Tugas 3 SKM - (Riannaldi-18046173)
Tugas 3 SKM - (Riannaldi-18046173)
NIM : 18046173
Tugas 3 Resume
Secara adat dan budaya suatu nagari itu baru sah berdiri kalau sudah memiliki beberapa
syarat sebagai berikut: ”Ba balai ba musajik, bapandam pakuburan, basasok bajarami,
batapian tampek mandi”. Dalam bahasa Indonesia, artinya: “punya pasar dan mesjid,
mempunyai tempat pemakaman, memiliki sawah ladang, serta memiliki tempat pemandian
umum.
Nagari adalah federasi geneologis, di samping territorial yang longgar. Dalam hal ini Koto
sebagai bagian nagari berfungsi sebagai benteng, yaitu pusat pertahanan yang biasanya
dikelilingi oleh parit dan bambu runcing. Setelah Perang Paderi fungsi Koto sebagai pusat
pertahanan dihilangkan, yaitu dengan menimbun seluruh parit yang ada di nagari (MD.
Mansoer, 1970, 15).
Sebagai sebuah unit territoral dan kultural nagari memiliki batas-batas yang jelas serta
pemerintahannya sendiri. Pimpinan tertinggi di nagari dipegang oleh seorang Wali Nagari yang
dikontrol oleh sebuah badan legislatif nagari bernama Dewan Kerapatan Adat Nagari.
Anggota-anggota Dewan kerapatan Nagari terdiri dari para penghulu nagari.
Rantau merupakan daerah kolonisasi orang Minangkabau ke luar Luhak Nan Tigo (Pusat
Alam Minangkabau). Pada mulanya terdapat dua rantau terpenting orang Minangkabau, yakni
rantau pesisir dan rantau hilir. Rantau pesisir idalah daerah yang membentang di sebelah barat
Bukit Barisan dan berbatasan dengan Samudera Hindia. Di antara rantau`pesisir adanah Tiku,
Pariaman, Bandar X, dan Inderapura. Sementara rantau hilir aeelah daerah-daerah di sekitar
lembah sungai dan anak-aanak sungai yang bermuara ke bagian timur (Selat Malaka), di
antanya: Kampar, Bangkinang dan Teluk Kuantan.
Pada saat ini konsep rantau dalam etnik Minangkabau telah mengalami perubahan dan
perluasan, yang berarti sebagai daerah-daerah di luar Minangkabau. Rantau diartikan sebagai
tempat berusaha dan mencari sumber penghidupan baru bagi orang Minangkabau. Pergi
merantau berarti meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarga, baik untuk sementara
waktu, maupun untuk selamanya. Hal ini sesuai dengan anjuran adat Minangkabau sebagai
berikut: “Keratau madang dihulu, berbunga berbuah belum, kerantau bujang dahulu, di
rumah berguna belum”.
Di samping luhak, darek, dan rantau, orang Minangkabau mengenal konsepsi wilayah
lainnya, yakni kelarasan. Dalam memahami sejarah dan adat Minangkabau, sering orang
terbentur kepada pengertian yang rancu. Adakalanya luhak dan laras dikacaukan. Sebenarnya
pengertian Luhak ialah wilayah atau territorial.. Adapun laras atau kelarasan bukanlah
menyangkut wilayah atau teriterial. Kelarasan lebih merupakan sistem adat yang berlaku di
seluruh Minangkabau, dengan sendirinya berlaku juga di tiga luhak yang sudah disebutkan tadi.
Kelarasan atau sistem adat Koto Piliang umpamanya, terdapat di Luhak Tanah Data, Luhak
Agam, dan Luhak 50 Koto. Bahkan di luar luhak itu pun, seperti di daerah Solok dan daerah
Pesisir sistem adat menurut alur kelarasan itu juga berlaku Di sisi lain sistem adat menurut jalur
Bodi Caniago juga terdapat di seluruh luhak dan di luar luhak. Kelarasan yang ketiga yang
muncul belakangan ialah Kelarasan Koto Nan Panjang. Kelarasan ini agaknya sebagai
kompromi antara sistem kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago.
