Anda di halaman 1dari 23

1.1.

KONSUMSI, TABUNGAN, INVESTASI


HUBUNGANNYA DENGAN PENDAPATAN
NASIONAL
Konsumsi adalah salah satu komponen GNP atau merupakan bagian dari
disposable income. Pengeluaran konsumsi masyarakat amat dipengaruhi oleh
besar/ kecilnya pendapatan masyarakat, disamping faktor-faktor lainnya, seperti:
jumlah penduduk, distribusi pendapatan, banyaknya kekayaan masyarakat yang
berwujud liquid assets, pendapatan yang mungkin diterima pada masamasa yang
akan datang, banyak barang-barang yang tahan lama dalam masyarakat, struktur
pajak, sikap ke1emahan masyarakat, gaya hidup, pendapatan tertinggi yang
pernah dicapai oleh masyarakat itu pada masa lamp au dan lainnya.
Pada perekonomian 2 sektor pengeluaran konsumsi menurut model
Keynes sangat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan nasional. Hubungan
konsumsi dengan besarnya pendapatan dapat dinyatakan dalam bentuk model
"Fungsi Konsumsi (Consumption Function)".
Sedangkan Tabungan adalah bagian dari pendapatan yang tidak
dibelanjakan oleh masyarakat (untuk disimpan), karena tabungan adalah bagian
dari pendapatan maka besar kecilnya tabungan yang dilakukan oleh masyarakat
juga dipengaruhi oleh pendapatan nasional. Hubungan antara tabungan dengan
besarnya pendapatan disebut dengan "Fungsi Saving (Saving Function)". Selain
ditentukan oleh besarnya pendapatan nasional tabungan juga dapat dipengaruhi
oleh faktor lain, diantaranya tingkat bunga, sikap hemat, kekayaan meningkat,
keadaan perekonomian dan lainnya.
Investasi atau Pembentukan Modal adalah setiap penambahan alat produksi atau
barang-barang modal. Sedangkan investasi netto (net capital investment) adalah
setiap penambahan barang-barang modal seperti building, equipment,
inventories dan lainnya setelah dikurangi dengan penyusutan yang
diperhitungkan sebagai cadangan untuk mengganti barang modal yang telah
susut di kemudian hari, sehingga kegiatan produksi tetap dapat
berkesinambungan dalam menghasilkan produk atau jasa. Banyak faktor yang
dapat mempengaruh pe1aksanaan investasi diantaranya adalah Marginal
Efficiency of Investment (MEI), Rates on Interest (tingkat bunga), pendapatan
nasional, laba yang diperoleh dari kegiatan produksi dan lainnya. Hubungan
antara investasi dengan pendapatan nasional disebut juga dengan "Fungsi
Investasi (Investment Function)", tetapi pada perekonomian 2 sektor investasi
yang dimaksud bersifat eksogen dalam arti perlu diuraikan

3.1.1. Fungsi Konsumsi, MPC dan APC


Dalam hubungannya dengan pendapatan nasional, konsumsi dapat
berarti bagian dari pendapatan masyarakat yang dibelanjakan. Kelompok
pertama yang mengkonsumsi (membeli) produksi nasional adalah rumah tangga
konsumsi. Pengeluaran para konsumen untuk membeli barang-barang dan jasa,
konsumsi ini dinotasikan dengan huruf C (Consumption). Sedangkan yang
dimaksud dengan fungsi konsumsi adalah fungsi yang menunjukkan hubungan
antara tingkat pendapatan nasional dan besarnya pengeluaran untuk konsumsi
per tahun atau C = f (Y).

Bentuk umum fungsi konsumsi garis lurus adalah:


C = a + b Y dimana:

a = Menunjukkan besarnya konsumsi pada saat pendapatan sama dengan nol.


Dalam grafik, a disebut intercept, yaitu penggal garis konsumsi dengan
garis vertikal.
b = MPC atau Marginal Propencity to Consume, yaitu angka perbandingan
(rasio) pertambahan konsumsi (∆C) dengan perubahan pendapatan
nasional (∆Y), angka tersebut menunjukkan besarnya tingkat perubahan
konsumsi sebagai akibat perubahan satu unit pendapatan nasional, atau
porsi perubahan pendapatan nasional yang digunakan untuk konsumsi.
∆C
MPC =
∆Y

