Anda di halaman 1dari 183

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PEMBUAT TAHU


DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT
DAN CIPUTAT TIMUR
TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat


(SKM)

Disusun Oleh:
RISKA FERDIAN
NIM : 10810100042

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2012 M/1434 H

i
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, November 2012

Riska Ferdian, NIM : 108101000042

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja


Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012

xix+ 138 halaman, 11 tabel, 2 gambar, 3 bagan, 4 lampiran

ABSTRAK
Dermatitis kontak akibat kerja yang merupakan salah satu penyakit kelainan kulit sering
timbul pada industri seperti industri pada pabrik tahu yang dapat menurunkan produktifitas
pekerja. Pemaparan zat kimia yang digunakan dalam proses penggumpalan dapat menyebabkan
dermatitis kontak, mengakibatkan iritasi dan gangguan kulit lainnya dalam bentuk gatal-gatal,
kulit kering dan pecah-pecah, kemerah-merahan, serta koreng yang tidak sembuh-sembuh. Studi
pendahuluan yang dilakukan menunjukkan 50% dari 10 orang pekerja pembuat tahu mengalami
dermatitis kontak.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain studi cross
sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – September 2012 pada pekerja pembuat tahu
yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur. Sampel penelitian ini berjumlah
71 orang dari total populasi 79 orang. Faktor – faktor yang diduga sebagai penyebab dermatitis
kontak adalah faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) dan faktor
internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan).
Pengumpulan data menggunakan lembar pemeriksaan dokter (untuk variabel kejadian
dermatitis), thermohigrometer, dan kuesioner. Data yang diperoleh kemudian di uji
menggunakan uji chi-square dan uji Mann-Withney dengan derajat kepercayaan 95% dan alpha
sebesar 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja pembuat tahu yang menderita dermatitis
kontak adalah sebanyak 37 orang (52,1%) dan sebanyak 34 pekerja (47,9%) tidak mengalami
dermatitis kontak. Faktor eksternal yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah
lama kontak, frekuensi kontak, dan suhu. Faktor internal yang berhubungan dengan dermatitis
kontak adalah riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, dan jenis pekerjaan.
Beberapa hal yang dapat disarankan untuk menurunkan risiko terkena dermatitis adalah
dengan mengganti bahan penggumpal tahu dengan Nigarin yang terbuat dari sari air laut,
meningkatkan kesadaran pekerja terhadap penyakit kulit khususnya dermatitis kontak. Menjaga
kebersihan diri (personal hygiene). Memakai alat pelindung diri berupa sarung tangan yang
menutupi sampai bagian lengan dan baju kerja yang menutupi seluruh bagian tubuh.

Kata Kunci: dermatitis kontak, pekerja pembuat tahu, lama kontak, jenis pekerjaan
Daftar bacaan: 1990-2012

iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF SAFETY AND OCCUPATIONAL HEALTH
Undergraduated Thesis, November 2012

Riska Ferdian, NIM: 108101000042

Factors Associated With Incidence of Contact Dermatitis In Tofu Maker Workers


in Ciputat and Ciputat Timur Sub-District 2012

xix+ 138 pages, 11 tables, 2 pictures, 3 diagrams, 4 attachments


Abstract

Occupational contact dermatitis is a skin disease which is often arise in the tofu’s
industry that can reduce workers productivity. The exposure of chemicals used in the
process of clotting can caused contact dermatitis, may lead to irritation and other skin
disorders like itching, dry skin and chapped, redness, and sores that do not heal. The
earlier study found the Tofu makers with contact dermatitis is 5 persons from 10 persons
(50%)
This research is a quantitative study using a cross-sectional study design. The
research was conducted in June - September 2012 on tofu maker workers in Ciputat and
Ciputat Timur Sub-District. The sample amounted to 71 people from a total population
of 79 people. The Factors suspected as the cause of contact dermatitis is an external
factor (prolonged contact, frequency of contact, temperature and humidity) and internal
factors (age, history of skin disease, history of atopy, history of allergies, years of
service, and the type of work). The data are collected using a doctor's examination (for
contact dermatitis), thermohigrometer, and questionnaires. The data is tested using the
chi-square and Mann-Whitney test with a confidence interval of 95% and alpha 0.05.
The results showed that workers with contact dermatitis is 37 people (52.1%) and
the workers without contact dermatitis is 34 workers (47.9%). External factors
associated with the incidence of contact dermatitis is prolonged contact, frequency of
contact, and temperature. Internal factors associated with contact dermatitis are history
of skin disease, history of atopy, history of allergies, and type of work.
Some solutions that can be recommended to reduce the risk of dermatitis are
change the clotting solvent into Nigarin which is made from seawater extract, increase
employee awareness about skin disease especially contact dermatitis. Maintain a good
personal hygiene. Using PPE (Personal Protective Equipment) such a gloves which
covers full arm and use work’s cloth that covers entire body.

Keywords: contact dermatitis, tofu maker workers, prolonged contact, type of work
References: 1990-2012

iv
v
vi
CURRICULUM VITAE

A. Personal Detail

Name : Riska Ferdian

Place/Date of Brith : Bukitttinggi, February 24th 1990

Home Address : Jl. S. Parman no.90 Malana Ponco, Baringin Sub-District;


Lima Kaum District; Batusangkar, West Sumatera Province

Current Address : Jl. SD Inpres No. 84, RT 02/09 Cirendeu Sub- District;
Ciputat Timur District; South Tangerang. Banten Province

Zip Code (15419)

Blood Type : AB

Email : intro_ferdian@yahoo.com

riska.ferdian90@yahoo.com

B. Formal Education
No. Degree Major School/University Period
1 University Public Faculty of Medicine and 2008-2012
Health/Occupational Health Sciences Islamic
Health and Safety State University
Concentration (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
2 High School IPA SMAN 1 Cisauk (SMAN 2 2005-2008
Tangerang Selatan)
3 Junior School SMPN 1 Pamulang 2002-2005
4 Elementary SDN Serua X 1996-2002
School

vii
C. Experiences and Organizations

NO Company / Institution
Dates Position/ Job description
1 PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit II, Dumai – Riau
February- March On the Job Training; Health, Safety, Environment Division (HSE)
2012
2 Kompas Gramedia, South Palmerah – Jakarta
February 2009 – Polling Staff (Freelancer) LitbangKompas Gramedia
December 2012
May 2012 Interviewer Pra-Pilkada DKI 2012 1st round
July 2012 Interviewer Exit Poll Pilkada DKI 2012 1st round
September 2012 Interviewer Pra-Pilkada DKI 2012 2nd round
September 2012 Interviewer Exit Poll Pilkada DKI 2012 2nd round
3 Paduan Suara FKIK (Pasifik)
2010-2011 Chairman of Paduan Suara FKIK
2009-2010 Treasurer of Paduan Suara FKIK
4 Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Jakarta
2010-2011 Chief of Relation Between Organization Division
5 Badan Eksekutif Mahasiswa FKIK
2008-2009 Staff Sports and Arts Division

D. Courses and Training


Year
Name Institution Result
From To
Training Paduan Suara (Choir Paduan Suara January May 2009 New Member
Training) Mahasiswa UIN 2009 Of UIN
Jakarta Jakarta’s
(Student Choir of Student Choir
UIN Jakarta)
The Powerful Training And BEM FKIK UIN June/13/ June/13/2009 As Participant
Simulation Public Speaking Syarif Hidayatullah 2009
Jakarta
Health Cybernatics Day BEM FKIK UIN June/20/ June/20/2009 As Participant
Syarif Hidayatullah 2009
Jakarta
Training Management Quality Super Training April/2/ April/3/2011 Certified
System – Environment- Indonesia 2011
OHSAS
QHSE INTEGRATED – ISO
9001, 14001 & 18001

viii
KATA PENGANTAR

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang akhirnya

saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu Di

Wilayah Kecamatan Ciputat Dan Ciputat Timur Tahun 2012”. Sholawat dan salam

juga selalu tercurah kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW yang telah

menuntun umatnya dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, saya

ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Riastuti Kusumawardani, MKM. selaku pembimbing I yang menyempatkan

waktu di kesibukannya untuk membimbing selama ini.

2. Ibu Iting Shofwati, MKKK selaku pembimbing II dan yang memberikan

kesempatan saya untuk ikut dalam penelitian mengenai dermatitis kontak.

Terima kasih banyak bu... barakallah..

3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS sebagai ketua sidang skripsi saya..

4. Ibu Yuli Amran, MKM selaku penguji II dalam sidang skripsi

5. Ibu dr. Rachmania Diandini, M.KK selaku penguji III sidang skripsi

6. Sofia, Era, Iqbal, Astri, Via dan Niswah atas bantuannya selama menulis skripsi

ini.

7. Seluruh pekerja dan pemilik pabrik tahu di Ciputat dan Ciputat Timur, terima

kasih telah berkenan menjadi subjek penelitian ini.

ix
8. Keluarga Besar PSM UIN Jakarta, terima kasih atas segala pengalaman dalam

berjuang mulai dari Cirebon sampai Thailand. Terima kasih support kawan -

kawan. That was my last concert with you guys. Thanks for everything. Jaya

PSM UIN Jakarta!

9. Keluarga Besar Pasifik UIN Jakarta yang telah memberikan pengalaman yang

menguatkan hati untuk terus bertahan di tengah kesibukan perkuliahan di FKIK.

10. Era, Tika , Depoy, Ayu dan Kak Yunci atas semua semangat yang diberikan.

Semoga kalian sukses,, sampai bertemu di masa depan!

11. Surya Pradana, No more words to say but thank you.

12. The last but the best untuk Mama dan Papa yang telah mencurahkan semua kasih

sayang dan doanya setiap saat.. semua yang aku lakukan,untuk mama papa..

Love you much!

Skripsi ini tentu jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun

terhadap skripsi ini sangat saya harapkan.

Jakarta, Januari 2013

Penulis

x
DAFTAR ISI

JUDUL........................................................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... ii

ABSTRAK..................................................................................................................... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................ v

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................... vi

CURRICULUM VITAE ................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ix

DAFTAR ISI ................................................................................................................. xi

DAFTAR BAGAN ........................................................................................................ xvii

DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xviii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... xix

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ....................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................... 7

1.3. Pertanyaan Penelitian .............................................................................................. 8

1.4. Tujuan...................................................................................................................... 9

1. Tujuan Umum ......................................................................................... 9

2. Tujuan Khusus ........................................................................................ 9

1.5. Manfaat Penelitian................................................................................................... 10

1.6. Ruang Lingkup ........................................................................................................ 10

xi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 12

2.1 Penyakit Akibat Kerja ........................................................................................... 12

2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja .................................................................................... 13

2.2.1 Pengertian ................................................................................................. 13

2.2.2 Etiologi...................................................................................................... 13

2.2.3 Anatomi Kulit ........................................................................................... 14

2.2.4 Skin Barrier............................................................................................... 15

2.3 Dermatitis Kontak ................................................................................................... 16

2.3.1 Definisi .......................................................................................................... 16

2.3.2 Etiologi .......................................................................................................... 17

2.3.3 Fisiologi ......................................................................................................... 19

2.3.4 Tanda dan gejala ............................................................................................ 22

2.3.5 Diagnosis ....................................................................................................... 25

2.4 Tahu ......................................................................................................................... 28

2.4.1 Bahan baku .............................................................................................. 28

2.4.2 Pembuatan Tahu ...................................................................................... 29

2.5 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak ......................................... 38

2.5.1 Faktor Eksternal (Eksogen/Luar) ................................................................... 38

a. Lama Kontak ............................................................................................. 38

b. Frekuensi Kontak ...................................................................................... 40

c. Bahan Kimia ............................................................................................. 41

xii
d. Suhu .......................................................................................................... 44

e. Kelembaban .............................................................................................. 45

f. Musim ....................................................................................................... 45

2.5.2 Faktor Internal (Endogen).............................................................................. 46

a. Jenis kelamin ............................................................................................. 46

b. Usia ........................................................................................................... 47

c. Masa Kerja ................................................................................................ 48

d. Jenis Pekerjaan .......................................................................................... 49

e. Riwayat Alergi .......................................................................................... 50

f. Jenis Kulit ................................................................................................. 51

g. Keringat ..................................................................................................... 52

h. Ras ............................................................................................................. 54

i. Riwayat Penyakit Kulit ............................................................................. 54

j. Riwayat Atopi ......................................................................................... 55

k. Personal Hygine ..................................................................................... 57

l. Penggunaan APD .................................................................................... 58

2.6 Kerangka Teori ........................................................................................................ 60

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ..................... 62

3.1 Kerangka Konsep .................................................................................................... 62

3.2 Definisi Operasional ................................................................................................ 64

3.3 Hipotesis ................................................................................................................. 66

xiii
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 68

4.1 Jenis Penelitian ......................................................................................................... 68

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................... 68

4.3 Populasi dan Sampel ................................................................................................ 68

4.4 Instrumen Penelitian................................................................................................. 73

4.4.1 Lembar Pemeriksaan Dokter ....................................................................... 73

4.4.2 Pengukur Suhu dan Kelembaban ................................................................ 73

4.4.3 Kuesioner..................................................................................................... 73

4.5 Pengumpulan Data ................................................................................................... 74

4.5.1 Data Primer.................................................................................................. 74

4.6 Pengolahan Data....................................................................................................... 75

4.6.1 Data Coding ................................................................................................ 75

4.6.2 Data Editing ................................................................................................ 75

4.6.3 Data Entry ................................................................................................... 75

4.6.4 Data Cleaning ............................................................................................. 76

4.7 Teknik Analisis Data ................................................................................................ 76

4.7.1 Analisa Univariat ......................................................................................... 76

4.7.2 Analisa Bivariat ........................................................................................... 76

BAB V HASIL .............................................................................................................. 78

5.1 Gambaran Lokasi Penelitian .................................................................................... 78

5.2 Analisis Univariat..................................................................................................... 81

xiv
5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak Pekerja Pembuat Tahu di

Ciputat dan Ciputat Timur ............................................................................. 81

5.2.2 Gambaran Faktor Eksternal dan Faktor Internal Dermatitis Kontak

pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 ........ 82

5.2.2.1 Gambaran Faktor Eksternal ............................................................... 84

5.2.2.2 Gambaran Faktor Internal .................................................................. 85

5.3 Analisa Bivariat ........................................................................................................ 88

5.3.1 Hubungan Antara Faktor Eksternal dengan Dermatitis Kontak pada

Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 ................. 90

5.3.2 Hubungan Antara Faktor Internal dengan Dermatitis Kontak pada

Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012 ................. 92

BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................................. 97

6.1 Keterbatasan Penelitian ...................................................................................... 97

6.2 Kejadian Dermatitis Kontak ............................................................................... 97

6.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak

Pada Pekerja Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat

Timur Tahun 2012.............................................................................................. 100

6.3.1 Hubungan Antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak ................. 100

6.3.2 Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak .......... 103

6.3.3 Hubungan Antara Suhu dengan Dermatitis Kontak .............................. 105

6.3.4 Hubungan Antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak .................. 107

6.3.5 Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak ............................... 111

xv
6.3.6 Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Dermatitis

Kontak..................................................................................................... 113

6.3.7 Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ............... 117

6.3.8 Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak .............. 120

6.3.9 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak .................... 122

6.3.10 Hubungan Antara Jenis Pekerjaan dengan Dermatitis Kontak .............. 125

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 128

7.1 Simpulan................................................................................................................. 128

7.2 Saran ........................................................................................................................ 131

7.2.1 Saran Bagi Pekerja ...................................................................................... 131

7.2.2 Saran Bagi Pemilik Pabrik .......................................................................... 132

7.2.3 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya .............................................................. 133

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 134

xvi
DAFTAR BAGAN

No. Bagan Judul Bagan Halaman

Bagan 2.1 Alur pembuatan tahu 37

Bagan 2.2 Kerangka Teori 61

Bagan 3.1 Kerangka Konsep penelitian 63

xvii
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 2.1 Alergen yang sering menimbulkan Dermatitis 18


Kontak Alergi
Tabel 2.2 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dengan 27
Dermatitis Kontak Alergis (DKA)
Tabel 2.3 Bahan kimia berpotensi iritasi dan sensitisasi 41

Tabel 3.1 Definisi Operasional 64

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel 72

Tabel 5.1 Gambaran Tahapan Proses Kerja Pada Pabrik 81


Tahu beserta Jenis Pekerjaan

Tabel 5.2 Distribusi Kejadian Dermatitis Kontak pada 82


Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat
Timur tahun 2012

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi 83


Kontak, Masa Kerja, Usia, Suhu dan
Kelembaban) pada Pekerja Pembuat Tahu di
Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi (Riwayat Penyakit Kulit, 83
Riwayat Atopi, Riwayat Alergi, dan Jenis
Pekerjaan) pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat
dan Ciputat Timur tahun 2012
Tabel 5.5 Analisis Hubungan antara (Lama Kontak, 88
Frekuensi Kontak, Masa Kerja, Usia, Suhu dan
Kelembaban) dengan dermatitis kontak pada
Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat
Timur tahun 2012
Tabel 5.6 Distribusi pekerja menurut (Riwayat Penyakit 89
Kulit, Riwayat Atopi, Riwayat Alergi, dan Jenis
Pekerjaan) dengan Dermatitis kontak pada Pekerja
Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun
2012

xviii
DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 5.1 Salah satu proses pembuatan tahu (pencetakan) 81

Gambar 6.1 Dermatitis pada pekerja pembuat tahu 98

xix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Diepgen & Coenraads (1999), dermatitis kontak akibat kerja

menempati urutan pertama dari seluruh penyakit akibat kerja di banyak negara.

Tingkat kejadiannya berkisar antara 0,5-1,9 kasus per 1000 pekerja penuh

waktu per tahun. Prevalensi dermatitis kontak pada populasi umum di AS telah

diperkirakan bervariasi antara 1,5% dan 5,4%. Dermatitis kontak adalah alasan

yang paling umum ketiga bagi pasien yang berkonsultasi dengan dokter kulit,

tercatat ada 9,2 juta kunjungan pada tahun 2004. Hal ini juga menyumbang

95% dari semua penyakit kulit akibat kerja yang dilaporkan.

Agius & Seaton (2005) menyebutkan bahwa di United Kingdom

dermatitis kontak adalah penyakit akibat kerja yang umum diderita, sekitar 80%

dari kasus yang dilaporkan. Tipe dari dermatitis kontak yang dilaporkan

tersebut ada dua yaitu tipe iritan dan alergik. Dermatitis kontak salah satunya

dapat disebabkan oleh keterpaparan bahan kimia yang mempunyai tingkat

keasaman tertentu dan bahan kimia yang mempunyai aktifitas kimia (chemical

activity) tertentu ( Taylor & Amado, 2009). Effendi (2007) melaporkan bahwa

insiden dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 50 kasus per tahun atau 11.9

1
2

persen dari seluruh kasus dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Dermatitis kontak adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai

respon terhadap pengaruh faktor eksogen (eksternal) dan atau faktor endogen

(internal), menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema,

edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal (Djuanda, 1999).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit dermatitis kontak

merupakan penyakit yang lazim terjadi pada pekerja-pekerja yang berhubungan

dengan bahan kimia dan panas, serta faktor mekanik sebagai gesekan, tekanan,

trauma.

Menurut Siregar (2009), beberapa jenis dermatitis kontak seperti

dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam

kuat, basa kuat, logam berat dengan konsentrasi kuat dan bahan relatif iritan

misalnya sabun, detergen dan pelarut organik. Jenis dermatitis lain adalah

dermatitis kontak alergi biasanya disebabkan oleh paparan bahan-bahan kimia

atau lainnya yang meningkatkan sensivitas kulit. Dermatitis kontak akibat kerja

mencapai 90% dari dermatitis akibat kerja (DAK) (Trihapsoro, 2003). Di

banyak industri saat ini, prevalensi dermatitis kontak akibat kerja meningkat

sejalan dengan peningkatan penggunaan bahan kimia di industri tersebut.

Siregar (2009) menyebutkan bahwa beberapa penelitian yang pernah dilakukan

di Indonesia antara lain: 30% dari penebang kayu di Palembang dan 11,8% dari
3

pekerja perusahaan kayu lapis menderita dermatitis kontak. Utama Wijaya

(1972) dalam Siregar (2009) menemukan 23,75% dari pekerja pengelolaan

minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja. Dari data ini

terlihat bahwa dermatitis akibat kerja memang mempunyai prevalensi cukup

tinggi, walaupun jenis dermatitisnya tidak sama pada semua perusahaan.

Dermatitis kontak akibat kerja yang merupakan salah satu penyakit

kelainan kulit sering timbul pada industri seperti industri pada pabrik tahu yang

dapat menurunkan produktifitas pekerja. Jumlah industri tahu di Indonesia

mencapai 84.000 unit usaha dengan kapasitas produksi lebih dari 2,56 juta ton

per tahun. Sebanyak 80 persen industri tahu berada di Pulau Jawa (Sadzali,

2010). Tahu merupakan hasil olahan dari bahan dasar kacang kedelai melalui

proses pengendapan dan penggumpalan oleh bahan penggumpal. Tahu ikut

berperan dalam pola makan sehari-hari sebagai lauk pauk maupun sebagai

makanan ringan. Kacang kedelai sebagai bahan dasar tahu mempunyai

kandungan protein sekitar 30-45%. Jika dibandingkan dengan kandungan

protein bahan pangan lain seperti daging (19%), ikan (20%) dan telur (13%),

ternyata kedelai merupakan bahan pangan yang mengandung protein tertinggi.

Zat penggumpal yang dapat digunakan adalah asam cuka, asam laktat, batu

tahu dan CaCl2 (Koswara, 1992). Bahan – bahan tersebut dipakai salah satu

saja sebagai zat penggumpal. Para pembuat tahu lebih mengenal zat
4

penggumpal ini sebagai sioh koh. Zat penggumpal yang digunakan rata-rata

berkadar asam 90%.

Pemaparan zat-zat kimia yang digunakan dalam proses penggumpalan

terhadap tahu dapat mengakibatkan iritasi dan gangguan kulit lainnya dalam

bentuk gatal-gatal, kulit kering dan pecah-pecah, kemerah-merahan, serta

koreng yang tidak sembuh-sembuh. Kerusakan kulit seperti ini akan

memudahkan masuknya zat-zat kimia yang bersifat beracun kedalam tubuh

melalui kulit yang terluka. Uap zat kimia dapat mengakibatkan peradangan dan

iritasi saluran pernafasan, dengan gejala batuk, pilek, sesak nafas dan demam.

Kebersihan lingkungan kerja di pabrik tahu yang kurang baik (panas, lembab,

lantai kotor dan basah, bau yang menyegat, dll) dapat menimbulkan gangguan

kesehatan seperti penyakit infeksi, gangguan kenyamanan kerja, kecelakaan,

penyakit allergi/ dermatitis kontak, dll (Dinkes Sulsel, 2004)

Sherine (2007) dalam Ernasari (2012) menyebutkan bahwa kasus

dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu terjadi di Lamongan Jawa Timur,

dimana para pekerja pembuat tahu mengalami gatal-gatal di daerah tangannya

dan kaki akibat sering kontak dengan bahan-bahan pembuat tahu. Beberapa dari

mereka juga menyebutkan bahwa penyakit kulit yang mereka alami diakibatkan

oleh karena mereka tidak menggunakan alat pelindung diri seperti sarung

tangan pada saat melakukan proses pembuatan tahu.


5

Penelitian yang dilakukan oleh Elisandri (2007) dalam Ernasari (2012)

menyebutkan bahwa kasus yang terjadi pada para pekerja pembuat tahu di

beberapa pabrik tahu di daerah Binjai menyebutkan bahwa 72% dari pekerja

pembuat tahu mengalami reaksi akibat kontak dengan bahan pembuat tahu

dalam waktu yang lama. Beberapa dari mereka juga menyebutkan gatal-gatal

yang mereka alami tidak akan kunjung sembuh apabila mereka tidak

menghentikan pekerjaannya dalam waktu yang lama.

Data yang diperoleh dari Puskesmas Medan Deli menunjukkan angka

kasus penyakit kulit para pengrajin tahu yaitu 93,42 persen dengan kasus

dermatitis kontak dan 6,58 persen dengan kasus penyakit kulit lainnya (Profil

Puskesmas Medan Deli (2009) dalam Ernasari (2012)). Hasil penelitian

Kusriastuti (1992) menunjukkan bahwa pemeriksaan fisik pada pekerja-pekerja

industri tahu di Kelurahan Utan Kayu Utara menyatakan bahwa pekerja di

bagian penyaringan mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk terkena

dermatitis kontak dibanding pekerja yang bekerja di bagian lainnya.

Djuanda (1999) dalam bukunya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

menyebutkan bahwa dermatitis dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak

alergi dipengaruhi faktor-faktor seperti bahan yang bersifat iritan, lama kontak,

kekerapan, adanya oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan

dan taruma fisis juga suhu dan kelembaban lingkungan. Selain itu juga

dipengaruhi oleh faktor individu meliputi perbedaan ketebalan kulit, usia, ras,
6

jenis kelamin, riwayat penyakit kulit. Agner & Menne (2006) menambahkan

bahwa selain faktor jenis kelamin, usia, ras, riwayat penyakit kulit lain seperti

yang disebutkan oleh Djuanda (1999), dermatitis juga dipengaruhi oleh riwayat

atopi dan pengobatan yang sedang diterima.

Lestari, dkk (2008) juga menyebutkan bahwa faktor yang paling utama

mempengaruhi terjadinya dermatitis akibat kerja karena kontak dengan bahan

kimia adalah pemakaian APD berupa sarung tangan yang tidak sesuai untuk

jenis bahan kimia yang digunakan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

dermatitis kontak akibat kerja adalah adanya kontak dengan bahan kimia, lama

kontak, dan frekuensi kontak.

