Anda di halaman 1dari 12

Edisi Januari-Februari 2009

Daftar Isi
Titik Toejoe: 1
DKJ Mandul
Tekstorial 2
Mereka Mengusir dan Merampas
Sandjak 4
Jumari HS
E-ssei 5
Globalitas dan Lokalitas dalam
“Membayangkan Indonesia”
E-ssei 9
Hati Bening Hari Hening
Tjerpen 10
Viddy AD Daery
Opini 12
DKJ dan TUK Sangat Takut dengan
boemipoetra

soesoenan Pemred
- Wowok Hesti
Prabowo
redaksi Redaktoer
- Koesprihyanto
Namma
- Mahdi Duri
- Gito Waluyo
- Viddy A Daeri
- Saut Situmorang
- Jumari HS
Perwadjahan
- Idham
Sirkoelasi
- Sang Hyang Buana

Alamat Redaksi:
Jl. Perum Sekneg No.46 Bona Sarana Indah
Kebon Nanas Tangerang, Tlp. 085711200001.
email: boemiputra@yahoo.com

I
NILAH era terburuk sejarah perjalanan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Di
mata seniman Jakarta, DKJ kabinet TUK (karena didominasi orang-orang TUK)
pimpinan Marco adalah “DKJ Mandul” alis dkj-dkj-an alias tak diakui
keberadaannya oleh sebagian besar seniman Jakarta. Akibatnya DKJ hanya menjadi
lembaga yang menghabiskan uang negara/uang rakyat dengan program yang tidak
jelas. Oleh karenanya DKJ menjadi penyumbang terbesar kemerosotan citra Taman
Ismail Marzuki (TIM). Pengurus DKJ periode 2006-2009 pun “takut bergaul” dengan
seniman dan terasing dari seniman di markasnya sendiri (TIM).
Di mata seniman, DKJ sudah terlanjur dianggap sebagai “komunitas kecil”. Lebih
parah lagi DKJ telah menjadi cabang Komunitas Utan Kayu (TUK). Program-pro-
gram yang dibuat DKJ selalu mengacu warna TUK. Sebut saja Binalle TUK yang
digelar di TIM yang kontroversial dengan “pesta bir dan dicopotnya Chavchay dari

Mandul!
wartawan budaya MI karena tulisannya”. Juga rakernas diam-diam Dewan Kesenian
se-Indonesia di hotel mewah Jakarta dan membawa pesertanya ke Salihara!.
Maka wajar kiranya bila kian hari kian banyak seniman yang muak, gelisah, dan
prihatin melihat “rumah seniman” diacak-acak seenak udel oleh pengurusnya. DKJ
adalah milik seluruh seniman (khususnya Jakarta), maka siapa pun seniman berhak
mengetahui sepak terjang pengurusnya dan ke mana arah uang miliaran yang dige-
lontorkan Pemda DKI itu! Bila perlu tangan-tangan KPK turut bekerja.
Kini menjelang berakhirnya kepengurusan “DKJ gang TUK”, Akademi Jakarta
(AJ) tengah menjaring nama-nama seniman untuk dicalonkan jadi pengurus DKJ
periode 2009-2011. Sermoga ini tidak menjadi “penjaringan basa-basi” seperti tiga
tahun silam. Dan semoga gubernur DKI dan para wakil rakyat di DPRD DKI tak
gegabah menggelontorkan uang rakyat miliaran yang pada akhirnya mengalir ke
Salaharah!
Bersatulah seniman Jakarta! Selamatkan DKJ dan TIM dari dominasi kelompok
yang salaharah! Selamatkan uang rakyat!
djoernal sastra
boemipoetra 2
Edisi Januari-Februari 2009

Mereka Mengusir
Kongres kebudayaan Indonesia
2008 diam-diam berlangsung di
dan Merampas
S
Bogor, 10-12 Desember 2008. EBELUMNYA nyaris tak ada kabar bahwa secara diam-diam Dewan Kesenian Jakarta
Peristiwa yang dicanangkan mengundang Dewan Kesenian se-Indonesia untuk rekernas di hotel mewah Sheraton
Media Jakarta, 18-20 Desember 2008, sampai boemipoetra mengendusnya. Banyak
berlangsung lima tahun sekali itu hal aneh dari “rakernas gelap” itu hingga awak boemipoetra bermaksud meliput dan meminta
nyaris tanpa publikasi, baik klarifikasi dari panitia rekernas/DKJ. Misalnya, untuk apa DKJ mengadakan rekernas Dewan
sebelum maupun sesudahnya. Kesenian se-Indonesia sementara Konggres Dewan Kesenian di Papua telah melahirkan
(Kompas, 19 Desember 2008). Dewan Kesenian Indonesia (DKI). Meskipun hingga kini DKI belum sepenuhnya diakui,
lembaga rekernas kesenian “plat merah” ini sarat dengan kepentingan politik pengurus
DKJ dan TUK. Boemipoetra juga tertarik dengan agenda “makan malam” bersama di Salihara
“Diam-diam” maksudnya agar bagi peserta rakernas. mengapa di Salihara dan bukan di markas DKJ di Taman Ismail
yang benar-benar budayawan dam Marzuki? Mengapa pula uang DKJ yang seharusnya menjadi hak seniman Jakarta justru
(tidak ikut)? Bisa jadi agar konsep dihambur-hamburkan, sementara kesenian di Jakarta dibiarkan terbengkelai?
“konggres kebudayaan Barat dalam Awak boemipoetra (Wowok Hesti Prabowo, Saut Situmorang, dan Viddy AD) meluncur
konggres kebudayaan Indonesia” ke acara rakernas di Gunung Sahari. Setelah mengisi buku tamu, Wowok, Saut, Viddy ber-
say-hallo dengan kawan-kawan yang dikenalnya di ruangan itu. Kbetulan pukul 14:00
tidak mudah dibaca? Hahaha.... adalh sesi Ratna Sarumpaet (Ketua DKI) berbicara. Seperti biasa dilayaknya pertemuan
seniman, joernal boemipoetra pun beredar. Di saat peserta rakernas antusias berebut boe-
*** mipoetra itulah tiba-tiba suara keras dan kasar Marco menghentikan pembicaraan Ratna:
“Wowok san Saut, anda tidak kami undang. Silahkan keluar! Apalagi kalian menyebarkan
Stasiun di Jakarta memiliki jurnal fitnah tanpa ijin. Ayo kumpulkan lagi jurnal yang sudah beredar...”
Terjadilah perang mulut yang sangat sengit antara Wowok-Saut vs Marco-DKJ. Wowok
segelintir kawan di militer atau beralasan hadir karena diundang Ratna mewakili DKI. Wowok juga bilang bahwa DKJ
pemerintah. Yang pasti stasiun CIA bukan atasan Dewan Kesenian di daerah. Wowok menggugat kepentingan DKJ mengundang
memiliki agen yang punya posisi Dewan Kesenian se-Indonesia dan membawanya ke Salihara.
baik : Adam Malik, mantan Marxis Berkali-kali Marco bilang kalau boemipoetra jurnal fitnah, sambil merampas joernal boemi-
(penganut aliran Karl Marx) berusia poetra yang sudah ada di tangan peserta rakernas. Wowok meminta Marco menunjukan
tulisan mana yang disebutnya fitnah dan Saut menantang Marco: “Bila menurut kau fitnah,
48 tahun mengabdi sebagai duta bawa saja ke pengadilan!” Marco pun bungkam.
besar Soekarno di Moskow dan Bukan hanya Marco yang berteriak-teriak mengusir awak boemipoetra. Bahkan mereka
menteri perdagangan. sendiri mengancam akan menghentikan acara itu bila Wowok-Saut-Viddy tak keluar ruangan.
Setelah terlibat perseteruan Wowok-Saut-Viddy pun menghadapinya dengan tenang, kemudian duduk di tempat dan
permanen dengan presidennya berunding. Akhirnya karena pukul 15:00 Wowok-Saut-Viddy harus menghadiri diskusi yang
diadakan Radhar Panca Dahana, maka Wowok-Saut-Viddy keluar meninggalkan ruangan.
pada tahun 1964, Malik bertemu Sepanjang perjalanan pulang Wowok-Saut-Viddy pun cekakakan sambil menyadari bahwa
dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, jurnal boemipoetra telah menjadi jurnal yang terlarangh dan ditakuti! Dan kami akan terus
di sebuah tempat rahasia dan menjadikan boemipoetra sebagai mimpi buruk bagi seniman borjuis yang menjual keindo-
aman di Jakarta (Membongkar nesiaan demi kemakmuran pribadi dan kelompoknya! Ah, DKJ-TUK ternyata kerdil, ya?
Kegagalan CIA, hlm 330, Tim Takut dengan jurnal alternativ! Takut dengan pikiran beda! Ya, ya, mengingatkan kita pada
Orba!
Weiner, pemenang Pulitzer.

Wah, wah, wah.... Ada yang


kaget, ada yang pura-pura kaget,
ada yang tersenyum-senyum, ada
yang....
STOP PRESS!!!
INI joernal beroepa Non-profit Oriented Media, dikerdjaken setjara
gotong rojong dan didanai dari oeroenan sastrawan jang pedoeli akan
perkembangan sastra Indonesia.Djadi bagi anda jang ingin
berpartisipasi dan ataoe berlangganan bisa menghoeboengi itoe redaksi.

