Anda di halaman 1dari 4

Naskah Drama

“Daydreaming”
Suatu malam Martini sedang memikirkan bagaimana cara ia menyampaikan
kehamilannya kepada sang suami. Di malam yang sunyi Martini mengusap
perutnya dengan kesedihan yang mendalam.
Martini : Mas, aku hamil (sambil memegang perutnya dengan tatapan
sendu)
Martini : Mas, aku hamil (dengan nada lirih)
Martini : Mas, aku hamil! (Menekankan nadanya)
Jamroni terkejut dengan wajah yang penuh emosi.
Jamroni : Kamu tahu keadaan ekonomi kita?
Martini : Aku tahu, tapi sudah kodrat seorang wanita untuk mengandung.
Apakah aku harus menolak takdir ini?
Martini pun bersedih dan terduduk di kursi.
Martini : Sebenarnya Aku menikahimu karena menghormati ayahmu yang
sudah berjasa untuk keluargaku. Aku ingin mengubahmu perlahan-
lahan Mas, tapi nyatanya sekarang Kamu membuatku semakin
tertekan!
Jamroni keluar. Martini berjalan ke kamar berbicara di depan cermin dan
menangis karena tidak menerima takdir.
Martini menangis tersedu dan perlahan-lahan terduduk lesu.
Ketukan pintu kamar.
Martini : Iya sebentar! (Sambil mengusap air matanya dan
menghampiri pintu)
Jamroni : Nih, minum! Tadi ada tetangga yang memberikan Jamu, karena
tahu kamu sedang hamil.
Martini : Apa ini?
Jamroni : Sudah minum saja! Katanya jamu ini baik untuk ibu hamil
Martini pun duduk sambil meminum jamu yang diberikan oleh Jamroni,
sedangkan Jamroni hanya mengintip di balik pintu kamar. Martini tergesa-gesa
menuju ke kamar mandi.

Sembilan bulan telah berlalu. Fajar terpancar dari sela-sela jendela. Kelahiran
Rara pun tiba, betapa bahagianya Martini karena anaknya telah lahir dengan
selamat, tapi seketika raut wajah Martini berubah menjadi kesedihan yang
mendalam, karena Jamroni yang tidak menginginkan kelahiran bayi tersebut.
Martini terduduk sambil menggendong anaknya.
Jamroni : Sekarang dia telah lahir. Lalu bagaimana? (Dengan nada penuh
amarah)
Martini : (Menarik nafas dengan tatapan yang sinis), harusnya aku yang
bertanya. . . Setiap hari Kamu berjudi. Pagi kamu jadikan malam,
malam Kamu jadikan pagi. Dimana peranmu sebagai seorang
Ayah?
Jamroni : Ayah Kamu bilang?! Aku tidak pernah menginginkan anak ini.
(Sambil menunjuk ke arah anaknya). Kamu masih ingat jamu yang
aku berikan? Itu adalah obat penggugur kandungan. (Tertawa)
Martini : Kamu. . . (Sambil menunjuk ke arah Jamroni heran dan tak
percaya)
Jamroni memotong pembicaraan Martini
Jamroni : Ya, aku yang memberikannya. Tapi, sayang rencanaku gagal.
Sekarang semua ini salahmu. (Berjalan meninggalkan Martini)
Martini masih duduk dengan kesedihannya. Disela kesedihanya itu, muncul berita
tentang kerusuhan 1998. Suara pembawa acara berita di layar televisi terdengar
menerangkan merosotnya ekonimi Indonesia. BBM naik, Martini khawatir, panik
dan terkejut karena masalah rumah tangganya belum selesai, ditambah dengan
berita tersebut seketika Martini jatuh pingsan.

