Anda di halaman 1dari 67

PENGARUH STRATEGI RITEL TERHADAP

IMPULSE BUYING DAN DAMPAKNYA TERHADAP

COMPULSIVE BUYING DI MALL AEON BSD

SERPONG TANGGERANG SELATAN

Pengajuan Bimbingan Disertasi

Ketua Promotor : DR. Ria Arifianti, S IP, M Si.

Anggota Promotor 1 : DR. Muhammad Benny Aleksandri, SE, M.M.

Anggota Promotor 2 : DR. Anang Muftiadi, SE, M.M

Oleh : ZAKIATUZZAHRAH
NPM :170230150044

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017
1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di setiap negara saat ini terus mengalami peningkatan akan kebutuhan

hidup masyarakatnya, keinginan masyarakat terus meningkat dan kebutuhannya

semakin bertambah kondisi demikian menumbuhkan usaha ritel. Para pengusaha

ritel menjadikan situasi peningkatan kebutuhan hidup masyarakat sebagai sebuah

kesempatan guna pengembangan usaha untukmemenuhi kebutuhan serta

keinginan pelanggan,dengan cara menyediakan/menjual barang-barang yang

dibutuhkan konsumen.

Retail adalah sekelompok kegiatan yang menjual atau menambahkan nilai

barang dan jasa pada konsumen akhir, untuk digunakan secara pribadi, keluarga,

atau rumah tangga (Utami, 2008: 2).Retailing di sini adalah sebagai saluran bisnis

terakhir distribusi dari mata rantai pabrik kepada konsumen akhir (Utami, 2008:

2).

Berkaitan dengan tempat dilakukannya aktivitas penjualan, pengertian

bisnis ritel tidak hanya yang dilakukan pada sebuah retail (shop/store) tetapi

sangat banyak strategi yang dilakukan bisnis ritel yang juga mencakup aktivitas

serupa yang tidak menggunakan tempat khusus dalam proses jual-beli, misalnya

mail order (layanan pesan barang melalui surat/telepon) dan direct selling

(penjualan dari rumah ke rumah atau berdasarkan keanggotaan multilevel

marketing).Peritel terus berinovasi dalam mengembangkan produk-produk baru

2
yang nantinya akan dijual sehingga kepuasan konsumen dapat tercapai.Inovasi

yang sama juga dilakukan dalam proses pemasaran yang dikemas sangat elegan.

Berdasarkan pengertian bisnis ritel tersebut, mail order dan direct selling

juga merupakan bentuk lain dari entitas bisnis ritel (Sujana, 2005: 13). Bisnis

retail tidak hanya sekadar merupakan penjualan barang secara fisik, tetapi juga

meliputi penjualan jasa. Contohnya: tiket pesawat, warnet, jasa telekomunikasi,

dan sebagainya. Penjualan jasa ini disebut “real services”. Selain itu yang

termasuk didalam penjualan barang (complementary services) yakni: layanan

pesan antar, jaminan, leasing, dan fasilitas kredit.

Ritel merupakan tahap akhir proses distribusi dengan dilakukannya

penjualan langsung pada konsumen akhir. Ritel berperan sebagai penentu

eksistensi barang dari manufaktur di pasar konsumsi.

Kehadiran Peritel menumbuhkan minat belanja masyarakat dan terus

mendorong peningkatanya. Dewasa ini belanja (shopping) sudah menjadi hal yang

biasa dilakukan oleh semua orang, terutama pada wanita dan kaum muda yang

sangat menyukai berbelanja entah itu kebutuhan untuk konsumsi makanan dan

minuman atau berbagai perlengkapan hidup dan terutama keinginan pada fashion.

Semakin banyak mall yang bermunculan di Indonesia maupun di negara lain,

dikarenakan mall menyediakan barang-barang yang mengikuti perkembangan

jaman/tren baik itu produk makanan dan minuman dan atau fashion seperti

pakaian, sepatu, tas, sampai pada bahan elektronik seperti handphon dan lain

sebgainya.

3
Perkembangan ritel dan dibangunnya mall-mall menjadikan masyarakat

mengalami perkembangan dalam gaya hidup. Masyarakat sekarang ini tidak ingin

ketinggalan jaman, maka dari itu mereka akan mengikuti tren yang ada.Perilaku

konsumentersebut merupakan suatu tindakan yang langsung terlibat dalam

mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk

proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini (Engel, Blackwell,

Miniard, 1994: 3).

Disadari secara benar oleh Peritel bahwa setiap pembelian konsumen

tercipta karena adanya needs (kebutuhan, keperluan) atau wants (keinginan) atau

campuran keduanya. Sering kali untuk mudahnya, kebutuhan dan keinginan

disebut sebagai kebutuhan.Selain kebutuhan dan keinginan, ada satu kata lagi

yang berdekatan, yaitu “harapan”.Harapan sering kali tersembunyi di hati

pelanggan (Ma’ruf, 2006: 50). Peritel menuangkan harapan konsumen pada

starteginya dalam pengembangan bisnis, dengan menyediakan semua barang dan

kebutuhan yang begitu komplit dalam satu lokasi pada pusat pembelanjaan atau

mall.

Peritel sadar betul bahwa perilaku konsumen muncul karena adanya

berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen

menurut Kotler (2012: 159-174), adalah sebagai berikut: 1. Faktor budaya a.

Culture (Budaya) b. Subculture (Subkultur) c. Kelas sosial 2. Faktor-faktor sosial

a. Kelompok dan jaringan sosial b. Keluarga c. Peran dan status 3. Faktor pribadi

a. Usia dan tahap siklus hidup b. Pekerjaan c. Situasi ekonomi d. Gaya hidup e.

4
Kepribadian dan Konsep Diri 4. Faktor Psikologis a. Motivasi b. Persepsi c.

Pembelajaran d. Keyakinan dan sikap.

Karena faktor-faktor di atas maka perilaku belanja muncul sebagai satu

tindakan. Perilaku berbelanja seseorang tentunya berbeda-beda, ada sebagian

orang yang berbelanja sesuai dengan kebutuhan, misalnya konsumen membeli

pakaian baru karena pakaiannya yang lama sudah tidak layak pakai. Namun, ada

pula orang yang berbelanja secara tidak wajar yang melakukan pembelian terus-

menerus/berlebihan padahal barang yang dibelinya tidak dibutuhkan dan ia hanya

memikirkan kesenangan sesaat, misalnya konsumen membeli pakaian baru

padahal sebenarnya ia tidak membutuhkannya, karena modelnya yang bagus maka

ia membeli pakaian tersebut.

Untuk hal yang berbeda di atas dalam bisnis ritel hal tersebut dituangkan

dalam strategi pengembangan pemasaran melalui banyak hal yang secara detail

baik itu menyangkut penyediaan barang/ produk; penempatannya, discount harga

dan berbagai trik dan strategi pemasaran yang berinovasi serta mengikuti

perkembangan gaya hidup masyarakat.

Meskipun perital tahu bahwa perilaku berbelanja yang berlebihan akan

menimbulkan efek negatif bagi konsumen, namun justru itu dijadikan satu

fenomena yang harus terjaga dan ada dimasyarakat, strategi ritel mengembangkan

potensi demikian dengan iklan-iklan yang menarik yang sanggup masuk merasuk

pada pemikiran dan persepsi gaya hidup pangsa pasar. Perilaku seseorang yang

melakukan pembelian secara tidak wajar tersebut ialah perilaku pembelian

kompulsif (compulsive buying behavior). Compulsive buying behavior

5
dipengaruhi oleh faktor situasional, di mana faktor situasional merupakan faktor-

faktor eksternal yang berasal dari lingkungan berbelanja ketika konsumen tertarik

akan rangsangan visual tertentu (produk atau promosi) yang diciptakan sengaja

oleh para pembisnis ritel, dan hal tersebut menciptakan kelompok-kelompok

pembeli tidak direncanakan. Pada saat itu konsumen mungkin merasa tiba- tiba

perlu untuk membeli produk tertentu yang telah menarik perhatiannya (Youn,

2000 dalam Mihic dan Kursan, 2010).

Compulsive buying menurut Kwak et. al (2003), yaitu suatu perilaku

pembelian yang tidak terkontrol yang merupakan respon atas suatu kejadian atau

perasaan yang negatif. Tujuan utamanya adalah mencari kesenangan pada proses

pembeliannya bukan pada produknya. Compulsive buying merupakan salah satu

bentuk pembelian yang menyimpang.Individu yang memiliki perilaku addictive

cenderung mempunyai rasa percaya diri yang rendah sebagai anak-anak maupun

remaja (Faber, 1992). Rasa percaya diri yang rendah ini sering dijumpai pada

individu yang memiliki perilaku compulsive buying (Scherhorn, 1990), dan

mereka akan merasa lebih nyaman dengan membeli sesuatu yang dapat

meningkatkan identitas diri mereka.

Dittmar (2005), mengemukakan bahwa terdapat tiga fitur inti dari

compulsive buying yaitu: 1. Compulsive buyer memiliki hasrat yang tidak dapat

ditahan (irresistable) untuk membeli atau mendapatkan sesuatu. 2. Individu

tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku pembeliannya.

3. Individu tersebut akan terus melakukan kebiasaan untuk membeli sesuatu

secara berlebihan, yang tekadang tidak dibutuhkan, tanpa mengindahkan dampak

6
yang mungkin timbul dalam kehidupan pribadi, sosial, ataupun pekerjaan dan

kesulitan dalam masalah finansial.

Sedangkan Impulse buying didefinisikan sebagai suatu perilaku pembelian

yang tidak terencana dan spontan, yang dilakukan langsung ditempat, diikuti oleh

keinginan kuat dan perasaan nikmat dan senang (Rook, 1987). Pada dasarnya

impulse buying dengan compulsive buying hampir sama. Perbedaannya adalah

konsumen yang impulsif lebih cenderung menyukai produknya, sedangkan

pembeli yang kompusif lebih cenderung menyukai kegiatan belanjanya.

Kondisi di atas sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut karena diketahui

secara umum bahwa dalam startegi ritel, terutama yang terpusat pada promisi

dalam startegi pemasarannya, hal tersebut sangat memperhatikan adanya

peningkatan dari perilaku pembelian,baik impulse buying maupun compulsive

buyingkeduanya dipupuk oleh strategi promosi yang sangat menarik, iklan-iklan

yang menggoda dan juga discount atau potongan harga yang menggiurkan

disamping bahwa penempatan, ketersediaan dan penataan barang dagangan

dikemas sangat menawan.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

tentang“Seberapa Besar Pengaruh Strategi Ritel Terhadap Impulse Buying dan

dampaknya terhadap Compulsive Buying di Mall AEON BSD Tangerang”.

7
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang dibuat, serta dengan

memperhatikan variabel yang akan diteliti, maka peneliti mengambil beberapa

pokok permasalahan seperti:

1) Problem apa saja dalam pengembangan strategi bisnis ritel terutama dalam

strategi pemasaran/penjualannya?

2) Faktor-faktor Apa saja yang mempengaruhImpulse Buying dan Compulsive

Buying?

3) Seberapa besar pengaruh strategi ritel terhadap Impulse Buying dan

dampaknya terhadap Compulsive Buying?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui problem apa saja dalam pengembangan strategi bisnis

ritel terutama dalam strategi pemasaran/penjualannya.

2) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhImpulse Buying

dan Compulsive Buying.

3) Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh strategi ritel terhadap Impulse

Buying dan dampaknya terhadap Compulsive Buying.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat

serta sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak, antara lain:

8
1) Aspek Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai rujukan

pengembangan ilmu adminsistrasi bisnis dibidang manajemen pemasaran

khususnya tentang adanya pengaruh strategi ritel terhadap Impulse Buying

dan dampaknya terhadap Compulsive Buying.

2) Aspek Praktis

a. Bagi Perusahaan

- Hasil penelitian dapat dijadikan rujukan pembisnis ritel terutama

pimpinan Mall AEON BSD untuk memperbaiki strategi ritelnya, baik

dalam peningkatkan sarana-prasarana, pengembangan mall, peningkatan

pelayanan dan strategi pemasaran yang inovatif.

