Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

COPD/PPOK

Nama Anggota :

1. I Gusti Ayu Sarah Putri Devayanthi (P07120219011)


2. Ni Kadek Astikananda Wulandari (P07120219019)
3. Luh Putu Sri Wahyuni Ningsih (P07120219022)
4. Putu Nadia Trisna Putri (P07120219027)
5. Ni Komang Nadia Prabha Yanti (P07120219028)
6. Ida Ayu Kadek Santhi Dewi (P07120219029)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
TAHUN AKADEMIK
2020/2021
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai
oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisologi
utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan
COPD adalah Bronchitis kronis , emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S
Meltzer, 2001:595). Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk di dalam COPD
adalah emfisema paru-parudan Bronchitis Kronis. Nama lain dari COPD adalah
“Chronic Obstructive Aiway Disease”.
Chronic Obstructive Aiway Disease (COPD) mengacu pada kelompok penyakit
paru-paru yang menyumbat jalan nafas dan meningkatkan kesulitan untuk bernafas.
Emphysema dan Chronic Bronchitis adalah dua kondisi umum yang membuat
COPD, tapi COPD dapat juga mengacu pada kerusakan yang disebabkan oleh chronic
Asthmatic Bronchitis. Pada semua kasus, kerusakan pada saluran pernafasan pada
akhirnya mempengaruhi pertukaran oksigen dan karbondioksida pada paru-paru.
COPD menyebabkan kasus kematian dan sakit pada sebagian belahan dunia.
Kebanyakan COPD dikarenakan merokok dalam waktu yang lama dan dapat dicegah
dengan tidak merokok atau berhentimerokok secepat mungkin. Kerusakan pada paru-
paru tidak dapat diperbaiki, jadi perawatan berfokus pada mengontrol gejala dan
meminimalisir kerusakan yang terjadi.

B. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor
risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi peru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan
Pengaruh pada masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya COPD
adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.

C. Klasifikasi
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah
sebagai berikut :
1. Bronkitis Kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hamper setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi
paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
a. Etiologi :
Terdapat 3 jenis brokitis akut, yaitu :
- Infeksi : stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, haemophilus
influenza
- Alergi
- Rangsang : missal asap pabrik, asap mobil, asap rokok, dan lain-
lain.

Bronkitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai


beberapa alat tubuh, yaitu :

- Penyakit jantung menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti


menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga
infeksi bakteri mudah terjadi
- Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang
dapat menyerang dinding bronchus
- Dilatasi bronchus (bronchietasi) menyebabkan gangguan susunan dan fungsi
dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi
- Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput
lenderbronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
b. Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul
kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronkitis kronis. Pada infeksi saluran
nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan
bronkitis akut. Dkter akan mendiagnosis akut bronkitis kronis jika klien
mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam
1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut. Bronkitis timbul
sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi
(terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon
inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan
bronchospasme.

Klien dengan bronkitis kronis akan mengalami :

a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mucus pada bronchi besar,


yang mana akan meningkatkan produksi mukus
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi ciliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru
mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk
terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi
hipertropi dan hyperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat.
Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali
ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini
bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat
beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar.
Bronkitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus
besar, tetapi biasanya seluruh nafas akan terkena. Mukus yang kental
dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama
selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara
terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini
menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis.
Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan: ratio ventilasi dapat
juga meningkatkan nilai PaCO2. Klien terlihat cyanosis. Sebagai
kompensasi dari hypoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi
eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum
yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama infeksi klien
mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC.
Jika masalah tersebut tidak ditanggulangu, hypoxemia akan timbul
yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF.

2. Emfisema Paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan
anatomic paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara
bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai
dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang
udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini
sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.
a. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding
alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum)
diantaranya alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas kecil.
Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolar
(disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan
menyebabkn peningkatan ventilator pada “dead space” atau area yang tidak
mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan
terjadinya kekuranga fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen
dan karbondioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih
lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa
tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul
pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis
kronis dan merokok.

b. Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema,
yaitu :
- Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau
merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan
serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan
elatisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit.
Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi
membesar.
- Hyperinflation Paru Pembesaran Alveoli mencegah paru-paru untuk
kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi
- Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan
untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat
pada pemeriksaan x ray
- Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap. Ketika klien berusaha
untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan
kollapsnya jalan nafas.