Beberapa hari setelah pingsan, hal-hal aneh mulai terjadi pada Martini. Martini
duduk dengan tatapan kosong, sambil tertawa kecil.
Jamroni masuk ke kamar dengan jalan terhuyung dan menggenggam sebotol bir.
Jamroni : Sedang apa kamu? (Dengan nada yang tinggi) Lihat dirimu!
Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Jamroni berjalan menjauh dengan menengguk bir.
Jamroni : Sungguh sialnya aku. Tuhan, orang bilang Kamu Adil tapi tidak k
epadaku?
Jamroni berjalan ke arah tembok terhuyung.
Jamroni : Hidupku susah, Kamu beri Aku anak an sekarang apa?! Kamu
buat istriku gila dan Aku menderita, persetan! (Berteriak sambil
melempar botol) Bunuh saja Aku. . . Bunuh!!!
Martini : Eh copot. . . copot.
Hansip : (Sambil berjalan mindik-mindik membawa pentungan) Jih. . .
sakit lu ya berdua? Dari tadi gua liat elu ngomong sendiri
(Menunjuk Jamroni) yang satu ketawa sendiri (Menunjuk Martini),
udah ah kaga mau ikutan gua.
Hansip meninggalkan lokasi dan tiba-tiba Ayah datang.
Ayah : Astagfirullah. . . Kalian ini kenapa? Coba bicarakan baik-baik!
Jamroni : Ayah. . . Ayah. . . Ayah. Selalu saja ikut campur, bagaikan tiang
listrik yang menyambung dari timur ke barat. Sudahlah ini
urusanku bukan urusanmu!
Ayah : Astagfirullahaladzim. Nak, Ayah membesarkanmu untuk menjadi
lelaki yang bertanggungjawab dan imam bagi keluarga. Lihatlah
Martini dan Rara yang sedang membutuhkan seorang Ayah.
Bukankah dulu kamu berjanji untuk membahagiakannya?!
Jamroni : Membahagiakan perempuan ini? Dengan apa? Sujud saja tidak
cukup Yah. Aku butuh uang. . . Bahagia itu butuh uanh?!
Ayah : Nak, istigfar! Berdoalah kepada Allah, nanti Allah akan
memberikan rezekinya untukmu!
Jamroni : Memangnya uang turun dari langit begitu saja?!
Ayah : (Menggelengkan kepala) Astagfirullah. Kun Fayakun (Hadist)
Jamroni berbalik menatap ayahnya dengan lirih dan berlinang air mata.
Ayah : Istigfar, ingat pesan almarhuman ibumu! Kamu terlahir dan
dibesarkan oleh seorang wanita, tumbuh besar, sehat berkat
seorang wanita. Sekarang muliakanlah istrimu, rawatlah anakmu.
Bahagia itu sederhana, bukan hanya sekedar uanh, tapi ketenangan
dan menyamanan hati kita untuk melakukan semua hal baik karena
Allah.
Jamroni berteriak sambil menangis dan jatuh tersungkur.
Jamroni : Tapi sekarang semuanya sudah hancur Yah. . . Hancur. Lalu Aku
harus bagaimana?
Ayah : Bertobatlah, bahagiakan keluagamu, lakukanlah sekarang atau
menyesal selamanya!
Lalu ayah mengajak Jamroni keluar kamar dan menasehatinya.
Jamroni mengikuti ayahnya untuk berbicara, sementara Martini hanya berdua
dengan Rara. Martini berjalan untuk membuang Rara ke tong sampah. Jamroni
yang sedang berbicara dengan ayahnya, melihat Martini dan langsung
menyusulnya.
Jamroni : Martini. . . (Sambil mengejarnya)
Ayah : Astagfirullahaladzim, sadarlah. . . ini anakmu!
Jamroni : Martini, sadarlah!
Martini tersadar dan seketika bingung terhadap apa yang dilakukanya. Karena
rasa bersalahnya ia lari dengan raut wajah gelisah.
Jamroni : Martini tunggu. . . (Sambil mengulurkan tangannya)
Dalam kesedihan seketika Martini membayangkan keluarga kecilnya hidup
bahagia.
Rara : Bunda. . .
Martini : Anakku (Dengan rasa bahagia)
Rara : Bun. . . Bunda tahu? Rara sangat bersyukur karena Rara terlahir
dari rahim seorang ibu seperti Bunda.
Martini : Terima kasih Nak. (Tersenyum sambil memeluk Rara dengan
bahagia).
Ketika bayangan itu hilang. Martini merasa sepi dan terduduk sambil meringkuk.
Jamroni datang menghampiri Martini yang menggendong Rara.
Jamroni : Martini, lihat anak Kita! Dia cantik sepertimu, sadarlah Martini!
Mari besarkan anak Kita bersama. Maaf! Atas sikapku selama ini.
Martini : Maafkan Bunda Nak. . . Maafkan Bunda! Yanng itdak bisa
menahan (Sambil menggendong dan memeluk anaknya).

Siang berganti malam, hari berganti bulan, mentari menampakkan cahayanya


hingga bergantian dengan rembulan, tak luput waktupun terus berjalan.
Kesehatan Martini semakin membaik, keluarga kecil mereka kini hidup bahagia.
(Selesai)

Anda mungkin juga menyukai