REDAKSI menerima toelisan (Tjerpen, Sandjak, dan ataoe Essei,


serta Drawing) jang mengandoeng itoe semangat nasionalisme dan anti
imperialisme. Khoesoesnya semangat anti KUK, itoe naskah dikirim
lewat email: boemiputra@yahoo.com, dengan menyertaken gambar
diri. (tiap toelisan jang dimoeat, redaksi beloem bisa menyediaken
honororioem).
djoernal sastra
boemipoetra 3
Edisi Januari-Februari 2009

KETIKA kita membicarakan nasib masa depan kebudayaan Indonesia/kesenian


Indonesia, tak lepas dari peta politik kebudayaan yang justru dikuasai Jakarta.
Maka masa depan DKJ setidaknya akan mempengaruhi konstalasi kesenian di
Indonesia. Dan sesungguhnya kunci wajah DKJ, setidaknya hingga kini, masih
ditentukan oleh AJ. Sayangnya dari 21 seniman anggota AJ hanya sedikit yang
peduli memilih pengurus DKJ. Dari yang sedikit itu, konon Goenawan Mohamad,

Akademi hyperaktif dan dominan mentukan. Lantas di mana Rendra?


Dalam kondisi di mana DKJ kian jauh dari seniman karena dimonopoli kelompok
kepentingan tertentu, maka banyak seniman berharap Rendra Muda tampil

Jakarta, mengimbangi dan menyelamatkan! Rendra yang dulu dikenal dengan sajak-sajak
panfletnya yang garang, mengapa sekarang seakan hilang? Mungkinkah Rendra
tak berkutik menghadapi GM di

di Mana dalam AJ?


Berikut adalah anggota AJ:
Taufik Abdullah, Goenawan

Rendra? Mohamad, H. Misbah Yusa Biran,


AD Piraus, Ahmad Syafii Maarif, Ajip
Rosidi, Amrus Natalsya, Endo Suanda,
Ignas Kleden, Irawati M Sudiro, Mocthar
Pabotinggi, NH Dini, Nano Anwar Ibrahim, Rendra,
Rosihan Anwar, Saini KM, Sardono W Kusumo,
Sitor Situmorang, Slamet Abdul Syukur, Tatiek
Malyati WS, Toeti Heraty N Rooseno.

INILAH cara “aneh” pemilihan pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Pemilihan Pengurus DKJ sangat ditentukan lembaga bernama Akademi Jakarta (AJ). Awalnya
AJ menjaring nama-nama calon pengurus DKJ. Seniman perorangan maupun

Pengurus
komunitas/lembaga seni bisa mengajukan sebanyak-banyaknya tiga nama.
Konon nama-nama yangmasuk, diseleksi. Dan ujung-ujungnya yang menentukan
seseorang bisa jadi pengurus DKJ atau tidak adalh AJ yang terdiri dari 21 orang.

DKJ
Dari sini terlihat tidak ada demokrasi! Betapa tidak, anggota AJ pun bukan
hasil pemilihan seniman secara demokratis. Ini sangat ironi mengingat anggota
AJ selama ini rajin gembar-gembor demokrasi tapi dalam pratiknya justru

Paling tidak
antidemokrasi.
Lain DKJ, lain pula Dewan Kesenian di luar Jakarta. Rata-rata Dewan Kesenian
di luar Jakarta dipilih secara demokratis melalui mubes seniman. Komunitas-

Demoktaris!
komunitas diundang dan memiliki hak memilih dan dipilih. Ada pemilihan secara
langsung atau sistem formatur yang anggota formaturnya dipilih langsung oleh
seniman.
Jadi ternyata daerah lebih demokratis dari Jakarta!

Bara Panas
MASIH ingat konggres Dewan Kesenian se-Indonesia di Papua yang melahirkan
Dewan Kesenian Indonesia (DKI)? Kala itu kehadiran DKI banyak mendapat
tantangan dari banyak seniman karena ditengarai akan menjadi “kendaraan” Ratna
Sarumpaet (yang kala itu Ketua DKJ yang segera berakhir) untuk kursi menteri.

DKI:
Begitulah rumor yang beredar ketika itu. Entah benar atau tidak rumor tersebut,
yang jelas kini Ratna sedang mencalonkan diri jadi Capres.
Hal yang hampir sama terjadi kini, di ujung kepengurusan DKJ, Marco diam-

GM
diam menggelar rakernas Dewan Kesenian se-Indonesia yang konon akan
membentuk DKI lagi. Melihat agenda rakernas yang Salihara centris (peserta

vs
dibawa ke Salihara bukan TIM), naga-naganya TUK lewat Marco menyimpan agenda
terselubung.

Ratna Sarumpaet Maka di masa datang, kita akan disuguhi “pertengkaran kepentingan” DKI. Kita
lihat saja “bara panas” DKI akan melukai siapa! Konon salah satu hasil rakernas
Dewan Kesenian se-Indonesia adalah Pembentukan DKI di Surabaya! Nah lho!
djoernal sastra
boemipoetra 4
Edisi Januari-Februari 2009
Sandjak
Jumari HS

Angin Desember Keringat Berlayar


Angin itu seperti di pucuk-pucuk daun Keringat kami berlayar di lautan
Melabai-lambai, mengajakku memasuki sunyi Tak peduli gelombang, warnanya tak berubah
Hujan yang tak relai menenggelamkan jiwa Bening, tempat ikan-ikan bercermin
Meraba cahaya begitu masa lalu menderu Lalu mengecipakkan cinta
Mungkin ada kekalahan? Kesyahduannya memberi ketentraman
Desember, Keringat kami berenang di sungai
Ada sesal tertangkap yang basah dalam gerimis Tak peduli batu-batu, pekatnya begitu lekat
Menjadikan kegetiranku berenang di sungai waktu Menembangkan kebersamaan dalam jiwa
Jarak muara yang selalu rahasia itu, begitu mendedah Meski arus berusaha memisahkan
Lalu merayap entah Di sini, beribu langkah satu kaki
Bulan ini, puisi getir menyulam waktu dalam usiaku Beribu lambaian satu tangan
Angin itu, kesekian kali mengantarkan desember Keringat kami bergairah di udara
Usiaku menjulai, melumut di perbatasan Terbang seperti burung camar
Terasa detak jam mengiris tubuh yang makin lelah Beratus tahun, membangun gapura berwarna cinta
Aku lunglai memetik cahaya. Tuhan O, keajaiban, sejarahpun tertulis di dinding dunia
Angin desember Keringat kami berlayar
Mengantarku ke sebuah bentara penuh kabut Berlayar mencari yang belum tertemukan!
Aku hanya bisa menghitung angka-angka berdebu
Dalam keheningan air mata! Kudus, 2008
Kudus, 2008

Anakku Menggambar Bendera


Negeri Batu Dengan airmata
Anakku menggambar bendera di tanah
Di negeri batu aku melihat Merahnya lembab oleh kepalsuan
Manusia berkepala salju Putihnya retak oleh kekuasaan
Mereka berjalan tanpa peta Anakku menangis, jiwanya sulit mengibarkan
Mencari Tuhan lewat asap dupa : zaman kehilangan sejarah
Aku merasakan tangis cinta
Di mana-mana Dengan darah
Anakku berusaha menggambar bendera lagi
Di negeri batu aku terperangah Meski yang mampu hanya merah
Dikejar waktu penuh beban Warnanya berkobar menyerupai api
Riuh zaman merajam Menyulut jiwa sendiri hingga mati
Suara kematian melirih : kelam!
Terusir tetabuhan dajjal
Dengan resah
Di negeri batu aku sulit mengenal Anakku menggambar bendera sejadi-jadinya
Tentang dirimu Dengan bayang-bayang
Entah manusia entah binatang Dengan tangan gemetar
Bicara tanpa makna Dengan mata nanar
Berpakaian setengah telanjang : negerinya hilang
Berteman menusuk belakang
Berjalan sebelah tanpa menatap Kudus, 2008
Tanpa menyapa

Di negeri batu aku belum melihat siapa-siapa


Kecuali air mata dan darah yang sia-sia

Kudus, 2006

Jumari HS, lahir di Kudus, 24 November 1965. Karya-karya puisinya


banyak bertebaran di berbagai media massa. Penyair ini sekarang
Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kudus, pengurus Keluarga
Penulis Kudus (KPK), ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Ku-
dus, Pergerakan Sastra Buruh di Kudus, ketua Teater Djarum Ku-
dus. Pernah menjadi wartawan lokal Muria Pos. Kini ia sebagai
karyawan di perusahaan rokok terbesar di Kudus.
djoernal sastra

