Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah
Kota Surabaya. Kota Malang juga dijuluki sebagai kota pelajar seperti
halnya Daerah Istimewa Jogjakarta karena memiliki sejumlah perguruan
tinggi ternama. Terdapat 30 perguruan tinggi yang berdiri di Kota Malang
(BPS, 2013). Hal ini menyebabkan banyak mahasiswa dari luar Malang
yang ingin menuntut ilmu dan menetap di Kota Malang. Kepadatan
penduduk didominasi mahasiswa yang merupakan konsumen potensial,
dimanfaatkan oleh pebisnis untuk menjalankan sebuah usaha.
Seperti yang terjadi akhir- akhir ini, Kota Malang sedang gencar
membangun pusat perdagangan modern. Sebut saja Mall Olympic
Garden , Malang Town Square, Mall Dinoyo City, Malang City Point,
Cyber Mall, Plasa Araya dan beberapa pusat perbelanjaan lain.
Perkembangan gaya hidup yang semakin meningkat menggeser pusat
perbelanjaan tradisional ke arah pusat perbelanjaan modern. Pusat pusat
perbelanjaan itu antara lain supermarket, departement store dan shopping
mall. Pusat- pusat perbelanjaan modern yang mulai menjamur merupakan
fenomena yang membuat perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pada
masyarakat (Yulinastiti, 2001).
Maraknya pembangunan pusat perbelajaan di Kota Malang ini
dikarenakan pusat perbelanjaan kini telah menjadi bagian penting dari
kehidupan konsumen.

Bagi sebagian besar orang, mengunjungi pusat

pusat perbelanjaan sudah menjadi aktiitas rutin dan gaya hidup. Sekarang
ini, belanja bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi sudah
menjadi keharusan untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan
pribadi. Menurut Haris (2005) belanja merupakan gaya hidup tersendiri
yang bahkan menjadi kegemaran bagi sejumlah orang. Orang selalu
mencari tempat yang menurut persepsi mereka menarik (Jones dan
Reynolds, 2006) dan dapat memberikan kepuasan pengalaman berbelanja
yang menyenangkan (Baker, 2006).
Maraknya pembangunan pusat perbelanjaan dan bertambahnya
jumlah mahasiswa di Kota Malang menjadi salah satu penyebab tingginya
pendapatan perkapita di Kota Malang. Mahasiswa menjadi salah satu
penyumbang pendapatan dan pajak daerah terbesar di Kota Malang.
Diperkirakan setiap tahunnya tidak kurang dari Rp. 300 miliar yang
dibelanjakan di Kota Malang hanya dari uang saku mahasiswa
(http://regional.kompas.com/read/2011/03/03/00063956/Mahasiswa.di.Mal
ang.Setor.Rp.300.M.Per.Tahun.)
Banyaknya uang yang dibelanjakan mahasiswa tidak lepas dari
kebutuhan hidup mereka yang cukup banyak, terutama bagi mahasiswa
yang berasal dari luar kota. Menurut Batyon kebutuhan yang dirasakan
tersebut akan membangkitkan perilaku yang diperkirakan memiliki
kemungkinan terbesar dalam memenuhi kebutuhan tertentu (Sudaryana,
2001). Menurut Engel, Blackwell dan Miniard, adanya kebutuhan yang

mendesak tersebut diekspresikan dalam perilaku pembelian dan konsumsi


suatu produk (Subagyo, 2011)
Setelah melakukan pembelian sebuah produk, konsumen akan
mengevaluasi produk tersebut apakah sesuai dengan tujuan dan dapat
memenuhi kebutuhan mereka (Hawkins , Mothersbaugh, dan Best, 2007).
Hal ini sesuai dengan pendapat Kotler dan Amstrong (2001) yang
menyatakan bahwa proses setelah pembelian adalah mengevaluasi apakah
alternatif yang dipilih memenuhi kebutuhan dan harapan sesudah
digunakan. Apabila konsumen merasa puas dengan keputusannya maka
konsumen akan melakukan pembelian ulang, sebaliknya apabila konsumen
merasa tidak puas konsumen akan mengajukan keluhan atau bahkan
melakukan pergantian merk sebagai bentuk penyesalan atas keputusan
yang telah dibuat (Tsiros dan Mittal, 2000).
Sering kali konsumen juga akan membandingkan produk yang
telah mereka beli dengan produk yang tidak mereka beli. Perbandingan
antar produk ini dapat menimbulkan kondisi psikologis yang dikenal
sebagai disonansi kognitif atau penyesalan pasca pembelian (Saleh, 2012).
Menurut Lee dan Cotte (2009) penyesalan pasca pembelian merupakan
sensasi yang menyakitkan yang muncul sebagai hasil perbandingan yang
dilakukan konsumen terhadap kondisi yang dialami saat ini dengan
alternatif kondisi yang dapat dialaminya apabila konsumen mengambil
keputusan yang berbeda.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan salah satu
prediktor positif yang menyebabkan penyesalan pasca pembelian adalah

pembelian impulsif.. Menurut Mowen dan Minor (2001) dalam Gltekin


dan zer (2012) pembelian impulsif adalah tindakan membeli yang
dilakukan

tanpa

memiliki

masalah

sebelumnya

atau

maksud atau niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko.


Underhill (2000) menyatakan bahwa mayoritas produk belanja
adalah wilayah wanita. Wanita biasanya berbelanja dengan cukup rela,
bahkan menjadi kebiasaan yang dapat membawa kesenangan ,
kegembiraan dan sensasi. Pria cenderung membeli kebutuhan lebih cepat
dibanding wanita dan tidak menemukan kesenangan dalam mencari,
memilih dan mencoba sebuah produk. Giraund (2001) mengatakan jenis
kelamin mempunyai pengaruh spesifik pada pembelian impulsif seperti
wanita yang cenderung lebih impulsif dibanding pria. Pendapat Coley dan
Burgess menyatakan pada umumnya, perilaku membeli wanita dianggap
lebih emosional dibandingkan pria, yang mengakibatkan wanita lebih
responsif terhadap pembelian impulsif (Saleh, 2012). Berdasarkan
pendapat tersebut maka ditentukan subyek dalam penelitian ini adalah
mahasiswa berjenis kelamin perempuan (mahasiswi).
Poling yang melibatkan 3.000 wanita menunjukkan bahwa 84
persen mengaku saat pergi ke pusat perbelanjaan hanya berniat untuk
window shopping. Namun, akhirnya mereka membeli sesuatu. Sebanyak
40 persen wanita mengakui, mereka tidak suka dengan pakaian yang dibeli
setibanya di rumah dan sebanyak 85 persen wanita sering menyesal
dengan barang atau pakaian yang dibelinya (Lubis dan Nugraheni, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid (2012) yang dilakukan
di Arab Saudi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara

pembelian impulsif dengan penyesalan pasca pembelian. Konsumen yang


impulsif cenderung merasa menyesal karena mereka kurang memberikan
usaha dalam proses pengambilan keputusan sehingga mereka lebih merasa
bertanggung jawab terhadap kegagalan yang dialami akibat pengalaman
negatif (MBarek dan Gharbi, 2011).
Riset yang dilakukan oleh Dittmar (Astuti dan Fillipa, 2008)
menemukan bahwa pertimbangan atau alasan pembelian dalam melakukan
pembelian impulsif, mencakup pertimbangan ekonomi/fungsional produk,
mood atau suasana hati dan self image. Riset juga menunjukkan
pembelian impulsif yang terjadi berbeda- beda antara satu produk dengan
produk lainnya. Pembelian

impulsif sering dilakukan pada produk-

produk fashion seperti aksesori, perhiasan maupun pakaian. Disebutkan


juga jika produk-produk yang memiliki hubungan self presentation, self
expression, mood adjustment dan hiburan seperti music items, pakaian,
body care, ornament dan jewellery memiliki kemungkinan lebih tinggi
untuk dibeli secara impulsif dibanding produk-produk yang sangat
fungsional dan instrumental seperti furniture, perlengkapan dapur atau
perlengkapan mobil.
Sesuai dengan riset Dittmar yang telah dijelaskan di atas, salah satu
produk yang menjadi incaran konsumen saat ini adalah produk fashion.
Menurut Goldsmith dan Emmert, perilaku pembelian impulsif pada
orientasi fashion termotivasi oleh versi baru dari fashion dan citra merek
yang memandu konsumen ke pengalaman

berbelanja hedonis (Park ,

Hoon dan Kim, 2006). Perasaan senang yang dialami oleh konsumen
ketika melakukan aktivitas berbelanja merupakan sebuah peluang bagi
para pengelola gerai fashion. Berdasarkan uraian tersebut, maka penting
bagi sebuah gerai fashion untuk memiliki kemampuan serta berfokus
dalam menciptakan emosi positif dan pengalaman belanja hedonis dalam
gerai guna mendorong terjadinya pembelian impulsif terhadap produkproduk fashion. (Park et al., 2006).
Berbicara tentang pengalaman berbelanja hedonis, pembelian
impulsif memainkan peran penting dalam memenuhi keinginan hedonis
yang terkait dengan motivasi belanja hedonis (Park et al., 2006). Hal ini
sesuai dengan penelitian Sendi Sipahutar di Ouval Research Bandung
yang menunjukkan bahwa display toko secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap pembelian impulsif, sedangkan

