Novialina PublikasiIlmiah
Novialina PublikasiIlmiah
net/publication/320514510
CITATIONS READS
0 2,583
3 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Evelyn Setiawan on 20 October 2017.
Novialina
Maria V. Irene
Evelyn Setiawan
Program Studi Akuntansi Universitas Pelita Harapan Surabaya
Abstrak
Masalah going concern merupakan hal yang kompleks dan terus ada. Prediksi
apakah perusahaan memiliki kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya
sangat penting untuk diketahui dan dipahami oleh auditor, investor, dan pengguna laporan
keuangan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh
kondisi keuangan, reputasi auditor, disclosure, dan corporate governance terhadap
penerimaan opini audit going concern. Sampel penelitian sebanyak 35 perusahaan dan
dipilih melalui metode purposive sampling pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 2007 sampai dengan 2010. Pengujian hipotesis
menggunakan regresi logistik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan yang diproksikan
dengan Z Score Altman berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit going
concern. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik kondisi keuangan perusahaan
maka semakin kecil kemungkinan perusahaan tersebut menerima opini audit going
concern dari auditor dan semakin buruk kondisi keuangan perusahaan, maka akan
semakin besar kemungkinan perusahaan menerima opini audit going concern dari auditor.
Reputasi auditor, disclosure, kepemilikan manajerial, dan keberadaan komite audit tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern.
Kata kunci: opini audit going concern, kondisi keuangan, reputasi auditor, disclosure,
kepemilikan manajerial, dan keberadaan komite audit.
Pendahuluan
Pasca krisis moneter 1997 yang menyebabkan memburuknya kondisi ekonomi
Indonesia, membuat sektor riil terutama industri manufaktur nasional harus berusaha
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Faktor eksternal seperti meningkatnya
harga energi, pemberian insentif yang tidak terarah, ketidakpastian hukum, kebijakan
perburuhan yang membuat produktivitas rendah serta makin ketatnya persaingan di pasar
global membuat sektor industri nasional semakin terpuruk. Keterpurukan ekonomi ini
dapat menyebabkan kinerja perusahaan terlihat sangat buruk. Kondisi perusahaan yang
memburuk dapat mempengaruhi investor dan kreditur yang akan berinvestasi di
perusahaan tersebut. Oleh karena itu, auditor perlu mengungkapkan isu-isu yang sedang
dihadapi oleh suatu entitas bisnis untuk kepentingan pihak eksternal.
Selain faktor eksternal, ada juga faktor internal yang dapat mengancam
kelangsungan hidup perusahaan, misalnya manipulasi dan kejahatan akuntansi yang
dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Akibat dari adanya kejahatan tersebut, para
pemakai laporan keuangan seperti investor dan kreditur mulai mempertanyakan kembali
eksistensi akuntan publik sebagai pihak indepeden yang menilai kewajaran laporan
keuangan perusahaan. Peristiwa manipulasi akuntansi ini pernah terjadi pada beberapa
perusahaan besar di Amerika, seperti Enron dan WorldCom yang melibatkan KAP Arthur
Andersen. Dalam kasus Enron, perusahaan tersebut menerima opini wajar tanpa
pengecualian sebelum terjadi kebangkrutan (Tucker et al., 2003). Fakta ini memunculkan
pertanyaan, mengapa perusahaan yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian
dapat berhenti beroperasi dalam waktu singkat.
1
2
membuat peneliti tertarik untuk mengkaji sekali lagi mengenai opini audit going concern.
Untuk itu, peneliti mengambil judul ”Pengaruh Kondisi Keuangan, Reputasi Auditor,
Disclosure, dan Corporate Governance Terhadap Penerimaan Opini Audit Going
Concern”.
sehingga auditor tidak akan memberikan opini audit going concern pada perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H3: Disclosure berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern
Pengaruh keberadaan komite audit terhadap penerimaan opini audit going concern.
Keberadaan komite audit sangat penting untuk menjaga agar auditor bisa tetap
menjadi pihak yang independen saat memberikan opini kepada kliennya. Komite audit
juga berfungsi untuk meredakan tekanan yang dilakukan oleh pihak manajemen terhadap
auditor untuk menghasilkan opini wajar tanpa pengecualian. Komite audit dianggap
sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak
manajemen dalam menangani masalah pengendalian (Nasution dan Setiawan, 2007).
Keberadaan komite audit berfungsi untuk membantu dewan komisaris dalam
mengawasi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan (Mayangsari, 2004).
Adanya pengawasan dari komite audit, membuat pihak manajemen akan lebih berhati-
hati dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Adanya fungsi kontrol yang dilakukan oleh
komite audit, maka manajemen akan membuat laporan keuangan yang menggambarkan
kondisi perusahaan yang sebenarnya, sehingga kelangsungan hidup perusahaan akan
semakin baik dan perusahaan tidak akan mendapat opini audit going concern dari auditor.
H5: Keberadaan komite audit berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going
concern.
Metode Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di
BEI yang bergerak dalam bidang manufaktur pada tahun 2007 sampai dengan tahun
2010, yang dipilih dengan metode purposive sampling. Dalam purposive sampling,
pemilihan kelompok subyek didasarkan pada ciri atau sifat yang dipandang memiliki
sangkut paut yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Metode ini dipandang dapat memberikan data secara maksimal karena dapat mewakili
populasi dan tidak menimbulkan bias bagi tujuan peneliti. Sampel dipilih dengan kriteria
sebagai berikut:
6
4. Disclosure
Disclosure adalah pengungkapan informasi keuangan mengenai konsistensi
penggunaan metode akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan, kebijakan-
kebijakan perusahaan, kerjasama perusahaan dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa perusahaan, serta kejadian setelah tanggal neraca dalam hal
pemberian opini audit going concern.
Variabel ini diukur dengan menggunakan indeks, dimana peneliti akan melihat dari
pengungkapan atas informasi keuangan perusahaan dibandingkan dengan jumlah
yang seharusnya diungkapkan oleh perusahaan sesuai dengan peraturan BAPEPAM
SE-02/PM.2002. Hal ini dikarenakan peneliti ingin melihat seberapa besar jumlah
item pengungkapan wajib laporan keuangan berpengaruh terhadap penerimaan opini
audit going concern. Misal jumlah item yang dijadikan pedoman kelengkapan
pengungkapan 68, sedangkan yang dipenuhi perusahaan dalam laporan tahunan nya
adalah 50, maka indeksnya sebesar 50/68=0.735. Jadi rumusnya adalah:
n
Indeks = k
Keterangan:
n= jumlah butir pengungkapan yang mampu dipenuhi
k= jumlah semua butir pengungkapan yang harus dipenuhi
Jika butir yang diungkapkan pada perusahaan yang tertera pada scoring instrument
ada, maka yang didapat adalah 1, sedangkan jika tidak ada, maka diberi skor 0.
5. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan
atau dengan kata lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham
perusahaan (Christiawan dan Tarigan, 2007). Kepemilikan manajerial diukur dengan
menggunakan skala rasio melalui persentase jumlah saham yang dimiliki pihak
manajemen dari seluruh jumlah saham yang beredar.
Jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen
KPMJ = Tota l modal saham yang beredar
6. Keberadaan Komite Audit
Komite audit menurut Kep. 29/PM/2004 merupakan komite yang dibentuk oleh
dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan.
Keberadaan komite audit diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana
bernilai 1 jika dalam perusahaan terdapat komite audit; bernilai 0 jika sebaliknya.
Untuk menguji hipotesis, menggunakan variabel-variabel yang dimodelkan
sebagai berikut:
GC = α + β1(ALT) + β2(REP) + β3(DISC) + β4( ) + β5( )
Keterangan:
GC : Opini audit going concern.
: Kondisi keuangan perusahaan.
: Reputasi Auditor.
: Disclosure.
MANown : Kepemilikan manajerial.
: Keberadaan komite audit.
Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi logistik karena dalam
penelitian ini variabel dependen diukur dengan menggunakan variabel dummy, sehingga
peneliti memilih menggunakan alat uji tersebut untuk mengetahui pengaruh dari 4
variabel independen yaitu kondisi keuangan, reputasi auditor, disclosure dan corporate
governance.
8
minimum yang dihasilkan adalah 0,00 dan nilai maksimumnya adalah 0,70. Hal ini
menunjukkan proporsi kepemilikan saham terbesar yang dimiliki oleh pihak manajemen
perusahaan sebesar 0,70 atau 70%.
Variabel dependen yaitu going concern dapat dilihat pada tabel 4.3 dan variabel
independen yaitu reputasi auditor pada tabel 4.4 dan keberadaaan komite audit pada tabel
4.5 tidak diikutsertakan dalam perhitungan statistik deskriptif karena variabel-variabel
tersebut diukur dengan menggunakan dummy variabel (mempunyai skala nominal). Skala
nominal merupakan skala pengukuran kategori atau kelompok (Ghozali, 2006). Angka ini
hanya berfungsi sebagai label kategori semata tanpa nilai intrinsik. Oleh sebab itu
tidaklah tepat menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi dari variabel tersebut
(Ghozali, 2006).