Terdapat sekitar 2500 pengrajin tahu di wilayah Tangerang, Banten. Di

Tangerang Selatan sendiri, terdapat beberapa daerah penghasil tahu yang cukup

banyak dan tersebar di daerah Ciputat dan Ciputat Timur (Sekarningrum,

2012). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 21-22

Juni 2012 di 4 pabrik tahu yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan

kecamatan Ciputat Timur, dari 10 orang pekerja pembuatan tahu di didapatkan

5 orang pekerja pembuat tahu mengalami dermatitis kontak dan 5 pekerja

pembuat tahu tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil tersebut di dapat dari

pemeriksaan fisik dan diperkuat dengan hasil diagnosa dokter.


7

Oleh karena itu perlu diteliti apa saja faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu, sehingga

diharapkan dengan diadakannya penelitian ini dapat dapat menambah informasi

pengelola pabrik tahu dan pekerja pembuat tahu mengenai penyakit akibat kerja

khususnya dermatitis kontak.

1.2. Rumusan Masalah

Data yang diperoleh dari Puskesmas Medan Deli menunjukkan angka

kasus penyakit kulit para pengrajin tahu yaitu 93,42 persen dengan kasus

dermatitis kontak dan 6,58 persen dengan kasus penyakit kulit lainnya (Profil

Puskesmas Medan Deli, 2009 dalam Ernasari 2012). Hasil penelitian Kusriastuti

(1992) menunjukkan bahwa pemeriksaan fisik pada pekerja-pekerja industri

tahu di Kelurahan Utan Kayu Utara menyatakan bahwa pekerja di bagian

penyaringan mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk terkena dermatitis

kontak dibanding pekerja yang bekerja di bagian lainnya.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 21-22

Juni 2012 kepada 10 orang pekerja di 4 pabrik pembuatan tahu di wilayah

kecamatan Ciputat dan kecamatan Ciputat Timur didapatkan 5 orang pekerja

pembuat tahu mengalami dermatitis kontak dan 5 pekerja pembuat tahu tidak

mengalami dermatitis kontak. Hasil tersebut di dapat dari pemeriksaan fisik dan

diperkuat dengan hasil diagnosa dokter.


8

Budimulja (2008), Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne

(2006), Erliana (2008), Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi

(2008) menyebutkan bahwa faktor- faktor yang berhubungan dengan dengan

dermatitis kontak adalah faktor eksternal ( bahan iritan, lama kontak, frekuensi

kontak, musim, suhu dan kelembaban), faktor internal (faktor perbedaan jenis

kulit, usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat

alergi, masa kerja, jenis pekerjaan, kebiasaan mencuci tangan (personal

hygiene)) dan penggunaan APD.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat

tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012?

2. Bagaimana gambaran faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu

dan kelembaban) pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat

dan Ciputat Timur pada tahun 2012?

3. Bagaimana gambaran faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat

atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) pada pekerja pembuat

tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012?

4. Apakah ada hubungan antara faktor eksternal (lama kontak, frekuensi

kontak, suhu dan kelembaban) dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur

pada tahun 2012?


9

5. Apakah ada hubungan antara faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit,

riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) dengan kejadian

dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat

dan Ciputat Timur pada tahun 2012?

1.4. Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan

Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat

tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012.

2. Diketahuinya gambaran faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak,

suhu dan kelembaban) pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan

Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012.

3. Diketahuinya gambaran faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit,

riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) pada pekerja

pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun

2012.

4. Diketahuinya hubungan antara faktor eksternal (lama kontak, frekuensi

kontak, suhu dan kelembaban) dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur


10

pada tahun 2012.Diketahuinya hubungan antara faktor internal (usia,

riwayat penyakit kulit yang sedang dialami, riwayat atopi, riwayat alergi,

masa kerja, jenis pekerjaan) dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur

pada tahun 2012.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Pekerja Pembuat Tahu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi

pengelola pabrik tahu dan pekerja pembuat tahu mengenai penyakit

akibat kerja khususnya dermatitis kontak.

1.5.2 Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh

peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan dermatitis kontak.

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor yang

berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di

wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Juni – September 2012. Sasaran penelitian ini adalah

pekerja pembuat tahu yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat

Timur. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional (potong

lintang). Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi pendahuluan yang

dilakukan pada 10 orang pekerja pembuat tahu pada 4 pabrik tahu di wilayah
11

kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur, diketahui ada 5 pekerja yang mengalami

kejadian dermatitis kontak. Data primer diperoleh dari pemeriksaan oleh dokter,

hasil pengukuran lingkungan, dan kuesioner.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Akibat Kerja

Menurut Keppres RI no 22/1993, Penyakit yang timbul karena hubungan

kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

Penyebab Penyakit akibat kerja:

1. Golongan fisik: Bising, Radiasi, Suhu ekstrem, Tekanan udara, Vibrasi,

Penerangan

2. Golongan Kimiawi: Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap , gas,

larutan, kabut

3. Golongan biologik: Bakteri, virus, jamur, dan lain-lain.

4. Golongan Fisiologik/ergonomik: desain tempat kerja, beban kerja

5. Golongan Psikososial: Stress psikis, monotoni kerja, tuntutan pekerjaan,

dan lain-lain.

Adapun kriteria umum penyakit akibat kerja adalah sebagai berikut:

1. Adanya hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit

2. Adanya fakta bahwa frekwensi kejadian penyakit pada populasi pekerja

lebih tinggi daripada frekwensi kejadian penyakit di masyarakat umum

3. Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan preventif di tempat

kerja

12
13

2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja

2.2.1 Pengertian

Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul

pada waktu melakukan pekerjaan dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di

dalam lingkungan kerja. Dari batasan ini terlihat bahwa penyakit kulit

akibat kerja ini boleh disebut sebagai gejala sampingan usaha manusia atau

sebagai buatan manusia. Oleh karena itu manusia dituntut untuk mencegah

atau memperkecil kemungkinan terjadinya dengan menerapkan teknologi

pengendalian (Siregar, 2009).

2.2.2 Etiologi

Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor (Siregar, 2009):

1. Faktor kimiawi, dapat berupa iritasi primer, alergen, atau karsinogen.

2. Faktor mekanis/fisik, seperti getaran, gesekan, tekanan, trauma,

panas, dingin, kelembaban udara, sinar radioaktif.

3. Faktor biologis, seperti jasad renik (mikroorganisme) hewan dan

produknya, jamur, parasit, virus.

4. Faktor psikologis (kejiwaan) seperti ketidak cocokan pengelolaan

perusahaan sering membuat konflik di antara pegawai dan dapat

menimbulkan gangguan pada kulit seperti neurodermatitis.

Sebenarnya kulit mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri

dari serangan/rangsangan luar. Epidermis berfungsi menghambat

penguapan air yang berlebihan dari tubuh, menghambat penyerapan


14

berlebihan dari luar. Pigmen di dalam kulit melindungi tubuh dari pengaruh

sinar matahari. Selain itu kulit mengandung kelenjar keringat dan

pembuluh darah yang berfungsi sebagai alat penjaga keseimbangan cairan

tubuh, mempermudah timbulnya kelainan kulit.

2.2.3 Anatomi Kulit

Kulit merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh

dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat

dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,50 – 1,75

m², rata-rata tebal kulit 1-2 mm, paling tebal (6 mm) ada ditelapak tangan

dan kaki, paling tipis (0,5 mm) ada di penis. Kulit di bagian atas terdiri dari

tiga lapisan pokok yaitu : epidermis, dermis atau korium dan jaringan

subkutan atau subkutis (Harahap, 1990).

Kulit terbagi atas 3 (tiga) lapisan pokok yaitu :

a. Epidermis, terbagi atas empat lapisan yaitu : lapisan basal atau

stratum germinativum, lapisan malpighi atau stratum spinosum,

lapisan granular atau stratum granulosum dan lapisan tanduk atau

stratum korneum.

b. Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah epidermis dan

diatas jaringan.

c. Subkutis

Jaringan Subkutan (subkutis atau hipodermis) merupakan lapisan

yang langsung dibawah dermis, yang berfungsi untuk penyeka


15

panas, bantalan terhadap trauma dan tempat penumpukan energi

(Harahap, 1990).

2.2.4 Skin Barrier

Kulit mengandung sejumlah tumpukan lapisan spesifik yang dapat

mencegah masuknya bahan-bahan kimia yang terutama disebabkan adanya

lapisan tipis lipida dipermukaan, lapisan tanduk dan lapisan epidermis

alfigi. Pada daerah ini ditemukan juga suatu celah yang berhubungan

langsung dengan epidermis kulit bagian dalam yang dibentuk oleh kelenjar

sebasea yang membatasi bagian luar dan cairan ekstraselular yang juga

merupakan sawar (barrier).

Barrier kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk. Deretan sel-sel

pada lapisan tanduk salilng berkaitan dengan sangat kuat dan merupakan

pelindung kulit yang paling efisien. Sesudah penghilangan lapisan tanduk,

impermeabilitas kulit dipengaruhi oleh regenerasi sel. Dalam 2-3 hari

meskipun ketebalan lapisan tanduk yang terbentuk masih sangat tipis,

namun lapisan tersebut telah mempunyai kapasitas perlindungan yang

mendekati sempurna (Schaefer, 1996)


16

2.3 Dermatitis Kontak

2.3.1 Definisi

Dermatitis kontak adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis)

sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen (eksternal) dan atau faktor

endogen (internal), menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi

polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal

(Djuanda, 1999). Eczema atau dermatitis merupakan nama yang diberikan

untuk suatu inflamasi khusus pada kulit, dermatitis kontak mengarah kepada

inflamasi semacam itu yang disebabkan oleh zat-zat dari luar (external

agents). Istilah eczema dan dermatitis digunakan untuk keadaan inflamasi

kulit lainnya yang bukan terjadi karena faktor-faktor eksternal melainkan

terutama karena faktor-faktor internal.

Menetapkan penyebab dermatitis kontak tidak selalu mudah

dikarenakan banyak sekali kemungkinan yang ada. Selain itu banyak yang

tidak tahu atau menyadari seluruh zat-zat kimia yang bersentuhan dengan kulit

mereka. Seringkali lokasi awal ruam merupakan suatu petunjuk penting

(Harahap, 1990).
17

2.3.2 Etiologi

Dibawah ini akan dijelaskan etiologi dermatitis kontak iritan dan

etiologi dermatitis kontak alergi.

a. Dermatitis Kontak Iritan

Dapat disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam kuat, basa

kuat, garam logam berat dengan konsentrasi kuat dan bahan iritan relatif,

seperti sabun, detergen, dan pelarut organik. Dermatitis kontak oleh iritan

absolut biasanya timbul seketika setelah berkontak dengan iritan, dan

semua orang akan terkena. Sedangkan dermatitis kontak iritan relatif dapat

timbul sesudah pemakaian bahan yang lama dan berulang, dan seringkali

baru timbul bila ada faktor fisik berupa abrasi, trauma kecil dan maserasi;

oleh karena itu sering disebut traumatic dermatitis. Kelainan yang timbul

biasanya berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, fisur dan kadang-kadang

eritem dan vesikel (Siregar, 2009).

Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah pemaparan pertama kali

disebut dermatitis kontak iritan akut, dan biasanya disebabkan oleh iritan

kuat seperti asam kuat. Sedangkan, dermatitis kontak iritan yang terjadi

setelah pemaparan berulang disebut dermatitis kontak iritan kronis dan

biasanya disebabkan oleh iritan lemah (Hayakawa, 2000 dalam Sumantri,

dkk, 2008).
18

b. Dermatitis kontak alergi

Banyak senyawa yang dapat berperan menjadi alergen pada

individu tertentu, misalnya saja urusiol yang berasal dari racun tanaman

oak, ivy atau sumac. Selain itu juga ada garam nikel yang terdapat pada

perhiasan dan parfum yang terdapat pada kosmetik, alergen tersebut dapat

menyebabkan dermatitis kontak alergi. Di Amerika Serikat, dermatitis

kontak alergi banyak disebabkan oleh senyawa urushiol dari racun ivy, oak,

atau sumac. Racun ini berasal dari tanaman genus toxicodendron. Selain

itu, tanaman lain yang dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi adalah

kacang cashew, mangga, Laquer dan ginko biloba (Keefner, 2004).

Tabel 2.1
Alergen yang sering menimbulkan Dermatitis Kontak Alergi

Alergen Uji Patch Positif Sumber Antigen


Benzokain 2 Penggunaan anastetik tipe –kain, baik pada
penggunaan topikal maupun oral
Garam Kromium 2,8 Plat elektronik kalium dikromat, semen, detergen,
pewarna
Lanolin 3,3 Lotion, pelembab, kosmetik, sabun
Latex 7,3 Sarung tangan karet, vial, Syringes
Bacitracin 8,7 Pengobatan topikal maupun injeksi
Kobal Klorida 9 Semen, plat logam, pewarna cat
Formaldehid 9,3 Germisida, plastik, pakaian, perekat
Tiomersal 10,9 Pengawet dalam sediaan obat, kosmetik
Pewangi 11,7 Produk rumah tangga, kosmetik, asam sinamat,
geraniol
Balsam Peru 11,9 Sirup untuk obat batuk, penyedap
Neomisin Sulfat 13,1 Pengobatan, salep antibiotik, aminoglikosida
lainnya
Nikel Sulfat 14,2 Akssoris pada celana jeans, pewarna, perabot
rumah tangga, koin
Tanaman Tidak ditentukan Spesies Toxicodendron, primrose, tulip
Sumber: (Keefner, 2004)
19

2.3.3 Fisiologi

a. Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis kontak iritan tampak setelah pemaparan tunggal atau

pemaparan berulang pada agen yang sama. Beberapa mekanisme dapat

menjadi penyebab terjadinya dermatitis kontak iritan. Pertama, bahan

kimia mungkin merusak sel dermal secara langsung dengan absorbsi

langsung melewati membran sel kemudian merusak sistem sel.

Mekanisme kedua, setelah adanya sel yang mengalami kerusakan maka

akan merangsang pelepasan mediator inflamasi ke daerah tersebut oleh

sel T maupun sel mast secara non-spesifik. Misalnya setelah kulit

terpapar asam sulfat maka asam sulfat akan menembus ke dalam sel kulit

kemudian mengakibatkan kerusakan sel sehingga memacu pelepasan

asam arakidonat dari fosfolipid dengan bantuan fosfolipase.

Asam arakidonat kemudian dirubah oleh siklooksigenase

(menghasilkan prostaglandin, tromboksan) dan lipooksigenase

(menghasilkan leukotrien). Prostaglandin dapat menyebabkan dilatasi

pembuluh darah sehingga terlihat berwarna merah dan mempengaruhi

saraf sehingga terasa sakit. Leukotrien meningkatkan permeabilitas

vaskuler di daerah tersebut sehingga meningkatkan jumlah air dan terlihat

bengkak serta berefek kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil dan

makrofag. Mediator pada inflamasi akut adalah histamin, serotonin,

prostaglandin, leukotrien, sedangkan pada inflamasi kronis adalah IL1,


20

IL2, IL3, TNFα2. Reaksi ini bukanlah akibat imun spesifik dan tidak

membutuhkan pemaparan sebelumnya agar iritan menampakan reaksi.

Beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon

kulit. Adanya penyakit kulit sebelumnya dapat menghasilkan dermatitis

yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah memasuki dermis.

Jumlah dan konsentrasi paparan bahan kima juga penting. Iritan kimia

kuat, asam dan basa tampaknya menghasilkan keparahan yang reaksi

inflamasi yang sedang parah. Iritan yang lebih ringan seperti detergen,

sabun, pelarut mungkin membutuhkan pemaparan yang banyak untuk

mengakibatkan dermatitis. Selain itu faktor lingkungan seperti suhu

hangat, kelembaban yang tinggi atau pekerjaan basah dapat berpengaruh

(Siregar, 2009).

b. Dermatitis Kontak Alergi

Siregar (2009) memaparkan bahwa dermatitis kontak alergi

biasanya disebabkan oleh bahan dengan berat molekul rendah yang

disebut hapten. Kelainan kulit terjadi melalui proses hipersensitivitas tipe

IV atau proses alergi tipe lambat (Gell & Coombs). Hapten bergabung

dengan protein pembawa menjadi alergen lengkap. Alergen lengkap

difagosit oleh makrofag dan merangsang limfosit yang ada di kulit yang

mengeluarkan limfosit aktivasi faktor (LAF). Sel limfosit kemudian

berdeferensiasi membentuk subset sel limfosit T memori (sel Tdh) dan sel

limfosit T helper dan sel T suppresor. Sel T memori ini bila menerima
21

informasi alergen yang sudah dikenal masuk kedalam kulit maka sel Tdh

akan mengeluarkan limfokin (faktor sitotoksis, faktor inhibisi migrasi,

faktor kemotaktik dan faktor aktivasi makrofag).

Dengan dilepaskannya berbagai faktor ini, maka akan terjadi

pengaliran sel mas dan sel basofil, ke arah lesi, dan timbulah proses radang

yang merupakan manifestasi reaksi dermatitis kontak alergis. Gambaran

klinis umumnya berupa papul, vesikel dengan dasar ertitem dan edema,

disertai rasa gatal.

Dalam perusahaan sering ditemukan beberapa bahan kimia yang

mempunyai gugusan rumus kimia yang sama. Apabila pekerja sudah

sensitif terhadap suatu zat kimia, maka ia akan mudah menjadi sensitif

terhadap zat-zat lain yang mempunyai rumus kimia yang bersamaan,

misalnya prokain, benzokain, paraaminobensen mempunyai gugus bensen

yang sama. Apabila seseorang sensitif terhadap benzokain atau PABA; ini

disebut sensitisasi silang.

Pengetahuan sensitisasi silang ini sangat penting untuk menentukan

penempatan seorang pegawai. Orang yang sudah sensitif terhadap suatu zat

jangan lagi ditempatkan pada tempat yang mengandung bahan yang

mempunyai rumus kimia serupa.


22

Contoh bahan yang mempunyai rumus kimia serupa ialah:

1. Rhus antigen : poison ivy, poison sumac, japanese decyl catechol,

mangga.

2. Streptomisin, kanamisin, klomisin

3. Fenotiazin: prometazin, khlorpromazin, biru metilen.

2.3.4 Tanda dan gejala

a. Dermatitis kontak iritan

Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak

kemerahan dan dapat berkembang menjadi veskel kecil atau papul

(tonjolan) dan mengeluarkan cairan apabila terkelupas. Gatal, perih dan

rasa terbakar terjadi pada bintik-bintik merah itu. Reaksi inflamasi

bermacam-macam, mulai dari gejala awal seperti ini hingga pembentukan

luka dan area nekrosis pada kulit. Dalam beberapa hari, penurunan

dermatitis dapat terjadi bila iritan dihentikan. Pada pasien yang terpapar

iritan secara kronis, area kulit tersebut akan mengalami radang, dan mulai

mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper/hipopigmentasi dan penebalan

(likenifikasi). Kebanyakan dermatitis kontak iritan terjadi pada daerah

tubuh yang kurang terlindungi, seperti wajah, punggung (bagi pekerja yang

tidak menggunakan baju), tangan dan lengan. Sebesar 80% dermatitis

kontak irtitan terjadi di daerah tangan dan 10% di daerah wajah. Secara

klinis, penampakan yang paling sering adalah batas yang jelas dari lesi.

(Siregar, 2009)
23

b. Dermatitis kontak alergi

Tanda dan gejala dermatitis kontak alergi sangat tergantung pada

alergen, tempat dan durasi pemaparan serta faktor individu. Pada

umumnya, kulit tampak kemerahan dan bulla. Blister juga mungkin terjadi

dan dapat membentuk crust dan scales ketika mereka pecah. Gatal, rasa

terbakar dan sakit merupakan gejala dari dermatitis kontak alergi. Setelah

pemaparan urushiol, pada tahap awal reaksi adalah rasa gatal yang intensif

kemudian diikuti eritema.

Pasien yang menggaruk rasa gatal tersebut dapat mengakibatkan

menyebarnya urushiol ke daerah yang sebelumnya tidak terpapar sehingga

rasa gatal dapat menyebar. Walaupun demikian, bulla atau vesikel yang

pecah dapat menyebar ke daerah tubuh lain, namun cairan vesikel tersebut

tidak mengandung urushiol. Tetapi dengan terbukanya bulla atau vesikel

dapat mengakibatkan infeksi luka. Mikroba yang sering menginfeksi

tersebut adalah S. Aureus, Streptococcus kelompok A dan E. Coli.

Bulla yang pecah tersebut dalam beberapa hari akan mengering dan

membentuk crust . Urushiol yang tertinggal dipermukaan kulit dapat

mengalami oksidasi oleh udara sehingga tampak kehitaman pada beberapa

daerah kulit yang mengalami dermatitis. Secara umum, tingkat keparahan

dermatitis kontak alergi dapat dibagi menjadi tiga: dermatitis ringan,

sedang, dan berat.


24

1. Dermatitis ringan

Dermatitis ringan secara karakteristik ditandai oleh adanya daerah

gatal dan eritema yang terlokalisasi, kemudian diikuti terbentuknya

vesikel dan bulla yang biasanya letaknya membentuk pola liner.

Bengkak pada kelopak mata juga sering terjadi, namun tidak

berhubungan dengan bengkak di daerah terpapar, melainkan akibat

terkena tangan yang terkontaminasi urushiol. Secara klinis, pasien

menglami reaksi dibawah tubuh dan lengan yang kurang terlindungi.

2. Dermatitis sedang

Sealin rasa gatal, eritema, papul dan vesikel pada dermatitis

ringan, gejala dan tanda dermatitis sedang juga meliputi bulla dan

bengkak eritematous dari bagian tubuh.

3. Dermatitis berat

Dermatitis berat ditandai dengan adanya respon yang meluas ke

daerah tubuh dan edema pada ekstremitas dan wajah. Rasa gatal dan

iritasi yang berlebihan dapat menyebabkan pembentukan vesikel,

blister dan bulla juga dapat terjadi. Selain itu, aktivitas harian pasien

dapat terganggu, sehingga kadang membutuhkan terapi yang segera,

khususnya dermatitis yang telah mempengaruhi sebagian besar wajah,

mata ataupun genital. Komplikasi dengan penyakit lain yang dapat

terjadi adalah eosinofilia, serima multiform, sindrom pernapasan akut,

gangguan ginjal, dishidrosis dan uretritis (Siregar, 2009).


25

2.3.5 Diagnosis

Terdapat beberapa cara diagnosis dermatitis kontak, diantaranya adalah

sebagai berikut:

a. Anamnesis

Menurut Siregar (2009), hal-hal yang perlu ditanyakan dalam

mendiagnosa penyakit kulit akibat kerja adalah sebagai berikut:

a) Apakah penderita sudah ada penyakit kulit sebelum bekerja di

perusahaan yang sekarang

b) Jenis pekerjaan penderita

c) Pengaruh libur/istirahat terhadap penyakitnya

d) Apakah ada karyawan lain menderita hal yang sama

e) Riwayat alergi penderita dan keluarganya

f) Prosedur produksi di tempat kerja dan bahan- bahan yang

digunakan di tempat pekerjaan

g) Apakah kelainan terjadi di tempat-tempat yang terpajan

h) Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi

yang dipakai.

i) Lingkungan pekerjaan, tempat kerja terutama mengenai kebersihan

dan temperatur

j) Kebiasaan atau hobi penderita yang mendorong timbulnya penyakit,

dan lain-lain.
26

b. Pemeriksaan Klinis

Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan

kontak bahan yang dicurigai; yang tersering ialah daerah yang terpajan,

misalnya tangan, lengan, muka atau anggota gerak.

Kemudian tentukan ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut

dapat terlihat berupa eritem, vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan

kulit yang kronis berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, kering dan

skuamasi. Bila ada infeksi terlihat pustulasi. Bila ada penumbuhan tampak

tumor, eksudasi, lesi verukosa atau ulkus.

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah, urin, tinja hendaknya dilakukan secara

lengkap. Bila ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan

selanjutnya dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan

kulit dengan KOH 10% dan selanjutnya dibiak dalam media Sabouraud

agar. Pemeriksaan biopsi kulit kadang perlu dilakukan.

d. Uji tempel

Dermatitis akibat kerja sebagian besar berbentuk dermatitis kontak

alergis (80%) maka uji tempel perlu dikerjakan untuk memeriksa penyebab

alergennya. Bahan tersangka dilarutkan dalam pelarut tertentu dengan

konsentrasi tertentu. Sekarang sudah ada bahan tes tempel yang sudah

standar dan disebut unit uji tempel; unit ini terdiri dari filter paper disc,

yang dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji. Bahan yang akan diuji
27

diteteskan di atas unit uji tempel, kemudian ditutup dengan bahan

impermebel, selanjutnya ditutup lagi dengan plester yang hipoalergis.

Pembacaan dilakukan setelah 48,72 dan 96 jam. Setelah penutup dibuka,

ditunggu dahulu 15-30 menit untuk menghilangkan efek plester.

Hasil yang didapat akan berupa:

0 : bila tidak ada reaksi

+ : bila hanya eritema

++ : bila ada eritema dan papul

+++ : bila ada eritema, papul dan vesikel

++++ : bila ada edema, vesikel

Tabel 2.2
Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dengan Dermatitis Kontak Alergis
(DKA)

No. Jenis perbedaan DKI DKA


1. Penyebab Iritan primer Alergen= sensitizer
2. Permulaan penyakit Kontak pertama Kontak berulang
3. Penderita Semua orang Orang yang sudah alergis
4. Kelainan Kulit Hebat; eritem, bula, batas Ringan, tidak akut,
tegas eritem, erosi, batas tidak
tegas
5. Uji tempel Eritem berbatas tegas, bila Eritem tidak berbatas
uji tempel diangkat reaksi tegas; bila uji tempel
berkurang diangkat reaksi menetap
atau bertambah.
Sumber: Siregar (2009)
28

2.4 Tahu

Tahu adalah makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau

dihancurkan menjadi bubur. ( Kastyanto (1999) dalam Fredickson (2012).