E-ssei boemipoetra 5
Edisi Januari-Februari 2009

A
DALAH studi terkenal dari
Indonesianis asal Universitas
Cornell, Amerika Serikat, Ben-
(edict) Anderson tentang nasionalisme yang
membuat kita sadar bahwa konsep “nasio-
nalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit
biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah
realitas yang diciptakan oleh imajinasi di da-
lam kepala – sesuatu yang dibayangkan, se-
buah konstruk kultural. Atau dalam definisi
Hugh Seton-Watson yang dikutip Anderson
dalam bukunya Imagined Communities di-
maksud: “. . . [Sebuah] bangsa eksis ketika
sejumlah penting anggota sebuah komuni-
tas menganggap diri mereka membentuk se-
buah bangsa, atau berlaku seakan-akan me-
reka membentuk sebuah bangsa” [italic sa-
ya]. Mengikuti anjuran Anderson, kita bisa
menerjemahkan “menganggap diri mereka”
sebagai “membayangkan diri mereka” pada
kutipan di atas.
Apa yang tentu saja masih bisa diperta-
nyakan lagi tentang definisi “bangsa” seba-
gai “sebuah komunitas politik yang diba-
yangkan” itu adalah soal “siapakah” yang
melakukan kegiatan “membayangkan” ter-
sebut? Anderson menyatakan bahwa bangsa
itu dibayangkan sebagai sebuah “komuni-
tas” karena, “tidak persoalan kemungkinan
adanya ketidaksetaraan dan eksploitasi yang
aktual di dalamnya, bangsa selalu dipercayai
merupakan sebuah persaudaraan yang men-
dalam dan horisontal”. Dari pernyataan ter-
sebut bukankah tersirat atau terbayangkan
adanya sebuah kelompok tertentu yang me-
nganggap dirinya mempunyai hak karena,
mungkin, merasa bertanggungjawab, berke-
wajiban untuk mewakili, menjadi penyam-
bung lidah kelompok-kelompok lain dalam
komunitas tersebut? Kelompok yang men-
dominasi ini – bisa disebabkan oleh faktor-
faktor seperti garis keturunan, kelas sosial,
dan tingkat pendidikan – percaya, disadari
atau tidak, bahwa merekalah yang pantas
untuk merepresentasikan kelompok-kelom-
pok lain dalam komunitas dimaksud. Tentu
saja rasa percaya mereka ini masih juga bisa
dipertanyakan lagi kenetralannya: tidak
mungkinkah ada kepentingan politik tertentu
Globalitas dan Lokalitas dalam yang menjadi alasan dari timbulnya rasa
percaya mereka itu? Tidak mungkinkah pula
“Membayangkan Indonesia”: kepentingan politik tersebut berbeda dari ke-
pentingan politik kelompok-kelompok lain

Sebuah Kritik dalam komunitas yang mereka represen-


tasikan sebagai “bangsa” tersebut?
Antologi pertanyaan semacam ini, saya
yakin, cukup relevan dilontarkan dalam kon-
teks pembentukan sebuah wacana (discour-

Pascakolonial
se) yang implikasinya menyangkut kepen-
tingan beragam kelompok sosial seperti
“bangsa” atau “nasionalisme” itu. Saya akan
mengambil sebuah contoh dari dunia bu-
daya pop kita.
Kita tentu masih ingat sebuah iklan Extra
Oleh Saut Situmorang* Joss di televisi sewaktu berlangsungnya Pia-
la Dunia Sepakbola di Jepang/Korea bebe-
rapa tahun lalu. Iklan tersebut dimulai dengan
sebuah shot seorang laki-laki muda Indone-
sia berpakaian seragam sepakbola di sebuah
lapangan kosong yang kemudian meman-
dang close up ke kamera dan bertanya,
djoernal sastra
boemipoetra 6
Edisi Januari-Februari 2009
E-ssei
“Kapan sepakbola Indonesia ikut Piala Du- *** tunya kita berkiblat ke “Barat” untuk meng-
nia?” Adegan berikutnya terjadi di ruang Adalah Sutan Takdir Alisjahbana yang me- hidupkan kembali “Timur” yang sudah mati
ganti pakaian di mana laki-laki muda tadi hen- rupakan pemikir lokal pertama yang melon- itu, demikianlah kira-kira Sutan Takdir “mem-
dak mengambil minuman kaleng dari sebuah tarkan isu “globalitas” dan “lokalitas”, dalam bayangkan” komunitas “Indonesia” yang di-
mesin minuman. Jendela kaca mesin minuman konteks sebuah usaha “membayangkan lihatnya “sedang terjadi sekarang ini” itu.
tersebut tiba-tiba berubah menjadi sebuah Indonesia”, lewat sebuah esei kontroversial Polarisasi “Timur dan Barat” seperti ini akan
layar (televisi?) dan di situ muncul seorang yang dipublikasikannya di majalah yang di- kita temukan dengan kadar yang lebih kuat
pemain bola terkenal dari Italia, Del Fiero, dirikan dan dipimpinnya Pujangga Baru pa- lagi pada pandangan lawan-lawan polemik
yang menggapai ke arah laki-laki Indonesia da 1935. Dalam esei berjudul “Menuju Ma- Sutan Takdir, terutama Sanusi Pane dan Dr
tadi untuk masuk ke dalamnya. Laki-laki Indo- syarakat dan Kebudayaan Baru” yang akhir- Sutomo. Tapi bedanya, mereka terutama ke-
nesia itu masuk ke dalam layar tersebut. Kita nya menimbulkan apa yang oleh Achdiat K dua yang terakhir ini justru memandang “Ba-
kemudian menyaksikan betapa laki-laki Indo- Mihardja disebut sebagai “Polemik Kebuda- rat” sebagai yang negatif makanya mesti di-
nesia itu dipermainkan sebelum akhirnya di- yaan” tersebut (yang melibatkan tokoh-to- hindarkan, demi kemurnian “Timur” yang
pantati keluar layar oleh Del Fiero. Del Fiero koh penting saat itu: Sanusi Pane, Dr Poer- adiluhung itu.
lalu mengucapkan sesuatu yang terjemahan- batjaraka, Dr Sutomo, Tjindarbumi, Adi- Sanusi Pane dalam “Persatuan Indonesia”,
nya dalam subtitle di layar televisi kita ber- negoro, Dr M Amir, dan Ki Hajar Dewantara), tulisan tanggapannya atas esei polemis Su-
bunyi, “Jangan putus asa”. Apa yang muncul Sutan Takdir memajukan tesisnya bahwa se- tan Takdir tersebut, menyatakan, dengan ti-
dalam kepala saya sehabis menonton iklan jarah sesuatu yang bernama “Indonesia” itu dak kalah tegasnya pula, bahwa:
Extra Joss tersebut adalah pertanyaan-per- harus dibedakan atas dua zaman, yaitu zaman “Barat... mengutamakan jasmani, sehing-
tanyaan seperti: Untuk penonton mana iklan “Indonesia” kontemporer abad duapuluh – ga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya me-
itu dibuat? Siapa yang membuat iklan terse- yang dikarakterisasikannya sebagai “ketika naklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli
but? Siapa pemilik Extra Joss yang diiklankan lahir suatu generasi yang baru di lingkungan pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan
itu? Kalau jawaban atas ketiga pertanyaan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak jiwanya, asal menguasai jasmani.
ini adalah “orang Indonesia”, maka saya ber- menempuh suatu jalan yang baru bagi bang- Timur mementingkan rohani, sehingga lu-
kesimpulan sudah terjadi sesuatu pada pan- sa dan negerinya”– dan zaman sebelum itu, pa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari
dangan orang Indonesia atas dirinya sendiri. zaman hingga penutup abad sembilanbelas, jalan mempersatukan dirinya dengan alam.
Representasi “Indonesia” yang dibuat or- “zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah ke- Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.”
ang Indonesia untuk konsumsi orang Indo- indonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Walaupun Sanusi Pane beranggapan bah-
nesia seperti pada iklan Extra Joss itu adalah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, wa sesuatu yang ideal adalah “menyatukan
sebuah sadomasokhisme nasionalisme, ka- sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain- Faust dengan Arjuna, memesrakan materia-
rena para konsumennya pun ternyata tidak lain”. lisme, intellectualisme, dan individualisme
merasa “terhina” melihat dirinya diperma- Kita bisa membayangkan “ahistorisme” pasti dengan spiritualisme, perasaan dan collec-
inkan pemain asing dalam sebuah permain- akan dituduhkan atas pemahaman sejarah yang tivisme”, kita masih bisa merasakan justru
an sepakbola, dipantati keluar dari permainan terkesan patah-patah macam begini. Tapi apa sifat idealisme-utopis yang mustahil untuk
dan dinasehati untuk tidak putus asa! yang lebih memperparah “ahistorisme” Sutan diwujudkan dari konsep penyatuan Faust/
Dalam iklan Extra Joss tersebut saya meli- Takdir di mata lawan-lawan polemiknya adalah Arjuna itulah yang membuat dia akhirnya ma-
hat sebuah isu lama tapi yang masih tetap pernyataan tegasnya bahwa: sih percaya bahwa “Timur, lebih baik” karena
hangat didebatkan ditawarkan kepada penon- “Ramuan untuk masyarakat dan kebuda- “materialisme, intellectualisme dan indivi-
tonnya, yaitu isu “kita” dan “mereka”, “Ti- yaan Indonesia di masa yang akan datang dualisme” – yang merupakan dasar berkem-
mur” dan “Barat”, atau apa yang saya sebut harus kita cahari sesuai dengan keperluan bangnya budaya Barat tapi yang juga menim-
sebagai Lokalitas dan Globalitas dalam esei kemajuan masyarakat Indonesia yang sem- bulkan ketidakadilan (“ada orang yang ke-
saya ini. “Kita” ketinggalan jauh dalam hal purna. Tali persatuan dari bangsa kita ter- banyakan dan ada yang kelaparan”) – boleh
persepakbolaan dibanding “mereka”, maka- istimewa sekali berdasarkan atas kepenting- dikatakan tidak diperlukan. “Manusia merasa
nya sudah pantas kalau “kita” dipermainkan an bersama itu ialah sama-sama mencari alat dirinya satu dengan dunia sekelilingnya,”
“mereka”. Dari sini bisa juga ditarik sebuah dan berdaya upaya, agar masyarakat kepu- demikianlah alasan Sanusi Pane dalam me-
kesimpulan, walau sangat umum, bahwa yang lauan Nusantara yang berabad-abad sta- milih “Timur” ketimbang “Barat”.
“global” itu lebih baik dibanding yang “lokal”. tisch, mati ini menjadi dynamisch, menjadi Cara memandang “Timur” secara mistik
Tentu saja pendapat bahwa yang “global” hidup. Sebabnya hanya suatu masyarakat begini terefleksi juga pada isi beberapa prasa-
itu lebih baik dibanding yang “lokal” tidak yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba ran dalam Kongres Permusyawaratan Pergu-
selalu mendominasi di Indonesia. Dalam per- di lautan dunia yang luas. ruan Indonesia yang berlangsung di Solo
gaulan sehari-hari, kita akan menemukan jus- Maka telah sepatutnya pula alat untuk me- pada tahun yang sama, yang membuahkan
tru yang sebaliknyalah yang sering terjadi, nimbulkan masyarakat yang dynamisch kritik yang bahkan jauh lebih keras lagi dari
yaitu yang “lokal” dianggap jauh lebih baik yang teristimewa sekali kita cahari di negeri Sutan Takdir. Kritik Sutan Takdir yang diberi
daripada yang “global”, “Timur” lebih ber- yang dynamisch pula susunan masyarakat- judul “Semboyan yang Tegas” itu ditujukan
nilai positif dibanding “Barat”. nya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menja- pada apa yang dilihatnya sebagai kecende-
Dalam sejarah pemikiran kebudayaan kita, dikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia rungan sikap “anti-intellectualisme, anti-in-
perdebatan penting tentang isu “globalitas” yang dewasa ini mencapai kebudayaannya dividualisme, anti-egoisme, anti-materia-
dan “lokalitas”, tentang “Barat” dan “Timur”, yang tinggi seperti sekarang: Eropah, Ame- lisme” – atau anti-Barat secara umum karena
pernah terjadi di tahun 1930an, 1960an, dan rika, Jepang. isme-isme inilah yang dianggap sebagai
1980an, yaitu apa yang kita kenal sekarang Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam dasar-dasar budaya Barat oleh kalangan elite
sebagai Polemik Kebudayaan, Polemik Lekra/ kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi intelektual kita saat itu, seperti juga sekarang
Manikebu (Prahara Budaya?!), dan Perde- sekarang ini akan terdapat sebagian besar – pada pidato sejumlah besar pembicara pada
batan Sastra Kontekstual. Saya melihat ter- elementen Barat, elementen yang dyna- Kongres tersebut. Ki Hajar Dewantara misal-
dapat sebuah benang merah pemikiran yang misch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi nya menyatakan bahwa kecerdasan pikiran
menghubungkan ketiga peristiwa penting ter- sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru dan ilmu pengetahuan berpengaruh kuat atas
sebut yaitu bagaimana “sekelompok elite in- sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan tumbuhnya egoisme dan materialisme, se-
telektual” berusaha “membayangkan” apa Hindu, kebudayaan Arab. mentara mengasah intelek 8 jam di sekolah
yang mereka representasikan sebagai “Indo- Dan sekarang ini tiba waktunya kita me- menimbulkan intelektualisme yang memisah-
nesia” itu sebagai sebuah realitas yang se- ngarahkan mata kita ke Barat.” kan sekolah dari hidup keluarga hingga “sia-
sungguhnya, paling tidak sebuah realitas “Timur” statis makanya mati dan “Barat” sialah usaha pendidikan budi pekerti dan bu-
yang paling ideal. dinamis makanya hidup, maka sudah wak- di khalayak di ruang keluarga itu”! Dr Sutomo
djoernal sastra

