Anda di halaman 1dari 17

i

REVIEW ARTIKEL

METODE PENGUKURAN PERTUMBUHAN BAKTERI

Dosen Pengampu: Dr. Amir Husin, S.T., M.T.


TEKNOLOGI BIOPROSES

Diusulkan oleh:
Widharta Surya Alam/180405119/2018/D

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Tujuan Khusus............................................................................ 2
1.3 Manfaat Penelitian...................................................................... 2
1.4 Temuan yang ditargetkan........................................................... 2
1.5 Kontribusi Penelitian terhadap Ilmu Pengetahuan..................... 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3
2.1 Macam-macam Model Pertumbuhan Kultur.............................. 3
2.2 Pertumbuhan Kultur Murni di dalam Flask (Labu) ................. 3
2.3 Pertumbuhan Kultur di dalam Bioreaktor
Aerobik dan Anaerobik………………..................................... 4
BAB 3. PEMBAHASAN………................................................................... 7
3.1 Metode Pengukuran Pertumbuhan Mikroba...... ........................ 7
BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN………............................................. 14
4.1 Kesimpulan ................................................................................ 14
4.2 Saran…………........................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 14

ii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertumbuhan bakteri adalah proses kompleks yang melibatkan banyak
anabolik (sintesis konstituen sel dan metabolit) dan katabolik (pemecahan
konstituen sel dan metabolit) reaksi. Pada akhirnya, reaksi biosintetik ini
menghasilkan pembelahan sel. (Blakebrough, 1973)
Dalam kekayaan yang homogen media kultur, dalam kondisi ideal, sel dapat
membelah dalam waktu 10 menit. Sebaliknya, hal itu telah disarankan pembelahan
sel itu dapat terjadi selambat sekali setiap 100 tahun di beberapa lingkungan darat
bawah permukaan. Seperti itu pertumbuhan yang lambat adalah hasil dari
kombinasi berbagai faktor termasuk fakta bahwa sebagian besar lingkungan bawah
permukaan berada baik gizi buruk maupun heterogen. Akibatnya, sel menjadi
cenderung terisolasi, tidak dapat berbagi nutrisi atau perlindungan mekanisme, dan
karena itu tidak pernah mencapai keadaan metabolik yang cukup efisien untuk
memungkinkan pertumbuhan eksponensial. Sebagian besar informasi tersedia
mengenai pertumbuhan mikroorganisme adalah hasil penelitian laboratorium
terkontrol menggunakan kultur murni mikroorganisme.
Ada dua pendekatan untuk mempelajari pertumbuhan di bawah kendali
tersebut kondisi: budaya batch dan budaya berkelanjutan. Dalam satu kelompok
kultur Pertumbuhan organisme tunggal atau sekelompok organisme, disebut
konsorsium, dievaluasi dengan menggunakan definisi media tempat sejumlah
substrat (makanan) tetap ditambahkan di awal. Dalam budaya berkelanjutan ada
yang mantap masuknya media pertumbuhan dan substrat sedemikian rupa media
yang tersedia tetap sama. Pertumbuhan di bawah keduanya kondisi kultur batch dan
kontinyu telah dikarakterisasi dengan baik secara fisiologis dan juga dijelaskan
secara matematis. (Breizha, 2010)
Informasi ini telah digunakan untuk mengoptimalkan komersial produksi
berbagai produk mikroba termasuk antibiotik, vitamin, asam amino, enzim, ragi,
cuka, dan minuman beralkohol. Bahan-bahan ini sering kali diproduksi di batch
besar (hingga 500.000 liter) juga disebut skala besar fermentasi.
2

1.2 Tujuan Khusus Review Paper


Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui proses pertumbuhan bakteri maupun mikroba.
2. Mengetahui dan menjelaskan metode pengukuran pertumbuhan bakteri
3. Mengetahui neraca massa pada pertumbuhan bakteri

1.3 Manfaat Review Paper


Menambah wawasan di bidang teknologi bioproses bagi masyarakat
maupun para pembaca di ruang lingkup sivitas akademika.