2.4.1 Bahan baku

1. Kedelai

Kedelai merupakan bahan utama dalam pembuatan tahu. Kedelai

yang biasanya digunakan adalah kedelai jenis Bola I. Kedelai dicuci

hingga bersih kemudian dilakukan pelunakan supaya kedelai mudah

dihancurkan pada saat penggilingan.

2. Air

Hampir semua tahapan dalam pembuatan tahu membutuhkan air

dari proses perendaman, pencucian, penggilingan, pemasakan, dan

perendaman tahu yang sudah jadi sehingga dibutuhkan air dalam jumlah

banyak. Air yang digunakan di berasal dari air tanah atau air artesis.

3. Asam Cuka Asam cuka encer / batu tahu / kalsium sulfat

Digunakan untuk menggumpalkan protein yang masih tercampur

di dalam sari kedelai. Bahan- bahan tersebut berfungsi untuk

mengedapkan atau memisahkan air dengan konsentrat tahu. Asam cuka

yang digunakan diperoleh dari pabrik tahu lain dan dapat digunakan

secara berulang-ulang.
29

4. Soda kue

Digunakan supaya dapat diperoleh sari kedelai dalam jumlah

maksimal (konsentrasi 5 g per 10 liter air bersih) dan diaduk-aduk agar

seluruh soda kue larut.

2.4.2 Pembuatan Tahu

Berikut ini adalah tahapan pembuatan tahu menurut Suprapti ( 2005):

a. Persiapan

Tahap persiapan merupakan kegiatan pokok pada pembuatan tahu

meliputi: persiapan bahan baku dan persiapan bahan penggumpal.

1. Persiapan Bahan Baku

a) Pembersihan

Biji kedelai dibersihkan dari kotoran, misalnya kerikil, butiran

tanah, kulit, ataupun batang kedelai.

b) Pengeringan

Pengeringan dilakukan dengan cara penjemuran ataupun

pemanasan dalam oven dengan suhu 400C – 600C (sama dengan

suhu sinar matahari). Pengeringan dilakukan hingga kulit luar

kedelai pecah-pecah. Waktu pengeringan atau penjemuran berkisar

antara 3-7 hari berturut-turut. Tujuan utama proses pengeringan biji

kedelai adalah untuk mempermudah pelepasan kulit kedelai dalam

proses penggilingan.
30

c) Pemisahan Kulit

Setelah kedelai dikeringkan, maka pemisahan kulit kedelai akan

mudah dengan cara menampinya.

d) Pelunakan

Pelunakan dilakukan dengan menambahkan soda kue sehingga

diperoleh sari kedelai dalam jumlah maksimal. Larutan pelunak

dibuat dengan mencampurkan soda kue ke dalam air bersih

mendidih dengan konsentrasi 5 g per 10 liter air bersih dan diaduk-

aduk agar seluruh soda kue larut. Untuk 10 kg kedelai kering,

diperlukan larutan pelunak sebanyak + 30 liter. Pelunakan biji

kedelai dilakukan dengan merendam kedelai kering pecah-pecah

dalam larutan pelunak yang masih panas selama 6-24 jam atau

sampai kedelai cukup lunak.

e) Pencucian-Penirisan

Setelah kedelai cukup lunak dan mengembang, segera diangkat dari

dalam larutan pelunak, dicuci, serta dibilas beberapa kali agar

benar-benar bersih. Soda kue yang masih tersisa akan menyebabkan

rasa pahit, maka kedelai harus ditiriskan. Kedelai tanpa kulit yang

telah lunak akan menghasilkan tahu yang kenyal dan dalam jumlah

yang maksimal dengan limbah berupa ampas yang minimal.

Bahkan, dimungkinkan tanpa menyisakan ampas sama sekali.


31

2. Persiapan Bahan Penggumpal

Proses pembuatan tahu membutuhkan bahan penggumpal untuk

menggumpalkan protein yang masih tercampur di dalam sari kedelai.

Dengan demikian, akan diperoleh bubur tahu yang dapat dicetak.

Bahan penggumpal yang digunakan dapat berupa asam cuka encer,

batu tahu (sioh koo) atau kalsium sulfat.

a) Asam cuka encer

Digunakan bahan baku berupa asam cuka pekat atau asam cuka

keras. Asam cuka ini perlu diencerkan terlebih dahulu sesuai

dengan kebutuhan (200 ml asam cuka keras dalam wadah yang

terbuat dari kaca atau plastik dicampur dengan air bersih 500 ml

sedikit demi sedikit sambil diaduk).

b) Batu tahu

Batu tahu berbentuk pecahan kaca dibakar beberapa saat lalu

ditumbuk halus dan diayak menjadi serbuk putih (serbuk gips)

yang kemudiaan dilarutkan dalam air bersih hingga jenuh (tidak

mampu lagi melarutkan serbuk). Larutan dibiarkan beberapa

saat, kemudiaan endapan dipisahkan dan diambil cairan

jernihnya. Cairan jernih inilah yang digunakan sebagai bahan

penggumpal protein.
32

c) Whey

Dilakukan pemisahan sebagian dari cairan sisa penggumpalan

(whey), sementara yang lainnya dibuang atau dimanfaatkan

untuk pupuk, dan pakan ternak. Whey yang telah dipisahkan

disimpan selama 24 jam dan siap digunakan sebagai bahan

penggumpal protein.

b. Proses Pembuatan Tahu

Proses pembuatan tahu menurut Widiantoko (2010) terdiri

beberapa tahap yaitu:

1. Perendaman

Pada tahapan perendaman ini, kedelai direndam dalam

sebuah bak perendam yang dibuat dari semen. Langkah pertama

adalah memasukan kedelai ke dalam karung plastik kemudian

diikat dan direndam selama kurang lebih 3 jam (untuk 1 karung

berisi 15 kg biji kedelai). Jumlah air yang dibutuhkan tergantung

dari jumlah kedelai, intinya kedelai harus terendam semua. Tujuan

dari tahapan perendaman ini adalah untuk mempermudah proses

penggilingan sehingga dihasilkan bubur kedelai yang kental.

Selain itu, perendaman juga dapat membantu mengurangi jumlah

zat antigizi (Antitripsin) yang ada pada kedelai. Zat antigizi yang

ada dalam kedelai ini dapat mengurangi daya cerna protein pada

produk tahu sehingga perlu diturunkan kadarnya.


33

2. Pencucian kedelai

Proses pencucian merupakan proses lanjutan setelah

perendaman. Sebelum dilakukan proses pencucian, kedelai yang

di dalam karung dikeluarkan dari bak pencucian, dibuka, dan

dimasukan ke dalam ember-ember plastik untuk kemudian dicuci

dengan air mengalir. Tujuan dari tahapan pencucian ini adalah

membersihkan biji-biji kedelai dari kotoran-kotoran supaya tidak

mengganggu proses penggilingan dan agar kotoran-kotoran tidak

tercampur ke dalam adonan tahu. Setelah selesai proses

pencucian, kedelai ditiriskan dalam saringan bambu berukuran

besar.

3. Penggilingan

Proses penggilingan dilakukan dengan menggunakan

mesin penggiling biji kedelai dengan tenaga penggerak dari motor

lisrik. Tujuan penggilingan yaitu untuk memperoleh bubur kedelai

yang kemudian dimasak sampai mendidih. Saat proses

penggilingan sebaiknya dialiri air untuk didapatkan kekentalan

bubur yang diinginkan.


34

4. Perebusan/Pemasakan

Proses perebusan ini dilakukan di sebuah bak berbentuk

bundar yang dibuat dari semen yang di bagian bawahnya terdapat

pemanas uap. Uap panas berasal dari ketel uap yang ada di bagian

belakang lokasi proses pembuatan tahu yang dialirkan melalui

pipa besi. Bahan bakar yang digunakan sebagai sumber panas

adalah kayu bakar yang diperoleh dari sisa-sisa pembangunan

rumah. Tujuan perebusan adalah untuk mendenaturasi protein dari

kedelai sehingga protein mudah terkoagulasi saat penambahan

asam. Titik akhir perebusan ditandai dengan timbulnya

gelembung-gelembung panas dan mengentalnya larutan/bubur

kedelai. Kapasitas bak perebusan adalah sekitar 7.5 kg kedelai.

5. Penyaringan

Setelah bubur kedelai direbus dan mengental, dilakukan

proses penyaringan dengan menggunakan kain saring. Tujuan dari

proses penyaringan ini adalah memisahkan antara ampas atau

limbah padat dari bubur kedelai dengan filtrat yang diinginkan.

Pada proses penyaringan ini bubur kedelai yang telah mendidih

dan sedikit mengental, selanjutnya dialirkan melalui kran yang ada

di bagian bawah bak pemanas. Bubur tersebut dialirkan melewati

kain saring yang ada diatas bak penampung.


35

Setelah seluruh bubur yang ada di bak pemanas habis lalu

dimulai proses penyaringan. Saat penyaringan secara terus-

menerus dilakukan penambahan air dengan cara menuangkan pada

bagian tepi saringan agar tidak ada padatan yang tersisa di

saringan. Penuangan air diakhiri ketika filtrat yang dihasilkan

sudah mencukupi. Kemudian saringan yang berisi ampas diperas

sampai benar-benar kering. Ampas hasil penyaringan disebut

ampas yang kering, ampas tersebut dipindahkan ke dalam karung.

Ampas tersebut dimanfaatkan untuk makanan ternak ataupun

dijual untuk bahan dasar pembuatan tempe gembus/bongkrek.

6. Pengendapan dan Penambahan Asam Cuka

Dari proses penyaringan diperoleh filtrat putih seperti susu

yang kemudian akan diproses lebih lanjut. Filtrat yang didapat

kemudian ditambahkan asam cuka dalam jumlah tertentu. Fungsi

penambahan asam cuka adalah mengendapkan dan

menggumpalkan protein tahu sehingga terjadi pemisahan antara

whey dengan gumpalan tahu. Setelah ditambahkan asam cuka

terbentuk dua lapisan yaitu lapisan atas (whey) dan lapisan bawah

(filtrat/endapan tahu). Endapan tersebut terjadi karena adanya

koagulasi protein yang disebabkan adanya reaksi antara protein

dan asam yang ditambahkan. Endapan tersebut yang merupakan

bahan utama yang akan dicetak menjadi tahu. Lapisan atas (whey)
36

yang berupa limbah cair merupakan bahan dasar yang akan diolah

menjadi Nata De Soya.

7. Pencetakan dan Pengepresan

Proses pencetakan dan pengepresan merupakan tahap akhir

pembuatan tahu. Cetakan yang digunakan adalah terbuat dari kayu

berukuran 70x70cm yang diberi lubang berukuran kecil di

sekelilingnya. Lubang tersebut bertujuan untuk memudahkan air

keluar saat proses pengepresan. Sebelum proses pencetakan yang

harus dilakukan adalah memasang kain saring tipis di permukaan

cetakan. Setelah itu, endapan yang telah dihasilkan pada tahap

sebelumnya dipindahkan dengan menggunakan alat semacam

wajan secara pelan-pelan. Selanjutnya kain saring ditutup rapat

dan kemudian diletakkan kayu yang berukuran hampir sama

dengan cetakan di bagian atasnya. Setelah itu, bagian atas cetakan

diberi beban untuk membantu mempercepat proses pengepresan

tahu. Waktu untuk proses pengepresan ini tidak ditentukan secara

tepat, pemilik mitra hanya memperkirakan dan membuka kain

saring pada waktu tertentu. Pemilik mempunyai parameter bahwa

tahu siap dikeluarkan dari cetakan apabila tahu tersebut sudah

cukup keras dan tidak hancur bila digoyang.


37

8. Pemotongan tahu

Setelah proses pencetakan selesai, tahu yang sudah jadi

dikeluarkan dari cetakan dengan cara membalik cetakan dan

kemudian membuka kain saring yang melapisi tahu. Setelah itu

tahu dipindahkan ke dalam bak yang berisi air agar tahu tidak

hancur. Sebelum siap dipasarkan tahu terlebih dahulu dipotong

sesuai ukuran. Pemotongan dilakukan di dalam air dan dilakukan

secara cepat agar tahu tidak hancur.

Diagram 2.1
Alur pembuatan tahu
Perendaman

Pencucian kedelai

Penggilingan

Perebusan/Pemasakan

Penyaringan

Pengendapan dan Penambahan Asam Cuka

Pencetakan dan Pengepresan

Pemotongan tahu
38

2.5 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak

2.5.1 Faktor Eksternal (Eksogen/Luar)

Agius & Seaton (2005) menyebutkan bahwa paparan ditentukan oleh

banyak faktor diantaranya adalah lama kontak, frekuensi kontak, konsentrasi

bahan kimia dan lain-lain. Sehingga terjadinya risiko kontak dengan bahan

kimia perlu dikendalikan dan dikotrol seperti membatasi jumlah kontak yang

terjadi. Wolff K (2007) menyebutkan bahwa faktor eksternal (bahan iritan,

lama kontak, frekuensi kontak, musim, suhu dan kelembaban) dapat

menyebabkan dermatitis kontak.

1. Lama Kontak

Pekerja yang berkontak dengan bahan kimia menyebabkan

kerusakan sel kulit lapisan luar, semakin lama berkontak dengan bahan

kimia maka akan semakin merusak sel kulit lapisan yang lebih dalam dan

memudahkan untuk terjadinya dermatitis. Kontak dengan bahan kimia

yang bersifat iritan atau alergen secara terus menerus akan menyebabkan

kulit pekerja mengalami kerentanan mulai dari tahap yang ringan sampai

tahap yang berat (Hudyono, 2002)

Lama kontak adalah jangka waktu pekerja berkontak dengan

bahan kimia dalam hitungan jam/hari. Setiap pekerja memiliki lama

kontak yang berbeda-beda sesuai dengan proses kerjanya. Semakin lam


39

berkontak dengan bahan kimia maka peradangan atau iritasi kulit dapat

terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit (Lestari, 2007).

Melalui hasi penelitiannya, Nuraga (2006), menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak dengan kejadian

dermatitis kontak (pvalue = 0,003). Selain itu dari penelitian tersebut

didapatkan bahwa pekerja dengan lama kontak 8 jam/hari menyebabkan

dermatitis kontak akut dengan angka 92,8%, dermatitis kontak sub akut

sebesar 95,2% dan 100% pada dermatitis kontak kronis.

Hasil penelitian Lestari, dkk (2008) juga menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak dengan kejadian

dermatitis kontak (pvalue 0,003). Hasil penelitian Lestari, dkk (2008)

menunjukkan bahwa pekerja yang berkontak lebih lama cenderung lebih

banyak menderita dermatitis kontak daripada pekerja dengan jangka

waktu paparan lebih singkat.

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Lingga (2011)

dengan subjek penelitian pekerja pada perusahaan Invar Sin, Medan.

Pada penelitiannya, Lingga (2011) menyebutkan bahwa pekerja dengan

lama kontak ≤ 8 jam sehari yang menderita dermatitis kontak berjumlah

tujuh orang (22,6%), sedangkan yang tidak menderita dermatitis kontak

berjumlah 24 orang (77,4%). Pekerja dengan lama kontak > 8 jam sehari

yang menderita dermatitis kontak berjumlah lima orang (20,8%),

sedangkan yang tidak menderita dermatitis kontak berjumlah 19 orang


40

(79,2%). Dari analisis bivariat, diperoleh p-value sebesar 0,876 sehingga

dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara lama kontak

dengan angka kejadian dermatitis kontak pada penelitian Lingga (2011).

2. Frekuensi Kontak

Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat

sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak alergi, yang

mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis

yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Oleh

karena itu upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja

adalah dengan menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia (Cohen,

1999).

Hasil penelitian Nuraga (2006) menunjukkan bahwa kejadian

dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15x/hari terjadi pada dermatitis

kontak akut sebanyak 100% responden, sub akut pada 81% responden dan

kronis 80%. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara

kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Lestari, dkk (2008) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara

frekuensi kontak bahan kimia dengan kejadian dermatitis kontak yaitu

dengan pvalue sebesar 0,000. Penelitian yang dilakukan oleh Lingga

(2011) menunjukkan bahwa bahwa pekerja dengan frekuensi kontak ≤ 3


41

kali sehari yang menderita dermatitis kontak berjumlah satu orang (3,8%),

sedangkan yang tidak menderita dermatitis kontak berjumlah 25 orang

(96,2%). Pekerja dengan frekuensi kontak >3 kali sehari yang menderita

dermatitis kontak berjumlah sebelas orang (37,9%), sedangkan yang tidak

menderita dermatitis kontak berjumlah 18 orang (62,1%). Pada penelitian

Lingga (2011), diperoleh p-value sebesar 0,002 sehingga dapat ditarik

kesimpulan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak dengan angka

kejadian dermatitis kontak.

3. Bahan Kimia

Beberapa bahan kimia yang mempunyai potensi iritasi dan

sensitisasi pada kulit menurut National Safety Council, Itasca, Illinois

dalam bulettin SHARP (Departemen Buruh dan Industri Amerika Serikat,

2001) dalam Ruhdiat (2006) dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.3
Bahan kimia berpotensi iritasi dan sensitisasi

Bahan Kimia Primary Irritans Sensitizers Bentuk kelainan kulit


Asam
Asetat Ya - Dermatitis dan ulserasi
Karbolat Ya - Dermatitis dan ulserasi
Kromat Ya Ya Korosif, rasa kebal
Kreslat Ya - Ulkus
Format Ya - Korosif
Hidrokolat Ya - Iritasi berat
Hidroflourat Ya - Iritasi dan ulserasi
Laktat Ya - Luka bakar hebat
Nitrat Ya - Ulserasi
Oksalat Ya - Luka bakar dan ulkus
Pikrat Ya Ya Korosif berat
42

Sulfurat Ya - Kemerahan, dermatitis, korosif


Basa
Ammonia Ya - Iritasi
Kalisum Sianida Ya - Iritasi
Kalsium Oksida Ya - Dermatitis
Natrium hidroksida Ya - Korosif berat
Kalium Hidroksida Ya - Korosif berat
Natrium/kalium Ya - Ulserasi
sianida
Trisodium fosfat Ya - Ulserasi
Pelarut
Aseton Ya - Iritasi
Benzen Ya - Iritasi
Karbon disulfida Ya Ya Iritasi
Trikloroetilen Ya - Dermatitis
Terpentin Ya Ya Dermatitis
Alkohol Ya Ya Dermatitis

Bahan-bahan yang bersifat perangsang primer menyebabkan kelainan kulit

dengan cara (Hetler, 2002 dalam Ernasari, 2012):

1. Melarutkan lapisan sebum dipermukaan kulit sehingga kulit banyak kehilangan

air, akibatnya keseimbangan kulit terganggu menyebabkan timbulnya penyakit

kulit, misalnya sabun dan detergen.

2. Pengeringan permukaan kulit oleh bahan-bahan perangsang yang mudah

menguap menyebabkan kulit retak-retak (fissure). Hal ini menyebabkan

mudahnya masuk kuman sehingga terjadi dermatitis, misalnya oleh asam-asam

kuat atau pelarut organik.

3. Bahan kimia merusak lapisan corneum/lapisan keratin sehingga fungsi

pelindung kulit menurun dengan segala akibat-akibatnya, misalnya oleh bahan

alkali dan detergen kuat.


43

4. Merangsang lapisan keratin, keratin formation menyebabkan terjadinya

hyperkeratosis atau pertumbuhan ganas pada kulit, misalnya oleh arsen,

teradiasi ultraviolet.

5. Mengendapkan protein kulit sehingga terjadi koagulasi protein, misalnya oleh

logam-logam berat dan asam kuat.

6. Bahan perangsang bersifat photo sensitivity, sehingga apabila sesudah kontak

lalu kena sinar matahari, maka kerusakan kulit akan menjadi lebih berat,

misalnya oleh bahan-bahan parfum, dan senyawa hidrokarbon lainnya.

Sebanyak 70-80% dari semua penyakit kulit akibat kerja disebabkan oleh

perangsang primer yang menimbulkan dermatitis kontak iritasi. Berat ringannya

iritasi kulit tergantung pada: konsentrasi bahan kimia, lama pemaparan, sifat-

sifat bahan iritasi, pemakaian alat pelindung diri.

Menurut Siregar (2009), beberapa jenis dermatitis kontak seperti

dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam

kuat, basa kuat, logam berat dengan konsentrasi kuat dan bahan relatif iritan

misalnya sabun, detergen dan pelarut organik. Jenis dermatitis lain adalah

dermatitis kontak alergi biasanya disebabkan oleh paparan bahan-bahan kimia

atau lainnya yang meningkatkan sensivitas kulit.

Tingkat keasaman suatu bahan kimia akan meningkat seiring dengan

semakin rendahnya pH bahan kimia tersebut. Semakin asam larutan maka

makin kecil nilai pH, dan sebaliknya. Bila pH berkurang, konsentrasi ion
44

hidronium akan meningkat, dan konsentrasi ion hidroksida berkurang. Bahan

kimia yang mempunyai pH kurang dari 7 bersifat asam. Bila Anda perhatikan,

nilai pH merupakan eksponen negatif dari konsentrasi ion hidronium. Sebagai

contoh, larutan basa kuat dengan konsentrasi ion hidronium 10 -11 M

mempunyai pH 11. Larutan asam kuat dengan pH 1 mempunyai konsentrasi ion

hidronium 10 -1 M. Hal ini dikarenakan asam/basa kuat terionisasi sempurna,

maka konsentrasi ion H + setara dengan konsentrasi asamnya. Atau dalam kata

lain di dalam larutan netral, konsentrasi ion hidroksida dan ion hidronium

adalah sama (Azizah, 2010)

4. Suhu

Djuanda, dkk (1999) dalam bukunya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

menyebutkan bahwa dermatitis dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak

alergi dipengaruhi faktor-faktor seperti bahan yang bersifat iritan, lama kontak,

kekerapan, adanya oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan

dan taruma fisis juga suhu dan kelembaban lingkungan. Berdasarkan

Kepmenkes No. 1405/MenKes/SK/XI/2002 tentang nilai ambang batas

kesehatan lingkungan kerja, suhu udara yang dianjurkan adalah 18 °C – 28 °C.

American Academy of Dermatology (2010) menyebutkan bahwa

dermatitis disebabkan oleh lingkungan yang ekstrim termasuk suhu yang

tinggi. Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Lestari, dkk (2008)

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

dermatitis kontak dan suhu ruangan.


45

5. Kelembaban

Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/MenKes/SK/XI/2002 Tentang

Nilai Ambang Batas Kesehatan Lingkungan Kerja, membatasi kelembaban

lingkungan kerja yaitu pada kisaran 40 % - 60 %. American Academy of

Dermatology (2010), menyebutkan bahwa salah satu penyebab dermatitis

disebabkan oleh kelembaban yang tinggi selain disebabkan oleh suhu yang

tinggi. Pada penelitian Lestari, dkk (2008), proporsi pada populasi yang

mengalami dermatitis kontak pada kelembaban < 65 % sebesar 74 %,

sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan

kelembaban ≥ 65 % sebesar 0 %. Pada penelitian Lestari, dkk (2008) tidak ada

perbedaan antara faktor kelembaban dengan terjadinya dermatitis kontak.

6. Musim

Dermatitis akibat kerja banyak dijumpai pada musim panas karena

pengeluaran keringat meningkat dan pekerja kurang senang memakai alat

pelindung diri bahkan lebih suka pakai celana pendek, kaus singlet atau

tanpa baju sehingga lebih mudah kontak dengan bahan kimia. Cuaca dingin

menyebabkan pekerja malas mandi atau mencuci tangan setelah berkontak

dengan bahan kimia (Gilles L et.al, 1990 dalam Situmeang, 2008).


46

2.5.2 Faktor Internal (Endogen)

Dermatitis adalah penyakit yang kompleks, dengan patogenesis

multifaktorial, termasuk faktor individu (faktor internal) yang

berkontribusi dalam penyakit ini (Agner & Menne, 2006). Variabel-

variabel individu atau internal terkait dermatitis akan dibahas di bawah

ini.

1. Jenis Kelamin

Menurut Djuanda (1999), insiden kejadian dermatitis kontak lebih

tinggi pada wanita dibandingkan pria. Hasil penelitian Yusfinah, dkk

(2008) menunjukkan bahwa penderita yang memiliki hasil uji tempel

positif terdiri dari 58% wanita dan 42% pria. Berdasarkan hasil penelitan

yang dilakukan oleh Trihapsoro (2003) mengenai dermatitis kontak pada

pasien rawat jalan di RSUP Medan menunjukkan dari 40 pasien yang diuji

tempel ternyata bahwa jenis kelamin yang terbanyak mengalami dermatitis

kontak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%) dibandingkan dengan

laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nuraga (2006),

bahwa perempuan ternyata lebih berisiko mendapat penyakit kulit akibat

kerja dibandingkan pria. Insiden pada wanita lebih tinggi di usia muda,

sedangkan pada pria kejadian akan meningkat sesuai dengan peningkatan

usia.
47

2. Usia

Menurut Ganong (2006) dalam Ernasari (2012), Pekerja muda

lebih sering menderita dermatitis kontak akut karena lalai dalam bekerja,

sering keluar perusahaan sehingga terkena sinar matahari, lingkungan basa,

dan panas tinggi. Umumnya keterampilan mereka juga kurang. Penelitian

Lestari (2007) menunjukkan hasil analisis hubungan antara usia pekerja

dengan kejadian dermatitis kontak diperoleh bahwa sebanyak 60,5%

pekerja yang berusia < 30 tahun terkena dermatitis kontak, sedangkan

diantara pekerja yang berusia > 30 tahun hanya sekitar 35,1% yang terkena

dermatitis kontak. Dalam penelitian ini, dengan tingkat kepercayaan 95%

(OR=2,824) mempunyai kesimpulan bahwa pekerja muda mempunyai

risiko atau peluang 2,8 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan

pekerja berusia tua.