motivasi belanja

hedonis secara parsial berpengaruh signifikan terhadap pembelian


impulsif. Dari kedua variabel tersebut, motivasi belanja hedonis memberi
pengaruh lebih besar terhadap pembelian impulsif.
Motivasi belanja hedonis sendiri oleh Arnold dan Reynolds (2003)
diartikan sebagai instrumen yang menyajikan secara langsung manfaat dari
suatu pengalaman dalam melakukan pembelanjaan, seperti kesenangan
dan hal-hal baru. Selain itu , konsumen hedonis lebih mempertimbangkan
aspek emosional dalam perilaku belanjanya. Babin (1994) mengemukakan
bahwa tugas pada motivasi hedonis lebih mengarah kepada pengalaman
menyenangkan, fantasi, dan sensor stimuli.
Ketika konsumen berbelanja, tentunya

konsumen

akan

memperhatikan aspek-aspek kenikmatan dan kesenangan (hedonis),

disamping manfaat yang diperoleh dari produk itu sendiri. Menurut


Maaruf (Yistiani, 2012) jika dikaitkan dengan konsumen Indonesia,
kebanyakan mereka saat ini berorientasi rekreasi yang mementingkan
aspek kesenangan, kenikmatan, dan hiburan saat berbelanja.
Pendapat Kang dan Poaps (2010) mengatakan jika pengunjung
menikmati kegiatan berbelanja yang dilakukan, akan memberikan
pengaruh yang positif terhadap lamanya waktu yang dihabiskan untuk
berbelanja. Semakin lama waktu yang dihabiskan pengunjung dalam pusat
perbelanjaan dapat meningkatkan probabilitas terjadinya pembelian.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan, ketika tujuan
berbelanja adalah untuk pengalaman yang menyenangkan, produk yang
akan dibeli ini nampak seperti terpilih tanpa perencanaan dan mereka
menghadirkan suatu peristiwa pembelian impulsive (impulse buying). Di
sisi lain, pembelian yang tidak direncanakan tersebut bisa menyebabkan
perasaan bersalah karena ketidakpuasan konsumen. Berdasarkan

latar

belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang


berjudul Pengaruh Motivasi Belanja Hedonis terhadap Penyesalan Pasca
Pembelian Produk Fashion di Mall pada Mahasiswi di Kota Malang
dengan dimediatori Pembelian Impulsif.
B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang peneliti ajukan
dalam penelitian ini yaitu:

1. Apakah motivasi belanja hedonis berpengaruh terhadap


pembelian impulsif produk fashion oleh mahasiswi di Kota
Malang?
2. Apakah pembelian impulsif berpengaruh terhadap penyesalan
pasca pembelian produk fashion oleh mahasiswi di Kota
Malang?
3. Apakah motivasi belanja hedonis berpengaruh terhadap
penyesalan pasca pembelian produk fashion oleh mahasiswi di
Kota Malang?
4. Apakah pengaruh motivasi belanja hedonis terhadap penyesalan
pasca pembelian dimediatori oleh pembelian impulsif pada
produk fashion oleh mahasiswi di Kota Malang?

C.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan
penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh motivasi belanja hedonis terhadap
pembelian impulsif produk fashion oleh mahasiswi di Kota
Malang.
2. Untuk mengetahui pengaruh pembelian impulsif terhadap
penyesalan pasca pembelian produk fashion oleh mahasiswi di
Kota Malang.
3. Untuk mengetahui pengaruh motivasi belanja hedonis terhadap
penyesalan pasca pembelian produk fashion oleh mahasiswi di
Kota Malang.

4. Untuk mengetahui pengaruh motivasi belanja hedonis terhadap


penyesalan pasca pembelian dengan dimediatori pembelian
D.

impulsif oleh mahasiswi di Kota Malang.


Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini
adalah:
1. The Effect of Hedonic Shopping Motivation on Consumer Satisfaction
and Consumer Loyalty . International Journal of Asian Social Science,
2003, 3(7): 1522-1534 oleh Hulya Bakirtas dan Sevilay Uslu
Divanoglu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara motivasi belanja hedonis dengan kepuasan pelanggan
dan loyalitas pelanggan. Survey dilakukan kepada 372 mahasiswa
Universitas Aksaray di Turki. Pengumpulan data menggunakan
kuisioner yang terdiri dari pertanyaan demografi, motivasi belanja,
kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Penelitian ini dilakukan
antara bulan Maret hingga Juni 2013. Dari 406 kuisioner yang
dibagikan terdapat 372 kuisioner yang layak untuk dianalisis. Hasil
penelitian

ini

menunjukkan

bahwa

jenis

motivasi

belanja

mempengaruhi kepuasan pelanggan dan kesetiaan pelanggan. Namun,


motivasi nilai belanja tidak memiliki dampak pada mereka. Selain itu,
motivasi gratifikasi tidak mempengaruhi loyalitas pelanggan dan peran
belanja tidak memiliki dampak pada kepuasan pelanggan.
2. An Investigation of the Relationship Between Unplanned Buying and
Post Purchase Regret . International Journal of Marketing Studies; Vol.
4, No. 4; 2012

oleh Mahmoud Abdel Hamid Saleh. Tujuan dari

10

penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dari pembelian tidak


direncanakan dengan penyesalan pasca pembelian yang dimoderatori
dengan pendapatan keluarga konsumen dan jenis kelamin seta
hubungan pembelian tidak direncakan dengan promosi penjualan dan
pembayaran menggunakan kartu bank di pasar Arab Saudi. Survei
dilakukan kepada konsumen sebuah toko ritel di Riyadh, Arab Saudi.
Pengumpulan data menggunakan kuisioner yang dibagikan kepada 927
orang dan hanya 902 yang bisa dianalisis sedangkan sisanya tidak sah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
antara pembelian tidak direncanakan dengan penyesalan pasca
pembelian.

Peningkatan

hubungan

antara

pembelian

tidak

direncanakan dengan penyesalan pasca pembelian ditemukan pada


konsumen berpenghasilan rendah dan konsumen pria. Hal serupa
terjadi pada pembayaran menggunakan kertu bank yang memiliki
hubungan signifikan dengan pembelian tidak direncanakan , namun
berbeda dengan promosi penjualan yang tidak memiliki hubungan
sigifikan dengan promosi penjualan.
3. Post- Purchase Consumer Regret Effect on Consumer Satisfaction.
European Journal of Business and Management Vol. 6, No. 8 tahun
2014 oleh Adeyeyetolulope Charles. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penyesalan pasca pembelian terhadap kepuasan
konsumen di mini market Universitas Ajayi Crowther, Oyo, Nigeria.
Desain penelitian yang digunakan yaitu penelitian survey dan
menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data. Subjek dalam

11

penelitian ini adalah 500 mahasiswa Ajayi Crowther, tetapi dari 500
kuisioner hanya 402 kuisioner yang bisa digunakan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penyesalan pasca pembelian terjadi karena tidak
adanya alternative produk dan pertimbangan yang berlebihan memiliki
dampak yang signifikan terhadap kepuasan konsumen.
4. Persepsi, Sikap dan Motivasi Hedonis Terhadap Keputusan Pembelian
Produk Fashion Secara Online. Jurnal EMBA Vol.2 No.1 Maret 2014,
561-570 oleh Arthur Adilang., S.G. Oroh., S. Moniharapon. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh persepsi , sikap, motivasi
hedonis terhadap keputusan pembelian. Jenis penelitian yang
digunakan adalah eksplanasi. Populasi dari penelitian ini sebanyak
1.047 mahasiswa jurusan manajemen Fakultas Ekonomi UNSRAT
Manado , sedangkan yang sampel penelitian yaitu 50 orang responden
yang aktif melakukan transaksi belanja online. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persepsi, sikap, motivasi belanja hedonis
berpengaruh

secara

pembelian.
5. Pengaruh Display

simultan
Toko

dan

dan

parsial

Motivasi

terhadap
Belanja

keputusan

Berdasarkan

Kesenangan (Hedonic) Terhadap Pembelian Impulsif pada Konsumen


Ouval

Research

Bandung.

Undergraduate

Theses

dari

JBPTUNIKOMPP oleh Sendi Sipahutar. Tujuan dari penelitian ini


antara lain untuk mengetahui tanggapan konsumen terhadap display
toko, motivasi belanja hedonis, dan pembelian impulsif serta pengaruh
display toko dan motivasi belanja hedonis terhadap pembelian impulsif

12

di Ouval Research Bandung baik secara simultan dan parsial.