1.4 Temuan yang Ditargetkan


Temuan yang ditargetkan yaitu dapat dipelajari lebih mendalam dan
ditemukannya metode terbaik dalam pengukuran pertumbuhan bakteri

1.5 Kontribusi Review Paper terhadap Ilmu Pengetahuan


Bagi akademisi dan masyarakat, review paper akan menambah wawasan
baru tentang teknologi bioproses yang dapat diaplikasikan dalam pemanfaatan
mikroorganisme sebagai pengolahan limbah, serta dapat menjadi sumber literasi
untuk penelitian selanjutnya. Sedangkan dalam sektor perindustrian, permasalahan-
permasalahan dalam bioteknologi, pengolahan bahan pangan dengan bantuan
enzim, bakteri, dan lain-lain.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Macam-macam Model Pertumbuhan Kultur


Pada dasarnya model pertumbuhan dapat terbagi dalam beberapa jenis
mengikuti media yang ditempati oleh kultur mikroba.
2.2 Pertumbuhan Kultur Murni di dalam Flask (Labu)
Biasanya, untuk memahami dan menentukan pertumbuhan isolat mikroba
tertentu, sel ditempatkan dalam media cair di mana nutrisi dan kondisi lingkungan
berada dikendalikan. Jika media memasok semua nutrisi yang dibutuhkan agar
parameter pertumbuhan dan lingkungan optimal, maka peningkatan jumlah atau
massa bakteri dapat diukur sebagai fungsi waktu untuk mendapatkan kurva
pertumbuhan.
Sebagian besar informasi tersedia mengenai pertumbuhan mikroorganisme
adalah hasil penelitian laboratorium terkontrol menggunakan kultur murni
mikroorganisme seperti di Gambar 2.1 dan Gambar. 2.2

Gambar 2.1. SEM-EDX pada Bacillus subtilis

Gambar 2.2. Biakan murni


(Shuller dan Kargi, 2005)
4

Beberapa fase pertumbuhan yang berbeda dapat diamati dalam kurva


pertumbuhan (Gambar 2.3). Ini termasuk fase lag, eksponensial atau fase log, fase
diam, dan fase kematian. Setiap fase ini merupakan periode pertumbuhan yang
berbeda itu dikaitkan dengan perubahan fisiologis khas dalam sel kultur. Seperti
yang akan dilihat di bagian berikut, tarif pertumbuhan yang terkait dengan setiap
fase sangat berbeda.

Gambar. 2.3. Kurva pada fase pertumbuhan mikroba


(Shuller dan Kargi, 1992)

2.3 Pertumbuhan Kultur di dalam Bioreaktor Aerobik dan Anaerobik


Operasi bioreaktor secara fed-batch dapat digunakan untuk meningkatkan
konsentrasi fermentasi sekaligus mengurangi inhibisi substrat. Akan tetapi waktu
operasi dan volume kerja pada bioreaktor batch dan fed-batch menyulitkan
peningkatan produktivitas fermentasi menuju tingkat yang diharapkan (Laopaiboon
et al., 2007). Volume kerja bioreaktor di industri saat ini berkisar pada skala 10000
liter. Peningkatan volume kerja dibatasi oleh permasalahan konstruksi, operasi, dan
pengendalian proses. Pada bioreaktor dengan volume kerja yang besar,
permasalahan aliran fluida untuk memastikan perpindahan massa dan homogenitas
proses menjadi kendala.
Berdasarkan persamaan neraca massa, diketahui bahwa peubah proses yang
merupakan peubah bebas sangat terbatas. Kinerja dari proses secara keseluruhan
dipengaruhi oleh konsentrasi sel, substrat, laju pertumbuhan, dan laju alir proses
dengan hubungan yang kompleks. Hubungan antara peubah proses sesuai dengan
konfigurasi pada Gambar 1 ditunjukkan pada Persamaan 1 hingga 4.
5

