Anda di halaman 1dari 10

Nama : Akasyah Satyarendra

NIM : 200401110024
Kelas : Psikologi A
PANIC BUYING PADA PANDEMI COVID 19 DARI PERSPEKTIF
PSIKOLOGI

Email : Akasyahsatyarendra@gmail.com
Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Fakultas Psikologi

Abstract
The COVID-19 pandemic has an impact on health, social, economic and
psychological. One of the effects of COVID-19 was panic buying. This article
aims to review the literature on panic buying from a psychological perspective.
We conducted a panic buying study on the latest research references from the
COVID-19 pandemic to other disease outbreaks that occurred decades ago. In
the first section, we compared the definition of panic buying with similar terms,
such as frantic shopping, impulse buying, and compulsive buying. Then, we laid
out the psychological explanation behind panic buying through consumer
behavior, fear and anxiety, stress, uncertainty, and media exposure. In the last
section, we proposed several solutions that can be used as policy guidelines to
control panic buying when a disease outbreak occurs.
Keywords : Panic Buying , COVID – 19 , Pandemic , Psychology

Abstrak
Pandemi COVID-19 berdampak pada kesehatan, masyarakat, ekonomi dan
psikologi. Salah satu dampak COVID-19 adalah pembelian panik. Artikel ini
bertujuan untuk meninjau pembelian panik dari perspektif psikologis. Kami
melakukan tinjauan pustaka panic buying dari penelitian terbaru, termasuk
pandemi COVID-19 yang telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir dengan
wabah penyakit serupa. Pertama, artikel ini membandingkan definisi panic buying
dengan istilah serupa seperti crazy buying, impulsive buying, dan compulsive
buying. Kemudian, kami meninjau penjelasan psikologis di balik panic buying
melalui perilaku konsumen, ketakutan dan kecemasan, stres, ketidakpastian, dan
eksposur media. Pada bagian sebelumnya, kami mengusulkan beberapa solusi
yang dapat digunakan sebagai pedoman kebijakan untuk mengatasi panic buying
ketika pandemi pecah.
Kata kunci : Panic Buying , COVID – 19 , Pandemi , Psikologi
1. Pendahuluan
Hingga 11 Mei 2020, WHO melaporkan terdapat 3,9 juta kasus penyakit
virus corona atau COVID-19 telah dikonfirmasi di 215 negara (Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), 2020). Beberapa negara telah melaporkan
pembelian panik sebagai tanggapan terhadap pandemi ini. Karenanya, tidak
hanya COVID-19, panic buying juga terjadi di seluruh dunia. Dari Singapura
hingga Amerika Serikat, karena banyaknya konsumen yang ingin membeli
beras, hand sanitizer hingga tisu toilet dan komoditas lainnya, antrian panjang
di supermarket telah terjadi selama beberapa minggu (Thukral, 2020).
Indonesia sendiri, tak lama setelah diumumkannya dua orang pertama yang
dinyatakan positif COVID-19 pada 2 Maret 2020, masyarakat di Jakarta
menyerbu beberapa jenis stok komoditas, seperti sembako, hand sanitizer dan
masker (Putra, 2020). Tak hanya di Jakarta, fenomena ini juga terjadi di
beberapa daerah lain, seperti Surabaya dan beberapa kota lainnya.
Dalam penelitian psikologi, perilaku pembelian masyarakat dalam
fenomena ini disebut panic buying. Panic buying mengacu pada perilaku
konsumen berupa membeli produk dalam jumlah besar sehingga tidak akan
ada kekurangan di kemudian hari (Shou, Xiong, dan Shen, 2011). Secara
historis, Honigsbaum (2013) melaporkan bahwa panic buying terjadi selama
wabah flu Spanyol pada tahun 1918. Kemudian pada tahun 2003 ketika
sindrom pernafasan akut parah (SARS) terjadi di Hong Kong, pembelian
panik juga muncul (Cheng, 2004; Fast, Gonzalez, Wilson dan Marcusson,
2015; Wai Man Fung dan Yuen Loke, 2010). Selain wabah, ketika perkiraan
nilai bencana alam muncul (Wai Man Fung & Yuen Loke, 2010) menjadi
bencana non alam seperti krisis nuklir (Li, Wang, Gao, & Shi, 2017; Zhao,
Zhang, Tang , & Kou, 2016). Dalam pandemi COVID-19, Garfin, Silver,
dan Holman (2020) percaya bahwa pembelian darurat tampaknya merupakan
respons stres.
Namun, studi empiris yang mendalami fenomena panic buying hanya
sedikit, setidaknya ada empat artikel yang menjelaskan tentang panic buying
ketika menjelaskan landasan ilmiah di bidang psikologi. Pertama, artikel oleh
Garfin et al. (2020) menggambarkan stres sebagai pemicu panic buying.
Kedua, artikel Wai Man Fung dan Yun Loke (2010) mempelajari
kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi bencana, yang sebagian di
antaranya ditemukan terkait dengan panic buying. Ketiga, artikel Tsao, Raj,
dan Yu (2019) menghitung model matematis penjualan barang dalam situasi
pembelian darurat. Terakhir, artikel Bacon and Corr (2020) menjelaskan
bahwa panic buying terkait COVID-19 merupakan perilaku maladaptif yang
disebabkan oleh konflik psikologis individu.
2. Definisi Panic Buying

