KONSEP PENYAKIT
Pada setiap individu diketahui panjang dari sistem pencernaan yang diukur dari
mulut sampai ke anus sekittar 450 cm atau sekitar hampir 15 kaki, akan tetapi dari
sekitar 395cm merupakan panjang ususs besar dan juga usus kecil. Selain memiliki
panjang sekitar 395cm, usus kecil dan usus besar memiliki diameter sekitar 1-3 inci
yang melingkar dalam perut mulai dari pusar sampai ke bagian bawah. (Chalik, 2016)
Pencernaan merupakan proses pemecahan makanan yang dilakukan secara
mekanik dan kimiawi yang merupakan bentuk sederhana sehingga dapat diserap oleh
sel tubuh kita. Organ gastrointestinal (saluran pencernaan) membentang dari mulut
sampai ke anus. Organ utama pada saluran pencernaan ini meluputi mulut, faring,
esofagus (kerongkongan), lambung, usus kecil, usus besar, dan lubang anus.
Sedangkan untuk organ aksesorinya adalah gigi, lidah, kelenjar saliva, hati, kantung
empedu, dan pankreas.
Untuk sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan dengan meliputi satu
tabung yang memanjang dari mulut sampai ke anus dan juga organ aksesori yang
saling berhubungan, terutama pada bagian kelenjar yang terletak di bagian saluran
luar pencernaan yang melakukan proses ekresi pada cairan yang ada di dalamnya.
Ketika makanan sudah melalui proses pemecahan sampai menjadi molekul-molekul
yang nantinya akan diserap dan bagian sisa pencernaan akan dibuang oleh tubuh.
Saluran pencernaan memiliki nama lain yang disebut dengan alimentary tract atau
alimentary canal (saluran gastrointestinal) yang meliputi tabung panjang yang
membentang dari mulut sampai ke bagian anus. Ada juga struktur akesori yang
terdapat di mulut meliputi lidah dan gigi. Ada juga beberapa organ dalam tubuh yang
memiliki peran dalam proses pencernaan tetapi bukan bagian dari saluran pencernaan,
beberapa organ tersebut meliputi kelenjar ludah, hati, kantung empedu, dan pankreas.
Jika dilihat secara teknis, saluran gastrointestinal atau saluran pencernaan ini hanya
mengacu pada organ lambung dan juga usus.
Daerah saluran pencernaan meliputi berikut ini:
- Rongga mulur atau mulut dengan kelenjar saliva dan tonsil sebagai organ
aksesori
- Faring atau tenggorokan
- Esofagus
- Lambung
- Usus kecil, terdiri dari duodenum, ileum, dan jejunum, dengan hati, kantung
empedu, dan pankreas sebagai organ aksesori utama
- Usus besar, terdiri dari cecum, kolon, rektum, dan kanal anal (lubang anus)
- Anus
Ketika memasuki tubuh makanan yang kita konsumsi akan melewati tiga proses
dalam tubuh, meliputi pencernaan, absorpsi, dan metabolism. Untuk proses
pencernaan dan absopsi terjadi di dalam saluran pencernaan. Ketika nutrisi selesai
diserap oleh tubuh, maka nutrisi tersebut akan menjadi semu sel dalam bagian tubuh
kita yang digunakan oleh sel untuk proses metabolisme.
Adalah organ ini berbentuk J yang terletak pada daerah superior kiri rongga
abdomen di bawah diafragma, ukuran dan bentuknya sangat bervariasi tergantung
ukuran tubuh manusia (umur) dan didalam lambung terdiri dari beberapa bagian
seperti:
a) Bagian kardia lambung (area disekitar pertemuan esofagus dan lambung
(pertemuan gastroesofagus).
b) Bagian fundus (bagian yang menonjol ke sisi kiri atas mulut esofagus).
c) Bodi lambung (bagian yang terdilatasi dibawah fundus yang membentuk dua
pertiga bagian lambung. Tepi medial bodi lambung yang konkaf disebut
kurvatur kecil tetapi lateral bodi lambung yang konveks disebut kurvatur
besar.
d) Bagian pilorus lambung yang menyempit di ujung bawah lambung dan
membuka ke duodenum. Antrum pilorus mengarah ke mulut pilorus yang
dikelilingi sfingter pilorus muskular tebal.
i. Histologi dinding lambung
Ada tiga lapisan jaringan dasar (mukosa, submukosa, dan jaringan
muskularis) beserta modifikasinya
(1) Muskularis eksterna pada bagian fundus dan bodi lambung
mengandung lapisan otot melintang (oblik) tambahan. Lapisan otot
tambahan ini membantu keefektifan pencampuran dan penghancuran
isi lambang.
(2) Mukosa membentuk lipatan-lipatan (ruga) longitudinal yang menonjol
sehingga memungkinkan peregangan dinding lambung. Ruga terlihat
saat lambung kosong dan akan menghalus saat lambung meregang
terisi makanan.
(3) Ada kurang lebih 3 juta pit lambung di antara ruga-ruga yang
bermuara pada sekitar 15 juta kelenjar lambung. Kelenjar lambung
yang dinamakan sesuai letaknya, menghasilkan 2 L sampai 3 L cairan
lambung. Cairan lambung mengandung enzim- enzim pencernaan,
asam klorida, mukus, garam-garaman, dan air.
Hati terdiri atas banyak unit fungsional yang disebut lobula. Di dalam setiap
lobula, sel epitelium yang disebut hepatosit disusun dalam lapisan – lapisan yang
menyebar keluar dari vena sentral. Sinusoid hati adalah ruang yang terdapat
diantara kelompok lapisan ini, sedangkan saluran yang lebih kecil yang disebut
kanalikulus empedu memisahkan lapisan yang lain. Masing – masing dari
(biasanya) enam sudut lobula ditempati oleh tiga pembuluh: satu duktus empedu
dan dua pembuluh darah (triad portal). Pembuluh darah ini merupakan cabang dari
arteri hepatik (yang membawa darah teroksigen) dan dari vena porta hepatik (yang
membawa darah tak teroksigen tetapi kaya nutrisi dari usus kecil).
Darah masuk ke hati lewat arteri hepatik dan vena porta hepatik dan
kemudian didistribusikan ke lobula. Darah mengalir ke setiap lobula dengan
melewati sinusoid hati dan berkumpul di vena senyral. Vena sentral dari
semua lobula bersatu dan keluar dari hati lewat vena hepatik (bukan vena
porta hepatik)
Di dalam sinusoid, fagosit yang disebut sel kupffer (sel
retikuloendoteluim berbentuk bintang) menghancurkan bakteri dan
memecah sel darah merah dan putih yang tua serta sisa – sisa yang lain.
Hepatosit yang membatasi sinusoid juga menyaring darah yang masuk.
Hepatosit menghilangkan berbagai zat dari darah termasuk oksigen, nutrisi,
toksin dan material buangan. Dari zat ini, hepatosit menghasilkan empedu
yang disekresi ke dalam kanalikulus empedu, yang masuk ke duktus
empedu. Duktus empedu dari berbagai lobula bersatu dan keluar dari hati
lewat duktus hepatik umum tunggal. Duktus hepatik umum ini bersatu
dengan duktus sisitikus dari kantung empedu membentuk ampula
hepatopankreas (hepatopankreatic ampulla). Saluran terakhir ini membawa
empedu ke usus kecil.
