Anda di halaman 1dari 5

Pengantar Redaksi Dinamika Konflik Kekerasan Pasca Orde Baru

Erupsi konflik kekerasan–pada awal kejatuhan rezim Soeharto– menyebar hampir di


seluruh wilayah Indonesia. Kerusuhan marak terjadi di beberapa kota besar di Indonesia,
seperti Jakarta. Serangkaian kekerasan komunal berkepanjangan yang bernuansa etnis dan
agama muncul di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Di samping itu, aksi-aksi kekerasan atas
nama pro kemerdekaan di Aceh dan Papua mengalami peningkatan tajam, terlebih ketika
negara merespon dengan operasi militer yang masif. Gejolak politik keamanan di provinsi Timor
Timur juga menggeliat dan kelompok pro kemerdekaan semakin progresif menuntut pemisahan
diri dari Indonesia. Rentetan kekerasan tersebut– berdasarkan data SNPK (Sistem Nasional
Pemantauan Kekerasan) di tujuh wilayah (Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Papua)–telah mengakibatkan 16.113 orang kehilangan
nyawa dan ribuan keluarga harus mengungsi. Periode tersebut (1998-2004) merupakan
pengalaman kelam dalam catatan sejarah Indonesia.
Maraknya konflik kekerasan merupakan resiko fase awal pemerintahan menuju transisi
demokrasi, terlebih ketika para elite terancam oleh perubahan politik (Snyder 2000:310).
Jacques Bertrand (2010:86) menganggap bahwa periode awal transisi di Indonesia adalah titik
kritis (critical junctures). Momen perubahan dari rezim otoriter menjadi demokratis sangat
rentan dengan beragam gejolak. Terlebih dengan bangunan institusi demokrasi yang masih
rapuh, konflik kekerasan di tengah masyarakat menjadi fenomena yang tidak terelakan. Di sisi
lain, kelompok-kelompok masyarakat memanfaatkan posisi negara yang lemah dengan
melakukan berbagai upaya kekerasan terhadap kelompok lain atas nama marjinalisasi selama
rezim Orde Baru (Klinken 2007:64-71). Ini yang disebutkan oleh Francis Stewart (2002) sebagai
faktor ketidaksetaraan horizontal (horizontal inequality). Pada awal transisi demokrasi di
Indonesia kasus-kasus kekerasan, khususnya konflik horizontal, turut dipengaruhi oleh adanya
hubungan yang tidak setara antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat. iv Delapan tahun
proses transisi demokrasi berjalan, fenomena konflik kekerasan mengalami masa-masa krusial
yakni upaya damai. Beberapa kalangan menganggap konflik kekerasan tidak akan dapat
diselesaikan dan akan menggiring Indonesia terpecah belah menjadi negara-negara otonom.
Akan tetapi, melalui kolaborasi antara pemerintah, pihakpihak yang berkonflik, serta para
pemangku kepentingan lain, konflik kekerasan yang berkepanjangan dapat dihentikan dan
diselesaikan. Serangkaian upaya damai (peace agreement) dilakukan di wilayahwilayah konflik.
Perjanjian Malino 1 dan 2 merupakan kesepakatan damai yang menghentikan aksi-aksi
kekerasan di Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah), Maluku, dan Maluku Utara. Selain itu, melalui
MoU Helsinki pemerintah dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sepakat untuk menghentikan
konflik yang telah terjadi puluhan tahun dan lebih memilih untuk menyelesaikan persoalan
dengan cara-cara yang lebih demokratis (non tindakan militer).
Setelah melewati pengalaman kelam di awal transisi demokrasi, penting melihat
bagaimana dinamika konflik kekerasan saat ini di Indonesia, terlebih ketika fondasi demokrasi
perlahan mulai terbangun dan berjalan. Beberapa sarjana sosial melihat bahwa saat ini
Indonesia telah masuk dalam tahapan konsolidasi demokrasi. Bahkan, pandangan optimis
diutarakan oleh Amitav Acharya (2014:17- 19) yang menyebutkan bahwa Indonesia saat ini
merupakan negara demokrasi yang paling strategis di kawasan Asia. Ia mengatakan bahwa
pemerintahan SBY selama sepuluh tahun telah berhasil menjalankan demokrasi, pembangunan,
dan stablitas secara bersamaan yang pada akhirnya membentuk lingkaran kebijakan (virtuous
circle). Melalui hal tersebut, Acharya melihat bahwa Indonesia telah keluar dari keterpurukan di
awal masa transisi. Namun, pandangan optimis para sarjana sosial terhadap kemajuan
demokrasi Indonesia patut dilekatkan dengan dinamika konflik kekerasan saat ini. Pandangan