Dalam penelitian sosiologis, kepanikan atau kepanikan umum merupakan


salah satu bentuk perilaku kolektif (Oliver, 2013; Quarantelli, 2001; Shadiqi,
in press). Istilah perilaku kolektif mengacu pada tindakan yang terjadi secara
tiba-tiba dan spontan, bukan aktivitas sehari-hari, dan seringkali tidak sesuai
dengan norma (non normatif) (Oliver, 2013). Zhao dkk. (2016)
Mengklasifikasikan panic buying sebagai perilaku kolektif. Dalam ilmu
perilaku (terutama psikiatri), panik secara tegas digambarkan sebagai
gangguan panik atau serangan panik (Park, 2013). Dari perspektif gangguan
kejiwaan, serangan panik ditandai dengan serangan berulang, tiba-tiba dan
tidak terduga (Park, 2013). Secara khusus, Strahle dan Bonfield (1989) lebih
cenderung mengaitkan kepanikan konsumen dengan perilaku kolektif melalui
penelitian sosiologis. Namun, dari perspektif sosiologis dan psikiatri,
kepanikan dicirikan oleh perilaku yang tiba-tiba. Jika dikaitkan lebih jauh
dengan panic buying pada isu COVID-19, fenomena ini mempunyai benang
merah yang sama, yaitu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terkontrol.
Fenomena panik berbelanja atau biasa disebut dengan istilah “panic
buying” dapat dijelaskan sebagai perilaku konsumen yaitu membeli produk
dalam jumlah banyak untuk menghindari kekurangan di kemudian hari (Shou
et al., 2011). Perilaku ini disebut juga perilaku menimbun oleh konsumen.
Shou dkk. (2011) secara implisit mencerminkan panic buying, yaitu
perbedaan antara jumlah pesanan dan permintaan dasar konsisten dengan
perubahan harga yang diharapkan. Satu hal yang perlu ditekankan dalam
definisi ini adalah konsumen membeli barang dalam jumlah banyak bukan
untuk mencari selisih harga antara masa kini dan masa depan, melainkan
untuk menghindari kemungkinan kekurangan pasokan di masa mendatang.
3. Perbedaan panic buying dan buying frenzies
Di bidang ekonomi juga dikenal istilah fanatisme beli. Meskipun kedua
istilah tersebut merupakan perilaku dimana jumlah pembelian melebihi batas
permintaan normal, pertimbangan kegilaan membeli didasarkan pada
diskriminasi harga antar waktu (Courty & Nasiry, 2016). Perilaku panic
buying lebih didasarkan pada kekhawatiran tentang ketersediaan komoditas di
masa depan (Shou et al., 2011). Pembelian barang-barang fanatik membuat
orang berani membeli barang dengan harga yang lebih tinggi karena penilaian
barang tidak jelas (Courty & Nasiry, 2016; Kendall, 2018). Perbedaan lainnya
dapat dilihat pada contoh di bawah ini: pada saat wabah COVID-19 orang
membeli masker karena takut persediaan maskernya akan habis, yang disebut
dengan panic buying. Sebaliknya, hiruk pikuk membeli terjadi karena
masyarakat khawatir harga masker semakin tidak wajar, sehingga mereka
membeli dalam jumlah banyak dan berani membelinya dengan harga
berapapun di pasaran.
4. Perbedaan panic buying, impulsive buying, dan compulsive buying