Pada umumnya MPC = positif, kurang dari satu dan lebih dari setengah.
MPC = Positif, artinya bertambahnya pendapatan akan mengakibatkan
bertambahnya konsumsi.
MPC = Kurang dari satu, hal ini menunjukkan bahwa tambahan pendapatan
yang diterima tidak seluruhnya digunakan untuk konsumsi.
MPC = Lebih besar dari setengah, hal ini menunjukkan bahwa tambahan
pendapatan sebagian besar digunakan untuk konsumsi dan sisanya
yang jumlahnya lebih kecil merupakan saving (tabungan).
APC = Average Propencity to Consume atau hasrat konsumsi rata-rata,
adalah angka perbandingan antara besarnya konsumsi dan
pendapatan.
C
APC =
Y
Cara-cara menggambarkan Kurva Konsumsi (garis lurus/linier) dapat
dipelajari dari gambar 3.1 berikut ini:

C (konsumsi) Y=C (Scale line 45o)

Gambar 3.1 Kurva Konsumsi

Keterangan:
Adalah garis penolong, dimana setiap titik pada garis itu menunjukkan bahwa
seluruh pendapatan nasional habis dibelanjakan untuk konsumsi, sehingga C =
Y dan besarnya C akan terletak tepat pada garis 45 derajat.
1. Tingkat pendapatan Break Even atau disebut juga Break Even Level of
Income, adalah tingkat pendapatan nasional dimana pada tingkat pendapatan
itu besarnya pendapatan nasional persis sama besarnya pengeluaran
konsumsi (Y= C).
Letaknya:
Pendapatan nasional Break Even, terletak pada titik potong antara garis 45 o
dengan kurva konsumsi. Titik potong ini disebut Break Even Point (BEP).
a a
YBEP = atau
Y BEP = 1 - b 1 - MPC
C=a+bY
Cara merumuskannya,
adalah sebagai berikut:
Y = C
Y=a + bY
Y – APC> 1 bY = a
(1 – b)Y = a

Yl Y (Pendapatan Nasional)
Maka:
a
YBEP =
1-b
2. Pada tingkat pendapatan Break Even besarnya APC sama dengan satu.
Sedangkan pada tingkat pendapatan di bawah Break Even, APC lebih dari
satu serta pada tingkat pendapatan di atas Break Even, APC kurang dari
satu.
Cara menentukan fungsi Konsumsi:
Fungsi konsumsi garis lurus dapat ditentukan dengan cara: mencari besarnya
konsumsi pada dua tingkat pendapatan nasional yang berbeda. Dan dengan
ini fungsi konsumsi akan diperoleh, yaitu:
C = (APCX – MPC) .YX + MPC .Y
Scale line
Pengeluaran
(C) YX - APCX . YX

C = a + bY
BEP

MPC . YX
a

APCXYX
a
o
45
0
YBEP YX Pendapatan
Nasional (Y)
Gambar 3.2 Cara Menentukan Fungsi Konsumsi

Dari gambar 3.2 tersebut dapat kita temukan:

a = Yx – MPC.Yx – (Yx – APCx.Yx)


= Yx – MPC.Yx - Yx + APCx.Yx
= APCx.Yx – MPC.Yx
a = (APCx – MPC) Yx

C = a + bY,
maka: C = (APCx – MPC) Yx + MPC.Y

Contoh penggunaannya:
Misalnya, pada tingkat pendapatan nasional setinggi Rp 100 milyar besarnya
konsumsi adalah Rp 95 milyar. Dan pada tingkat pendapatan nasional Rp 120
milyar, besarnya konsumsi adalah Rp 110 milyar.

Penyelesaian
Y1 = 100 C1 = 95
Y2 = 120 C2 = 110
Maka ∆Y = 20 maka ∆C = 15
15
Sehingga MPC dapat ditentukan, yaitu MPC = = 0,75 a = [APCx – MPCx]Yx
20
C 95 = [0,95 – 0,75] .100
APC dapat dicari, yaitu APC = = = 0,95 = [0,20] [100] = 20
Y 100
Dengan demikian fungsi konsumsinya sudah dapat ditentukan yaitu:

C = 20 + 0,75 Y
Berarti a = 20 dan b = 0,75
a 20
YBEP = maka, YBEP =
1-b 1 – 0,75

YBEP =
20
0,25
YBEP = 80

Jadi dari keadaan di atas kita akan mengetahui besarnya pendapatan nasional
Break Even sebesar Rp 80 milyar.
Dan pada tingkat pendapatan nasional Break Even ini, besarnya pendapatan
nasional persis sama dengan besarnya pengeluaran konsumsi, sedangkan
besarnya tabungan adalah nol.
Selanjutnya keadaan tersebut dapat kita lihat gambar 3.3 sebagai berikut:
Scale line
C

C = 20 + 0,75Y
BEP

20

45 o
0
80 Y

Gambar 3.3 Pendapatan Nasional (milyar rupiah)

3.1.2 Fungsi Tabungan, MPS dan APS


Tabungan adalah bagian dari pendapatan nasional pertahun yang tidak
dikonsumsikan.
Bentuk fungsi tabungan adalah:

S = (1 – b) Y – a

Cara mendapatkan perumusan tersebut adalah:

S=Y–C
C = a + bY
S = Y – (a + bY) sehingga :

S = Y – a – bY ……………... S = (1 – b)Y – a atau S = -a + (1 – b)Y

Sebagai contoh misalnya, apabila fungsi konsumsi masyarakat diketahui C = 20


+ 0,75 Y.