- Hasil penelitian juga dijadikan rujukan pembisnis ritel terutama pimpinan

Mall AEON BSD untuk tetap memperhatikan perilaku konsumen

terutama adanya Impulse Buying dan Compulsive Buying guna

menungkatkan penjualan.

b. Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini dapat berguna sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya

yang ingin mengkaji tentang adanya pengaruh strategi ritel terhadap Impulse

Buying dan dampaknya terhadap Compulsive Buying

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu

Kajian pustaka di dalam penelitian ini adalah didasarkan pada (1) hasil

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang dianggap mendukung kajian

teori di dalam penelitian yang tengah dilakukan, (2) didasarkan pada teori-teori

dari sumber kepustakaan yang dapat menjelaskan perumusan masalah yang telah

ditetapkan di dalam BAB 1.peneliti.

Di bawah ini adalah uraian beberapa hasil penelitian terdahulu yang

dianggap relevan untuk kemudian dianalisis dan dikritisi dilihat dari pokok

permasalahan, teori dan metode, sehingga dapat diketahui letak perbedaannya

dengan penelitian yang peneliti lakukan.

Berikut ini adalah hasil-hasil penelitian terdahulu yang dipandang relevan

dengan penelitian sebagai berikut :

1) Penelitian Pertama; Retno Mangestuti, (2014) penelitian dengan judul

“Model Pembelian Komplusif (Compulsive Buying) pada Remaja”.

Penelitian ini menguji kesesuaian antara model teoritis pembelian kompulsif

pada remaja dengan data empirisnya, penelitian menggunakan sampel

remaja yang berstatus sebagai mahasiswa S1 sebanyak 370 orang yang

diambil dari 3 perguruan tinggi di kota Malang. Metode pengumpulan data

menggunakan skala pembelian kompulsif (α = 0,848), skala lingkungan

keluarga (α = 0,871), skala harga diri (α = 0,766), skala kontrol diri (α =

10
0,742), serta skala materialisme (α = 0,822). Data dianalisis dengan

menggunakan model persamaan struktural atau Structural Equation Model

(SEM).

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa model pembelian kompulsif

pada remaja memenuhi kriteria goodness of fit, yaitu nilai kai-kuadrat

sebesar 199,100 dengan nilai p < 0,05; nilai CFI sebesar 0,914; nilai GFI

sebesar 0,929, serta nilai RMSEA sebesar 0,068 (≤0,800). Hasil analisis

menemukan model pembelian kompulsif pada remaja dalam perspektif teori

belajar sosial terjadi melalui proses sebagai berikut: lingkungan keluarga

yang kondusif berpengaruh terhadap tinggi rendahnya harga diri remaja.

Harga diri yang tinggi mempengaruhi kemampuan remaja dalam

mengontrol diri. Kontrol diri yang tinggi mampu mengendalikan remaja dari

gaya hidup materialisme. Materialisme yang rendah mampu mengurangi

terjadinya pembelian kompulsif. Hasil analisis tambahan menemukan hasil

bahwa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dibanding laki-laki pada

variabel materialisme dan variabel pembelian kompulsif.

Perbedaan penelitian di atas dengan apa yang sedang di teliti oleh peneliti

adalah selain objek penelitian yang juga berbeda, subjek yang diteliti juga

beda, dan variable penelitian juga berbeda, serta fokus kajian dan

analisisnya juga berbeda. Namun demikian teori tentang pembelian

kompulsif yang diutarakan si peneliti tersebut dapat dikutif oleh peneliti dan

diambil sesuai dengan kebutuhan penelitian yang sedang dilakukan.

11
2) Penelitian Kedua, dilakukan oleh Denny Kurniawan dan Yohanes Sondang

Kunto, SSi, MSc. (2013) dengan judul “Pengaruh Promosi Dan Store

Atmosphere Terhadap Impulse Buying Dengan Shopping Emotion Sebagai

Variabel Intervening Studi Kasus Di Matahari Department Store Cabang

Supermall Surabaya”. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

eksplanatori. Sampel penelitian adalah konsumen Matahari department store

cabang supermall Surabaya, yang berjumlah 150 orang. Penelitian ini

menggunakan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa promotion dan store atmosphere

berpengaruh terhadap shopping emotion, promotion dan Store Atmosphere

berpengaruh terhadap impulse buying, serta shopping emotion berpengaruh

terhadap impulse buying. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh

penelitia, jelas selain varibael yang berbeda, objek dan subjek penelitian

juga berbeda, dan metode penelitian juga berbeda, namun teori tentang

impulse buying diantaranya dijadikan rujukan dan bahan oleh peneliti,

termasuk juga dalam hal manajemen dan strategri ritel yaitu Matahari

Department Store Cabang Supermall Surabaya yang sebagai pengusaha ritel

ternyata sangat memperhatikan impulse buying dalam peningkatan

penjualannya.

3) Penelitian Ketiga,oleh Agustina Setiyowati, (2015) “Pengaruh Discount

Price, In-Store Display Dan Sales People Terhadap Pembelian Impulsif

Dengan Impulse Buying Tendecy Sebagai Variabel Moderasi”, Studi ini

bertujuan menguji pengaruh impulse buying tendency dalam memoderasi

12
hubungan antara discount price, in-store display dan sales people pada

pembelian impulsif. Secara khusus, studi ini menguji apakah discount price,

in-store display, sales people dan impulse buying tendency merupakan

variable yang penting dalam membentuk pembelian impulsif. Data

diperoleh melalui survei dengan melakukan penyebaran kuesioner kepada

responden. Sampel terdiri atas 110 konsumen MDS di Hartono Lifestyle

Mall yang melakukan pembelian impulsif. PLS digunakan untuk

menjelaskan hubungan antara variabel yang dihipotesiskan. Hasil

menunjukkan bahwa discount price berpengaruh signifikan pada pembelian

impulsif, in-store display berpengaruh signifikan pada pembelian impulsif,

sales people berpengaruh signifikan pada pembelian impulsif, impulse

buying tendency memperkuat hubungan antara discount price, in-store

display dan sales people pada pembelian impulsif. Dalam studi ini,

keterbatasan dan implikasi penelitian juga di diskusikan guna memberikan

wawasan aspek teoritis, praktis,dan penelitian lanjutan.

Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah

tentang ketidakadaan variable komplusif sebagai dampak adanya pengaruh

variable strategi ritel dan juga variable implusif buying, sehingga hasil dari

penelitian juga mengarah pada analisis kesimpulan yang mungkin berbeda

jauh, namun demikian hasil penelitian dan teori yang ada dapat menunjang

penelilitian ini, peneliti mendapatkan informasi penting dari strategi

pemasaran ritel hasil penelitian di atas.

13
4) Penelitian Keempat, oleh Agung Mandala Putra 1 , Peggy Hariwan (2012),

dengan judul “Pengaruh In-Store Promotion Terhadap Impulse Buying

Pada Carrefour Kota Bandung”, Pertumbuhan industri retail saat ini

berkembang dengan pesat. Carrefour adalah gerai retail yang saat ini

berkembang di Indonesia yang komposisi penjualannya menurun pada tahun

2012 dan berpengaruh terhadap hasil penjualan. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh in-store promotion terhadap impulse

buying. Responden dari penelitian ini terdiri dari atas 100 pelanggan gerai

retail Carrefour. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah

convenience sampling. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif

dengan pendekatan kausal. Teknik analisis data dalam penelitian ini

menggunakan analisis deskriptif dan regresi linear sederhanauntuk

mengetahui pengaruh setiap variabel secara langsung maupun tidak

langsung. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa in-store promotion

memiliki persentase 72,67% dan impulse buying pelanggan Carrefour

sebesar 74,11%. Persentase tersebut menunjukkan bahwa in-store promotion

dan impulse buying pelanggan Carrefour termasuk dalam kategori baik

(tinggi). Berdasarkan pengujian hipotesis determinasi mendapatkan hasil

bahwa in-store promotion memiliki pengaruh sebesar 39,7% terhadap

impulse buying. Sedangkan 60,3% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor

lain diluar in-store promotion.

Perbedaannya adalah jumlah penelitian dan objek penelitian berbeda, namun

fokus pada strategi ritel dan implusif buying member gambaran dan

14
informasi penting bagi peneliti, penelitian di atas lebih simple dan sangat

berbeda dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti.

2.2 Strategi Ritel

Banyak orang mengenal ritel sebagai bisnis eceran. Retailing adalah

sekumpulan kegiatan bisnis yang dilibatkan dalam penjualan produk-produk dan

jasa ke konsumen akhir (Leavy, Michael dan Weitz, Barton A dalam Soedjarwo

,1993). Kegiatan ritel merupakan aktivitas yang meliputi penjualan barang dan

jasa secara langsung kepada konsumen akhir, dimana konsumen tersebut tidak

menggunakannya untuk diperjualbelikan kembali. Ritel bisa dilakukan di dalam

toko, melalui email, telepon, vending machines, berbagai alat elektronik dan

secara personal (Kotler dan Armstrong, 2001).

Peritel memiliki jumlah gerai yang bervariasi, mulai dari satu gerai hingga

beberapa gerai. Gerai dalam segala bentuknya berfungsi sebagai tempat

pembelian barang dan jasa, yaitu dalam arti konsumen datang ke gerai untuk

melakukan transaksi belanja dan membawa pulang barang atau menikmati jasa.

Gerai modern mulai beroperasi awal 1960-an di Jakarta. Arti modern adalah

penataan menurut keperluan yang sama dikelompokkan dibagian yang sama yang

dapat dilihat dan langsung diambil oleh pembeli (konsep swalayan), penggunaan

alat pendingin udara, dan adanya pramuniaga profesional. Contoh gerai modern

adalah department store, supermarket, dan hypermarket (Ma’ruf, 2006).

Tjiptono (2008) mengemukakan bahwa ada empat fungsi utama ritel yaitu

: (1) membeli dan menyimpan barang, (2) memindahkan hak milik barang

15
tersebut ke konsumen akhir, (3) memberikan informasi mengenai sifat dasar dan

pemakaian barang tersebut, (4) memberikan kredit kepada konsumen (dalam

kasus tertentu. Menurut Berman dan Evans (2001), terdapat beberapa

karakteristik khusus ritel yang membedakan dengan tipe-tipe usaha lain, yaitu :

a. Small Average Sale (Ukuran rata-rata dari transaksi penjualan para

pedagang masih kecil). Transaksi penjualan pedagang ritel relatif lebih kecil

jika dibandingkan dengan yang dihasilkan para pengusaha manufaktur. Para

pedagang eceran harus berupaya menekan biaya-biaya yang menyertai

penjualan seperti fasilitas kredit, pengiriman barang maupun pembungkus.

Mereka juga harus meningkatkan jumlah konsumen yang berkunjung ke

toko dengan melakukan promosi, serta mendorong pembelian impulsif.

b. Impulse Purchase (Pembelian Impulsif). Karakteristik konsumen yang

cenderung melakukan pembelian yang tidak direncanakan semakin

meningkat sehingga para peritel harus mengelola displai, tata letak, dan

etalase lebih baik.

c. Popularity of Store (Kepopuleran toko). Saat ini banyak diperkenalkan cara

berbelanja baru seperti berbelanja via pos, telepon, internet, atau televisi,

namun pada kenyataanya konsumen tetap mengalir ke toko-toko eceran. Hal

ini disebabkan oleh popularitas toko eceran dimata konsumen.

Soedjarwo (1993) mengemukakan ada 8 jenis ritel yang utama, yaitu:

1. Specialty Store Retailing

2. Department Store Retailing

16
3. Discount Store Retailing

4. Off-Price Retailing

5. Supermarket Retailing

6. Convenience Store Retailing

7. Superstore, Combination Store, dan Hypermarket

8. Catalog Showroom

Ritel melakukan banyak strategi pengembangan usaha, melakukan

promosi dan meningkatkan volume penjualan. Beberapa strateginya adalah

pengembangan pasar melalui bentuk-bentuk pengembangan yang banyak

dilakukan, sebagai berikut:

1. Department Store

Pengembangan strategi melalui pengembangan Departemen Store.