Dalam hal perilaku berbelanja, istilah lain yang mirip dengan panic buying
adalah pembelian impulsif. Pembelian impulsif adalah perilaku membeli
barang dengan sedikit atau tanpa pertimbangan setelah dorongan tiba-tiba dan
kuat (Amos, Holmes dan Keneson, 2013; Block dan Morwitz, 1999).
Persamaan antara kedua perilaku ini terletak pada kurangnya pertimbangan,
yang merupakan akibat dari dorongan yang tiba-tiba dan kuat. Namun,
perbedaannya adalah dalam pembelian impulsif, motivasi utilitarian
(menggunakan barang) dan hedonistik (bersenang-senang), pengendalian diri
yang rendah, dan emosi positif (Iyer, Blut, Xiao dan Grewal, 2019) mengarah
pada Kurangnya pertimbangan dan dorongan mendadak).
Istilah lain yang setara dengan pembelian impulsif adalah pembelian
kompulsif, yang keduanya diklasifikasikan sebagai perilaku adiktif. Leite dan
Silva (Leite dan Silva), 2016; Lourenço Leite, Pereira, Nardi dan Silva (2014)
menjelaskan bahwa pembelian kompulsif tidak termasuk dalam standar
"Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental Kelima" (DSM-V) dan
biasanya terkait dengan gangguan obsesif-kompulsif. Beberapa diagnosis
pembelian kompulsif adalah perilaku konsumen yang buruk, belanja
berlebihan, dan fungsi yang mengganggu kehidupan sosial pribadi (Faber,
O'Guinn dan Krych, 1987; Maraz, Griffiths dan Demetrovics, 2016). Hartney
(2020) menjelaskan bahwa pembelian impulsif seringkali tidak terencana,
sedangkan pembelian wajib lebih terencana. Oleh karena itu, kami
memperkirakan bahwa pembelian kompulsif sangat berbeda dengan
pembelian panik, karena perilaku adiktif ini terencana.
Berdasarkan uraian di atas, kami menyimpulkan bahwa panic buying
merupakan perilaku konsumen dalam berbelanja, yang didorong oleh
kekhawatiran dan kekhawatiran tentang produk yang akan datang, dengan
tetap mencari manfaat fungsional dari proses belanja, namun Kuantitasnya
terlalu banyak atau melebihi kebutuhan konsumen tersebut. Ciri-ciri perilaku
tersebut dicirikan oleh perilaku mendadak, tidak terkontrol, berlebihan, dan
berbasis kekhawatiran yang dilakukan banyak orang.
5. Penjelasan psikologis mengapa panic buying terjadi
Perilaku konsumen . Dalam studi yang dilakukan oleh András dan Tamás
(2020) di Hongaria tentang panic buying yang disebabkan oleh COVID-19,
ancaman virus tersebut menyebabkan reaksi panik yang kuat terjadi pada
Maret 2020. Mayoritas responden penelitian menyatakan bahwa kondisi
mereka meningkat. Belanjakan selama minggu pertama fase krisis ini. Selain
itu, András dan Tamás menyatakan bahwa ancaman COVID-19 telah
berdampak signifikan terhadap seluruh industri ritel di Hongaria akibat
perubahan perilaku belanja konsumen. Berdasarkan temuan penelitian,
frekuensi belanja, preferensi toko, pengeluaran, preferensi produk dan
penolakan produk telah banyak berubah. Ho, Chee, dan Ho (2020)
menjelaskan masalah panic buying di Singapura yang terjadi setelah status
tanggap bencana membaik dan masyarakat membeli barang untuk menjaga
ketersediaan pangan. András dan Tamás (2020) juga menemukan bahwa
sebanyak 87% dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa mereka
melakukan pembelian tambahan untuk meningkatkan inventaris dalam
kategori produk tertentu.
Ketakutan dan kecemasan . Panic buying merupakan manifestasi
dari kecemasan dan ketakutan pribadi yang disebabkan oleh ancaman
(Cheng, 2004). Selain itu, Cheng menjelaskan bahwa rasa takut atau panik
adalah emosi dasar yang dapat merangsang respons "lawan atau lari", yang
memungkinkan individu bereaksi dengan cepat saat menghadapi bahaya.
Berdasarkan penelitian Jinqiu (2003) dan Wilson V, Polyak, Blake dan