Maka fungsi tabungan dapat ditentukan, yaitu:


Dari fungsi konsumsi C = 20 + 0,75 Y, kita peroleh:

MPC = b = 0,75 dan a = 20, maka:


S = (1 – b)Y – a
S = (1 – 0,75)Y – 20
S = 0,25.Y – 20 atau S = - 20 + 0,25Y

Keadaan tersebut diatas dapat ditunjukkan dalam gambar 3.4 dibawah ini:

C, S

60 Scale Line
C = 20 + 0,75Y
40 BEP

20
S = -20 + 0,25Y

0 20 40 60 80 100 Y

-20

Gambar 3.4 . Break Even Point

Marginal Propencity to Save (MPS)


MPS disebut juga tambahan hasrat menabung, yaitu: suatu bilangan
hasil perbandingan antara pertambahan saving (tabungan) dengan pertambahan
pendapatan nasional. Tingkat besarnya angka tersebut menunjukan tabungan
sebagai akibat perubahan satu unit pendapatan nasional atau besarnya porsi
pendapatan nasional yang digunakan untuk tabungan. Jadi:

MPS = ∆S dimana:
∆Y
MPS + MPC = 1,
Maka MPS = 1 – MPC, hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
Y=C+S
∆Y = ∆C + ∆S bila kedua ruas dibagi dengan ∆Y, didapat:
∆Y ∆C ∆S
= + , jadi 1 = MPC + MPS
∆Y ∆Y ∆Y
Average Propencity to Save (APS)
APS disebut juga rata-rata hasrat menabung, yaitu perbandingan antara
besarnya saving (tabungan) pada suatu tingkat pendapatan nasional dengan
besarnya pendapatan nasional tersebut.

S
Jadi APS = dimana:
Y
APS + APC = 1
Maka APS = 1 – APC, hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
Y = C + S bila kedua ruas dibagi dengan Y, didapat,
Y C S
= + maka terbukti 1 = APC + APS
Y Y Y
dan APS = 1 – APC

3.1.3. Perubahan Jumlah Konsumsi dan Perubahan Jumlah Tabungan


Seperti telah kita ketahui, besarnya konsumsi ditentukan oleh besarnya
pendapatan nasional. Oleh karena itu, kalau pendapatan nasional ada dalam
keadaan keseimbangan (equilibrium), maka konsumsi akan dalam keadaan
equilibrium juga atau terjadi sebaliknya.
Begitu juga halnya dengan tabungan. Karena tabungan merupakan bagian
pendapatan yang tidak dikonsumsi, sedangkan besarnya konsumsi ditentukan
oleh besar kecilnya pendapatan, maka tabungan baru akan mencapai
equilibrium apabila pendapatan dan konsumsi telah mencapai keadaan
equilibrium .
Hubungan antara perubahan-perubahan dalam pendapatan nasional dengan
perubahan-perubahan dalam konsumsi dan tabungan dapat kita ikhtisarkan
sebagai berikut:

a. Untuk konsumsi :
C1 = C0 + ∆C
∆C = MPC.∆Y
Maka C1 = C0 + MPC.∆Y

b. Untuk tabungan :
S1 = S0 + ∆S
∆S = MPS.∆Y
Maka S1 = S0 + (1 – MPC).∆Y
3.1.4. Hubungan antara Y, C, S, APC, APS, MPC dan MPS
Pada fungsi konsumsi yang linier tingginya MPC dan MPS pada setiap
pendapatan nasional adalah konstan. Dan karena MPC dan MPS konstan maka
naiknya pendapatan menyebabkan APC semakin kecil dan APS semakin
meningkat. Sebagai contoh diketahui C = 20 + 0,75 Y maka hubungan-
hubungan yang dimaksud pada berbagai pendapatan nasional dapat dilihat pada
tabel 3.1 berikut ini:

Tabel 3.1 Hubungan antara Y, C, S, APC, APS, MPC dan MPS


Yx Cx Sx APCx APSx MPCx MPSx
0 20 -20 - - 0,75 0,25
40 50 -10 1,25 -0,25 0,75 0,25
80 80 0 1 0 0,75 0,25
120 110 10 0,9 0,1 0,75 0,25
160 140 20 0,875 0,125 0,75 0,25
200 170 30 0,85 0,15 0,75 0,25

3.1.5. Investasi (Investment)


Investasi disebut juga Capital Formation, yaitu penanaman modal atau
penambahan alat-alat produksi untuk menaikkan produk nasional. Investasi ini
penting sekali, terutama dalam masyarakat yang sedang membangun. Hal ini
disebabkan karena dengan investasi maka kehidupan ekonomi nasional akan
digerakkan. Investasi akan menciptakan lapangan kerja baru dan menaikkan
pendapatan. Investasi dapat berbentuk bangunan dan konstruksi. Seperti
misalnya saluran air irigasi, perlistrikan, dan prasarana produksi yang lain
seperti jalan, jembatan dan sebagainya. Disamping itu investasi dapat berbentuk
mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan produksi disamping juga tambahan-
tambahan pada persediaan bahan baku.

Fungsi Investasi:
Fungsi investasi adalah fungsi yang menunjukkan hubungan investasi
dengan pendapatan nasional. Bentuk persamaan investasi adalah:

I = I0 + d Y dimana:
I = besarnya pengeluaran investasi dalam masyarakat
I0 = besarnya pengeluaran investasi pada tingkat pendapatan nasional sebesar
nol.
d = hasrat investasi marginal (Marginal Propencity to Investment = MPI)

∆I
MPI =
∆Y
Sebagai contohnya adalah:
Jika I0 sama dengan 30 dan MPI = 0,20 maka persamaan fungsi investasinya
adalah I = 30 + 0,2 Y, selanjutnya bentuk kurva investasinya terlihat pada
gambar 3.5 di bawah ini.

Investasi (I)
I = 30 + 0,2Y

100

90

70

50
30
0 200 Pendapatan Nasional (Y)
100 300 400

Gambar 3.5 Fungsi Investasi

Beberapa Bentuk Investasi


1. Atas dasar hubungan dengan pendapatan nasional, jenis investasi
dikategorikan sebagai berikut:
a. Autonomous Investment (Investasi Otonom =I0)
Yaitu investasi yang tingginya tidak tergantung kepada tingginya
pendapatan nasional. Investasi macam ini dilaksanakan atas dasar
rencana (perhitungan). Jadi walaupun pendapatan nasional naik atau
turun investasi ini tingginya tetap, yang termasuk dalam autonomous
investment antara lain pembangunan bendungan, saluran air irigasi atau
prasarana produksi lainnya seperti jalan, jembatan dan perbaikan
fasilitas pelabuhan. Kurve investasi bila digambarkan akan terlihat
dalam gambar 3.6 sebagai berikut:

Investasi (I)

I0

0 Pendapatan Nasional (Y)

Gambar 3.6 Investasi Otonom

b. Induced Investment (I1)


Yaitu investasi yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan pendapatan
nasional, jika pendapatan nasional meningkat, maka tingkat investasi
akan ikut naik. Termasuk dalam investasi semacam ini adalah pembelian
mesin-mesin, pembuatan pabrik dan sebagainya. Kurva investasi yang
induced apabila digambarkan akan terlihat dalam gambar 3.7 sebagai
berikut:

Investasi (I)
I1

0 Pendapatan Nasional (Y)

Gambar 3.7. Induced Investment

2. Atas dasar siapa yang melaksanakan investasi, maka pelaksanaan investasi


dibedakan menjadi:
a. Public Investment
Adalah investasi yang dilaksanakan pemerintah dan tidak dengan tujuan
mendapatkan keuntungan, tetapi tujuan utamanya adalah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat atau nasional. Termasuk dalam public
investment ini antara lain: membangun gedung sekolah, membangun
rumah sakit, pembuatan jaringan jalan raya dan lain-lain biasanya
disebut Social Overhead Capital (SOC).
b. Private Investment
Adalah investasi yang dilaksanakan oleh pihak swasta dan dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan. Serta biasanya macam ini
didorong oleh adanya pertambahan pendapatan. Misalnya: Pembelian
mesin-mesin baru, penjualan pabrik dan sebagainya.
c. Investasi Luar Negeri (Foreign Investment)
Adalah investasi yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan
swasta. Investasi ini terjadi dari selisih antara ekspor dan impor (X>M),
sedangkan beberapa faktor yang mempengaruhi pertambahannya
investasi adalah:
1. Menurunnya tingkat bunga.
2. Penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi.
3. Meningkatnya jumlah penduduk.
4. Meluasnya pasar penjualan hasil produksi masyarakat.
5. Suasana dunia usaha (perusahaan) yang semakin optimis.
6. Struktur pajak yang tidak memberatkan produsen.