Departmen Perdagangan Amerika Serikat mendefinisikan department store

sebagai perusahaan eceran yang mempekerjakan paling sedikit 25 orang dan

menjual pakaian dan peralatan rumah tangga dari bahan linen berjumlah sampai

lebih dari 20 % dari jumlah keseluruhannya (Tjiptono, 2008). Department store

tergolong dalam general merchandise retail yang menjual produk yang luas dan

berbagai jenis produk dengan menggunakan beberapa staf, seperti layanan

pelanggan (customer services) dan tenaga sales counter (Utami, 2006).

Department store adalah institusi ritel yang besar yang menawarkan

aneka barang dagangan dan diorganisasikan oleh departemen. Menurut

karakteristiknya ada tiga kategori utama barang yang ditawarkan yaitu : (1)

17
apparel untuk seluruh keluarga, (2) appliances, home furnishings, dan furniture,

dan (3) household linens dan dry goods. Department store juga menawarkan

jewelry, kosmetik, peralatan olahraga, dan mainan (Soedjarwo, 1993).

Lebih lanjut Soedjarwo (1993) mengungkapkan bahwa jika dilihat dari

titik pandang management, keuntungan dari department store adalah dapat

membeli barang dalam jumlah besar dengan harga yang murah. Hal ini

disebabkan department store merupakan retail yang berukuran besar dan

kekuatan keuangannya cukup besar, sehingga mampu menggaji spesialis

pembelian, marchandising, store design, promosi penjualan, dan bidang lain.

2. In-store Promotion

Menurut Yusriyanti (2008), in store promotion merupakan kegiatan

promosi yang dilakukan di dalam toko dan bertujuan untuk menimbulkan

keinginan konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Berdasarkan

bauran promosi ritel yang dikemukakan Lewison dan Delozier (1989) dalam

Yusriyanti (2008) , yang termasuk ke dalam in-store promotion adalah sales

promotion, store display dan personal selling.

Bagi para supplier, aktivitas in store promotion mempunyai lima

keuntungan. Pertama, produk atau merek tersebut menjadi lebih menonjol

dibandingkan produk atau merek lain dari kategori yang sama. Kedua,

konsumen akan bisa mengingat kembali iklan yang pernah dilihatnya di media

lain. Ketiga, mendorong konsumen untuk mencoba sesuatu yang baru.

Keempat, bagi produk atau merek yang sudah populer dan banyak digemari

18
oleh konsumen dapat mempertahankan diri dari serangan merek baru. Kelima,

dapat memperkuat komunikasi pemasaran (Kertajaya, 1994).

3. Penjualan Pribadi (Personal Selling)

Suyanto (2007) mengemukakan bahwa penjualan pribadi (personal

selling) merupakan komunikasi personal bayaran yang mencoba

menginformasikan kepada konsumen tentang suatu produk dan membujuknya

untuk membeli produk tersebut. Penjualan perseorangan merupakan bentuk

komunikasi yang lebih tepat karena menjamin perusahaan dalam berkomunikasi

dan kontak langsung dengan calon konsumen. Menurut Lubis (2004),

Sedikitnya terdapat 7 aktivitas dalam personal selling :

1) Mencari dan menjalin hubungan dengan mereka;

2) Mengalokasikan kelangkaan waktu penjual dari pembeli;

3) Memberi informasi mengenai produk perusahaan kepada pelanggan;

4) Mendekati, mempresentasikan, mendemonstrasikan, mengatasi

penolakan serta menjual produk kepada pelanggan;

5) Memberikan berbagai jasa dan pelayanan kepada pelanggan;

6) Melakukan riset jasa dan intelijen pasar;

7) Menentukan pelanggan yang akan dituju

Lovelock dan Wright (2005) menjelaskan bahwa penjualan pribadi

merupakan komunikasi dua arah antara karyawan jasa dengan pelanggan yang

dirancang untuk langsung mempengaruhi proses pembelian. Sifat langsung dari

19
personal selling memungkinkan wakil penjualan menyesuaikan pesan tersebut

agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Manfaat pelaksanaan personal selling antara lain lebih mudahnya

penyesuaian cara menjual ke konsumen, transaksi penjualan langsung saat

terjadi kontak dengan calon pembeli, langsung menjawab pertanyaan konsumen

tentang informasi produk dan dapat membantu calon pembeli tentang petunjuk

mengenai barang yang ditawarkan (Suyanto, 2007).

Dalam industri ritel, khususnya department store, personal selling

adalah elemen terpenting dalam pembentukan image ritel. Ritel seperti

department store biasanya menggunakan Sales Promotion Girl (SPG) sebagai

orang pertama yang berinteraksi dengan konsumen secara langsung (tatap

muka). SPG merupakan faktor yang signifikan meningkatkan total kesan

konsumen. (Tjiptono, 2008)

4. Displai Toko (Store Display)

Displai toko merupakan penataan toko dalam memamerkan produk

disertai dengan informasi yang relevan dengan produk tersebut. Menurut

Lewison dan Delozier dalam Yusriyanti (2008), interior toko merupakan hasil

desain displai secara keseluruhan yang digunakan peritel untuk menjual

produknya. Displai toko dibedakan menjadi:

a. Selectioning display yaitu kedekatan penempatan produk oleh peritel yang

menekankan pada pelayanan dan pemilihan produk sendiri oleh konsumen.

Selectioning display didesain oleh peritel untuk mempermudah konsumen

20
dalam memilih produk sendiri dan mengakses produk di toko secara

menyeluruh.

b. Special display menampilkan suatu produk tertentu dalam penempatan yang

strategis dan didesain sedemikian rupa sehingga menarik perhatian

konsumen.

c. Point of purchase display didesain untuk menarik perhatian dan ketertarikan

konsumen, menguatkan tema toko dan menyesuaikan dengan interior toko.

Point of purchase display melibatkan displai meja kasir, displai jendela,

efek peluas ruangan, kereta makanan, displai lantai, menghias lorong dan

sebagainya. Menurut Suyanto (2007), Promosi Point of Purchase (POP)

sangat efektif karena digunakan di dalam toko dimana 70%-80% konsumen

menentukan keputusan pembelian.

d. Audiovisual display merupakan displai toko yang menggunakan berbagai

peralatan audiovisual seperti pengeras suara, microphone, televisi dan

sebagainya.

Menurut Lewison dan Delozier (1989) dalam Yusriyanti (2008) dalam

prakteknya, displai toko digunakan untuk:

- Memaksimalkan penjelasan tentang produk

- Meningkatkan penampilan produk

- Merangsang ketertarikan terhadap produk

- Menjelaskan informasi tentang produk

- Memfasilitasi transaksi penjualan

21
- Memastikan keamanan produk

- Menyediakan tempat penyimpanan produk

- Mengingatkan rencana pembelian konsumen

- Menghasilkan penjualan tambahan berdasarkan impulse

5. Promosi Penjualan (Sales Promotion)

Promosi penjualan adalah bentuk persuasi langsung melalui penggunaan

berbagai insentif yang dapat diatur untuk merangsang pembelian poduk dengan

segera dan atau meningkatkan jumlah barang yang dibeli pelanggan

(Soedjarwo, 1993).

Promosi penjualan pada ritel disebut juga sales incentive (insentif

penjualan) yaitu rangsangan baik secara langsung atau pun tidak langsung yang

menawarkan nilai tambah bagi konsumen. Promosi penjualan mencakup

beraneka macam alat perangsang jangka pendek seperti kupon (coupon), sampel

(sampling), premi, kontes, potongan harga, undian, iklan khusus, dan tie-ens.

(Suyanto, 2007).

Promosi penjualan merupakan insentif jangka pendek yang disertakan

dalam penjualan produk (Kotler dan Armstrong, 2001). Dengan kegiatan

promosi penjualan, diharapkan dapat mempercepat keputusan pembelian dan

memotivasi pelanggan menggunakan jasa tertentu lebih cepat dalam volume

lebih banyak atau frekuensi yang lebih sering (Lovelock dan Wright, 2005).

Promosi harga jangka pendek dapat menawarkan keuntungan-

keuntungan, salah satu keuntungannya adalah dapat menambah keinginan

22
konsumen untuk melakukan pembelian ulang dan menarik bagi konsumen yang

sadar akan harga (Lovelock, 2005).

Menurut Kotler (2005), tujuan promosi penjualan bagi perusahaan

antara lain untuk menarik pembeli baru, memberi penghargaan kepada

konsumen lama, meningkatkan daya beli ulang, menghindarkan larinya

konsumen ke merek lain dan meningkatkan loyalitas.

6. Pengamatan Pada Perilaku Pembelian Konsumen

Menurut Engel et al. (1995), konsumen mengutarakan niat pembelian

dalam dua kategori yaitu, (1) niat membeli produk ataupun merek dan (2) niat

membeli hanya kelas produk (misalnya, niat membeli permen, tetapi keputusan

tambahan harus dibuat mengenai merek apa yang akan dibeli).

Lebih lanjut Engel et al. (1995), mengemukakan bahwa dari kedua

kategori tersebut, maka perilaku pembelian konsumen dalam membeli produk

atau jasa, yaitu:

1) Pembelian yang Terencana Sepenuhnya. Niat membeli produk atau merek

dapat dikatakan pembelian yang sepenuhnya direncanakan, artinya sebelum

melakukan pembelian konsumen telah menentukan pilihan produk dan

merek apa yang nantinya akan dibeli.

2) Pembelian yang Separuh Terencana. Konsumen sering kali sudah

mengetahui produk yang ingin dibeli sebelum masuk ke swalayan, tetapi

belum merencanakan merek apa yang akan dibeli sampai ia bisa

23
memeperoleh informasi yang lengkap dari pramuniaga atau displai di

swalayan (Sumarwan, 2002).

3) Pembelian yang Tidak Terencana (Impulse Buying). Pembelian impulsif

didefinisikan sebagai tindakan membeli yang sebelumnya tidak diakui

secara sadar sebagai hasil dari suatu pertimbangan, atau niat membeli yang

terbentuk sebelum memasuki toko (Mowen dan Minor, 2000).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuvita (2001), tingkah laku

konsumen berdasarkan gaya berbelanja terdiri dari:

1. Shopping for pleasure, yaitu gaya berbelanja sebagai suatu jenis hiburan

(entertainment). Kecenderungan impulse buying lebih besar.

2. Basic Shopper, yaitu gaya berbelanja hanya sebagai kebutuhan. Konsumen

jenis ini sudah memiliki tujuan terhadap produk yang akan dibelinya.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Wayne Hoyer (1984) dalam

Soedjarwo (1993) terungkap bahwa lebih dari setengah dari pembelian yang

dilakukan di supermarket adalah impulse purchase. Impulse purchase berarti

bahwa pembeli tidak niat membeli produk sebelum pergi ke pasar. Dari

penelitian ini terungkap bahwa lebih dari 80% dari semua keputusan pembelian

adalah untuk permen, makanan kecil, serta aneka saus adalah tidak

direncanakan.

7. Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian

24
Engel et al. (1994) menggolongkan faktor-faktor yang mempengaruhi

keputusan pembelian pada konsumen menjadi tiga, yaitu pengaruh lingkungan,

perbedaan individu, dan proses psikologis.

Pengaruh lingkungan terdiri dari budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi,

keluarga, dan situasi (Engel et al., 1994). Budaya adalah kumpulan nilai,

persepsi, preferensi, serta perilaku keluarga dan lembaga-lembaga penting

lainnya. Budaya adalah penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar

(Kotler, 2005). Kelas sosial adalah pembagian didalam masyarakat yang terdiri

atas individu dan berbagai nilai, minat dan perilaku yang sama, atau kelompok-

kelompok yang relatif homogen dalam suatu masyarakat lama yang tersususn

secara hirarki (Kotler, 2005). Terdapat lima kelompok relevan yang akan

mempengaruhi perilaku konsumen dimana konsumen melibatkan dirinya.

Kelompok tersebut adalah kelompok keluarga, kelompok teman atau sahabat,

grup sosial formal yang diperlukan konsumen untuk mencapai tujuannya,

kelompok belanja, dan kelompok kerja (Schiffman dan Kanuk, 1994). Keluarga

adalah kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih yang dihubungkan

melalui darah, perkawinan atau adopsi, dan yang tinggal bersama (Engel et al.,

1994). Situasi yang mempengaruhi konsumen dapat dibagi menjadi tiga, yaitu

situasi konsumsi, situasi pembelian, dan situasi komunikasi (Engel et al., 1994).