Collmann (2008) menjelaskan bahwa panic buying dapat diartikan sebagai
mekanisme survival atau naluri hidup yang membuat orang takut mati, dalam
kematian seperti ini dilakukan untuk melindungi dan membela diri. Upaya
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis seringkali membuat orang menjadi
dangkal, yang menurut Jin Qiu (2003) dapat menyebabkan kekurangan suplai
dan kekacauan sosial. Penelitian oleh Wilson V dkk ( 2008 ) . memberikan
penjelasan bahwa kecemasan yang tidak dapat dikendalikan akan melahirkan
kepanikan. Kepanikan ini sendiri tidak akan terjadi jika masyarakat mampu
mengutamakan pikiran rasionalnya. Sehingga perubahan perilaku dalam
pembelian tidak akan terjadi.
Stress . Fast dkk. (2015) menulis dalam diarynya bahwa respon
masyarakat terhadap wabah penyakit biasanya tenang dan tertib, namun pada
kasus yang jarang terjadi, penyebaran wabah penyakit juga dapat memicu
keresahan sosial, seperti kepanikan dan penyimpanan alat kesehatan. . Reaksi
sosial yang menunjukkan kecemasan parah dimanifestasikan dalam perilaku
yang mengkhawatirkan penyakit, seperti panic buying atau berpartisipasi
dalam protes (Fast et al., 2015). Mengenai wabah COVID-19, panic buying
tampaknya sangat relevan karena orang cenderung berpikir bahwa ancaman
virus baru memiliki risiko lebih tinggi daripada ancaman yang lebih umum
seperti influenza (Hong & Collins, 2006). Sebuah studi longitudinal
menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu, begitu peristiwa yang mengancam
kesehatan fisik dan mental terjadi, respons stres meningkat (Garfin et al.,
2020). Selain itu, respons stres meningkatkan ketidakseimbangan dan
perilaku mencari bantuan yang tidak tepat sebagai respons terhadap ancaman
aktual (Garfin et al., 2020). Misalnya, panic buying barang-barang penting
tertentu sebagai respons terhadap COVID-19, seperti tisu toilet, kotak P3K,
air minum kemasan, dan hand sanitizer. Kalaupun hal tersebut akan
berdampak pada kekurangan persediaan komoditas dan melonjaknya harga
komoditas tersebut.
Ketidakpastian . Informasi yang tidak mencukupi karena kurangnya
informasi atau kurangnya efisiensi komunikasi dapat menyebabkan
ambiguitas, yang mengarah pada peningkatan penilaian ancaman dan
kepanikan selama krisis kesehatan (Wu, Huang, Zhang, He, & Ming, 2020).
Hal ini terjadi dalam konteks krisis H1N1 atau flu babi di dunia, dan
peningkatan ketidakpastian sebanding dengan peningkatan pengendalian
kecemasan (Taha, Matheson, & Anisman, 2014). Sejauh menyangkut
COVID-19, orang mungkin menghadapi konflik psikologis antara mencoba
mempertahankan rutinitas dan menghadapi ketidakpastian akhir pandemi ini
(Sim, Chua, Vieta, dan Fernandez, 2020). Ketidakpastian juga terkait dengan
konsumsi komoditas (Kalina & Tilley, 2020), yang berarti ketidakpastian
merupakan ketidakpastian ketersediaan komoditas. Saat ini, ambiguitas
digabungkan dengan lima ancaman tak terlihat yang dianggap seperti virus.
Ketakutan dan kekhawatiran memperburuk penyebaran informasi yang salah.
Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Cheng (2004) dalam artikelnya, ketika
orang mengira bahwa informasi tentang epidemi disembunyikan atau hanya
diungkapkan sebagian, maka terjadi kepanikan, karena ketakutan akan
kejadian yang tidak diketahui biasanya memicu kecemasan dan kepanikan.
reaksi. Hal ini menekankan pentingnya mendapatkan berita atau informasi
yang jelas dan meyakinkan dari sumber yang dapat dipercaya. Sebaliknya,
Lunn et al. (2020) menjelaskan bahwa pemerintah sering membesar-besarkan