c. Tipe Emfisema
terdapat tiga tipe dari emfisema :
- Emfisema Centriolobular merupakan tipe yang sering muncul,
menghasilkan kerusakan bronchioles, biasanya pada region paru atas.
Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar
tetap bersisa
- Emfisema Panlobular (Panacinar) merusak ruang udara pada seluruh
asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini
bersama disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada
seorang perokok.
- Emfisema Paraseptal merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang
mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal
emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar
timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-
antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi
pulmoner, sering kali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.
3. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini
bermanifestasi debagai penyempitan saluran-saluran nafas secara periodic dan
reversible akibat bronkospasme.
Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang
mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi
bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran
pernafasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan
pembesaran nodus limfe

D. Pathway PPOK
E. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok :
a. Mempunyai gambaran klinik dominan ke arah bronchitis kritis (blue bloater)
b. Mempunyai gambaran klinik ke arah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

a. Kelemahan badan.
b. Batuk.
c. Sesak nafas.
d. Sesak nafas saat aktivitas dan nafas berbunyi.
e. Mengi atau wheeze.
f. Ekspirasi yang memanjang.
g. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
h. Penggunaan otot bantu pernafasan.
i. Suara nafas melemah.
j. Kadang ditemukan pernafasan paradoksal.
k. Edema kaki, asites, dan jari tabuh.

F. Pemeriksaan fisik :
a. manifestasi klinik PPOM :
- peningkatan dyspnea
- penggunaan otot-otot aksesori pernapasan (retraksi otot-otot abdominal,
mengangkat bahu saat inspirasi, napas cuping hidung)
- penurunan bunyi napas
- takipnea
- gejala yang menetap pada penyakit dasar
-
b. asthma
- batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada seperti
terikat
- mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa
stetoskop
- pernapasan cuping hidung
- ketakutan dan diaphoresis
c. Bronkhitis
- Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang
biasanya terjadi pada pagi hari
- Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing
- Sesak napas
d. Bronkhitis (tahap lanjut)
- Penampilan sianosis
- Pembengkakaan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh edema
asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal)
e. Emfisema
- Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter thoraks
anterio posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru)
- Fase ekspirasi memanjang
f. Emfisema (tahap lanjut)
- Hipoksemia dan hiperkapnia
- Penampilan sebagai “pink puffers”
- Jari-jari tubuh
-
G. Pemeriksaan diagnostis :
1. Chest X-Ray :
Dapat menunjukan hyperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan
ruang udara retrosternal, penurunan tanda vascular/bulla (emfisema),
peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat
periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi,
missal Bronchodilator.
3. TLC
Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada
emfisema.
4. Kapasitas inspirasi :
Menurun pada emfisema.
5. FEV1/FVC :
Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital
(FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs :
Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2
normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali
menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7. Bronchogram :
Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial
pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar usus (bronchitis).
8. Darah komplit :
Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinophil (asthma).
9. Kimia darah :
Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema
primer.
10. Sputum Kultur :
Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen, pemeriksaan
sitology untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
11. ECG :
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia
(bronchitis), gel. P pada leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis,
emfisema), axis QRS vertical (emfisema).
12. Exercise ECG, Stress Test :
Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan
obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
13. Palpasi :
Palpasi pengurangan pengembangan dada?
Adakah fremitus taktil menurun?
14. Perkusi :
Adakah hiperesonansi pada perkusi?
Diafragma bergerak hanya sedikit?
15. Auskultasi :
Adakah suara wheezing yang nyaring?
Adakah suara ronkhi?
Vocal fremitus normal atau menurun?
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
a. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang paralel,
keluar dari hilus menuju apeks baru. Bayangan tersebut adalah bayangan
bronkus yang menebal.
b. Corak paru yang bertambah.