Menurut hasil penelitian Erliana (2008) menunjukkan bahwa

proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak 50% terjadi pada

kelompok umur 30-35 tahun dibandingkan dengan umur 36-40 tahun

(33,3%), dan umur 24-29 tahun (16,7%). Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa variabel umur tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan

kejadian dermatitis kontak (p=0,350).

Menurut Erliana (2008), usia bukan merupakan faktor risiko yang

mempengaruhi dermatitis kontak. Dalam konteks determinan kejadian

dermatitis kontak berdasarkan usia, dermatitis dapat menyerang semua


48

kelompok usia, artinya usia bukan merupakan faktor resiko utama terhadap

paparan bahan-bahan penyebab dermatitis kontak, sedangkan dari

perbandingan penelitian cenderung didominasi oleh masa kerja pekerja

dalam suatu perusahaan bukan dari aspek makin lama usia hidupnya

menyebabkan resiko terhadap terjadinya dermatitis kontak.

3. Masa Kerja

Menurut Suma’mur (1996), semakin lama seseoramg dalam bekerja

maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh

lingkungan kerjanya. Hasil penelitian Erliana (2008) mengungkapkan

bahwa adanya hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kejadian

dermatitis kontak dengan p value sebesar 0,018. Dalam penelitian tersebut

juga dapat diketahui bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak

paling banyak adalah pekerja dengan masa kerja < 6 tahun (61,5%)

sedangkan pekerja yang terkena dermatitis kontak dengan masa kerja > 6

tahun hanya terdapat sebesar 18,8%.

Situmeang (2008) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa 12

orang pekerja yang menderita dermatitis mempunyai masa kerja < 1 tahun

dan yang menderita dermatitis dengan masa kerja > 2 tahun sebanyak 15

orang. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

masa kerja dengan dermatitis kontak (pvalue 0.794).

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007)

menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki masa bekerja ≤2 tahun lebih


49

banyak yang terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (66,7%),

dibandingkan dengan 17 orang (36,2%) dari 47 pekerja yang telah bekerja

selama >2 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik terlihat bahwa terdapat

perbedaan proporsi terkena dermatitis kontak yang bermakna antara

pekerja yang memiliki masa kerja ≤2 tahun dibandingkan dengan pekerja

yang telah bekerja >2 tahun terlihat dari nilai p value sebesar 0,014.

4. Jenis Pekerjaan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007) menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan jumlah pekerja yang mengalami dermatittis

kontak berdasarkan jenis pekerjaannya. Pada penelitian tersebut, di unit

proses realisasi terlihat bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak

sebesar 60,4%, yaitu artinya lebih banyak dibandingkan dengan pekerja

yang tidak terkena dermatitis kontak (39,6%).

Hal di unit proses realisasi berbanding terbalik dengan hasil dari

unit proses pendukung. Pada unit proses pendukung, pekerja yang tidak

terkena dermatitis kontak (68,8%) lebih banyak daripada yang terkena

dermatitis kontak (32,2%). Hasil uji satistik diperoleh nilai p value= 0,02

maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan proporsi penyakit

dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja di unit proses realisasi

dengan pekerja di unit proses pendukung. Hasil analisis menunjukkan

nilaai OR sebesar 3,358. Hal ini berarti pekerja pada unit proses realisasi
50

memiliki peluang 3,358 kali (3,4) kali terkena dermatitis kontak

dibandingkan dengan pekerja di unit proses pendukung.

Hasil penelitian yang didapatkan oleh Kusriastuti (1992) pada

pembuat tahu di wilayah Utan Kayu juga menunjukkan hubungan yang

signifikan antara jenis pekerjaan dan dermatitis kontak. Dalam penelitian

tersebut didapatkan pvalue sebesar 0,000 dan OR 6,21 (2,41- 16,35),

dimana artinya terdapat hubungan antara jenis pekerjaan dengan dermatitis

kontak. Nilai OR pada analisis antara jenis pekerjaan dan dermatitis kontak

mempunyai arti bahwa pekerja dibagian penyaringan mempunyai peluang

risiko 6,21 kali lebih besar daripada pekerja dibagian lain untuk terkena

dermatitis kontak.

5. Riwayat Alergi

Djuanda (2007) menyebutkan bahwa dalam melakukan diagnosis

dermatitis kontak akibat kerja dapat dilakukan dengan berbagai cara

diantaranya dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat keluarga,

aspek pekerjaan atau tempat kerja, riwayat alergi terhadap makanan atau

obat-obatan tertentu, dan riwayat penyakit sebelumnya. Pekerja yang

sebelumnya atau sedang menderita penyakit kulit atau memiliki riwayat

alergi akan lebih mudah mendapat dermatitis akibat kerja, karena fungsi

perlindungan kulit sudah berkurang akibat dari penyakit kulit sebelumnya.

Fungsi perlindungan yang dapat menurun antara lain hilangnya lapisan


51

kulit, rusaknya saluran kelenjar keringat dan kelenjar minyak serta

perubahan pH kulit.

Menurut penelitian Cahyawati (2011) menunjukkan bahwa ada

hubungan antara faktor riwayat alergi dengan kejadian penyakit dermatitis

pada nelayan (p value=0,018) dengan proporsi nelayan yang memiliki

riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang (50%) dan

nelayan yang tidak memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis

sebanyak 10 orang (50%). Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan

oleh hasil penelitian Lestari (2007) yang menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak yang bermakna

antara pekerja dengan riwayat alergi dibandingkan dengan pekerja yang

tidak memiliki riwayat alergi. Hal ini terlihat dari nilai p value 0,383 > 0,05

pada CI 95%.

6. Jenis Kulit

Menurut Haryoga (2009), kulit yang tipis (seperti wajah, genital)

jauh lebih mudah terkena dermatitis kontak daripada kulit telapak tangan

yang lebih tebal dari kulit wajah atau genital. Bisa saja kontak terhadap

suatu substansi yang berkontak dengan tangan bermanifestasi pertama kali

sebagai dermatitis kelopak mata, atau dermatitis penis, dan kemudian baru

muncul dermatitis tangan.

Istilah tebal dan tipis mengacu pada ketebalan epidermis. Sebagian

besar tubuh ditutupi oleh kulit tipis, yaitu 0,003 inci (0,08 mm). Kulit ini
52

mengandung folikel rambut, kelenjar sebasea, dan otot pili arrector.

Epidermis pada kulit yang tebal mungkin enam kali lebih tebal daripada

epidermis yang menutupi permukaan tubuh secara umum. Kulit tebal tidak

memiliki rambut, otot polos, atau kelenjar sebaceous. Kulit tebal di telapak

tangan, ujung jari, dan telapak kaki dapat dilindungi oleh banyak lapisan

sel-sel keratin yang telah terkornifikasi. (Balaban & Bobick, 2008).

7. Keringat

Keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan

menghanyutkan bahan-bahan iritan. Hyperhidrosis menyebabkan miliaria

dan macerasi kulit di lipatan ketiak, pangkal paha atau pusat, dan mudah

terjadi sekunder infeksi. Keringat dapat juga merubah bahan-bahan yang

larut dalam air menjadi bentuk lain dan mempermudah absorbsi melalui

pori-pori kulit. Gas-gas yang mudah larut dalam air seperti hydrogen

chlorida dan ammonia bila dihisap akan segera larut dalam cairan mucosa

saluran napas bagian atas yang selalu basah sehingga sering menyebabkan

iritasi dan lesi seperti rhinitis dan infeksi saluran napas bagian atas lainnya

(Ganong, 2006 dalam Ernasari, 2012).

Menurut Nielloud (2003), pada kasus dermatitis atopi, terdapat

fitur klinis seperti pruritus, eksim, lichenifikasi dan kekeringan kulit, super

infeksi dari bakteri atau jamur. Kulit dermatitis atopik ditandai dengan

hipereaktivitas banyak faktor dan peradangan. Dermatitis ini adalah faktor

predisposisi untuk kulit sensitif. Kulit sensitif akan memiliki


53

kecenderungan untuk hipersensitif terhadap agen topikal dengan gejala

kulit kering seperti eritema dan scaling dan juga berbagai bentuk

ketidaknyamanan seperti menyengat, membakar dan gatal.

Kulit yang berminyak (lebih tahan terhadap sabun, bahan pelarut dan

zat-zat yang larut dalam air, sedangkan kulit kering kurang tahan terhadap

chemical dehydration seperti asam, basa, detergen dan bahan pelarut lemak,

misalnya terpentine, benzol dan sabun. Kulit yang banyak rambutnya mudah

terkena folliculitis bila kontak dengan minyak, gemuk, coklat ataupun debu

(Gilles L et.al, 1990 dalam Situmeang, 2008). Selain itu kelenjar minyak

dalam kulit dapat menjaga kelembaban kulit dan menjaga kulit agar tidak

kering.

Kulit atopik dan sensitif keduanya ditandai dengan fungsi

penghalang terganggu. Kurangnya lipid interseluler seperti kolesterol,

ceramides, asam lemak esensial-terorganisir dalam struktur lipid berlapis-

lapis antara corneocytes menyebabkan kehilangan air ditingkatkan

transepidermal, dan inadekuatnya stimulasi pada ujung saraf sehingga

masukan dari neurosensorik tinggi. Hal ini juga memberikan kontribusi

untuk reaksi kekebalan ditingkatkan melalui berubahnya penyerapan

perkutan. Kenyataannya pengembangan microfissures epitel menjadi

xerosis memungkinkan masuknya alergen kulit dan pathogen.


54

8. Ras

Kulit putih lebih rentan terkena dermatitis dibandingkan dengan

kulit hitam. Orang berkulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri

karena kulitnya kaya akan melanin. Mereka jarang menderita tumor kulit

oleh radiasi ultraviolet, kurang peka terhadap debu kimia, bahan pelarut

dan alkali. Melanin merupakan pigmen kulit yang berfungsi sebagi proteksi

atau perlindungan kullit. Melanoosit turut berperan dalam melindungi kulit

dari pengaruh sinar matahari maupun gangguan fisis, mekanis dan kimiawi

(Djuanda, 1999).

9. Riwayat Penyakit Kulit

Pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit non

occupational cenderung lebih mudah mendapat occupational dermatoses,

seperti pekerja-pekerja dengan acne yang bekerja terpapar dengan cutting

oil dan ter, sering menderita dermatitis. Pekerja dengan riwayat atopic

dermatitis bila bekerja di lingkungan panas atau terpapar debu kimia dan

pengaruh faktor psikis, akan kambuh dalam stadium yang lebih berat.

Karyawan dengan psoriasis atau dermatitis kronik akan menjadi lebih

berat bila tempat lesi dikenai bahan kimia atau terjadi penekanan. Pekerja

dengan hyperhidrosis mudah mendapat penyakit kulit bila kontak dengan

bahan yang larut dalam air. (Ganong, 2006 dalam Ernasari, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007) yang menunjukkan

bahwa pekerja dengan riwayat dermatitis pada pekerjaan sebelumnya


55

sebanyak 9 orang (81,8%) dari 11 orang pekerja. Sedangkan pekerja

yang tidak memiliki riwayat dermatitis akibat pekerjaan sebelumnya

sebanyak 30 orang (43,5%) terkena dermatitis dari 69 orang pekerja. Uji

statistik yang dilakukan untuk meilhat perbedaan proporsi kejadian

dermatitis kontak antara pekerja yang memiliki riwayat dermatitis kontak

akibat pekerjaan sebelumnya dengan yang tidak, menunjukan perbedaan

proporsi yang bermakna dengan pvalue 0,042.

Hasil penelitian dari Cahyawati (2011) juga menyebutkan bahwa

faktor riwayat penyakit kulit menjadi faktor yang berhubungan dengan

kejadian dermatitis, dengan pvalue 0,006. Pada penelitian tersebut,

sebagian besar responden yang memiliki riwayat penyakit kulit

sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Proporsi pekerja yang

mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebesar 90%

dan pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat

penyakit kulit sebesar 10%.

10. Riwayat atopi

Seseorang yang memiliki riwayat atopi lebih rentan terhadap efek

iritasi zat iritan (Partogi, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Rystedt

(1985), Bryld et.al (2003) dan Nilsson & Black (1986) dalam Agner &

Menne (2006) menunjukkan secara komprehensif bahwa riwayat atopi

sangat mempunyai arti penting bagi pengembangan dermatitis iritasi di

tangan. Dalam eksperimen studi TEWL yang telah dilaporkan pasien


56

dengan atopik dermatitis dilaporkan bereaksi lebih parah terhadap iritasi

dari kontrol yang sehat.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Agner & Menne (2006)

menunjukkan bahwa pasien dengan dermatitis atopi dilaporkan telah

beraksi lebih cepat dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Tetapi

abnormalitas yang ada pada pasien dengan dermatitis atopi tidak

ditemukan pada pasien dengan atopi di saluran nafas (respiratory atopy)

yang tidak menderita dermatitis atopi.

Coenraads et.al (2006) dalam Agner & Menne (2006) juga

menyebutkan bahwa fakta yang terkumpul dari dahulu sampai saat ini

adalah riwayat dermatitis atopi adalah faktor risiko terhadap dermatitis

kontak iritan. Studi terdahulu menyebutkan bahwa atopi hampir tiga kali

lebih besar pada penderita dermatitis di tangan pada populasi umum atau

kontrol yang sehat. Lalu belakangan ini diketahui bahwa dermatitis atopi

berhubungan erat dengan dermatitis kontak iritan, bukan dengan

dermatitis kontak alergi.

Sedangkan hasil penelitian Nuraga dkk (2007) menunjukkan bahwa

tidak ada perbedaan yang signifikan antara adanya riwayat atopi dengan

tidak ada riwayat atopi terhadap terjadinya dermatitis kontak dengan nilai

pvalue 0.199.
57

11. Personal Hygiene

Pekerja yang kurang bersih misalnya tidak membersihkan badan

sehabis bekerja, tidak memakai alat pelindung atau memakai pakaian

yang telah terkontaminer akan lebih mudah dermatoses akibat kerja.

Lestari (2007) dalam penelitiannya memperlihatkan hasil bahwa pekerja

dengan personal hygiene yang baik dan menderita dermatitis kontak

sebanyak 10 orang (41,7%) dari 24 orang yang terkena dermatitis kontak.

Sedangkan dengan personal hygiene yang kurang baik, pekerja yang

terkena dermatitis sebanyak 29 orang (51,8%) dari 56 orang pekerja.

Hasil uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak yang bermakna antara

personal hygiene yang baik dan personal hygiene yang kurang baik. Hal

ini terlihat dari pvalue sebesar 0,588.

Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah masalah mencuci

tangan. Kebiasaan mencuci tangan seharusnya dapat mengurangi potensi

penyebab dermatitis akibat kerja akibat bahan kimia yang menempel

setelah bekerja, namun pada kenyataannya potensi untuk terkena

dermatitis tetap ada. Kesalahan dalam melakukan cuci tangan dapat

menjadi salah satu penyebabnya. Misalnya kurang bersih dalam mencuci

tangan sehingga masih tersisa bahan kimia yang menempel pada

permukaan kulit pekerja.


58

Pemilihan jenis sabun cuci tangan juga dapat berpengaruh

terhadap kebersihan sekaligus kesehatan kulit pekerja. Sebaiknya

memilih sabun cuci tangan yang dapat menghilangkan bahan kimia

tangan namun tidak merusak lapisan pelindung kulit tangan. Jika jenis

sabun ini ditemukan dapaty menggunakan pelembab tangan setelah

mencuci tangan. Usaha mengeringkan tangan setelah dicuci juga dapat

berperan dalam mencegah semakin parahnya kondisi kulit karena tangan

yang lembab.

12. Penggunaan APD

Pada pabrik yang aktivitasnya banyak menggunakan tangan

biasanya mengharuskan pekerjanya minimal menggunakan sarung

tangan sebagai alat pelindung diri pada saat bekerja. Seorang pekerja

yang bekerja dengan mengoperasikan mesin melibatkan tangan harus

dilindungi dengan sarung tangan atau pelindungan tangan. Pemakaian

sarung tangan bagi beberapa orang menimbulkan masalah seperti

perasaan kaku, risih, maupun mengganggu penampilan. Meskipun begitu

pada bidang industri, sarung tangan memberikan perlindungan terhadap

bahaya yang mungkin terjadi di mana pekerjaan tersebut menimbukan

kemungkinan resiko kecelakaan yang berbahaya bagi diri dan anggota

badan pekerja tersebut. Sarung tangan dapat melindungi pekerja dari

kemungkinan celaka seperti kejutan aliran listrik, terbakar, maupun

percikan logam panas.


59

Pada pabrik yang banyak bersentuhan dengan zat-zat kimia

biasanya menggunakan jenis sarung tangan yang terbuat dari karet dan

tahan terhadap ancaman terkontaminasi cairan yang berbahaya. Sarung

tangan tersebut harus tipis dan lentur melapisi ketat melekat pada tangan

hingga siku tangan pekerja secara kuat sehingga tidak boleh kendur. Jenis

sarung tangan dan penggunaan pada bidang ini adalah sarung tangan

sekali pakai, begitu setelah dipakai kemudian dibuang.

Penggunaan APD merupakan salah satu cara untuk mencegah

terjadinya dermatitis kontak. Hasil penelitian Erliana (2008)

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan proporsi antara pekerja yang

menggunakan APD dengan pekerja yang tidak menggunakan APD.

Proporsi pekerja yang tidak menggunakan APD diketahui 87,5%

menderita dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang

menggunakan APD hanya 19,0%. Hasil uji chi square menunjukkan

bahwa variabel penggunaan APD mempunyai hubungan yang signifikan

dengan kejadian dermatitis kontak dengan p value 0,001.

Nuraga, dkk (2006) juga menyebutkan bahwa besarnya risiko

kelompok pekerja yang kadang-kadang menggunakan APD dibandingkan

dengan kelompok pekerja yang menggunakan APD terhadap kejadian

dermatitis kontak (positif) adalah 8,556. Artinya pekerja yang kadang-

kadang memakai APD mempunyai risiko mengalami dermatitis kontak

8,556 kali lebih besar dari pekerja yang selalu menggunakan APD. Nilai
60

kisaran (minimum dan maksimum) Odds Ratio sebesar 2,018-36,279,

berarti bahwa dengan tingkat kepercayaan 95% kelompok responden

yang kadangkadang menggunakan APD mempunyai risiko yang lebih

besar dibandingkan dengan kelompok responden yang selalu

menggunakan APD. Hal ini karena batas minimum lebih besar dari satu

(2,018 > 1) menunjukkan arti yang signifikan bahwa kelompok

responden yang kadang-kadang menggunakan APD cenderung

mempunyai risiko lebih besar dibandingkan kelompok responden yang

selalu menggunakan APD untuk terjadinya dermatitis kontak (positif).

2.6 Kerangka Teori

Budimulja (2008), Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne (2006),

Erliana (2008), Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi (2008)

menyebutkan bahwa faktor- faktor yang berhubungan dengan dengan dermatitis

kontak adalah faktor eksternal ( bahan iritan, lama kontak, frekuensi kontak,

lingkungan seperti musim, suhu dan kelembaban), faktor internal (faktor perbedaan

jenis kulit, usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat

alergi, keringat, masa kerja, jenis pekerjaan, kebiasaan mencuci tangan (personal

hygiene)) dan penggunaan APD.


61

Bagan 2.2
Kerangka Teori

1. Faktor Eksternal
a. Lama kontak
b. Frekuensi kontak
c. Bahan iritan
d. Musim,
e. Suhu
f. kelembaban

2. Faktor internal: Dermatitis


a. jenis kulit Kontak
b.Usia
c. Ras
d.Jenis kelamin
e. Riwayat penyakit kulit
f. Riwayat atopi,
g.Masa kerja
h.Riwayat alergi,
i. Keringat,
j. Jenis pekerjaan,
k. Kebiasaan mencuci tangan
(personal hygiene))
l. Penggunaan APD

Sumber: Budimulja (2008), Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne (2006),

Erliana (2008), Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi (2008)
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini mengacu kepada Budimulja (2008),

Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne (2006), Erliana (2008),

Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi (2008) yang menyebutkan

bahwa faktor- faktor yang berhubungan dengan dengan dermatitis kontak adalah

faktor eksternal ( bahan iritan, lama kontak, frekuensi kontak, lingkungan seperti

musim, suhu dan kelembaban), faktor internal (faktor perbedaan jenis kulit, usia,

ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, keringat,

masa kerja, jenis pekerjaan, kebiasaan mencuci tangan (personal hygiene)) dan

penggunaan APD. Dari kerangka teori yang dipaparkan, pada penelitian ini variabel

dependennya adalah kejadian dermatitis kontak, sedangkan variabel indepedennya

adalah faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban) dan

faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa

kerja, dan jenis pekerjaan)

Sedangkan variabel- variabel yang tidak diteliti adalah bahan iritan karena

bahan yang digunakan sama, musim karena musim di kelurahan Ciputat dan Ciputat

Timur sama, ras karena ras bersifat homogen, jenis kelamin karena bersifat

homogen (96,2% pekerja adalah laki-laki), kebiasaan mencuci tangan (personal

62
63

hygiene), jenis kulit, keringat dan penggunaan APD. Jenis kulit tidak diteliti

dikarenakan pengukurannya harus melalui pengujian laboratorium. Keringat tidak

diteliti dikarenakan terlalu sulit menentukan kulit yang berkeringat pada pekerjaan

basah, sehingga jika dilakukan secara subjektif dikhawatirkan terdapat kerancuan

dalam hasilnya nanti. Penggunaan APD tidak diteliti karena saat melakukan studi

pendahuluan diketahui bahwa dari semua pekerja pembuat tahu tidak ada yang

memakai APD, sehingga jika diteliti tidak ada variasinya. Sama halnya dengan

penggunaan APD, kebiasaan mencuci tangan atau personal hygiene tidak diteliti

karena saat studi pendahuluan diketahui bahwa semua pekerja tidak ada yang

memiliki personal hygiene yang baik.

Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada

bagan 3.1 sebagai berikut:

Bagan 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

Faktor Eksternal
a. lama kontak,
b. frekuensi kontak,
c. suhu
d. kelembaban Kejadian
Dermatitis
Faktor Internal Kontak
e. usia
f. riwayat penyakit kulit
g. riwayat atopi,
h. riwayat alergi,
i.masa kerja,
j.jenis pekerjaan

Sumber : Budimulja (2008), Wolff K (2007), Djuanda (1987), Agner & Menne (2006),
Erliana (2008), Kusriastuti (1992), Lestari, dkk (2008) dan Partogi (2008)
64

3.2 Definisi Operasional


Tabel 3.1
Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Kriteria Skala


1 Dermatitis Peradangan kulit yang disebabkan oleh Lembar Diagnosis dokter 0. Dermatitis Ordinal
Kontak bahan atau substansi yang menempel pada Pemeriksaa 1. Tidak
kulit pekerja dengan gejala kemerahan, n dokter Dermatitis
bengkak, pembentukan lepuh kecil pada
kulit, kering, mengelupas dan bersisik.
2 Lama Kontak Jangka waktu pekerja berhubungan Kuesioner Pengisian Jam/hari Rasio
langsung dengan bahan kimia (Asam Cuka kuesioner oleh
Asam cuka encer / batu tahu / kalsium pekerja dan self
sulfat/sioh koo) dalam dalam satu hari administered
kerja.
3 Frekuensi kekerapan responden berkontak dengan Kuesioner Pengisian x/hari Rasio
Kontak bahan kimia (Asam Cuka Asam cuka encer / kuesioner oleh
batu tahu / kalsium sulfat/ sioh koo) dalam pekerja dan self
beberapa kali per harinya. administered
4 Suhu Derajat panas atau dingin lingkungan kerja Thermo- Tingkat suhu dalam °C Interval
yang tercatat pada alat ukur hygrometer °C
5 Kelembaban Istilah yang digunakan untuk Thermo- Tingkat % Interval
menggambarkan jumlah uap air yang hygrometer kelembaban dalam
terkandung di dalam campuran air-udara %
dalam fase gas di lokasi orang bekerja
6 Usia Jumlah tahun hidup pekerja dihitung sejak Kuesioner Pengisian Tahun Rasio
tahun kelahiran sampai penelitian dan kuesioner oleh
berlangsung. Dibulatkan ke atas bila > 6 pengecekan pekerja dan self
bulan, dan dibulatkan ke bawah bila < 6 KTP administered
65

bulan

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Kriteria Skala


7 Jenis Jenis kegiatan yang dilakukan oleh pekerja Kuesioner Pengisian 0. Penyaringan Ordinal
Pekerjaan saat membuat tahu. kuesioner oleh 1. Lainnya.
pekerja dan self
administered
8 Masa Kerja Lama kerja yang telah dilalui pekerja sampai Kuesioner Pengisian Tahun Rasio
pada saat penelitian berlangsung kuesioner oleh
pekerjadan self
administered
9 Riwayat Alergi Reaksi tubuh pekerja yang berlebihan Kuesioner Pengisian 0. Memiliki Ordinal
terhadap benda asing/zat tertentu dari luar kuesioner oleh Riwayat
tubuh misalnya seperti debu, obat, atau pekerja dan self 1. Tidak
makanan, yang pernah dialami oleh pekerja. administered Memiliki
Riwayat
10 Riwayat Atopi Penyakit pada pekerja yang mempunyai Kuesioner Pengisian 0. Atopi Ordinal
riwayat kepekaan dalam keluarganya atau Kuesioner oleh 1. Tidak Atopi
diturunkan dari keluarganya, seperti asma, pekerja dan self
rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan administered
konjungtivitis alergi.
11 Riwayat Penyakit kulit yang sebelumnya pernah di Kuesioner Pengisian 0. Ada riwayat Ordinal
penyakit kulit derita berupa peradangan pada kulit dengan Kuesioner oleh penyakit
gejala subyektif berupa gatal, rasa terbakar, pekerja dan self kulit
kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh administered 1. Tidak ada
kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit riwayat
kering, kulit bersisik, dan penebalan pada penyakit
kulit atau kelainan kulit lainnya. kulit
66

3.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2012.

2. Ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2012.

3. Ada hubungan antara suhu dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja

pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012.

4. Ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2012.

5. Ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja

pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012.

6. Ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak

pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur

tahun 2012.

7. Ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2012.
67

8. Ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2012.

9. Ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2012.

10. Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2012.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan risiko kejadian dermatitis kontak pada pekerja

pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012.

Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional (potong lintang)

dimana data variabel dependen dan independen diamati pada waktu

(periode) yang sama.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012 pada

pabrik tahu yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur,

Tangerang Selatan.

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah pekerja pembuat tahu yang berada

di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur, Tangerang Selatan yang

berjumlah 79 orang. Sedangkan sampel yang diambil adalah pekerja

pembuat tahu yang mewakili populasi, yaitu bekerja pada pabrik tahu yang

pabriknya berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur,

68
69

Tangerang Selatan. Pengambilan sampel dilakukan secara uji beda dua

proporsi dengan rumus berikut:

n
z 1 / 2  
2 P 1  P  Z1  P11  P1  P 2(1  P 2) 
2

P1  P22
Keterangan:

n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan

P1 : Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok

pertama

P2 : Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok

kedua

: Rata-rata proporsi ((P1+ P2)/2))

: Derajat kemaknaan pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar

5%=1,96

: Kekuatan uji yaitu sebesar 95%=1,64

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tingkat kepercayaan 95%

dengan memakai derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uj i

95%. Perhitungan sampel akan dilakukan berdasarkan variabel yang akan

diteliti yang telah dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun

spesifikasinya yaitu:
70

1. Lama kontak

Berdasarkan penelitian Nuraga (2006), proporsi pada populasi yang

mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak < 5 jam per hari

sebesar 5% dan pekerja dengan lama kontak > 5 jam per hari sebesar

70%.

2. Frekuensi Kontak

Hasil penelitian Nuraga (2006), proporsi pada populasi yang

mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi < 7x/hari sebesar 9,25%,

sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak

dengan frekuensi > 8x/hari sebesar 64,88%.

3. Usia

Berdasarkan penelitian Lestari, dkk (2007), proporsi pada populasi

yang mengalami dermatitis kontak pada pekerja yang berusia < 30 tahun

(P1) sebesar 60,5% dan pekerja yang berusia > 30 tahun (P2) sebesar

35,1%.

4. Masa Kerja

Berdasarkan penelitian Erliana (2008), proporsi pada populasi yang

mengalami dermatitis kontak pada masa kerja < 6 tahun (P1) sebesar

18,8% sedangkan proporsi pada populasi dengan masa kerja > 6 tahun

sebesar 61,5%.
71

5. Riwayat Alergi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari, dkk (2007),

proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak dengan

riwayat alergi (P1) adalah 57,7%, sedangkan proporsi pada populasi

yang tidak memiliki riwayat alergi adalah 44%.

6. Suhu

Berdasarkan penelitian Nuraga (2006), proporsi pada populasi yang

mengalami dermatitis kontak pada suhu < 24°C sebesar 67,5%

sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak

pada suhu > 24 °C yaitu sebesar 32,5%.

7. Kelembaban

Berdasarkan penelitian Nuraga (2006), proporsi pada populasi yang

mengalami dermatitis kontak pada kelembaban < 65% (P1) sebesar 74%

sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak

dengan kelembaban > 65% (P2) sebesar 0%.


72

Tabel 4.1
Hasil Perhitungan Sampel

Variabel Diketahui Total Sampel


Lama Kontak P1 = 5%= 0,05
P2= 70%=0,7
P=0,375 N= 62

Frekuensi Kontak P1= 9,25%=0,0925


P2=64,8%= 0,648
P=0,37 N= 66
Usia P1= 60,5%=0,605
P2=35,1%=0,351
P= 0,478 N= 139

Masa Kerja P1=18,8 %=0,188


P2=61,5%=0,615
P=0,4 N=53

Riwayat Alergi P1=57,7%=0,577


P2=44,4%=0,44
P=0,458
N=723
Suhu P1=67,5=0,675
P2=32,5=0,325
P=0,5 N= 189

Kelembaban P1=74%=0,74
P2=0
P=0,37 N= 35

Populasi pembuat tahu di Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur

adalah 79 orang. Berdasarkan perhitungan sampel, maka sampel minimal

yang dapat diambil adalah sebanyak 66 orang. Metode sampling yang

diambil adalah sampel jenuh, sehingga peneliti mengambil sampel sebanyak


73

populasi yaitu 79 orang. Tetapi pada saat dilakukan penelitian, responden

yang bersedia untuk menjadi sempel hanya 71 orang. Walau berkurang 8

orang tetapi jumlah sampel yang didapatkan tetap memenuhi jumlah sampel

minimal.

4.4 Instrumen Penelitian

4.4.1 Lembar Pemeriksaan Dokter

Diagnosa dermatitis kontak ditegakkan berdasarkan gejala klinis

dan anamnesis yang dilakukan oleh dokter, dengan hasil ukur

dermatitis kontak atau tidak dermatitis kontak. Hasilnya akan dicatat

dalam lembar pemeriksaan dokter.

4.4.2 Pengukur Suhu dan Kelembaban

Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan

menggunakan alat thermohigrometer. Berikut ini cara kerja

thermohigrometer (Mutoif, 2008) :

1. Alat digantung dalam ruangan, atau diletakkan diatas meja,

jangan selalu dipegang.

2. Untuk mengetahui hasilnya menunggu 15 menit, kemudian dibaca

dengan cara melihat angka yang ditunjuk oleh jarum.

4.4.3 Kuesioner

Salah satu instrumen yang digunakan untuk memperoleh

informasi dari responden adalah angket atau kuesioner. Kuesioner


74

tertutup merupakan kuesioner yang sudah disediakan jawabannya

sehingga responden cukup hanya memilih pada kolom yang sudah

disediakan dengan memberi tanda silang (X). Kuesioner tertutup

digunakan dengan alasan agar lebih sistematis sehingga memudahkan

responden dalam menjawab pertanyaan, selain itu keterbatasan waktu

penelitian dan keterbatasan biaya menjadi alasan digunakannya

kuesioner tertutup. Variabel yang dapat diketahui dari kuesioner

tertutup yaitu lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat

penyakit kulit , riwayat atopi , jenis pekerjaan dan riwayat alergi.

4.5 Pengumpulan Data

4.5.1 Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung oleh

peneliti dari pekerja pembuat tahu di pabrik tahu di wilayah kecamatan

Ciputat dan Ciputat Timur. Data primer yang akan diteliti dapat

diperoleh dari kuesioner antara lain: usia (diperkuat dengan

pengecekan KTP), masa kerja, lama kontak, frekuensi kontak, riwayat

penyakit kulit, riwayat atopi, jenis pekerjaan dan riwayat alergi. Suhu

dan kelembaban diperoleh dari hasil pengukuran langsung di tempat

kerja menggunakan termohigrometer.


75

4.6 Pengolahan Data

Seluruh data yang terkumpul akan diolah melalui tahap-tahap

pengolahan data. Pengolahan data terdiri dari serangkaian tahapan yang

harus dilakukan agar data siap untuk diuji statistik dan dilakukan analisis

atau interpretasi. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:

4.6.1 Data coding

Kegiatan mengklasifikasikan data dan memberi kode untuk

masing-masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data.

4.6.2 Data editing

Penyuntingan sebelum proses pemasukan data. Sebelum diolah,

data diteliti apabila ada kesalahan dan dibetulkan apabila masih ada

kesalahan serta memeriksa kelengkapannya.

4.6.3 Data structure

Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan

dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat

menggunakan data structure, bagi masing-masing variabel perlu

ditetapkan nama, skala ukur variabel, jumlah digit.

4.6.4 Data entry

Merupakan proses pemasukan data ke dalam program atau fasilitas

analisis data di dalam komputer.


76

4.6.5 Data cleaning

Merupakan proses pembersihan data setelah data di entri. Cara yang

sering dilakukan adalah dengan melihat distribusi frekuensi dari

variabel-variabel dan menilai kelogisannya. Tahapan cleaning data

terdiri dari mengetahui missing data, mengetahui variasi data dan

mengetahui konsistensi data.

4.7 Teknik Analisis Data

4.7.1 Analisa Univariat

Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi

dan presentase dari variabel dependen dan variabel independen antara

faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan

kelembaban ) dan faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit,

riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan.

4.7.2 Analisa Bivariat

Analisis yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya

hubungan antara variabel independen yaitu antara faktor eksternal

(lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban dan faktor

internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi,

masa kerja, jenis pekerjaan) terhadap faktor dependen yaitu kejadian

dermatitis kontak. Analisa bivariat menggunakan uji chi-square

untuk variabel kategorik dan untuk variabel numerik menggunakan

uji Mann-Withney karena data yang diperoleh tidak berdistribusi


77

normal. Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Jika P

value < 0,05 maka perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa

adanya hubungan bermakna antara variabel independen dan variabel

dependen.
BAB V

HASIL

5.1 Gambaran Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di pabrik tahu yang bergerak dalam sektor

informal dimana pekerjaannya masih menggunakan cara-cara tradisional. Pabrik

tahu yang menjadi lokasi penelitian berjumlah 7 (tujuh) buah pabrik yang

tersebar dalam wilayah Kecamatan Ciputat dan Wilayah Kecamatan Ciputat

Timur pada tahun 2012. Jumlah pekerja yang bekerja pada ketujuh pabrik

tersebut adalah sebanyak 79 orang. Jika dilihat dari hasil produksinya, terdapat 2

pabrik tahu yang menghasilkan tahu goreng, 1 pabrik tahu yang menghasilkan

tahu putih dan tahu goreng, 1 pabrik menghasilkan tahu putih super, 1 pabrik

menghasilkan tahu putih super, tahu putih Jambi dan tahu goreng, 1 pabrik

menghasilkan tahu putih dan tahu kuning, 1 pabrik lainnya hanya menghasilkan

tahu putih. Walaupun berbeda hasil produksi tahunya, tetapi bahan yang

digunakan dan proses pembuatan tahu secara keseluruhan adalah sama.

Dalam satu kali produksi, rata-rata pabrik tahu di Wilayah Ciputat dan

Ciputat Timur mampu mengolah sebanyak 5 (lima) kuintal kacang kedelai. Hasil

produksinya tidak hanya dipasarkan di wilayah Tangerang Selatan, tetapi juga

dipasarkan di wilayah Pondok Labu yaitu di pasar Pondok Labu. Salah satu

pabrik juga langsung memasok hasil produksinya ke supermarket.

Berdasarkan wawancara terhadap salah satu pemilik pabrik, setiap 10 kg

kacang kedelai dapat menghasilkan 100 buah tahu putih super atau 400 buah

78
79

tahu putih Jambi atau dapat pula menghasilkan 600 buah tahu goreng. Semua

pemilik pabrik tahu mengaku tidak menambahkan bahan- bahan berbahaya

seperti formalin kedalam tahu mereka. Bahan penyedap yang digunakan hanya

garam dan kunyit (untuk tahu kuning).

Para pekerja di pabrik tahu umumnya tidak mengetahui bahwa larutan

penggumpal yang digunakan untuk mengendapkan protein kedelai adalah

termasuk zat kimia. Larutan penggumpal ini hanya mereka sebut dengan asam

yang terbuat dari batu tahu atau sioh koh. Larutan penggumpal ini tidak setiap

hari dibuat. Batu tahu atau sioh koh digunakan sebagai bibit pertama larutan

penggumpalan. Jika larutan penggumpalan yang terbuat dari sioh koh tersebut

selesai digunakan maka akan disimpan dan digunakan kembali pada keesokan

harinya. Dalam buku yang ditulis oleh Suprapti (2005), larutan sisa

penggumpalan yang dipakai lagi keesokan harinya disebut dengan whey. Lebih

tepatnya whey adalah cairan sisa proses penggumpalan dalam pembuatan tahu

yang masih dapat digunakan lagi sebagai bahan penggumpalan selanjutnya. Agar

dapat digunakan lagi untuk menggumpalkan protein dalam pembuatan tahu, sisa

cairan (whey) harus disimpan selama 1 x 24 jam untuk memberikan kesempatan

kepada bakteri asam cuka untuk memfermentasikannya (Ariawiyana, 2012).

Dari hasil pengujian pH dari cairan penggumpal atau whey, didapatkan

kisaran pH whey yang digunakan oleh para pekerja pembuat tahu sebesr 3-4.

Artinya zat penggumpal ini memang bersifat asam. Tingkat keasaman suatu

bahan kimia akan meningkat seiring dengan semakin rendahnya pH bahan


80

kimia tersebut. Semakin asam larutan maka makin kecil nilai pH, dan

sebaliknya. Bila pH berkurang, konsentrasi ion hidronium akan meningkat, dan

konsentrasi ion hidroksida berkurang. Bahan kimia yang mempunyai pH

kurang dari 7 bersifat asam (Azizah, 2010).

Bagian pekerjaan pada pabrik tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat

Timur terdiri dari bagian penggilingan, bagian penyaringan, bagian pencetakan,

bagian pemotongan, bagian penggorengan serta bagian pengepakan. Bagian

penggilingan bertugas melakukan perendaman, pencucian sampai penggilingan

kedelai. Bagian penyaringan bertugas melakukan perebusan, penyaringan,

pengendapan dan penambahan larutan penggumpal. Bagian pencetakan

bertugas melakukan pencetakan dan pengepresan,bagian pemotongan bertugas

memotong tahu, bagian penggorengan bertugas menggoreng tahu sedangkan

bagian pengepakan bertugas menyusun tahu agar siap dijual. Tiga buah pabrik

tahu yang berada di wilayah Ciputat Timur, pembagian kerjanya tidaklah jelas

seperti ini. Pekerja pada ketiga pabrik tersebut mengerjakan semua bagian atau

serabutan.
81

Gambar 5.1
Salah satu proses pembuatan tahu (pencetakan)

Tabel 5.1
Gambaran Tahapan Proses Kerja Pada Pabrik Tahu Beserta Jenis
Pekerjaan

No. Tahapan Bagian Kerja


1. Perendaman kedelai
2. Pencucian kedelai Penggilingan
3. Penggilingan
4. Perebusan
5. Penyaringan
6. Pengendapan dan Penambahan larutan penggumpal Penyaringan
(setelah disaring maka bubur tahu diendapkan pada larutan
penggumpal)
7. Pencetakan dan Pengepresan Pencetakan
8. Pemotongan tahu Pemotongan
9. Penggorengan Penggorengan
10. Pengepakan Pengepakan
Sumber: Data Primer
5.2 Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak Pekerja Pembuat Tahu di
Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012
Data kejadian dermatitis diperoleh dari data primer. Data tersebut

didapatkan melalui diagnosa dokter. Hasil penelitian mengenai gambaran

kejadian dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di Ciputat dan Ciputat

Timur tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 5.2.


82

Tabel 5.2
Distribusi Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di
Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012

No Kejadian Dermatitis N Persentase (%)


1 Dermatitis 37 52.1 %
2 Tidak Dermatitis 34 47.9 %
Total 71 100%

Dari data yang tercantum dalam Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa

sebanyak 37 pekerja (52,1%) mengalami dermatitis kontak dan sebanyak 34

pekerja (47,9%) tidak mengalami dermatitis kontak.

5.2.2 Gambaran Faktor Eksternal dan Faktor Internal Dermatitis Kontak

pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak terdiri

dari faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban)

dan faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi,

masa kerja, jenis pekerjaan). Distribusi faktor-faktor tersebut dapat dilihat

pada tabel berikut :


83

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Masa Kerja, Usia,
Suhu dan Kelembaban) Pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat
Timur Tahun 2012

No. Variabel Mean SD Min-Maks


1 Lama 1.59 jam/hari 1.409 0 jam/hari – 4 jam/hari
Kontak
2 Frekuensi 9 kali/hari 8.166 0 kali/hari-25 kali/hari
kontak
3 Masa Kerja 11.80 tahun 10.44 0 tahun - 42,5tahun
4 Usia 33 tahun 11.59 17 tahun -72 tahun
5 Suhu 35.13 °C 0.816 33.50°C – 37 °C
6 Kelembaban 51.85% 4.423 46% - 60 %

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi (Riwayat Penyakit Kulit, Riwayat Atopi, Riwayat Alergi, dan
Jenis Pekerjaan) pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur
Tahun 2012

No. Variabel Kategori Frekuensi Persentase


Riwayat Memiliki Riwayat 32 45.1 %
1. Penyakit Tidak Memiliki 39 54.9%
Kulit Riwayat
Memiliki Riwayat 28 39.4 %
Riwayat
2. Tidak Memiliki 43 60.6 %
Atopi
Riwayat
Memiliki Riwayat 25 35.2 %
Riwayat
3. Tidak Memiliki 46 64.8 %
Alergi
Riwayat
Semua Bagian 27 38.0%
Penyaringan 16 22.5%
Penggorengan 4 5.6%
4. Jenis Pencetakan 11 15.5%
Pekerjaan Pemotongan 5 7.0%
Penggilingan 4 5.6%
Pengepakan 4 5.6%
84

5.2.2.1 Gambaran Faktor Eksternal

Faktor eksternal dalam penelitian ini meliputi lama kontak,

frekuensi kontak, suhu dan kelembaban.

1. Lama Kontak

Data lama kontak diperoleh dari pengisian kuesioner oleh

responden berdasarkan jangka waktu paparan bahan penggumpal yang

dipakai dalam membuat tahu yang dihitung dalam satu hari kerja. Pada

tabel 5.3 dapat dilihat bahwa rata-rata lama kontak adalah 1.59 jam/hari

(1 jam 35 menit/hari) dengan standar deviasi 1.409, lama kontak

minimum 0 jam/hari dan maksimum 4 jam/hari.

2. Frekuensi Kontak

Data frekuensi kontak diperoleh dari pengisian kuesioner oleh

responden berdasarkan kekerapan responden berkontak dengan bahan

kimia dalam beberapa kali per harinya. Frekuensi kontak ini dihitung saat

responden terpapar bahan penggumpal saat melakukan pekerjaan

penyaringan. Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa rata-rata frekuensi kontak

adalah 9 kali/hari dengan standar deviasi 8.166. Frekuensi kontak

minimum 0 kali/hari dan maksimum 25 kali/hari.

3. Suhu Ruangan

Suhu ruangan diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan

thermohigrometer. Suhu ruangan rata-rata saat responden bekerja adalah


85

35,13 °C, dengan standar deviasi 0.816. Suhu ruangan minimum adalah

33.50°C dan suhu ruangan maksimum adalah 37 °C.

4. Kelembaban Ruangan

Kelembaban ruangan diperoleh dari hasil pengukuran

menggunakan thermohigrometer. Kelembaban ruangan rata-rata saat

responden bekerja adalah 51.85%, dengan standar deviasi 4.423.

Kelembaban ruangan minimum adalah 46% dan kelembaban ruangan

maksimum adalah 60 %.

5.2.2.2 Gambaran Faktor Internal

Faktor internal dalam penelitian ini meliputi usia, riwayat

penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, masa kerja dan jenis

pekerjaan. Distribusi pekerja pembuat tahu menurut riwayat penyakit

kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, dan jenis pekerjaan dapat terlihat

pada tabel 5.4. Sedangkan variabel masa kerja dan usia dapat dilihat

pada tabel 5.3.

1. Usia

Data usia diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh

responden dimana data tanggal lahir akan dicocokkan dengan yang

tertera di KTP. Hasil penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja

berdasarkan umur individu masing-masing. Gambaran distribusi

usia responden terdapat pada tabel 5.3. Dari tabel 5.3 dapat
86

diketahui bahwa rata-rata usia responden adalah 33 tahun, usia

termuda adalah 17 tahun, sedangkan usia pekerja tertua adalah 72

tahun dan jumlah usia yang paling banyak pada pekerja pembuat

tahu adalah 31 tahun. Standar deviasi dari variabel usia adalah

11.59.

2. Riwayat Penyakit Kulit

Variabel riwayat penyakit kulit diketahui dengan cara

pengisian kuesioner. Pada tabel 5.4 diketahui bahwa responden

yang memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 32 orang

(45.1 %) dan yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit adalah

sebanyak 39 orang (54.9 %).

3. Riwayat Atopi

Variabel riwayat atopi diketahui dengan cara pengisian kuesioner

oleh responden. Riwayat atopi dapat dilihat distribusinya dalam

tabel 5.4. Responden yang memiliki riwayat atopi sebanyak 28

orang (39.4 %) dan yang tidak memiliki riwayat atopi sebanyak 43

orang (60.6 %).

4. Riwayat Alergi

Variabel riwayat alergi diketahui dengan cara pengisian kuesioner

oleh responden. Riwayat alergi dapat dilihat distribusinya dalam

tabel 5.4. Responden yang memiliki riwayat alergi sebanyak 25


87

orang (35.2 %) dan yang tidak memiliki riwayat alergi sebanyak 46

orang (64.8 %).

5. Masa Kerja

Data masa kerja diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh

responden. Distribusinya dapat dilihat pada tabel 5.3. Pada tabel 5.3

dapat dilihat bahwa rata-rata masa kerja responden adalah 11.80 tahun

(11 tahun 9 bulan) dengan standar deviasi 10.44. Responden ada yang

bekerja belum genap satu tahun sehingga masa kerja minimal adalah 0

tahun dan responden dengan masa kerja terlama yaitu responden yang

sudah bekerja sebagai pembuat tahu selama 42.5 tahun (42 tahun 6

bulan).

6. Gambaran Jenis Pekerjaan pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat

dan Ciputat Timur tahun 2012

Data jenis pekerjaan diperoleh dengan cara pengisian kuesioner

oleh responden. Distribusinya dapat dilihat pada tabel 5.4. Responden

yang bekerja pada semua bagian sebanyak 27 orang (38%), bagian

penyaringan sebanyak 16 orang (22.5%), bagian penggorengan

sebanyak 4 orang (5.6%), bagian pencetakan sebanyak 11 orang

(15.5%), bagian pemotongan sebanyak 5 orang (7%), bagian

penggilingan sebanyak 4 orang (5.6%), dan bagian pengepakan

sebanyak 4 orang (5.6%).


88

5.3 Analisis Bivariat

Tabel 5.5
Analisis Hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja,
suhu dan kelembaban) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu
di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012

Kejadian
No. Variabel Dermatitis N Mean Rank P value
Kontak
Dermatitis 37 43,70 0.001
Kontak
1. Lama kontak
Tidak Dermatitis 34 27,62
Kontak
Dermatitis 37 43,22 0.001
Kontak
2. Frekuensi kontak
Tidak Dermatitis 34 28,15
Kontak
Dermatitis 37 32,72 0.162
Kontak
3. Usia
Tidak Dermatitis 34 39,57
Kontak
Dermatitis 37 33.78 0.345
Kontak
4. Masa Kerja
Tidak Dermatitis 34 38.41
Kontak
Dermatitis 37 44,57 0.000
Kontak
5. Suhu
Tidak Dermatitis 34 26,68
Kontak
Dermatitis 37 33,68 0.319
Kontak
6. Kelembaban
Tidak Dermatitis 34 38,53
Kontak
89

Tabel 5.6
Distribusi Pekerja menurut (riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit
kulit sebelumnya, jenis pekerjaan) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja
Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012

No Variabel Kategori Frekuensi P OR


Dermatitis Tidak Total Value (95%
Dermatitis CI)
N % N % N %
1 Riwayat Memiliki 22 68,8 10 31,3 32 100 0,021 3,520
Penyakit Riwayat (1,311
Kulit Tidak 15 38,5 25 61,5 39 100 –
Memiliki 9,448)
Riwayat
2. Riwayat Memiliki 22 78,6 6 21,4 28 100 0,001 6,844
Atopi Riwayat (2,280
Tidak 15 34,9 28 65,1 43 100 –
Memiliki 20,545)
Riwayat
3. Riwayat Memiliki 19 76 6 24 25 100 0,003 4,926
Alergi Riwayat (1,65 –
Tidak 18 39,1 28 60,9 46 100 14,684)
Memiliki
Riwayat
4. Jenis Penyaringan 30 69.8 13 30.2 43 100 0,001 6.923
Pekerjaan (2.363-
Bagian 7 25 21 75 28 100 20.281)
Lainnya
90

5.3.1 Hubungan Antara Faktor Eksternal dengan Dermatitis Kontak pada


Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012
1. Hubungan Antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak pada
Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012
Pada tabel 5.5 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik antara

lama kontak dan dermatitis kontak didapatkan mean rank sebesar 43.70

untuk responden yang mengalami dermatitis kontak dan pada responden

yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebesar 27.62. Nilai

probabilitas atau pvalue yang dihasilkan adalah sebesar 0.001, artinya

pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak

dengan dermatitis kontak.

2. Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak


pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun
2012
Berdasarkan tabel 5.5, mean rank yang dihasilkan dari uji

bivariat antara frekuensi kontak dan lama kontak adalah sebesar 43.22

untuk responden yang mengalami dermatitis kontak dan mean rank

untuk responden yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebesar

28.15. Nilai probabilitas atau pvalue yang didapatkan dari hasil analisis

antara frekuensi kontak dengan dermatitis kontak adalah sebesar 0.001.

Hal ini berarti pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara

frekuensi kontak dengan dermatitis kontak.