dimana X adalah konsentrasi sel, S adalah konsentrasi substrat (glukosa), P


adalah konsentrasi bioetanol, seluruhnya dalam satuan g/L, sedangkan D adalah
laju pengenceran (dilution rate) dan µ adalah konstanta pertumbuhan spesifik
mikroorganisme, keduanya dalam satuan jam-1 .
Pada bioreaktor aerobik, laju perpindahan oksigen pada proses aerasi juga
menjadi perhatian (Blakebrough, 1973; Shuler dan Kargi, 1992) Operasi bioreaktor
sinambung diketahui mampu memberikan produktivitas yang lebih tinggi karena
membuka kemungkinan untuk meningkatkan laju alir meskipun konsentrasi
bioetanol hasil fermentasi relatif sama dengan mode operasi lain (Brethauer dan
Wyman, 2010; Stanbury dan Whitaker, 1984).
Laju alir yang tinggi berakibat pada volume kerja yang lebih kecil
dibandingkan dengan yang digunakan pada mode operasi batch. Pada proses
kultivasi sinambung konvensional, sel mikroorganisme dipasok dari tangki
inokulum lalu ditumbuhkan dalam tangki kultivasi kemudian keluar bersama aliran
produk (Lin dan Tanaka, 2006).
Pada operasi bioreaktor secara sinambung, seringkali substrat tidak dapat
dikonversi menjadi gula secara efisien pada laju alir proses yang tinggi. Konversi
gula yang rendah terjadi karena sel hanya mengkonsumsi substrat terutama untuk
metabolisme dan pembentukan produk yang secara stoikiometri jumlahnya terbatas
dan secara kinetika dipengaruhi oleh laju pertumbuhan spesifiknya (van Dijken et
al., 1993). Modifikasi proses dengan proses daur ulang sel atau imobilisasi sel pada
matriks padat dapat mengurangi kebutuhan sel mikroorganisme dan meningkatkan
konversi substrat sehingga laju operasi dapat ditingkatkan (Najafpour et al., 2004)
Sel mikroorganisme yang ditumbuhkan secara aerobik kemudian dialirkan
sebagai umpan pada proses anaerobik bersama dengan kelebihan substrat yang
belum digunakan. Penggunaan dua tahapan bioreaktor dapat menghasilkan
konversi susbtrat secara keseluruhan yang lebih efisien. Konfigurasi proses
ditunjukkan pada Gambar 1. Berdasarkan persamaan neraca massa, diketahui
6

bahwa peubah proses yang merupakan peubah bebas sangat terbatas. Kinerja dari
proses secara keseluruhan dipengaruhi oleh konsentrasi sel, substrat, laju
pertumbuhan, dan laju alir proses dengan hubungan yang kompleks. Hubungan
antara peubah proses sesuai dengan konfigurasi pada Gambar 1 ditunjukkan pada
Persamaan 1 hingga 4.

Gambar 2.4 Konfigurasi proses aerobik dan anaerobik sinambung untuk produksi bioetanol

Neraca massa pada bioreaktor aerobik diturunkan dari persamaan umum,


dengan F adalah laju alir massa dan V adalah volume bioreaktor, sebagai berikut
𝑑𝑉1 𝑋1
= 𝐹(𝑋0 − 𝑋1 ) + 𝜇1 𝑋1 𝑉1
𝑑𝑡
Sedangkan untuk substrat maka persamaan neraca massa sel menjadi.
𝑑𝑉1 𝑆1 1
= 𝐹(𝑆0 − 𝑆1 ) − 𝜇1 𝑋1 𝑉1
𝑑𝑡 𝑌𝑋/𝑆1
Untuk reaktor anaerobik, neraca massa pada konsentrasi sel mikroba diperoleh:
𝑑𝑉2 𝑋2
= 𝐹(𝑋1 − 𝑋2 ) + 𝜇2 𝑋2 𝑉2
𝑑𝑡
Sedangkan neraca massa reaktor anaerobic pada substrat yaitu menjadi,
𝑑𝑉2 𝑆2 1 1
= 𝐹(𝑆1 − 𝑆2 ) − 𝜇2 𝑋2 𝑉2 − 𝑞𝑝 𝑋2 𝑉2
𝑑𝑡 𝑌𝑋 𝑌𝑝/𝑠2
𝑆2

Parameter kinetika pertumbuhan sel diperoleh dari pengamatan pada mode operasi
batch pada kondisi pH 6,5 dan suhu 35o C. Suhu dan pH tersebut digunakan pula
pada proses yang dijalankan pada kondisi operasi sinambung. (Macrelli et al, 2014)
7

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Metode Pengukuran Pertumbuhan Mikroba


Secara umum, metode pengukuran dibagi menjadi dua kategori utama yaitu
pengukuran perhitungan secara langsung dan perhitungan secara tidak langsung