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada, yaitu:


a. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan
bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink
puffer.
b. Corakan baru yang bertambah.
2. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VE1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan
VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR
(maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal. Keadaan di atas lebih jelas pada stadium lanjut,
sedangkan pada stadium dini perubahan hanya pada saluran nafas kecil (small
airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
3. Analisa gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis,
terjadi vasokontriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang
kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga meninmbulkan
polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung
kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah
jantung kanan.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat
kor pulmunol terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II,
III, dan avF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S
kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui patogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium darah lengkap

I. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase
akut, tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi
lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan


merokok, menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai
dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau
pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
controversial.
5. Pengobatan simtomatik
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan
dengan aliran lambat 1-2 liter/menit.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret


bronkus.
2. Latihan pernafasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernafasan yang paling efektif.
3. Latihan dengan beban olahraga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
4. Vocational guidance , yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat
kembali mengerjakan pekerjaan semula.
5. Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis).

Pencegahan: Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara Terapi


eksaserbasi akut dilakukan dengan:

1. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi .


Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia,
maka digunakan ampisili 4x0.25-0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari
Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenza dab B. Cacarhalis yang
memproduksi B. Laktamase pemberian antibiotik seperti kontrimaksasol,
amoksilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut
tebukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan
peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi.
Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda- tanda pneumonia, maka
dianjurkan antibiotik yang kuat.
2. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik
4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat
diberikan salbutamol 5 mg dan ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap
6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,56 IV secara perlahan.

Terapi jangka panjang dilakukan:

1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4x0,25-


0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
3. Fisioterapi.
4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
5. Mukolitik dan ekspektoran.
6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas
tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg).
7. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi.

Rehabilitas untuk pasien PPOK adalah:

1. Fisioterapi.
2. Rehabilitasi psikis.
3. Rehabilitasi pekerjaan (Mansjoer 2001 : 481-482).

J. Komplikasi COPD
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap
lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Penyakit ini timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia).
Tanda yang muncul antara lain Nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines,
tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal Jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering
kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema
berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan
seringkali tidak berespon terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan
otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari sebuah proses keperawatan. Pada

tahap pengkajian terjadi proses pengumpulan data. Berbagai data yang

dibutuhkan baik wawancara, observasi, atau hasil laboratorium dikumpulkan

oleh petugas keperawatan. Pengkajian memiliki peran yang penting, khususnya

ketika ingin menentukan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan

keperawatan, implementasi keperawatan, serta evaluasi keperawatan (Prabowo,

2017).

Pengkajian terdiri dari dua yaitu pengkajian skrining dan pengkajian

mendalam. Pengkajian skrining dilakukan ketika menentukan apakah keadaan

tersebut normal atau abnormal, jika ada beberapa data yang ditafsirkan abnormal

makan akan dilakukan pengkajian mendalam untuk menentukan diagnosa yang

tepat (Nanda, 2018). Terdapat 14 jenis subkategori data yang dikaji yaitu

respirasi, sirkulasi, nutrisi dan cairan, eleminasi, aktivitas dan istirahat,

neurosensory, reproduksi dan seksualitas, nyeri dan kenyamanan, integritas ego,

pertumbuhan dan perkembangan, kebersihan diri, penyuluhan dan pembelajaran,

interaksi sosial, serta keamanan dan proteksi (PPNI, 2017).

Dalam pengkajian pada pasien PPOK dilakukan dengan menggunakan

pengkajian medalam mengenai bersihan jalan napas tidak efektif, dengan kategori
fisiologis dan subkategori respirasi. Pengkajian dilakukan sesuai dengan tanda

gejala mayor dan minor bersihan jalan napas tidak efektif dimana data mayornya

yaitu subjektif tidak tersedia dan data objektifnya batuk tidak efektif, sputum

berlebih, tidak mampu batuk, mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering, sedangkan

tanda gejala minor, data subjektif dyspnea, sulit bicara, ortopnea. Data objektif

yaitu gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah, pola napas

berubah (PPNI, 2017). Selain itu, hal-hal yang perlu dilakukan pada pengkajian

keperawatan pada pasien PPOK dengan bersihan jalan napas tidak efektif

(Muttaqin, 2014) yaitu :

a. Biodata pasien

Berisikan nama, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan pendidikan.

b. Keluhan utama

Penting untuk mengenal tanda dan gejala untuk mengetahuai dan mengkaji

kondisi pasien. Keluhan utama yang muncul seperti batuk, produksi sputum

berlebih, sesak napas, merasa lelah. Keluhan utama harus diterangkan sejelas

mungkin.

c. Riwayat kesehatan saat ini

Setiap keluahan utama yang ditanyakan kepada pasien akan diterangkan

pada riwayat penyakit saat ini seperti sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama

dan berapa kali keluhan terjadi, bagaimana sifat keluhan yang dirasakan, apa yang

sedang dilakukan saat keluhan timbul, adakah usaha mengatasi keluhan sebelum

meminta pertolongan, berhasil atau tidak usaha tersebut, dan sebagainya.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Pengkajian riwayat penyakit keluarga sangat penting untuk mendukung

keluhan dari pasien, perlu dikaji riwayat keluarga yang memberikan predisposisi
keluhan seperti adanya riwayat batuk lama, riwayat sesak napas dari generasi

terdahulu. Adanya riwayat keluarga yang menderita kencing manis dan tekanan

darah tinggi akan memperburuk keluhan pasien.

e. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang difokuskan pada pasien PPOK dengan bersihan jalan

nafas tidak efektif (Muttaqin, 2014) yaitu :

1) Inspeksi

Inspeksi yang berkaitan dengan sistem pernapasan adalah melakukan

pengamatan atau observasi pada bagian dada, bentuk dada simetris atau tidak,

pergerakan dinding dada, pola napas, irama napas, apakah terdapat proses ekhalasi

yang panjang, apakah terdapat otot bantu pernapasan, gerak paradoks, retraksi

antara iga dan retraksi di atas klavikula. Dalam melakukan pengkajian fisik secara

inspeksi, pemeriksaan dilakukan dengan cara melihat keadaan umum dan adanya

tanda-tanda abnormal seperti adanya sianosis, pucat, kelelahan, sesak napas,

batuk, serta pada pasien PPOK dapat dilihat bentuk dada barrel chest.

2) Palpasi

Palpasi dilakukan untuk mengetahui gerakan dinding terak saat proses inspirasi dan

ekspirasi. Cara palpasi dapat dilakukan dari belakang dengan meletakkan kedua tangan

di kedua sisi tulang belakang. Kelainan yang mungkin didapat saat pemeriksaan palpasi

antara lain nyeri tekan, adanya benjolan, getar suara atau fremitus vokal. Cara

mendeteksi fremitus vokal yaitu letakkan kedua tangan pada dada pasien sehingga

kedua ibu jari pemeriksa terletak di garis tengah di atas sternum, ketika pasien menarik

nafas dalam, maka kedua ibu jari tangan harus bergerak secara simetris dan terpisah satu

sama lain dengan jarak minimal 5 cm. Getaran yang terasa oleh tangan pada saat

dilakukan pemeriksaan palpasi disebabkan oleh adanya dahak dalam bronkus yang
bergetar pada saat proses inspirasi dan ekspirasi.

3). Perkusi

Pengetukan dada atau perkusi akan menghasilkan vibrasi pada dinding dada

dan organ paru-paru yang ada dibawahnya, akan dipantulkan dan diterima oleh

pendengaan pemeriksa. Cara pemeriksa perkusi dengan cara permukaan jari

tengah diletakkan pada daerah dinding dada di atas sela-sela iga selanjutnya

diketuk dengan jari tengah yang lain.

4). Auskultasi

Auskultasi adalah mendengarkan suara yang berasal dari dalam tubuh dengan

cara menempelkan telinga ke dekat sumber bunyi atau dengan menggunakan

stetoskop. Pemeriksaan auskultasi berfungsi untuk mengkaji aliran udara dan

mengevaluasi adanya cairan atau obstruksi padat dalam struktur paru. Untuk

mengetahui kondisi paru-paru, yang dilakukan saat melakukan pemeriksaan

auskultasi yaitu mendengar bunyi napas normal dan bunyi napas tambahan.

f. Data pasien bersihan jalan napas tidak efektif termasuk dalam kategori

fisiologis subkategori respirasi, perawat harus mengkaji data gejala dan tanda

mayor minor (PPNI, 2017) meliputi :

1) Gejala dan tanda mayor

a) Subjektif : tidak tersedia

b) Objektif : batuk tidak efekti, tidak mampu batuk, sputum berlebih,

,mengi,wheezing dan atau ronkhi kering


2) Gejala dan tanda minor

a) Subjektif : dyspnea, sulit bicara, ortopnea

b) Objektif : gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah, pola

napas berubah.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi (obstruksi jalan nafas oleh
sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek
samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan,
peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau
kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan
mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan
kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan
nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.

