Anda di halaman 1dari 4

HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA

Hubungan industrial ini menggambarkan pola hubungan diantara aktor aktor


produksi baik dalam konteks bi-patri, tri-patri ataupun multi-parti, sehingga menjadi
fenomena sosial. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangannya sangat
dipengerahui oleh berbagai fenomena sosial lainnya, seperti pertumbuhan dan
perkembangan sosial, ekonomi, politik hukum, budaya, agama, maupun situasi dan
kondisi keamanan negara.
Berbeda dengan di negara-negara indusri maju seperti eropa dan amerika pada awal
abad ke-19, dimana tumbuh kembang hubungan internasional dipicu oleh revolusi
indusri yang berakibat timbulnya kompleksibilitas dalam proses produksi serta
pengelolaan organisasi, sehingga diperlakukan penataan baru dalam hubungan diantara
para pelaku produksi termasuk hak dan kewajibannya.
Di Indonesia kemunculan dan perkembangannya diwarnai oleh pasang surut
dinamika politik yang berbasis pada pergeseran ideologi. Seperti diketahui bahwa pada
saat awal terjadinya revolusi industri, Indonesia masih berada dalam cengkeraman
kekuasaan kolonial Hindia Belanda selama lebih kurang 350 tahun, dimana Belanda
sendiri pada saat itu belum termasuk dalam tatanan negara- negara industrialis, karena
masih fokus pada bidang perdagangan hasil-hasil pertanian dan barang mentah.
Fenomena hubungan industrial saat itu masih sangat sederhana dan terbatas,
paling terkonsentrasi di sektor perkebunan serta industri gula yang tersebar di beberapa
tempat khususnya di pulau jawa. Namun demikian, pola hubungannya sudah diwarnai
oleh politik dan ideologi negara yang diadopsi dari kerajaan Belanda, yaitu kapitalis
liberalis. Kondisi tersebut dapat dilihat dari produk perundang-undangan yang mengatur
perburuhan dan hubungan industrial yang cenderung diwarnai oleh kebijakan untuk
melindungi para pemilik modal.
Setelah kemerdekaan, kondisi hubungan industrial makin diwarnai oleh dinamika
dan perkembangan politik negara. Ditandai dengan bermunculannya serikat
buruh/pekerja yang pada umumnya berafiliasi pada organisasi partai politik, yaitu partai
nasionalis, partai agamis dan partai komunis, yang ketiganya menjadi poros politik di
Indonesia dalam tag line NASAKOM, pada masa demokrasi terpimpin (1960 -1965). Hal
tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Soetarto, Direktur Jenderal Perlindungan dan
Perawatan Tenaga Kerja, bahwa serikat-serikat buruh di Indonesia merupakan alat partai
politik, sebagaimana dikemukakan oleh pemerintah orde lama, dengan kebijakannya
bahwa hanya serikat buruh yang berafiliasi pada partai-partai politik Nasakom saja yang
diakui eksistensinya.
Perjuangan buruh telah mengalami pergeseran dari perjuangan ekonomis untuk
meningkatkan kesejahteraan, menjadi alat politik untuk mencapai tujuan yang lebih luas,
yang ditetapkan oleh partai politik. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh
Hawkins dalam Vedi R. Hadidz:

 Perkembangan Hubungan Industrial di Indonesia

1. Periode Kolonial
Hubungan industrial di Indonesia mulai dikenal bersamaan dengan pertumbuhan
modal swasta di Indonesia. Pertumbuhan modal ini membuka peluang bagi
orang-orang Eropa untuk bekerja di perusahaan-perusahaan swasta dan bidang-
bidang tertentu dalam sistem birokrasi kolonial. Pada masa itu hubungan
industrial lebih mencerminkan hubungan antara para buruh Eropa dengan
perusahan-perusahaan swasta Eropa dan pemerintah Belanda. Sementara itu,
kaum buruh bumiputera ditempatkan pada status yang paling rendah sehingga
hubungan antara kaum buruh bumiputera dengan manajemen perusahaan swasta
Eropa lebih mencerminkan hubungan antara majikan dan budak atau pihak
penjajah dengan pihak yang dijajah.