positif tersebut seakan meninggalkan adanya fenomena pergeseran dalam tren dan pola konflik
kekerasan yang berjalan bersamaan dengan laju gerak demokrasi dan pembangunan di
Indonesia. Hal ini penting diperhatikan karena kecenderungan di negara-negara yang memiliki
pengalaman konflik kekerasan berkepanjangan akan menghadapi siklus berulangnya kekerasan
(The World Development Report 2011). Collier, Hoeffler, dan Soderbom (2006) juga
menyebutkan bahwa masyarakat yang pernah mengalami konflik kekerasan berkepanjangan
cenderung memiliki resiko v mengalami insiden-insiden kekerasan kembali. Dengan demikian,
patut dicermati beragam potensi konflik kekerasan di Indonesia guna menghindari berulangnya
pengalaman masa lalu. Selanjutnya, tim peneliti The Habibie Center (THC) sejak tahun 2012
hingga saat ini fokus mengamati dinamika konflik kekerasan di Indonesia. Dari beragam kajian
yang dihasilkan, secara umum konflik kekerasan mengalami penurunan dari segi insiden dan
dampak kekerasan sejak tahun 2005 (Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC 2013). Namun,
konflik kekerasan mulai kembali mengalami tren peningkatan secara perlahan. Dari hasil kajian
tersebut diketahui bahwa saat ini tidak terdapat konflik kekerasan berkepanjangan dalam skala
masif. Akan tetapi, insiden-insiden konflik kekerasan menyebar dalam skala dan frekuensi yang
lebih kecil, tidak lagi terkonsentrasi di beberapa wilayah seperti di awal masa transisi. Tak hanya
itu, pola kekerasan cenderung lebih sporadis dan terlokalisasi di wilayah tertentu.
Saat ini, hal yang patut diperhatikan adalah fenomena konflik kekerasan kerap terjadi di
wilayah-wilayah urban dan tidak terkonsentrasi di pedesaan atau wilayah terpencil. Selain tren
dan pola, saat ini hasil kajian tim peneliti THC mencermati adanya perubahan dan pergeseran
jenis konflik kekerasan. Terdapat lima jenis konflik kekerasan yang cukup dominan dalam
sepuluh tahun terakhir (2005-2014) di Indonesia. Pertama, konflik kekerasan terkait isu-isu
politik lokal. Gairah demokrasi lokal sebagai salah satu agenda reformasi disaat bersamaan
menciptakan potensi konflik kekerasan. Ini dapat dilihat sejak pelaksanaan Pilkada dimulai
tahun 2005, rentetan insiden kekerasan seringkali terjadi dalam peristiwa politik tersebut. Hasil
kajian THC mencatat bahwa selama 10 tahun pelaksanaan Pilkada terjadi 1.323 insiden
kekerasan di 16 wilayah di Indonesia (Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC, 2015).
Kekerasan didominasi oleh insiden-insiden dalam bentuk perusakan terhadap alat-alat
peraga dan posko-posko tim kampanye kandidat. Faktor elite yang terlihat belum memiliki
kedewasaan dalam berdemokrasi turut berkontribusi terhadap maraknya kekerasan dalam
pelaksanaan Pilkada. Tidak hanya kapasitas lembaga penyelenggara yang masih rentan
terhadap kooptasi calon kepala daerah atau partai politik yang turut memicu munculnya
kekerasan dalam pelaksanaan Pilkada. Kondisi ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan demokrasi
lokal yang damai menjadi salah satu tantangan penting. vi Kedua, konflik kekerasan terkait isu
sumber daya. Pasca reformasi, konflik kekerasan terkait sumber daya, khususnya lahan,
menjadi salah satu persoalan yang krusial di Indonesia. Dari hasil kajian THC, insiden kekerasan
terkait persoalan tersebut mengalami peningkatan yang signifikan (Kajian Perdamaian dan
Kebijakan 2013). Konflik tersebut menyebar di beberapa wilayah, seperti Sumatera Utara,
Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, NTT, Maluku, dan Papua. Konflik
perebutan lahan antara negara dan masyarakat masih menjadi persoalan yang kerap memicu
insiden kekerasan. Akan tetapi, muncul varian konflik yang selama masa Orde Baru seakan tidak
terpublikasi, yakni konflik kekerasan terkait isu lahan yang melibatkan perusahaan dan
masyarakat. Jenis konflik ini mulai mengemuka ketika proses desentralisasi dilakukan di tingkat
lokal. Ketegangan muncul ketika masyarakat menganggap perusahaan merebut lahan mereka,
sedangkan pihak perusahaan merespon dengan melakukan reaksi keras, bahkan mengunakan