Intervensi :

Mandiri :

1. Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi.
R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi adanya bunyi
nafas adventisius.
2. Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan
atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3. Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk
pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
5. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6. Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu
tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air
hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran.

Kolaborasi :

1. Berikan obat sesuai indikasi.


a. Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
b. Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c. Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
d. Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan
napas, mengi, dan produksi mukosa

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi


jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan
berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi :

Mandiri :

1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,
ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses penyakit.
2. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi
individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea,
dan kerja napas.
3. Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya hipoksemia.
4. Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas.
5. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi.
6. Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
7. Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8. Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi
aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut.
Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi
individu.
R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa
menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
9. Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik
pada fungsi jantung.

Kolaborasi :

1. Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.


R/ PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga hipoksia
terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
2. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
3. Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
R/ digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi
oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
4. Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke ICU
sesuai instruksi untuk pasien.

R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan


penyelamatan hidup.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,


kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil
pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan
atau mempertahankan berat yang tepat.

Intervensi :

Mandiri :

1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan.
R/ pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum,
dan obat.
2. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ meskipun kegagalan pernapasan membuat status hipermetabolik dengan peningkatan
kebutuhan kalori.
3. Auskultasi bunyi usus.
R/ penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi.
4. Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai
dan tissu.
R/ mencegah utama terhadap tidak nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah
dengan peningkatan kesulitan nafas.
5. Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan
porsi kecil tapi sering.
R/ membantu menurunkan kelemahan selamawaktu makan dan memberikan kesempatan
untuk meningkatkan masukan kalori total.
6. Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
R/ dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan gerakan
diafragma, dapat meningkatkan dispnea.
7. Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
R/ suhu ekstrem dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
8. Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan, dan
evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.

Kolaborasi :

1. Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah
dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau selang, nutrisi
parenteral.
R/ memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/ penggunaan energi.
2. Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau
mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
R/ mengevaluasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
3. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
R/ menurunkan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan masukan.

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan


utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil pasien
akan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan
pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan
yang aman.

Intervensi :

Mandiri :

1. Awasi suhu.
R/ demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2. Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan cairan
adekuat.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi paru.
3. Observasi warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau, kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
4. Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci tangan yang
benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang
tisu, wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
5. Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
R/ menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.
6. Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
R/ menurunkan kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien
terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
7. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.

Kolaborasi:

1. Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman gram,
kultur atau sensitivitas.
R/ dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap berbagai
antimikrobial.
2. Berikan antimikrobial sesuai indikasi.
R/ dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas,
atau diberikan secara profilaktif karena resiko tinggi.
Contoh kasus
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Y. P

DENGAN KEBUTUHAN OKSIGENAS

DI RUANG MAWAR RSUD BANGLI

TANGAL 6-7 AGUTUS 2020

Kasus:
Seorang perempuan bernama Ny. P bersama suaminya datang ke rumah sakit RSUD
Bangli yang mengeluh sesak sejak 2 hari yang lalu dan batuk terus menerus. Ny P di
diagnosa medis 1 tahun yang lalu yaitu asma . setelah dilakukannya pemeriksaan
didapatkan Keadaan umum compos mentis, S: 37,2 derajat celcius, T: 120/80 mmHg,
N: 112x/menit, RR: 28x/menit

I. PENGKAJIAN

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. P

No RM : 34567

Umur : 40 Thn

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : PNS

Agama : Hindu

Status : Menikah

Tanggal MRS : 6 agustus 2020


Tanggal Pengkajian : 6 Agustus 2020

2. Identitas penanggung jawab:


Nama : Tn.P
Jenis Kelamin : laki-laki
Usia : 42 Tahun
Alamat : Perumahan Dewata Permai, Dalung
Agama : Hindu
Status Perkawinan : Menikah
Kewarganegaraan : WNI
No Tlp yang Dapat Dihubungi : 085858767000
Hubungan Dengan Pasien : suami Pasien

B. Keluhan Utama

Pasien mengeluh sesak dan batuk terus menerus sejak 2 hari yang lalu

C.Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Dahulu

Pasien mengatakan pernah mengalami sesak nafas sejak 1 tahun yang lalu

2. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak nafas, sejak 2 hari sebelum masuk RS
pasien terus menerus sesak serta batuk.
Keadaan umum compos mentis, S: 37,2 derajat celcius, T: 120/80 mmHg, N:
112x/menit, RR: 28x/menit
3. Riwayat Kesehatan Keluarga

Pasien mengatakan di keluarganya tidak ada yang mengalami sakit seperti ganguan pernafasan
tbc,dan penyakt keturunan.