Pembahasan
Pengaruh Kondisi Keuangan terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern.
Hasil pengujian pada hipotesis pertama memberikan bukti empiris bahwa kondisi
keuangan perusahaan yang diproksikan dengan model prediksi kebangkrutan Z Score
Altman berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit going concern. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin baik kondisi keuangan perusahaan maka semakin kecil
kemungkinan bagi auditor untuk memberikan opini audit going concern pada perusahaan
tersebut dan semakin buruk kondisi keuangan perusahaan, maka akan semakin besar
kemungkinan perusahaan menerima opini audit going concern dari auditor (McKeown et
al., 1991).
Seorang auditor akan sangat memperhatikan kondisi keuangan perusahaan dalam
menerbitkan opini audit going concern. Perusahaan yang tidak mempunyai permasalahan
yang serius kemungkinan besar tidak akan menerima opini audit going concern (Santosa
dan Wedari, 2007). Perusahaan yang mengalami permasalahan keuangan secara terus-
menerus dapat mengakibatkan nilai rasio Z Score menjadi rendah sehingga akan
berpeluang besar untuk menerima opini audit going concern. Permasalahan keuangan
yang dihadapi adalah:
1. tingkat likuiditas aktiva. Semakin likuid suatu aktiva, maka semakin cepat aktiva
tersebut dikonversikan menjadi kas, begitu pula sebaliknya.
2. profitabilitas perusahaan. Semakin muda perusahaan, semakin sedikit waktu yang
dimilikinya untuk membangun laba kumulatif.
3. produktivitas dari aktiva perusahaan dimana jika rasio ini lebih kecil dari rata-rata
tingkat bunga yang dibayar, berarti perusahaan menghasilkan uang yang lebih sedikit
daripada bunga pinjaman.
4. penurunan nilai aktiva. Nilai ini menunjukkan seberapa banyak aktiva perusahaan
dapat turun nilainya sebelum jumlah utang lebih besar daripada aktivanya dan
perusahaan menjadi pailit
5. kemampuan perusahaan dalam bersaing di pasar.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Ramadhany (2004), Fanny dan Saputra
(2005), Setyarno et al. (2006), Santosa dan Wedari (2007), dan Susanto (2009) yang
menunjukkan bahwa kondisi keuangan perusahaan berpengaruh signifikan terhadap
penerimaan opini audit going concern. Perusahaan yang baik (sehat) mempunyai
profitabilitas yang memadai dan cenderung memiliki laporan keuangan yang sewajarnya
sehingga potensi untuk mendapatkan opini yang baik akan lebih besar. Saat kondisi
keuangan perusahaan dianggap baik oleh auditor, maka auditor yakin bahwa perusahaan
tersebut mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam beberapa periode ke
depan, sehingga auditor tidak akan memberikan opini audit going concern pada
perusahaan tersebut.
termasuk dalam mengungkapkan masalah going concern. Hasil penelitian ini konsisten
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fanny dan Saputra (2005), dan
Setyarno et al. (2006) yang menunjukkan bukti bahwa reputasi KAP tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern pada
auditee.
Auditor yang bekerja di KAP besar maupun di di KAP kecil mempunyai
kemampuan yang sama dengan kualitas audit yang sama. Hal ini menunjukkan reputasi
auditor didasarkan pada kepercayaan pemakai jasa auditor bahwa auditor mempunyai
kekuatan monitoring yang secara umum tidak dapat diamati. Selain itu, untuk
mempertahankan reputasinya, seorang auditor yang berada di KAP besar atau kecil akan
berusaha menghindar dari hal-hal yang dapat merusak reputasi auditor tersebut.
Auditor skala besar maupun auditor skala kecil memiliki insentif yang sama
untuk mendeteksi dan melaporkan masalah going concern kliennya. Apabila auditor
meragukan kelangsungan hidup perusahaan kliennya, maka opini yang akan diberikan
adalah opini audit going concern, tanpa memandang apakah auditor tersebut berasal dari
KAP besar maupun KAP kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa auditor akan berusaha
untuk bersikap objektif dalam memberikan pendapat bagi laporan keuangan kliennya
(Setyarno et al., 2006).
pengungkapan dalam laporan keuangan yang sesuai dengan peraturan BAPEPAM SE-
02/PM.2002 tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going
concern.
Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian Junaidi dan Hartono (2010)
yang menguji pengaruh faktor non keuangan, salah satunya adalah disclosure terhadap
penerimaan opini audit going concern. Penelitian tentang pengaruh disclosure terhadap
opini audit going concern ini masih terbatas, sehingga peneliti belum menemukan
penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini.