91

3. Hubungan Antara Suhu Ruangan dengan Dermatitis Kontak pada


Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012
Jika dilihat dari tabel 5.5, nilai mean rank pada pengujian antara

suhu dan dermatitis kontak adalah sebesar 44.57 untuk responden yang

mengalami dermatitis kontak. Sedangkan pada responden yang tidak

mengalami dermatitis kontak mempunyai mean rank sebesar 26.68.

Pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara suhu dengan dermatitis

kontak adalah sebesar 0.000. Hal ini berarti pada alpha 5% terdapat

hubungan yang bermakna antara suhu dengan dermatitis kontak.

4. Hubungan Antara Kelembaban Ruangan dengan Dermatitis


Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur
tahun 2012
Berdasarkan tabel 5.5, perbedaan mean rank pada variabel

kelembaban antara responden yang mengalami dermatitis kontak dengan

yang tidak mengalami dermatitis kontak, perbedaannya tidak jauh. Pada

responden yang mengalami dematitis kontak mempunyai mean rank

sebesar 33.68, sedangkan pada responden yang tidak mengalami

dermatitis kontak adalah sebesar 38.53. Nilai pvalue yang didapatkan

dari hasil analisis antara kelembaban dengan dermatitis kontak adalah

sebesar 0.319. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara kelembaban dengan dermatitis kontak.


92

5.3.2 Hubungan Antara Faktor Internal dengan Dermatitis Kontak pada


Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2012
1. Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja
Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012.
Hasil uji statistik menunjukkan mean rank usia pada responden

yang menderita dermatitis kontak adalah sebesar 32.72 (tabel 5.5), tidak

terpaut jauh dengan nilai mean rank pada responden yang tidak

mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 39.57. Hubungan antara

variabel usia dan dermatitis kontak mempunyai pvalue sebesar 0.162.

Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara usia dengan dermatitis kontak pada pekerja

pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur.

2. Hubungan Antara Penyakit Kulit dengan Dermatitis Kontak pada


Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012.
Berdasarkan tabel 5.6, diperoleh bahwa responden yang

mengalami dermatitis dan memiliki riwayat penyakit kulit sebanyak

22 orang (68.8%) dan responden yang mengalami dermatitis tetapi

tidak memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 15 orang

(38.5%). Sedangkan responden yang mempunyai riwayat penyakit

kulit namun tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 10

orang (31.3%) dan responden yang tidak mempunyai riwayat

penyakit kulit dan tidak mengalami dermatitis kontak adalah

sebanyak 25 orang (61.5%).


93

Dari hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0.021. Maka

dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang

bermakna antara riwayat penyakit kulit dengan dermatitis kontak

pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur.

Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds

Ratio sebesar 3.520. Artinya adalah risiko responden yang

mempunyai riwayat penyakit kulit untuk terkena dermatitis kontak

adalah 3,52 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki

riwayat penyakit kulit.

3. Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak pada


Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012.
Berdasarkan tabel 5.6, diperoleh bahwa responden yang

mengalami dermatitis dan memiliki riwayat atopi sebanyak 22 orang

(78.6%) dan responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak

memiliki riwayat atopi adalah sebanyak 15 orang (34.9 %). Responden

yang memiliki riwayat atopi tetapi tidak mengalami dermatitis kontak

adalah sebanyak 6 orang (21.4%) dan responden yang tidak memiliki

riwayat atopi dan tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak

28 orang (65.1%).

Dari hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,001. Maka

dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang

bermakna antara riwayat atopi dengan dermatitis kontak pada pekerja


94

pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis

keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 6,844.

Artinya adalah risiko responden yang mempunyai riwayat penyakit

kulit untuk terkena dermatitis kontak adalah 6,844 kali dibandingkan

dengan responden yang tidak memiliki riwayat atopi.

4. Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak pada


Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012.

Berdasarkan tabel 5.6, diperoleh bahwa responden yang

mengalami dermatitis dan memiliki riwayat alergi sebanyak 19 orang

(76%) dan responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak memiliki

riwayat alergi adalah sebanyak 18 orang (39.1%). Responden yang

memiliki riwayat alergi namun tidak mengalami dermatitis kontak

adalah sebanyak 6 orang (24%) sedangkan responden yang tidak

memiliki riwayat alergi dan tidak mengalami dermatitis kontak adalah

sebanyak 28 orang (60.9%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai

pvalue sebesar 0,006. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5%

terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat alergi dengan

dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan

Ciputat Timur.

Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds

Ratio sebesar 4.926. Artinya adalah risiko responden yang

mempunyai riwayat alergi untuk terkena dermatitis kontak adalah


95

4.926 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki

riwayat alergi.

5. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak pada

Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012.

Dari hasil tabel 5.5 dapat diketahui bahwa pada analisis antara

variabel masa kerja dan dermatitis kontak menghasilkan nilai pvalue yang

lebih dari 0.05 yaitu 0.345 (0.345 > 0.05), dimana menunjukkan bahwa

tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis

kontak. Mean rank masa kerja pada responden yang menderita dermatitis

kontak adalah sebesar 33.78, tidak terpaut jauh dengan nilai mean rank

masa kerja pada responden yang tidak mengalami dermatitis kontak yaitu

sebesar 38.41.

6. Hubungan Antara Jenis Pekerjaan dengan Dermatitis Kontak pada

Pekerja Pembuat Tahu di Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012.

Berdasarkan tabel 5.6, responden yang mengalami dermatitis pada

bagian penyaringan yaitu sebanyak 30 orang (69,8%), pada bagian

lainnya sebanyak 7 orang (25%). Responden yang bekerja pada bagian

penyaringan tetapi tidak mengalami dermatitis kontak adalah sebanyak 13

orang (30,2%) dan pekerja yang bekerja dibagian lain dan tidak

mengalami dermatitis kontak ada sebanyak 21 orang (75%).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai pvalue sebesar 0,001. Maka

dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang


96

bermakna antara jenis pekerjaan dengan dermatitis kontak pada pekerja

pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis

keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 6.923.

Artinya adalah risiko responden yang bekerja pada bagian penyaringan

untuk terkena dermatitis kontak adalah 6.923 kali dibandingkan dengan

responden yang bekerja pada bagian lainnya.


BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, sehingga lemah dalam

menganalisis hubungan sebab akibat.

2. Pada penelitian ini, diagnosa dermatitis kontak oleh dokter umum, bukan

dilakukan oleh dokter spesialis. Selain itu tidak dilakukan penegakan diagnosa

lebih lanjut misalnya dengan melakukan uji tempel.

3. Penelitian ini direncanakan akan menggunakan metode pengambilan sampel

jenuh, tetapi saat penelitian dilakukan, dari target responden 79 orang yang

didapat hanya 71 orang. Walaupun demikian, jumlah tersebut telah memenuhi

jumlah sampel minimal sebesar 69 orang.

4. Hasil penelitian pada variabel seperti pada lama kontak, frekuensi kontak,

riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, riwayat alergi, dan masa kerja walau

hasilnya terdapat hubungan, tetapi kemungkinan terdapat bias informasi karena

variabel ini bergantung kepada kejujuran responden dan ingatan responden.

6.2 Kejadian Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai

respons terhadap pengaruh faktor eksternal dan atau faktor internal, menimbulkan

kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,

97
98

skuama, likenifikasi) dan gatal (Djuanda, 1999). Menurut Keppres RI no 22/1993

tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja, dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu adalah penyakit akibat kerja yang penyebabnya digolongkan

ke golongan kimiawi.

Tetapi menurut Harahap (1990), menetapkan penyebab dermatitis kontak

tidak selalu mudah dikarenakan banyak sekali kemungkinan yang ada. Selain itu

banyak yang tidak tahu atau menyadari seluruh zat-zat kimia yang bersentuhan

dengan kulit mereka. Seringkali lokasi awal ruam merupakan suatu petunjuk

penting.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 71 pekerja pembuat tahu di

Ciputat dan Ciputat Timur didapatkan sebanyak 37 responden (52,1%) mengalami

dermatitis kontak dan sebanyak 34 responden (47,9%) tidak mengalami dermatitis

kontak. Pekerja pembuat tahu mengaku rasa gatal dan panas akan dirasakan

seseorang jika baru pertama kali bekerja. Apalagi jika sebelumnya tidak pernah

bersentuhan dengan bahan yang mengandung asam.

Selain rasa gatal dan panas, pekerja juga merasakan kelainan kulit berupa

fissura (kulit pecah-pecah) dan exudat yang berisi cairan bening. Pekerja banyak

yang tidak mengetahui bahwa gejala yang mereka rasakan adalah dermatitis

kontak sehingga kebanyakan dari mereka tidak melakukan pengobatan karena

gejala ringan seperti gatal dan perih dapat hilang jika mereka berhenti bekerja.
99

Lokasi terjadinya dermatitis kontak pada pekerja pada pembuat tahu terdapat

di telapak tangan, sela jari tangan, dan lengan. Hal ini terjadi karena mereka tidak

ada yang menggunakan alat pelindung diri berupa sarung tangan sehingga

dermatitis kontak banyak timbul didaerah sekitar tangan. Beberapa pekerja yang

memakai sepatu boots terhindar dari dermatitis pada kaki. Selain dermatitis, pada

kaki pekerja juga sering menderita kutu air.

Selain tidak menggunakan APD, kurang sadarnya pekerja dalam menjaga

kebersihan diri juga dapat meningkatkan peluang terjadinya dermatitis kontak.

Pekerja tidak disediakan tempat cuci tangan dengan air bersih dan sabun sehingga

mereka tidak mencuci tangannya dengan baik saat beralih dari pekerjaan satu ke

pekerjaan yang lainnya.

Kejadian dermatitis kontak banyak terjadi pada pekerja yang terkena larutan

penggumpal yang digunakan saat tahapan penyaringan, dimana pekerja akan

mencampurkan air kedelai yang telah direbus dan disaring kelarutan penggumpal

yang mengandung asam. Pabrik tahu di Ciputat dan Ciputat Timur memberi

keterangan bahwa larutan ini pertama kalinya terbuat dari sioh koh. Mereka juga

mengaku tidak menambahkan bahan kimia yang berbahaya seperti formalin.

Mereka hanya menggunakan garam untuk memberikan rasa asin pada tahu.
100

Gambar 6.1
Dermatitis pada pekerja pembuat tahu

6.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada

Pekerja Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur

Tahun 2012.

6.3.1 Hubungan Antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak

Menurut Hudyono (2002), pekerja yang berkontak dengan bahan kimia

menyebabkan kerusakan sel kulit lapisan luar, semakin lama berkontak dengan

bahan kimia maka akan semakin merusak sel kulit lapisan yang lebih dalam dan

memudahkan untuk terjadinya dermatitis. Kontak dengan bahan kimia yang

bersifat iritan atau alergen secara terus menerus akan menyebabkan kulit pekerja

mengalami kerentanan mulai dari tahap yang ringan sampai tahap yang berat.

Lama kontak adalah jangka waktu pekerja berkontak dengan bahan kimia

dalam hitungan jam/hari. Setiap pekerja memiliki lama kontak yang berbeda-

beda sesuai dengan proses kerjanya. Semakin lama berkontak dengan bahan
101

kimia maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan

kelainan kulit (Lestari, 2007).

Pada penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata lama kontak pekerja

pembuat tahu dengan bahan kimia yang digunakan untuk tahap penggumpalan

adalah 1,59 jam/hari (1 jam 35 menit/hari) dengan standar deviasi 1,409. Pekerja

ada yang berkontak langsung dengan bahan penggumpal, ada pula yang sama

sekali tidak berkontak dengan larutan penggumpal, tergantung jenis pekerjaan

mereka. Sehingga lama kontak minimum pada penelitian ini adalah 0 jam/hari

dan lama kontak maksimum yaitu 4 jam/hari. Hasil uji statistik antara lama

kontak dan dermatitis kontak didapatkan pvalue sebesar 0,001, artinya pada

alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak dengan

dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2012.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lestari, dkk (2008) yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama kontak

dengan kejadian dermatitis kontak (pvalue 0,003). Hasil penelitian Lestari, dkk

(2008) menunjukkan bahwa pekerja yang berkontak lebih lama cenderung lebih

banyak menderita dermatitis kontak daripada pekerja dengan jangka waktu

paparan lebih singkat.

Seperti dengan hal yang diungkapkan oleh Hudyono (2002) sebelumnya,

bahan penggumpal tahu yang mengandung asam dapat menyebabkan kerusakan

sel kulit lapisan luar, semakin lama berkontak dengan bahan kimia maka akan
102

semakin merusak sel kulit lapisan yang lebih dalam dan memudahkan untuk

terjadinya dermatitis. Sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh, maka

sebaiknya pemilik pabrik mengganti bahan penggumpal tahu dengan Nigarin

yang terbuat dari sari air laut. Sisa air Nigarin mempunyai pH netral bahkan

layak untuk diminum sehingga tidak menyebabkan dermatitis, selain itu limbah

Nigarin juga ramah lingkungan. Tahu yang terbuat dari Nigarin akan

menghasilkan tahu dengan kandungan Kalsium, magnesium dan Vitamin B12.

Pemilik pabrik tahu sebaiknya menyediakan fasilitas untuk mencuci tangan yang

memadai agar pekerja dapat mencuci tangan dengan mudah. Pekerja juga

sebaiknyamenjaga kebersihan diri (personal hygiene) seperti melakukan cuci

tangan yang baik setelah berkontak dengan bahan penggumpal tersebut untuk

mengurangi lama kontak dengan bahan kimia.

Selain itu, pemakaian alat pelindung diri (APD) berupa sarung tangan

yang menutupi sampai bagian lengan dan baju kerja yang menutupi seluruh

bagian tubuh dapat dijadikan alternatif untuk mengendalikan lama kontak. Baju

kerja yang digunakan haruslah yang nyaman karena suhu ruangan di pabrik tahu

cukup panas. Sepatu boots juga harus dipakai saat bekerja dan dijaga

kebersihannya.
103

6.3.2 Hubungan Antara Frekuensi Kontak Dengan Dermatitis Kontak


Cohen (1999) menyebutkan bahwa frekuensi kontak yang berulang

untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya

dermatitis kontak alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan

menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak

proporsional.

Pada penelitian ini data frekuensi kontak diperoleh dari pengisian

kuesioner oleh responden berdasarkan kekerapan responden berkontak dengan

bahan kimia dalam beberapa kali per harinya. Frekuensi kontak ini dihitung

saat responden terpapar bahan penggumpal saat melakukan pekerjaan

penyaringan. Pada tabel 5.2 dapat dilihat bahwa rata-rata frekuensi kontak

adalah 9 kali/hari dengan standar deviasi 8,166. Frekuensi kontak minimum 0

kali/hari dan maksimum 25 kali/hari. Nilai pvalue yang didapatkan dari hasil

analisis antara frekuensi kontak dengan dermatitis kontak adalah sebesar

0,001. Hal ini berarti pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara

frekuensi kontak dengan dermatitis kontak.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Lestari, dkk (2008) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi

kontak bahan kimia dengan kejadian dermatitis kontak yaitu dengan pvalue

sebesar 0,000. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Lingga (2011) bahwa terdapat hubungan antara frekuensi kontak dengan

kejadian dermatitis kontak (pvalue 0,002)


104

Produksi tahu yang selalu banyak setiap hari (rata-rata 5 kuintal per

pabrik) kemungkinan menyebabkan para pekerja lebih banyak melakukan

proses penyaringan (langsung terpapar oleh larutan penggumpal) sehingga

frekuensi kontak pekerja lebih tinggi dan kemungkinan menyebabkan

dermatitis kontak. Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh Cohen (1999)

bahwa frekuensi kontak yang berulang terhadap larutan pengendap pada

proses penyaringan akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak.

Seperti pengendalian pada variabel lama kontak, untuk pengendalian

frekuensi kontak sebaiknya pemilik pabrik tahu mengganti bahan penggumpal

tahu dengan Nigarin yang terbuat dari sari air laut. Sisa air Nigarin

mempunyai pH netral bahkan layak untuk diminum sehingga tidak

menyebabkan dermatitis. Pemilik pabrik tahu juga sebaiknya menyediakan

wadah yang lebih besar untuk bak penyaringan. Jika menggunakan wadah

penyaringan yang lebih besar, frekuensi melakukan penyaringan dapat

dikurangi dan itu akan mengurangi frekuensi pekerja dalam berkontak dengan

bahan penggumpal saat tahapan penyaringan. Selain itu, penggunaan mesin

pengaduk dan mesin penyaring juga dapat mengurangi frekuensi pekerja

berkontak dengan bahan penggumpal. Selama ini disemua pabrik di Ciputat

dan Ciputat Timur masih menggunakan cara tradisional dalam membuat tahu,

tidak ada yang menggunakan mesin atau alat yang canggih dalam pembuatan

tahu.
105

Frekuensi kontak juga dapat dikurangi dengan mencuci tangan yang

baik. Pemilik pabrik tahu sebaiknya menyediakan fasilitas untuk mencuci

tangan yang memadai agar pekerja dapat mencuci tangan dengan mudah.

Pemakaian APD (sarung tangan, wearpack, sepatu boots) dapat dijadikan

alternatif untuk mengendalikan frekuensi kontak. Baju kerja yang digunakan

haruslah yang nyaman karena suhu ruangan di pabrik tahu sangat panas.

Sepatu boots juga harus dipakai saat bekerja dan dijaga kebersihannya.

6.3.3 Hubungan Antara Suhu dengan Dermatitis Kontak

Djuanda, dkk (1999) dalam bukunya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

menyebutkan bahwa dermatitis dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak

alergi dipengaruhi faktor-faktor seperti bahan yang bersifat iritan, lama

kontak, kekerapan, adanya oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeabel,

gesekan dan taruma fisis juga suhu dan kelembaban lingkungan. American

Academy of Dermatology (2010) juga menyebutkan bahwa dermatitis salah

satunya dapat disebabkan suhu lingkungan yang tinggi.

Suhu ruangan pada penelitian ini cukup tinggi. Suhu ruangan minimum

yang terdapat pada penelitian ini adalah 33.50°C dan suhu ruangan maksimum

adalah 37 °C. Berdasarkan Kepmenkes No. 1405/MenKes/SK/XI/2002

tentang nilai ambang batas kesehatan lingkungan kerja industri, suhu udara

yang dianjurkan adalah 18 °C – 30 °C. Sehingga suhu rata-rata pada penelitian

ini tidak sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan

No.1405/MenKes/SK/IX/2002 mengenai nilai ambang batas kesehatan


106

lingkungan kerja karena suhu rata-rata yang diperoleh yaitu 35,13 °C. Standar

deviasi suhu ruangan yang didapat adalah sebesar 0.816. Pvalue yang

didapatkan dari hasil analisis antara suhu dengan dermatitis kontak adalah

sebesar 0,000. Hal ini berarti pada alpha 5% terdapat hubungan yang

bermakna antara suhu dengan dermatitis kontak.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hal yang dikemukakan oleh American

Academy of Dermatology (2010) bahwa dermatitis salah satunya dapat

disebabkan suhu lingkungan yang tinggi, sehingga kemungkinan cukup

tingginya suhu pada pabrik tahu pada penelitian ini menjadi faktor yang

berhubungan dermatitis. Apalagi jika orang tersebut mempunyai riwayat

dermatitis atopi, suhu lingkungan yang panas akan memicu terjadinya gejala

dermatitis yang lebih parah menurut American Academy of Dermatology

(2010).

Sebaiknya pada ruangan pabrik tahu diberikan sirkulasi udara yang

memadai untuk mengurangi suhu di dalam ruangan yang amat panas.

Ruangan dapat diberikan ventilasi seperti jendela yang lebar dan local exhaust

agar sirkulasi udara didalam ruangan lancar. Saat proses pekerjaan

berlangsung, membuka jendela dan membuka pintu diharapkan dapat

melepaskan panas ke luar ruangan. Sistem local exhaust harus dirancang

berdekatan dengan titik operasi dimana kontaminan (dalam hal ini panas)

dilepaskan. Selain itu sebaiknya untuk dapur diberikan ruangan khusus yang
107

terpisah dari ruang produksi agar asap dan uap panas yang dihasilkan oleh

kompor tidak menyebar ke seluruh ruangan.

6.3.4 Hubungan Antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak

Kelembaban ruangan diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan

thermohigrometer. Kelembaban ruangan rata-rata saat responden bekerja

adalah 51.85%, dengan standar deviasi 4.423. Kelembaban ruangan minimum

adalah 46% dan kelembaban ruangan maksimum adalah 60 %. Berdasarkan

tabel 5.4, pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara kelembaban

dengan dermatitis kontak adalah sebesar 0,319. Hal ini berarti pada alpha 5%

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan dermatitis

kontak.

Kelembaban rata-rata di ruangan pabrik tahu adalah 51.85%, hal ini

telah sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan

No.1405/MenKes/SK/XI/2002 Tentang Nilai Ambang Batas Kesehatan

Lingkungan Kerja Industri, yaitu 65 % - 95 %. Kemungkinan kelembaban

dengan dermatitis tidak menunjukkan hubungan yang signifikan adalah karena

kelembaban pada pabrik tahu masih dalam ambang batas Keputusan Menteri

Kesehatan No.1405/MenKes/SK/XI/2002.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lestari, dkk (2008) dimana

proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada kelembaban <

65 % sebesar 74 %, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami

dermatitis kontak dengan kelembaban ≥ 65 % sebesar 0 %. Pada penelitian


108

tersebut tidak ada perbedaan antara faktor kelembaban dengan terjadinya

dermatitis kontak.

Dalam penelitian ini bahwa pekerja yang berada pada kelembaban

kurang dari 95% tetapi menderita dermatitis kontak (37 orang) ternyata

mempunyai lama kontak diatas rata-rata, yaitu sebesar 2 jam/hari. Frekuensi

kontak pada kelompok ini juga diatas rata-rata yaitu sebanyak 12 kali/hari.

Selain lama kontak dan frekuensi kontak, pekerja yang berada pada

kelembaban kurang dari 95% dan menderita dermatitis kontak ternyata 59.5%

mempunyai riwayat atopi dan riwayat penyakit kulit, 51.4% diantaranya juga

mempunyai riwayat alergi dan 81.1% bekerja pada bagian penyaringan.

Pekerja yang berada pada kelembaban kurang dari 95% dan menderita

dermatitis kontak juga rata-rata bekerja pada suhu ruangan sebesar 35.49°C

dimana suhu tersebut melebihi dari rata-rata suhu ruangan yang ada

(35.13°C).

Pada penelitian ini, dermatitis kontak yang dialami oleh pekerja walau

pekerja tersebut bekerja pada kelembaban yang aman salah satunya

disebabkan oleh frekuensi kontak yang tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh

Cohen (1999) bahwa frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang

mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak.

Selain itu, lama kontak diatas rata-rata (2 jam/hari) juga dapat menjadi

variabel yang mendominasi daripada variabel kelembaban, karena pekerja

yang berkontak dengan bahan kimia menyebabkan kerusakan sel kulit lapisan
109

luar, semakin lama berkontak dengan bahan kimia maka akan semakin

merusak sel kulit lapisan yang lebih dalam dan memudahkan untuk terjadinya

dermatitis. Kontak dengan bahan kimia yang bersifat iritan atau alergen secara

terus menerus akan menyebabkan kulit pekerja mengalami kerentanan mulai

dari tahap yang ringan sampai tahap yang berat (Hudyono, 2002).

Sebanyak 59.5% pekerja yang mempunyai riwayat atopi dan riwayat

penyakit kulit mengalami dermatitis kontak walau berada dalam kelembaban

lingkungan yang aman (kurang dari 95%). Hal ini dikarenakan pekerja yang

sebelumnya atau yang sedang sakit kulit cenderung lebih mudah mendapat

occupational dermatoses seperti dermatitis kontak (Ganong, 2006 dalam

Ernasari, 2012). Selain itu seseorang yang memiliki riwayat atopi juga lebih

rentan terhadap efek iritasi zat iritan (Partogi, 2008).

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa 51.4% pekerja yang

mengalami dermatitis dan berada pada kelembaban yang aman diantaranya

mempunyai riwayat alergi. Pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat alergi

atau sedang menderita penyakit kulit akan lebih mudah mendapat dermatitis

kontak akibat kerja, karena fungsi perlindungan kulit sudah berkurang akibat

dari penyakit kulit sebelumnya. Fungsi perlindungan yang dapat menurun

antara lain hilangnya lapisan kulit, rusaknya saluran kelenjar keringat dan

kelenjar minyak serta perubahan pH kulit (Djuanda, 2007).

Variabel jenis pekerjaaan dalam penelitian ini juga mendominasi faktor

kelembaban. Dimana pekerja yang berada pada kelembaban aman namun


110

mengalami dermatitis kontak sebanyak 81.1% bekerja pada bagian

penyaringan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh

Kusriastuti (1992) pada pembuat tahu di wilayah Utan Kayu yang

menunjukkan bahwa pekerja dibagian penyaringan mempunyai peluang risiko

6,21 kali lebih besar daripada pekerja dibagian lain untuk terkena dermatitis

kontak.

Suhu ruangan pada penelitian ini cukup tinggi. Pekerja yang berada

pada kelembaban kurang dari 95% dan menderita dermatitis kontak rata-rata

bekerja pada suhu ruangan sebesar 35.49°C. Sehingga tidak sesuai dengan

ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/MenKes/SK/IX/2002. Suhu

lingkungan yang panas akan memicu terjadinya gejala dermatitis yang lebih

parah menurut American Academy of Dermatology (2010). Sehingga menurut

hasil penelitian ini, suhu ruangan menjadi salah satu faktor yang mendominasi

variabel kelembaban ruangan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, terdapat faktor yang lebih

mendominasi faktor kelembaban untuk menyebabkan kejadian dermatitis

kontak, yaitu faktor frekuensi kontak, lama kontak, riwayat alergi, riwayat

atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, jenis pekerjaan khususnya bagian

penyaringan dan suhu ruangan dimana pekerja bekerja setiap harinya.