D. Pemeriksaan Fisik

1) Inspeksi: saat di inspeksi bentuk dada simetris, pola nafas tidak teratur, ada pergerakan dinding
dada, irama nafas tidak tratur
2) Auskultasi: disaat di auskultasi terdengan suara ronci
3) Palpasi: saat dipalpasi gerakan thorak sama, tidak adanya benjoan dan esi pada daerah thorax
4) Perkusi: saat diperkusi akan membatu asien untuk membuka vibrasi pada dinding organ dan
paru-paruyang ada dibawahnya
E.11 Pola perfungsi kesehatan menurutgordon:

a) Persepsi dan Manajemen Kesehatan: Klien biasanya tidak mengerti bahwa penyakit yang ia
diderita adalah penyakit yang berbahaya. Perawat perlu mengkaji bagaimana klien memandang
penyakit yang dideritanya, apakah klien tau apa penyebab penyakitnya sekarang.
b) Nutrisi – Metabolik: Biasanya pada pasien mengalami penurunan nafsu makan karena demam
yang ia diderita.
c) Eliminasi: Biasanya pasien mengalami gangguan dalam eliminasi karena pasien mengalami
penurunan nafsu makan akibat sesak.
d) Aktivitas – Latihan: Biasaya pada pasien asma mengalami penurunan aktivitas karena rasa nyeri
dada yang ia rasakan
e) Istirahat – Tidur: Pasien biasanya diduga akan mengalami susah tidur karena rasa sesak yang ia
rasakan.
f) Kognitif – Persepsi: Biasanya klien tidak mengalami gangguan dengan kognitif dan persepsinya.
g) Persepsi Diri – Konsep Diri: Biasanya pasien memiliki perilaku menarik diri, mengingkari, depresi,
ekspresi takut, perilaku marah, postur tubuh mengelak, menangis
h) Peran – Hubungan: Biasanya pasien mengalami depresi dikarenakan penyakit yang dialaminya.
Serta adanya tekanan yang datang dari lingkungannya berupa klien juga tidak dapat melakukan
perannya dengan baik.
i) Seksual – Reproduksi: Biasanya pasien tidak mengalami gangguan dalam masalah seksual.
j) Koping – Toleransi Stress: Biasanya pasien mengalami stress ysng berat karena kondisinya saat itu.
Nilai Kepercayaan: Pola keyakinan klien dengan tuhan terpenuhi dengan pasien
terlihat rajin sembahyangE.Fisiologis

a Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif


Gejala dan Tanda Mayor Gejala dan Tanda Minor
Batuk tidak efektif Dispnea

Tidak mampu batuk Sulit bicara


Sputum berlebih Ortopnea

Mengi, wheezing dan/atau ronkhi Gelisah


kering
Mekonium di jalan napas Sianosis
Bunyi napas menurun
Frekuensi napas berubah

Pola napas berubah

Analisa Data

Ruang : MAWAR

Nama Pasien : Ny. P


No Registrasi : 34567

NO Data Fokus Kemungkinana penyebab Masalah


Keperawatan
1 DS : Bersihan Jalan
Asthma, bronchitis Nafas Tidak
 Pasien kronis, emfisema
Efektif
mengatakan
sesak (dispnea)
PPOK
 Pasien
mengatakan
batuk terus – Rokok, polusi
menerus
 Pasien
mengatakan
secret tidak bisa Sputum meningkat
keluar

DO :
Batuk
 Pasien
tampak
sesak nafas
RR :
28x/mnt
 Pasien tampak Bersihan Jalan Nafas Tidak
batuk Efektif
 Terdengar
bunyi nafas
wengi

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Ruang : MAWAR

Nama Pasien : Ny. P

No Registrasi : 34567
NO Diagnosa Keperawatan
1 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan ditandai dengan pasien mengeluh sesak dan batuk serta susah
mengeluarkan secret. Frekuensi nafas pasien RR : 28x/menit