Faktor pribadi atau pengaruh individu terdiri dari pengetahuan, sikap,

motivasi, kepribadian, gaya hidup, dan demografi (Engel et al., 1994).

Pengetahuan dapat diartikan sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan.

Pengetahuan konsumen mencakup informasi, seperti ketersediaan dan

25
karakteristik produk, dimana dan kapan untuk membeli, serta bagaimana

menggunakan produk. Pengetahuan adalah faktor penentu utama perilaku

konsumen. Apa yang dibeli, dimana mereka membeli, dan kapan mereka

membeli tergantung pada pengetahuan yang relevan dengan keputusan (Engel et

al., 1994). Sikap merupakan evaluasi perasaan emosional dan kecenderungan

tindakan menguntungkan atau tidak menguntungkan dan bertahan lama

terhadap beberapa objek atau gagasan (Kotler, 2005). Menurut Sumarwan

(2002), motivasi muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan oleh

konsumen. Kepribadian merupakan karakteristik psikologis atau pola respon

yang berbeda dari setiap orang dalam menghadapi lingkungan yang relatif

konsisten. Gaya hidup merupakan pola hidup di dunia yang diekspresikan oleh

kegiatan, minat, dan pendapat seseorang (Kotler 2005). Sasaran demografi

adalah mendeskripsikan pangsa konsumen dalam istilah seperti usia,

pendapatan, dan pendidikan (Engel et al., 1994).

Faktor psikologi terdiri dari motivasi, persepsi, pembelajaran, dan sikap

konsumen. Motivasi merupakan dorongan untuk melakukan suatu tindakan.

Persepsi adalah bagaimana konsumen mengartikan stimulus yang datang baik

berupa gambar, tempat, atau suatu objek.

Perluasan logis dari proses motivasi dan persepsi adalah pembelajaran.

Pembelajaran merupakan proses menggali atau memperluas pengetahuan

berdasarkan pengalaman masa lalu. Menurut Engel, Blackwell dan Miniard

(1995) sikap merupakan suatu eveluasi menyeluruh yang memungkinkan orang

berespon terhadap objek yang diberikan.

26
Menurut Kotler dan Armstrong (2001), keputusan pembelian konsumen

ada dua faktor dapat muncul antara niat untuk membeli dan keputusan

pembelian. Faktor pertama adalah sikap orang lain, dan faktor kedua adalah

faktor situasi yang tidak diharapkan.

Menurut Levy (1992) dalam Soedjarwo (1993), langkah-langkah dalam

proses pembelian dapat dibagi menjadi dua, yaitu pre-store visit dan in-store

visit. Pre-store visit meliputi : adanya kebutuhan, mencari informasi, menilai

sumber, dan memilih sumber. Sedangkan in-store visit meliputi : ada

kebutuhan, mencari informasi mengenai produk, menilai sumber, memilih

produk, dan menilai setelah pembelian.

Menurut Sciffman dan Kanuk (2004) model keputusan konsumen terdiri

dari tiga komponen, yaitu input, proses, dan output. Komponen input

merupakan pengaruh eksternal yang memberikan informasi kepada konsumen

tentang produk. Pengaruh eksternal ini terdiri dari pengaruh aktivitas pemasaran

dan pengaruh sosial budaya. Proses berfokus pada bagaimana konsumen

membuat keputusan. Sedangkan output merupakan keputusan pembelian.

2.3 Impulse Buying

Setiap keputusan pembelian mempunyai motif di baliknya. Motif

pembelian dapat dipandang sebagai kebutuhan yang timbul, rangsangan atau

gairah. Motif ini berlaku sebagai kekuatan yang timbul yang ditujukan untuk

memuaskan kebutuhan yang timbul. Persepsi seseorang mempengaruhi atau

27
membentuk tingkah laku ini. Pemahaman akan motif pembelian memberikan

alasan pada penjual mengapa pelanggan tersebut membeli.

Tingkah laku pembeli menunjukkan bahwa orang-orang membuat

keputusan pembelian berdasarkan pada motif pembelian emosional dan rasional.

Impulse buying adalah adalah satu yang mendorong calon pelanggan untuk

bertindak karena daya tarik atas sentimen atau gairah tertentu. (Manning, Reece,

2001 : 159). Daya tarik disini berkaitan dengan pemajangan barang yang menarik

sehingga seseorang berhasrat untuk melakukan suatu pembelian.

Jumlah pembelian yang mengejutkan didorong oleh motif pembelian

emosional. Karena alasan inilah perusahaan menggunakan daya tarik emosional.

Bahkan perusahaan teknologi kadang kala mengandalkan daya tarik ini. Dalam

dunia yang penuh dengan produk yang serupa, faktor emosional dapat memiliki

pengaruh yang patut diperhitungkan. Jika dua toko memiliki produk yang serupa,

maka pengaruh dari penjual toko tersebut menjadi sangat penting. Penjual yang

mampu untuk berhubungan di tingkat pribadi menjadi lebih unggul.

Menurut Rook dan Fisher (dalam Marketing, 2007) impulse buying

sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli secara spontan, reflek, tiba-tiba

dan otomatis. Dari definisi ini terlihat bahwa impulse buying merupakan sesuatu

yang alamiah dan merupakan reaksi cepat.Impulse buying terjadi pada saat

konsumen masuk ke toko ritel dan ternyata membeli produk ritel itu tanpa

merencanakan sebelumnya.

Terjadinya impulse buying pada konsumen umumnya adalah pertama

produk yang memiliki harga yang rendah sehingga konsumen tidak perlu berfikir

28
untuk menghitung bajet yang dikeluarkan. Kedua adalah produk-produk yang

memiliki mass marketing, sehingga ketika berbelanja konsumen ingat bahwa

produk tersebut tersebar pernah diiklankan di televisi. Ketiga adalah produk-

produk dalam ukuran kecil dan mudah disimpan. Biasanya konsumen mengambil

produk ini karena dianggap murah dan tidak terlalu membebani keranjang atau

kereta belanjanya.

Menurut Mowen dan Minor definisi Pembelian impulsif (Impulse Buying)

(2001 : 65) adalah tindakan membeli yang dilakukan tanpa memiliki masalah

sebelumnya atau maksud/niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko.

Intinya pembelian impulsif dapat dijelaskan sebagai pilihan yang dibuat pada saat

itu juga karena perasaan positif yang kuat mengenai suatu benda. Dengan kata

lain faktor emosi merupakan ”tanda masuk” ke dalam lingkungan dari orang-

orang yang memiliki gairah yang sama atas segala sesuatu barang.

Sedangkan menurut Schiffman dan Kanuk (2007 : 511) impulse buying

merupakan keputusan yang emosional atau menurut desakan hati. Emosi dapat

menjadi sangat kuat dan kadangkala berlaku sebagai dasar dari motif pembelian

yang dominan.

Hal senada diungkapkan oleh Shoham dan Brencic (2003) mengatakan

bahwa impulse buying berkaitan dengan prilaku untuk membeli berdasarkan

emosi. Emosi ini berkaitan dengan pemecahan masalah pembelian yang terbatas

ayau spontan. Mereka melakukan pembelian tanpa berfikir panjang untuk apa

kegunaan barang yang mereka beli, yang penting mereka/pelanggan terpuaskan.

29
Artinya Emosi merupakan hal yang utama digunakan sebagai suatu dasar

pembelian suatu produk.

Dalam kegiatan impulse buying terbagi beberapa bentuk menurut Stern

(dalam Marketing, 2007: 22): Pertama, reminder impulse buying yakni terjadi

pada saat konsumen di toko, melihat produk dan kemudian membuatnya

mengingat sesuatu akan produk tersebut. Bisa jadi dia ingat iklannya atau

rekomendasi orang. Kedua, pure impulse buying terjadi ketika si konsumen

benar-benar tidak merencanakan apapun untuk membeli. Ketiga, suggested

impulse buying dimana si pembelanja diperkenalkan produk tersebut melalui in

store promotion.

Keempat, planned impulse buying, di mana si konsumen sebenarnya

mempunyai rencana namun keputusan membelinya tergantung pada harga dan

merek di toko tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa impulse buying

itu adalah suatu kegiatan yang didasarkan pada emosi seseorang yang timbul

karena rasa ketertarikan pada produk tertentu. Ini dilakukan secara cepat tanpa

berfikir panjang terlebih dahulu. Emosi ini terlibat karena adanya tuntutan untuk

memenuhi kebutuhan hidup secara cepat.

Dengan kata lain seorang penjual harus melakukan segala cara untuk

menemukan emosi yang mempengaruhi keputusan pembelian. Emosi membantu

menjelaskan ”mengapa” di balik keputusan pembelian. Penjual yang mampu

mengenali dan memuaskan motif pembelian emosional telah memberikan layanan

yang terpenting.

30
2.3.1 Pengertian Impulsive Buying

Beberapa konsumen sering kali membeli produk atau jasa tanpa

direncanakan terlebih dahulu. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal seperti,

display pemotongan harga 50%. Display atau peragaan tersebut telah

membangkitkan kebutuhan konsumen, sehingga konsumen merasakan kebutuhan

yang mendesak untuk membeli produk yang dipromosikan tersebut.

Pembelian tidak terencana (unplanned buying) adalah suatu keputusan

pembelian yang tidak direncanakan atau tanpa direncanakan sebelumnya untuk

membeli produk atau layanan. Sedangkan menurut (Kharis 2011) Impulse buying

tidak membedakan antara unplanned buying dengan impulse buying, tetapi

memberikan perhatian penting kepada periset, pelanggan harus memfokuskan

pada interaksi antara point-of-sale dengan pembeli yang sering diabaikan.

Perspektif mengenai impulse buying yang paling dasar berfokus pada

faktor eksternal yang mungkin menyebabkan gejala tersebut. Menurut Buedincho

(2003) faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi pembelian impulsif antara lain

adalah harga, kebutuhan terhadap produk atau merek, distribusi masal, pelayanan

terhadap diri sendiri, iklan, displai toko yang menyolok, siklus hidup produk yang

pendek, ukuran yang kecil dan kesenangan untuk mengoleksi.

Dengan dasar penjelasan di atas maka impulse buying merupakan kegiatan

untuk berbelanja tanpa kontrol diri dengan sedikit atau tanpa pertimbangan

mendalam. Alasannya adalah pengalaman emosional yang lebih daripada rasional,

31
karenanya pembelian pun dilakukan. Sehingga kebanyakan pembelian dilakukan

pada barang-barang yang tidak diperlukan.

Secara impulsif tidak melibatkan refleksi dan pembelian dibuat tanpa

terlibat dalam banyak evaluasi Huang dan Ming ( 2005 ) dalam Rahma (2010)

menjelaskan impulse buying sebagai suatu hal yang lebih membangkitkan, yang

tidak diinginkan, kurang disengaja dan lebih tak tertahankan perilaku untuk

membeli dibandingkan untuk perilaku pembelian yang direncanakan, dengan

makin tingginya impulse buying maka akan lebih besar kemungkinannya menjadi

tidak efektif, emosional tertarik untuk objek berkeinginan segera terpuaskan.

Gutierrez (2004) dalam Rahma (2010) menjelaskan bahwa impulse buying

sebagai pembelian langsung dimana konsumen tidak aktif dalam mencari produk

dan sebelumnya tidak memiliki rencana untuk membeli.

Menurut Loudon dan Bitta (1993) dalam Ismu (2011), terdapat empat

tipe dari pembelian tak terencana, yaitu:

1. Pure Impulse. Pembelian yang memang benar-benar murni secara spontan.

2. Suggestion Impulse. Ketika calon pembeli tidak mempunyai pengetahuan

sebelumnya atas produk tersebut dan baru pertama kali melihat dan merasa

membutuhkan produk tersebut.

3.Reminder Impulse. Ketika calon pembeli mengingat pengalaman

sebelumnya dalam pemakaian produk tersebut dan atau mengingat barang

tersebut setelah melihat atau mendengarkan lewat iklan.

32
4.Planned Impulse. Ketika calon pembeli memasuki toko dengan harapan

untuk mencari barang dengan harga spesial, penukaran kupon, dan

sebagainya.