B. Perforasi Gaster
1. Definisi Perforasi Gaster
Perforasi gaster adalah luka yang terjadi pada lapisan lambung sehingga
terbentuknya lubang pada lambung. Perforasi gaster ini disebabkan oleh
komplikasi serius dari penyakit tukak lambung. Akibat lapisan dinding lambung
yang berlubang maka isi lambung keluar dan masuk kedalam rongga perut. Pada
pasien perforasi gaster sering ditandai dengan acute abdomen mendadak dan dari
nyeri ini menyebabkan takikardi pada pasien. Gejala yang dirasakan pada pasien
tidak pernah benar – benar hilang walaupun sudah dilakukan penanganan umum,
sehingga memaksa pasien untuk segera mendapatkan penanganan pembedahan.
(Chung and Shelat, 2017)
2. Etiologi
Menurut Stern and Journey (2019), penyebab dari perforasi gaster dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perforasi Non-Trauma:
1) Spontan pada bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress
2) Komplikasi akut dari ulkus gaster yang bisa disebabkan oleh infeksi H
Pylori, obat-obatan (OAINS, kortikosteroid).
3) Gaya hidup
4) Stress psikologis
5) Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid: terutama pada
pasien lanjut usia.
b. Perforasi Trauma (Tajam atauTumpul),
1) Trauma iatrogenic setelah pemasangan pipa nasogastric saat endoskopi
2) Luka penetrasike dada bagian bawah atau abdomen
3) Trauma tumpul pada gaster: trauma seperti ini lebih umum pada anak
dari pada dewasa dan termasuk trauma yang berhubungan dengan
pemasangan alat, cedera gagang kemudi sepeda dan sindrom sabuk
pengaman.
3. Manifestasiklinis
Menurut Chung and Shelat (2017), tanda dan gejala perforasi gaster adalah
a. Kesakitanhebatpadaperut dank ram diperut
b. Nyeri di daerah epigastrium
c. Hipertermi
d. Takikardi
e. Hipotensi
f. Biasanyatampakletargikkarnasyoktoksik
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos abdomen pada posisi berdiri
Pemeriksaan penunjang foto polos abdomen posisi tegak menunjukkan
pneumoperitoneum pada 80% kasus. Jika tidak didapati udara bebas pada foto
polos abdomen, CT abdomen akan menunjukkan hasil yang lebih sensitif
(hingga 98%).
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai
densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena terdapat
kandungan lambung.
c. CT-scan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi
udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat
pada foto rontgen murni dinyatakan negative. Oleh karena itu, CT-scan
sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster (Chung and Shelat, 2017)
6. Komplikasi
Menurut Chung and Shelat (2017), komplikasi pada perforasi gaster, sebagai
berikut:
a. Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada
Gaster.
b. Kegagalan luka operasi Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total
pada setiap lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat. Faktor-
faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka operasi antara lain
malnutrisi, sepsis, uremia, diabetes melitus, terapi kortikosteroid, obesitas,
batuk yang berat, hematoma (dengan atautanpa infeksi)
c. Abses abdominal terlokalisasi
d. Kegagalan multi organ dan syok septic:
1) Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan
manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada
septicemia gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau
leukopenia (pada septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler.
2) Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut, sepert
hilangnya tonus vasomotor, peningkatan permeabilitas kapiler, depresi
myocardial, pemakaian leukosit dan trombosit, penyebaran substansi
vasoaktifkuat, seperti histamin, serotonin dan prostaglandin, menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler, aktivasi komplemen dan kerusakan
endotel kapiler.
3) Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk dari
gram-positif, mungkin karena hubungan dengan endotoksemia.
e. Gagal ginjal danketidak seimbangan cairan, elektrolit, dan pH
f. Perdarahan mukosa gaster.
g. Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesipostoperatif
h. Delirium post-operatif.
7. Penatalaksanaan
Menurut Soreide et al. (2015), penatalakasanaan pasien perforasi gaster
harus dalam tempo sesegera mungkin dalam penegakan diagnosis dan resusitasi,
sebagai berikut:
a. Tatalaksana non-Operatif
Penatalaksanaan non-operatif mampu dilakukan hanya jika kondisi klinis pasien
dalam keadaan yang baik dengan gejala sedikit atau lokal. Opsi operasi dapat
ditunda namun harus tetap diobservasi secara rutin. Penatalaksanaan yang
ada dapat berupa antibiotik intravena, puasa dan dekompresi, obat anti-
sekretorik dan protein pump inhibitor.
Faktor yang paling penting terhadap kesuksesan dari tatalaksana non-operatif dari
perforasi gaster adalah apakah ulkus tersebut sudah menutup atau belum. Hal
ini dapat ditunjukkan lewat pemeriksaan menggunakan kontras gastrografin.
Jika ada kebocoran dari kontras, maka tindakan operasi diperlukan. Tapi, jika
ulkus telah tertutup sendirinya dengan omentum ataupun organ lainnya,
tatalaksana non-operatif dapat dilakukan pada pasien yang tidak memiliki
peritonitis ataupun sepsis berat.
b. Tatalaksana Operatif
Manajemen perforasi gaster yang utama adalah pembedahan dan jahitan dengan
beberapa teknik yang berbeda. Teknik yang paling umum meliputi penutupan
secara langsung dengan interrupted sutures, penutupan dengan interrupted
sutures yang diselimuti oleh tangkai omentum di atasnya (Cellan-Jones
repair) atau memasukkan omental plug bebas ke lokasi perforasi (Graham
patch).
C. Peritonitis
1. Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi
aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis
dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difus dan riwayat akut atau kronik. (Japanesa et
al., 2016)
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum yang dapat terjadi karena
kontaminasi mikroorganisme dalam rongga peritoneum, bahan kimiawi, atau
keduanya. Peritonitis merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen. (Sayuti, 2020)
Berdasarkan definisi diatas, kelompok menyimpulkan bahwa peritonitis
adalah peradangan pada selaput organ perut (peritoneum). Peritonitis dapat
disebabkan karena kontaminasi mikroorganisme dalam rongga peritoneum, bahan
kimiawi, atau keduanya.
2. Anatomi Peritoneum
3. Klasifikasi
Menurut Elsevier (2007) dikutip dari (Sayuti, 2020) menyebutkan bahwa
peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer, peritonitis sekunder,
dan peritonitis tersier.
a. Peritonitis primer disebabkan oleh penyebaran infeksi melalui darah dan
kelenjar getah bening di peritoneum dan sering dikaitkan dengan penyakit
sirosis hepatis. Menurut (Warsinggih, 2016) peritonitis primer sering disebut
juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Kasus SBP disebabkan
oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif (E. coli,
klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus), bakteri gram positif
(streptococcus pneumonia, staphylococcus).
Peritonitis primer dibedakan menjadi 2 yaitu:
1) Spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik,
misalnya kuman tuberkulosa.
2) Non- spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non
spesifik, misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.
(Warsinggih, 2016)
b. Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal
dari traktus gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis yang paling
sering terjadi.
c. Peritonitis tersier merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung
yang sering terjadi pada pasien imunokompromais dan orang-orang dengan
kondisi komorbid.
4. Etiologi
Menurut (Warsinggih, 2016) Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh
bermacam hal, antara lain:
a. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik
terganggu
b. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi
vena porta pada sirosis hati, malignitas.
c. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus alienum,
misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang, trauma
d. Radang, yaitu pada peritonitis
e. Adapun Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis,
yaitu: penyakit hati dengan ascites, kerusakan ginjal, compromised immune
system, pelvic inflammatory disease, appendicitis, ulkus gaster, infeksi
kandung empedu, colitis ulseratif /chron’s disease, trauma, CAPD (Continous
Ambulatory Peritoneal Dyalisis), pankreatitis. (Warsinggih, 2016)
5. Manifestasi Klinis
Menurut (Warsinggih, 2016) gejala klinis peritonitis yang terutama adalah
nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat
hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen dan makin hebat
nyerinya dirasakan saat penderita bergerak.