Penelitian dilakukan di Ouval Research Bandung. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan
verifikatif dengan pendekatan kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini
adalah konsumen Surf Inc Bandung yang berjumlah 100 orang. Teknik
sampling yang digunakan yaitu

accidental random sampling

sedangkan teknik pengumpulan datanya adalah dengan kuisionerr,


wawancara langsung dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian

menunjukkan bahwa display toko secara parsial berpengaruh


signifikan terhadap pembelian impulsif, motivasi belanja berdasarkan
kesenangan (hedonic) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
pembelian impulsif. Dari kedua variabel tersebut , motivasi belanja
berdasarkan kesenangan (hedonic) memberi pengaruh lebih besar
terhadap pembelian impulsif diikuti oleh variabel display toko dimana
E.

pengaruh keduanya signifikan.


Kekhasan Penelitian
Kekhasan penelitian ini adalah sangat jarang ditemukan atau
bahkan belum adanya penelitian yang membahas pengaruh motivasi
belanja hedonis terhadap penyesalan pasca pembelian sehingga peneliti
tertarik untuk membahas masalah tersebut dengan menggunakan
pembelian impulsif sebagai variabel mediator.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Motivasi Belanja Hedonis
1. Definisi Motivasi
Menurut Sadirman (2007), motivasi adalah perubahan energi diri
seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan
tanggapan terhadap adanya tujuan. Menurut Schifman dan Kanuk (2008)
motivasi merupakan kekuatan penggerak dalam diri seseorang yang
memaksanya untuk bertindak.
Setiadi (2003) menyatakan bahwa, motivasi yang dimiliki tiap
konsumen sangat berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil.
Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yang
diarahkan pada tujuan mencapai kepuasan (Sukanto dan Hani H. 1986),
dengan kata lain setiap perilaku/ kegiatan konsumen diarahkan untuk
memenuhi tujuan tertentu yang berkaitan dengan kebutuhan dalam
memperoleh kepuasan.
Berdasarkan pendapat di atas, motivasi adalah segala sesuatu yang
mendorong seseorang (konsumen) untuk berperilaku tertentu, dan
upayanya untuk mencapai kepuasan.
2. Motivasi Belanja

Menurut Engel et al., (Subagyo 2011) motivasi belanja dimulai


dari munculnya kebutuhan tertentu yang semakin lama semakin mendesak
untuk dipenuhi. Desakan atau dorongan kebutuhan individu tersebut

13

14

diekspresikan dalam perilaku pembelian yang dibedakan ke dalam dua


jenis yaitu utilitarian dan hedonis.
Dikatakan sebagai utilitarian shopping motivation yaitu motivasi
konsumen

dalam

membeli produk karena manfaat fungsional dan

karakteristik objektif dari produk tersebut motivasi ini disebut juga


motivasi rasional. Motivasi ini didasarkan pada pemikiran yang benarbenar rasional dan objektif (Setiadi, 2003). Sebaliknya, pada motivasi
belanja hedonis didasarkan pada pemikiran yang subjektif atau emosional ,
kesenangan panca indera , mimpi dan pertimbangan estetis (Hirschman &
Holbrook, 1982).
3. Motivasi Belanja Hedonis

Jenis motivasi belanja yang akan dibahas dalam penelitian ini


adalah motivasi belanja hedonis. Berbicara tentang motivasi belanja
hedonis yang dijadikan dasar pada saat berbelanja adalah kualitas dari
pengalaman berbelanja, berbelanja dijadikan sebagai ajang rekreasi
(Babin, 1994). Holbrook dan Hirschman (1982) mengatakan bahwa tipe
konsumen hedonis melibatkan faktor fun dan playfulness. Selain itu tipe
hedonis ini juga potensial dalam aspek hiburan dan emosional.
Motivasi hedonis menurut Arnold dan Reynolds (2003) yaitu
instrumen yang menyajikan secara langsung manfaat dari suatu
pengalaman dalam melakukan pembelanjaan, seperti kesenangan dan hal
hal baru. Scarpi (2006) berpendapat hedonic shopping menggambarkan

15

nilai pengalaman berbelanja yang meliputi fantasi, sensor rangsangan,


kegembiraan, kesenangan, keingintahuan dan khayalan kegembiraan.
Babin (1994) mengatakan bahwa aspek hedonis berkaitan dengan
emosional konsumen sehingga ketika berbelanja konsumen benar-benar
merasakan sesuatu seperti senang, benci, marah, ataupun merasa bahwa
berbelanja merupakan suatu petualangan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan, hedonic shopping
motivation merupakan suatu keinginan seseorang untuk mendapatkan
suatu kesenangan bagi dirinya sendiri yang dilakukan dengan cara
menghabiskan waktu untuk mengunjungi tempat perbelanjaan dan
menikmati suasana atau atmosfer tempat tersebut yang pada akhirnya akan
menimbulkan keputusan pembelian.
a. Dimensi Motivasi Belanja Hedonis
Menurut Arnold dan Reynold (2009) motivasi belanja hedonis
terdiri dari enam dimensi utama, yaitu:
1) Adventure Shopping
Adventure shopping merupakan suatu bentuk kegiatan belanja
yang dilakukan karena adanya sesuatu yang membangkitkan
semangat dan kegembiraan serta menemukan sensasi yang baru
seperti sedang berada di dunia lain.
2) Gratification Shopping
Gratification shopping merupakan suatu bentuk kegiatan
belanja yang dilakukan dengan tujuan mengobati suasana hati yang

16

tidak enak, sebagai sarana untuk melupakan masalah dan


kepenatan. serta memanjakan seseorang.
3) Role Shopping
Role shopping adalah kegiatan belanja yang dilakukan untuk
mendapatkan produk bagi orang lain. Individu akan merasa senang
apabila bisa membelanjakan sesuatu untuk keluarga atau teman.
4) Value Shopping
Value shopping adalah kegiatan belanja dengan tujuan untuk
mencari potongan harga, promosi penjualan dan tawar menawar,
sehingga seseorang merasanya adanya suatu keuntungan dalam
berbelanja. Seseorang merasa senang jika bisa mendapatkan harga
rendah, seakan mereka merasa dapat menakhlukkan tantangan dan
memenangkan permainan.
5) Social Shopping
Social shopping adalah suatu bentuk kegiatan belanja untuk
mencari kesenangan yang dilakukan bersama dengan teman atau
keluarga dengan tujuan untuk berinteraksi dengan orang lain.

6) Idea Shopping
Idea shopping adalah kegiatan belanja yang dilakukan untuk
mengetahui trend baru, produk baru atau inovasi baru suatu
produk.
B. Penyesalan Pasca Pembelian
Nasiry dan Popescu (2009) berpendapat bahwa pasca pembelian
merupakan tahapan terakhir dari proses pengambilan keputusan. Tahapan

17

pengambilan keputusan oleh konsumen tersebut akan dijelaskan sebagai


berikut.
1. Proses Pengambilan Keputusan
Keputusan
dalam proses

pembelian oleh konsumen, merupakan salah tahap


pengambilan

keputusan pembelian

yang

komplek.

Pengambilan keputusan dalam pembelian melewati beberapa tahapan.


Kotler (2007) menjelaskan secara rinci tahap-tahap tersebut yang dapat
diuraikan sebagai berikut :
a. Pengenalan masalah.
Proses pembelian dimulai ketika pembeli mengenali masalah atau
kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal
atau eksternal.
b. Pencarian Informasi.
Konsumen yang terangsang kebutuhannya akan terdorong untuk mencari
informasi yang lebih banyak. Situasi pencarian informasi yang

lebih

ringan dinamakan penguatan perhatian. Saat berada di level ini, orang


hanya sekedar lebih peka terhadap informasi produk. Level selanjutnya,
orang itu mungkin mulai aktif mencari informasi. Melalui pengumpulan
informasi, konsumen tersebut mempelajari merek-merek yang bersaing
beserta fitur-fitur merek tersebut.
c. Evaluasi alternatif.
Terdapat beberapa proses evaluasi keputusan, dan model- model terbaru
yang memandang proses evaluasi konsumen sebagai proses yang

18

berorientasi kognitif. Model tersebut menganggap konsumen membentuk


penilaian atas produk dengan sangat sadar dan rasional. Beberapa konsep
dasar akan membantu

kita memahami proses evaluasi konsumen.