Selain memiliki jenis atau tipe-tipe impulse buying juga memiliki

karakteristik-karakteristik. Menurut Rook dan Fisher (1995) dalam Ismu (2011),

impulse buying memiliki beberapa karakteristik, yaitu sebagai berikut :

1) Spontanitas. Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen

untuk membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimulasi visual

yang langsung ditempat penjualan.

2) Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk

mengesampingkan semua yang lain dan bertindak seketika.

3) Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering

disertai emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan” , ”menggetarkan”

atau “liar”.

4) Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli dapat menjadi

begitu sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.

2.3.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pembelian Impulsif (Impulsive

Buying)

33
Menurut Buedincho dalam Fitriani (2010), faktor-faktor yang

memengaruhi pembelian impulsif antara lain adalah harga, kebutuhan terhadap

produk atau merek, distribusi masal, pelayanan terhadap diri sendiri, iklan,

display toko yang menyolok, siklus hidup produk yang pendek, ukuran yang

kecil dan kesenangan untuk mengoleksi. Loudon dan Bitta dalam Anin (2012)

mengungkapkan faktor‐faktor yang memengaruhi pembelian impulsif

(impulsive buying), yaitu:

a. Produk dengan karakteristik harga murah, kebutuhan kecil atau marginal,

produk jangka pendek, ukuran kecil, dan toko yang mudah dijangkau.

b. Pemasaran dan marketing yang meliputi distribusi dalam jumlah banyak

outlet yang self service, iklan melalui media massa yang sangat sugestibel

dan terus menerus, iklan dititik penjualan, posisi display dan lokasi toko

yang menonjol.

c. Karakteristik konsumen seperti kepribadian, jenis kelamin, sosial

demografi atau karakteristik sosial ekonomi. Beberapa penelitian

mengenai pembelian impulsif (impulsive buying) menunjukkan bahwa

karakteristik produk, karakteristik pemasaran serta karakteristik

konsumen memiliki pengaruh terhadap munculnya pembelian impulsif

(impulsive buying) (Loudon & Bitta,1993).

Pembelian impulsif (impulsive buying) dapat mengarah pada perilaku

boros dan berlebihan. Hal ini dapat disebabkan karena pembelian impulsif

merupakan pembelian yang tidak terencana, pembelian tersebut bukan

34
berdasarkan pada kebutuhan, namun lebih mengarah pada pemuasan diri dengan

mendahulukan keinginan daripada kebutuhan.

2.3.3. Pengukuran Impulse Buying

Pengukuran Impulse Buying menurut Rook dan Fisher (dalam Marketing,

2007) impulse buying sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli secara

spontan, reflek, tiba-tiba dan otomatis.

Menurut Manning dan Reece (2001:159) impulse buying menitikberatkan

pada daya tarik atas sentimen dan gairah membeli.Artinya berkaitan dengan

emosi seseorang.Daya tarik di sini berkaitan dengan barang yang ditawarkan

suatu toko tertentu, sehingga mereka tertarik dan mempunyai gairah untuk

membelanjakannya.

2.4 Compulsif Buying

Rindfleisch et. al. (1997) dalam Roberts, Manolis, dan Tanner Jr (2003)

menyatakan bahwa orang dewasa muda dari keluarga yang bermasalah

(perceraian) memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian kompulsif

yang lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari keluarga yang utuh. Individu

tersebut melakukan pembelian kompulsif untuk mengurangi rasa stress akibat

tekanan perceraian yang melanda keluarga. Pengaruh Parent-Child Relationship

terhadap Compulsive Buying: Self-Esteem sebagai Variabel Mediasi (Cen Lu dan

Henky Lisan Suwarno).

35
Adapun ciri-ciri pembeli yang kompulsif antara lain individu dengan

masalah psikologis seperti rendah diri, cenderung berfantasi, materialistik,

depresi, cemas, obsesif, stress, frustasi dan kecewa. Motivasi pembeli yang

melakukan perilaku pembelian kompulsif adalah untuk melarikan diri dari

tekanan psikologis yang dihadapinya. Selain itu perilaku pembelian kompulsif

memberikan dorongan emosional dan rasa aman serta sejahtera ketika telah

melakukan kegiatan pembelian (Gupta, 2013).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian kompulsif

yaitu pertama, factor sosial budaya (dimana lingkungan sosial dan kegiatan iklan

yang ada di masyarakat yang menawarkan nilai-nilai materialistik) dan kedua

faktor psikologis (situasi kepribadian dan lingkungan keluarga yang membentuk

pola belanja individu sejak kecil) (Gupta, 2013).

Perilaku pembelian kompulsif biasanya terjadi pada segmen konsumen

berjenis kelamin wanita dengan usia muda yang ingin meningkatkan status

sosialnya. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa perilaku pembelian

kompulsif ini bisa juga terjadi pada segmen kelas ekonomi bawah dimana mereka

melakukan pembelian kompulsif untuk keluar dari ketegangan dan biasanya

terjadi pada negara yang belum makmur atau di negara yang berkembang dimana

daya beli masyarakat meningkat secara substantial (Gupta 2013).

Perilaku pembelian kompulsif juga dipengaruhi faktor eksternal seperti

promosi penjualan dan tawaran rangsangan toko ritel yang menonjolkan titik

penjualan (point of purchase), tampilan promo diskon harga rendah dan efek

atmosfer toko yang menarik sehingga memberikan rangsangan emosional kepada

36
konsumen untuk berbelanja serta iklan di televisi yang mempengaruhi konsumen

untuk mempercayai dan menginginkan tawaran kemewahan yang dipromosikan

(Gupta, 2013).

Compulsive Buying adalah pembelian berlebihan yang berulang dan sudah

menjadi penyakit bagi pelakunya. Perilaku pembelian kompulsif biasanya

dibentuk oleh perasaan dan peristiwa negative yang dialami oleh konsumen

sehingga untuk keluar dari situasi tersebut maka konsumen berbelanja melampaui

kebutuhan mereka dengan membeli barang-barang yang mahal, untuk mencari

kesenangan serta meningkatkan status sosial dan ekonomi melalui penggunaan

kartu kredit (Omar, Rahim, Wel, dan Alam, 2013)

Compulsive buying dapat menyebabkan kerugian psikologis bagi

konsumen itu sendiri karena menganggap kegiatan belanja sebagai aktivitas

pelarian diri dari masalah emosional yang ada dan termotivasi mengkonsumsi

barang atau jasa secara berlebihan akibat untuk meningkatkan harga diri dan citra

sosial di lingkungan (Quoquab, Yasin, dan Banu, 2013).

Compulsive buying adalah pola konsumsi yang kompulsif, berupa

pembelian berulang sebagai respon untuk perasaan ayau kejadian yang negatif.

Perilaku pembelian seperti ini memberikan konsumen balas jasa positif dalam

jangka waktu pendek, akan tetapi pada jangka panjang terdapat konsekuensi

negatif dimana konsumen memiliki kesulitan dalam mengendalikan pembelian

(O‟Guinn dan Faber, 1989).

Compulsive buying merupakan pembelian berulang yang sulit dihentikan

untuk mendapatkan hasil jangka pendek untuk meresponi peritiwa dan perasaan

37
negative yang dialami seorang individu yang pada akhirnya membawa

konsekuensi buruk pada kehidupannya (Joireman, Kees, dan Sprott, 2010).

Degrauwe, Brengman, Wauters, dan Rossi (2012) menyatakan bahwa

compulsive buying merupakan pembelian produk untuk melepaskan diri dari

ketegangan emosional yang ada dimana dapat memberikan dampak berupa

perasaan bersalah dan frustasi yang mendorong individu tidak dapat

mengendalikan kegiatan pembelian produknya.

Degrauwe, Brengman, Wauters, dan Rossi (2012) mengkategorikan

perilaku pembelian kompulsif seperti sering asyik berbelanja, membeli barang

yang tidak dibutuhkan, stress yang berhubungan dengan perilaku pembelian,

memiliki gangguan sosial atau pekerjaan.

Compulsive buying merupakan keasyikan berbelanja barang yang tidak

dibutuhkan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Perilaku pembelian

seperti ini menganggu aspek kehidupan individu baik secara sosial, pekerjaan,

dan keuangan (Sharma, Narang, Rajender, dan Bhatia, 2009).

Perilaku pembelian kompulsif adalah perilaku pembelian yang negatif dan

abnormal dimana membuat indivdu kecanduan berbelanja dan bukan untuk

mendapatkan barang yang diinginkan namun kepuasan dalam proses pembelian

itu sendiri (Hafez, Sahn, dan Farrag, 2013).

2.4.1 Pengertian Compulsive Buying

38
Menurut O’Guinn dan Faber (dalam Jonathan S. Abramowitz, 2005: 186)

compulsive buying diartikan sebagai perilaku pembelian berulang-ulang (belanja)

yang terjadi sebagai respon dari peristiwa atau perasaan yang tidak

menyenangkan. Perasaan yang tidak menyenangkan ini merupakan pendorong

utama seseorang melakukan perilaku tersebut. Dalam jangka pendek, belanja

memang memberikan kesenangan bagi seseorang, akan tetapi dalam jangka

panjang akan berakibat buruk.

Pada mulanya belanja merupakan salah satu cara yang digunakan oleh

seseorang untuk mengatasi perasaan yang tidak menyenangkan. Namun, dari

waktu ke waktu belanja akan menjadi respon utama seseorang ketika menghadapi

peristiwa atau perasaan yang tidak menyenangkan. Menurut Christenson (dalam

Jonathan S. Abramowitz, 2005: 188) compulsive buying dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu pengaruh yang kuat dari keinginan untuk memperbaiki

suasana hati, menghindari diri dari suasana hati yang buruk, dan untuk

meningkatkan kepuasan hidup.

Beberapa ahli mencirikan seseorang yang berperilaku compulsive buying

dengan berbeda-beda. Menurut Black and Gabel (1996) compulsive buying

dicirikan dengan seseorang yang memiliki dorongan yang tidak tertahankan untuk

membeli (belanja), dan seseorang hanya akan mengalami kepuasan setelah

membeli. Lain halnya dengan Mc Elroy (1994), seseorang yang berperilaku

compulsive buying mengalami ketertarikan terus-menerus untuk membeli,

seseorang tidak tahan untuk membeli, dan seseorang membeli dengan tidak masuk

akal karena pembelian tersebut diluar kemampuan keuangannya. Sedangkan

39
Christenson (1994) mencirikan compulsive buying sebagai pembelian yang tidak

terkendali, dan pembelian tersebut dilakukan oleh seseorang untuk meringankan

ketegangan (Jonathan S. Abramowitz, 2005: 186).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa compulsive buying adalah

suatu kondisi psikologis dari seseorang individu dengan ciri-ciri, memiliki

dorongan yang kuat dan tidak tertahankan untuk membeli, melakukan pembelian

secara terus-menerus sebagai respon atas peristiwa atau perasaan yang tidak

menyenangkan dan untuk mengurangi ketegangan, membeli berulang-ulang untuk

mendapatkan kepuasan, dan melakukan pembelian yang tidak masuk akal dan

diluar kemampuan keuangannya. Perilaku compulsive buying merupakan perilaku

yang muncul dalam proses pembelajaran manusia.

Menurut Letty Workman dan David Paper (2010: 2). Perilaku compulsive

buying dijabarkan dalam tiga teori yaitu teori penyakit, teori sosial-budaya, dan

teori kognitif sosial.

1. Teori Penyakit (Disease Theory)

Beberapa bukti mengenai keberadaan compulsive buying menjelaskan

bahwa perilaku ini muncul di dalam keluarga akibat adanya perasaan yang tidak

menyenangkan dan penyalahgunaan obat-obatan yang berlebihan. Gangguan

perilaku compulsive buying ini menunjukkan adanya faktor keturunan di dalam

keluarga, yaitu kecenderungan-kecenderungan yang dilakukan oleh anggota

keluarga akan memicu keturunannya untuk melakukan hal yang sama.