risiko panik yang dapat memicu panic buying. Artinya, informasi harus
dikomunikasikan kepada publik secara proporsional.
Peran eksposur media . Jika orang memiliki informasi yang benar
tentang apa yang terjadi, mereka tidak akan panik. Namun sebagaimana kita
pahami bahwa dalam hal ini masyarakat kurang melakukan sosialisasi secara
komprehensif, sebagaimana dikatakan Jin Qiu (2003), kurangnya informasi
dan rumor lainnya membuat panik masyarakat. Insiden tersebut terjadi pada
saat virus SARS melanda Tiongkok. Insiden tersebut menimbulkan
kepanikan sosial. Alasan mengapa orang panic buying narkoba adalah
kurangnya informasi resmi dan promosi dari mulut ke mulut melalui pesan
teks dan media sosial (Qiu, Chu, Mao, Wu, 2018). Kami juga percaya bahwa
kurangnya informasi publik yang dibutuhkan oleh pihak berwenang dan
maraknya berita palsu telah memperburuk kepanikan masyarakat. Menurut
Cheng (2004), menonton berita dan informasi yang tidak jelas dapat
mempengaruhi kepanikan pribadi. Penelitian Garfin et al. Juga mendukung
hal tersebut. (2020), membahas dampak paparan media terhadap kecemasan
dan stres publik terkait krisis COVID-19.
Paparan media ini mungkin terkait dengan informasi tentang
kelangkaan sumber daya dan permintaan harian (Roy et al., 2020). Paparan
media juga terjadi selama paparan Virus Ebola terjadi di Amerika Serikat
pada tahun 2014 (Thompson, Garffin, Holman and Silver, 2017). Semakin
banyak seseorang memperhatikan atau memperhatikan berita yang berkaitan
dengan epidemi, maka akan semakin banyak reaksi panik yang ditimbulkan.
Menonton banyak berita akan membuat orang berpikir tentang epidemi ini
semakin banyak dan menimbulkan kepanikan (Cheng, 2004). Sejumlah
besar informasi yang saling bertentangan juga dapat menyebabkan
kepanikan selama wabah COVID-19 (Mesa Vieira, Franco, Gomez Restrepo
dan Abel, 2020).
Fast dkk . (2015) juga menjelaskan bahwa kepanikan pribadi terkait
wabah juga disebabkan oleh rangsangan media massa dan komunikasi antar
tetangga di jejaring sosial. Dari perspektif psikososial, panik dianggap
sebagai karakteristik bawaan dari kecemasan pribadi, yaitu ketika orang
merasa gugup tentang kehidupan, individu cenderung sangat sensitif untuk
berkontribusi pada model sosial yang lebih luas (Cheng, 2004). Perilaku ini
sering disebut sebagai " following the crowd " atau "going with the flow"
(Cheng, 2004). Orang berkomunikasi dengan tetangga mereka dan
cenderung mengadopsi pandangan yang mengkhawatirkan daripada
menghibur mereka.
6. Dinamika Psikologi Sosial dari perilaku Panic Buying
Kami percaya bahwa teori yang dapat menjelaskan dinamika psikologi
sosial dari panic buying adalah teori sosial kognitif Albert Bandura. Bandura
(2012) menjelaskan bahwa teori tersebut awalnya disebut teori pembelajaran
sosial. Argumen kami setidaknya didukung oleh argumen Arafat dan lainnya.
(2020) dan Zheng et al. (2020). Kesesuaian penggunaan teori kognitif sosial
juga didasarkan pada pertimbangan peran beberapa hubungan kausal yang
telah kami identifikasi pada bagian sebelumnya. Bandura (2012) menilai
munculnya istilah teori kognitif sosial karena pemikiran, motivasi dan
perilaku manusia ditentukan oleh faktor "sosial" dan proses "kognitif".
Bandura (2012) mengajukan “triadic reciprocal causation” untuk
menjelaskan teori kognitif sosial, yaitu fungsi psikologis manusia berasal dari
interaksi kausalitas dari dimensi interpersonal (personal=P), perilaku
(behavioral=B), dan lingkungan (environmental= E).
Dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal, orang yang
melakukan pembelian dengan panik mengalami kondisi psikologis internal
tertentu. Beberapa orang mengalami situasi berikut: konflik psikologis, stres,
ketakutan, kecemasan, ketidakamanan dan / atau ketidakpastian. Dari sisi
lingkungan, ketersediaan komoditas, informasi dari media massa dan
informasi yang disebarluaskan melalui lingkungan sosialnya, seperti
informasi yang disebarluaskan antar tetangga, menjadi salah satu penyebab
terjadinya situasi ini. Selain itu, perlu ditekankan bahwa pandemi juga
merupakan faktor lingkungan yang berperan penting dalam pembelian
darurat. Pada dimensi ketiga, perilaku itu sendiri adalah munculnya perilaku
panic buying. Ketiga dimensi tersebut berperan dan mempengaruhi satu sama
lain, dan tidak adanya satu dimensi dapat menurunkan tingkat perilaku panic
buying. Pada dimensi ketiga, perilaku itu sendiri yaitu munculnya perilaku panic
buying. Tiga dimensi ini saling berperan dan memengaruhi satu sama lain,
ketiadaan salah satu dimensi dapat menurunkan level perilaku panic buying.
Selanjutnya, proses yang menjembatani ketiga dimensi ini adalah proses
kognitif, yakni individu menggunakan pikiran mereka untuk mengolah dan
mengevaluasi informasi.
7. Kesimpulan
Panic buying terjadi selama wabah penyakit dan bencana alam dan
non-alamlainnya, seperti wabah COVID-19. Panic buying konsumen
biasanya mengarah pada efek negatif, seperti antrian panjang, stok habis
dalam jumlah besar, kecemasan besar, dan akhirnya berdampak negatif
yang besar pada pasar (Shou et al., 2011). Oleh karena itu, dalam
menghadapi situasi atau krisis apa pun, panic buying harus diatasi. Melalui
artikel ini, kami dapat menjelaskan secara lebih mendalam perbedaan
antara panic buying dan crazy buying, compulsive buying dan impulsive
buying. Tanda-tanda panic buying adalah perilaku yang tiba-tiba, tidak
terkontrol, banyak orang, tampak berlebihan, dan menimbulkan
kekhawatiran. Artikel ini juga memperkenalkan faktor-faktor yang
menyebabkan perilaku panic buying, yaitu faktor dari perilaku konsumen
(munculnya persepsi kelangkaan barang), adanya ketakutan, kecemasan,
perasaan tidak aman, konflik psikologis, stres, persepsi ketidakpastian, dan
paparan media. Kami juga mengajukan model dinamika psikologi sosial
yang dapat memicu munculnya panic buying menggunakan teori kognitif
sosial.
Tulisan ini tentu masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan
hasil-hasil riset yang dikutip dari bidang psikologi. Kami juga menemukan
hanya sedikit artikel ilmiah yang mengajukan saran kebijakan terkait
panic buying, bahkan kami belum menemukan riset-riset panic buying
yang menjelaskan efektivitas kebijakan-kebijakan dilaksanakan untuk
menghadapi wabah pandemi seperti ini. Padahal wabah seperti ini telah
terjadi berkali-kali sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu. Untuk
itu, pada bagian kesimpulan ini kami memberikan beberapa saran
implikasi praktis menghadapi panic buying, yaitu (1) membatasi penjualan
barang, misal setiap orang boleh membeli dengan jumlah tertentu setiap
waktu tertentu (per minggu) dan penerapan besaran harga berkali-kali lipat
jika konsumen membeli lebih dari jumlah yang ditentukan; (2) membuat
aturan prioritas bagi orang lanjut usia dan anak-anak; (3) menguatkan
peran otoritas dalam mengontrol harga, mengatur penyaluran barang, dan
menindak oknum yang merugikan konsumen; (4) menyediakan pembelian
barang secara daring dengan tetap menerapkan aturan jumlah barang dan
prioritas pembeli; (5) menyebarkan informasi positif, jelas, terbuka, dan
proporsional mengenai ketersediaan barang; (6) menekan penyebaran
informasi yang menyesatkan dan palsu (hoaks).
DAFTAR PUSTAKA