6.3.5 Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak

Menurut Ganong (2006) dalam Ernasari (2012), Pekerja muda lebih

sering menderita dermatitis kontak akut karena lalai dalam bekerja, terkena
111

lingkungan basa, dan panas tinggi. Umumnya keterampilan mereka juga

kurang. Pada penelitian ini, data usia yang dituliskan dalam kuesioner oleh

responden dicocokkan dengan data yang ada di KTP. Dalam penelitian ini

dapat diketahui bahwa rata-rata usia responden adalah 33 tahun, usia

termuda adalah 17 tahun, sedangkan usia pekerja tertua adalah 72 tahun.

Hasil uji statistik pada analisis bivariat menunjukkan pvalue sebesar 0,162.

Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara usia dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat

tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur.

Walaupun hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan

seperti yang dikatakan oleh Ganong (2006) dan tidak sesuai dengan hasil

dari penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007), hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Erliana (2008) bahwa usia bukan merupakan faktor

risiko yang mempengaruhi dermatitis kontak. Menurut Erliana (2008) dalam

konteks determinan kejadian dermatitis kontak berdasarkan usia, dermatitis

dapat menyerang semua kelompok usia, artinya usia bukan merupakan

faktor resiko utama terhadap paparan bahan-bahan penyebab dermatitis

kontak.

Dalam penelitian ini, diketahui bahwa pekerja yang berusia lebih dari

30 tahun tetapi menderita dermatitis kontak sebanyak 78.9% mempunyai

riwayat penyakit kulit, sebanyak 63.2% mempunyai riwayat alergi dan

mempunyai riwayat atopi sebanyak 52.6%. Pekerja yang berusia lebih dari
112

30 tahun tetapi menderita dermatitis kontak sebanyak 78.9% mempunyai

riwayat penyakit kulit. Menurut Ganong (2006) dalam Ernasari (2012)

pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit cenderung lebih

mudah mendapat occupational dermatoses seperti dermatitis kontak.

Sehingga dalam penelitian ini riwayat penyakit kulit menutupi faktor usia.

Selain itu diketahui bahwa pekerja yang berusia lebih dari 30 tahun

tetapi menderita dermatitis kontak sebanyak 52.6% mempunyai riwayat

atopi. Dimana diketahui bahwa seseorang yang memiliki riwayat atopi juga

lebih rentan terhadap efek iritasi zat iritan (Partogi, 2008). Sehingga

memudahkan untuk terjadinya dermatitis kontak. Seperti telah disebutkan

sebelumnya bahwa sebanyak 63.2% pekerja yang berusia lebih dari 30 tahun

tetapi menderita dermatitis kontak mempunyai riwayat alergi. Pekerja yang

sebelumnya memiliki riwayat alergi atau sedang menderita penyakit kulit

akan lebih mudah mendapat dermatitis kontak akibat kerja, karena fungsi

perlindungan kulit sudah berkurang akibat dari penyakit kulit sebelumnya.

Fungsi perlindungan yang dapat menurun antara lain hilangnya lapisan kulit,

rusaknya saluran kelenjar keringat dan kelenjar minyak serta perubahan pH

kulit (Djuanda, 2007). Sehingga pada penelitian ini dapat dilihat bahwa

riwayat alergi adalah salah satu faktor yang mendominasi usia pekerja untuk

mengalami dermatitis kontak.

Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa kejadian dermatitis

kontak dapat menyerang semua usia (tidak tergantung dari usianya). Jika
113

pekerja berusia tua atau lebih dari 30 tahun, mereka terkena dermatitis

kontak belum tentu dikarenakan lamanya usia mereka berkecimpung dalam

membuat tahu. Tetapi kemungkinan pekerja berusia tua tersebut mengalami

dermatitis kontak karena mereka mempunyai riwayat atopi, riwayat alergi

ataupun riwayat penyakit kulit.

6.3.6 Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Dermatitis Kontak

Variabel riwayat penyakit kulit diketahui dengan cara pengisian

kuesioner oleh responden. Riwayat penyakit kulit sebelumnya merupakan

riwayat peradangan pada kulit dengan gejala subyektif berupa gatal, rasa

terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit

mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau

kelainan kulit lainnya yang sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh

pekerja.

Pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit non occupational

cenderung lebih mudah mendapat occupational dermatoses, seperti pekerja-

pekerja dengan acne yang bekerja terpapar dengan cutting oil dan ter sering

menderita dermatitis. Pekerja dengan riwayat atopic dermatitis bila bekerja di

lingkungan panas atau terpapar debu kimia dan pengaruh faktor psikis, akan

kambuh dalam stadium yang lebih berat. Karyawan dengan psoriasis atau

dermatitis kronik akan menjadi lebih berat bila tempat lesi dikenai bahan

kimia atau terjadi penekanan. Pekerja dengan hyperhidrosis mudah mendapat


114

penyakit kulit bila kontak dengan bahan yang larut dalam air. (Ganong, 2006

dalam Ernasari, 2012).

Variabel riwayat penyakit kulit diketahui dengan cara pengisian

kuesioner. Pada tabel 5.3 diketahui bahwa responden yang memiliki riwayat

penyakit kulit adalah sebanyak 32 orang (45,1 %) dan yang tidak memiliki

riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 39 orang (54,9 %). Hasil analisis

bivariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang mengalami

dermatitis dan memiliki riwayat penyakit kulit sebanyak 22 orang (68,8%)

dan responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak memiliki riwayat

penyakit kulit adalah sebanyak 10 orang (31,3%).

Dari hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,021. Maka dapat

disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara

riwayat penyakit kulit dengan dermatitis kontak pada pekerja pembuat tahu di

wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan hubungan

ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 3,520. Artinya adalah risiko

responden yang mempunyai riwayat penyakit kulit untuk terkena dermatitis

kontak adalah 3,52 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki

riwayat penyakit kulit.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Lestari (2007) yang menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat dermatitis

pada pekerjaan sebelumnya sebanyak 9 orang (81,8%) dari 11 orang pekerja.

Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat dermatitis akibat pekerjaan


115

sebelumnya sebanyak 30 orang (43,5%) terkena dermatitis dari 69 orang

pekerja. Uji statistik yang dilakukan untuk meilhat perbedaan proporsi

kejadian dermatitis kontak antara pekerja yang memiliki riwayat dermatitis

kontak akibat pekerjaan sebelumnya dengan yang tidak, menunjukan

perbedaan proporsi yang bermakna dengan pvalue 0,042.

Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian dari Cahyawati (2011)

yang menyebutkan bahwa faktor riwayat penyakit kulit menjadi faktor yang

berhubungan dengan kejadian dermatitis, dengan pvalue 0,006. Pada

penelitian tersebut, sebagian besar responden yang memiliki riwayat penyakit

kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Proporsi pekerja yang

mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebesar 90% dan

pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat penyakit

kulit sebesar 10%.

Pekerja pembuat tahu banyak mengeluhkan bahwa mereka merasakan

gatal, rasa terbakar, perih, kemerahan, pembentukan lepuh kecil pada kulit,

dan penebalan pada kulit pada bagian telapak tangan, lengan, dan kaki.

Beberapa juga pernah mengalami perandangan kulit dibagian punggung.

Pekerja mengaku mengobati perandangan yang ada pada kulitnya dengan

salep atau bedak untuk mengurangi gejala yang mereka rasakan. Kejadian

dermatitis kontak yang di alami oleh para pembuat tahu kemungkinan dipicu

oleh penyakit kulit yang sebelumnya pernah diderita. Saat pengobatan yang

dilakukan tidak tuntas, maka kulit yang terdapat luka terbuka akan
116

memudahkan bahan kimia masuk ke dalam kulit dan menyebabkan dermatitis

atau bahkan memperparah dermatitis tersebut. Sehingga sebaiknya pekerja

diharapkan meningkatkan kesadarannya terhadap penyakit kulit yang diderita

dan juga mengenai dermatitis kontak. Sehingga pekerja dapat mengurangi

potensi terkena dermatitis kontak. Sebaiknya jika pekerja mempunyai

penyakit kulit, pekerja harus melakukan pengobatan terhadap penyakit kulit

tersebut sampai sembuh.

Sebaiknya pekerja selalu menjaga kebersihan diri dengan mencuci

tangan yang baik dan benar. Benar dalam arti tahapan mencuci tangan dan

baik dalam artian bahan yang digunakan untuk mencuci tangan. Sebaiknya

bagi pekerja pembuat tahu yang memiliki penyakit kulit khususnya memakai

alat pelindung diri seperti sarung tangan yang panjangnya sampai lengan,

sepatu boots dan pakaian kerja yang menutupi seluruh badan tetapi tetap

nyaman dipakai. Dikhawatirkan jika sedang mengalami penyakit kulit lain

lalu tidak memakai alat pelindung diri yang memadai, penyakit kulit yang di

derita akan semakin parah.

6.3.7 Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak

Seseorang yang memiliki riwayat atopi lebih rentan terhadap efek

iritasi zat iritan (Partogi, 2008). Variabel riwayat atopi diketahui dengan cara

pengisian kuesioner oleh responden dan pengisiannya didampingi oleh

peneliti. Riwayat atopi dilihat dari penyakit pada pekerja berdasarkan


117

kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti asma,

rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergi.

Riwayat atopi dapat dilihat distribusinya dalam tabel 5.3. Responden

yang memiliki riwayat atopi sebanyak 28 orang (39,4 %) dan yang tidak

memiliki riwayat atopi sebanyak 43 orang (60,6 %). Berdasarkan tabel 5.5,

diperoleh bahwa responden yang mengalami dermatitis dan memiliki riwayat

atopi sebanyak 22 orang (78,6%) dan responden yang mengalami dermatitis

tetapi tidak memiliki riwayat atopi adalah sebanyak 15 orang (34,9 %). Dari

hasil uji statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,001.

Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat hubungan

yang bermakna antara riwayat atopi dengan dermatitis kontak pada pekerja

pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis keeratan

hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 6,844. Artinya adalah

risiko responden yang mempunyai riwayat penyakit kulit untuk terkena

dermatitis kontak adalah 6,844 kali dibandingkan dengan responden yang

tidak memiliki riwayat atopi. Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan

dengan nilai Odds Ratio sebesar 6,844. Artinya adalah risiko responden yang

mempunyai riwayat penyakit kulit untuk terkena dermatitis kontak adalah

6,844 kali dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat atopi.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rystedt

(1985), Bryld et.al (2003) dan Nilsson & Black (1986) dalam Agner & Menne

(2006) menunjukkan secara komprehensif bahwa riwayat atopi sangat


118

mempunyai arti penting bagi pengembangan dermatitis iritasi di tangan.

Dalam eksperimen studi TEWL yang telah dilaporkan pasien dengan atopik

dermatitis dilaporkan bereaksi lebih parah terhadap iritasi dari kontrol yang

sehat.

Penelitian yang dilakukan oleh Agner & Menne (2006) menunjukkan

bahwa pasien dengan dermatitis atopi dilaporkan telah beraksi lebih cepat

dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Tetapi abnormalitas yang ada pada

pasien dengan dermatitis atopi tidak ditemukan pada pasien dengan atopi di

saluran nafas (respiratory atopy) yang tidak menderita dermatitis atopi.

Coenraads et.al (2006) dalam Agner & Menne (2006) juga menyebutkan

bahwa fakta yang terkumpul dari dahulu sampai saat ini adalah riwayat

dermatitis atopi adalah faktor risiko terhadap dermatitis kontak iritan. Studi

terdahulu menyebutkan bahwa atopi hampir tiga kali lebih besar pada

penderita dermatitis di tangan pada populasi umum atau kontrol yang sehat.

Lalu belakangan ini diketahui bahwa dermatitis atopi berhubungan erat

dengan dermatitis kontak iritan, bukan dengan dermatitis kontak alergi.

Sehingga hasil penelitian ini sejalan dengan hal yang diungkapkan oleh Agner

& Menne (2006) dan Coenraads, et.al (2006) tersebut.

Riwayat atopi memang tidak dapat langsung dihilangkan karena

berhubungan dengan keturunan seseorang. Oleh karena itu pekerja diharapkan

meningkatkan kesadaran mengenai penyakit akibat kerja terutama dermatitis

kontak. Pekerja juga sebaiknya menjaga kebersihan tubuh khususnya dalam


119

mencuci tangan. Lakukan proses cuci tangan yang baik dengan memakai air

mengalir dan sabun dan juga melakukan tahapan cuci tangan dengan benar.

Untuk mendukung cuci tangan yang baik dan benar tersebut sebaiknya

pemilik pabrik menyediakan wastafel untuk sarana mencuci tangan.

Pemakaian alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu boots juga

memakai baju kerja yang menutupi seluruh bagian tubuh juga diperlukan.

Tentunya dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan pekerja sehingga

tidak mengganggu pekerjaannya.

6.3.8 Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak

Djuanda (2007) menyebutkan bahwa dalam melakukan diagnosis

dermatitis kontak akibat kerja dapat dilakukan dengan berbagai cara

diantaranya dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat keluarga,

aspek pekerjaan atau tempat kerja, riwayat alergi terhadap makanan atau obat-

obatan tertentu, dan riwayat penyakit sebelumnya. Pekerja yang sebelumnya

atau sedang menderita penyakit kulit atau memiliki riwayat alergi akan lebih

mudah mendapat dermatitis akibat kerja, karena fungsi perlindungan kulit

sudah berkurang akibat dari penyakit kulit sebelumnya. Fungsi perlindungan

yang dapat menurun antara lain hilangnya lapisan kulit, rusaknya saliuran

kelenjar keringat dan kelenjar minyak serta perubahan pH kulit.

Variabel riwayat alergi diketahui dengan cara pengisian kuesioner oleh

responden dan pengisiannya didampingi oleh peneliti. Riwayat alergi dapat

dilihat distribusinya dalam tabel 5.3. Responden yang memiliki riwayat alergi
120

sebanyak 25 orang (35,2 %) dan yang tidak memiliki riwayat alergi sebanyak

46 orang (64,8 %).

Berdasarkan tabel 5.5, diperoleh bahwa responden yang mengalami

dermatitis dan memiliki riwayat alergi sebanyak 19 orang (76%) dan

responden yang mengalami dermatitis tetapi tidak memiliki riwayat alergi

adalah sebanyak 18 orang (39,1%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai

pvalue sebesar 0,006. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% terdapat

hubungan yang bermakna antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak pada

pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur. Hasil analisis

keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio sebesar 4,926.

Artinya adalah risiko responden yang mempunyai riwayat alergi untuk terkena

dermatitis kontak adalah 4,926 kali dibandingkan dengan responden yang

tidak memiliki riwayat alergi.

Riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan

kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Cahyawati (2011) yang menunjukkan bahwa adanya

hubungan antara faktor riwayat alergi dengan kejadian penyakit dermatitis

pada nelayan (p value=0,018) dengan proporsi nelayan yang memiliki riwayat

alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang (50%) dan nelayan yang

tidak memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang

(50%).
121

Alergi yang banyak di derita oleh para pekerja pembuat tahu adalah

alergi terhadap makanan seperti ikan dan udang. Lokasi alergi kebanyakan

terdapat pada lengan dan paha. Saat terpapar alergen pekerja mengeluhkan

bengkak, rasa gatal dan merah pada kulit. Kebanyakan dari mereka tidak

melakukan pengobatan terhadap alergi tersebut. Mereka hanya menghindari

memakan makanan yang mengandung alergen atau menghindari keterpaparan

terhadap alergen. Pada pekerja yang menderita alergi sebaiknya menghindari

bahan-bahan atau zat yang menjadi alergen pada tubuh dan sebaiknya jika

terjadi reaksi alergi segera diobati dan berkonsultasi dengan dokter.

Selain itu pekerja diharapkan meningkatkan kesadarannya terhadap

alergi yang diderita dan juga mengenai dermatitis kontak. Sehingga pekerja

dapat mengurangi potensi terkena dermatitis kontak. Pemakaian alat

pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu boots juga memakai baju kerja

yang menutupi seluruh bagian tubuh adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan.

Aspek kenyamanan pekerja dalam pemakaian APD tentunya harus

diperhatikan agar tidak mengganggu pekerjaannya.

6.3.9 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak

Menurut Suma’mur (1996), semakin lama seseorang dalam bekerja

maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh

lingkungan kerjanya. Pada tabel 5.2 dapat dilihat bahwa rata-rata masa kerja

responden adalah 11,49 tahun (11 tahun 9 bulan) dengan standar deviasi

10,44. Responden ada yang bekerja belum genap satu tahun sehingga masa
122

kerja minimal adalah 0 tahun dan responden dengan masa kerja terlama yaitu

responden yang sudah bekerja sebagai pembuat tahu selama 42,5 tahun (42

tahun 6 bulan).

Dari hasil tabel 5.4 dapat diketahui bahwa rata-rata masa kerja

responden yang menderita dermatitis kontak adalah 33,78 tahun. Sedangkan

pada rata-rata masa kerja responden yang tidak menderita dermatitis adalah

38,41 tahun. Nilai pvalue yang lebih dari 0,05 (0,345 > 0,05) menunjukkan

tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak.

Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara masa kerja dengan dermatitis kontak pada pekerja

pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh

Suma’mur (1996), bahwa semakin lama seseorang dalam bekerja maka

semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan

kerjanya. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Erliana

(2008) yang mengungkapkan bahwa adanya hubungan yang bermakna

antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak dengan pvalue sebesar

0,018. Dalam penelitian tersebut juga dapat diketahui bahwa pekerja yang

mengalami dermatitis kontak paling banyak adalah pekerja dengan masa

kerja < 6 tahun (61,5%) sedangkan pekerja yang terkena dermatitis kontak

dengan masa kerja > 6 tahun hanya terdapat sebesar 18,8%.


123

Walau pada variabel masa kerja dalam penelitian ini tidak sejalan

dengan hal yang diungkapkan Suma’mur (1996) dan Erliana (2008), tetapi

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Situmeang

(2008). Dimana di dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa 12 orang

pekerja yang menderita dermatitis mempunyai masa kerja < 1 tahun dan

yang menderita dermatitis dengan masa kerja > 2 tahun sebanyak 15 orang.

Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa

kerja dengan dermatitis kontak (pvalue 0.794).

Dalam penelitian ini terlihat bahwa pekerja dengan masa kerja yang

seharusnya tidak berisiko terkena dermatitis kontak atau dengan masa kerja

kurang dari 2 tahun ternyata tetap menderita dermatitis kontak. Hal ini

terjadi kemungkinan dikarenakan oleh adanya faktor lain yang menjadikan

seseorang yang bekerja kurang dari 2 tahun tersebut terkena dermatitis

kontak. Dalam penelitian ini diketahui bahwa dari pekerja dengan masa kerja

kurang dari 2 tahun dan menderita dermatitis kontak ternyata sebanyak 60%

mempunyai riwayat penyakit kulit. Hal ini dikarenakan pekerja yang

sebelumnya atau yang sedang sakit kulit cenderung lebih mudah mendapat

occupational dermatoses seperti dermatitis kontak (Ganong, 2006 dalam

Ernasari, 2012). Selain itu, pekerja yang sebelumnya sedang menderita

penyakit kulit atau memiliki riwayat alergi akan lebih mudah mendapat

dermatitis kontak akibat kerja, karena fungsi perlindungan kulit sudah

berkurang akibat dari penyakit kulit sebelumnya (Djuanda, 2007).


124

Sebanyak 60% pekerja dengan masa kerja kurang dari 2 tahun dan

menderita dermatitis kontak ternyata bekerja pada bagian penyaringan.

Seperti diketahui sebelumnya bahwa bagian penyaringan memiliki hubungan

dengan kejadian dermatitis kontak (pvalue = 0,001). Selain itu juga telah

diketahui bahwa dari hasil penelitian yang didapatkan oleh Kusriastuti

(1992) pada pembuat tahu di wilayah Utan Kayu yang menunjukkan bahwa

pekerja dibagian penyaringan mempunyai peluang risiko 6,21 kali lebih

besar daripada pekerja dibagian lain untuk terkena dermatitis kontak.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa masa kerja tidak berhubungan dengan

dermatitis dikarenakan adanya dominasi dari faktor lain yaitu riwayat

penyakit kulit yang diderita pekerja dan jenis pekerjaan pada pekerja

tersebut.

6.3.10 Hubungan Antara Jenis Pekerjaan dengan Dermatitis Kontak

Data jenis pekerjaan diperoleh dengan cara pengisian kuesioner

oleh responden. Distribusinya dapat dilihat pada tabel 5.3. Responden yang

bekerja pada semua bagian sebanyak 27 orang (38%), bagian penyaringan

sebanyak 16 orang (22,5%), bagian penggorengan sebanyak 4 orang (

5,6%), bagian pencetakan sebanyak 11 orang (15,5%), bagian pemotongan

sebanyak 5 orang (7%), bagian penggilingan sebanyak 4 orang ( 5,6%), dan

bagian pengepakan sebanyak 4 orang ( 5,6%).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, responden yang mengalami

dermatitis pada bagian penyaringan yaitu sebanyak 30 orang (69,8%), pada


125

bagian lainnya sebanyak 7 orang (25%). Dari hasil uji statistik diperoleh

nilai pvalue sebesar 0,001. Maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5%

terdapat hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan dermatitis

kontak pada pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur.

Hasil analisis keeratan hubungan ditunjukkan dengan nilai Odds Ratio

sebesar 6,923. Artinya adalah risiko responden yang bekerja pada bagian

penyaringan untuk terkena dermatitis kontak adalah 6,923 kali

dibandingkan dengan responden yang bekerja pada bagian lainnya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh

Lestari (2007) bahwa terdapat perbedaan jumlah pekerja yang mengalami

dermatittis kontak berdasarkan jenis pekerjaannya. Selain itu, hasil

penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh

Kusriastuti (1992) pada pembuat tahu di wilayah Utan Kayu. Dalam

penelitian tersebut didapatkan pvalue sebesar 0,000 dan OR 6,21 (2,41-

16,35), dimana artinya terdapat hubungan antara jenis pekerjaan dengan

dermatitis kontak. Nilai OR pada analisis antara jenis pekerjaan dan

dermatitis kontak mempunyai arti bahwa pekerja dibagian penyaringan

mempunyai peluang risiko 6,21 kali lebih besar daripada pekerja dibagian

lain untuk terkena dermatitis kontak.

Proses pekerjaan pada bagian penyaringan memang bersentuhan

langsung dengan larutan penggumpal tahu. Dimulai dari merebus bubur

kedelai hasil penggilingan, mencampurkan hasil rebusan dengan larutan


126

penggumpal dan diakhiri dengan menyaring hasil penggumpalan. Dari

tahapan tersebut dapat dikatakan bahwa bagian penyaringan berisiko untuk

terkena dermatitis kontak kemungkinan dikarenakan terpapar oleh larutan

penggumpal yang bersifat asam dan di dukung oleh paparan air yang cukup

panas saat mencampurkan larutan penggumpal dengan bubur kedelai hasil

rebusan.

Terkait dengan hasil tersebut, maka sebaiknya seperti yang telah

disarankan sebelumnya bahwa larutan penggumpal dapat di ganti dengan

bahan lain yang terbuat dari Nigarin. Pemakaian mesin pengaduk dan mesin

penyaring juga dapat mengurangi keterpaparan bahan penggumpal yang

bersifat asam tersebut. Selain itu pekerja diharapkan untuk tetap

menggunakan alat pelindung diri berupa sarung tangan yang panjangnya

sampai lengan dan sepatu boots agar tangan dan kaki tidak langsung

bersentuhan dengan larutan penggumpal dalam proses penyaringan.


BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Gambaran pekerja pembuat tahu di wilayah Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2012 yang menderita dermatitis kontak adalah sebanyak 37 orang (52,1%) dan

sebanyak 34 pekerja (47,9%) tidak mengalami dermatitis kontak.

2. Gambaran faktor eksternal (lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan

kelembaban) pada pekerja pembuat tahu di wilayah kecamatan Ciputat dan

Ciputat Timur pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:

a. Rata-rata lama kontak adalah 1,59 jam/hari (1 jam 35 menit/hari) dengan

standar deviasi 1,409, lama kontak minimum 0 jam/hari dan maksimum 4

jam/hari.

b. Rata-rata frekuensi kontak adalah 9 kali/hari dengan standar deviasi

8,166. Frekuensi kontak minimum 0 kali/hari dan maksimum 25 kali/hari.

c. Suhu ruangan rata-rata saat responden bekerja adalah 35,13 °C, dengan

standar deviasi 0.816. Suhu ruangan minimum adalah 33.50°C dan suhu

ruangan maksimum adalah 37 °C.

127
128

d. Kelembaban ruangan rata-rata saat responden bekerja adalah 51.85%,

dengan standar deviasi 4.423. Kelembaban ruangan minimum adalah

46% dan kelembaban ruangan maksimum adalah 60 %.

3. Gambaran gambaran faktor internal (usia, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi,

riwayat alergi, masa kerja, jenis pekerjaan) pada pekerja pembuat tahu di wilayah

kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:

a. Rata-rata usia responden adalah 33 tahun, usia termuda adalah 17 tahun,

sedangkan usia pekerja tertua adalah 72 tahun dan jumlah usia yang

paling banyak pada pekerja pembuat tahu adalah 31 tahun. Standar

deviasi dari variabel usia adalah 11,59.

b. Responden yang memiliki riwayat penyakit kulit adalah sebanyak 32

orang (45,1 %) dan yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit adalah

sebanyak 39 orang (54,9 %).

c. Responden yang memiliki riwayat atopi sebanyak 28 orang (39,4 %) dan

yang tidak memiliki riwayat atopi sebanyak 43 orang (60,6 %).

d. Responden yang memiliki riwayat alergi sebanyak 25 orang (35,2 %)

dan yang tidak memiliki riwayat alergi sebanyak 46 orang (64,8 %).

e. Rata-rata masa kerja responden adalah 11,49 tahun (11 tahun 9 bulan)

dengan standar deviasi 10,44. Responden ada yang bekerja belum genap

satu tahun sehingga masa kerja minimal adalah 0 tahun dan responden

dengan masa kerja terlama yaitu responden yang sudah bekerja sebagai

pembuat tahu selama 42,5 tahun (42 tahun 6 bulan).


