Anda di halaman 1dari 2

DEMOKRASI DORONG POLITISASI AGAMA

Oleh Aisyah Badmas

Dilansir dalam Antaranews (19/11), ketua umum organisasi internasional Alumni Al-Azhar
Cabang Indonesia, TGB Muhammad Zainul Majdi mengingatkan bahwa politisasi agama untuk
mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan
berbahaya. Menurutnya, politisasi agama merupakan pemanfaatan agama semata untuk
mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik, atau agama jadi instrument untuk
mendapatkan hasil politik.
Ya, Menjelang pemilihan kepala daerah, politisasi agama dan money politic (politik uang)
sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Bahkan hampir di setiap pemilihan (Bupati/Wali
Kota/Gubernur dan Presiden/Legislatif) selalu tercium dan terkabar praktek politisasi agama dan
uang serta sejenisnya seperti sembako. Tujuannya tentu saja untuk mempengaruhi para pemilik
suara. Meski ada Bawaslu dan Panwaslu yang mengawai proses pemilihan. Namun, hasilnya belum
maksimal.
Dalam sistem pemerintahan Demokrasi, politisasi agama adalah saat agama digunakan
untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan Pemilu, lalu setelah menang Pemilu agama
kemudian ditinggalkan. Inilah yang selama ini terjadi. Para elit politik cenderung mendadak islami
menjelang Pemilu; mulai dari pakai kopiah (yang dianggap sebagai simbol pakaian islami), shalat
Jumat keliling, kunjungan ke pesantren dan majelis taklim, dll. Namun, setelah menang Pemilu,
semua simbol tersebut ditinggalkan. Mereka bahkan tetap menolak Islam sebagai dasar pengaturan
politik dengan berbagai dalih.
Apa yang dilakukan oleh kontestan selama proses pemilihan merupakan upaya berebut suara
rakyat demi kursi meski dengan manipulasi atau politik kebohongan. Semua sah selama bisa
berkelit dari batasan regulasi. Karena suara mayoritas sangat di tuhankan untuk mencapai
kedudukan dan kursi kepemimpinan Hal ini menunjukkan, politisasi agama menjelang pemilu/kada
adalah bagian tak bisa dihindari dalam demokrasi. Ini tidak jauh berbeda dengan Negara Penganut
Demokrasi sejati, semisal AS contohnya, Presiden terpilih AS Joe Biden ketika kampanye
menggunakan hadits untuk memikat pemilih muslim yang jumlahnya tidak sedikit. Tidak tanggung-
tanggung, hadits yang di setir mengenai mencegah kemungkaran, suatu hal yang bertolak belakang
dengan aktifitas pemerintah AS selama ini terhadap negeri-negeri Islam dalam pergaulan
internasional.
Politisasi agama adalah buah dari sistem demokrasi liberal yang busuk karena politik tidak
diatur berdasarkan syariah Islam yang mulia, tetapi berdasarkan ideologi Kapitalisme, yang
menjadikan manfaat sebagai asas terpenting. Politik hanya ditujukan untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi demi mempertahankan kekuasaan politik. Dalam politik seperti ini, sikap
pragmatis dan menghalalkan segala cara—termasuk “politisasi agama”—menjadi bagian yang tidak
bisa dipisahkan dari politik.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yakni khilafah. Dalam Islam, politik (siyâsah)
merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan
membimbing menuju kebaikan (Samih 'Athif dalam bukunya, As-Siyâsah wa As-Siyâsah Ad-
Duwaliyyah). Karena itu, dalam Islam, politik amatlah mulia sehingga Islam dan politik tak bisa
dipisahkan Jika dalam sistem demokrasi suara mayoritas menjadi penentu dalam segala bidang
permasalahan. Sedangkan dalam sistem Islam, syura dilakukan tidak dalam semua bidang
permasalahan. Menurut bdul Qadim Zallum (1990) dalam Kitab Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr
dalam masalah penentuan hukum syara’ (at-tasyri’), kriterianya tidak tergantung pada pendapat
mayoritas atau minoritas, melainkan pada nas-nas syariat (nas Al-Qur’an dan Sunah). Sebab, yang
menjadi Pembuat Hukum (Musyarri’ , The Law Giver) hanyalah Allah SWT, bukan umat atau
rakyat. Allah SWT berfirman dalam QS. Yusuf ayat 40:

ُ‫ۚ إِ ِن ْال ُح ْك ُم إِاَّل هَّلِل ِ ۚ أَ َم َر أَاَّل تَ ْعبُدُوا إِاَّل إِيَّاه‬


Artinya: Tidak ada hukum kecuali hanyalah kepunyaan Allah.
Sedangkan pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses
legislasi) hukum-hukum syara’ dalam sistem Khilafah, adalah Khalifah saja. Khalifah boleh
meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syara’ yang hendak diadopsinya, tetapi
pendapat Majelis Umat tidak mengikat khalifah. Dengan demikian sistem khilafah menjauhkan
politisasi agama, namun justru menjadikan politik berdasarkan aturan agama (islam). wallahu’alam
Bishshowab.

Anda mungkin juga menyukai