Gejala lainnya meliputi:
- Demam Temperatur lebih dari 380C, pada kondisi sepsis berat dapat
hipotermia
- Mual dan muntah Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau
akibat iritasi peritoneum
- Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.
- Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar
bising usus
- Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat kontraksi
otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi terhadap
penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap
iritasi peritoneum
- Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
- Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
- Tidak dapat BAB/buang angin.
6. Patofisiologi
Menurut (Ruben, 2018) reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di
antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,
dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan
selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,
tapi ini segera gagal begitu terjadi hypovolemia. (Ruben, 2018)
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. (Ruben, 2018)
7. Pathway (Sholikhah, 2015)
b. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematokrit yang
meningkat
2) Analisa gas darah, menunjukna asidosis metabolik, dimana terdapat kadar
karbondioksida yag disebabkan oleh hiperventilasi
10. Penatalaksanaan
Menurut (Warsinggih, 2016) peritonitis adalah suatu kondisi yang
mengancam jiwa, yang memerlukan pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip
utama terapi pada infeksi intra abdomen adalah:
a. mengkontrol sumber infeksi
b. mengeliminasi bakteri dan toksin
c. mempertahankan fungsi sistem organ
d. mengontrol proses inflamasi
11. Komplikasi
Menurut (Agustini, 2017) komplikasi pada peritonitis dikelompokan menjadi 2
kelompok yaitu sebagai berikut.
a. Komplikasi peritonitis spontan meliputi :
1) Ensefalopati, yang merupakan hilangnya fungsi otak yang terjadi ketika
hati tidak bias lagi membuang zat beracun dari darah
2) Sindrom hepatprenal, yaitu gagal hinjal yang progresif akibat kegagalan
hati
3) Sepsis, yang merupakan reaksi yang terajdi ketika aliran darah terinfeksi
bakteri
b. Komplikasi peritonitis sekunder meliputi :
1) Abses intra-abdominal, abses atau kumpulan nanah pada rongga perut
perlengketan usus dapat terjadi sehingga menyebabkan usus tersumbat
2) Adhesi intraperitoneal, merupakan pita dari jaringan fibrosa menempel
dengan organ perut dan dapat menyebabkan penyumbatan usus
3) Syok sepsis, kondisi ini bisa menyebabkan tekanan darah menurun
drastis sehingga beberapa organ tubuh gagal berfungsi.
D. Ileus Paralitik
1. Definisi
Menurut (Beach & De Jesus, 2020) Ileus, juga dikenal sebagai ileus
paralitik atau ileus fungsional, terjadi bila ada penurunan non-mekanis atau
penghentian aliran isi usus. Obstruksi usus adalah penyumbatan mekanis isi usus
oleh massa, adhesi, hernia, atau penyumbatan fisik lainnya. Kedua penyakit ini
mungkin muncul dengan cara yang sama, tetapi pengobatannya bisa sangat
berbeda tergantung pada patologi yang mendasarinya.
Menurut (Weledji, 2020) ileus paralitik adalah suatu kondisi di mana
terdapat kelumpuhan motorik fungsional pada saluran pencernaan akibat
kegagalan neuromuskuler yang melibatkan plexus myenteric (Auerbach's) dan
submucous (Meissner's). Usus gagal mengirimkan gelombang peristaltik,
mengakibatkan obstruksi fungsional, dan memungkinkan cairan dan gas
terkumpul di usus.
Berdasarkan definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa ileus paralitik
adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan
mekanik sehingga isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau
anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam lumen
usus, penyumbatan mekanis isi usus oleh massa, adhesi, hernia, atau
penyumbatan fisik lainnya.
2. Etiologi
Menurut (Beach & De Jesus, 2020) penyebab ileus belum dapat ditentukan
dengan jelas namun, ada beberapa faktor resiko yang telah terbukti meningkatkan
kemungkinan ileus diantaranya sebagai berikut.
a. Operasi perut atau panggul yang berkepanjangan
b. Operasi saluran pencernaan bagian bawah
c. Operasi terbuka
d. Operasi tulang belakang retroperitoneal
e. Penggunaan opioid
f. Peradangan intraabdominal (sepsis/peritonitis)
g. Komplikasi perioperatif (pneumonia,abses)
h. Pendarahan (intra operatif/pasca operatif)
i. Hipokalemia
j. Penempatan selang nutrisi enternal atau nasogastrik yang tertunda
Resiko ileus dipengaruhi oleh berbagai faktor, masing-masing memengaruhi
sebagian kecil sistem neuroimun yang kompleks. Faktor tersbut meliputi agen
farmakologis seperti opioid, antihipertensi,serta kondisi medis termasuk
pneumonia,stroke dan kelainan elektrolit.
3. Manifestasi Klinis
Menurut (Weledji, 2020) manifestasi klinis dari ileus paralitik diantaranya sebagai
berikut.
a. Nyeri ringan sampai sedang, tidak terlokalisasi dengan baik, dan stabil,
berbeda dengan nyeri kram parah yang berhubungan dengan obstruksi
mekanis. Hal ini disebabkan peristaltik yang meningkat terhadap lesi
obstruktif atau paralitik dan adanya tumpang tindih karena obstruksi mekanis.
b. Takipnea karena diafragma didorong ke atas dan takikardia akibat
hipovolemia.
c. Obstruksi usus menyebabkan distensi abdomen, peningkatan tekanan
intraluminal yang berkepanjangan merusak viabilitas dinding usus dengan
difusi produk bakteri beracun ke dalam rongga peritoneum di mana mereka
diserap dan menghasilkan toksemia sehingga abdomen menjadi buncit.
d. Deplesi kalium, yang menyebabkan kelemahan dan paresis otot polos, dan
dapat menyebabkan keadaan ileus adinamik pada lesi obstruktif yang ada.
e. Muntah jarang terjadi, dengan sedikit muntahan asam atau bilious.
f. Suara resonansi yang ditimbulkan oleh perkusi abdomen (timpani) dapat
didengar terkait dengan ileus paralitik dan mengindikasikan adanya gas yang
terperangkap di usus. Meskipun bukan karakteristik ileus, percikan
succussion dapat dideteksi saat abdomen terguncang jika terdapat cairan atau
gas dalam jumlah besar di loop usus yang melebar.
g. Hasil radiografi polos menunjukkan adanya gas di seluruh lambung, usus
kecil, dan usus besar, dengan lebih banyak di usus besar daripada usus halus.
Lingkaran usus buncit dapat terlihat di dekat lokasi proses inflamasi, seperti
yang berhubungan dengan apendisitis atau pankreatitis.
4. Patofisiologi
Menurut (Beach & De Jesus, 2020) mekanisme dan penyebab pasti ileus
tidak diketahui secara pasti karena kompleksitas dan banyaknya sistem yang
terlibat. Ileus merupakan interaksi neuroimun yang terdiri dari dua fase yaitu fase
neurogenik awal dan fase inflamasi. Interaksi ini diatur oleh komunikasi dua arah
antara sistem saraf otonom (termasuk aferen, eferen, dan sistem saraf enterik) dan
sistem kekebalan baik di luar maupun di dalam saluran GI (sel mast, makrofag).
Makrofag yang berada di tunika muskularis eksternal dinding usus
melepaskan sitokin yang menginduksi aktivasi sel pro-inflamasi lebih lanjut,
sitokin antiperistaltik lainnya (termasuk interleukin-6 dan TNF-alpha), bersama
dengan neuropeptida dan oksida nitrat. Secara keseluruhan interaksi ini dimulai
dengan manipulasi usus. Stres operasi dan manipulasi usus menyebabkan
aktivasi respon inflamasi molekuler lokal, pelepasan hormon, dan
neurotransmitter yang menghasilkan aktivitas simpatis penghambatan
berkelanjutan dan penekanan aparatus neuromuskuler (Beach & De Jesus, 2020).
