DI INDONESIA
Cikal bakal munculnya serikat buruh bermula di Inggris pada abad ke 18 namun pada saat itu serikat-serikat
buruh yang bermunculan berdasarkan buruh yang “skilled” dan “unskilled” tujuan didirikannya lebih kepada
untuk melindungi kepentingan profesi dan keahlian mereka. Pada pertengahan abad ke 19 baru terbentuklah
serikat buruh yang tidak berdasarkan “skilled” dan “unskilled” namun berdasarkan kelas yakni kelas buruh.
Perjuangan serikat – serikat buruh pada awalnya lebih kepada kesejahteraan dan pemenuhan
hak – hak mereka. Pada akhir tahun 1850-an terjadilah serangkaian peristiwa yang mengubah
situasi internasional, yaitu krisis ekonomi yang menimpa dua negeri industrial yang paling
maju di Eropa saat itu – Perancis dan Inggris - yang tidak saja membawa konsekuensi –
konsekuensi yang sangat besar secara ekonomi tapi juga politik.1
Sejarah sudah membuktikan bagaimana gerakan buruh mempunyai peranan yang signifikan
tidak hanya pada persoalan kebutuhan hidup layak tetapi juga menentukan arah
kepemimpinan bangsa melalui proses yang demokratis. Di Indonesia gerakan buruh dalam
proses demokrasi pernah mengalami proses pasang surut dimana sempat berkembang pada
era orde lama kemudian dibungkam pada era orde baru. Rezim Orde Baru merupakan koalisi
politik yang terdiri dari tentara, lapisan teratas birokrasi, serta elemen – elemen borjuasi kota
maupun pedesaan, dengan tentara sebagai elemen yang paling dominan. 4 Salah satu tugas
yang diemban Orde Baru pada masa awal berkuasa adalah menghidupkan kembali
perekonomian yang stagnan dimasa akhir Orde Lama, maka tidak mengherankan banyak
yang beranggapan bahwa kebijaksanaan perburuhan Orde Baru terutama dibentuk oleh tujuan
– tujuan ekonominya. Salah satu sasaran sasaran politik koalisi awal yang membentuk Orde
Baru adalah untuk mengekang kemungkinan gerakan – gerakan dalam masyarakat yang
berorientasi radikal.5
Buruh termasuk kedalam kelompok yang mendapat perhatian agak khusus, karena gerakan
buruh cenderung berideologi sosialis yang dianggap kiri, maka Orde Baru mengembangkan
sebuah gerakan buruh yang terkendali dan berideologi moderat. Hal ini untuk mendukung
program pemerintah yang saat itu hendak menarik masuk investor asing.
Dalam waktu bersamaan pemerintah juga terus menerus menghegemoni buruh dengan
menebar propaganda demi semata – mata penciptaan kenyamanan berusaha dan perluasan
kesempatan kerja dengan ”black propaganda” seperti pemogokan adalah cara – cara PKI,
penciptaan dalang atau aktor, aksi buruh yang tak pernah murni atau ditunggangi pihak lain,
istilah liar bagi tindakan buruh yang tidak memenuhi prosedur birokrasi yang justru
melemahkan kekuatan buruh, dsb.6
Ideologi politik perburuhan Orde Baru yang mengatur hubungan buruh dengan majiukan dan
pemerintah dilandaskan pada Hubungan Industial Pancasila (HIP). Pertama kali dilansir oleh
Letnan Jenderal Ali Murtopo tahun 1974 dengan nama Hubungan Perburuhan Pancasila
(HPP).7 Ali Murtopo mengatakan, bahwa perbedaan antara majikan dan buruh harus lenyap.
Doktrin ini melihat hubungan hubungan perburuhan mirip dengan hubungan didalam
keluarga – dengan negara berperan sebagai bapak yang bijaksana.8 Doktrin ini pada dasarnya
menentang konflik – karena bertentangan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat – oleh
4
Vedi R. Hadiz, Buruh dalam Penataan Politik Awal Orde Baru, Prisma, 1996, hal. 3
5
Ibid, hal. 4
6
Pokok – Pokok Pikiran YLBHI, Reformasi Politik Perburuhan Nasional, YLBHI, 1998, hal. 6
7
Ibid.
8
Vedi R. Hadiz, Buruh dalam Penataan Politik Awal Orde Baru, Prisma, 1996, hal. 7
karenanya penyelesaian konflik perburuhan dengan cara mogok dan lock out adalah sesuatu
yang harus ditiadakan didalam kepentingan buruh dan majikan sehingga harus berusaha
ditiadakan dalam kearangka HIP.9 Dengan begitu jelas bahwa Hubungan Industrial Pancasila
dalam kenyataannya merupakan hubungan industrial otoriter.
Seiring dengan eforia akibat tumbangnya rezim yang otoriter, yang membawa negara kita
pada transisi demokrasi, dimana kebebasan berserikat dan berpendapat lebih leluasa untuk
dilakukan, maka momen tersebut dimanfaatkan oleh kaum buruh. Serikat – serikat buruh
bermunculan laksana cendawan yang tumbuh subur di musim hujan, dari serikat pekerja
tingkat perusahaan sampai tingkat federasi dan konfederasi.
Disatu sisi hal ini membawa keuntungan bagi para anggotanya (buruh) karena amanat yang
diemban oleh serikat buruh salah satunya adalah melakukan pendampingan/membantu bagi
para anggotanya apabila terlibat dalam perselisihan hubungan industrial. Namun disisi lain
hal ini dapat berdampak negatif bagi buruh, karena tidak jarang para pengurus serikat buruh
hanya mengumpulkan iuran anggota tanpa melakukan apa – apa ketika anggotanya ada yang
terkena masalah dalam hubungan industrial. Belum lagi momentum kebebasan berserikat ini
juga dimanfaatkan oleh para pengusaha dengan membentuk serikat buruh yang tentu saja
bukan untuk kepentingan buruh itu sendiri namun justru untuk menekan buruhnya. Atau
bahkan dimanfaatkan segelintir elit buruh dengan mengatasnamakan anggota dan serikat.
Serikat buruh sangat potensial dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis sebagai
kekuatan politik alternatif dalam menyalurkan aspirasi anggotanya dan masyarakat pada
umumnya sehingga gerakan serikat buruh tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan
segelintir orang.
9
Op. Cit