Selanjutnya, bertambahnya investasi akan meningkatkan bertambahnya


Marginal Efficiency of Capital (MEC): yaitu persentase keuntungan per tahun
yang diharapkan dari investasi.
Profit
Besarnya MEC = x 100%
Investasi
Dan MEC ini menunjukkan hubungan antara tingkat bunga dengan tingkat
investasi dimana investasi akan dilaksanakan bilamana MEC lebih tinggi dari
tingkat bunga (r). yang secara grafis MEC digambarkan sebagai kurva yang
menurun dan terlihat pada gambar 3.8.

Menurunnya ini disebabkan karena dua hal yaitu:


1. Semakin banyak investasi yang dilaksanakan oleh masyarakat maka MEC-
nya semakin rendah. Hal ini disebabkan semakin sengitnya persaingan
dikalangan para investor sehingga MEC-nya menurun.
2. Semakin banyak investasi yang dilakukan, ongkos barang kapital menjadi
semakin tinggi. Dalam grafik kurva MEC nampak memiliki lereng yang
negatif, hal ini tidak lain karena terdapatnya hubungan terbalik antara
tingkat bunga dan tingkat investasi. Artinya: bahwa semakin rendah tingkat
bunga semakin banyak investasi yang dilaksanakan.
Tingkat Bunga (r)

r0

r1

MEC

0 I0 I1 Investasi (I)

Gambar 3.8 Hubungan tingkat bunga dengan MEC


3.1.6. Keseimbangan Pendapatan Nasional
Keseimbangan pendapatan nasional adalah suatu tingkat dari pendapatan
nasional yang pada tingkat itu tidak dijumpai adanya gejala-gejala untuk
tumbuhnya perubahan. Keseimbangan pendapatan nasional dicapai pada saat
besarnya tabungan (saving) sama dengan besarnya investasi (S = I), dan
keadaan ini tidak harus terjadi pada perekonomian yang full employment, yaitu:
suatu perekonomian dimana tidak dijumpai adanya penganguran. Tetapi
keseimbangan pendapatan nasional bisa terjadi pada tingkat pendapatan nasional
dalam perekonomian di bawah full employment, tetapi dengan syarat yaitu
saving full employment (Sf) sama dengan investasi (I). Apabila saving full
employment lebih kecil dari investasi maka terjadi gejala inflasi (Inflantionary
Gap), dan sebaliknya saving full employment lebih besar dari investasi maka
akan terjadi gejala deflasi (Deflationary Gap). Secara lengkap dapat diartikan di
sini bahwa:

Inflationary Gap, adalah besarnya perbedaan antara jumlah investasi (I) yang
terjadi dengan saving full employment (Sf) dimana saving full employment lebih
kecil dari investasinya (Sf<I).

Deflationary Gap, adalah besarnya perbedaan antara investasi (I) yang terjadi
dengan saving full employment dimana saving full employment lebih besar dari
investasi. (Sf>I).

Apabila dilihat dari segi penggunaannya, pendapatan nasional


dirumuskan Y = C + S. sedangkan dari segi asalnya dirumuskan Y = C + I.
Apabila dengan asumsi bahwa setiap pendapatan dalam satu periode berikutnya
maka hubungan C, S, I dan Y dapat digambarkan sebagai berikut:

C1 + I 1 = Y1
Y1 = C2 + S2
C 2 + I2 = Y 2
Y2 = C3 + S3
C 3 + I3 = Y 3
Y3 = C4 + S4 dan seterusnya.

Jadi keseimbangan pendapatan nasional terjadi bilamana: Y 1 = Y2 = Y3


dan seterusnya, dan C1 = C2 = C3 dan seterusnya serta S1 = S2 = S3 dan
seterusnya. Ada dua cara untuk menentukan letak dan besarnya pendapatan
nasional dalam keseimbangan, yaitu Saving Investment Approach dan
Consumption Investment Approach.