Ileus paralitik terjadi akibat perubahan aktivitas saraf dan sinyal yang
mengontrol motilitas gastrointestinal. Sementara motilitas gastrointestinal
dirangsang oleh sistem saraf parasimpatis, ia dihambat oleh simpatis dan
dikoordinasikan oleh sistem saraf enterik (intrinsik). Patofisiologi ileus paralitik
ditentukan oleh penyebabnya. Bentuk miogenik terjadi akibat disfungsi otot
seperti yang berhubungan dengan distrofi miotonik. Bentuk neurogenik ileus
melibatkan disfungsi sistem saraf otonom dan / atau sistem saraf enterik. Jenis
ileus ini terjadi akibat penghambatan motilitas usus yang berlebihan, kurangnya
eksitasi motilitas, atau keduanya. Abnormalitas metabolik, termasuk hipokalemia
dan ketoasidosis, beberapa obat, dan trauma pada tulang belakang atau regio
retroperitoneal dapat menyebabkan perubahan fungsi neuronal yang
menyebabkan ileus paralitik (Woodfork, 2017).
Peritonitis adalah kondisi serius akibat iritasi pada peritoneum akibat
infeksi, seperti perforasi usus buntu, atau dari iritasi kimiawi akibat kebocoran
usus, seperti perforasi ulkus duodenum. Dalam kasus terakhir, infeksi tambahan
juga secara bertahap terjadi karena Escherichia coli dan Bacteroides yang
merupakan organisme yang paling umum. Rongga peritoneum menjadi meradang
akut dengan produksi eksudat inflamasi yang menyebar ke seluruh peritoneum,
menyebabkan dilatasi usus dan ileus paralitik. Peritonitis menyebabkan ileus
awalnya dari peradangan, kedua dari toksin bakteri, dan akhirnya, adhesi
fibrinous yang akhirnya dapat menahan kembalinya fungsi usus. Bakteri
lipopolisakarida (LPS) juga menyebabkan ileus memulai respon inflamasi di
dalam lapisan otot polos usus dan penurunan selanjutnya secara in vitro dan in
vivo kontraktilitas otot polos. Ileus pada peritonitis umum ditandai dengan
beberapa usus yang membengkak (Weledji, 2020).
5. Pathway
6. Pemeriksaan Diagnostik
Berdasarkan jurnal [ CITATION Vil17 \l 1033 ] pemeriksaan diagnostik dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Pemeriksaan fisik
Menurut Sarr et al dalam [ CITATION Vil17 \l 1033 ] Pemeriksaan fisik sangat
penting dilakukan karena dapat menghasilkan bukti terjadinya ileus mekanis.
Pada pemeriksaan fisik biasanya harus mencakup tanda-tanda vital,
pemeriksaan abdomen secara menyeluruh biasanya pasien akan mengalami
takikardia, takipnea, demam dan nyeri perut menyeluruh dan biasanya saat
dilakukan pemeriksaan juga saat bising usus dilakukan palpasi Dengan
stetoskop, bising usus mungkin terdengar sangat keras dan bernada tinggi,
atau tidak terdengar sama sekali.
b. Tes laboratorium
Menurut Niko et al, Maulana et al & Sari et al dalam [ CITATION Ind151 \l
1033 ] Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi
hemokonsentrasi,leukositosis, dan gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan
radiologis, dengan posisi tegak,terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan
15 gambaran anak tangga dari usus kecil yang mengalami dilatasi dengan air
fluid level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya obstruksi mekanis
dan letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan
pemeriksaan rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan barium
inloop) untuk mencari penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi
hernia.
c. Gambaran tanda dan gejala
Menurut [ CITATION Sig201 \l 1033 ] Tanda dan gejala pada ileus juga dapat
menjadi acuan terhadap pemeriksaan diagnostik dan hal ini dilihat dari tanda
dan gejala ileus dan derajat keparahannya bergantung pada lokasi sumbatan.
Tanda dan gejala dapat berupa penolakan makan, muntah, dan penurunan
aktivitas. Manifestasi yang paling umum adalah distensi dan nyeri abdomen
yang tiba-tiba; Gejala yang kurang umum adalah ileus, gangguan pernapasan,
demam, muntah, hematemesis, atau hematochezia. Pasien dengan perforasi
selalu mengeluhkan onset akut nyeri perut yang parah atau nyeri dada; pasien
sering mencatat waktu onset nyeri yang tepat. Nyeri dada atau perut yang
parah setelah instrumentasi harus dilihat dengan tingkat kecurigaan yang
tinggi untuk perforasi lambung. Pasien yang menggunakan agen
imunosupresif atau anti-inflamasi mungkin memiliki respons inflamasi yang
terganggu dan beberapa mungkin memiliki lebih sedikit rasa sakit dan nyeri
tekan. Banyak dari mereka akan mencari pertolongan medis dengan
timbulnya rasa sakit tetapi beberapa akan hadir dengan cara yang tertunda
(mungkin muncul dengan sepsis). Iritasi diafragma dapat terjadi yang
menyebabkan nyeri menjalar ke bahu. Sepsis bisa menjadi presentasi awal
perforasi. Kemampuan permukaan peritoneal untuk menutup perforasi dapat
terganggu pada pasien dengan komorbiditas medis yang parah terutama
pasien yang lemah, lanjut usia, dan imunosupresi, yang mengakibatkan
sepsis.
7. Penatalaksanaan
a. Terapi Standar
Menurut Summers dalam (Woodfork, 2017) pengobatan ileus paralitik harus
mengatasi penyebabnya, seperti kelainan metabolik, sepsis atau respons yang
merugikan terhadap terapi obat. Tindakan pendukung meliputi perbaikan
dehidrasi dan ketidakseimbangan asam basa atau elektrolit. Obat yang
menurunkan motilitas usus harus ditarik atau dosisnya dikurangi. Tidak ada yang
diambil secara lisan, dengan nutrisi parenteral total sementara diperlukan dalam
kasus yang berkepanjangan. Konsultasi bedah harus dilakukan jika terdapat
obstruksi mekanis atau tanda-tanda peritoneal, seperti nyeri, nyeri tekan, dan
kekakuan otot perut (pelindung) yang ditimbulkan oleh pergerakan dinding perut.
Ini menunjukkan proses inflamasi seperti apendisitis, perubahan iskemik usus,
atau perforasi.
Dekompresi nasogastrik adalah pengobatan suportif yang mencegah udara
yang tertelan melewati distal dan menghilangkan sekresi gastrointestinal bagian
atas. Ini biasanya digunakan, secara intermiten, untuk menghilangkan rasa sakit
yang parah dan kembung yang disebabkan oleh ileus. Menurut Cheatham et al
dalam (Woodfork, 2017) Sebuah meta-analisis dari 26 percobaan menemukan
bahwa dekompresi nasogastrik efektif dalam mengurangi distensi abdomen dan
muntah, meskipun hal itu dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi paru,
seperti atelektasis dan pneumonia, dan peningkatan waktu untuk asupan oral
pertama. Penggunaan dekompresi nasogastrik tidak mengurangi lamanya rawat
inap.
Menurut jurnal Baig dan Wexner dalam (Woodfork, 2017) ada data yang
bertentangan mengenai efektivitas pemberian makan pasca operasi dini dalam
mengurangi durasi ileuspasca operasi. Meskipun beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan mual pada kelompok makan awal, tidak ada yang
menunjukkan peningkatan ileus paralitik atau komplikasi pasca operasi pada
kelompok makan awal. Sebuah studi kecil tentang pemberian makan palsu
menunjukkan bahwa pasien yang diberi permen karet untuk dikunyah tiga kali
selama hari pertama pasca operasi mengalami durasi yang lebih pendek dari ileus
pasca.