3.2 Metoda Pengukuran Pertumbuhan Mikroba secara Perhitungan


Langsung
3.2.1 Metode Turbidimetri
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui perkiraan keberadaan sel
mikroorganisme menggunakan metode turbidimetri. Metode turbidimetri adalah
metode perkiraan keberadaan mikroorganisme, dimana metode ini menggunakan
prinsip turbiditas atau kekeruhan. Semakin banyak suatu mikroorganisme terdapat
pada suatu sampel atau media, maka sampel tersebut akan menjadi semakin keruh.
Kekeruhan ini dideteksi dengan menggunakan alat yaitu spektrofotometer atau
turbidimeter. Pada percobaan ini instrumen yang digunakan untuk pembacaan
turbiditas adalah spektrofotometer (Daniel et al, 2013).
Pada percobaan penentuan jumlah sel mikroorganisme dengan metode
turbidimetri ini, panjang gelombang yang digunakan ialah 686 nm. Panjang
gelombang 686 nm digunakan karena Escherichia coli mampu menyerap cahaya
dengan panjang gelombang tersebut dan dapat menembus partikel suspensi koloid
untuk mengetahui konsentrasi sel yang ada dalam suspensi tersebut. Namun pada
umumnya panjang gelombang yang digunakan untuk turbidimetri ialah 420-615
nm. Selanjutnya dilakukan pembacaan sampel pada setiap pengenceran baik 1:1,
1:2, 1:4, 1:8, hingga 1:16, dengan dilakukan kalibrasi dengan blanko media kaldu
nutrien cair sebelum dilakukan pembacaan untuk setiap pengenceran. Pada saat
dilakukan pembacaan oleh spektrofotometer, sampel ditaruh dalam suatu wadah
yang bernama kuvet, kuvet merupakan suatu wadah terbuat dari kaca dan memiliki
2 sisi bening dan 2 sisi agak keruh, dengan tujuan cahaya akan hanya melewati
daerah yang bening sehingga tidak terjadi pembiasan oleh kuvet.
8

Pada percobaan ini diperoleh nilai %T, sehingga dapat dihitung nilai Optical
Density (OD). OD dapat dihitung melalui persamaan
OD (Absorbansi) = 2 – log %T. Persamaan ini didapatkan dari :
OD = log (1/T)
Karena nilai %T = 100 T maka, T = T/100)
OD = log (100/%T)
= log 100 – log %T
= 2 – log % T
maka dari persamaan ini, didapatkan nilai OD dari hasil %T yang didapakan pada
spektrofotometer. Optical Density adalah jumlah cahaya yang dihamburkan dan
diserap oleh sel dalam suatu larutan. Semakin banyak mikroorganisme dalam suatu
larutan maka larutan akan semakin keruh, sehingga nilai %T akan semakin kecil
dan nilai absorbansi akan semakin besar.
Pada spektrofotometer terdapat hasil %T yang selanjutnya digunakan
persamaan OD = 2 – log %T, sehingga didapatkan nilai optical density. Apabila
dibuat suatu plot grafik hubungan antara dilution variable (variabel pengenceran)
dengan OD akan diperoleh suatu hubungan dimana semakin encer suatu larutan
maka OD yang diperoleh juga semakin kecil. Hal ini dikarenakan pada larutan yang
lebih encer, terdapat lebih sedikit suspensi bakteri yang dapat menghalangi
diteruskannya cahaya dari sumber cahaya ke fotodetektor.

Gam bar 3.1. Grafik Hubungan OD terhadap Pengenceran


(Natanael, 2015)
Berdasarkan grafik dari hasil percobaan, semakin kecil suatu pengenceran, maka
nilai OD nya pun akan semakin kecil. Hasil ini sesuai dengan literature yang
menyatakan bahwa berdasarkan percobaan menunjukkan hubungan yang sesuai
9

dengan literatur, dimana semakin encer suatu larutan akan memberikan hasil
pembacaan %T yang semakin besar sehingga didapat OD yang semakin kecil.