Kesimpulan
Simpulan
Penelitian ini menguji pengaruh variabel kondisi keuangan, reputasi auditor,
disclosure, kepemilikan manajerial, dan keberadaan komite audit terhadap penerimaan
opini audit going concern. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 35 perusahaan dari
tahun 2007 – 2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, dari 140 pengamatan, 40
perusahaan menerima opini going concern dan 100 perusahaan menerima opini non going
concern.
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan
bukti empiris bahwa variabel kondisi keuangan perusahaan berpengaruh signifikan
terhadap penerimaan opini audit going concern. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
memberikan opini audit going concern, seorang auditor tentu saja sangat memperhatikan
kondisi keuangan auditee. Auditee yang tidak mempunyai permasalahan keuangan yang
serius tentu tidak akan menerima opini audit going concern. Sementara perusahaan yang
mengalami permasalahan keuangan dan kerugian terus - menerus seperti kerugian operasi
yang berulang – ulang, kekurangan modal kerja, arus kas negatif, kegagalan dalam
memenuhi kewajiban utang, dan jeleknya rasio keuangan lainnya (SPAP, 2004) yang
mengakibatkan rasio Z Score rendah berpeluang besar menerima opini going concern.
Variabel reputasi auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini
audit going concern. Hal ini menunjukkan bahwa besar atau kecilnya skala audit (ukuran
KAP) tidak mempengaruhi kualitas audit yang diberikan oleh auditor. Variabel disclosure
juga tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Hasil temuan ini
menunjukkan bahwa dalam memberikan opini audit going concern, auditor lebih
memperhatikan ketentuan SPAP Seksi 342 (2004) untuk menilai ketidakpastian terhadap
kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Informasi
mengenai hal tersebut dapat diperoleh auditor pada melakukan visitasi di perusahaan.
Variabel selanjutnya yang tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan
opini audit going concern adalah kepemilikan manajerial dan keberadaan komite audit.
Dalam perusahaan manufaktur di Indonesia, kesadaran dalam penerapan good corporate
governance masih kurang, sehingga fungsi pengawasan tidak dapat berjalan dengan baik.
Hal ini menyebabkan adanya perbedaan kepentingan antara pihak manajemen dan
pemilik perusahaan tidak dapat diminimalisir.
Implikasi
Penelitian ini memperkuat teori dan hasil penelitian sebelumnya tentang opini
audit, khususnya bahwa penerimaan opini audit going concern dipengaruhi oleh kondisi
keuangan. Reputasi auditor, disclosure, kepemilikan manajerial, dan komite audit
ternyata tidak dapat dijadikan pertimbangan auditor dalam memberikan opini audit going
concern kepada kliennya. Penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman serta dapat dijadikan sebagai referensi pengetahuan, bahan diskusi, dan
bahan kajian lanjut bagi pembaca tentang masalah yang berkaitan dengan opini audit
going concern.
Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman bagi investor dan calon investor yang
hendak melakukan investasi sebaiknya lebih memperhatikan kondisi keuangan
15
perusahaan dalam melakukan investasi dan sebaiknya tidak berinvestasi pada perusahaan
yang mendapat opini audit going concern. Bagi auditor hendaknya memahami dan
mewaspadai kondisi keuangan perusahaan dalam memberikan opini audit going concern.
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada pihak manajemen perusahaan
agar dapat mengenali lebih dini tanda-tanda kebangkrutan usaha dengan melakukan
analisis terhadap laporan keuangannya sehingga dapat mengambil kebijakan sesegera
mungkin guna mengatasi masalah tersebut dan terhindar dari penerimaan opini going
concern.
Rekomendasi
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas variabel dengan menguji
faktor keuangan, faktor non keuangan dan faktor pasar lainnya yang dapat diduga
mempengaruhi opini going concern. Selain itu, peneliti selanjutnya juga disarankan untuk
memperluas sampel penelitian, dan dapat melihat jauh lebih dalam tentang kompetensi
dari komite audit dalam perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Altman, E. I. (1968). Financial Ratios: Discriminan Analysis and The Prediction of
Corporate Bankruptey. Journal of Finance Edition 123 .
Altman, E., dan McGough, T. (1974). Evaluation of A Company as A Going Concern.
Journal of Accountancy , pp. 50-57.
Arens, A. A., dan lobbecke, J. K. (2003). Auditing. In A. A. Jusuf, Pendekatan Terpadu
(5 Jillid 1 ed.). Jakarta: Salemba Empat.
Ballesta, J.P., dan E,G.-M. (2005). Audit Qualifications and Corporate Governance in
Spanish Listed Firms. Managerial Auditing Journal , Vol 20, pp. 725-738.
Carcello, J. V., dan L, N. T. (2000). Audit Committee Composition and Auditor
Reporting. The Accounting Review ,Vol 75, No. 4, pp. 453-467.
Choi, Jong-Hang, JB, K., dan Yoonseok, Z. (2010). Audit Office Size Audit Quality and
Audit Pricing. Auditing: A Journal of Practice and Theory , Vol 29, No. 1, pp. 73-
97.
Christiawan, Y. J., & Tarigan, J. (2007). Kepemilikan Manajerial: Kebijakan Hutang,
Kinerja dan Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan , Vol 9, No. 1, pp.
1-8.
Dang Li, Kevin F Brown, B D McCullough. (2004). Assessing Audit Quality : A Value
Relevance Respective.
Darmawati, Deni, Khomsiyah, dan K, R. R. (2004). Hubungan Corporate Governance
dan Kinerja Perusahaan. Simmposium Nasional Akuntansi VII.
DeAngelo, L. (1981). Auditor Independence, "Low Balling" and Disclosure Regulation .
Journal of Accounting and Economics , pp. 113-127.
Faisal. (2004). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan, dan Mekanisme Corporate
Governance. Simposium Nasional Akuntansi.
Fanny, M., & Saputra, S. (2005). Opini Audit Going Concern: Kajian Berdasarkan Model
Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan Perusahaan, dan Reputasi Kantor Akuntan
Publik (Studi pada Emiten Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi
VIII , pp. 966-978.
16
Mutchler, J. F., Willian, H., & M, M. J. (1997). The Influence of Contrary Information
and Mitigating Factors on Audit Opinion Decisions on Bankrupt Companies.
Journal of Accounting Research , Vol 35 No. 2, pp. 295-310.
Nasution, M., & Setiawan, D. (2007). Pengaruh Corporate Governance terhadap
Manajemen Laba di Industri Perbankan Indonesia. Simposium Nasional
Akuntansi X .
Praptitorini, M. D., & Januarti, I. (2007). Analisis Pengaruh Kualitas Audit, Debt Default,
dan Opinion Shopping terhadap Penerimaan Opini Going Concern. Simposium
Nasional Akuntansi X .
Rahayu, P. (2007). Assesing Going Concern Opinion: A Study Based On Financial and
Non Financial Informations (Empirical Evidence of Indonesian Banking Firms
Listed on JSX and SSX). Simposium Nasional Akuntansi X , pp. 1-32.
Ramadhany, A. (2004). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Opini
Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang mengalami Financial Distress
di Bursa Efek Jakarta. Jurnal MAKSI , Vol 4, pp. 146-160.
Rudyawan, Arry, P., & Badera, I. D. (2009). Opini Audit Going Concern: Kajian
Berdasarkan Prediksi Model Kebangkrutan, Pertumbuhan, Leverage, dan
Reputasi Auditor. Audi (Jurnal Akuntansi dan Bisnis) ,Vol 4 No. 2, pp. 129-138.
Sanjaya, I. P. (2008). Auditor Eksternal, Komite Audit, dan Manajemen Laba. Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia , Vol 11 No. 1, pp. 97-116.
Santoso, A. F., & Wedari, L. K. (2007). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going Concern. Jurnal JAAI , Vol 11
No. 2, pp. 141-158.
Setiawan, S. (2006). Opini Going Concern dan Prediksi Kebangkrutan Perusahaan.
Jurnal Ilmiah Akuntansi , Vol 5 No.1 , pp. 59-67.
Setyarno, Budi, E., Januarti, I., & Faisal. (2006). Pengaruh Kualitas Audit, Kondisi
Keuangan Perusahaan, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan
PerusahaanTerhadap Opini Audit Going Concern. Simposium Nasional Akuntansi
IX , pp. 1-25.
Sugiyono, P. D. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta CV.
Susanto, Y. K. (2009). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going
Concern pada Perusahaan Publik Sektor Manufaktur. Jurnal Bisnis dan Akuntansi
, Vol 11, pp. 155-173.
Tucker, Robert, R., Matsumura, E. M., & Subramanyam, K. R. (2003). Going Concern
Judgements; A Experimental Test of The Self-fulfillinf Prophecy and Forecast
Accuracy. Retrieved from http://www.ssrn.com.
Utama, M. (2004). Komite Audit, Good Corporate Governance, dan Pengungkapan
Informasi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia , Vol 1, pp. 61-79.
Wedari, A. F. (2007). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan
Penerimaan Opini Audit Going Concern. JAAI , Vol 11, pp. 141-158.
Kurniati, Y., & Yanfiri. (2010). Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap
Siklus Bisnis. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan , pp. 135 - 168.