Menurut Summers dalam (Woodfork, 2017) Enema lembut mungkin
berguna dalam mengevakuasi usus bagian distal pada kasus pseudoobstruksi
kolon akut (sindrom Ogilvie). Radiografi yang sering harus dilakukan untuk
memantau diameter kolon. Paling umum kondisi ini hilang secara spontan dengan
pengobatan non-invasif suportif. Sering dinyatakan bahwa penanganan
pseudoobstruksi kolon akut non-invasif dapat dilanjutkan sampai diameter kolon
mencapai 12 cm, di mana terdapat risiko tinggi perforasi kolon yang
menyebabkan sepsis fatal. Namun, diameter yang berkembang pesat dapat
memberikan korelasi yang lebih baik dengan risiko perforasi yang akan datang,
seperti juga durasi pelebaran kolon. Dalam kondisi ini, intervensi bedah dapat
diindikasikan. Paling umum, deflasi kolonoskopi digunakan. Meskipun prosedur
ini memiliki tingkat keberhasilan 75-100%, prosedur ini berisiko menyebabkan
perforasi usus besar, terutama pada usus besar yang tidak dipersiapkan dengan
baik. Biaya bedah lebih sering digunakan di masa lalu untuk mengobati kondisi
ini dan mungkin masih diindikasikan untuk beberapa pasien.
Menurut jurnal Baig dan Wexner dalam (Woodfork, 2017) Ada sedikit cara
farmakoterapi untuk ileus paralitik. Banyak agen yang digunakan untuk
merangsang motilitas usus dalam kondisi seperti gastroparesis tidak efektif atau
minimal efektif pada penderita ileusparalitik. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa metoclopramide,sebuah dopamin D2 dan serotonin 5-HT3
reseptor antagonis dan 5-HT4 reseptor agonis, tidak efektif dalam memperpendek
durasi ileus pasca operasi. Erythromycin, agonis reseptor motilin yang
menstimulasi aktivitas kontraktil dari saluran gastrointestinal bagian atas
tampaknya juga tidak efektif. Bethanechol, agonis reseptor kolinergik
muskarinik, memiliki aktivitas prokinetik minimal di ileus dan menghasilkan
efek samping kolinergik yang signifikan.
8. Komplikasi
Menurut jurnal [CITATION Mad16 \l 1033 ] Komplikasi pada ileus paralitik ini
biasa nya disebabkan karena adanya peningkatan IAP yang mengakibatkan
hipertensi intra-abdominal berkelanjutan dan komplikasi ini mempengaruhi
terjadinya disfungsi organ multipel yang terdiri dari beberapa organ tubuh
seperti :
a. Refluks / aspirasi gastroduodenal
Menurut Ewig et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Gangguan motilitas dan
gangguan propulsi isi usus menyebabkan refluks cairan usus dari usus kecil
kembali ke lambung dan meningkatkan residu lambung. Konsekuensinya
adalah kolonisasi lambung dengan bakteri usus, peningkatan mikroorganisme
ke kerongkongan dan ke dalam faring dan aspirasi 'diam' ke dalam pohon
trakeobronkial. Hal ini, bersamaan dengan muntah dan aspirasi yang
berlebihan, meningkatkan risiko terjadinya pneumonia
b. Pengambilan cairan / hypovolemia
Menurut Nellgard et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Semua jenis ileus
dikaitkan dengan efek yang sangat besar pada keseimbangan cairan tubuh.
Setidaknya pandangan konvensional dari obstructive ileus menyatakan bahwa
peningkatan distensi dan peningkatan intraluminal dan / atau IAP secara
bersamaan mengganggu perfusi usus, mengganggu mikrosirkulasi (terutama
sistem vena pasca kapiler) dan pada akhirnya mengakibatkan sekuestrasi
cairan ke dalam dinding usus dan ke dalam usus. lumen. Selain itu, pada ileus
obstruktif juga terjadi perkembangan peradangan yang mendalam pada
dinding usus yang mendorong hilangnya cairan ke dalam ruang luminal. Pada
ileus paralitik perfusi mukosa meningkat — setidaknya pada tahap awal dan
tanpa adanya peningkatan IAP — oleh reaksi inflamasi pada dinding usus.
Cairan ini ke dalam 'ruang ketiga' dapat menyebabkan beberapa liter, dapat
menyebabkan hipovolemia dan gangguan peredaran darah, dan dapat
menyebabkan atau memperburuk berbagai konsekuensi sistemik ileus.
Penatalaksanaan cairan dan peredaran darah sangat penting untuk mencegah
komplikasi ini dan dengan demikian menjadi landasan dalam terapi pasien
dengan ileus (lihat di bawah).
c. Pertumbuhan berlebih bakteri
Menurut Marshall et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Baik ileus obstruktif
dan paralitik berhubungan dengan perubahan flora usus, dengan pertumbuhan
berlebih dari bakteri, terutama Escherichia coli. Dengan kerusakan efek
perlindungan lapisan mukus gastrointestinal, mikro-organisme dan / atau
endotoksin / eksotoksin dapat menempel atau menyerang mukosa,
menyebabkan peradangan mukosa, dan meningkatkan perfusi mukosa dan
hipersekresi.
Pemberian antibiotik secara bersamaan dan / atau tidak memadai dapat
mendorong seleksi bakteri dan pertumbuhan berlebih. Hal ini akan
menyebabkan diare atau kolitis yang diinduksi oleh antibiotik, tetapi juga
menjadi faktor penting dalam mendorong translokasi bakteri. Dalam konteks
ini saluran gastrointestinal juga disebut sebagai 'abses yang tidak terkendali.
Hubungan erat antara kolonisasi gastrointestinal dan evolusi infeksi invasif
telah dibuktikan. Ini juga membentuk dasar pemikiran untuk prosedur lavage
usus untuk mengurangi pertumbuhan bakteri yang berlebihan.
d. Translokasi bakteri
Menurut Wilmore et al & Deitch et al [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Istilah
translokasi menunjukkan permeasi mikroorganisme yang dapat hidup
(bakteri, virus, jamur), fragmen mikroorganisme (endotoksin) atau
makromolekul melalui dinding usus yang utuh atau terluka ke dalam sistem
limfatik dan / atau sirkulasi vena usus. Translokasi menyajikan mekanisme
fisiologis penting untuk presentasi antigen ke sistem kekebalan; ini
mendorong pematangan sistem kekebalan dan evolusi toleransi kekebalan,
yang diperlukan untuk menimbulkan respons inflamasi yang memadai
terhadap infeksi. Translokasi, bagaimanapun, dapat menjadi fenomena
patologis jika jenis atau jumlah bakteri usus tidak normal dan / atau fungsi
penghalang dari dinding usus terganggu dan / atau imunokompetensi sistemik
organisme terganggu. Hal ini akan mengakibatkan tumpahan mikroorganisme
ke dalam sistem limfatik (dan melalui vena kava superior ke dalam sirkulasi
dan paru-paru) dan / atau ke dalam sirkulasi portal dan hati dan akhirnya
mendorong evolusi infeksi sistemik dan septikemia, masing-masing (hipotesis
usus' dari sepsis).