3.2.2 Metode Counting Chamber


Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari cara menghitung jumlah sel
mikroorganisme menggunakan metode counting chamber. Metode counting
chamber adalah metode perhitungan sel langsung secara mikroskopis. Metode
counting chamber, lazim disebut sebagai Direct Microscopic Count, dan secara
umum digunakan untuk menghitung jumlah keseluruhan bakteri, baik hidup atau
mati, misalnya pada suatu sampel makanan, seperti susu atau makanan kalengan.
Object glass khusus ini disebut hemasitometer. Kekurangan dari metode ini adalah
dibutuhkan sel bakteri yang cukup banyak per ml sampel, sekitar 10 juta sel
bakteri/ml sampel, agar metode ini dapat memberi perhitungan jumlah sel
mikroorganisme yang akurat. Keuntungan dari metode ini adalah tidak diperlukan
waktu inkubasi sehingga metode penentuan jumlah sel ini banyak digunakan untuk
menghitung sel mikroba dalam sampel jika kecepatan waktu menjadi pertimbangan
utama.
Counting chamber yaitu suatu alat yang digunakan dalam perhitungan
jumlah mikroorganisme dimana penghitungannya harus menggunakan mikroskop.
Hemasitometer adalah suatu alat untuk menghitung sel secara cepat dan digunakan
untuk konsentrasi sel yang rendah.
Hemasitometer yang digunakan pada percobaan ini adalah hemasitometer
Neubauer dengan kedalaman 0,1 mm. Pada Hemasitometer Neubauer terdapat 2
ruang hitung, masing-masing terdapat 9 kotak besar dengan luas 1 mm2. Pada kotak
dibagian tengah, kotak dibagi menjadi 25 kotak berukuran sedang dengan luas 0,04
mm2, dan kotak-kotak ini kemudian dibagi kembali menjadi 16 kotak kecil
berukuran 0,05 mm x 0,05 mm. Metode direct microscopic count dengan
hemasitometer ini digunakan untuk menghitung jumlah bakteri dalam suatu sel,
namun pada metode ini, populasi minimal dalam suatu sampel ialah 600 dan jumlah
bakteri per kotak nya 5 sampai 15 sel saja, dengan tujuan menjaga agar perhitungan
tetap akurat.
10

Gambar 3.2. Pembagian ruang hitung pada hemasitometer Neubauer


(Natanael, 2015)
Langkah pertama yang dilakukan adalah menimbang ragi sebanyak 1 gram dengan
menggunakan neraca analitik. Kemudian melarutkannya di dalam aquadest 10 mL
dan mengaduknya hingga homogen, setelah itu mengencerkan larutan ke dalam
tabung reaksi 1:10 dengan mengambil 1ml dari tabung reaksi pengenceran 1:1, dan
mengencerkan dengan menambahkan 9 ml aquadest kemudian mengaduk setiap
tabung hingga homogen. Pengenceran dengan cara yang sama dilakukan untuk
pengenceran 1: 10.000, 1:100.000 dan 1:1.000.000. Tujuan pengenceran adalah
untuk mengurangi kepekatan pada sampel, agar pada saat dilakukan perhitungan
sampel, sampel tidak akan melebihi 15 sel bakteri per kotaknya.
Selanjutnya adalah menghitung jumlah sel bakteri pada tabung pengencer
1:10.000, dengan cara meneteskan sampel pada hemasitometer kemudian
menutupnya dengan deck glass, lalu menghitung jumlah mikroorganisme yang
terdapat pada kotak A, B, C, D dan E dengan menggunakan mikroskop. Perhitungan
sel bakteri pada hemasitometer dilakukan dengan menghitung jumlah bakteri pada
5 kotak berukuran sedang (0,04 mm2), mengambil rata-rata hitungan sel setiap
kotak, dan membagi perhitungan sel setiap kotak dengan volume cairan pada kotak
tersebut. Tujuan dari perhitungan dilakukan pada 5 kotak adalah untuk
meningkatkan akurasi perhitungan yang dapat mewakili seluruh bagian sampel.
Langkah tersebut diulangi hingga tiga kali kemudian diambil rata-ratanya, setelah
itu menghitung jumlah mikroorganisme untuk pengenceran 1:100.000 dan
1:1.000.000. Dari perhitungan counting chamber akan didapatkan jumlah sel
mikroorganisme.
11

Gambar 3.3. Grafik jumlah sel terhadap variabel pengenceran


(Natanael, 2015)
Dari grafik di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa untuk pengenceran
yang semakin besar, maka jumlah sel akan menjadi lebih sedikit dan untuk
pengenceran yang semakin kecil, maka jumlah sel akan semakin banyak. Dengan
kata lain, pengenceran berbanding terbalik dengan jumlah sel pada larutan sampel.
Secara pengertian pengenceran, hal ini sesuai dengan pengertian pengenceran,
karena pengenceran berarti untuk mengurangi konsentrasi suatu zat, dalam hal ini
konsentrasi dari mikroba, maka dengan demikian pada saat pengenceran diperbesar
maka jumlah sel akan semakin sedikit.