III. PERENCANAAN / INTERVENSI


Ruang : MAWAR
Nama Pasien : Ny. P
No Registrasi : 34567

Hari / No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Tanggal
Dx
Kamis / 1 Setelah dilakukan tindakan 1. Manajemen jalan
6 keperawatan selama 1 x 24 nafas
Agustus jam diharapkan bersihan jalan
Observasi
2020 nafas meningkat dengan
kriteria hasil : 1. Monitor pola
1. Batuk efektif nafas
meningkat (skor 5) (frekuensi,
2. Produksi sputum kedalaman,
menurun (skor 5) usaha napas)
3. Mengi,wheezing atau 2. Monitor bunyi
ronchi menurun nafas tambahan
(skor 5)
3. Monitor sputum
4. Dispnea menurun
(skor 5)
5. Frekuensi nafas membaik Terapeutik
(skor Pola nafas membaik 4. Posisikan semi
(skor 5) fowler atau
fowler
5. Berikan O2
sesuai kebutuhan

Edukasi
6. Ajarkan teknik
batuk efektif

Kolaborasi
7. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator
dengan tim medis

IV. PELAKSANAAN / IMPLEMENTASI

Ruang : MAWAR

Nama Pasien : Ny. P

No Registrasi : 34567
NO Hari / No Implementasi Evaluasi Proses TTD
Tanggal
Dx
/ Jam
1 Jumat 7 1 1. Memonitor pola Data subjektif: Perawat
agustus nafas,frekuensikedala jaga
1. Pasien mengatakan
2020 man, dan usaha nafas
masih merasa
2. Memonitor bunyi
sesak
nafas tambahan
2. Pasien mengatakan
3. Memonitor spuntum
nyaman setelah
4. Memposisikan semi
diposisikan semi
fowler atau fowler
fowler
5. Memberikan O2 sesuai
3. Pasien
keutuhun
mengatakkan
6. Mengajarkan teknik
setelah diberikan
batuk efektif
o2 dia tidak sesak
7. Mengkolaborasi
lagi
pemberian brondilator
Data Objektif:
dengan tim medis
1. Pasien tampak
sesak
2. Pasien tampak
nyamaan saat
diberikan O2
3. Pasien tampak
nyaman saat
diposisikan semi
fowler
Hari dan No dx Evaluasi Paraf
tanggal
Jumat, 7 1 S: Perawat jaga
agustus 2020
- Pasien mengatakan masih
merasa sesak

- Pasien mengatakan nyaman


setelah diposisikan semi fowler

- Pasien mengatakkan setelah


diberikan o2 dia tidak sesak lagi

O:

- Pasien tampak sesak

- Pasien tampak nyamaan saat


diberikan O2

-Pasien tampak nyaman saat


diposisikan semi fowler

A: masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

v. Evaluasi

Kesimpulan
Emphysema dan Chronic Bronchitis adalah dua kondisi umum yang membuat
COPD, tapi COPD dapat juga mengacu pada kerusakan yang disebabkan oleh
chronic Asthmatic Bronchitis. Pada semua kasus, kerusakan pada saluran
pernafasan pada akhirnya mempengaruhi pertukaran oksigen dan
karbondioksida pada paru-paru. COPD menyebabkan kasus kematian dan sakit
pada sebagian belahan dunia. Kebanyakan COPD dikarenakan merokok dalam
waktu yang lama dan dapat dicegah dengan tidak merokok atau
berhentimerokok secepat mungkin. Kerusakan pada paru-paru tidak dapat
diperbaiki, jadi perawatan berfokus pada mengontrol gejala dan meminimalisir
kerusakan yang terjadi.
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-
faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi peru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan

Daftar Pustaka
Manurung, Nixson. 2018. Keperawatan Medikal Bedah Jilid 2. Jakarta :
Trans Info Media
Pemeriksaan fisik pada respiratori dengan link:
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/2305/3/BAB%20II.pdf. Dakses
pada 9 agustus 2020
Zulkifi, Maesarah. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien PPOK. Aceh.
Tersedia pada
https://www.academia.edu/37689132/asuhan_keperawatan_pada_pasien_
dengan_PPOK diakses pada 5 Agustus 2020.

Anda mungkin juga menyukai