Saving Investment Approach


Pendekatan ini menyebutkan bahwa keseimbangan pendapatan nasional
terletak pada titik potong antara kurva saving (S) dengan kurva investment (I).
secara grafis saving-investment approach dapat digambarkan sebagai berikut:

C, S, I S = -a+(1-b)Y

S=I
I0

0 Pendapatan
Nasional (Y)
-a

Gambar 3.9 Saving–Investment Approach


Sedang besarnya pendapatan nasional dalam keseimbangan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
S = I
Y–C=I
Y – (a + bY) = I0
Y – bY = a + I0
(1 – b) Y = a + I0
1
YE = (a + I0)
1–b

Consumption Investment Approach

Pendapat ini menyebutkan bahwa keseimbangan pendapatan nasional


terletak pada titik potong antara garis 45o atau scale line dan kurva konsumsi
plus Investasi (C + I), pendekatan C + I dapat digambarkan sebagai berikut:

C, I
C+I
E
C

a+I0
BEP
a

45 o
YBEP YE Pendapatan
Nasional (Y)

Gambar 3.10 Consumption- Investment Approach

Sedangkan besarnya pendapatan nasional keseimbangan dapat dirumuskan


sebagai berikut:

Y = C+I
Y = a + bY + I0
Y = (a + I0) + bY
(1 – b) Y = a + I0
1
YE =( (a + I0 ) dimana k = 1/ 1- b (k = koefisien multiplier)
1–b
Sebagai contoh misalnya: apabila diketahui fungsi konsumsi suatu masyarakat C
= 0,75Y + 20, besarnya investasi per tahun Rp 30 (masing-masing dalam
milyar), maka dari data itu dapat dicari besarnya Y, C dan S keseimbangan
sebagai berikut:
1
Besarnya YE ………………………………… YE = (a + I0)
1–b
= 1/1-0,75 . ( 20+30)
YE = 200

Besarnya CE ………………………………… CE = (0,75(200) + 20)


CE = 170

Besarnya SE………………………………… SE = YE – CE
SE = 200 – 170
SE = 30

Untuk menggambarkan Y, C dan S keseimbangan, harus dicari lebih dahulu


bentuk fungsi kesamaan fungsi masing-masing:

C = 0,75Y + 20 (sudah diketahui)


C + I = 0,75Y + 20 + 30 (dicari)
S = 0,25Y – 20 (dicari)

Scale Line

C, S, I C+I

E C = 20+0,75Y

50 S = 0.25Y - 20
BEP
E
30
I = 30
20
o
45
0
80 YE 200 Pendapatan
Nasional (Y)
-20

Gambar 3.11 Penentuan Pendapatan dalam keseimbangan


Contoh Penggunaan Multiplier Serta Perhitungan Perubahan Konsumsi
dan Perubahan Tabungan.

Untuk dapat lebih merasakan betapa pentingnya konsep multiplier serta


bagaimana caranya menggunakan perumusan-perumusan lainnya yang telah kita
ketahui diatas, disini kita sajikan contoh bagaimana cara menggunakannya.

Contoh:
Diketahui:
a. Fungsi Konsumsi : C = 0,75 Y + 20 milyar
b. Pada periode sebelum tahun 2008, besarnya investasi pertahunnya adalah
sebesar 40 milyar rupiah.
c. Pada periode sesudah tahun 2008, besarnya investasi berubah menjadi 60
milyar rupiah pertahun.

Dengan menggunakan angka multiplier (pengganda) hitunglah besarnya


pendapatan nasional keseimbangan yang baru, besarnya konsumsi
keseimbangan yang baru, serta besarnya tabungan keseimbangan yang baru.

Jawab:
Besarnya “Investment Multiplier”:
1 1
kI = = = 4
1–b 1 – 0,75
∆I = I1 – I0 = 60 – 40 = 20 milyar rupaiah

Pendapatan nasional keseimbangan pada periode sebelum tahun 2008 kita


anggap sebagai periode “nol”:
1
Y0 = (a + I0)
1–b
1
Y0 = (20 + 40) = 240
1 – 0,75

Pendapatan nasional keseimbangan pada periode sesudah tahun 2008 (periode


ini kita tandai dengan “satu”:

Y1 = Y0 + k1.∆I
Y1 = 240 + ( 4 x 20 ) = 320
Pendapatan nasional keseimbangan pada periode sesudah tahun 2008 ialah:

Y1 = 320 milyar per tahun

Konsumsi keseimbangan yang baru :


C0 = 0,75 + 20 = (0,75 x 240) + 20 = 200
C1 = C0 + MPC.∆Y = 200 + 0,75(320 – 240)
C1 = 260

Konsumsi keseimbangan yang baru:


C1 = 260 milyar rupiah per tahun

Tabungan keseimbangan yang lama:


S0 = -a + (1 – b)Y = -20 + (1 – 0,75) 240
= 40
Tabungan keseimbangan yang baru (saving equilibrium untuk periode sesudah
tahun 2008):
S1 = S0 + MPS.∆Y = 40 + (1 – 0,75) (320-240)
S1 = 60