e. Kardiovaskular
Menurut Cheatham et al dalam (Woodfork, 2017) Peningkatan IAP dan
peningkatan tekanan intratoraks secara bersamaan menyebabkan penurunan
curah jantung yang progresif. Pada pasien dengan peningkatan IAP, aliran
balik vena, pengisian jantung, kepatuhan ventrikel, dan kontraktilitas
semuanya terpengaruh. Pada model hewan, peningkatan IAP dari 15 menjadi
20 dan menjadi 25 mmHg menghasilkan penurunan curah jantung yang
bergradasi masing-masing 14, 21 dan 35%. Pada pasien ICU medis,
dekompresi abdomen non-bedah mengakibatkan penurunan yang signifikan
pada tekanan vena sentral, tekanan baji kapiler paru, dan tekanan arteri
pulmonalis. Pada saat yang sama, curah jantung dan tekanan arteri rata-rata
meningkat secara signifikan. Setidaknya pada tahap hipertensi abdomen yang
lebih ringan, tekanan arteri rata-rata tidak terpengaruh karena peningkatan
kompensasi pada resistensi vaskular sistemik. Status volume pasien adalah
yang paling penting dalam memodulasi efek - yang lebih jelas terlihat pada
hipovolemia. Pembebanan volume danperedaran darah dukunganadalah
manuver terapeutik sentral untuk mengurangi konsekuensi sistemik. Banyak,
tetapi tidak semua, keterlibatan organ yang tercantum di bawah ini
merupakan konsekuensi dari penurunan curah jantung.
f. Usus
Menurut Sugure et al & Ivatury et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Usus
merupakan organ yang paling sensitif terhadap peningkatan IAP. Penurunan
aliran darah mesenterika selanjutnya mengganggu fungsi pertahanan usus dan
meningkatkan translokasi bakteri (lihat di atas). Pengukuran pH intramucosal
dengan tonometri lambung pada pasien hipertensi abdomen menunjukkan
penurunan pH dengan peningkatan IAP. Pada pasien dengan trauma abdomen
dan peningkatan IAP intramucosal pH meningkat 75% setelah dekompresi
abdomen. Ketika IAP dinaikkan di atas 15 mmHg perfusi splanknikus
menurun, mengakibatkan hipoperfusi viseral dan pembengkakan dilatasi usus.
Hipovolemia yang sudah ada sebelumnya, curah jantung yang rendah dan
terapi katekolamin dengan efek negatif pada aliran darah splanknikus dapat
memperburuk disfungsi usus pada pasien dengan hipertensi intra-abdominal.
Manuver terapeutik harus ditujukan terutama untuk memelihara fungsi usus
pada pasien perawatan intensif.
g. Hepatik
Menurut Diebel et al & Biancofiore et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ]
Peningkatan IAP merusak baik perfusi hati dan Portal aliran darah vena. Pada
model hewan, peningkatan IAP hingga 10 mmHg menyebabkan penurunan
akut aliran darah arteri hepatik sebesar 39%. Gangguan aliran darah hati
selama peningkatan IAP dapat diperburuk oleh hipovolemia. Dalam
penelitian terbaru, hipertensi intraabdomen dengan IAP . 25 mmHg
ditemukan pada 32% dari 108 pasien setelah transplantasi hati ortotopik dan
dikaitkan dengan gagal ginjal, penundaan penyapihan pasca operasi dari
ventilasi, dan mortalitas yang lebih tinggi. Setelah dekompresi abdomen,
misalnya dengan paracentesis pada pasien sirosis, aliran darah hati
meningkat. Oleh karena itu, paracentesis berulang mungkin bermanfaat pada
pasien dengan gagal hati dan dapat mencegah disfungsi organ. Lebih lanjut,
IAP dapat meningkatkan hipertensi portal vena pada pasien sirosis dan
mungkin bertanggung jawab atas episode perdarahan dari varises esofagus.
h. Pulmonal
Menurut Schien et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Peningkatan IAP juga
mengakibatkan peningkatan progresif dalam tekanan intratoraks dan memiliki
konsekuensi untuk pola fungsi pernapasan yang luas. Peningkatan IAP
menyebabkan peningkatan diafragma dengan kompresi parenkim paru secara
bersamaan dan penurunan kapasitas residu fungsional secara berturut-turut.
IAP juga dapat mempengaruhi mekanisme paru-paru dan dinding dada
dengan penurunan komplians paru — yang mendorong terjadinya atelektasis
dan peningkatan pirau intrapulmonal. Bahkan peningkatan IAP yang moderat
menghasilkan peningkatan yang signifikan pada tekanan alveolar puncak dan
dataran tinggi dan secara negatif memengaruhi pertukaran gas — dan yang
terakhir, namun tidak kalah pentingnya, kerja pernapasan. Pada pasien
dengan ventilasi mekanis, dekompresi abdomen menyebabkan peningkatan
tiba-tiba pada tekanan alveolar, komplians paru, dan oksigenasi arteri.
Misalnya, pada pasien trauma, laparotomi dekompresi menyebabkan
peningkatan paru kepatuhan dari 26 menjadi 36 ml / cm / H 2O dengan
penurunan tekanan saluran napas puncak yang signifikan dari 49 menjadi 20
cm H2O. Hal ini menghasilkan peningkatan signifikan pada Pao2/ FiO2.
Pasien dengan ventilasi mekanis dengan hipertensi abdomen memerlukan
tingkat tekanan saluran napas yang lebih tinggi untuk perekrutan alveolar.
PEEP terbaik untuk pasien ini untuk menjaga paru tetap terbuka tampaknya
lebih tinggi daripada pasien tanpa hipertensi intraabdomen. Disarankan
bahwa PEEP pada pasien dengan hipertensi perut dipertahankan minimal 2
cm H2O lebih tinggi dari IAP diukur. Terutama pada pasien obesitas dengan
nilai dasar IAP yang lebih tinggi, efek negatif dari hipertensi abdomen lebih
terlihat. Pada pasien yang bernapas spontan dengan hipertensi intraabdomen,
volume paru dan oksigenasi juga berkurang dan kerja pernapasan meningkat.
Oleh karena itu, pasien yang bernapas spontan dengan peningkatan IAP
setelah ekstubasi harus dipertahankan dalam posisi setengah terlentang untuk
menurunkan diafragma dan untuk mengurangi kompresi parenkim paru,
sehingga meningkatkan oksigenasi arteri dan memfasilitasi pernapasan
spontan.
i. Ginjal
Menurut Firth et al & Doty et al [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Selama bertahun-
tahun telah diketahui bahwa peningkatan IAP menyebabkan gangguan fungsi
ginjal. Peningkatan dari atas 10 mmHg menyebabkan penurunan progresif
aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus, dan output urin. Selain itu, proteinuria
berkorelasi dengan tekanan vena ginjal dan IAP. Beberapa faktor dapat
berkontribusi: tekanan vena ginjal, yang menyebabkan peningkatan sistem
renin-angiotensin- aldosteron, kompresi langsung ginjal, dengan peningkatan
resistensi vaskular, penurunan curah jantung dan berpotensi juga kompresi
ureter. Faktor endokrin, seperti peningkatan output simpatis dan peningkatan
sekresi hormon antidiuretik non-osmotik, juga dapat terlibat. Gagal ginjal
akut yang berkembang adalah komplikasi yang paling serius. Telah sering
ditunjukkan bahwa perkembangan gagal ginjal akut pada pasien yang sakit
kritis merupakan penentu utama kelangsungan hidup.
j. Neurologis
Menurut Bloomfield et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Hipertensi intra-
abdominal dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dengan
penurunan aliran darah otak dengan obstruksi fungsional dari sistem vena
jugularis. IAP meningkatkan tekanan intratoraks, mengakibatkan peningkatan
tekanan vena sentral dengan stasis vena. Karena volume intrakranial dibatasi
oleh tulang tengkorak, hipertensi intra-abdominal menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial yang akut dan segera serta penurunan tekanan perfusi
serebral. Studi dalam model babi telah menunjukkan bahwa peningkatan IAP
hingga 25 mmHg menghasilkan peningkatan tekanan intrakranial dari 7
menjadi 21 mmHg dengan penurunan bersamaan dalam tekanan perfusi otak
dari 82 menjadi 62 mmHg. Secara khusus, fenomena ini juga telah diamati
pada pasien dengan trauma perut dan kepala multipel. Lebih lanjut, hipertensi
intraabdomen yang disebabkan oleh pembedahan laparoskopi diagnostik
mengakibatkan peningkatan akut pada tekanan intrakranial pada pasien
dengan trauma kepala. Hipertensi intraabdomen akut juga dapat
menyebabkan kerusakan neurologis pada pasien trauma tanpa tanda-tanda
trauma kepala yang jelas. Penurunan tekanan perut dengan laparotomi
dekompresi menunjukkan perbaikan tekanan intrakranial pada trauma kepala
yang parah.