3.2.3 Metode Pengukuran Berat Kering


Mengukur kepadatan bakteri dengan mengambil 10 ml dalam valcon
kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 10 menit. Hasil
sentrifugasi di dapat super natan dan pelet. Pelet yang terbentuk di larutkan ke
dalam PBS dan dihomogenkan. Larutan pelet di masukkan ke dalam cuvet 4 ml dan
di lakukan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm, sebagai blanko
menggunakan 4 ml PBS. Nilai absorbansi bakteri hasil spektrofotometer dilakukan
konversi menjadi satuan sel / ml dengan menggunakan persamaan Mc Farland yang
telah dibuat yaitu y = 0,038*x + 0,021; R2 = 0,992. Nilai sel / ml digunakan untuk
menentukan nilai jumlah generasi, waktu generasi dan lajupertumbuhan bakteri,
sebagai berikut :
log 𝐶1 − log 𝐶0
∑G =
0,301
12

Δ𝑇
Tg =
∑𝐺
ln 𝐶1 − ln 𝐶0
μ=
Δ𝑇
Keterangan :
∑G = Jumlah generasi
C1 = Jumlah sel tertinggi (sel / ml)
C0 = Jumlah sel awal penelitian (sel / ml)
Tg = Waktu generasi (jam)
∆T = Waktu kultur (jam)
µ = Laju pertumbuhan (jam-1 )
Sampel larutan pelet dilakukan pemekatan dengan sentrifugasi 1500 rpm
selama 10 menit. Pelet dipindahkan ke cawan alumunium untuk dilakukan
pengeringan pada suhu 400C hingga kering dan selanjutnya dilakukan
penimbangan (Yuliana, 2008). Hasil penimbangan dilakukan penghitungan berat
kering biomassa sel, sebagai berikut :
Wk = Wt – W0
Keterangan :
Wk = Berat kering biomassa 10 ml kultur (gram / 10 ml)
Wt = Berat total setelah pengeringan (gram)
W0 = Berat wadah (gram)

3.3 Metode Pengukuran Pertumbuhan secara Tidak Langsung (Interpretasi)


3.3.1 Metode Viable Count (TPC)
Berdasarkan jurnal yang di review, penulis melakukan penelitian
pengukuran pertumbuhan pada salah satu isolate bakteri yang kemudian dikaji
dengan metode TPC ini. Penelitian ini telah berhasil melakukan isolasi bakteri dari
sedimen ekosistem mangrove Rhizophora mucronata Telukawur – Jepara.
Berdasarkan hasil isolasi dengan media agar didapatkan nilai TPC ditiap tingkat
pengenceran berbeda secara nyata (p < 0,05). Semakin tinggi tingkat pengenceran
maka nilai TPC semakin rendah (gambar 1). Secara berurutan dari nilai tertinggi
adalah pengenceran 100 sebesar 1762 cfu/ml, 1083 x 101 cfu/ml, 829 x 102 cfu/ml,
282 x 103 cfu/ml, 74 x 104 cfu/ml dan 19 x 105 cfu/ml. Berdasarkan data nilai TPC
13

maka dapat diketahui kelimpahan bakteri sedimen sebesar 282 x 103 cfu/ml.
Menurut Bashan and Gina. (2002) komunitas bakteri di ekosistem mangrove,
menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang hidup bebas berkisar antara 0.18 x 106
sampai 1,95 x 106 cfu/ml.
Hasil isolasi bakteri selanjutnya dilakukan purifikasi berdasarka morfologi
koloni yang berbeda. Hasil purifikasi berhasil didapatkan sebanyak 47 isolat
bakteri. Salanjutnya dilakukan uji aktivitas proteolitik kualitatif dengan metode
doting. Berdasarhan hasil uji proteolitik kualitatif (gambar 2) maka didapatkan
sebanyak 11 % (5 isolat) aktif proteolitik, sedangkan 89 % (42 isolat) tidak memiliki
aktivitas proteolitik. Diduga kelima isolat yang aktif tersebut adalah dari genus
Bacillus spp. Engelhard et al, (2001) mengisolasi 38 bakteri mangrove dari sedimen
di Andaman Selatan. Isolat terbanyak terdiri atas bakteri yang memiliki sifat
morfologi dan biokimia sebagai berikut: Gram positif (76,3%), motil (87%),
fermentatif (82,1%), pigmen (31%). Isolat yang paling banyak ditemukan adalah
Bacillus spp (50%).