Penelitian mengenai aktivitas otak menunjukkan adanya kaitan serotonin

dengan perilaku kompulsif. Serotonin merupakan hormon dalam sistem saraf

40
pusat (otak) yang mengatur suasana hati, termasuk perasaan cemas. Serotonin

disebut juga cairan neurotransmitter yang fungsinya menyampaikan pesan atau

sinyal diantara neuron dan sel-sel tubuh lainnya. Kegiatan yang dilakukan

seseorang mempengaruhi produktivitas neurotransmiter. Perubahan kadar

serotonin di otak dapat mempengaruhi suasana hati seseorang dan rendahnya

kadar serotonin dapat menyebabkan gangguan kendali pada pikiran (Christian

Nordquist, 2011).

Scmitz (Letty Workman dan david Paper, 2010: 92) menyatakan bahwa

gangguan perilaku compulsive buying terjadi karena tidak berfunginya

rangkaian neuron dengan baik dan adanya perilaku berbasis-imbalan, yaitu

ketika seseorang berbelanja, seseorang akan menerima perasaan yang lebih

menyenangkan daripada sebelumnya.

2. Teori Sosial-Budaya

Perilaku compulsive buying dapat menjadi suatu penguatan negatif

terhadap seseorang yang tidak kecanduan belanja, ketika seseorang yang tidak

kecanduan belanja menemani pelaku compulsive buying. Pada negara-negara

maju, perilaku belanja yang berlebihan sudah menjadi budaya di masyarakat.

Dibandingkan dengan negara-negara lain, fenomena compulsive buying di

Amerika menjadi budaya karena tuntutan ekonomi yang relatif tinggi.

Sedangkan pada negara-negara yang kurang berkembang, perilaku compulsive

buying biasanya sering terjadi pada golongan orang-orang kaya. Perilaku

compulsive buying merupakan fenomena sosial-budaya yang didukung dengan

41
pemasaran yang modern dan strategis. Adanya kesempatan berbelanja seperti

munculnya pasar-pasar, mudahnya ketersediaan berbagai macam barang, dan

penghasilan, cukup mendorong seseorang untuk berperilaku compulsive buying.

Compulsive buying disebut-sebut sebagai penyakit sosial, karena

perilaku ini mudah menyebar di masyarakat. Wann dan Naylor (Letty Workman

dan David Paper, 2010: 94) menyatakan bahwa compulsive buying merupakan

krisis sosial-ekonomi dan budaya konsumerisme dimana kata-kata seperti “lebih

banyak lebih baik” menjadi penekanan dalam kehidupan masyarakatnya, bahkan

bank-bank dan perusahaan kartu kredit menganut slogan “membeli sekarang

membayar kemudian” untuk mempromosikannya.

3. Teori Sosial-Kognitif

Bandura (dalam Friedman dan Schustack, 2008: 276) menyatakan bahwa

diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem diri atau self

system). Sebagai suatu sistem maka perilaku dan berbagai faktor pada diri

seseorang, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang

tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab

yang satu terhadap yang lainnya. Sehubungan dengan compulsive buying,

kesulitan untuk mengurangi dan menghilangkan perilaku compulsive buying

dapat terjadi jika para pelaku compulsive buying tetap merasa depresi, terpisah

dari orang-orang yang tidak berperilaku kompulsif, dan selalu dikelilingi oleh

pecandu belanja lainnya.

42
Lebih lanjut dalam teori Bandura (dalam Rini Idryawati, 2012: 9)

dijelaskan jika perilaku belanjanya tersebut memberikan penguatan (umpan

balik) positif bagi dirinya, hal ini akan menjadi penguatan bagi mereka sehingga

mereka akan melakukan pembelian terus menerus. Kondisi lingkungan sangat

berpengaruh pada pola belajar sosial seseorang, sedangkan lingkungan pertama

seseorang adalah di dalam keluarga, sehingga perilaku compulsive buying dapat

berasal dari karakteristik keluarga. Teori belajar sosial Bandura menekankan

bahwa dalam proses pembelajaran bentuk pembelajarannya adalah seseorang

mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan

hukuman yang diberikan kepada orang lain.

Bandura (Friedman dan Schustack, 2008: 281) juga menjelaskan adanya

hubungan timbal balik yang saling berkesinambungan antara kognitif

(perception), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment). Apa yang

individu pikirkan (perception) akan mempengaruhi perilaku (behavior) individu

tersebut, dan perilaku tersebut akan menimbulkan reaksi dari orang lain. Begitu

pula dengan lingkungan, keadaan lingkungan (environment) di sekitar akan

mempengaruhi perilaku individu. Keadaan lingkungan akan menimbulkan

reaksi-reaksi tersendiri dari individu tersebut dan dapat memberikan stimulus

terhadap individu untuk melakukan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat

dan amati dalam lingkungan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga teori

yang mendasari perilaku compulsive buying yaitu: teori penyakit (disease

theory) yang menyatakan bahwa perilaku compulsive buying muncul karena

43
adanya gangguan pada serotonin (hormon pengatur suasana hati), kemudian

teori sosial budaya yang mengungkapkan bahwa compulsive buying merupakan

budaya konsumerisme yang telah terjadi pada negara-negara maju dan

berkembang seiring dengan adanya kemudahan untuk mengakses pusat

perbelanjaan, serta teori kognitif sosial yang menyatakan bahwa perilaku

compulsive buying muncul karena adanya kognitif dari individu dan

mendapatkan umpan balik yang positif dari lingkungan.

2.4.2 Tipe-Tipe Pelaku Compulsive Buying

Edwards (dalam Hamanda, 2008: 33) mengembangkan Compulsive

Buying Scale (CBS) untuk mengklasifikasikan tingkatan kompulsifitas pembeli

dalam berbelanja. Menurut Edwards ada lima tipe pelaku compulsive buying,

yaitu:

a. Non-compulsive level. Pembeli dengan tingkat non-compulsive level

merupakan pembeli yang berbelanja dengan normal yaitu berbelanja hanya

untuk kebutuhan atau yang diperlukan saja.

b. Recreational spending level, yaitu pembeli yang berbelanja pada waktu

tertentu saja untuk menghilangkan stres atau untuk merayakan sesuatu.

c. Low (borderline) level. Pembeli dengan tingkat berbelanja ini adalah

seseorang yang berada diantara recreational dan kompulsif.

d. Medium (compulsive) level. Pembeli dalam tingkat ini, sebagian besar

perilaku belanjanya digunakan untuk menghilangkan kecemasan.

44
e. High (addicted) level. Sama halnya dengan tingkatan medium level, pembeli

dalam tingkat berbelanja ini juga menggunakan sebagian besar perilaku

belanjanya untuk menghilangkan kecemasan. Namun, selain itu juga

pembeli memiliki perilaku berbelanja yang ekstrim dan membuat kesulitan

atau gangguan yang serius dalam kehidupan sehari-seharinya.

2.4.3 Tahap-Tahap Compulsive Buying

Terdapat suatu tahap-tahap menurut Edwards (dalam Hamanda, 2008: 34)

yang menjadi penyebab seseorang berperilaku compulsive buying. Tahap-tahap

tersebut dinamakan spending cycle. Tahapan spending cycle adalah sebagai

berikut:

a. Perasaan kekosongan diri yang dialami oleh seseorang, self esteem (harga

diri) yang rendah, dan perasaan incompleteness.

b. Lingkungan disekitarnya mulai memberikan sinyal bahwa apabila seseorang

memiliki sesuatu, maka orang tersebut menjadi penting, berharga, dan

disukai. Sinyal-sinyal tersebut datang dari keluarga, teman sebaya, dan

berbagai media massa yang mempunyai pengaruh pada seseorang.

c. Kemudian seseorang akan berbelanja untuk mendapatkan perasaan sukses

dan akan membagi ceritanya kepada lingkungan yang akan kagum pada

dirinya.

d. Ketika seseorang mulai berhutang atau kekurangan finansial untuk menutupi

hasrat belanjanya, maka orang itu akan merasa tidak memiliki kekuatan lagi,

dan merasakan incompleteness lagi, sehingga akan berulang ke tahap awal.

45
2.4.4 Indikator Compulsive Buying

Indikator Perilaku compulsive buying dibedakan menjadi tiga. Menurut

Dittmar (dalam Robert H. Coombs, 2004: 424) indikator compulsive buying

adalah sebagai berikut:

a. Carriying on Despitte Adverse Consequences (pembelian yang berlebihan

tanpa mempertimbangkan akibatnya di masa mendatang). Merupakan

pembelian yang dilakukan secara berlebihan dengan tidak

mempertimbangkan akibatnya di masa mendatang. Pada indikator ini,

pelaku terus meneruskan perilaku mereka dengan konsekuensi yang

merugikan diri mereka sendiri. Pelaku compulsive buying akan terus

menerus melakukan pembelian yang berlebihan yang kadang-kadang tidak

dibutuhkan tanpa mempertimbangkan dampak yang akan muncul dalam

kehidupan pribadi, sosial, pekerjaan, dan keuangannya. Pada indikator ini

seseorang dalam melakukan pembelian akan menghabiskan sebagian besar

atau seluruh uangnya sekaligus. Ketika uang tersebut tidak dibelanjakan, ia

akan merasa kehilangan jati dirinya, karena belanja merupakan bagian dari

dirinya. Ketika melihat sebuah barang dan berniat hanya untuk mencobanya,

barang tersebut akan dibelinya, bahkan barang-barang yang sama hanya

berbeda corak atau warna akan dapat dibelinya.

b. Loss of Control (kehilangan kendali). Hilangnya kendali merupakan aspek

kedua dalam perilaku kecanduan belanja. Adanya hilang kendali membuat

seseorang tidak mampu melaksanakan kehendak mereka. Maksud dari

46
kehendak disini adalah kegagalan seseorang dalam melawan dorongan untuk

berbelanja. Termasuk dalam kategori ini misalnya, seseorang membeli

sesuatu tanpa berfikir sebelumnya akan membeli barang-barang tersebut

atau tidak. Keinginan yang mendadak muncul secara langsung dan

mendorong seseorang untuk membeli sesuatu. Pelaku compulsive buying

dalam indikator ini tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikam

perilaku pembeliannya. Ketika berada di pusat perbelanjaan mereka merasa

tidak bisa pulang dengan uang masih tersisa disakunya. Mereka merasa

mengalami hari yang berat jika tidak berbelanja, karena mereka

membutuhkan perasaan menyenangkan setiap hari, dan hanya diperolehnya

setelah berbelanja. Ketika mereka memiliki kartu kredit, mereka berpikir

bahwa itu adalah uang yang bisa digunakan dan dihabiskan untuk berbelanja

sesuai dengan keinginannya.

c. Irresistible Impulsive (keinginan yang tidak tertahankan). Pada indikator ini

compulsive buying digambarkan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk

mengendalikan dorongan tak tertahankan untuk membeli (O’Guinn & Faber

dalam Robert H. Coombs, 2004: 424). Misalnya, seseorang ketika memiliki

sisa uang pada akhir bulan, merasa ingin menghabiskannya dan muncul

keinginan yang tidak tertahankan untuk segera masuk ke pusat perbelanjaan

dan membeli sesuatu. Ketika seseorang telah masuk ke sebuah toko, ia tidak

dapat menahan untuk tidak membeli sesuatu dari toko tersebut. Barang yang

ingin dimilikinya akan dibelinya. Seorang dengan ciri ini tidak dapat keluar

dari toko tanpa membawa barang yang telah diinginkannya.

47
2.4.5 Faktor Penyebab Perilaku Compulsive Buying

Perilaku compulsive buying atau yang di kenal dengan kecanduan belanja

dilakukan karena banyak banyak faktor, yaitu dari diri sendiri, keluarga,

pergaulan, dan media massa. Mudahnya penggunaan kartu kredit pun dapat

mendorong seseorang untuk melakukan compulsive buying. Namun, pemicu

utama seseorang melakukan compulsive buying adalah perasaan atau peristiwa

yang tidak menyenangkan yang dialami orang tersebut. Untuk menghilangkan

perasaan yang tidak menyenangkan ini kebanyakan orang melakukannya dengan

belanja. Berikut faktor yang mendasari seseorang berperilaku compulsive buying:

1. Faktor Internal (diri sendiri)

a. Neuroticism

Menurut Gerald dkk (2009: 24) mendefinisikan neuroticism

sebagai ketidakstabilan emosi seseorang dalam menghadapi suatu

peristiwa tertentu. Seseorang dengan neuroticsm yang tinggi rentan

terhadap kecemasan dan depresi, kekhawatiran, gangguan susah tidur

dan psikosomatik, perubahan emosi sehingga mempengaruhi

keputusannya, serta kesibukan dengan banyak hal yang dapat

menimbulkan kekacauan. Kebalikannya dengan neuroticism tinggi,

seseorang dengan neuroticsm rendah akan cenderung lebih cepat sembuh

dari perasaan tidak menyenangkan dan pada umumnya lebih tenang

dalam menghadapi masalah.

