Anda di halaman 1dari 6

Menjadi Seorang Minimalis

By : K drivama (Founder Arena Alternatif)

[Kelas ini disusun sebagai panduan praktis memahami minimalisme dan menjadi seorang minimalis
dengan menggunakan sumber utama yakni Good Bye Things, Seni Hidup Minimalis Ala Orang Jepang
oleh Fumio Sasaki.]

1. Mengapa menjadi minimalis?

Semua orang pada dasarnya lahir tanpa barang. Semua kita pada dasarnya mengawali hidup sebagai
minimalis. Tapi zaman berkembang dan pola hidup berubah, kita kemudian menjelma menjadi insan
yang ingin menjadi penumpuk barang atau sebut saja maksimalis. Seperti apa beda pola hidup
minimalis vs maksimalis?

Perhatikan 2 ilustrasi berikut

Minimalis adalah saat kamu mengemas barang-barangmu pada sebuah koper untuk berlibur.
Kamu hanya membawa apa yang anggap sangat penting. Pada saat di bandara, kamu mengeluarkan
tiket yang tersimpan ditempat yang telah kamu persiapkan dan kemudian memberikannya kepada
petugas saat diminta. Sesampainya di hotel/penginapan kamu hanya stay disana dengan furtinur
atau perabot yang dirancang cukup untuk memenuhi kebutuhanu sebagai clien. Mereka tidak
menaruh CD favorit, game consol, gitar, atau barang-barang personal mu bukan? Alhasil, kamu
hanya memikirkan segala hal tentang liburan kamu dan tidak memikirkan rutinitas seperti berberes
barang. Kamu merasa lega dan bahagia sepanjang kamu menghabiskan masa liburan. Itulah
mengapa orang-orang sangat merindukan liburan. Sementara itu..

Maksimalis adalah saat kamu pulang dari liburan. Kamu mulai menumpuk barang berupa oleh-oleh
atau segala hal yang kamu anggap menarik saat kamu berlibur. Kamu menempatkannya di berbagai
ruang yang masih kosong. Baik itu di kopermu atau bahkan dijaketmu. Atau bahkan, sangkin
banyaknya barang yang kini kamu bawa bersama kamu, kamu mensiasati penempatan beberapa
barang. Namun pada akhirnya, kamu sulit menemukan boarding pass tiket pesawat. Kamu mulai
bertanya. Dimana ya aku meletakkannya ? apakah di kompartemen kecil koper? Atau saku jaket
sebelah kanan? Atau saku celana?. Sementara itu, orang-orang yang juga antri mulai melihat kamu
dengan sinis, sehingga kamu mulai merasa cemas dan risau dengan kondisi tersebut. Kamu
kerepotan karena barang-barang yang kamu tumpuk tidak lagi kamu dapat kendalikan. Justru
merekalah yang sekarang mengendalikan kamu.

2. Mengapa kita menumpuk barang?

1. Kita terjebak pada rasa ingin. Kita memprediksi masa depan akan lebih indah jika kita
memperoleh yang kita inginkan. Misalnya pekerjaan yang lebih bagus, jam baru, rumah yang baru,
dll. Padahal semua hal yang kita miliki hari ini adalah hal-hal yang sebelumnya kita inginkan.

2. Kita terjebak pada perasaan, khususnya rasa bosan. Padahal, perasaan itu sendiri sebetulnya
sangat sulit kita ramal. Kita tahu bahwa lama kelamaan kita merasa bosan terhadap barang yang
dibeli. Jadi, bukankah kita sadar bahwa membeli barang baru itu tidak ada gunanya?
3. Memperlihatkan diri sendiri. Karena kamu ingin memperlihatkan nilai atau persona kamu, kamu
menumpuk barang-barang yang dapat mencerminkan nilai atau persona tersebut. Misalnya
tumpukan buku, untuk melihatkan bahwa kamu pintar. Koleksi CD/DVD musisi ternama untuk
menunjukkan kamu anak seni yang asik. Baju-baju mewah yang menunjukkan kamu anak hits. Atau
berbagai pernak pernik dari berbagai negara yang mana kamu maksudkan kepada setiap orang yang
berkunjung ke rumah kamu bahwa kamu telah memiliki banyak pegalaman di berbagai negara.

4. Kita salah sangka pada korelasi harga atau jumlah barang dengan kebahagiaan. Memiliki banyak
barang, bukan berarti akan membuat kita bahagia. Ada berapa banyak orang kaya yang bunuh diri?
Memiliki mobil sport yang bernilai 1 M bukan berarti membuat kamu 5x bahagia dari orang yang
memiliki mobil senilai 200 Jt. Bahagia justru sebetulnya muncul disaat kebutuhan dapat terjawab
oleh suatu barang disaat atau kondisi yang bertepatan. Contoh, mantel plastik harga 7000 akan
sangat membahagiakan disaat kamu terjebak hujan menuju kampus dan kemudian ada orang yang
meminjamkan mantel plastik sehingga kamu tidak terlambat masuk kelas yang notabene absen
kamu telah mencapai angka maksimal. Alhasil, kamu tidak harus mengulang kelas tersebut di tahun
depan.

Seiring dengan kebiasaan yang selalu ingin menumpuk barang, barang-barang yang ditumpuk
menjelma menjadi seolah-olah “diri” kita sendiri. Kita menyangka bahwa barang-barang tersebut
mewakili nilai kita atau jati diri kita. Kita selalu menambahnya dan berharap menjadi diri kita yang
sepenuhnya dan seutuhnya. Akan tetapi, tumpukan barang tersebut akhirnya malah merepotkan diri
kita sendiri dan kemudian menguasai diri kita yang telah sangat suntuk dengan berbagai barang di
rumah/kamar. Lalu, kita menjadi sangat repot dengan semua barang-barang yang kita tumpuk.
Ambil contoh dari Sasaki. Ia membuat apartemennya mirip “kandang” karena terlalu banyak barang
yang ditumpuk. Alhasil semangat hidup menurun karena setiap pagi ia bangun di apartmen yang
sangat sumpek dengan berbagai barang. Kesehariannya terasa sangat membosankan dan sering kali
berimbas pada dunia pekerjaan. Ia sering stress dan mengkosumsi minuman keras. Ketika ia merasa
hidupnya begitu-begitu saja, ia sering menyalahkan nasip. Mulai dari pekerjaan, berat badan, atau
kebiasaannya yang buruk. Tentu saja, gaya hidup seperti ini tidak mencerminkan kebahagiaan
sedikitpun.

Menanggapi fenomena inilah, minimalisme mulai digaungkan kembali sebagai gaya hidup. Menjadi
seorang minimalis merupakan salah usaha untuk menjadi bahagia dengan mempertahankan kondisi
yang ada pada ilustrasi 1 yakni berlibur. Logikanya, ketika kamu memiliki sedikit barang, kamu akan
lebih fokus untuk hal-hal yang lebih esensial bagi kebahagiaanmu. Oleh karena itu, minimalisme
bukanlah tujuan. Ia hanya jalan untuk menjadi bahagia dengan cara mengurangi ketergantungan kita
terhadap barang –barang yang bersifat tidak begitu esensial.

3. (55) Kiat-kiat berpisah dengan barang

Prinsip :

1. Pahami bahwa dengan membuang, sebetulnya ada yang bertambah

Ketika kamu membuang banyak yang tidak kamu perlu, kamu sebetulnya mendapatkan
banyak hal baru semisal waktu, ruang, kebebasan, energi, dll
2. Satu masuk, satu keluar. Ini golden rule minimalisme. Jika kamu ingin membeli barang
baru, katakan tas, jam, atau apapun. Pastikan yang dibeli memang dibutuhkan dan jika
sebelumnya kamu telah punya tapi rusak? Jangan ditumpuk!
3. Donasikan, Jual, atau Buang barang-barang yang tidak mendasar di daftar kebutuhan
kamu. Opsi terakhir : to be determined
4. Ingat, merapikan tidak sama dengan meminimalkan.

Steps :

