1 Perspektif Barat
Dari perspektif barat, pada masa ini filsafat dipengaruhi oleh teologi kristen. Pikiran dan hasil
pemikiran para filsuf dibatasi oleh dogma atau agama. Sesuai dengan sistem sosial politik
yang berlaku pada waktu itu semua pemikiran dan hasil karya para filsuf, bahkan juga
seniman dan ilmuwan dibatasi dan dibelenggu oleh kebenaran agama. Artinya bahwa semua
karya filsuf, seniman, dan ilmuwan boleh dipublikasikan asal sesuai dan tidak bertentangan
dengan ajaran agama.
Kedua filsuf besar pada masa ini yakni St. Augustine (354–430) dan Thomas Aquinas (1225–
1274). pemikiran Agustinus diarahkan menuju Tuhan. Baginya, Kristen adalah sumber
kebenaran.
Pertama, St. Augustine (354–430). Berseberangan dengan pandangan Platonis, Bagi
Augustinus, jiwa manusia berasal dari Tuhan. Tuhan menciptakan jiwa dari ketiadaan
Agustinus meyakini bahwa manusia tidak bisa memiliki pengetahuan d ari dirinya sendiri
kalau tidak disinari dan dicahayai oleh Tuhan. Filsafat yang dikembangkan Agustinus secara
essensial adalah filsafat pengalaman keagamaan dan merupakan sumber bagi mistisisme dan
etika barat. Agustinus menolak dualisme ekstrim Plato tentang manusia yang mengatakan
bahwa manusia merupakan jiwa yang terpenjara dalam tubuh. Menurut Agustinus, manusia
adalah substansi yang menggunakan tubuh untuk tujuan-tujuan tertentu. Karena tubuh
manusia tergolong kedalam dunia indrawi (alam jasmani) dan jiwanya tergolong ke dalam
alam rohani. Kedua, Tomas aquinas. Thomas juga berpendapat bahwa jiwa manusia
diciptakan di dalam tubuh. Thomas meyakini, bahwa manusia memiliki jiwa sejak ia
dikandung. Tomas meyakini bahwa Kehendak manusia selalu mengarah pada tujuan; dan
yang menjadi tujuan adalah kebaikan. Karena kehendak adalah keinginan yang disadari, maka
keinginan akan yang baik itu diperoleh dari akal
2. Perpesktif Islam
Pada awal abad pertengahan disebut sebagau puncak peradaban Islam (golden age atau
zaman keemasan islam). Era ini dimulai dengan mengadaptasi pemikiran Aristoteles (lazim
disebut pemikiran Aristotelian) yang berdasarkan logika dan ilmiah. Adapun beberapa filsuf
Islam yakni
a. Al kindi (801865 M)
Al-Kindi tidak spesifik menjelaskan tentang manusia melainkan Antropologi mengenai jiwa
dan sifatnya Konsep Al-Kindi mengenai manusia ialah tentang Jiwa, Akal dan Etika,
dansifat-sifatnya. Menurutnya, jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal
dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang
mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak accidental (al-„aradh). Al-
Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu(appetitive /al-quwwah
asy-syahwāniyyah), daya pemarah(irascible / al-quwwah al-ghadhabiyyah), dan daya
berpikir (cognitive ataurational / al-quwwah al-„āqilah). Menurutnya, daya yang paling
penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang
lebih tinggi. Sumber filosofi Al-Kindi berasal dari sumber-sumber Yunani klasik, terutama
Neoplatonik. Risalahnya, Risalah fi Al-Hudud Al-Asyya, secara keseluruhan dapat dipandang
sebagai basis atau pandangan-pandangannya sendiri
b. Al Farabi (870-950 M)
Konsep pendidikan jiwa al-Farabi banyak terilhami oleh filsafat Plato, Aristoteles dan
Plotinus. Ia menjelaskan bahwa Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqah, berasal
dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khlaq, berbentuk, berupa, berkadar, dan
bergerak.24 Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya. Dengan demikian, al-Farabi
membagi jiwa kedalam beberapa bagian yaitu ; 1) jiwa penggerak (al-nafs al-muharrikah),
2) Jiwa menangkap (al-nafs al-mudrikah) dan 3) jiwa berfikir (al-nafs al-natiqah). Jiwa-jiwa
tersebut merupakan potensi di dalam diri manusia yang akan melahirkan daya berpikir
yang dapat mengubah prilaku dan sikap manusia dalam kehidupannya
c. Ibnu Sina (980 – 1037 M)
Menurut Ibnu Sina manusia terdiri atas dua unsur, yaitu tubuh dan jiwa. Jiwa rasional
manusia. Jiwa manusia (al-nafs a; nathuqoh memiliki dua daya akal praktis (al-‘amilat) dan
teoritis (al-‘alimat). Daya akal praktis cenderung untuk mendorong manusia untuk
memutuskan perbuatan yang pantas dilakukan atau ditinggalkan, di mana kita bisa
menyebutnya perilaku moral. Daya akal teoritis, yaitu: akal potensial (akal hayulani), akal
bakat (habitual), akal aktual dan akal perolehan.