Besarnya tabungan keseimbangan yang baru:


S1 = 60 milyar rupiah per tahun

1.2. Tingkat Kesempatan Kerja dan Kapasitas Produksi Nasional


Kapasitas produksi suatu perekonomian menunjukkan batas kemampuan
dari pada jasa untuk tiap satuan waktu. Dalam perekonomian dimana, semua
kapasitasnya ada dalam penggunaan penuh dikatakan bahwa perekonomian
tersebut dalam keadaan “Full employment”. Sedangkan perekonomian dimana
ada sebagian kapasitas produksinya yang menganggur tidak terpakai disebut
perekonomian dalam keadaan “Under employment”. Oleh karena itu mungkin
tingkat employment (tingkat kesempatan kerja), suatu ketika ada dalam keadaan
“Full employment” pada saat lain ada dalam keadaan “Under employment”
apabila kapasitas produksi nasional sudah dalam penggunaan penuh, akan tetapi
permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa seluruhnya masih terus bertambah
yang pada umumnya mengalami perubahan ialah “pengalokasian dari pada
faktor-faktor produksi”. Gejala ini bisa disebut “realocation of resources”.
Untuk dapat memperbesar hasil produksi barang-barang yang permintaannya
sangat kuat misalnya “industri” yang menghasilkan produksi A terpaksa
merebut faktor produksi yang biasanya dipergunakan oleh “industri” lain,
misalnya saja yang menghasilkan “Produk A”, yang permintaan relatif lebih
lemah dari pada permintaan akan produk lainnya. Pergeseran penggunaan
faktor-faktor produksi dari “industri” yang satu ke “industri” yang lain, yaitu
kita sebut adanya “reallocation of resources” pada umumnya dapat terjadi
apabila “industri” yang merebut faktor-faktor produksi yang dibutuhkan itu
menimbulkan inflasi.

1.2.1. Inflationary dan Deflationary Gap


Seperti di atas telah dikemukakan bahwa tingkat employment (tingkat
kesempatan kerja) mungkin akan dalam keadaan full employment, mungkin
dalam keadaan under employment, mungkin juga dalam keadaan over
employment. Untuk dapat memperoleh gambaran tentang sejauh manakah
tingkat employment yang terjadi menyimpang dari kapasitas produksi yang ada,
kita dapat menggunakan konsep “inflationary gap” dan “deflationary gap”
dalam menunjukkan besarnya penyimpangan tersebut.
Untuk lebih jelasnya kita terangkan saja kedua pengertian tersebut dengan lebih
mendalam. Yang dimaksud dengan inflationary gap ialah jumlah investasi yang
terjadi lebih besarnya dari “full employment saving” (tabungan pada tingkat full
employment) (I > Sf ) . Deflationary gap ialah besarnya full employment saving
lebih besar dari investasi (Sf > I). Kita perhatikan contoh soal dibawah ini
beserta pemecahannya.
Contoh: inflantionary gap atau deflationary gap.
Diketahui:
a. Fungsi konsumsi per tahun:
C = 0,75 + 20 milyar rupiah
b. Besarnya investasi per tahun:
I = 40 milyar rupiah

Pertanyaan:
a. Hitunglah besar inflationary gap atau deflationary gap-nya kalau diketahui
perekonomian mempunyai kapasitas produksi (Y f ) sebesar 200 milyar
rupiah per tahun.
b. Hitunglah inflationary gap dan deflationary gap apabila diketahui bahwa
kapasitas produksi nasional (Yf ) adalah 280 milyar rupiah.
c. Gambarkan grafiknya.

Jawab:
a. Untuk perekonomian yang mempunyai kapasitas produksi sebesar 200
milyar per tahun dan mempunyai fungsi konsumsi C = 0,75 Y + 20 milyar
rupiah, besarnya “full employment saving”adalah:
Sf = Yf – C = 200 – ((0,75 x 200) + 20)
= 30 milyar rupiah per tahun
Karena diketahui besarnya investasi yang terjadi adalah sebesar 40 milyar
rupiah setahun, maka besarnya “inflationary gap” atau I. G sebesar:
I.G = Investasi – full employment saving
= 40 milyar rupiah – 30 milyar rupiah
= 10 milyar rupiah

b. Untuk perekonomian yang mempunyai kapasitas produksi sebesar 280


milyar rupiah per tahun dan mempunyai fungsi konsumsi seperti yang
ditunjukkan dalam soal di atas, akan mempunyai “full employment saving”
sebesar:
Sf = Yf – C = 280 – (0,75 x 280 + 20)
= 50 milyar rupiah setahun

Karena diketahui I = 40 milyar rupiah per tahun, dan angka ini lebih kecil
bila dibandingkan dengan “full employment saving-nya”, maka besarnya
deflationary gap (D.G) adalah:
D.G = Full employment saving – investasi
= 50 milyar rupiah – 40 milyar rupiah
= 10 milyar rupiah
c. Grafik untuk inflationary dan deflationary gap :

C, I
Deflationary Gap

C+I
Inflationary Gap E

a+Io

0 45 o
200 240 280 Y

Gambar 3.12 Inflationary Gap dan Deflationary Gap

1.2.2. Multiplier dan Akselerasi


Dalam suatu perekonomian dimana pemerintah belum ikut campur tangan di
dalamnya, maka dalam perekonomian macam ini hanya dikenal satu macam
angka pengganda (multiplier).
Multiplier adalah angka pengganda investasi (Investment Multiplier), yang
artinya: koefisien angka yang menunjukkan berapakah perubahan pendapatan
(∆Y) sebagian akibat dari perubahan investasi (∆I).
Apabila multiplier tersebut dinotasikan dengan “ k I ”, maka:

∆Y = kI. ∆I …………….dan kI = ∆Y/∆I

Jika misalnya pertambahan investasi sebesar I mengakibatkan berubah


pendapatan nasional dari Y menjadi Y + ∆Y maka besar investment multiplier
dapat dirumuskan sebagian berikut:

1
Y + ∆Y = (a + I0 + ∆I)
1-b

a + I0 ∆I a + I0
Y + ∆Y = + …… Kedua rumus dikurangi dengan atau
Y
1-b 1-b 1-b

∆I
∆Y =
1-b

∆Y 1 1
= atau
∆I 1-b MPS

Dari rumusan di atas, jelas bahwa besarnya multiplier investasi adalah sama
dengan kebalikan dari MPS, sehingga semakin kecil MPS semakin besarnya
multiplier-nya, sebagai contoh misalnya apabila fungsi konsumsi adalah C =
0,75Y + 20. Berarti MPC = 0,75 dan MPS = 0,25.
1 1 1
Sedang multipliernya: k = = =
1-b 1 - 0,75 0,25
k= 4

Selanjutnya yang dimaksud dengan Accelaration atau akselarasi yaitu angka


yang menunjukkan berapa besarnya investasi sebagai akibat bertambahnya
konsumsi. Jadi akselarasi merupakan perbandingan antara pertambahan
investasi dengan pertambahan konsumsi.
∆I
Akselarasi = ACC =
∆C

Sebagai contoh misalnya: kalau keanaikan konsumsi rokok dari masyarakat,


maka untuk mencukupi kebutuhan bahan baku tembakau karena
ditingkatkannya produksi rokok sebagai akibat dari kenaikan konsumsi, yang
dilakukan adalah memperluas areal tanaman tembakau atau penambahan mesin-
mesin baru untuk pembuatan rokok.

Contoh:
1. Diketahui S = -20 + 0,2 Y
I = 80
Ditanyakan:
a. Berapa besarnya YE ?
b. Berapa CE dan SE ?
c. Berapa pendapatan BEP ?
d. Bila ∆I = 10, berapa ∆Y, ∆C, dan ∆S ?

Jawab:
a. Syarat keseimbangan I = S
60= -20 + 0,2Y
80 = 0,2Y
80/0,2 = YE
400 = YE
YE = 400
b. C = 20 + 0,8 Y
CE = 20 + 0,8(400) = 340
S = -20 + 0,2 Y
SE = -20 + 0,2(400) = 60
c. Pendapatan BEP bila, Y = C
Y = 20 + 0,8Y
Y – 0,8Y = 20
0,2Y = 20
YBEP = 100
d. Bila ∆I = 10, maka;
1
∆Y = .10 = 50
1 – 0,8
∆C = (MPC) (∆Y)
= (0,8) (50) = 40
∆S = (MPC) (∆Y)
= (0,2) (50 ) = 10

2. Bila S = -40 + 0,2 Y


YE = 500
Ditanyakan:
a. Berapa I0?
b. Bila ∆Y = 100, berapa ∆I ?

Jawab:
a. I = S
I0 = -40 + 0,2 (500)
= 60
b. ∆Y = 100
1
∆Y = .∆I
1 – 0,8
100 = [I/(I – 0,8)] ∆I
100 = [I/(0,2] ∆I
100 =5. ∆I
20 = ∆I

Anda mungkin juga menyukai