jasa keamanan. Selain itu, konflik lahan seringkali terjadi antara masyarakat dan masyarakat.
Umumnya, persoalan tersebut muncul akibat carut-marut tata kelola lahan di Indonesia, seperti
pendataan, sertifikasi, dan batas lahan. Ketiga, konflik kekerasan terkait isu-isu identitas.
Berbeda dengan di awal masa transisi, saat ini konflik terkait isu-isu identitas yang dominan
adalah kekerasan antar kampung yang cenderung tidak dipengaruhi oleh isu etnik maupun
agama.
Fenomena ini cukup menarik karena seringkali terjadi akibat dipicu persoalan-persoalan
sepele (seperti mabuk, pelecehan seksual, kriminalitas, dan lainnya). Jika dilihat lebih jauh,
ketidaksetaraan horizontal menjadi akar permasalahan yang melekat dalam kasus-kasus
kekerasan antar kampung. Pada beberapa kasus, persoalan intoleransi antar komunitas agama
juga mengemuka dalam sepuluh tahun terakhir. Meskipun tidak terjadi secara masif dan
frekuensi insiden yang kecil, namun kasus-kasus kekerasan terkait isu intoleransi masih dapat
dijumpai di beberapa wilayah Indonesia. Hal yang patut diperhatikan adalah kasus tersebut
tidak terjadi di wilayah yang pernah mengalami konflik kekerasan bernuansa agama, seperti
Poso dan Ambon.
Namun, kasuskasus tersebut muncul di wilayah lain yang bahkan selama ini bukan menjadi
hotspot terkait isu-isu intoleransi. Pada tahun 2015, dua kasus pembakaran tempat ibadah
telah terjadi di Aceh dan Papua. Isu intoleransi patut menjadi perhatian semua pihak
mengingat, persoalan tersebut dapat mengakibatkan collateral damage. vii Keempat, kekerasan
terkait separatisme di Papua. Persoalan ini memang masih menjadi pekerjaan rumah
pemerintah dalam upaya menyelesaikan aksi-aksi separatisme di Papua. Sejak awal transisi
demokrasi hingga saat ini, masyarakat Papua masih dihantui oleh insiden-insiden separatisme.
Bahkan sepanjang tahun 2014, kekerasan terkait separatisme di Papua terjadi sebanyak 42
insiden yang mengakibatkan 34 tewas, 37 cedera, dan enam bangunan rusak. Jika dibandingkan
tahun 2013, insiden kekerasan terkait separatisme meningkat sekitar 31% dan berdampak
korban tewas meningkat sekitar 21%. Dari hasil kajian tim peneliti THC, kekerasan terkait
separatisme tidak melulu terkonsentrasi di hutan (Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC 2014).
Saat ini, wilayah perkotaan di Papua menjadi salah satu lokasi yang kerap terjadi insiden
kekerasan terkait separatisme. Dinamika kekerasan ini penting dicermati oleh seluruh
pemangku kepentingan baik di level nasional maupun lokal. Kelima, kekerasan di perkotaan
(urban violence).
Hasil kajian tim peneliti THC menunjukan bahwa persoalan ini mulai terekam sejak tahun
2005 dan mengalami peningkatan secara perlahan di setiap tahunnya (Kajian Perdamaian dan
Kebijakan THC 2015). Fenomena ini kerap luput dari pengamatan ataupun analisis para peneliti
maupun penggiat perdamaian. Kekerasan di perkotaan muncul akibat pembangunan perkotaan
yang semakin masif di Indonesia yang membuka ruang munculnya insiden-insiden kekerasan.
Biasanya, kekerasan di perkotaan terjadi secara spontan serta tidak direncanakan sebelumnya.
Kekerasan yang muncul seringkali merupakan penghakiman massal terhadap para pelaku
pencurian. Tidak hanya itu, insiden-insiden kekerasan juga kerap dipicu oleh ketersinggungan
pelaku kekerasan. Meskipun, kekerasan di perkotaan kerap dianggap bukan merupakan
persoalan serius karena pemicu yang relatif remehtemeh dan terjadi dalam skala yang kecil,
namun jika diakumalasi akan diketahui dampak korban tewas akibat kekerasan tersebut
cenderung besar. Akibat yang cukup serius juga dapat muncul jika kekerasan secara terus-
menerus terjadi. Jika dilihat lebih jauh, konflik kekerasan di Indonesia pasca Orde Baru berjalan
sangat dinamis mengikuti laju pembangunan, demokrasi, dan dinamika masyarakat. Hal ini
patut menjadi perhatian pemerintah dan juga para sarjana sosial yang fokus terhadap isu-isu
tersebut. SOPAR PERANTO Peneliti Konflik Kekerasan–The Habibie Center viii
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, Amitav. 2004. Indonesia Matters: Asia’s Emerging Democratic Power. Singapore: World
Scientific, Co, Pte, Ltd.