Gambar 3.4. Nilai TCP bakteri hasil isolasi dari sedimen ekosistem mangrove Telukawur.
14

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
Dalam metode pengukuran mikroba untuk tiap jenisnya dibagi menjadi dua
kelompok yaitu pengukuran perhitungan langsung dan tak langsung. Perhitungan
secara langsung meliputi turbidimetri, berat kering, dan counting chamber,
sedangkan perhitungan tak langsung dengan metode TPC.
Model produktivitas produksi bioetanol pada bioreaktor aerobik dan
anaerobik sinambung dapat diperoleh berdasarkan persamaan neraca massa dengan
penyesuaian menggunakan persamaan Monod yang dimodifikasi untuk
menentukan nilai konstanta pertumbuhan spesifik.

4.2 SARAN
Artikel ini masih perlu dikaji lebih jauh lagi, baik itu diperluas ruang
lingkupnya, bahkan dispesifikkan ke satu ruang lingkup kaji yang mendalam.
Informasi tersebut diperlukan untuk meningkatkan potensi sebagai literasi atau
publikasi dalam pengembangan review artikel.

DAFTAR PUSTAKA
Blakebrough N. 1973. Fundamentals of fermenter design. Pure Appl Chem. 36(3):
305–315.

Breisha GZ. 2010. Production of 16% ethanol from 35% sucrose. Biomass and
Bioenergy. 34(8): 1243–1249

Shuler ML dan Kargi F. 1992. Generalized differential specific rate equation for
microbial growth. Biotechnol Bioeng. 21(10): 1871–1875.

Shuler ML dan Kargi F. 2005. Bioprocess Engineering Basic Concepts. New


Jersey: Prentice-Hall.

Laopaiboon L, Thanonkeo P, Jaisil P, Laopaiboon P. 2007. Ethanol production


from sweet sorghum juice in batch and fed-batch fermentations by
15

Saccharomyces cerevisiae. World J Microbiol Biotechnol. 23(10): 1497–


1501.

Brethauer S dan Wyman CE. 2010. Review: Continuous hydrolysis and


fermentation for cellulosic ethanol production. Bioresour Technol. 101(13):
4862–74.

Stanbury PF dan Whitaker A. 1984. Principle of Fermentation Technology. Oxford:


Pergamon Press

Lin Y dan Tanaka S. 2006. Ethanol fermentation from biomass resources: current
state and prospects. Appl Microbiol Biotechnol. 69(6): 627–642.

Van Dijken JP, Weusthuis RA, dan Pronk JT. 1993. Kinetics of growth and sugar
consumption in yeasts. Antonie Van Leeuwenhoek. 63(3- 4): 343–352.

Macrelli S, Galbe M, dan Wallberg O. 2014. Effects of production and market


factors on ethanol profitability for an integrated first and second generation
ethanol plant using the whole sugarcane as feedstock. Biotechnol Biofuels.
7(1): 26.

Daniel J M & Paul E H. 2013. The Immunoasay handbook fourth edition. Elsevier.

Natanael, Y S. Penentuan jumlah sel mikroorganisme. Laporan Resmi Praktikum


Mikrobiologi Industri. DTK ITS.

Yuliana, N., 2008, “Kinetika Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat Isolat T5 yang
Berasal dari Tempoyak”, J. Teknologi Industri dan Hasil Pertanian, Vol. 13,
No.2, hal. 108-116.

Bashan, Y. & H, Gina. 2002. Plant growth-promoting bacteria: a potential tool for
arid mangrove reforestation. Environ. Microbiol. CIB. 16:159-166.

Engelhard, M.A., K. Daly, R.P.J. Swannell & I.M. Head. 2001. Isolation and
characterization of a novel hydrocarbon-degrading, Gram-positive
bacterium, isolated from intertidal beach sediment, and descriptionof
Planococcus alkanoclasticus sp. nov. J. Appl. Microbiol.90:237-247.

Anda mungkin juga menyukai