E. Operasi Laparotomi
Laparatomi adalah pembedahan yang dilakukan pada selaput abdomen,
membuka selaput yang membuat irisan vertikal besar pada dinding perut ke
dalam rongga perut operasi yang di lakukan pada daerah abdomen. Prosedur ini
memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam membuat diagnosis
apa yang salah. Bedah dilakukan di daerah abdomen, bedah laparatomi
merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat
dilakukan pada bedah digestifdan perkemihan. (Aap et al., 2017)
Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik
laparatomi adalah herniotomi, gasterektomi, kolesistoduodenostomi,
hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dan
fistuloktomi. Sedangkan teknik bedah perkemihan dengan teknik laparatomi
adalah nefrektomi dan ureterostomy.
1. Persiapan klien di unit perawatan
a. Persiapan fisik
Persiapan fisik pre operasi yang dialami oleh pasien dibagi dalam 2 tahapan,
yaitu persiapan di unit perawatan dan persiapan di ruang operasi.Berbagai
persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum operasi antara
lain sebagai berikut:
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status
kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti
kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik
lengkap, antara lain status hemodinamika, statuskardiovaskuler, status
pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi,
dan lain-lain. Selain itu pasien harus istirahat yang cukup, karena dengan
istirahat dan tidur yang cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik,
tubuh lebihrileks sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat hipertensi,
tekanan darahnya dapat stabil dan bagi pasien wanita tidak akan memicu
terjadinya haid lebih awal.
2) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin
dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi
harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang
cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi burukdapat mengakibatkan
pasien mengalami berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan
pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling
sering terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan
sehingga luka tidak bisa menyatu), demam dan penyembuhan luka yang
lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa
mengakibatkan kematian.
3) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam
rentang normal. Kadar elektrolit yang biasanya dilakukan pemeriksaan
diantaranya adalah kadar natrium serum (normal : 135 -145 mmol/l), kadar
kalium serum (normal : 3,5 –5 mmol/l) dan kadarkreatinin serum (0,70 –
1,50 mg/dl). Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi
ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan
ekskresi metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka
operasi dapat dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal mengalami
gangguan seperti oliguri/anuria, insufisiensi renal akut, dan nefritis
akut,maka operasi harus ditunda menunggu perbaikan fungsi ginjal,
kecuali pada kasus-kasus yang mengancam jiwa.
4) Kebersihan lambung dan kolon
Khusus pada pasien yang membutuhkan operasi CITO (segera), seperti
pada pasien kecelakaan lalu lintas, maka pengosongan lambung dapat
dilakukan dengan cara pemasangan NGT (naso gastric tube).
5) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari terjadinya
infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena rambut yang tidak
dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman dan juga
mengganggu/menghambat proses penyembuhan dan perawatan luka.
6) Personal hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena
tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat
mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi. Pada pasienyang
kondisi fisiknya kuat dianjurkan untuk mandi sendiri dan membersihkan
daerah operasi dengan lebih seksama. Sebaliknya jika pasien tidak mampu
memenuhi kebutuhan personal hygiene secara mandiri maka perawat akan
memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan personal hygiene
7) Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan pemasangan
kateter. Selain untuk pengongan isi bladder tindakan kateterisasi juga
diperlukanuntuk mengobservasi balance cairan
8) Latihan praoperasi
- Latihan nafas dalam
Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi
nyeri setelah operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga
pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan
kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi
paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum
- Latihan batuk efektif
Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama klien
yang mengalami operasi dengan anstesi general. Karena pasien akan
mengalami pemasangan alat bantu nafas selamadalam kondisi
teranestesi. Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak
nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir kental di
tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat bermanfaat bagi pasien
setalah operasi untuk mengeluarkan lendir atau sekret tersebut
- Latihan gerak sendi
Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien
sehingga setelah operasi, pasien dapat segera melakukan berbagai
pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan.
2. Persiapan penunjang
Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan penunjang, maka
dokter bedah tidak mungkin bisa menentukan tindakan operasi yang harus
dilakukan pada pasien. Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah
berbagai pemeriksaan radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan lain
seperti ECG, dan lain-lain. Sebelum dokter mengambil keputusan untuk
melakukan operasi pada pasien, dokter melakukan berbagai pemeriksaan
terkait dengan keluhan penyakit pasien sehingga dokter bisa menyimpulkan
penyakit yang diderita pasien. Setelah dokter bedah memutuskan bahwa
pasien harus operasi maka dokter anestesi berperan untuk menentukan
apakahkondisi pasien layak menjalani operasi. Untuk itu dokter anestesi juga
memerlukan berbagai macam pemeriksaan laboratorium terutama
pemeriksaan masa perdarahan (bledding time) dan masa pembekuan (clotting
time) darah pasien, elektrolit serum, Hemoglobin, protein darah, dan hasil
pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks dan EKG.
3. Pemeriksaan status anestesi
Pemeriksaaan status fisik untuk dilakukan pembiusan ditujukanuntuk
keselamatan selama pembedahan. Sebelum dilakukan anestesi demi
kepentingan pembedahan, pasien akan mengalami pemeriksaan status fisik
yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko pembiusan terhadap diri
pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan adalah pemeriksaan dengan
menggunakan metode ASA (American Society of Anasthesiologist).
Pemeriksaan ini dilakukan karena obat dan teknik anastesi pada umumnya
akan mengganggu fungsi pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf.
4. Informed concent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap pasien,
hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab
dan tanggung gugat, yaitu Informed Consent. Baik pasien maupun
keluarganya harus menyadari bahwa tindakan medis, operasi sekecil apapun
mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan menjalani
tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan
tindakan medis (pembedahan dan anestesi)
5. Persiapan mental atau psikis
Masalah mental yang biasa muncul pada pasien preoperasi adalah kecemasan.
Maka perawat harus mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi
klien.Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh
pasien dalam menghadapi stres.Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal
yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi masalah
ketakutan dan kecemasan preoperasi, seperti adanya orang terdekat, tingkat
perkembangan pasien, faktor pendukung/support system.