Shadiqi, M. A., Hariati, R., Fadhli, K., Hasan, A., Noor, I., & Istiqomah, W. Al.
(2020). Early View Panic buying pada pandemi COVID-19 : Telaah literatur
dari perspektif psikologi. 18(xx). https://doi.org/10.7454/jps.2020.xx

Wahyudi, E. (2020). Aprindo sebut panic buying di 6 kota pasca pengumuman


corona. Tempo.Co. Retrieved from
https://bisnis.tempo.co/read/1315098/aprin -sebut-panic-buying-di-6-kota-
pasca pengumuman-corona/full&view=ok

C., H. M., Girish, P., Peter, F., & David, D. (2020). Beyond panic buying:
consumption displacement and COVID-19. In Journal of Service
Management: Vol. ahead-of-print (Issue ahead-of-print).
https://doi.org/10.1108/JOSM-05-2020-0151

Widyastuti, P. (2020). ANALISIS KEPUTUSAN PEMBELIAN : FENOMENA


PANIC BUYING DAN SERVICE CONVENIENCE ( STUDI PADA
GROCERY STORE DI DKI JAKARTA ). 978–979.

Septiadi, M. A. (2020). PANIC SYNDROM COVID-19 : PENEKANAN


TERHADAP KEBIJAKAN YANG DIBERIKAN. 4(1), 44–53.

Purbatin, W., Soenjoto, P., & Mujiyono, A. (2020). Fenomena Panic Buying dan
Scarcity di Masa Pandemi Covid 19 Tahun 2020 ( Kajian Secara Ekonomi
Konvensional dan Syariah ). 6(2), 126–139.

Shou, B., Xiong, H., & Shen, Z. M. (2011). Consumer Panic buying and Quota
Policy under Supply Disruptions. In Working paper. Hong Kong.
Putra, N. P. (2020). Headline: Virus Corona picu panic buying makanan, masker,
hand sanitizer, bagaimana meredamnya? Liputan6. Retrieved from
https://www.liputan6.com/news/read/4193 886/headline-virus-corona-picu
panic buying-makanan-masker-hand-sanitizer bagaimana-meredamnya

Sim, K., Chua, H. C., Vieta, E., & Fernandez, G. (2020). The anatomy of panic
buying related to the current COVID-19 pandemic. Psychiatry Research, 288,
113015. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.113015

Garfin, D. R., Silver, R. C., & Holman, E. A. (2020). The novel coronavirus
(COVID-2019) outbreak: Amplification of public health consequences by
media exposure. Health Psychology : Official Journal of the Division of
Health Psychology, American Psychological Association.
https://doi.org/10.1037/hea0000875

Anda mungkin juga menyukai