2. Periode Awal Kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin


Pada permulaan kemerdekaan hubungan industrial tidak mengalami perubahan
yang signifikan, yaitu masih diwarnai dengan orientasi politik. Setelah
Proklamasi kemerdekaan, terbentuklah Barisan Buruh Indonesia yang
diprakarsai oleh para tokoh buruh dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.
Pada dekade lima puluhan (1950), terutama pada masa pemerintahan Perdana
Mentri M.Nasir, gerakan buruh sulit dipisahkan dari gerakan politik. Pada era
demokrasi Terpimpin ini, partai komunis memegang peranan penting. Sejalan
dengan itu, hubungan industrial yang berdasarkan Marxisme juga berkembang
pesat. Praktek-praktek hubungan industrial yang bersifat antagonistis dan
konfrontatif makin menonjol.

3. Periode Pemerintah Orde Baru


Pada masa ini, terjadi gerak balik perkembangan hubungan industrial kembali
seperti pada masa kolonial di mana pemerintah terlibat jauh dalam penataan
hubungan industrial. Dengan kata lain, kalau pada masa Orde Lama gerakan
buruh menjadi riuh rendah dengan politik, maka pada masa Orde Baru gerakan-
gerakan buruh menjadi sepi secara politik. Bahkan buruh diasingkan, diabaikan
dari politik serta dibatasi di bawah wadah tunggal serikat buruh political labor
union. Namun pada dekade 1990-an, ketika rezim Orde Baru mulai mengalami
keletihan, cengkraman Orde Baru atas gerakan buruh mulai menggendur. Gejala
ini ditandai dengan munculnya fenomena serikat-serikat buruh di luar serikat
buruh “resmi”. Fenomena pemogokan buruh menjelang akhir Orde Baru juga
menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan hubungan kelas : buruhmodal-
negara.

 Hubungan Industrial Pasca Orde Baru


Kejatuhan rezim Orde Baru dan pelaksanaan otonomi daerah sangat mempengaruhi
perkembangan hubungan industrial di Indonesia. Perubahan nyata kelola pemerintahan
dari sistem sentralistik ke desentralistik telah merubah pula mekanisme pengambilan
keputusan mengenai sistem hubungan industrial, yaitu mulai bersifat desentralistik dan
dialogis. Salah satu perubahan penting ini adalah munculnya sistem hubungan industrial
yang memungkinkan para buruh bebas mendirikan serikat pekerja pada tingkat
perusahaan sesuai dengan UU No. 21/2000. Di samping itu, pemerintah juga telah
meratifikasi beberapa konvensi ILO (International Organization – PBB). Hubungan
industrial pasca Orde Baru dihadapkan pada persoalan penetapan Upah Minimum
Regional (UMR) dan Upah Minimum Provinsi(UMP). Keberatan pihak pengusahan
yang mencoba menunda dan atau menolak kebijakan ini telah memicu timbulnya unjuk
rasa buruh. Selain itu, hubungan industrial diuji dengan adanya ketidaksepakatan antara
pengusaha dan buruh tentang Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 dan
Kepmenakertrans No. Kep 78 dan 111/Men/2001, UU No. 21 Tahunn 2000, serta RUU
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Berbagai gejolak industrial
yang muncul pasca kejatuan rezim Orde Baru tidak semata-mata dipicu oleh perbedaan
kepentingan mendasar antara pengusahan dengan buruh, namun dapat pula dipicu oleh
masalah kecil atau kesalahpahaman, termasuk kesalahpahaman dalam memahami
peraturan pemerintah maupun peraturan perusahaan. Selain disebabkan oleh faktor
internal perusahaan, beberapa kasus menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sering
menjadi pemicu terganggunya hubungan industrial. Buruh menilai kebijakan
pemerintah tidak berpihak kepada buruh, dan penyusunan kebijakan tersebut sering
tidak melibatkan buruh. Oleh karena itu hubungan industrial tidak dapat diciptakan
secara sepihak, baik oleh Pemerintah, Pengusaha, atau Buruh. Berdasarkan penelitian
SMERU (2002) suatu hubungan industrial yang harmonis adalah hubungan kerja yang
didasari oleh rasa saling percaya, saling menghargai dan dihargai, dan saling memberi.

DAFTAR PUSTAKA
http://repository.unas.ac.id/272/1/Hubungan%20Industrial_Daradjat_Master%20Cetak.pdf
Tim Jurusan Sosiologi UT-UI. 2013. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta. Penerbit
Universitas Terbuka.
Harun, Harli.2014.”Apa itu Hubungan Industrial.”
Diunduh dari http://www.economy.wordpress.com tanggal 02 Maret 2017 pukul 15.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai