

Nama : Riannaldi Eriza Permana

NIM : 18046173

Mata Kuliah : Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau

Tugas 3 Resume

Geografis Alam Minangkabau

1. Struktur Alam Minangkabau


Alam Minangkabau menunjukkan konsep wilayah orang Minangkabau secara geografis
dan kebudayaan. Dengan kata lain, Alam Minangkabau tidak hanya mengacu kepada
pengertian fisik (geografis) belaka, melainkan juga mangandung arti kultural.
Konsep wilayah sudah lama dikenal oleh masyarakat Minangkabau, bukan produk
budaya yang diperkenalkan oleh bangsa barat atau asing lainnya. Hal ini terlihat dari cerita
klasik Minangkabau, seperti yang tergambar dalam tambo. Dalam tambo dijelaskan tentang
batas geografis Alam Minangkabau sebagai berikut: “Dari Sikilang Aie Bangih, hinggo
Taratak Aie Hitam. Dari Durian Ditakuak Rajo hinggo Sialang Balantak Basi”. Ungkapan
geografis tersebut bisa dirinci sebagai berikut:
• Sikilang Aie Bangih adalah daerah yang terletak di kawasan pant!i bagian utara
Pasaman Barat yang berbatasan dengan Natal di Sumatera Utara.
• Taratak Aie Hitam adalah daerah yang terletak di bagian selatan Sumatera Barat
sekarang, dekat Muko-Muko di Bengkulu.
• Durian Ditakuak Rajo terletak di daerah Tanjuang Simalindu (Muaro Bungo) Jambi.
• Sialang Balantak Basi terletak di Rantau Berangin, Riau.
Dalam khasanah kebudayaan dan pemikiran orang Minangkabau dikenal dua konsep
geografis (wilayah) utama, yakni: daerah inti (Darek), dan Daerah Pinggiran (Rantau). Daerah
darek sering juga disebut dengan istilah luhak.
Darek (Luhak) adalah daerah inti atau Pusat Alam Minangkabau yang dianggap sebagai
cikal bakal suku bangsa Minangkabau. Daerah Darek terdiri dari tiga luhak, yakni: Luhak
Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluh Koto. Dalam konsepsi budaya
Minangkabau Luhak Tanah Datar dianggap sebagai daerah tertua, karena dalam mitologi
dikatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Minangkabau berasal dari Pariangan Padang
Panjang, yakni sebuah daerah yang terletak di kaki Gunung Merapi di kawasan Luhak Tanah
Datar (M.D. Mansoer, 1970: 2-3). Namun dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh ahli-
ahli arkeologi Sumatera Barat ada bukti baru bahwa sebenarnya luhak yang tertua itu adalah
Limo Puluh Koto. Hal ini terutama didasarkan atas temuan benda-benda arkeologis di daerah
Luhak Limo Puluh Koto, seperti menhir (batu tagak). Dalam temuan itu ternyata menhir-
menhir di kawasan Luhak limo Puluh Koto jauh lebih tua dibandingkan menhir yang berada di
kawasan Luhak Tanah Datar. Di samping itu tradisi megalitikum (seperti menhir)
menampakkan cikal bakal susunan budaya Minangkabau. Sekurang-kurangnya terdapat tiga
pilar utama kebudayaan Minangkabau yang pondasinya sudah dibangun sejak masa pra sejarah,
yaitu: prinsip egaliterian, matrilineal, dan religius (Herwandi, 2006: 1-10).
Sementara daerah pinggiran (periperi) adalah daerah penyebaran orang Minangkabau
berikutnya, atau dengan kata lain daerah kolonisasi orang Minangkabau. Daerah ini lebih
dikenal dengan sebutan Rantau. Paling tidak ada dua rantau penting orang Minangkabau:
pertama, Rantau Pesisir, yakni daerah dataran rendah di sebelah barat Bukit Barisan yang
berbatasan langsung dengan Samudera Hindia; dan kedua, daerah sekitar aliran sungai yang
bermuara ke arah timur Alam Minangkabau, yang lebih dikenal dengan sebutan Ekor Rantau
dan Kepala Rantau.
Konsep Rantau sebagai daerah penyebaran suku bangsa Minangkabau mengalami
peruluasan. Konsep yang pada mulanya hanya digunakan untuk menyebut daerah kolonisasi
orang Minangkabau di luar Alam Minangkabau, sekarang digunakan juga untuk menyebut
penyebaran orang Minangkabau keluar Pusat Alam Minangkabau, bahkan samapi ke Negeri
Sembilan, Malaysia. Sampai saat ini keturunan raja-raja di Negeri Sembilan masih sering
menghubungkan geneologisnya dengan suku bangsa Minangkabau. Fenomena ini juga
ditemukan di bebrapa daerah lainnya, seperti Kedah (Malaysia), dan Brunai Darussalam (Jane
Drakard, 1993: 4) .
2. Darek, Rantau, dan Pesisir
Secara adat letak geografis etnik Minangkabau dapat dibagi menjadi 3 yaitu daerah
darek (luhak), daerah rantau, dan pasisia (pesisir).
1. Daerah Darek(luhak)
Daerah Darek dianggap sebagai sumber dan pusat adat Minangkabau, dan
terletak di dataran tinggi. Wilayah darek terbagi lagi atas tiga wilayah yaitu Luhak
Tanah Datar, Luhak Agam, Luhak Limo Puluh Koto. Yang dikatakan luhak tanah
datar adalah daerah kabupaten tanah datar sekarang, sebagian sawahlunto,
sijunjuang, dan solok. Yan disebut luhak agam terdiri atas ampek angkek, Lawang
nan tigo balai, dan nagari sakaliliang Danau Maninjau. Sedangkan luhak limo puluh
koto adalah daerah yang terletak disepanjang batang sinamar, daerah sekitar
gunung sago bagian utara dan barat, seiliran batang Lampasi dan Batang Agam,
bahkan sampai ke sipisau pisau anyuik ( Pekanbaru sekarang).
2. Daerah Rantau
Daerah ini merupakan tempat merantau bagi orang orang dahulu. Dari Luhak
Nan Tigo mereka pergi kedaerah lain dan membuat negeri baru disana. Disana mereka
tetap memakai adat seperti adat daerah yang meeka tinggalkan. Hubungan mereka tidak
putus dengan negeri asal mereka di luhak nan tigo. Umumnya daerah ini erada
disepanjang aliran sungai dan bermuara ke timur, ke selat Malaka, bahkan Termasuk
Rantau Nan sembilan (negeri sembilan di Malaysia). Daerah rantau Minangkabau
dikenal juga dengan rantau nan tujuah jurai, yaitu rantau kampar, kuantan, XII Koto,
cati nan tigo, negeri sembilan, tiku pariaman, dan pasaman. Daerah tiku pariaman dan
pasaman dikenal juga dengan daerah pasisie.
3. Daerah Pasisie
Daerah ini meliputi daerah sepanjang pantai sebelah barat pulau sematera yang
memanjang dari barat laut ke tenggara. Dalam tambo disebutkan daerah pasisie yaitu
daerah nana nagari nagarinya talatak sabalah matohari ka tabanam, nan mamanjang dari
utara ka selatan. Jadi daerah ini mulai dari perbatasan daerah minangkabau dengan
daerah bengkulu sekarang yaitu muko muko sampai keperbatasan minangkabau dengan
daerah tapanuli bagian selatan.
3. Nagari Sebagai Komunitas Hidup Orang Minangkabau
Nagari adalah bentuk desa tradisional orang Minangkabau, sebagaimana halnya Huma di
Mentawai. Sebagai satu unit geografis dan kultural orang minangkabau, nagari memiliki
genesis kelahiranya, sebagai berikut:

“Taratak mulo dibuek,

Sudah taratak manjadi dusun,

Sudah dusun manjadi koto,

Sudah koto manjadi nagari”


Ungkapan di atas menunjukkan bahwa proses pembentukan nagari itu dimulai dari taratak.
Taratak adalah pemukiman yang berupa pondok-pondok (gubuk) yang dibangun di daerah
peladangan tempat di mana beberapa orang melakukan aktivitas pertanian. Tempat ini biasanya
berdekatan dengan nagari awal yang sudah dibangun sebelumnya oleh penduduk setempat.
Makin lama orang yang mendirikan pondok di taratak itu makain banyak sehingga daerah itu
berkembang menjadi sebuah dusun. Selanjutnya beberapa dusun membentuk pemukiman baru
menjadi koto yang lebih luas lagi. Terakhir beberapa koto menggabungkan diri menjadi sebuah
nagari. Demikianlah proses terbentuknya nagari-nagari di Minangkabau.

Secara adat dan budaya suatu nagari itu baru sah berdiri kalau sudah memiliki beberapa
syarat sebagai berikut: ”Ba balai ba musajik, bapandam pakuburan, basasok bajarami,
batapian tampek mandi”. Dalam bahasa Indonesia, artinya: “punya pasar dan mesjid,
mempunyai tempat pemakaman, memiliki sawah ladang, serta memiliki tempat pemandian
umum.

Nagari adalah federasi geneologis, di samping territorial yang longgar. Dalam hal ini Koto
sebagai bagian nagari berfungsi sebagai benteng, yaitu pusat pertahanan yang biasanya
dikelilingi oleh parit dan bambu runcing. Setelah Perang Paderi fungsi Koto sebagai pusat
pertahanan dihilangkan, yaitu dengan menimbun seluruh parit yang ada di nagari (MD.
Mansoer, 1970, 15).

Sebagai sebuah unit territoral dan kultural nagari memiliki batas-batas yang jelas serta
pemerintahannya sendiri. Pimpinan tertinggi di nagari dipegang oleh seorang Wali Nagari yang
dikontrol oleh sebuah badan legislatif nagari bernama Dewan Kerapatan Adat Nagari.
Anggota-anggota Dewan kerapatan Nagari terdiri dari para penghulu nagari.

Rantau merupakan daerah kolonisasi orang Minangkabau ke luar Luhak Nan Tigo (Pusat
Alam Minangkabau). Pada mulanya terdapat dua rantau terpenting orang Minangkabau, yakni
rantau pesisir dan rantau hilir. Rantau pesisir idalah daerah yang membentang di sebelah barat
Bukit Barisan dan berbatasan dengan Samudera Hindia. Di antara rantau`pesisir adanah Tiku,
Pariaman, Bandar X, dan Inderapura. Sementara rantau hilir aeelah daerah-daerah di sekitar
lembah sungai dan anak-aanak sungai yang bermuara ke bagian timur (Selat Malaka), di
antanya: Kampar, Bangkinang dan Teluk Kuantan.
Pada saat ini konsep rantau dalam etnik Minangkabau telah mengalami perubahan dan
perluasan, yang berarti sebagai daerah-daerah di luar Minangkabau. Rantau diartikan sebagai
tempat berusaha dan mencari sumber penghidupan baru bagi orang Minangkabau. Pergi
merantau berarti meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarga, baik untuk sementara
waktu, maupun untuk selamanya. Hal ini sesuai dengan anjuran adat Minangkabau sebagai
berikut: “Keratau madang dihulu, berbunga berbuah belum, kerantau bujang dahulu, di
rumah berguna belum”.

Di samping luhak, darek, dan rantau, orang Minangkabau mengenal konsepsi wilayah
lainnya, yakni kelarasan. Dalam memahami sejarah dan adat Minangkabau, sering orang
terbentur kepada pengertian yang rancu. Adakalanya luhak dan laras dikacaukan. Sebenarnya
pengertian Luhak ialah wilayah atau territorial.. Adapun laras atau kelarasan bukanlah
menyangkut wilayah atau teriterial. Kelarasan lebih merupakan sistem adat yang berlaku di
seluruh Minangkabau, dengan sendirinya berlaku juga di tiga luhak yang sudah disebutkan tadi.
Kelarasan atau sistem adat Koto Piliang umpamanya, terdapat di Luhak Tanah Data, Luhak
Agam, dan Luhak 50 Koto. Bahkan di luar luhak itu pun, seperti di daerah Solok dan daerah
Pesisir sistem adat menurut alur kelarasan itu juga berlaku Di sisi lain sistem adat menurut jalur
Bodi Caniago juga terdapat di seluruh luhak dan di luar luhak. Kelarasan yang ketiga yang
muncul belakangan ialah Kelarasan Koto Nan Panjang. Kelarasan ini agaknya sebagai
kompromi antara sistem kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago.