Ketika Belanda berkuasa di Minangkabau, dibentuknya pula suatu lembaga yang disebut
juga kelarasan. Pemegang kekuasaan di kelarasan buatan Belanda itu disebut Tuanku Lareh,
umpamanya Tuanku Lareh Simawang. Jabatan laras dalam lembaga Pemerintahan Hindia
Belanda, ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan laras dalam konteks Kelarasan Koto
Piliang, Bodi Caniago, dan Koto nan Panjang. Laras Belanda ini merupakan perpanjangan
tangan Belanda kepada beberapa kepala nagari dalam suatu kawasan tertentu. Kekuasaan
Tuanku Laras sangat besar dan kadang-kadang sangat menentukan. Tugas utama tuanku laras
ialah mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan Belanda, kemudian menjadi alat penekan dalam
pemungutan pajak. Di dalam kerajaan Pagaruyung, juga ada kerajaan satelit yang disebut
seperti “negara bagian” dari Pagaruyung. Daeah ini dipimpin pula oleh seorang raja yang
bedaulat. Namun sistem pemerintahan adat yang dijalankan di derah itu, tidak keluar dari apa
yang digariskan Pagaruyung. Diantara kerajaan satelit itu adalah Sungai Pagu yang terletak di
Solok bagian selatan.
4. Perubahan Geografis Alam Minangkabau
Sebelum kedatangan kolonialis Belanda, Alam Minangkabau merupakan daerah yang
otonom beserta nagari-nagari yang berada di dalamnya. Bahkan kekuasaan raja
Pagaruyungpun tidak mampu untuk merubahnya. Bagi orang Minangkabau Pagaruyung
dianggap sebagai sebuah kekuasaan asing di Minangkabau, dan bukan pusat kekuasaan di
Minangkabau. Nagari-nagari merupakan republik otonom, mirip dengan polis-polis di Yunani,
yang berada di bawah pimpinan penghulu nagari.
Dengan demikian Luhak merupakan kelompok nagari sebagai suatu unit teritorial politik
yang mandiri di bawah naungan Dewan Penghulu Nagari, dan tidak mewakili kekuasaan raja
seperti disebutkan di atas. Dalam kondisi demikian posisi raja-raja Minangkabau tidak obahnya
seperti raja-raja Melayu, di mana kekuasaan mereka tidaklah terlalu besar (Djoko Suryo, dkk,
2001: 153 – 154). Dalam konteks seperti inilah munculnya ungkapan Minangkabau: “Raja
benar raja disembah, raja zalim raja disanggah”
Setelah masuknya birokrasi Belanda ke Minangkabau, Alam Minangkabau berubah
nama menjadi Sumatra Weskust (Sumatera Barat), dan kawasan luhak menjadi bagian yang
berubah-rubah, seperi afdeeling (kabupaten), yang kemudian diwariskan sampai era
kemerdekaan. Sejak era kemerdekaan geografis Minangkabau juga mengalami banyak
perubahan, misalnya hilangnya beberapa nagari Minangkabau karena digabung ke propinsi
terdekat, seperti Bangkinang dan Teluk Kuantan di Riau. Menurut hitungan Westenenk jumlah
nagari di Minangkabau pada mulanya lebih dari lima ratus buah.
Perubahan yang lebih parah justru terjadi di masa Orde Baru, di mana nagari diganti dengan
desa sebagaimana lazimnya di daerah Jawa. Bahkan seringkali nagari dipecah ke dalam unit-
unit desa. Dalam era reformasi ini ada usaha untuk membangun kembali nagari sebagai desa
tradisional orang Minangkabau, namun ini ternyata menimbulkan banyak persoalan dan bahkan
menjadi polemik yang berkepanjangan.