Bertrand, Jacques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University
Press.

Klinken, Gerry van. 2007. Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars.
London: Routledge.

Snyder, Jack. 2000. From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict. New York,
London: W.W. Norton & Company.

Stewart, Francis. 2002. Horizontal Inequalities: A neglected Dimension of Development. QEH Working
Paper Series No.81. Oxford: Queen Elizabeth House.

The Habibie Center. 2013. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April
2013) dan Kekerasan dalam Pemilukada. Edisi 04/Agustus 2013.

------. 2013. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Peta Kekerasan di Indonesia (Mei-Agustus 2013) dan
Konflik Lahan Antar Warga di Provinsi NTT. Edisi 05/November 2014.

------. 2014. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Peta Kekerasan di Indonesia (September-Desember 2013)
dan Konflik Antar Kelompok di Indonesia. Edisi 06/Maret 2014.

------. 2015. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Peta Kekerasan di Indonesia (September-Desember 2014)
dan Kekerasan Rutin dan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Edisi 09/April 2015.

------. 2015. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Potensi dan Tantangan Konflik Kekerasan dalam Pilkada
Serentak 2015. Edisi 10/November 2015. World Bank. 2011. World Development Report 2011: Conflict,
Security, and Development. Washington, DC: Author.

Anda mungkin juga menyukai