Pertama, konsumen berusaha memenuhi kebutuhan. Kedua, konsumen


mencari manfaat tertentu dari solusi produk. Ketiga, konsumen
memandang masing-masing produk sebagai sekumpulan atribut dengan
kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang
digunakan untuk memuaskan kebutuhan itu.akan membantu kita
memahami proses evaluasi konsumen.
d. Keputusan Pembelian.
Saat berada pada tahap ini, konsumen membentuk preferensi terhadap
merek-merek yang terdapat pada perangkat pilihan. Konsumen juga
membentuk tujuan membeli untuk merek yang paling disukai.
e. Perilaku sesudah pembelian.
Setelah

melakukan

pembelian,

konsumen

ketidaksesuaian karena memperhatikan

mungkin

mengalami

fitur-fitur tertentu

yang

mengganggu atau mendengar hal-hal yang menyenangkan tentang merek


lain, dan akan selalu siaga terhadap informasi yang mendukung
keputusannya.
Kotler (2007) berpendapat bahwa para konsumen membetuk
harapan mereka berdasarkan pesan yang diterima dari para penjual, teman
dan sumber-sumber informasi lain. Semakin besar kesenjangan antara
harapan dan kinerja, semakin besar ketidakpuasan konsumen. Kinerja

19

produk yang lebih rendah daripada harapan menyebabkan konsumen


menjadi kecewa, sebaliknya jika ternyata sesuai dengan harapan,
konsumen akan puas dan apabila melebihi harapan, konsumen akan sangat
puas.
2. Definisi Penyesalan
Zeelenberg, dan Beattie (Hung, Ku, Liang & Lee, 2006)
mendefinisikan penyesalan sebagai hal yang negatif, emosi yang
berdasarkan kognitif yang dirasakan saat menyadari atau membayangkan
situasi yang sekarang dapat saja lebih baik jika kita mengambil keputusan
yang berbeda. Landman (Hung, Ku, Liang & Lee, 2006) mendefinisikan
penyesalan sebagai banyak atau tidaknya keadaan emosional dan kognitif
dari perasaan menyesal atas kesialan, batasan, kehilangan, pelanggaran,
cela, atau kesalahan. Cooke, Meyvis & Schwartz (Hung, Ku, Liang & Lee,
2006) menyatakan penyesalan dirasakan ketika tidak adanya informasi
mengenai hasil lebih baik dari produk lain dan individu akan menunda
pembelian kembali setelah menerima informasi pasca pembelian yang
dapat saja menyebabkan penyesalan di masa yang akan datang.
Tsiros & Mittal (Das, 2004) mendefenisikan penyesalan (regret)
sebagai sebuah konsekuensi dari resiko pengambilan keputusan dan
mungkin

muncul

ketika

individu

membayangkan,

namun

pada

kenyataannya, dia telah membuat keputusan yang salah meskipun


keputusan tersebut dianggap merupakan keputusan yang tepat pada saat
pengambilan keputusan.

20

3. Definisi Pasca Pembelian


Sebagaimana dijelaskan di atas, setelah melakukan pembelian
suatu produk, konsumen akan mengevaluasi produk yang telah mereka
beli, apakah produk tersebut sesuai dengan tujuan atau produk tersebut
dapat memenuhi kebutuhan mereka (Hawkins et al., 2007). Pasca
pembelian merupakan tahapan terakhir dari proses pengambilan keputusan
(Nasiry & Popescu, 2009).
Menurut Parasuraman (Lin, 2008) pasca pembelian adalah aksi
yang dilakukan oleh individu setelah melakukan perilaku pembelian. Hal
ini dapat diukur dengan mengamati (1) transfer (individu memilih barang
dari merek yang berbeda); (2) devosi atau kesetiaan (individu mau untuk
membeli meskipun harganya bertambah mahal atau produk tersebut lebih
mahal dibandingkan produk dari merek yang berbeda); (3) respon
eksternal (keluhan yang dilakukan individu, respon mereka kepada teman,
laporan kepada pihak yang bersankutan); (4) respon internal (respon
individu terhadap pekerja atau supervisor ketika menghadapi masalah
yang sulit untuk diselesaikan. Berdasarkan penjelasan di atas maka pasca
pembelian adalah reaksi atau perasaan yang dirasakan oleh seorang
individu setelah melakukan proses pembelian.
4. Penyesalan Pasca Pembelian
Penyesalan pasca pembelian merupakan suatu sensasi menyakitkan
yang timbul setelah membeli suatu produk karena mendapat perbandingan
yang tidak setara antara apa yang diharapkan dengan apa yang didapatkan

21

setelah membeli dan

menggunakan produk tersebut (Lee dan Cotte,

2009). Pendapat Hoyer dan MacInnis (2010) menyatakan bahwa


penyesalan pasca pembelian terjadi ketika konsumen menilai adanya
perbandingan yang tidak setara antara performa dari produk yang telah
dibeli dengan performa dari produk yang tidak dibeli.
Penyesalan

pasca pembelian dapat disimpulkan sebagai suatu

sensasi menyakitkan yang muncul setelah terjadinya pembelian karena


konsumen membayangkan hasil yang lebih baik jika melakukan keputusan
pembelian yang berbeda.
5. Dimensi Penyesalan Pasca Pembelian
Lee dan Cotte (2009) mengungkapkan ada dua dimensi dari
penyesalan pasca pembelian, yaitu perasaan menyesal setelah melakukan
evaluasi terhadap hasil pembelian (outcomes regret) dan perasaan
menyesal setelah melakukan evaluasi selama proses pembelian (process
regret).
a. Outcomes Regret
Outcomes regret adalah penyesalan karena membandingkan
penilaian terhadap hasil dari produk yang telah dibeli dengan
produk yang dapat saja dibeli. Outcomes regret terdiri dari:
1. Regret due to forgone alternatives
Regret due to forgone alternatives yaitu penyesalan yang
dirasakan individu ketika alternatif yang dipilih dirasa kurang
baik dibandingkan dengan alternatif lain yang bisa saja dibeli
oleh individu tersebut (Lee dan Cote , 2009).
2. Regret due to a change in significance

22

Regret due to a change in significance yaitu penyesalan


yang disebabkan oleh persepsi individu tentang berkurangnya
kegunaan dari suatu produk saat melakukan pembelian hingga
pada suatu titik setelah melakukan pembelian. (Lee dan Cote ,
2009)
b. Process Regret
Post-purchase process regret yaitu penyesalan yang muncul ketika
individu membandingkan proses keputusan yang buruk dengan
alternatif proses keputusan yang lebih baik.
1. Regret due to Under Consideration
Regret due to under consideration terjadi ketika seseorang
meragukan proses yang mengarahkan mereka melakukan suatu
pembelian. Terdapat dua cara seseorang mengalami regret due
to under- consideration yaitu jika mereka merasa gagal
menerapkan proses keputusan yang mereka rencanakan dan
ketika mereka merasa kurang memiliki informasi yang
digunakan untuk mengambil keputusan. (Lee dan Cote , 2009)
2. Regret due to Over Consideration
Regret due to over consideration terjadi karena seseorang
memperoleh terlalu banyak indormasi. Hal ini menyebabkan
seseorang merasa terlalu banyak menghabiskan waktu dan
tenaga pada saat pembelian karena banyaknya pertimbangan
dalam pengambilan keputusan. (Lee dan Cote , 2009)
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesalan Pasca Pembelian

a. Faktor Internal
1) Emosi yang muncul setelah diadakan evaluasi terhadap pembelian.

23

Menurut Sugden (Lee dan Cotte, 2009) setelah melakukan


pembelian, konsumen biasanya akan melakukan evaluasi dengan
membandingkan apa yang mereka terima dari produk yang mereka beli
dengan apa yang seharusnya mereka dapat dari produk tersebut. Mereka
akan merasa menyesal apabila alternatif barang lain ternyata lebih
bagus dibandingkan dengan barang yang telah mereka beli.
2) Munculnya rasa tanggung jawab personal.
Gilovich dan Medvec (1995) menyatakan bahwa rasa tanggung
jawab personal muncul sebagai sumber dari pengalaman penyesalan
seseorang. Seorang konsumen merasa bahwa mereka seharusnya bisa
mencegah terjadinya outcome yang negatif dalam pengambilan
keputusan. Self blame mempengaruhi penyesalan seseorang karena
ketika individu menganggap bahwa keputusan yang dibuatnya salah,
mereka cenderung merasa harus bertanggung jawab terhadap keputusan
yang buruk tersebut. Hal tersebut menyebabkan, individu menyalahkan
diri mereka terhadap hasil negatif tersebut dan akhirnya mengalami
penyesalan
3) Conterfactual thinking
Kahneman dan Dale (1986) mendefinisikan counterfactual
thinking adalah proses membandingkan kenyataan yang ada dengan
kemungkinan terdapatnya alternatif lain dengan membangun konstruk
perumpamaan (skenario). Counterfactual thinking bukanlah sebuah
proses untuk mengevaluasi outcome tetapi lebih kepada proses

24

pemikiran kita terhadap outcome tersebut. Ada dua jenis counterfactual


thinking, yaitu downward CFT dan upward CFT.
Downward CFT terjadi ketika individu menganggap bahwa
lingkungan bisa saja lebih buruk dari apa yang dimilikinya sedangkan
upward CFT terjadi ketika individu menganggap lingkungan dapat
memberikan hasil yang lebih baik dari yang dimilikinya. Biasanya
seseorang melakukan CFT setelah mengalami atau mendapatkan
outcome yang negatif dan outcome negatif tersebut biasanya
menyebabkan seseorang lebih melakukan upward CFT daripada
downward CFT. Ketika individu menghasilkan upward CFT, maka
mereka cenderung akan mengalami regret.
b. Faktor Eksternal

1) Jumlah alternatif barang yang tersedia


Iyengar & Lepper (Roese & Summerville, 2005) mengemukakan
bahwa jumlah pilihan yang tersedia untuk dipilih dapat mempengaruhi
penyesalan seseorang. Penelitian Iyengar dan Lepper membuktikan
bahwa individu yang dihadapkan pada pilihan produk yang sangat
banyak untuk dinilai dan dipilih biasanya akan menunjukkan frustasi
dan menurunnya kepuasan jika dibandingkan dengan individu yang
hanya dihadapkan pada sedikit pilihan. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, semakin banyak pilihan untuk dipilih individu maka semakin
besar kemungkinan munculnya penyesalan pasca pembelian.
2) Ketersediaan informasi mengenai alternatif lain yang tidak dipilih.