E-ssei boemipoetra 7
Edisi Januari-Februari 2009

mencela sistem pendidikan kolonial karena yang sangat mengherankan: walau bagai-
“terutama mementingkan kecerdasan akal”! manapun kerasnya (bahasa) kedua pihak
Dr Wediodiningrat malah mengecam habis- membela diri sambil menyerang lawan pole-
habisan “kecerdasan otak cara sekarang” mik, tidak satu pun dari mereka pernah dengan
yang dikatakannya menciptakan “perasaan kritis membicarakan kondisi masyarakat
pertempuran antara ‘aku’ yang satu dengan mereka saat itu, yaitu kolonialisme Belanda
‘aku’ yang lain”. Untuk mencegah terjadinya itu sendiri!
“kekacauan bagi dunia” maka dianjurkannya Perdebatan tentang “Barat” dan “Timur”,
“peleburan perasaan ‘aku’” tersebut. Bagi tentang yang “Universal” dan yang “Kon-
Sutan Takdir, sikap anti atas isme-isme di atas tekstual”, tentang yang “Global” dan yang
merupakan sikap yang mengada-ada, tidak “Lokal” di sebuah masyarakat seperti Indo-
relevan, karena mengesankan seolah-olah is- nesia tidak bisa melupakan satu hal yang um-
me-isme tersebut sudah mapan, sudah um dimiliki oleh negeri-negeri Dunia Ketiga
mentradisi makanya mulai menjadi negatif pe- seperti Indonesia, yaitu kondisi pascakolo- Perdebatan tentang “Barat” dan
ngaruhnya di negeri kepulauan ini, padahal: nialnya, pascakolonialitasnya. Dunia Ketiga “Timur”, tentang yang
“Kalau kita timbang benar-benar, soal adalah dunia (bekas) jajahan Barat, yaitu “Universal” dan yang
bangsa kita bukannya soal intellectualisme, Eropa Barat dan Amerika Serikat. Membi- “Kontekstual”, tentang yang
bukanlah soal egoisme, bukan pula soal mate- carakan segala sesuatu tentang Dunia Ketiga
rialisme. Kalau kita analyseeren masyarakat tidak akan memuaskan tanpa juga memper-
“Global” dan yang “Lokal” di
kita dan sebab-sebabnya kalah bangsa kita timbangkan efek-efek kultural dari penjajah- sebuah masyarakat seperti
dengan perlombaan bangsa-bangsa di dunia, an, yang rata-rata berumur panjang itu. Da- Indonesia tidak bisa melupakan
maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi lam eseinya yang pertama, “Menuju Masya- satu hal yang umum dimiliki oleh
statischnya, menjadi matinya, tiada berjiwa- rakat dan Kebudayaan Baru”, yang jadi negeri-negeri Dunia Ketiga
nya masyarakat bangsa kita ialah karena ber- pemicu terjadinya perdebatan intelektual seperti Indonesia, yaitu kondisi
abad-abad itu kurang memakai otaknya, ku- penting pertama dalam sejarah pemikiran mo- pascakolonialnya,
rang egoisme (yang saya maksudi bahagian- dern Indonesia itu, Sutan Takdir Alisjahbana
nya yang sehat), kurang materialisme.” sebenarnya sudah menyinggung soal-soal
pascakolonialitasnya. Dunia
Sambil sekaligus membantah Sanusi Pane, yang saat ini dikenal sebagai isu-isu penting Ketiga adalah dunia (bekas)
Sutan Takdir percaya bahwa “sesungguhnya masyarakat pascakolonial, seperti mimikri dan jajahan Barat, yaitu Eropa Barat
soal bangsa kita yang sebenar-benarnya soal hibriditas identitas, tapi satu hal pokok yang dan Amerika Serikat.
kekurangan intellect, soal kurang hidupnya justru menjadi sebab dari kondisi pascako- Membicarakan segala sesuatu
individu, soal terlampau pemurahnya (ku- lonial tersebut anehnya luput dari pembica- tentang Dunia Ketiga tidak akan
rang egoismenya) tiap-tiap orang, soal ku- raannya, yaitu realitas kolonialisme yang se- memuaskan tanpa juga
rang giatnya orang mengumpulkan harta du- dang dialami “Indonesia” yang sedang diba-
nia”. Sutan Takdir mengunci kritiknya itu de- yangkan itu. Membaca kumpulan tulisan
mempertimbangkan efek-efek
ngan sebuah serangan balik yang telak dalam mereka dalam buku Polemik Kebudayaan kultural dari penjajahan, yang
bentuk sebuah isu baru yang sekali lagi dia- yang disusun oleh Achdiat K Mihardja, tidak rata-rata berumur panjang itu.
lah yang pertama melontarkannya untuk di- ada tertinggal kesan pada kita bahwa mereka Dalam eseinya yang pertama,
perdebatkan di kalangan intelektual kita: itu sebenarnya hidup sebagai manusia terja- “Menuju Masyarakat dan
“Dan sesungguhnya masyarakat bangsa kita jah di negerinya sendiri, padahal beberapa Kebudayaan Baru”, yang jadi
telah mulai dynamisch dalam dua tiga puluh di antara mereka, menurut buku-buku sejarah, pemicu terjadinya perdebatan
tahun yang akhir ini. Sebabnya ialah pendi- sangat terlibat dengan gerakan melawan pen-
dikan Barat yang diejekkan intellectualis- jajahan Belanda di negeri ini. Bangsa adalah
intelektual penting pertama
tisch, individualistisch, egoistisch, dan ma- sebuah masyarakat yang dikhayalkan, “ima- dalam sejarah pemikiran modern
terialistisch itu”. gined community”, yang berfungsi sebagai Indonesia itu, Sutan Takdir
*** sebuah kekuatan resistensi terhadap kekua- Alisjahbana sebenarnya sudah
Peristiwa “membayangkan” apa itu kolek- saan hegemonik kolonialisme yang mendo- menyinggung soal-soal yang
tivitas bernama “Indonesia” tentu saja sudah minasi masyarakat dimaksud, menurut Ben saat ini dikenal sebagai isu-isu
pernah terjadi sebelum Polemik Kebudayaan Anderson. Bukankah sesuatu yang ironis penting masyarakat
seperti yang bisa kita saksikan pada didiri- bahwa “kekuasaan hegemonik kolonialisme”
kannya lembaga penerbitan kolonial Belanda itu sendiri sampai “terlupakan” dalam sebuah
pascakolonial, seperti mimikri
Balai Pustaka dengan konsep sastra Melayu perdebatan di mana konsep “apa itu Indone- dan hibriditas identitas, tapi satu
Tinggi-nya itu. Atau pada pertemuan para sia” merupakan isu yang paling penting. Eli- hal pokok yang justru menjadi
intelektual muda kolonial yang menghasilkan tisme sekelompok terpelajar dari keluarga sebab dari kondisi pascakolonial
Sumpah Pemuda yang terkenal itu pada 28 bangsawan atau kelas sosial tinggi justru ter- tersebut anehnya luput dari
Oktober 1928. Tapi baru pada peristiwa Po- kesan sangat kuat mewarnai pandangan me- pembicaraannya, yaitu realitas
lemik Kebudayaan terlihat dengan jelas un- reka walau mereka memakai kosakata yang kolonialisme yang sedang
tuk pertama kalinya polarisasi konseptual an- menyebut-nyebut “bangsa”, “masyarakat”,
tara globalitas dan lokalitas di kalangan kaum dan “rakyat” malah.
dialami “Indonesia” yang
intelektual Indonesia dalam “membayangkan *** sedang dibayangkan itu.
Indonesia”. Ada sebuah anekdot terkenal tentang se-
Terlepas dari setuju-tidaknya kita atas orang tokoh yang dianggap sebagai repre-
pandangan Sutan Takdir Alisjahbana dan sentasi dari segala sesuatu yang secara esen-
lawan-lawan polemiknya tentang apa itu sialis merupakan nilai keadiluhungan budaya
“Barat” dan “Timur”, apa yang menarik ada- Timur, Mahatma Gandhi. Dalam kunjungan-
lah bahwa polemik tersebut terjadi di kalang- nya ke Inggris untuk menghadiri Konferensi
an mereka yang rata-rata memperoleh “pen- Meja Bundar India Kedua pada 1931, Gandhi
didikan Barat”, sampai ke tingkat perguruan mendapat sebuah pertanyaan yang dilontar-
tinggi malah. Mereka adalah alumni pertama kan seorang wartawan setibanya di kota Lon-
dari sistem pendidikan Barat dalam sejarah don: “Mr Gandhi, what do you think of Wes-
perkembangan intelektual kita. Tapi satu hal tern civilization?” Jawaban Gandhi berikut
djoernal sastra
boemipoetra 8
Edisi Januari-Februari 2009
E-ssei
tingan kebudayaan itu sendiri.
***
Pascakolonialitas masyarakat Dunia Ketiga,
dalam konteks pembicaraan globalitas dan
lokalitas dalam identitasnya, mungkin bisa
dijelaskan secara umum seperti berikut ini.
Ekspansi kapitalisme-awal Barat berjalan
mulus setelah terjadi dan menjadi kokohnya
kolonialisme Barat di Asia, Afrika, dan benua
Amerika. Sementara itu, untuk bisa hidup
langgeng happily ever after, kolonialisme
memerlukan terjadinya proses regenerasi,
seperti organisme hidup lainnya. Khas watak
kapitalisme, ideologi ongkos-produksi mini-
mum dengan keuntungan sebesar-besarnya
membuat para kapitalis-kolonialis meman-
faatkan sumber daya manusia, setelah me-
ngeruk sumber daya alam, negeri jajahan ma-
sing-masing. “Pendidikan kaum tertindas”
pun dimulai, dengan mendirikan “sekolah
rakyat” walau terbatas hanya untuk “para
priyayi” – untuk menyediakan lapangan kerja
yang lebih murah ketimbang mendatangkan
pekerja dari negeri asal kaum kolonial itu sen-
diri. Alasan untuk memilih hanya kelompok
“para priyayi” karena mereka ini memang
yang paling banyak berkepentingan, seba-
gai kelas sosial yang berkuasa (sebelum dan
bahkan sesudah terjadinya kolonialisme),
untuk/atas terciptanya sebuah “kolaborasi
penjajah-terjajah”, lewat pendidikan dan
pekerjaan. Kolaborasi inilah yang akhirnya
melahirkan “kaum elite koloni”. Mereka ini
jugalah yang kelak di kemudian hari berme-
ini membuat anekdot tersebut menjadi begitu bahkan sudah, bicara”. tamorfosis menjadi “the founding fathers”
terkenal, “I think it would be a very good Kondisi pascakolonial macam inilah yang itu, seperti presiden atau perdana menteri
idea”. gagal disadari oleh lawan-lawan polemik Su- pertama negeri-negeri koloni yang berhasil
Cerita anekdot semacam ini telah mencip- tan Takdir yang masih sibuk dengan roma- memperoleh “kemerdekaan”nya. Karena
takan sebuah mitos “anti-Barat” pada diri ntisme “esensialisme” budaya “Timur” atau asalnya memang metamorfosis “kolaborasi
Gandhi, apalagi kalau dihubungkan dengan “lokal” yang mereka anggap masih utuh se- penjajah-terjajah”, para “the founding fa-
konsep-konsep “anti-materialis”nya seperti perti sebelum terjadinya kolonialisme. Semen- thers” negeri-negeri bekas koloni adalah
swadesi, ahimsa, dan satyagraha, tapi di sisi tara pada Sutan Takdir “kesadaran” akan subjek hibrid pascakolonial, fisiknya Bumi-
lain melupakan identitas biografisnya sebagai kondisi pascakolonial itu tidak benar-benar putra tapi “selera”nya Eropa Barat atau Ame-
seorang subjek pascakolonial par excellent. berdasarkan pemahaman akan hibriditas rika Serikat. Black skin, white masks, kata
Seperti diuraikan Robert Young dalam bu- identitas subjek pascakolonial itu sendiri, Fanon.
kunya yang sangat bagus tentang pascako- seperti pada pemikir Aljeria asal Martinique, Ironisnya, justru setelah “merdeka” dan
lonialisme, Postcolonialism: An Historical Frantz Fanon, atau Minke dalam Novel Pulau untuk “mengisi” kemerdekaan tersebut, men-
Introduction, warisan dari kritik Gandhi atas Buru Pramoedya Ananta Toer, tapi lebih kepa- jadi pakem kebijaksanaan administrasi negara
modernitas, dan atas pemakaian ide-ide Barat da usaha untuk “mensejajarkan diri” dengan dan politik luar negeri setiap negeri pasca-
secara derivatif tanpa kritis, masih merupa- “Barat” yang sedang mendominasi tersebut. kolonial untuk harus menggarisbesarkan
kan kekuatan besar dalam pemikiran bebera- Atau dalam istilah Asrul Sani dkk lebih dari orientasi eksistensinya ke kiblat Eropa Barat
pa pemikir kontemporer India seperti Partha satu dekade kemudian: “Kami adalah ahli atau Amerika Serikat, kekuasaan yang pernah
Chatterjee, tanpa melihat paradoks betapa waris yang sah dari kebudayaan dunia dan lama bercokol jadi hegemoni dominan di ma-
Gandhi mencapai semuanya itu sebagian kebudayaan ini kami teruskan dengan cara sing-masing negeri bekas koloni, yang telah
besar melalui sintesis eklektik dari pemikiran kami sendiri”. “Kesejajaran status dengan berubah menjadi kekuatan hegemonik neo-
para pemikir counter-culture Barat. Konsep Barat” (Belanda); makanya mesti dicapai le- kolonialisme politik, ekonomi dan budaya itu.
hidup-mandiri swadesi, misalnya, banyak di- wat pendidikan Barat – seakan-akan pendi- Terutama lewat apa yang secara eufemistik
pengaruhi oleh bacaannya atas pemikiran dikan Barat memang jaminan untuk itu, se- disebut sebagai “globalisasi” ekonomi itu.
sosialisme utopia Barat dan teori ekonomi akan-akan tidak ada politik alternatif lain di Karena diciptakan di bumi budaya Barat, mau
John Ruskin. Bahkan dari ideologi perjuang- luar politik pendidikan yang bisa juga me- tak mau istilah “globalisasi ekonomi” tentu
an nasionalis Irlandia, Sinn Féin, dan gerakan mungkinkan terjadinya kondisi kesetaraan sarat dengan kandungan ideologi budaya
suffragette perempuan Inggris. Henry David tersebut. Makanya juga tidak terdapat pem- Barat. Politik ekonomi tidak mungkin tidak
Thoreau, Tolstoy, dan Edward Carpenter ada- bicaraan yang kritis atas (politik) kolonia- memiliki politik budaya. Akhirnya, “pen-
lah pemikir-pemikir Barat lain yang sangat lisme yang sedang dihadapi. Kesalahkaprah- didikan kaum tertindas” ternyata cuma awal
besar pengaruhnya pada pembentukan pemi- an Sutan Takdir ini kita lihat diulang lagi akhir- dari “globalisasi” nilai-nilai budaya kaum ko-
kiran “ke-Timur-an” yang diklaim sebagai akhir ini dengan munculnya ide untuk mem- lonial belaka. Inilah paradoks dari “nasio-
“asli” ciptaan Gandhi. Seperti yang disimpul- bentuk apa yang disebut sebagai “Pusat Ke- nalisme” hibriditas identitas subjek pasca-
kan Young, sekaligus sebagai respons ter- budayaan Indonesia” di luar Indonesia, ha- kolonial itu. La Trahison des Clercs?
hadap pemikir pascakolonial Amerika Serikat nya sebagai kenaifan untuk ikut-ikutan da-
asal India, Gayatri C Spivak, “Gandhi adalah lam sebuah perlombaan imperialisme kebu- *Saut Situmorang, penyair dan eseis,
bukti hidup bahwa kaum subaltern bisa, dan dayaan ketimbang benar-benar demi kepen- tinggal di Jogjakarta
djoernal sastra

Wawantjara boemipoetra 9
Edisi Januari-Februari 2009

sana: ibunya yang menyerahkan teteknya


untuk dimainkan dan disedot dirinya saat ba-
yi. Ketika melihat puser para perempuan ia
membayang celah yang ada di bawah puser,
dan kembali yang kini di sini menyisih oleh
kehadiran yang jauh di sana: ibu yang ber-
juang melahirkannya melewati lubang yang
sempit itu sehingga ada dalam kondisi antara
hidup dan mati.
Pengalaman hidup, kebijaksanaan telah
lengser keprabon lan mandeg pandhito me-
nyebabkan bebas dari yang riil faktual kini
dan bergulat dengan yang lampau dan kekal.
Sekaligus ia bertanya: mengapa kita selalu
melihat perempuan dengan syahwat dan tak
dengan kehormatan dan penghormatan bagi
seorang ibu, sehingga menghargai eksistensi
perempuan itu adalah senantiasa meletak-
kannya pada posisi sebagai ibu dan bakal
ibu –– yang harus dijaga karena ia akan me-

Hati Bening
lahirkan generasi muda berkualitas. Kenapa?
Karena Allah SWT dan sunatullah-Nya se-
nantiasa ada, kekal menjaga alam semesta,
sementara yang menghuninya, manusia, ter-
amat fana dan gampang jadi tiada –– yang
hening dan bening diucapkannya dalam sajak

Hari Hening “Embun” dan “Langit”.


Kesetiaan [Sang Causa prima] yang meng-
adakan, janji kekal keberadaan semesta se-
bagai wadah untuk manusia mengada, faktor
ibu [dan tersirat bapak] sebagai media yang
mengadakan kuat berhembus dalam sajak-
Oleh : Beni Setia sajak Dharmadi. Karenaya kita akan mene-
mukan kehadiran loyalitas dan kesetiaan

T
ERMIN lengser keprabon ligus harus kehilangan istri tercinta [yang pada Sang Causa Prima, ayah dan ibu, istri,
mendadak menjadi populer karena menemani selama 30 tahun]. Momen jadi tua profesi [kepenyairan] yang bersifat mence-
diucapkan oleh almarhum Soehar- yang legowo karena semua itu tidak jadi be- rahkan, anak dan puisi [tak peduli hanya di-
to ketika ia terpaksa turun dari singgasana ban, setidaknya itu berbarengan dengan tiga tulis dengan bakat alam] yang dengan jisa
kepresidenan pada detik terakhir kejayaan anak sudah mampu mandiri sehingga ia bisa besar dilepas mengada di ruang publik saat
Orba–– dan ditambah dengan idiom ora ke- suntuk menulis puisi. Bahkan puisi pula yang dianggap telah mendiri.
pathekan. Termin lengser keprabon itu sen- mempertemukannya dengan istri baru, saat Sederatan puisi sederhana, tanpa imaji dn
diri aslinya tak berkaitan dengan situasi gen- melayat 100 hari kematian Piek Ardiyanto simbol rumit yang diberondongkan khas ma-
ting yang menyebabkan seorang penguasa Soepriyadi, saat penyair ketemu dengan pem- sa kini, tapi yang potensi kekuatannya ter-
terpaksa turun dari singgasana kekuasaan, baca sajak juara. Jodoh ajaib, yang menye- letak pada kekuyupan empati pada fakta fana
tak dalam kondisi pseudo kup diturunkan, babkan seorang Dharmadi bebas menempuh dan sesak yang diamati [sehingga bisa mem-
tapi dengan suka rela turun karena merasa hari tua sebagai penyair yang memenuhi unda- bayangkan yang kekal] dengan didukung
sudah cukup berkuasa, tak ingin berkutatan ngan silaturahmi berbaca puisi di mana saja. oleh teks yang transparan. Puisi yang menyi-
dengan urusan dunia, dan menjauhi hal Tidak mengherankan kalau kenangan, ma- ratkan lentik kemahfuman dari pengalaman
duniawi–– mandeg pandhito. sa lalu, menjadi bayangan manis yang tidak hidup, bertolak dari yang nyata dan melahir-
Di titik itu, ketika lengser, Soeharto cuma ditolak, atau dikurung dalam amnesia paksa, kan teks yang mengandalkan rasa model pu-
menekankan satu bagian, yakni gairah mele- tapi tetap dibawa sebagai kekayaan batin dan isi haiku dan imajis. Dan mengamati kepe-
paskan yang duniawi, tapi ia melupakan un- disandingkan dengan masa kini. Ambillah nyairan Dharmadi, dengan 4 kumpulan pu-
tuk suka rela merangkul yang surgawi––itu sajak “Ingin Kulukis di Bidang Kembar Payu- isinya, bermakna mengamati loyalitas dan
terkait condition sine non qua yang memak- daramu”, judul dan teks puisi yang menya- kesetiaan pada puisi, kesetiaan yang meng-
sanya lengser. Dan ketika bagian itu hilang rankan aktivitas fisik, padahal merupakan hasilkan sang pengabdian berjiwa mahfum,
maka kearifan Jawa yang dianutnya tidak situasi tranced: saat aku lirik bercinta dengan sehingga mampu melontarkan faset hidup,
mendapat aktualisasi, dan sekaligus sebagi- yang baru [istri kedua] maka yang lama [al- yang dilentik –– lebih redup dari denyar ––
an dari dirinya ikut hilang. Proses menjadi hmarhum istri pertama] ikut hadir mengisi dalam teks yang tidak rumit.
tua dan mendalami elmu tuwek tidak sempat fisik yang baru. Sebuah ungkapan yang me- Sebuah hari tua yang bening, hidup yang
dititi, sekaligus ketika prosesi ilmiah menjadi nyatakan: meski bagaimanapun cinta perta- ditempuh dalam hening jiwa legowo melihat,
tua itu tidak sempat diempati maka ada yang ma, istri pertama, tidak mungkin dihapus dari mengamati, menonton dan menerima apapun
[dalam ingatan] dengan sengaja diblokir–– ingatan meski saat ini mepatik menhayati hi- yang terjadi di sekeliling. Haru biru yang ha-
secara kasar teramat maksa coba dilupakan. dup baru dengan istri baru yang juga dicin- nya melahirkan senyum tanpa komentar ––
Upaya sengaja untuk menolak momen ber- tai. Ungkapan matang yang tak diletupkan- selain ingatan kepada Sang Causa Prima di
gulingnya cakra nasib. nya memborbardir khas puisi kini. masa lalu, di mana muara dari semua ini ada
Hari tua yang berbeda dari penyair Porwo- Di dalam sajak potret sosialnya [lihat, “Ke- di awal dari semua ini. Sangkan Paraning
kerto, Dharmadi [lahir Semarang, 30/10/1948] tika Nauk Bus Transjakarta”] Dharmadi, de- Dumadi. Kepala dari ular waktu telah me-
–– setidaknya di dalam kumpulan puisi Jejak ngan tatap mata, memotret penampakan payu nemukan ekor waktu.***
Sajak (Penerbit Politehnik Pratama, 2008]. Se- dara para perempuan yang terbelah baju leher
orang yang bahagia karena bisa alamiah me- rendah, tapi saat mengintip yang terbayang Beni Setia, pengarang
lepas jabatan dan kerja [pensiun] meski seka- itu bukan yang kini di sini tapi yang jauh di E-mail : benisetia54@yahoo.com
djoernal sastra
boemipoetra 10
Edisi Januari-Februari 2009
Tjerpen

Dari Tsunami ke Surga


Cerpen Viddy AD Daery

K
ORBAN-KORBAN tsunami bangkai akibat pembasmian massal (yaa…- lah SWT… apakah kalian menyesal dengan
ramai-ramai digendong malaikat seperti kita semua juga saksikan di layar- adanya tsunami ? apakah kalian tidak puas
menuju surga, dan setelah rasa layar televisi dunialah). dengan kenyataan dan kehidupan kalian
“super jet-lag” mereka sudah reda, mereka “Lihat! Itu mayatku! Tertindih bangkai mo- sekarang di surga ?”
disuruh memilih istana-istana super mewah bil!” teriak seseorang. “Insya Allah, kami puaassss, yaa malai-
mereka sendiri, disambut bidadara-bidadari “Ya,ya…aku ingat, aku berlari di tengah kaaat…” seru orang-orang dengan takzim.
tampan-jelita, ramah-tamah, bikin mereka ki- air hitam yang makin deras…tiba-tiba aku “Mau melihat lagi negeri kalian sebelum
kuk karena seumur-umur hidup di negara ka- merasa ditindih mobil yang terguling dan me- tsunami? nah lihat lagi layar televisi”,kata
ya-raya tapi tak pernah mereka rasakan nik- libasku…lalu kami digulung air bah…lalu aku malaikat.
matnya, karena kekayaan negara lebih ba- tak ingat apa-apa…dan aku terbangun justru Dan terpampanglah gambar-gambar yang
nyak diangkut ke ibukota negara,atau ke ko- telah dalam gendongan malaikat sudah ham- kita lihat sehari-hari di sekitar rumah kita, atau
ta-kota dunia tempat mukim para investor pir masuk gerbang surga tanpa pemeriksaan malahan mungkin rumah kita sendiri…rumah-
asing yang menjadi begundal pejabat negara hisab!” seru yang lain. rumah yang sumpek, reyot, halaman becek
untuk memeras aneka tambang-tambang Seorang ibu-ibu berbaju mukena putih dan bau, tergenang air dan lumpur, tikus dan
sampai hampir ludes. terus saja melihat layar-layar itu sambil terus- ayam berebut makanan, sampah menumpuk
Hampir-hampir mereka lupa pada masalah- menerus membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang dimana-mana. Aspal di ujung gang juga be-
nya, karena terlena oleh fasilitas supermewah dihafalnya. cek dan berlubang-lubang, dan angkot-ang-
itu,jika tidak ada panggilan dari malaikat ko- “Masya Allah…itu mayat-mayat orang- kot berseliweran saling senggol,dan supir-
ordinator: orang sedesaku…Cuma ditumpuk begitu nya saling maki…diperempatan jalan tampak
“Apakah kalian tidak ingin melihat kota saja…lalu digaruk pakai traktor lantas dibu- polisi acuh tak acuh, dan di ujung perempat-
dan negeri kalian pasca tsunami ? Jika ingin, ang ke sebuah lobang besar…gilaa…waah, an, para preman justru petentang-petenteng
maka segeralah berkumpul di aula besar! Ja- aku harus memberitahukan hal ini kepada memalak angkot-angkot yang melintas dan
ngan terlambat!” Said, Maskirbi, Nurgani Asyik…dimana me- sesekali juga kepada pejalan kaki. Ya,saya
Maka berbondong-bondonglah korban reka yaa…hmmm…ah, pasti, mereka juga kira persis yang kita lihat sehari-harilah.
tsunami itu menuju ruangan superbesar dan tengah memelototi layar dan menyumpahi “Sebetulnya…negeri kami juga diberi Al-
sangat indah dan nyaman lengkap dengan para serdadu-serdadu yang main garuk itu- lah kekayaan, ya malaikat…dan kami berusa-
segala fasilitas, dan di dinding-dindingnya …gilaa…ini mengingatkan zaman DOM saja ha bersyukur untuk itu, tapi kami belum per-
terpampang layar-layar tv raksasa yang mem- …” nah merasakan nikmatnya sedikitpun, jang-
perlihatkan tayangan-tayangan korban tsu- Tiba-tiba terdengar suara malaikat yang ankan rumah mewah, rumah sederhana ka-
nami. Kota yang dulunya indah kini remuk melayang-layang di udara: mipun selalu bocor dikala hujan, kena debu
tak berbentuk,gedung-gedung hancur, ru- “Sudaah…sudaaah …tak usah disesali lagi dikala kemarau…dan…kami selalu takut di
mah-rumah rata menjadi sampah raksasa, apapun yang terjadi karena memang semua akhir bulan ditunggu aparat pajak listrik,
dan ribuan mayat-mayat bagaikan taburan kehidupan ini berada dalam surat takdir Al- telpon, ini-itu…belum lagi kerusuhan dan
djoernal sastra

Tjerpen boemipoetra 11
Edisi Januari-Februari 2009

pertikaian antar serdadu kelompok-kelompok yang bertikai…pokoknya kami tak pernah turunnya malam hari, hujan itu menyebarkan
merasa tentram di negeri kami sendiri…” gairah bertobat kepada insan-insan yang
“Ya, ya, ya…nah apakah kalian ingin tahu kemana uang-uang kekayaan kalian dibawa suka bangun dan sholat malam.
para maling itu? Lihat layar televisi lagi !” Hujan itu membuat insan-insan itu juga
Dan terpampanglah sebuah “features” perjalanan uang, dari tambang-tambang yang ikut menangis, menangisi negerinya yang tak
digaruk, lalu dijual ke perusahaan-perusahaan multinasional,lalu uangnya “dimainin” dulu, kunjung sembuh dari kebodohan dan kema-
sebagian kecil disetor ke negara, sedang 99 %nya dibagi-bagi ke kantong para pejabat dan langan yang terus-menerus berlangsung
para eksekutif perusahaan tambang. hampir setiap hari.
Lalu para pejabat itu membeli tanah berhektar-hektar dan diatasnya dibangun istana Bahkan wartawan media massa hampir tak
megah lengkap dengan lapangan luas,diapit kolam renang, ruang makan, musholla dan- pernah “mencari-cari atau membuat” berita,
…ya…seperti yang kita lihat dib kompleks-kompleks pejabat perusahaan negaralah…dan karena berita telah datang sendiri, dan setiap
kini hampir setara dengan istana yang kini diberikan Allah kepada rakyat korban tsunami berita musibah amat layak tampil di halaman
itu. satu atau headlines.
“Nah sekarang aku mau tanya, para pejabat dan pemimpin itu sudah berkali-kali menipu Malahan, amat sangat sering juga satu hari
kalian, sudah ratusan kali mengkhianati kalian, kok kalian masih saja memilih mereka menjadi terdapat lima puluh jenis musibah sekaligus,
pemimpin kalian dalam setiap pemilu?” sehingga ada harian Koran KREATIF yang
Semua terdiam. sangat kreatif, dengan memperpanjang ukur-
”Sebaliknya, para pemimpin yang mempunyai komitmen kuat hendak menyelamatkan an halaman satunya hingga lima meter, karena
kalian dari bencana, malah kalian caci-maki,kalian fitnah,bahkan nyaris kalian bunuh…” saking banyaknya berita musibah.
Orang-orang itu semakin tertunduk malu. Musibah itu tentu bukan hanya musibah
“Sekarang, di surga memang tidak ada hukuman, tapi aku mau kalian mendengar dan bencana alam, tetapi juga musibah tahun aja-
menyaksikan seorang bidadari membaca puisi bagus yang bisa kalian renungkan untuk ran baru, musibah liburan,musibah belanja,
mengkalkulasi kebodohan-kebodohan kalian.” musibah beras, musibah listrik,musibah BM,
Dan tampillah seorang bidadari jelita, yang kulitnya putih bersih bagaikan susu, sedang musibah agama, bahkan hiburanpun menjadi
susunya sendiri tampak besar dan mantap, sangat mempesona, dengan tenang dan percaya musibah, karena hiburan yang ada hampir
diri serta berwibawa berkata: 99,9% berupa hiburan yang merusak moral
“Ini aku akan bacakan puisi karya penyair yang disia-siakan di negeri kalian sendiri, bangsa.
dicemooh di koran-koran maupun di forum-forum seniman, karena memang negeri kalian Bahkan sebuah malam amal “peduli musi-
negeri terkutuk, disana umumnya para penyair hanya memuja-muja sastrawan yang menulis bah bangsa”pun menjadi musibah bangsa
puisi seks, atau mengenai orang gila, atau bahkan Cuma mengenai celana dalam, sarung juga, karena pada malam amal itu semua jenis
dan bahkan tak jarang membuang waktu bicara tiga hari tiga malam mengenai “nonsense”, pertunjukan diwajibkan yang berjenis mak-
yaitu suatu absurdisme yang sia-sia dan tak memberi kepositifan apapun untuk kehidupan. siat, karena budayawan yang menjadi pro-
Tapi kalian sangat memuja hal-hal seperti itu.Kalian bilang ;”memberi sesuatu yang sia- motor malam amal itu berpendapat bahwa
sia…memberi arti sesuatu yang kelak retak…” Kalian memang pintar bicara, tapi kelemahan “tak semua musibah harus ditangisi, ada ka-
kalian adalah salah atau tidak, kalian suka ngotot minta dianggap paling benar..” lanya musibah juga harus dirayakan.”
‘’Memang terkadang penyair yang kalian puja juga menulis mengenai penderitaan, tetapi Di surga sana,malaikat sudah membocor-
ironisnya yang ditulis adalah penderitaan bangsa lain, seperti penderitaan Frida Kahlo atau kan rahasia kepada korban-korban tsunami
Erendira dari Amerika Latin, seakan-akan di sekeliling kalian tidak ada orang menderita yang yang sedang menangis dua hari dua malam
bisa ditulis,nyatanya tetangga sebelah rumah kalian sendiri makan saja susah kan? Kalau itu:
menulis mengenai bangsa yang terjajah, adalah menulis mengenai Bahama atau bangsa “Heii, kuberitahu yaa…tsunami itu bukan
kepulauan-kepulauan Hibrida,padahal bangsa kalian sampai kini dijajah dan ditindas oleh apa-apa, belum seberapa…lihat saja…bang-
para pemimpin kalian sendiri…” samu masih saja banyak yang bermaksiat kok
“Nah,sekarang kalian dengarkan karya emas penyair yang kalian sia-siakan ini.Penyair meski tsunami bagi kaumku, kaum malaikat…
ini justru dihargai di luar negeri, di Australia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand dan sudah merupakan musibah yang amat
sebagainya, bahkan puisi-puisi penyair ini dimuat di berbagai situs website puisi dunia…nah mengerikan…lihat saja…Allah sudah mulai
coba kalian dengarkan..” menugasi kami menyiapkan superbencana
yang pernah membuat kami menangis seta-
Ulang Tahun Kebodohan hun penuh…saking beratnya kami melaksa-
nakan tugas melaksanakan bencana itu…-
Kami selalu bernyanyi-nyanyi menyanyikan kebodohan kami yaitu…KIAMAT KUBRO….huaaaaawww-
Kami selalu bertepuk tangan berirama, melagukan kemiskinan kami w…huaawwwww…..” Malaikatpun mena-
Kami selalu menari dan berdansa merayakan masa depan suram kami ngis sendiri dengan suara yang mengguntur
dan seluruh tubuhnya bergetar hebat...
Selamat ulang tahun, selamat panjang umur Seorang penyair di bumi mendengar suara
Wahai masa depan bangsa yang kabur tangis itu mengguntur-menggeledek di sore
Kamilah bangsa keledai hari yang mendung pekat tanggal 19 Januari
Yang selalu jatuh ke lubang yang sama 2005. Kini penyair itu menunggu…hitungan
Berkali-kali, berjuta-juta kali malaikat “SEGERA” itu apakah sehari la-
Tapi entah kenapa gi,sebulan lagi, setahun lagi atau seratus ta-
Tak sadar-sadar juga hun lagi???? Wallahua’lam bissawab.
Ya Allah tunjukilah kami jalan yang benar Raya Ulujami, Jaksel 19 Januari 2005
Jangan biarkan kami bagai domba-domba yang kesasar
Penulis cerpen ; Viddy AD Daery alias
Selesai membaca puisi, bidadari itu langsung melayang tinggi lalu hilang. Drs.Anuf Chafiddi ,lahir di Lamongan 28
Tapi tak ada tepuk-tangan, semua diam…hening…dan tiba-tiba satu persatu mereka mulai Desember 1961. Menulis puisi, cerpen,
menangis mengguguk dan akhirnya pecahlah tangis yang riuh rendah, memenuhi aula novel,naskah drama panggung maupun
besar hingga suaranya bagaikan koor jerit yang menyayat hati, menyesali kehidupan negeri televisi. Juga menyutradarai film dan
mereka yang bodoh dan biadab. acara televisi dan juga melukis. Sering
Dan air mata itu terus menggenang dan mengalir menuju ke selokan sorga, terus menuju diundang menjadi pembicara di negara-
pembuangan dan akhirnya dibuang menjadi hujan deras yang turun ke bumi, menjadi hujan negara Asia Tenggara dan negara luar
yang terasa aneh di bumi, karena hujan ini membawa hawa dingin yang menyayat, dan jika lainnya.
djoernal sastra
boemipoetra 12
Edisi Januari-Februari 2009

DKJ dan TUK


Sangat Takut dengan boemipoetra
Wah Jilfest sukses ya, selamat. Rupanya KSI juga bisa acr in- dekatnya marah ketika dituduh sebagai agen CIA. Lha ini GM
ternasional nyaingi TUK. selamat. yang masih hidup, kok tenang2 saja dituduh agen Amerika! Dasar
08571016xxxx Monyet!
08592015xxxx
Kpn2 GM kalau lg orasi dilempar sepatu aja mukanya kayak yg
dialami Bush di Irak! Kawan2 YTh, Saut, Wowok,dan Viddy telah menjadi korban
083908100xxx kesewenangan dan keangkuhan ketua DKJ si goblok Marco. Tiga
seniman itu diusir dr ruang rakernas dewan kesenian se-Indone-
Laporan akhir thn 08 kebudayaan Kompas sungguh sia di Sheraton Media Hotel JKT.Si goblok Marco sudah keterla-
memuakkan. Prestensinya pemuja pluralisme dan keberagaman luan. Kita harus tuntut peristiwa ini! Si goblok MArco harus
tp selalu hanya mampu menemukan keserbatunggalan dr ranah bertanggung jwb!
kebudayaan Indonesia yang begitu luas dan kompleks: (Chavchay S)
komunitas seni ya Salihara, sastrawan ya Ayu Utami, penyair ya
Jokpin, aktor ya Butet, kuliner ya Yogya, eksotisme ya Bali, Komentar saya: (1) Kenapa lembaga dkj bisa diidi politisi
politik ya Jakarta, diskursus fundamentalis ya FPI, dsb. Strategi berkedok seniman yang kebusukannya bisa melebihi politisi sena-
murahan mereka gampang dibaca. Pemunculan dan pemeliharaan yan. (2) Sejarah berulang, kebrutalan mereka mengingatkan pada
untuk yg mereka suka; panafikan untuk yg mengacau kemapanan kebrutalan Lekra. Baca fakta-fakta di Prahara Budaya. (3) Kem-
mereka! balikan demokrasi dan toleransi, Tolak diskriminasi, hegemoni,dan
akar_rumput@yahoo.co.id dominasi kelompok neoliberalis dari dkj yang sudah jadi budak
TUK!
Dalam kasus Bakrie vs Tempo bgmn sikap TUK/Salihara? Di (Mustafa W Hasim, Yogya)
satu makan gaji Bakrie sbg staf Freedom Inst, di sisi lain dpt lahan
dari Tempo Grup. Di satu sisi ngaku pembela rakyat/HAM, di sisi Info terbaru! Laksmi Pamuncak mewakili sastra (wan) Ind ke
lain jd corong neolib/kapitalisme! Kumaha atuh? acara Fest Satra Internasioanal Winternachen Den Haag Belanda.
0817668xxx Dua tahun lalu ia juga ke Iowa. Pdhal di Ind tak ada yang dia
sastrawan!
Sy dengar rakernas dewan kesenian se-Ind ricuh. Wowok, Saut, 08193229xxx
Viddy vs Marco-DKJ. Ada indikasi DKJ mempolitisir kesenian
supaya berkiblat ke TUK/Salihara. Ini tidak benar karena TUK Dukungan misi kemanusiaan MAR-C ke Palestina. Ketik MARC
adalah lambang kapitalisme kesenian, meraup founding LN, PEDULI kirim ke 7505 untuk memberikan donasi Rp5.000/sms.
meninggalkan TIM yang semakin terpuruk keberadaannya. Se- Sebarkan.
mentara TUK adalah milik personal, tidak mewadahi seniman2 (MAR-C)
daerah. Ayo perangi TUK!! hidupkan kembali TIM.
(Shantined-Balik Papan) Jurnal bp sekarang bisa dibaca di grup “perang sastra boemi-
poetra vs TUK”di Facebook.com
Adam Malik yang sudah lama mati saja keluarga dan orang2 08578188xxx

Polisi Moral Sublimasi


Para peserta Konggres Kebudayaan di Bogor, Desember 2008, Dalam diskusi “Sastra dan Sublimasi Bahasa” yang
ramai membicarakan Djenar Maesa Ayu.
Cerpenis : Apa maksud perempuan itu bilang “poligami diadakan Balai Kecapi di Darmin Cafe, 19 Desember
tak bermoral” ya? 2008, Hamsad Rangkuti, juri KLA, mengaku
Penyair : Iya, katanya ia tak suka pada polisi moral. mendapat arti “sublimasi” dari kamus yang dibukanya
Dengan bilang begitu bukankah ia sendiri
sudah menjadi polisi moral yang tak bermoral. sebelum ia datang ke diskusi itu. Padahal ucapannya
Novelis : Apa maksudnya? tentang sublimasi puisi-puisi Nirwan Dewanto yang
Penyair : Lha kau tak lihat tadi separuh teteknya dibiarkan “dimenangkannya” dalam KLA sudah beredar di
keluar?
Cerpenis : Iya ya. Perempuan begitu kok bisa ikut Konggres koran-koran beberapa minggu sebelumnya.
Kebudayaan Indonesia sih. Jadi pembicara lagi! Jasi? Ahh....sungguh sublim!

DI SINI TOEAN
DI SINI
DANANDA
NJONJA
BEBAS
BEBAS
TERTAWA:
TERTAWA: DIJAMIN
DIDJAMIN
BERTANGGUNG
BERTANGGOENG
JAWAB DJAWAB

Anda mungkin juga menyukai