1. Berantas dahulu sarang si barang, bukan barang itu sendiri. Misalnya, berantas dulu lemari
box kamu, baru kamu sortir barang-barang apa saja yang di box yang kamu butuhkan. Dan
jangan simpan box itu lagi. Mulailah dengan kategori bukan lokasi. Lakukan secara berurut
Clothes, Books, Papers, Miscellany, dan Mementos (Sengaja seperti ini, karena yang diawal
harus lebih mudah agar pada saat melepaskan barang- barang yang punya momen tertentu
juga mudah).
2. Bedakan keinginan dengan kebutuhan. Tanyakanlah : jika barang ini hilang, apakah akan
dibeli lagi? jika jawabannya ya, berarti kita membutuhkannya. Tanyakan : does it spark joy?
3. Mulai dengan membuang 1 barang yang merupakan benar-benar sampah
4. Kurangi barang-barang kembar. Misalnya kamu punya tiga gunting? 10 sepatu? Atau 3 tas?
5. Buang barang yang sudah satu tahun menganggur. Misalnya kamu membeli ikat pinggang
yang ternyata sudah 1 tahun tidak pernah kamu pakai
6. Buang barang yang dibeli hanya demi citra diri. Kamu tetap bisa memiliki nilai tertentu tanpa
harus menyimpan barang. Contoh, menjadi pintarlah tanpa aharus menumpuk buku. Atau
buang barang-barang yang sebetulnya bukan diri kamu. Misalnya gitar yang dulu pernah
dibeli hanya karena kamu ingin menjadi musisi, namun pada faktanya kamu tidak pernah
serius menekuninya.
7. Dokumentasikan barang-barang yang sulit dibuang. Misalnya, foto atau surat-surat masa
kecil, scan, masukkan ke drive. Ingat, membuang barang itu, tidak sama dengan membuang
kenangannya.
8. Biarkan ruang tak terpakai tetap kosong. Area tanpa barang memberikan kita rasa merdeka
dan menjaga pikiran kita terbuka pada hal-hal yang lebih penting dalam hidup.
9. Berhenti berpegang pada prinsip kalau besok berguna gimana?
Mengutip Daisuke Yusomi ; kita sebaiknya menganggap toko sebagai gudang pribadi
10. Jadilah makhluk sosial dengan meminjam barang atau sewa saja yang bisa disewa
Keinginan mempertahankan suatu benda dimaksudkan untuk tidak merepotkan orang lain.
Namun seringkali membuat kita terisolasi.
11. Tidak perlu mencoba cara-cara kreatif saat meminimalkan barang. Misalnya menghias botol
plastik dengan cantik untuk toples atau tempat pernak pernik. Jika barang itu menyimpit dan
bikin sumpek buang!
12. Jual saja barang tersebut ke tempat lelang dan tidak usah pertimbangkan harga awal barang.
Pikirkanlah bagaimana rasa merdeka yang akan didapat ketika kita menyingkirkan barang
yang tidak perlu.
13. Tidak perlu membeli karena murah, tidak perlu mengambil karena gratis. Ingatlah langkah
awal diatas, simpan saja yang perlu.
14. Jangan terjebak dengan istilah mubazir. Jika barang kamu tergeletak begitu saja, itu juga
mubazir.
15. Barang yang dilepaskan justru akan diingat selamanya. Membuang barang juga bukan
berarti membuang jati diri kita atau kenangan akan barang itu.
16. Bersyukur. Kita mesti bersyukur pada pemberi barang, meski membuang barang tersebut.
Sebab niatnya memberi itulah yang penting. Dalam Al-Qur’an juga terdapat firman yang
berbunyi “jika kamu mensyukuri nikmatku, maka akun ku tambah..” barangkali, cara Tuhan
menambah nikmat juga bisa dalam bentuk rasa lega atau bahagia.

4. Menjadi Minimalis Garis Keras

-Sedikit Kenyamanan, membuat kita lebih bahagia- Sasaki. Ia memilih untuk menggunakan tenugui
(semacam handuk kecil yang tipis) untuk mengeringkan tangan, piring, bahkan badan. Logikanya
sederhana. Karena kita selalu beradaptasi dengan keadaan, menggunakan tenugui sebagai handuk,
lama kelamaan akan membuat kita juga terbiasa dan bahagia dengan itu. The Secret of happiness in
not found in seeking more, it is developing the capacity to enjoy less – Socrates. Dengan
mengurangi barang kita akan lebih menjadi diri sendiri (orisinil).

Coba pikirkan cara-cara yang biasa untuk memanfaatkan barang.

Ambil contoh Hiji yang mengganti konsep tempat tidur sofa mejadi sofa tempat tidur. Ia benar-benar
memilih sofa matras untuk sekaligus menjadi tempat tidurnya karena ukurannya lebih kecil. Atau
kita hanya perlu laptop yang online untuk menonton TV, sehingga kita tidak perlu TV. Marie Kondo
yang menggantung spon sehingga ia tidak memerlukan tempat spon, bahkan sabun badan bisa
digunakan untuk mencuci baju atau piring!

Keinginan membuang dan memiliki adalah dua sisi mata uang yang sama.

Mengatakan “ih barangmu banyak banget, payah! Persis sama seperti, “ihh kamu kok belum punya
barang ini sih? Payah! Ingatlah minimalisme bukanlah kompetisi. Hati-hati dengan jebakan tersebut
dan temukanlah minalismemu sendiri.