25

Tsiros dan Mittal (Das, 2004) menyatakan bahwa emosi


penyesalan juga dipengaruhi oleh kesadaran individu akan alternatif
lain yang lebih baik. Menurut pandangan ini, seharusnya semua
informasi mengenai foregone alternative tersedia bagi si pembuat
keputusan untuk membuat perbandingan.
3) Adanya kehadiran orang lain pada saat pembelian.
Osei (2009) menyatakan bahwa dalam situasi dimana pembelian
melibatkan kehadiran orang lain, biasanya masukan atau preferensi
orang lain tersebut dapat mempengaruhi proses pengambilan individu
secara ekstrem. Pengaruh ini dapat menyebabkan individu menyimpang
dari pilihan awal mereka. Hal ini dapat berdampak terhadap evaluasi
pasca pembelian baik dalam outcome maupun proses pengambilan
keputusannya.
4) Ukuran kelompok dalam pengambilan keputusan.
Menurut Aron (1999), regret dapat dipengaruhi oleh ukuran
kelompok dimana seorang individu mengambil keputusan. Ketika
seorang individu berada dalam kelompok yang besar, maka akan
terbentuk konformitas dan akhirnya menyebabkan penurunan atribusi
yang ditujukan terhadap anggota sebagai individu. Hal tersebut dapat
dikatakan juga bahwa , dalam konteks pengambilan keputusan di dalam
kelompok besar, anggota yang tidak setuju dengan keputusan kelompok
akan mengatribusikan outcome yang tidak baik lebih kepada kelompok
daripada dirinya sendiri. Oleh karena itu, individu tersebut akan

26

mengalami regret yang lebih kecil dibandingkan ketika berada dalam


kelompok yang kecil.
C. Pembelian Impulsif
1. Definisi Pembelian Impulsif
Rook menjelaskan (Engel et all , 1995) pembelian impulsif
(impulse buying) terjadi ketika konsumen mengalami desakan tiba-tiba,
yang biasanya kuat dan menetap untuk membeli sesuatu dengan segera.
Menurut Utami (2010) pembelian impulsif adalah pembelian yang terjadi
ketika konsumen melihat produk atau merk tertentu, kemudian konsumen
menjadi tertarik untuk mendapatkannya, biasanya karena adanya
ransangan yang menarik dari toko tersebut. Hoyer dan MacInnis (2010)
mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang terjadi ketika
konsumen secara tiba-tiba memutuskan untuk membeli sesuatu yang tidak
direncanakan untuk dibeli sebelumnya
Mowen dan Minor (2001) menjelaskan pembelian barang secara
impulsif terjadi ketika konsumen merasakan pengalaman, terkadang
keinginan kuat, untuk membeli barang secara tiba- tiba tanpa ada rencana
terlebih dahulu. Cobb dan Hayer (Semuel ,2006), mengklasifikasikan
suatu pembelian impulsif terjadi apabila tidak terdapat tujuan pembelian
merek tertentu atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam
toko.
Menurut penjelasan di atas, pembelian impulsif merupakan
pembelian yang tidak direncanakan, dan spontan dengan adanya perasaan
positif yang sangat kuat yang kemudian diikuti oleh sikap pembelian.

27

2. Dimensi Pembelian Impulsif


Rook (Engel et al, 1995) menyatakan pembelian impulsif
mempunyai beberapa dimensi antara lain:
a. Spontanitas
Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk
membeli sekarang pada saat itu, sebagai respons terhadap stimulasi
visual langsung ditempat penjualan.

b. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas


Adanya motivasi untuk mengesampingkan hal- hal lain dan bertindak
seketika.
c. Kegairahan dan stimulasi
Desakan mendadak untuk membeli, sering disertai emosi yang
dicirikan sebagai menggairahkan, menggetarkan, atau liar
d. Ketidakpedulian akan akibat
Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak sehingga
akibat yang mungkin negatif diabaikan.
3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif
Beatty dan Ferrel (Tjiptono, 2004) menjelaskan hasil riset tentang
faktor- faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif yaitu:
a. Desakan untuk berbelanja
Menurut Rook (1978), desakan tiba-tiba untuk berbelanja dipicu oleh
konfrontasi visual dengan produk atau iklan promosi, tetapi hasrat

28

untuk berbelanja tidak selalu bergantung pada stimulasi visual


langsung.
b. Emosi positif
Menurut Freud (Rook, 1978), psikoanalisis yang menggambarkan
kendali hasrat sebagai hal yang dibutuhkan secara sosial yang
melahirkan prinsip kepuasan yang mendorong gratifikasi yang segera.

c. Emosi negatif
Menurut Rook (1987), reaksi ataupun konsekuensi negatif yang
diakibatkan

dari

kurangnya

kendali

terhadap

hasrat

belanja

mengarahkan konsumen kepada masalah yang lebih besar seperti


penyesalan yang dikaitkan dengan masalah finansial dan rasa kecewa
dengan membeli produk berlebihan.
d. Melihat- lihat toko
Menurut Semuel (2005) sebagian orang menganggap kegiatan belanja
dapat menjadi alat untuk menghilangkan stres dan kepuasan
konsumen secara positif berhubungan dengan dorongan untuk belanja
tanpa rencana.
e. Kesenangan belanja
Menurut Larose (Semuel, 2005) kesenangan belanja adalah sikap
konsumen yang berhubungan dengan memperoleh kepuasan ,
bersenang- senang dan bermain selain melakukan pembelian.

29

Sedangkan menurut Rook (1987) kesenangan belanja merupakan


pandangan bahwa pembelian impulsif sebagai sumber kegembiraan
individu. Hasrat ini datang tiba- tiba dan memberi kesenangan baru
secara tiba- tiba.
f. Ketersediaan waktu
Menurut Babin (Semuel, 2005) faktor- faktor internal yang terbentuk
dari dalam diri seseorang akan menciptakan suatu keyakinan bahwa
lingkungan

toko

merupakan

tempat

yang

menarik

untuk

menghabiskan waktu luang.


g. Ketersediaan uang
Menurut Semuel (2005), sebagian orang menghabiskan uang dapat
mengubah suasana hati secara signifikan , atau dengan kata lain uang
adalah sumber kekuatan.
h. Kecenderungan pembelian impulsif
Menurut Stern (Semuel, 2006) kecenderungan pembelian impulsif
adalah tingkat kecenderungan individu untuk berperilaku membeli
secara spontan dan tiba- tiba atau ingin membeli karena mengingat
apa yang pernah dipikirkan dan direncakan untuk dibeli.
D. Produk Fashion
Produk menurut Kotler (1995) adalah segala sesuatu yang ditawarkan
ke pasar untuk memuaskan kebutuhan dan

keinginan.

Wibisono (2008)

menyatakan produk fashion adalah sebuah produk yang mempunyai ciri-ciri


khusus yang tepat dan mewakili style yang sedang trend dalam suatu kurun

30

waktu tertentu.