Ketika Belanda berkuasa di Minangkabau, dibentuknya pula suatu lembaga yang disebut
juga kelarasan. Pemegang kekuasaan di kelarasan buatan Belanda itu disebut Tuanku Lareh,
umpamanya Tuanku Lareh Simawang. Jabatan laras dalam lembaga Pemerintahan Hindia
Belanda, ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan laras dalam konteks Kelarasan Koto
Piliang, Bodi Caniago, dan Koto nan Panjang. Laras Belanda ini merupakan perpanjangan
tangan Belanda kepada beberapa kepala nagari dalam suatu kawasan tertentu. Kekuasaan
Tuanku Laras sangat besar dan kadang-kadang sangat menentukan. Tugas utama tuanku laras
ialah mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan Belanda, kemudian menjadi alat penekan dalam
pemungutan pajak. Di dalam kerajaan Pagaruyung, juga ada kerajaan satelit yang disebut
seperti “negara bagian” dari Pagaruyung. Daeah ini dipimpin pula oleh seorang raja yang
bedaulat. Namun sistem pemerintahan adat yang dijalankan di derah itu, tidak keluar dari apa
yang digariskan Pagaruyung. Diantara kerajaan satelit itu adalah Sungai Pagu yang terletak di
Solok bagian selatan.
4. Perubahan Geografis Alam Minangkabau
Sebelum kedatangan kolonialis Belanda, Alam Minangkabau merupakan daerah yang
otonom beserta nagari-nagari yang berada di dalamnya. Bahkan kekuasaan raja
Pagaruyungpun tidak mampu untuk merubahnya. Bagi orang Minangkabau Pagaruyung
dianggap sebagai sebuah kekuasaan asing di Minangkabau, dan bukan pusat kekuasaan di
Minangkabau. Nagari-nagari merupakan republik otonom, mirip dengan polis-polis di Yunani,
yang berada di bawah pimpinan penghulu nagari.
Dengan demikian Luhak merupakan kelompok nagari sebagai suatu unit teritorial politik
yang mandiri di bawah naungan Dewan Penghulu Nagari, dan tidak mewakili kekuasaan raja
seperti disebutkan di atas. Dalam kondisi demikian posisi raja-raja Minangkabau tidak obahnya
seperti raja-raja Melayu, di mana kekuasaan mereka tidaklah terlalu besar (Djoko Suryo, dkk,
2001: 153 – 154). Dalam konteks seperti inilah munculnya ungkapan Minangkabau: “Raja
benar raja disembah, raja zalim raja disanggah”
Setelah masuknya birokrasi Belanda ke Minangkabau, Alam Minangkabau berubah
nama menjadi Sumatra Weskust (Sumatera Barat), dan kawasan luhak menjadi bagian yang
berubah-rubah, seperi afdeeling (kabupaten), yang kemudian diwariskan sampai era
kemerdekaan. Sejak era kemerdekaan geografis Minangkabau juga mengalami banyak
perubahan, misalnya hilangnya beberapa nagari Minangkabau karena digabung ke propinsi
terdekat, seperti Bangkinang dan Teluk Kuantan di Riau. Menurut hitungan Westenenk jumlah
nagari di Minangkabau pada mulanya lebih dari lima ratus buah.
Perubahan yang lebih parah justru terjadi di masa Orde Baru, di mana nagari diganti dengan
desa sebagaimana lazimnya di daerah Jawa. Bahkan seringkali nagari dipecah ke dalam unit-
unit desa. Dalam era reformasi ini ada usaha untuk membangun kembali nagari sebagai desa
tradisional orang Minangkabau, namun ini ternyata menimbulkan banyak persoalan dan bahkan
menjadi polemik yang berkepanjangan.

Anda mungkin juga menyukai