Digital Minimalism

Dalam digital minimalism, interaksi dapat dianggap sama dengan barang. Artinya, untuk dapat
efektif dan bahagia dalam berselancar di dunia maya, kita harus memastikan bahwa tidak ada
interaksi yang teralu banyak, sehingga kita melupakan interaksi yang sangat esensial , e.g sahabat,
keluarga atau figur publik yang berpengaruh langsung ke hidup kamu. Untuk memulai digital
minimalism, lakukan steps berikut ini.

1. Coba renungi ulang : apakah akun yang saya follow sudah merupakan akun yang berdampak
positif dan langsung ke hidup saya? Prinsipnya hanya 2 ; mute atau unfollow. Begitu juga dengan
kontak.

2. Coba tentukan jenis konten apa yang kamu perlukan? Jangan biarkan konten-konten yang tidak
ada kaitannya dengan hidup kamu mendominasi. Cobalah unsubcribe konten-konten tersebut,
sisakan yang penting-penting saja. Khusus untuk hiburan, limit kuantitasnya.

3. Instal Apps yang esensial saja. Jika ada file yang masih ragu berguna atau tidak, masukkan ke
cloud. Prinsipnya adalah ruang penyimpanan kamu sama dengan ruang kamar atau rumah kamu.
5. Hal-hal yang berubah sejak menjadi minimalis

1) Lebih memiliki banyak waktu.

Tidak capek shopping, mengantri, menata, dan merawat, membereskan, mencari barang ketika perlu
suatu barang. Karena waktu yang digunakan untuk mengurus barang telah dipangkas.

2) Menjadi lebih bebas.

Kini kamu hanya memiliki sedikit barang (lebih banyak uang) dan banyak waktu. Maka, kamu bisa
saja melakukan hal-hal seperti bepergiaan, nongkrong, dan yang terpenting bebas dari rasa tamak.

3) Tidak membandingkan diri dengan orang lain

Sedari awal, ketika kamu tidak tergantung banyak barang, kamu tidak akan terjebak dengan
kompetisi menumpuk banyak harta benda. Oleh karnanya, kamu akan berhenti membandingkan diri
sendiri dengan orang lain.

4. Menjadi lebih terlibat dengan lingkungan sekitar.

Banyak waktu yang kamu punya akan membuat kamu lebih berkativitas di lingkungan sekitar

5. Daya Fokus membaik

Bagi sasaki, barang dapat mengirimkan “pesan-pesan sunyi.” Misal ; buku yang tergeletak akan
mengirimkan pesan-pesan sunyi : “bacalah aku, kamu sedang bosan..” lebih banyak barang sama
dengan leb ih banyak pesan-pesan sunyi yang akan mengganggu. Dengan minimalis, kita akan lebih
fokus pada hal-hal yang lebih esensial

6. Lebih hemat dan peduli lingkungan

7. Lebih sehat dan aman

Logika Sasaki, kalau kita stress karena banyak barang, kita akan cendurung sakit. Atau ketika kita
stress (karena rumah sumpek), kita bisa saja terlalu banyak makan karena kita ingin stress
berkurang. Karena itulah minimalis = sehat dan amat

8. Lebih mudah bersyukur

Merasakan bahagia ketimbang menjadi bahagia

Menjadi itu adalah proses, dan kita tidak dapat menjalani “menjadi”. Karena ketika kita ingin
menjadi A B C dan D dan kemudian kita kira kita akan bahagia, dalam proses yang sama kita pasti
menginginkan hal-hal lain. Sehingga kita tidak pernah bahagia. Rasakanlah kebahagiaan m sekarang
dengan minimalisme. Syukuri semua yang kita telah punya hari in. Kia telah menjadatkan apapun
yang kita butuhkan. Kita sudah dapat merasa bahagia, hari ini, saat ini juga.
Referensi :

Fumio Sasaki, 2018, Good Bye Things, Hidup Minimalis ala Orang Jepang. Kompas Gramedia : Jakarta

Minimalis - Tips merapikan rumah- Konmari method Maurilla Shopianti Imron

https://youtu.be/-hwSLqbIMXs

Hidup Minimalis Sebagai Millenial Satu Persen -INDONESIAN LIFE SCHOOL

https://youtu.be/P_AyFXy1sn0

Apa itu konsep minimalis - Filosofi Hidup Minimalis Satu persen - INDONESIAN LIFE SCHOOL

https://youtu.be/ksyID5QmqtI

Minimalisme - Cara memulai digital minimalism dalam hidup -Mahdianto

https://youtu.be/nug-HZu4z2E

Anda mungkin juga menyukai