Fashion merupakan

tanda dari suatu periode waktu,

seringkali fashion menggambarkan kebudayaan, perasaan, pemikiran, dan


gaya hidup orang-orang dalam satu kurun waktu. Solomon dalam bukunya
Consumer Behaviour : European Perspective mengartikan fashion sebagai
proses penyebaran sosial (social diffusion) dimana sebuah gaya baru diadopsi
oleh kelompok konsumen.
Christopher (2004) menyatakan produk fashion merupakan berbagai
barang yang pengukurannya didasarkan pada elemen-elemen style dan
biasanya dengan usia ekonomis yang relatif pendek atau sangat dinamis.
Terdapat beberapa karakteristik dari fashion sebagaimana dinyatakan oleh
Christopher (2004) yaitu siklus hidup produk pendek, produk ini sering
berganti-ganti, desain produk didasarkan pada mood sesaat, sehingga
konsekuensinya periode penjualan produk pendek dan lebih cenderung arah
musiman serta diukur dalam hitungan bulan atau minggu.
Menurut beberapa ahli, pembelian produk fashion dapat dikatakan
sebagai pembelian produk high involvement (Seo, Hatchote, Sweney, 2001).
Hal ini dikaitkan dengan waktu dan proses pengambilan keputusan untuk
mengkonsumsi produk fashion yang biasanya lama dan dipengaruhi berbagai
hal yang kompleks. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Cardoso (2003) yang
menyatakan bahwa pembelian produk fashion tidak hanya karena atribut
produk semata, tapi juga terkait dengan nilai dan orientasi konsumen, sumber
media informasi, serta tempat terjadinya pembelian.
E. Keterkaitan Antar Variabel

31

Pola keterkaitan antar variabel dalam penelitian ini dapat dijelaskan


sebagai berikut:
1. Motivasi belanja hedonis mempengaruhi pembelian impulsif
Penelitian yang dilakukan Gltekin dan zer (2012) menyatakan
bahwa motivasi belanja hedonis mempunyai pengaruh signifikan
terhadap pembelian impulsif. Hal ini juga didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Lumintang (2012) yang menyatakan bahwa
motivasi belanja hedonis berpengaruh

secara signifikan terhadap

pembelian impulsif secara online di kalangan mahasiswa Surabaya.


Penelitian tersebut menjelaskan bahwa semakin tinggi motivasi
belanja hedonis konsumen maka tingkat pembelian terjadinya
pembelian secara impulsif juga semakin tinggi. Hal tersebut
disebabkan, ketika seseorang berbelanja secara hedonis , maka ia tidak
akan mempertimbangkan suatu manfaat dari sebuah produk sehingga
kemungkinan terjadinya pembelian secara impulsif juga akan semakin
tinggi.
2. Pembelian impulsif mempengaruhi penyesalan pasca pembelian
Penyesalan terhadap proses yang dilalui oleh seorang individu
dapat disebabkan karena individu tersebut merasa tidak puas dengan
proses yang sudah dilaluinya dalam mengambil keputusan (Lee &
Cotte,2009). Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya informasi yang
dimiliki oleh individu tersebut disaat melakukan perilaku pembelian
sebab, semakin banyak informasi yang diterima maka lebih besar

32

kemungkinan penyesalan dapat dicegah (Zeelenberg dan Beattie,


1997).
Pembelian impulsif merupakan salah satu tindakan yang dapat
menimbulkan penyesalan pasca pembelian. Hal ini disebabkan pada
pembelian impulsif seringkali disertai dengan usaha yang kurang
maksimal

dalam

proses

pengambilan

keputusan

sehingga

memunculkan rasa tanggung jawab yang lebih besar karena individu


gagal dalam mengambil keputusan yang lebih baik (MBarek dan
Gharbi, 2011).
3. Motivasi belanja hedonis mempengaruhi penyesalan pasca pembelian
melalui pembelian impulsif.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, motivasi belanja hedonis
mempengaruhi terjadinya pembelian impulsif karena kurangnya
pertimbangan tentang manfaat sebuah produk ketika seseorang
membelinya. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa orang tersebut kurang
mendapatkan informasi tentang produk tersebut dan kurangnya usaha
dalam

proses

pengambilan

keputusan,

yang

pada

akhirnya

memunculkan rasa penyesalan pasca pembelian pada diri konsumen.


Pembelian impulsif dalam hal ini memediasi pengaruh dari
motivasi belanja hedonis dengan penyesalan pasca pembelian karena
motivasi belanja hedonis mempengaruhi terjadinya

pembelian

impulsif, sedangkan pembelian impulsif tersebut mempengaruhi


munculnya rasa penyesalan pasca pembelian.

33

F. Kerangka Pemikiran
Agar memudahkan pemahaman mengenai keseluruhan rangkaian
penelitian ini, maka disusunlah kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut.

Motivasi
Belanja
Hedonis (X)

Pembelian
Impulsif (M)

Penyesalan
Pasca
Pembelian
(Y)

Gambar 1

Kerangka Pemikiran Penelitian

Kerangka pemikiran teoritis yang disajikan di atas menjelaskan bahwa


motivasi belanja hedonis mempengaruhi terjadinya pembelian impulsif.
Selanjutnya

pembelian

impulsif

tersebut

mempengaruhi

terjadinya

penyesalan pasca pembelian, sehingga dalam penelitian ini pembelian


impulsif menjadi variabel mediator pengaruh motivasi belanja hedonis
terhadap penyesalan pasca pembelian.
G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian (Sugiyono,2005). Dikatakan sementara, karena jawaban yang
diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada
fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.

34

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang telah


dikemukakan di atas, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 : Motivasi belanja hedonis mempengaruhi pembelian impulsif
produk fashion oleh mahasiswi di Kota Malang.
H2 :

Pembelian

Impulsif

mempengaruhi

penyesalan

pasca

pembelian produk fashion oleh mahasiswi di Kota Malang.


H3 :

Motivasi belanja hedonis secara langsung mempengaruhi

penyesalan pasca pembelian produk fashion oleh mahasiswi di


Kota Malang.
H4 : Motivasi belanja hedonis mempengaruhi penyesalan pasca
pembelian produk fashion oleh mahasiswi di Kota Malang
secara tidak langsung melalui pembelian impulsif.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini menggunakan metode penelitian
kuantitatif dalam melihat pengaruh variabel bebas terhadap objek yang diteliti
sebagai variabel terikat dengan menggunakan satu variabel lainnya sebagai
variabel mediator. Penelitian kuantitatif ini menggunakan kuisioner sebagai
alat pengumpul data. Desain penelitian kuantitaif yang digunakan adalah studi
deskriptif. Menurut Azwar (1998) penelitian dengan pendekatan kuantitatif
menekankan analisisnya pada data-data numerik (angka) yang akan diolah
dengan

metode

statistika

(SPSS

20.0

inc)

dan

kemudian

akan

diinterpretasikan.Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh antara


tiga variabel yaitu variabel motivasi belanja hedonis dan variabel penyesalan
pasca pembelian dengan dimediatori variabel pembelian impulsif.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh
penelitian untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2010). Berikut adalah variabel yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Variabel independen (X)
Variabel bebas atau variabel independent adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel dependen atau terikat (Sugiyono, 2014). Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah motivasi belanja hedonis (hedonic shopping
motivation).
2. Variabel dependen (Y)

35

36

Variabel terikat atau variabel dependent merupakan variabel yang


dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.
(Sugiyono, 2014). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penyesalan
pasca pembelian (post purchase regret)
3. Variabel Mediator (M)
Menurut Tuckman, variabel mediator atau variabel intervening adalah
variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen menjadi hubungan yang tidak
langsung dan tidak dapat diamati dan diukur. Variabel ini merupakan
variabel penyela atau antara yang terletak di anatara variabel independen
dan

dependen,

sehingga

variabel

independen

tidak

langsung

mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variabel dependen (sugiyono,


2014). Di dalam penelitian ini, variabel mediator adalah pembelian
impulsif (impulse buying).
C. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Motivasi Belanja Hedonis
Motivasi belanja hedonis adalah keinginan seseorang untuk
mendapatkan suatu kesenangan bagi dirinya sendiri yang dilakukan
dengan cara menghabiskan waktu untuk mengunjungi tempat perbelanjaan
dan menikmati suasana atau atmosfer tempat tersebut yang pada akhirnya
akan menimbulkan keputusan pembelian. Dimensi motivasi belanja
hedonis dalam penelitian ini menggunakan teori dari Arnold dan Reynold

37

(2003) yang terdiri dari adventure shopping, social shopping, gratification


shopping, idea shopping, role shopping, dan value shopping.
2. Penyesalan Pasca Pembelian
Penyesalan pasca pembelian adalah suatu sensasi menyakitkan yang
muncul setelah terjadinya pembelian karena konsumen membayangkan
hasil yang lebih baik jika melakukan keputusan pembelian yang berbeda.
Dimensi penyesalan pasca pembelian dalam penelitian ini menggunakan
teori dari Lee dan Cotte (2009) yang terdiri dari penyesalan akibat dari
pembelian produk dan penyesalan akibat evaluasi pembelian produk.
3. Pembelian Impulsif
Pembelian impulsif adalah pembelian yang tidak direncanakan, dan
spontan dengan adanya perasaan positif yang sangat kuat yang kemudian
diikuti oleh sikap pembelian. Dimensi pembelian impulsif pada penelitian
ini mengacu pada pendapat yang diungkapkan Rook (Engel et all, 1995)
yaitu spontanitas, kekuatan, kompulsi dan intensitas, kegairahan dan
stimulasi, serta ketidakpedulian akan akibat.
4. Produk Fashion
Produk fashion adalah berbagai barang yang dapat mewakili gaya
yang sedang trend dengan usia ekonomis yang relatif pendek. Produk
fashion yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala benda yang
melekat di badan seperti pakaian, tas, sepatu, dan aksesoris (gelang,
kalung, cincin, jam tangan, ikat pinggang, dan lain- lain) namun tidak
termasuk produk kosmetik atau parfum.
D. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi

38

Sugiyono (2010) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas


obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan

oleh

peneliti

untuk

dipelajari

dan

kemudian

ditarik

kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswi di Kota


Malang. Populasi dalam penelitian ini adalah populasi tak terhingga, karena
jumlah mahasiswi setiap tahunnya selalu berubah ubah bahkan mengalami
peningkatan.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah 120 orang mahasiswi di Kota
Malang yang pernah membeli produk fashion di Mall. Oleh karena jumlah
populasi dalam penelitian ini tak terhingga maka penentuan jumlah sampel
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Isaac Michael (Siregar,
2013) dengan rumus berikut ini:
n=
Keterangan:
n = sampel
p = proporsi populasi
q = 1-p
= tingkat signifikansi/ kepercayaan
E= margin of error
Berdasarkan rumus di atas, jumlah sampel minimal yang harus
diperoleh adalah sebagai berikut:
a/2

= (1-0,9) /2 = 0,05

= 1-0,05 = 0,95 (dari tabel distribusi normal 1,96)

= proporsi maksimal sampe 0,5

= 1-0,5 = 0,5

= 0,1

39

= 96 orang (minimal)

Sampel yang diambil adalah beberapa dari populasi mahasiswi Kota


Malang yang pernah membeli produk fashion di mall. Penelitian ini
menggunakan sampel 120 orang untuk mengantisipasi jika terdapat hasil
skala yang tidak layak untuk dianalisis.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah populasi yang tidak terhingga
jumlahnya, dengan alasan tersebut pengambilan sampel menggunakan
teknik nonprobability sampling incidental. Sebagaimana telah dijelaskan
Sugiyono (2003) bahwa siapa saja yang secara kebetulan/ insidental
bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang
orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.
Pengambilan sampel incidental ini dilakukan dengan cara memberi
kuisioner kepada mahasiswi yang kebetulan ditemui di mall dengan syarat
pernah membeli produk fashion.
E. Tahapan Pelaksanaan Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Melakukan studi mengenai variabel yang telah ditentukan untuk
mendapatkan konsep teoritis yang jelas.
b. Menentukan desain penelitian yang akan digunakan untuk diperoleh
metode penelitian yang sesuai dengan topik penelitian. Desain penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif.
c. Menyiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala the hedonic shopping
motivation scale dari Arnold dan Reynold (2003) sebanyak 13 aitem
untuk variabel X, sedangkan untuk variabel mediator (Y1), peneliti

40

menggunakan alat ukur yang disusun sendiri oleh peneliti yaitu skala
impulse buying tendency. Skala ini dibuat dengan acuan dimensi
impulse buying menurut Rook (Engel et all, 1995), sebanyak 24 aitem.
Sedangkan untuk mengukur variabel terikat (Y2) peneliti menggunakan
impulse buying tendency scale dari Rook dan Fisher (1995).
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan penelitian dilakukan dengan pengambilan data pada
subjek penelitian.
3. Tahap Akhir
a. Pengolahan data, yakni dengan melakukan skoring pada setiap hasil
skala, dan melakukan analisis data dengan menggunakan perhitungan
statistik untuk menguji hipotesis penelitian. Tahap ini dilakukan dengan
menggunakan bantuan SPSS 20.0 for windows.
b. Pembahasan, yaitu dengan menginterpretasi dan membahas hasil analisis
statistik berdasarkan teori dan kerangka berpikir yang diajukan
sebelumnya dan merumuskan kesimpulan hasil penelitian.
F. Instrumen Penelitian
Penelitian ini peneliti menggunakan tiga skala sebagai alat ukur. Skala
tersebut menggunakan model skala likert, yaitu skala yang berupa pernyataan
tertulis, kemudian disajikan kepada responden untuk memberikan indikasi
sesuai atau tidak sesuai. Adapun skala tersebut antara lain:
1. Hedonic Shopping Motivation Scale
Hedonic shopping motivation scale adalah skala dari Arnold dan
Reynold (2003) yang diadaptasi untuk mengukur motivasi skala hedonis
dalam penelitian ini. Skala ini terdiri dari enam dimensi yaitu adventure
shopping, social shopping, gratification shopping, idea shopping, role
shopping, dan value shopping. Skala ini terdiri dari 23 pertanyaan, setiap
dimensinya terdiri dari 4 pertanyaan kecuali dimensi gratification shopping

41

hanya terdiri dari 3 pertanyaan. Kuisioner yang dibuat dalam penelitian ini
menggunakan skala likert dengan skor alternatif respon 1 = STS (Sangat
Tidak Sesuai), 2 = TS (Tidak Sesuai), 3 = N (Netral), 4 = S (Sesuai), dan 5 =
SS (Sangat Sesuai). Skala ini telah diadopsi kedalam bahasa indonesia, dan
didapatkan nilai reabilitas sebesar 0,882 (Lee & Cotte, 2009). Skala ini
hanya terdiri dari pernyataan yang mendukung (favourable).
Tabel 1. Blueprint Hedonic Shopping Motivation Scale
No.
1.

Dimensi
Adventure
Shopping
(belanja sebagai
petualangan)

Indikator
Belanja dilakukan karena
adanya sesuatu yang
membangkitkan rangsangan,
gairah,dan petualangan.
Saat berbelanja merasa
seperti ada di dunia lain

2.

3.

Jumlah

2,7,13

20

1,14

Belanja dilakukan untuk


memperbaiki suasana hati

(belanja untuk
kepuasan dan
kegembiraan)

Belanja dilakukan untuk


memanjakan diri

Role Shopping

3,9,21,15
Mendapatkan kesenangan
ketika membeli barang untuk
orang lain

Belanja untuk mendapat


potongan harga

4,16

Merasa senang jika


mendapatkan barang dengan
harga rendah

10.22

Belanja untuk bersosialisasi

17, 5

Value Shopping
( belanja untuk
mendapatkan
keuntungan)

5.

Jenis
Aitem

Gratification
Shopping

(belanja untuk
mendapatkan barang
bagi orang lain)
4.

Aitem

Social Shopping

42

(belanja untuk
berinteraksi dengan
orang lain)

6.

Idea Shopping
(belanja untuk
mengetahui produk
dan inovasi baru)

Pengalaan untuk
menciptakan ikatan
kebersamaan

19, 23

Belanja untuk mengikui


trend

23, 16

Belanja untuk mencari hal


baru

18,12

2. Impulse Buying Tendency Scale


Skala kecenderungan impulse buying yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu impulse buying tendency scale yang disusun sendiri oleh peneliti
yang berjumlah 32 aitem. Skala yang dibuat ini mengacu pada dimensi yang
diungkapkan oleh Rook (Engel et all, 1995) yaitu: spontanitas, kekuatan,
kompulsi, dan intensitas; kegairahan dan stimulasi; dan ketidak pedulian
akan akibat. Skala ini berbentuk skala likert dengan skor alternatif respon 1
= STS (Sangat Tidak Sesuai), 2 = TS (Tidak Sesuai), 3 = N (Netral), 4 = S
(Sesuai), dan 5 = SS (Sangat Sesuai). Semakin tinggi skor total maka
semakin tinggi juga tingkat kecenderungan impulse buying individu, begitu
juga sebaliknya. Pernyataan dalam skala ini terdiri dari dua jenis yaitu
pernyataan yang mendukung (favourable) dan pernyataan yang tidak
mendukung (unfavourable).
Tabel 2. Blueprint Impulse Buying Tendency Scale

No.
1

Dimensi
Spontaneous Urges
to Buy

Indikator
Pembelian tidak
diharapkan dan
memotivasi konsumen

Aitem
Favourabl Unfavourabl
e
e
1
14

Jumlah
4

43

No.