6. Obat-obatan premedikasi
Sebelum operasidilakukan pada esok harinya. Pasien akan diberikan obat-
obatan premedikasi untuk memberikan kesempatan pasien mendapatkan
waktu istirahat yang cukup. Obat-obatan premedikasi yang diberikan biasanya
adalah valium atau diazepam. Antibiotik profilaksis biasanya diberikan
sebelum pasien dioperasi. Antibiotik profilaksis yang diberikan dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya infeksi selama tindakan operasi, antibiotika
profilaksis biasanya diberikan 1-2 jam sebelum operasi dimulai dan
dilanjutkan pasca bedah 2-3 kali
7. Peran perawat preoperative
a. Membina hubungan terpeutik, memberi kesempatan pada klien untuk
menyatakan rasa takut dan perhatiannya terhadap rencana operasi
b. Melakukan sentuhan untuk menunjukkan adanya empati dan perhatian
c. Menjawab atau menerangkan tentang berbagai prosedur operasi
d. Meningkatkan pemenuhan nutrisi dan hidrasi
e. Mengajarkan batuk dan nafas dalam
f. Mengajarkan manajemen nyeri setelah pembedahan
g. Mengajarkan latihan lengan dan ambulasi
h. Menerangkan alat –alat yang akan digunakan oleh klien selama
operasi.Sehari sebelum operasi
i. Memberikan dukungan emosional, menjawab pertanyaan dan memberikan
dukungan spiritual bila diperlukan
j. Melakukan pembatasan diet pre operasi
k. Menyiapkan kebutuhan eliminasi selama dan setelah pembedahan
l. Mencukur dan menyiapkan daerah operasi. (Aap et al., 2017)
F. Hemodinamik
Hemodinamik adalah aliran darah dalam system peredaran tubuh kita baik
melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi parva (sirkulasi dalam
paru-paru). Monitoring hemodinamik adalah pengamatan parameter fisiologi dari
sistem kardiovaskular, dibutuhkan untuk pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif karena ketidakstabilan hemodinamik yang menyebabkan ketidak
seimbangan antara pengiriman dan permintaan oksigen.
Ketidakstabilan hemodinamik ini didasari atas 3 kelainan hemodinamik
utama, yaitu perubahan volume sirkulasi (hipovolemia), disfungsi jantung dan
perubahan tonus vaskular (misalnya syok vasoplegik pada sepsis) yang akan
mengakibatkan disfungsi organ, gagal multi organ, dan akhirnya kematian.
Parameter hemodinamik yaitu sebagai berikut:
1. Mean arterial pressure (MAP) atau tekanan arteri rata-rata
Mean arterial pressure adalah tekanan arteri rata-rata selama satu siklus
denyutan jantung yang didapatkan dari pengukuran tekanan darah systole dan
tekanan darah diastole. Niai normal dari MAP adalah berkisar antara 70-100
mmHg. Sedangkan mean arterial pressure didapatkan dari rumus sebagai
berikut:
MAP = (S + 2D)/3
Keterangan:
S = Tekanan darah sistolik
D = Tekanan darah diastolik
Pasien dengan peritonitis dapat menyebabkan komplikasi salah satunya infeksi
yang menyebar ke dalam darah dan seluruh tubuh (sepsis). Kondisi ini bisa
menyebabkan tekanan darah menurun drastic (syok sepsis)
2. Saturasi oksigen
Menurut Potter & Perry, 2005 dalam Andriani, A., & Hartono, R. (2013).
Nilai saturasi oksigen penting untuk dipantau karena dapat menunjukan
keadekuatan oksigenasi atau perfusi jaringan pasien dan menurunnya saturasi
oksigen akan menyebabkan kegagalan dalam tranportasi oksigen, karena
oksigen dalam tubuh sebagian besar terikat oleh haemoglobin dan terlarut
dalam plasma darah dalam jumlah kecil. Nilai normal saturasi oksigen adalah
95 % - 100%. (Andriani & Hartono, 2013)
3. Frekuensi Pernapasan
Frekuensi pernapasan atau RR pada pasien yang menggunakan ventilasi
mekanik pada batas atas dan bawah. Batas bawah ditentukan pada nilai yang
dapat memberikan informasi bahwa pasien mengalami hipoventilasi dan batas
atas pada nilai yang menunjukan pasien mengalami hiperventilasi. Frekuensi
pernafasan normal pada usia neonatus: 30-60x/menit, 1bulan-1 taun: 30-
60xmenit, 1-2tahun : 25- 50x/menit, 3-4 tahun: 20-30x/mnt, 5-9 tahun dan
usia lebih dari 10 tahun : 15-30x/menit. Pada pasien dewasa lebih sering
digunakan 12- 24x/mnt. Pada pasien peritonitis terdapat cairan dalam
abdomen, yang dapat mendorong diafragma mengakibatkan kesulitan bernafas
sehingga frekuensi nafas meningkat. (Warsinggih, 2016)
4. Frekuensi denyut nadi
Perhitungan denyut jantung dilakukan dengan alat bantu monitor. Nilai normal
denyut nadi pada orang dewasa adalah 60-100x/menit. Pada kasus peritonitis
Takikardi terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi.
5. Capillary Refill Time (CRT)
Menurut (Fergusson, 2008) Capillary Refill Time (CRT) adalah tes yang
dilakukan cepat pada daerah dasar kuku untuk memonitor dehidrasi dan
jumlah aliran darah ke jaringan
6. Penilaian Laju Serebral
Perubahan status mental, seperti perburukan tingkat kesadaran, konfusi
(bingung), agitasi, dan letargi, merupakan penentu penting pada perfusi
serebral dan adanya syok.(Fergusson, 2008)
G. Peran Perawat ICU
Menurut (Suprihatin, 2015) ada beberapa Tugas Perawat ICU yaitu sebagai
berikut.
1. Memberikan Asuhan keperawatan secara holistik meliputi aspek Bio, Psiko,
Sosial dan spiritual
2. Melaksanakan semua tindakan keperawatan dan pemantauan klien
3. Melaksanakan tugas limpahan tindakan medik sesuai dengan rencana
pengelolaan klien
4. Dalam keadaan darurat dapat memberikan pertolongan pertama sesuai dengan
kaidah –kaidah Resusitasi Kardiopulmoner Penunjang Hidup Dasar dan
Lanjut (Basic and Advanced Life Support)
5. Melaporkan kepada dokter ICU atau dokter jaga ICU tentang perubahan
keadaan klien yang dirawat
6. Menulis dan mencatat setiap tindakan yang dilakukan di pada status klien.
7. Melakukan timbang terima secara menyeluruh pada setiap pergantian tugas.
8. Membuat laporan inventaris kliendan tindakan keperawatan setiap hari.
9. Ikut menjaga dan bertangguang jawab agar semua peralatan medik maupun
non medik di ICU berada dalam kondisi prima dan siap pakai.
10. Sebagai anggota tim medik wajib menjaga agar policy, prosedur perawatan
dan pengendalian infeksi tetap ditegakan dan dilaksanakan dengan baik.
11. Pengaturan jaga di ICU dilakukan oleh penanggung jawab urusan SDM ICU.
Post operasi:
a. Hipertemi peningktan metabolisme post op laparatomi
b. Nyeri berhubungan agen cedera fisik post op laparatomi
c. Intoleransi aktifitas berhubungan bergerak akibat dari respon nyeri dan
infasive.
DAFTAR PUSTAKA
Aap, A., Marliany, H., & Nandang, A. (2017). Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan, Volume13, No. 1February 2017. Penatalaksanaan Persiapan
Pasien Preoperatif Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis, 13(1),
2–7.
Andriani, A., & Hartono, R. (2013). Saturasi Oksigen Dengan Pulse Oximetry
Dalam 24 Jam Pada Pasien Dewasa Terpasang Ventilator Di Ruang Icu
Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang. In Jendela Nursing Journal
(Vol. 2, Issue 1, pp. 257–263). https://doi.org/10.31983/jnj.v2i1.199
Japanesa, A., Zahari, A., & Renita Rusjdi, S. (2016). Pola Kasus dan
Penatalaksanaan Peritonitis Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(1), 209–214.
https://doi.org/10.25077/jka.v5i1.470
Schwartz, Shires, & Spencer. (2000). Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah (6th ed.). EGC.