129

f. Responden yang bekerja pada semua bagian sebanyak 27 orang (38%),

bagian penyaringan sebanyak 16 orang (22,5%), bagian penggorengan

sebanyak 4 orang ( 5,6%), bagian pencetakan sebanyak 11 orang

(15,5%), bagian pemotongan sebanyak 5 orang (7%), bagian

penggilingan sebanyak 4 orang ( 5,6%), dan bagian pengepakan sebanyak

4 orang ( 5,6%).

4. Faktor eksternal yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah

lama kontak dengan pvalue 0.001, frekuensi kontak dengan pvalue 0.001, suhu

dengan pvalue 0.000. Sedangkan kelembaban tidak berhubungan dengan

dermatitis kontak yaitu dengan pvalue 0.319.

5. Faktor internal yang berhubungan dengan dermatitis kontak adalah riwayat

penyakit kulit dengan pvalue 0,021 , riwayat atopi dengan pvalue 0.001, riwayat

alergi dengan pvalue 0.006, dan jenis pekerjaan dengan pvalue 0.001. Sedangkan

faktor internal yang tidak berhubungan dengan dermatitis kontak adalah usia

dengan pvalue 0.162 dan masa kerja dengan pvalue 0.345.


130

7.2 Saran

7.2.1 Saran Bagi Pekerja

1. Pekerja diharapkan meningkatkan kesadarannya terhadap penyakit kulit

yang diderita dan juga mengenai dermatitis kontak. Sehingga pekerja dapat

mengurangi potensi terkena dermatitis kontak.

2. Pada pekerja yang menderita alergi sebaiknya menghindari bahan-bahan

atau zat yang menjadi alergen pada tubuh dan sebaiknya jika terjadi reaksi

alergi segera diobati dan berkonsultasi dengan dokter.

3. Sebaiknya jika pekerja mempunyai penyakit kulit, pekerja harus

melakukan pengobatan terhadap penyakit kulit tersebut sampai sembuh.

4. Menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan yang baik dan benar. Baik

dalam arti tahapan mencuci tangan dan bahan yang digunakan untuk

mencuci tangan.

5. Sebaiknya sebelum bekerja, pembuat tahu di pabrik tahu menggunakan

lotion kulit yang dapat menjaga kelembaban kulit. Setelah memakai lotion,

gunakan APD berupa sarung tangan. Lotion juga dapat dipakai ketika telah

selesai bekerja.

6. Memakai alat pelindung diri berupa sarung tangan yang menutupi sampai

bagian lengan dan baju kerja yang menutupi seluruh bagian tubuh. Baju

kerja yang digunakan haruslah yang nyaman karena suhu ruangan di pabrik

tahu sangat panas. Sepatu boots juga harus dipakai saat bekerja dan dijaga

kebersihannya.
131

7.2.2 Saran Bagi Pemilik Pabrik

1. Sebaiknya mengganti bahan penggumpal tahu dengan Nigarin yang terbuat

dari sari air laut. Sisa air nigarin mempunyai pH netral, tidak menyebabkan

dermatitis, bahkan dapat diminum.

2. Sebaiknya pabrik tahu menggunakan mesin pengaduk dan penyaring

mekanik agar tidak sepenuhnya menggunakan tenaga manusia sehingga

paparan terhadap larutan penggumpal dapat berkurang.

3. Sebaiknya pemilik pabrik tahu menyediakan wadah yang lebih besar untuk

bak penyaringan. Jika menggunakan wadah penyaringan yang lebih besar,

frekuensi melakukan penyaringan dapat dikurangi dan itu akan mengurangi

frekuensi pekerja dalam berkontak dengan bahan penggumpal saat tahapan

penyaringan.

4. Sebaiknya pada ruangan pabrik tahu diberikan sirkulasi udara yang memadai

untuk mengurangi suhu di dalam ruangan yang amat panas. Ruangan dapat

diberikan ventilasi seperti jendela yang lebar dan local exhaust agar sirkulasi

udara didalam ruangan lancar.

5. Sebaiknya untuk dapur diberikan ruangan khusus yang terpisah dari ruang

produksi agar asap dan uap panas yang dihasilkan oleh kompor tidak

menyebar ke seluruh ruangan.


132

7.2.3 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya

1. Dalam penelitian selanjutnya, sebaiknya diagnosa dermatitis kontak

dilakukan dengan uji tempel agar hasilnya lebih akurat.


DAFTAR PUSTAKA

Agius, R., Seaton Anthony. Practical Occupational Medicine. United Kingdom :

Edward Arnold Ltd. 2005

Agner, Tove, Torkil Menne. Individual Predisposition to Irritant and Allergic Contact

Dermatitis. Handbook Contact Dermatitis 4th Edition. 2006

American Academy of Dermatology. Heat, Humidity, and emotions: Possible Triggers

for Atopic Dermatitis. 2010. Available:

www.skincarephysicians.com/eczemanet/heat_humidity.html

Ariawiyana, Febby. Tahu tanpa Cuka, Tahu Nigarin. 2012. [cited: 6 September 2012.

14.42 WIB] available: http://m.

Kompasiana.com/post/wirausaha/2012/08/23/tahu-tanpa-cuka-tahu-nigarin

Azizah, Utiya. Hubungan Tingkat Keasaman dengan pH. 2010 . Available:

http://www.chem-istry.org/materi_kimia/kimia_dasar/asam_dan_basa/hubungan-

tingkat-keasaman-dengan-ph/

Balaban, Naomi E, Bobick, James E. Anatomy Q&A The Handy Anatomy Answer Book.

Visible Ink Press. 2008 . Available: www.handyanswers.com

Budimulja, U., Ilmu Penyakit Kelamin. FKUI. Jakarta: 2008

Cahyawati, Imma Nur. Irwan Budiono. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Dermatitis Pada Nelayan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri

Semarang. 2011.

133
134

Cohen, DE. Occupational Dermatoses In: Di Berardinis LJ, editors. Handbook of

Occupational Safety and Health Second Edition. Canada: John Wiley & Sons Inc.

1999.

Diepgen, TL., Coenraads, PJ. The Epidemiology Of Occupational Contact Dermatitis.

International Archives of Occupational and Environmental Health .Volume 72,

Number 8, 1999.

Dinas Kesehatan Sulawesi Utara. Upaya Kesehatan Kerja Bagi Perajin (Kulit, Mebel,

Aki Bekas, Tahu & Tempe, Batik). [cited: 2012 June]. Available: http://dinkes

sulsel.go.id/new/images/pdf/pedoman/pedoman%20upaya%20yankes%20perajin.

pdf

Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FKUI. Jakarta: 1999.

Effendi. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja.Haji Masagung, Jakarta: 2007

Erliana. Hubungan Karakteristik Individu Dan Penggunaan Alat Pelindung Diri Dengan

Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Paving Block CV. F. Lhoksemawe

Tahun 2008. Tesis. Universitas Sumatera Utara. 2008.

Ernasari, Pengaruh Penyuluhan Dermatitis Kontak Terhadap Pengetahuan Dan Sikap

Perajin Tahu Di Kelurahan Mabar Kecamatan Medan Deli Tahun 2011. Tesis.

Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,

Universitas Sumatera Utara, Medan. 2012.


135

Fredickson, Andrew. Kajian Potensi Asetat, Natrium benzoat, dan kalium sorbet

sebagai pengawet pada tahu. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. 2012

Harahap,M, Penyakit Kulit, Penerbit PT Gramedia, Jakarta: 1990.

Haryoga, I Made. Sakit kulit karena pekerjaan bagian II. 2009. Available :

http://imadeharyoga.com/2009/01/sakit-kulit-karena-pekerjaan-bagian-ii/

Hudyono, J. Dermatitis Akibat Kerja. Majalah kedokteran Indonesia. 2002.

Keefner, DM, Curry CE. Contact Dermatitis in Handbook of Nonprescription Drugs 12

edition, APHA, Washington DC. 2004

Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 22 tahun 1993. Penyakit Yang Timbul

Karena Hubungan Kerja.

Koswara, Sutrisno. Teknologi Pengolahan Kedelai: Menjadikan Makanan Bermutu.

Pustaka Sinar Harapan. Jakarta: 1992.

Kusriastuti, Rita. Dermatitis Pada Industri Tahu kelurahan Utan Kayu. Fakultas

Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia: 1992.

Lestari, Fatma, Utomo HS. Faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak

pada pekerja di PT. Inti Pantja Press Industri. Departemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja. FKM UI. 2007


136

, dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak

Pada Pekerja Yang Terpajan Dengan Bahan Kimia Di Perusahaan Industri

Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Makara, Kesehatan, Vol. 12,

No. 2, Desember 2008: 63-70.

Lingga, Ira Nola. Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian dermatitis kontak

pada pekerja di Perusahaan Invar Sin Kawasan Industri Medan. Skripsi :

Universitas Sumatera Utara. 2011

Mutoif, Dorin. Pengenalan Alat-Alat Laboratorium Terapan Dan Rekayasa Hygiene

Perusahaan Dan Keselamatan Kerja ( Hyperkes ). Politeknik Kesehatan

Yogyakarta. 2008

Nielloud, Françoise. Current Galenical Research Challenges In Human Dermatology:

Application For The Development Of Products For Sensitive And Atopic Skin.

Faculté de Pharmacie. Université Montpellier. 2003

Nuraga, Wisnu. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak Pada

Pekerja Yang Terpajan Dengan Bahan Kimia Di PT. Moric Indonesia Tahun

2006. Tesis. Universitas Indonesia. 2006

Partogi, Donna. Dermatitis Kontak Iritan. Universitas Sumatera Utara. 2008


137

Ruhdiat, Rudi. Analisis faktor- faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak akibat

kerja pada pekerja Laboratorium Kimia di PT Sucofindo Area Cibitung Bekasi

Tahun 2006. Tesis : Universitas Indonesia. 2006

Sadzali, Imam. Potensi Limbah Tahu Sebagai Biogas dalam Jurnal UI Untuk Bangsa

Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi. Volume 1, Desember 2010.

Schaefer, Hans, Thomas E. Redelmeier. Skin Barrier : Principles of percutaneous

absorption. Kager. 1996

Sekarningrum, Amba Dini. Kedelai mahal, pengusaha tahu-tempe mogok produksi.

[cited: 2012 July]. Available: www.okezone.com/read/2012/05/10/450/62748

Siregar, RS. Dermatosis Akibat Kerja. SMF Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang. 2009.

Situmeang, Suryani MS. Analisa Dermatitis Kontak Pada Pekerja pencuci Botol di PT.

X Medan tahun 2008. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Tesis.

2008

Suma’mur, PK. Diagnosa Dan Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: 2010.

Available : http://www.jamsostek.co.id/content_file/diagnosa.pdf

Suprapti, M.lies. Pembuatan Tahu. Kanisius. Yogyakarta. 2005

Taylor, JS., Amado A. Contact Dermatitis and Related Conditions. USA: 2009.
138

Trihapsoro, Iwan. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Haji

Adam Malik Medan. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003

Widiantoko. Proses Pembuatan Tahu. [cited: 2012 July]. Available:

http://lordbroken.wordpress.com/2010/07/16/proses-pembuatan-tahu/

Wolff, Klause, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis Of Clinical

Dermatology Fifth Edition. The McGraw-Hill Companies. 2007.

Yusfinah, dkk. Dermatitis Kontak Alergi Karena Cat Rambut. Majalah Kedokteran

Nusantara Volume 4. 2008


No Responden Tanggal

KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS


KONTAK PADA PEKERJA PEMBUAT TAHU DI WILAYAH KECAMATAN
CIPUTAT DAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012

INFORMED CONSENT

Assalamualaikum Wr. Wb

Saya Riska Ferdian, mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan K3 Universitas Islam


Negeri Jakarta. Saat ini saya sedang melakukan pengumpulan data mengenai keluhan
kesehatan yang saudara rasakan saat bekerja, dimana pengumpulan data ini adalah sebagai
salah satu bahan dalam penyusunan tugas akhir (skripsi). Semua data dan informasi yang
saudara berikan akan dijaga kerahasiaannya dan kuesioner ini akan dimusnahkan apabila
sudah tidak digunakan lagi. Atas perhatian dan kerjasama saudara saya ucapkan terima
kasih.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Apakah saudara bersedia?

(lingkari pada jawaban) Ya

Tidak

Tanda Tangan
Identitas Responden
Nama :
Alamat :
No. Telp./Hp :
No Pertanyaan Kode
A Lama Kontak
A1 Pernahkah anda kontak/bersentuhan dengan bahan kimia (Asam Cuka Asam cuka
encer / batu tahu / kalsium sulfat, Natrium (sodium) benzoat, Nipagin (para amino
benzoic acid / PABA), Asam propionate)) selama proses pekerjaan anda? [ ]
0. Ya
1. Tidak (langsung ke pertanyaan C1)
A2 Berapa lama anda bersentuhan/kontak dengan bahan kimia tersebut dalam satu
hari? [ ]
…………….jam/hari
B Frekuensi Kontak
B1 Berapa kali anda bersentuhan dengan bahan kimia tersebut dalam 1 hari?
[ ]
………………x/hari
C Usia
C1 Pada tanggal, bulan, dan tahun berapa anda lahir?
[ ]
Tanggal…….., bulan…………………., tahun…………
D Riwayat Atopi
D1 Apakah anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat keturunan seperti
asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi?
[ ]
0. Ya
1. Tidak
D2 Apakah salah satu keluarga anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat
keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi?
[ ]
0. Ya
1. Tidak
E Riwayat Penyakit Kulit
E1 Apakah sebelumnya anda pernah mengalami penyakit/peradangan pada kulit?
0. Ya [ ]
1. Tidak (langsung ke pertanyaan F1)
E2 Pada bagian mana anda mengalami penyakit kulit tersebut?
a. Telapak tangan ( )
b. Punggung tangan ( )
c. Lengan tangan ( )
d. Sela jari tangan ( )
[ ]
e. Wajah ( )
f. Leher ( )
g. Punggung ( )
h. Kaki ( )
i. Lainnya ……………………….
E3 Bagaimana tanda dan gejala penyakit/peradangan kulit yang pernah anda alami?
(jawaban boleh lebih dari satu)
a. Gatal ( )
b. Rasa terbakar ( )
c. Kemerahan ( )
d. Bengkak ( )
[ ]
e. Lepuh kecil pada kulit ( )
f. Kulit mengelupas ( )
g. Kulit kering ( )
h. Kulit bersisik ( )
i. Penebalan pada kulit ( )
j. Lainnya.............
E4 Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut?
a. Tidak melakukan pengobatan
[ ]
b. Melakukan pengobatan
Alasan : …………………………………………………..
F Riwayat Alergi
F1 Apakah anda pernah mengalami alergi pada kulit?
0. Ya
[ ]
1. Tidak (langsung ke pertanyaan G1)

F2 Apakah penyebab alergi tersebut? (Jawaban Boleh lebih dari satu)


a. Bahan kimia
b. Debu
c. Logam [ ]
d. Tanaman
e. Obat
f. Lainnya ………………………………….
F3 Pada bagian mana anda mengalami alergi tersebut? (Jawaban Boleh lebih dari satu)
a. Telapak tangan ( )
b. Punggung tangan ( )
c. Lengan tangan ( )
d. Sela jari tangan ( )
[ ]
e. Wajah ( )
f. Leher ( )
g. Punggung ( )
h. Kaki ( )
i. Lainnya ……………………….
F4 Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut?
a. Tidak melakukan pengobatan
b. Melakukan pengobatan
Alasan : …………………………………………………..
[ ]
G Jenis Pekerjaan
G1 Apa tugas atau pekerjaan anda di pabrik tahu ini?
0. Bagian penyaringan
[ ]
1. Bagian pengendapan
2. Bagian Lainnya,......................................
H Masa Kerja
H1 Kapan anda mulai bekerja di pabrik tahu ini?
Bulan……………………, tahun………………….
H2 Apakah sebelumnya anda pernah bekerja di tempat lain?
0. Ya
[ ]
1. Tidak
Jika “tidak” BERHENTI menjawab
H3 Dimana anda bekerja sebelumnya?
a. Pabrik tahu ( ) [ ]
b. Lainnya, sebutkan…………..
H4 Berapa lama anda bekerja ditempat tersebut?
[ ]
………………
H5 Apakah ditempat kerja anda sebelumnya ada kemungkinan anda kontak dengan
bahan kimia?
[ ]
0. Ya
1. Tidak

Hasil Pengukuran Lingkungan Kerja (Diisi oleh peneliti)


I Suhu …….0C
J Kelembaban …….%
Lembar Pemeriksaan Dokter

No. responden:
Nama :
Tanggal :

Anamnesis/Pemeriksaan:

1. Keluhan utama (gejala klinis) :


 Gatal  Kerusakan kuku-kuku jari
 Kemerahan  Infeksi
 Pembengkakan
 Vesikel/bullae
 Kulit kering bersisik
 Fissura (kulit pecah-pecah)
 Exudat (cairan bening / darah)
 Krusta/pengeringan dari krusta
 Lichenifikasi (kulit mengkilap)
 Sidik jari tidak tampak
 Hiperkeratosis (kapalen)
2. Riwayat keluhan :
 Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan : ya/tidak
 Apakah berkurang / hilang bila libur atau tidak kerja : ya/tidak
 Bertambah bila terus menerus bekerja dalam beberapa hari tanpa istirahat :
ya/tidak

K Tipe Kulit
K1 Bagaimana ketebalan kulit yang dimiliki pekerja?
0. Tipis [ ]
1. Tebal
K2 Apakah pekerja mengeluarkan keringat berlebih pada telapak
tangan saat melakukan pekerjaan
0. Tidak
1. Ya
L Hasil Diagnosis Dermatitis Kontak oleh Dokter Kode
L1 0. Dermatitis
[ ]
1. Tidak Dermatitis

146
*Faktor Eksternal
Statistics

usia suhu kelembaban Lama_kontak frekuensi

N Valid 71 71 71 71 71

Missing 0 0 0 0 0

Mean 33.45 35.1380 51.85 1.5915 9.17

Median 32.00 35.3000 52.00 2.0000 11.00

Std. Deviation 11.592 .81615 4.423 1.40994 8.166

Minimum 17 33.50 46 .00 0

Maximum 72 37.00 60 4.00 25

*Faktor Internal

dermatitis

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ya 37 52.1 52.1 52.1

tidak 34 47.9 47.9 100.0

Total 71 100.0 100.0


atopi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ya 28 39.4 39.4 39.4

tidak 43 60.6 60.6 100.0

Total 71 100.0 100.0

riwayat_peny_kulit

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ya 32 45.1 45.1 45.1

tidak 39 54.9 54.9 100.0

Total 71 100.0 100.0

alergi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ya 25 35.2 35.2 35.2

tidak 46 64.8 64.8 100.0

Total 71 100.0 100.0


masa_kerja_tahun

N Valid 71

Missing 0

Mean 11.80

Median 8.00

Std. Deviation 10.444

Minimum 0

Maximum 43

jenis_pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid pemotongan 5 7.0 7.0 7.0

pencetakan 11 15.5 15.5 22.5

pengepakan 4 5.6 5.6 28.2

penggilingan 4 5.6 5.6 33.8

penggorengan 4 5.6 5.6 39.4

penyaringan 16 22.5 22.5 62.0

semua bagian 27 38.0 38.0 100.0

Total 71 100.0 100.0


Crosstabs
riwayat_peny_kulit * dermatitis
Crosstab

dermatitis

ya tidak Total

riwayat_peny_kulit Ya Count 22 10 32

% within riwayat_peny_kulit 68.8% 31.3% 100.0%

Tidak Count 15 24 39

% within riwayat_peny_kulit 38.5% 61.5% 100.0%

Total Count 37 34 71

% within riwayat_peny_kulit 52.1% 47.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square 6.462 1 .011

b
Continuity Correction 5.305 1 .021

Likelihood Ratio 6.581 1 .010

Fisher's Exact Test .017 .010

Linear-by-Linear Association 6.371 1 .012

N of Valid Cases 71

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,32.
Crosstab

dermatitis

ya tidak Total

riwayat_peny_kulit Ya Count 22 10 32

% within riwayat_peny_kulit 68.8% 31.3% 100.0%

Tidak Count 15 24 39

% within riwayat_peny_kulit 38.5% 61.5% 100.0%

Total Count 37 34 71

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for 3.520 1.311 9.448


riwayat_peny_kulit (ya /
tidak)

For cohort dermatitis = ya 1.788 1.128 2.833

For cohort dermatitis = tidak .508 .287 .899

N of Valid Cases 71

atopi * dermatitis
Crosstab

dermatitis

ya tidak Total

atopi ya Count 22 6 28

% within atopi 78.6% 21.4% 100.0%

tidak Count 15 28 43

% within atopi 34.9% 65.1% 100.0%

Total Count 37 34 71

% within atopi 52.1% 47.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square 12.969 1 .000

b
Continuity Correction 11.278 1 .001

Likelihood Ratio 13.585 1 .000

Fisher's Exact Test .001 .000

Linear-by-Linear Association 12.787 1 .000

N of Valid Cases 71

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,41.
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square 12.969 1 .000

b
Continuity Correction 11.278 1 .001

Likelihood Ratio 13.585 1 .000

Fisher's Exact Test .001 .000

Linear-by-Linear Association 12.787 1 .000

N of Valid Cases 71

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,41.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for atopi (ya / 6.844 2.280 20.545


tidak)

For cohort dermatitis = ya 2.252 1.434 3.539

For cohort dermatitis = tidak .329 .157 .691

N of Valid Cases 71
Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

alergi * dermatitis 71 100.0% 0 .0% 71 100.0%

riw_alergi * dermatitis 71 100.0% 0 .0% 71 100.0%

alergi * dermatitis

Crosstab

dermatitis

ya tidak Total

alergi ya Count 19 6 25

% within alergi 76.0% 24.0% 100.0%

tidak Count 18 28 46

% within alergi 39.1% 60.9% 100.0%


Total Count 37 34 71

% within alergi 52.1% 47.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square 8.823 1 .003

b
Continuity Correction 7.407 1 .006

Likelihood Ratio 9.168 1 .002

Fisher's Exact Test .006 .003

Linear-by-Linear Association 8.699 1 .003

N of Valid Cases 71

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,97.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for alergi (ya / 4.926 1.652 14.684


tidak)

For cohort dermatitis = ya 1.942 1.273 2.963

For cohort dermatitis = tidak .394 .189 .822

N of Valid Cases 71

Jenis pekerjaan*dermatitis

pekerjaan * dermatitis Crosstabulation

dermatitis

ya tidak Total

pekerjaan Penyaringan Count 30 13 43

% within pekerjaan 69.8% 30.2% 100.0%

Lainnya Count 7 21 28

% within pekerjaan 25.0% 75.0% 100.0%

Total Count 37 34 71

% within pekerjaan 52.1% 47.9% 100.0%


Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square 13.618 1 .000

b
Continuity Correction 11.884 1 .001

Likelihood Ratio 14.107 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 13.427 1 .000

N of Valid Cases 71

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,41.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for pekerjaan 6.923 2.363 20.281


(penyaringan / Lainnya)

For cohort dermatitis = ya 2.791 1.427 5.459

For cohort dermatitis = tidak .403 .244 .666


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for pekerjaan 6.923 2.363 20.281


(penyaringan / Lainnya)

For cohort dermatitis = ya 2.791 1.427 5.459

For cohort dermatitis = tidak .403 .244 .666

N of Valid Cases 71
Mann-Whitney Test (Untuk Variabel Numerik)
Ranks

dermatitis N Mean Rank Sum of Ranks

usia ya 37 32.72 1210.50

tidak 34 39.57 1345.50

Total 71

masa_kerja_tah ya 37 33.78 1250.00


un
tidak 34 38.41 1306.00

Total 71

suhu ya 37 44.57 1649.00

tidak 34 26.68 907.00

Total 71

kelembaban ya 37 33.68 1246.00

tidak 34 38.53 1310.00

Total 71

Lama_kontak ya 37 43.70 1617.00

tidak 34 27.62 939.00

Total 71

frekuensi ya 37 43.22 1599.00

tidak 34 28.15 957.00


Ranks

dermatitis N Mean Rank Sum of Ranks

usia ya 37 32.72 1210.50

tidak 34 39.57 1345.50

Total 71

masa_kerja_tah ya 37 33.78 1250.00


un
tidak 34 38.41 1306.00

Total 71

suhu ya 37 44.57 1649.00

tidak 34 26.68 907.00

Total 71

kelembaban ya 37 33.68 1246.00

tidak 34 38.53 1310.00

Total 71

Lama_kontak ya 37 43.70 1617.00

tidak 34 27.62 939.00

Total 71

frekuensi ya 37 43.22 1599.00

tidak 34 28.15 957.00

Total 71
a
Test Statistics

masa_kerja_tahu
usia n suhu kelembaban

Mann-Whitney U 507.500 547.000 312.000 543.000

Wilcoxon W 1210.500 1250.000 907.000 1246.000

Z -1.400 -.944 -3.670 -.996

Asymp. Sig. (2-tailed) .162 .345 .000 .319

a. Grouping Variable: dermatitis

a
Test Statistics

Lama_kontak frekuensi

Mann-Whitney U 344.000 362.000

Wilcoxon W 939.000 957.000

Z -3.433 -3.178

Asymp. Sig. (2-tailed) .001 .001

a. Grouping Variable: dermatitis

Anda mungkin juga menyukai