48
Menurut Eysenck dkk dalam teorinya tentang Trait Factor

Theory (Feist-Feist, 2006: 406), seseorang yang memiliki skor

neurotisisme tinggi memiliki kecenderungan melakukan tindak emosi

yang berlebihan dan mengalami kesulitan untuk kembali ke keadaan

normal setelah menghadapi gairah emosinya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shahjehan dkk (2012:

2192) ditemukan bahwa ada hubungan yang positif mengenai perilaku

compulsive buying dengan neuroticism (ketidakstabilan emosi). Dengan

kata lain dapat dikatakan bahwa seseorang yang mudah mengalami

perubahan perasaan, kecemasan, kesedihan, dan cepat marah lebih

cenderung memperlihatkan perilaku compulsive buying.

b. Psikologis

Berbagai faktor psikologis dapat memicu seseorang untuk

berperilaku compulsive buying. Hal-hal psikologis yang dapat

mempengaruhi perilku belanja seseorang yaitu: sikap dan keyakinan

(Locus of control), konsep diri, kepribadian, dan pengalaman. Locus of

control merupakan keyakinan bahwa hasil dari tindakan yang dilakukan

oleh seseorang itu tergantung pada apa yang diri kita lakukan, maupun

dari peristiwa dari luar individu (Zimbarda dalam Neill, 2006). Locus of

control terbagi menjadi dua yaitu locus of control internal dan eksternal.

Locus of control internal adalah keyakinan individu bahwa hasil dari

perilakunya merupakan keputusan dan usaha dari dirinya sendiri.

49
Sedangkan locus of control eksternal adalah keyakinan individu bahwa

hasil dari perilakunya diarahkan dan ditentukan oleh nasib,

keberuntungan, dan kondisi eksternal lainnya.

Dalam kasus compulsive buying, pengendalian kedudukan diri

sendiri sangatlah penting. Seseorang yang tidak dapat mengendalikan

diri mudah terpengaruhi dalam mengambil setiap keputusan. Keputusan

untuk berbelanja sangatlah penting bagi seseorang. Seseorang yang tidak

dapat mengendalikan kedudukan dirinya akan mudah terpengaruh untuk

berbelanja, dan lama-kelamaan akan mengalami kecanduan belanja.

Locus of control internal dapat terjadi pada seseorang yang mengalami

perasaan dan peristiwa yang tidak menyenangkan, sehingga orang

tersebut memutuskan untuk segera berbelanja tanpa memikirkan sebab-

akibatnya. Sedangkan locus of control eksternal merupakan kesempatan

seseorang untuk melakukan compulsive buying. Misalnya, kemudahan

penggunaan kartu kredit. Mudahnya penggunaan kartu kredit di jaman

sekarang membuka kesempatan seseorang untuk menghambur-

hamburkan uangnya dengan mudah dan melakukan pembelian yang

kompulsif.

Selain itu konsep diri juga mempengaruhi perilaku orang dalam

berbelanja. Konsep diri adalah bagaimana cara kita memandang diri kita

sendiri dalam waktu tertentu sebagai gambaran apa yang kita pikirkan.

Terkadang konsep diri seseorang tidak sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya. Seseorang dengan konsep diri yang rendah, bermasalah

50
dengan self esteem dan kepercayaan dirinya akan mudah terpengaruh

untuk berperilaku compulsive buying. Kemudian kepribadian seseorang

juga dapat mempengaruhi pandangan dan pengambilan keputusan

seseorang ketika berbelanja.

2. Faktor Eksternal

a. Keluarga

Keluarga merupakan sebuah lembaga sosial yang mempunyai

pengaruh cukup besar dalam pembentukan sikap dan perilaku anggotanya,

termasuk dalam pembentukan keyakinan dan pengambilan keputusan

pembelian (Lina dan Rosyid dalam Sumartono, 2002: 105). Barang-barang

yang dibeli biasanya dipengaruhi oleh keluarga itu sendiri. Keluarga

bertanggungjawab terhadap proses pembelian yang dilakukan oleh anak-

anaknya. Anak-anak mengamati bagaimana orang tua memilih dan

membeli barang-barang atau produk-produk di toko. Selain itu mereka

juga mengamati adanya transaksi atau proses pertukaran yang terjadi di

kasir, sehingga anak-anak bisa dengan cepat belajar bahwa uang atau kartu

kredit beralih kepemilikan di tempat tersebut (Sumartono, 2002: 106).

Perilaku belanja orang tua seperti itu dapat mempengaruhi perilaku belanja

pada anak-anaknya. Daalam hal ini anak mencoba meniru perilaku belanja

yang biasanya dilakukan keluarganya, demikian juga dengan ketersediaan

orang tua untuk memenuhi permintaan anak (Gwin, dalam Titin Ekowati,

2009)

51
Selain pola belanja keluarga, struktur keluarga juga

mempengaruhi remaja untuk berperilaku compulsive buying.

Ketidakharmonisan komunikasi yang biasanya menyertai perceraian dalam

keluarga mempengaruhi proses sosialisasi pada anak-anak. Anak-anak

yang dibesarkan dalam keluarga yang kacau, jarang melakukan

komunikasi dengan orang tua sehingga kurang mendapatkan sosialisaso

dalam akivitas konsumsi dan cenderung materialitis daripada anak-anak

yang dibesarkan pada keluarga yang harmonis (Moore dan Maoschis,

dalam Ristianawati Dwi, 2011: 65). Ristianawati juga menjelaskan dalam

penelitiannya bahwa remaja yang berasal dari keluarga tidak utuh lebih

kuat perilaku compulsive buyingnya daripada remaja yang berasal dari

keluarga utuh.

Selain struktur keluarga, hal-hal menyangkut keluarga yang dapat

mempengaruhi tingkat compulsive buying pada remaja yaitu: sumberdaya

keluarga baik yang berupa tangible (uang, makanan, pakaian) maupun

intangible (kasih sayang, perhatian, dan bimbingan orang tua), tekanan-

tekanan atau permasalahan dalam keluarga, dan status sosial ekonomi

keluarga.

b. Teman sebaya

52
Perilaku konsumtif begitu dominan pada kalangan remaja, karena

secara psikologis remaja masih berada dalam proses mencari jati diri dan

sangat sensitif terhadap pengaruh dari luar. Menurut Hall (dalam

Sumartono, 2002: 120) menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa

penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan sehingga mudah terkena

pengaruh lingkungan.

Pada penelitian Robert (dalam Titin ekowati, 2009) dijelaskan

bahwa teman sebaya mempengaruhi remaja dalam melakukan pembelian

yang kompulsif, khususnya dalam memperoleh status sosial. Jadi perilaku

compulsive buying tidak dapat dikatakan muncul begitu saja tetapi sudah

berakar mulai dari seseorang hidup. Pelaku compulsive buying dalam hal

ini ingin mendapatkan status sosial yang lebih baik dalam pergaulan

dengan membeli produk-produk yang dapat meningkatkan identitiasnya.

Selain itu ajakan teman yang suka berbelanja juga dapat

mempengaruhi remaja. Pada awalnya seseorang tersebut hanya menemani

temanya berbelanja, tetapi kemudian dirinya juga akan ikut terbawa oleh

kondisi tersebut (Gwin, dalam Titin Ekowati, 2009). Di kalangan remaja,

berganti-ganti gaya mulai dari warna rambut, pemilihan merk pakaian,

hingga makanan dan minuman kaleng merupakan gambaran gaya hidup

remaja masa kini. Remaja akan dengan mudah terjebak pada tradisi

konformitas yaitu menggunakan sesuatu karena banyak orang

memakainnya. Hal ini secara tidak langsung iklan dan tayangan televisi

53
mampu mengubah pola konsumsi msyarakat yang tradisional menjadi pola

konsumsi yang serba instan (Sumartono, 2002: 3).

c. Media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti

televisi, radio, surat kabar, dan majalah mempunyai pengaruh yang besar

dalam pembentukan perilaku belanja seseorang. Media massa menyajikan

pesan dan informasi baru yang dapat mengarahkan opini baru bagi

seseorang dan memberikan landasan kognitif pada seseorang bagi

terbentuknya sikap terhadap hal tersebut (Sumartono, 2002: 96).

Fenomena gaya hidup baru sebagai akibat dari tayangan televisi

telah hampir menjangkiti seluruh lapisan masyarakat. Sri Urip (dalam

Sumartono 2002: 1) menyatakan bahwa iklan secara kondisional dapat

membuat orang membeli sesuatu yang sebetulnya tidak dibutuhkan. Hal

tersebut menunjukkan bahwa kehadiran iklan dalam kehidupan

masyarakat mampu mendorong seseorang untuk bertindak konsumtif.

Sumartono (2002: 125) menjelaskan bahwa kekuasaan ikan telah

merambah ranah kognisi remaja. Iklan telah menjadi bagian yang sulit

dipisahkan dalam kehidupan remaja. Eek negatif sebagai hadirnya iklan

menimbulkan sikap hedonisme dan glamorisme. Referensi kebutuhan

sebagai akibat dari pengaruh iklan telah berbelok ke arah keinginan

merealisasikan atau munculnya dorongan untuk memenuhi keinginan

mencoba produk yang telah disaksikan.

54
2.4.6 Dampak Compulsive buying

Perilaku pembelian yang kompulsif telah menjadi fenomena yang

berkembang dimasyarakat. Perilaku ini dapat memberikan pengaruh positif

maupun negatif pada individu dan masyarakat. Menurut Robert (dalam Titin

Ekowati, 2009) dampak yang dapat terjadi dari perilaku compulsive buying dari

segi keuangan individu yaitu tingginya hutang kartu kredit dan rendahnya dana

yang bisa ditabung. Dari sisi pemasar, compulsive buying merupakan hal yang

sangat menguntungkan karena dapat mendongkrak penjualan perusahaan. Namun,

dari sisi psikologis perilaku compulsive buying dapat menimbulkan perasaan

gelisah, depresi, frustasi, dan konflik interpersonal pada individu tersebut.

Compulsive buying juga dikategorikan sebagai perilaku yang menyimpang dan

dalam jangka panjang dapat merugikan karena individu dapat terlibat dalam

masalah hutang.Selain itu Letty Workman (2010: 55) juga menyatakan bahwa

dalam jangka pendek, compulsive buying juga dapat memberikan kepuasan dan

kesenangan, mengurangi stress dan ketegangan, meningkatkan kepercayaan diri,

dan meningkatkan hubungan interpersonal. Pelaku compulsive buying ini tidak

semata-mata melakukan pembelian hanya karena untuk mendapatkan suatu

produk tertentu saja tetapi lebih menekankan pada keinginan untuk mencapai

kepuasan dan kesenangan pribadi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku compulsive

buying dapat memberikan dampak untuk jangka pendek maupun jangka panjang

bagi seseorang. Dalam jangka pendek, compulsive buying dapat memberikan

kepuasan pada individu dan mengurasi ketegangan, sedangkan dalam jangka

55
panjang perilaku compulsive buying akan sangat merugikan bagi individu karena

akan menimbulkan keborosan dan membuat individu tersebut terlibat dengan

masalah hutang.

2.5 Kerangka Pemikiran.

Hal di atas dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran berikut ini :

Background Marketing
Theory
Management Theory

Kotler
Service Marketing Consumer Behavior
Middle Range
Theory
Theory
Management Theory
Solomon (1999), Oliver
Lovelock (2004), (1997),
Supporting Implusive Buying and Compulsive Buying
Theory

Best (2000), Fitzimmons (2001)

Retail Modern

Promosi
Penjualan
Applied
Theory

Implusif
Buying

Compulsive
Buying
56
BAB III

METODE PENELITIAN

2.1. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif,

yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk meluruskan pengaruh antar

variabel-variabel, menguji teori dan mencari generalisasi yang mempunyai nilai

produktif.

Maka dari itu dalam penelitian ini sebagai obyek lokasi adalah Mall

AEON BSD Tangerang dengan fokus Peningkatan Volume Penjualan sebagai

tanda peningkatan bisnis ritel dikaitkan dengan seberapa besar pengaruh dari

Strategi Ritel (X1), dan Impulsive Buying (X2), Compulsive Buying (Y), baik

secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.

Dasar penelitian ini dibuat dalam rangka menguji hipotesis penelitian

sebagaimana diurutkan di bab sebelumnya.

3.2 Variabel Penelitian

3.2.1 Variabel Konsepsional

1) Variabel Compulsive Buying (Y)

Compulsive Buying adalah pembelian berlebihan yang berulang dan sudah

menjadi penyakit bagi pelakunya. Perilaku pembelian kompulsif biasanya

dibentuk oleh perasaan dan peristiwa negative yang dialami oleh konsumen

sehingga untuk keluar dari situasi tersebut maka konsumen berbelanja melampaui

57
kebutuhan mereka dengan membeli barang-barang yang mahal, untuk mencari

kesenangan serta meningkatkan status sosial dan ekonomi melalui penggunaan

kartu kredit (Omar, Rahim, Wel, dan Alam, 2013)

Adapun dimensi atau indikator compulsive buying menurut Dittmar (dalam

Robert H. Coombs, 2004: 424) adalah sebagai berikut: (1) Carriying on Despitte

Adverse Consequences (pembelian yang berlebihan tanpa mempertimbangkan

akibatnya di masa mendatang). (2) Loss of Control (kehilangan kendali; (3)

Irresistible Impulsive (keinginan yang tidak tertahankan).

2) Variabel Strategi Ritel (X1)

3) Variabel Impulsive Buying (X2)

Menurut Gutierrez (2004) dalam Rahma (2010) menjelaskan bahwa

impulse buying sebagai pembelian langsung dimana konsumen tidak aktif dalam

mencari produk dan sebelumnya tidak memiliki rencana untuk membeli.

Menurut Rook dan Fisher (1995) dalam Ismu (2011), impulse buying

memiliki beberapa karakteristik, sebagai dimensi atau indikatornya sebagai

berikut : (1) Spontanitas. sering sebagai respons terhadap stimulasi visual yang

langsung ditempat penjualan. (2) Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin

ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak seketika.

(3) Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering disertai

emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan” , ”menggetarkan” atau “liar”. (4)

58
Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit

ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.

3.2.2 Variabel Operasional

Adalah jumlah skor yang diperoleh dari hasil perhitungan atas butir-butir

pertanyaan dalam penelitian dengan menggunakan metode Likert dengan skor 5

dengan alternatif jawaban: Sangat baik (a) skor 5, Baik (b) skor 4, Cukup baik (c)

skor 3, Kurang baik (d) skor 2 dan Tidak baik (e) skor 1. Sebagaimana yang

digambarkan pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1

Skala Likert

Pendapat Skor

Sangat baik (a) 5


Baik (b) 4
Cukup baik (c) 3
Kurang baik (d) 2
Tidak baik (e) 1
Sumber; Sugiyono (2009:40)

3.4. Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini terdiri atas pengunjung Mall AEON BSD

Tangerang yang berjumlah 15.000 lebih pengunjung setiap harinya, dengan

populasi terjangkau, sekitar 150 orang pada hari observasi yang melakukan

pembelian kompulsif.

59
3.4.2 Sampel

Sample yang peneliti gunakan adalah seluruh pengunjung yang melakukan

pembelian kompulsif sebanyak 150 populasi terjangkau yang datang ke Mall

AEON BSD.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Data Primer

Pengumpulan data dengan penyebaran kuesioner yaitu Teknik

pengumpulan data yang dilakukan melalui daftar pertanyaan yang disusun

sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dijawab oleh para

responden, adapun yang menjadi responden adalah para pengunjung pada

Mall AEON BSD Tangerang. Sifat dari kuesioner yang diajukan ialah

pertanyaan tertutup yaitu pernyataan yang variasi jawabannya sudah

ditentukan dan disusun terlebih dahulu sehingga para responden hanya

memilih jawaban yang telah disediakan. Dengan demikian maka peneliti

dapat mengukur pendapat dan sikap dari para responden, selain itu peneliti

juga menggunakan suatu tabel dimana terdapat jumlah serta persentase

dari para responden dalam suatu tabel.

3.5.2 Pengumpulan Data Sekunder

1) Studi Pustaka

Melalui metode penelitian yang didasarkan studi literatur. Dalam

hal ini peneliti berusaha untuk mencari dan membaca serta mendapatkan

60
sumber-sumber ilmiah yang terdapat dalam buku-buku yang relevan

dengan pembahasan penelitian ini.

2) Pengamatan (Observasi)

Dalam hal ini, peneliti akan melakukan suatu cara pengumpulan

data dengan mengadakan pencatatan secara sistematis di dalam

pengamatan langsung terhadap kondisi dan keramaian pengunjung

terutama pembeli pada Mall AEON BSD Tangerang sehingga peneliti

mendapatkan data yang diperlukan.

3.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah

bentuk regresi dengan bantuan komputer program Statistical Package for Social

Science Versi 21.0 for windows.

Dalam penelitian ini menggunakan rumus regresi sederhana untuk

menentukan pengaruh masing-masing variabel X terhadap Y, selanjutnya

menggunakan rumus regresi berganda untuk menentukan kontribusi X1, X2 dan Y

secara bersama-sama terhadap variabel Y.

1) Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum instrumen penelitian yang berupa angket disebarkan kepada

responden, terlebih dahulu diadakan uji coba. Uji coba dilakukan untuk

mengetahui tingkat kehandalan yang memadai dan dikenal dengan istilah

validitas. Suatu alat ukur dikatakan valid jika alat ukur itu apa yang harus

61
diukur, sedang alat ukur dikatakan reliabel bila mengukur suatu gejala pada

waktu berlainan senantiasa menunjukkan hasil yang sama. Jadi dapat

dikatakan bahwa validitas berhubungan dengan tingkat konsistensi.

Adapun perumusan uji validitas dan reliabilitas sebagai berikut :

a. Validitas

Uji validitas dasar pengambilan keputusan adalah :

1) Jika rhasil positif serta rhasil> rtabel, maka butir atau variabel tersebut

valid.

2) Jika rhasil tidak positif serta rhasil< rtabel ataupun rhasil negatif > rtabel,

maka butir atau variabel tersebut tidak valid.

Menurut Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (2008: 122 –

124), Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan

mengukur apa yang akan diukur. Uji validitas dilakukan dengan

menggunakan hasil analisa faktor dengan memperhatikan faktor

loadings untuk tiap-tiap item pertanyaan yang terdapat dalam

kuisioner. Item-item pertanyaan harus dilakukan pengujian apakah

data yang diperoleh benar benar valid serta dapat dipercaya.

Pengujian validitas instrumen pengukur dilakukan dengan

memperhatikan :

1. Nilai eigenvalue, sama atau lebih besar dari 1.

2. Nilai communalities sama atau lebih besar dari 0,5.

62
3. Nilai faktor loading untuk tiap-tiap item pertanyaan sama atau lebih

besar dari 0,5.

Apabila penelitian menggunakan sifat skala interval dengan metode

skala likert untuk mengukur persepsi responden dengan menggunakan alat

analisis regresi, korelasi dan faktor analisis, maka dapat digunakan uji

validitas interval konsistensi dengan menggunakan rumus korelasi dari

Karl Pearson yang dikenal dengan product moment correlation.

Adapun persamaan tersebut adalah :

N ΣXY – (ΣX)(ΣY)
rxy =
√ [N (ΣX2) – (ΣX2)]√ [N (ΣY2) – (ΣY2)]

dimana x &y = skor masing-masing variabel

r = koefisien korelasi X dan Y

N = jumlah sampel

Menurut Wahyuni dalam bukunya yang berjudul Penelitian

Bisnis (2006:43) ;mengemukakan bahwa pemyataan dikatakan valid

apabila nilai r hitung >r table dan probabilitasnya <ά. Adapun nilai ά

yang biasa digunakan adalah sebesar 5% atau 0,05. Dengan

demikian, pernyataan dikatakan valid jika nilai probabilitasnya

<0,05. Variabel yang tidak berkorelasi signifikan dengan skor total

63
variabel berarti tidak memenuhi uji validitas dan terpaksa harus

dikeluarkan dari model analisis.

Untuk mengukur kuat tidaknya hubungan tersebut dapat

digunakan interval keofisien korelasi yang mempunyai batasan

antara -1<r>1, bila r mendekati 1 artinya terdapat hubungan sangat

kuat dan positif. Sedangkan bila r hasilnya 0 (nol) artinya hubungan

lemah sekali atau tidak mempunyai hubungan.

Sedangkan Sugiyono berpendapat berbeda bahwa bla harga

korelasi di atas 0,3 maka dapat disimpulkan butir instrumen valid,

sedangkan bila harga koefisien korelasi di bawah 0,3 maka dapat

disimpulkan bahwa butir instrumen tersebut tidak valid sehingga

harus diperbaiki atau dibuang (Sugiyono, 2005: 116)”.

Lebih lanjut menurut Sugiyono (2009:183) pedoman untuk

memberikan interpretasi koefisien korelasi adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2

Interval Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Hubungan

0,00-0,199 Sangat rendah/sangat lemah

0,20-0,399 Rendah/lemah

0,40-0,599 Sedang

0,60-0,799 Kuat/erat

0,80-1,00 Sangat kuat/sangat erat

64
b. Reliabilitas

Uji reliabilitas dasar pengambilan keputusan adalah :

1) Jika rAlpha positif serta rAlpha> rtabel, maka butir atau variabel tersebut

reliabel.

2) Jika rAlpha negatif serta rAlpha< rtabel ataupun rAlpha negatif > rtabel, maka

butir atau variabel tersebut tidak reliabel.

Uji reliabilitas adalah tingkat kestabilan suatu alat ukur dalam

mengukur suatu gejala atau kejadian. Semakin tinggi reliabilitas suatu alat

ukur, semakin stabil pula alat ukur tersebut untuk mengukur suatu gejala

dan sebaliknya, jika reliabilitas tesebut rendah maka alat tersebut tidak

stabil dalam mengukur suatu gejala.

Dengan penggunaan tingkat alpha dengan rumus

(Riduwan,2006:125), uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur sampai

sejauh mana derajat ketepatan, ketelitian, atau keakuratan yang

ditunjukkan oleh instrumen pengukuran. Reliabilitas didefinisikan oleh

Singarimbun (2009:140) adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana

suatu alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu

alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur hal yang sama pada waktu

yang berlainan dan hasil pengukuran relatif konsisten, maka alat tersebut

dikatakan reliabel.

Menurut Santoso (2000:270), suatu angket dapat dikatakan reliabel

apabila jawaban yang diberikan oleh seseorang terhadap pertanyaan

65
adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.

3.6.2 Uji Regresi

Persamaan regresi berganda dapat ditulis sebagai berikut (Algifari 2000:

62) :

Y = a + b1X1+ b2 X2 + ei

Keterangan :

Y : Variabel Compulsive Buying

a : Bilangan Konstanta

b1 : Koefisien regresi Strategi Ritel

b2 : Koefisien regresi Impulsive Buying

X1 : Variabel Strategi Ritel

X2 : Variabel Impulsive Buying

ei : Variabel gangguan

3.7. Tempat dan Waktu Penelitian

Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian

penelitian ini, maka peneliti mengadakan penelitian langsung ke lokasi penelitian

yaitu pada Mall AEON BSD Tangerang dan Penelitian ini dilakukan mulai dari

bulan September 2017 sampai dengan selesai :

66
Tabel 3.3

Rencana Jadwal Penelitian

Bulan

No Kegiatan
Senin Senin Senin Senin Senin
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengajuan
1
proposal
Pengumpulan
2 data dan
referensi
Analisa dan
3 pengolahan
data
Penelitian
4 dan
bimbingan

67

Anda mungkin juga menyukai