Dimensi

Power and
Compulsion:
Intensity and Force

Excitement and
stimulation
Synchronicity

Product animation:
fantastic forces

Hedonic Elements:
Feeling Good and
Bad

Conflict: Good vs
Bad; Control vs
Indulgence

Disregard for
Consequences

Indikator
untuk membeli sekarang
Merupakan respon
terhadap stimulasi visual
yang terjadi di tempat
penjualan.
Ada motivasi untuk
mengkesampingkan yang
lain
Bertindak seketika dan
harus pada saat itu juga
Desakan mendadak untuk
membeli
Sering disertai emosi
Individu merasa berada di
tempat dan waktu yang
tepat
Individu merasa bahwa
barang tersebut
ditakdirkan untuk mereka
Menganggap bahwa
produk yang di depannya
bergerak seperti makhluk
hidup
Ada dorongan untuk
membeli yang membuat
merasa baik, bahagia,
puas, bercahaya,
cantik, atau tinggi
Seolah memberi hadiah
pada dri sendiri dan
membantu memuaskan
keinginan mereka
Terdapat kesulitan dalam
mendapatkan kontrol atas
dorongan membeli
Ada dorongan untuk
membeli merangsang
kesenangan dan rasa
bersalah
Tidak terlalu memikirkan
kegunaan atau fungsi dari

Aitem
Favourabl Unfavourabl
e
e

29

31

Jumlah

4
4

28

26

27

21

12

30

4
9

24

10,15

11,13

22

19

4
5

20

32

8
4

17

23

25,16

7,18

44

No.

Dimensi

Indikator

Aitem
Favourabl Unfavourabl
e
e

Jumlah

produk yang dibeli

3. Post Purchase Customer Regret Scale


Post Purchase Customer Regret Scale merupakan alat ukur yang
dikembangkan oleh Lee & Cotte (2009) dan dipublikasikan melalui jurnal
Post-Purchase Consumer Regret: Conceptualization and
Development of the PPCR Scale. Skala ini terdiri dari dua dimensi
yaitu penyesalan akibat hasil pembelian produk dan penyesalan akibat
evaluasi proses pembelian produk, dimana setiap dimensinya terdiri dari
delapan aitem. Skala ini terdiri dari pernyataan- pernyataan yang
mendukung (favourable). Kuisioner yang dibuat dalam penelitian ini
menggunakan skala likert dengan skor alternatif respon 1 = STS (Sangat
Tidak Sesuai), 2 = TS (Tidak Sesuai), 3 = N (Netral), 4 = S (Sesuai), dan 5 =
SS (Sangat Sesuai). Skala ini diadaptasi kedalam bahasa indonesia dan nilai
reabilitasnya sebesar 0,882 (Lee & Cotte, 2009).
Tabel 3. Blueprint Post Purchase Customer Regret Scale
No.
1.

Dimensi
Outcome regret
(penyesalan karena
evaluasi hasil
keputusan
pembelian)

Indikator

Aitem

Jenis
Aitem

Jumlah

Regret due to forgone


alternatives (penyesalan
karena produk yang tidak
terpilih)

1,5,9,14

Regret due to a change in


significance (penyesalan
karena perubahan fungsi

2,6,10,13

45

produk yang signifikan)


2.

Process regret
(penyesalan karena
evaluasi proses
pengambilan
keputusan
pembelian)

Regret due to under


consideration (penyesalan
karena kurangnya
pertimbangan)

3,7,12,15

Regret due to over


consideration (penyesalan
karena pertimbangan
berlebihan)lk

4,8,11,16

G. Pengujian Alat Ukur


Suatu instrumen atau alat ukur harus diuji validitas dan reabilitasnya
sebelum digunakan untuk pengambilan data. Uji coba alat ukur dalam
penelitian ini dilakukan pada mahasiswi yang kuliah di Kota Malang.
1. Uji Coba Skala
Kelayakan skala yang akan digunakan sebaiknya diujicobakan
terlebih dahulu agar dapat diketahui kelayakan dari penggunaan skala
tersebut. Azwar (1998) berpendapat bahwa uji coba dapat dilakukan secara
terbatas dengan sampel berukuran kecil yaitu minimal 30 orang. Penelitian
ini menggunakan sampel sebanyak 50 orang mahasiswi untuk uji coba
skala.
2. Seleksi Aitem
Menurut Azwar (1998) seleksi aitem merupakan salah satu proses yang
dilakukan dalam prosedur konstruksi atau penyusunan alat tes sebelum
dilakukan pengujian pada validitas dan reliabilitas suatu tes. Analisa aitem
adalah proses pengujian karakteristik masing- masing aitem yang akan
menjadi bagian dari tes yang disusun. Analisa aitem diukur melalui daya
diskriminasi aitem dengan software SPSS 20.0.

46

Daya diskriminasi adalah sejauh mana aitem mampu membedakan


antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak
memiliki atribut yang diukur. Penghitungan daya diskriminasi aitem
dilakukan cara menghitung korelasi antara distribusi skor aitem dengan
distribusi skor skala itu sendiri. Penghitungan itu kemudian akan
menghasilkan koefisien korelasi aitem- total (rix). Besar koefisien korelasi
aitem- total bergerak dari 0 sampai 1,00 dengan tanda positif atau negatif.
Sebagai kriteria pemilihan aitem berdasar korelasi aitem- total, biasanya
digunakan batasan rix 0,30. Sehingga aitem yang memiliki koefisien
korelasi aitem total kurang dari 0,30 maka dinyatakan aitem gugur karena
daya diskriminasi tidak cukup baik untuk skala pengukuran (Azwar, 2013).
3. Uji Validitas
Pengujian validitas ini digunakan untuk mengetahui apakah skala
mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya.
Validitas merupakan sejauhmana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 1998).
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi
(content validity). Validitas ini menunjukkan sejauh mana item-item dalam
skala telah komprehensif mencakup semua aspek dalam penelitian dan
tingkat relevansinya. Validitas ini dibagi menjadi dua yaitu (Azwar, 1998):
a. Validitas Muka
Validitas ini merupakan validitas yang paling rendah karena
hanya didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan
kuisioner, namun validitas ini cukup penting karena mengukur

47

apakah skala nampak meyakinkan untuk diisi secara benar oleh


responden.

b. Validitas Logik
Validitas ini menunjuk pada sejauh mana isi tes mewakili ciriciri atribut yang hendak diukur sebagaimana telah ditetapkan
dalam kawasan ukur. Penelitian ini menggunakan

expert

judgement skala yang secara keseluruhan dilakukan kepada dua


pembimbing yang dirasa memiliki kredibilitas dibidangnya.
4. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya
dan dapat memberikan hasil yang relatif sama tidak berbeda apabila
dilakukan pengukuran kembali kepada subjek yang sama (Azwar, 2010).
Pengkategorian koefisien realiabilitas menurut Guilford (dalam
Sugiyono, 2009) sebagai berikut.
Tabel 4. Kategorisasi Koefisien Reliablitas Cronbach Alpha
Koefisien Reliablitas Cronbach Alpha

Kriteria

< 0,20
0,20 0,40
0,40 0,70
0,70 0,90
> 0,90

Tidak Reliabel
Kurang Reliabel
Cukup Reliabel
Reliabel
Sangat Reliabel

H. Uji Asumsi Klasik


Tahap sebelum dilakukan analisis data adalah pengujian asumsi terhadap
variabel-variabel penelitian.

48

1. Uji normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi data

penelitian masing-masing variabel telah menyebar secara normal.


Menurut Kerlinger (2002) hal ini perlu dilakukan karena jika populasi
dari sampel yang diambil tidak bersifat normal, maka tes statistik yang
bergantung pada asumsi normalitas itu menjadi cacat sehingga
kesimpulannya tidak berlaku.
Penelitian ini menggunakan One- Sample Kolmogorof Smirnov
dengan bantuan program SPSS 20.0 for windows. Kriteria pengujiannya
adalah jika nilai signifikansi dari hasil uji Kolmogorof Smirnov () >
0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal.
Sebaliknya, jika nilai signifikansi dari hasil uji Kolmogorof Smirnov ()
< 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data tidak berdistribusi normal.
2. Uji Multikolinieritas
Uji multikorelasi perlu dilakukan apabila jumlah variabel
independen lebih dari satu (Suliyanto, 2011). Uji multikolinieritas ini
bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi yang terbentuk
terdapat korelasi yang tinggi atau sempurna diantara variabel
independen atau tidak. Model regresi dinyatakan mengandung gejala
multikolinieritas apabila di dalam model regresi yang terbentuk terdapat
korelasi yang tinggi atau sempurna diantara variabel independen
(Suliyanto, 2011).
Uji multikolinieritas yang digunakan dalam penelitian ini ialah uji
multikolinieritas dengan VIF (Variance Inflation Factor). Hal ini
dikarenakan cara tersebut dirasa paling mudah dan praktis. Menurut

49

Suliyanto (2011) uji multikolinieritas dapat dilakukan dengan melihat


nilai VIF (Variance Inflation Factor) dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependennya. Nilai VIF yang tidak lebih
dari 10 berarti model dinyatakan tidak terdapat gejala multikolinieritas.
3. Uji Heterokedasitas

Menurut Ghozali (2005), uji heteroskedastisitas bertujuan menguji


apakah dalam model regresi terdapat ketidaksamaan varian dari residual
satu pengamatan ke pengamatan lain. Hal ini dapat dikatakan juga bahwa
heteroskedasitas berarti terdapat varian variabel pada model regresi yang
tidak sama atau konstan. Sebaliknya, apabila varian variabel pada model
regresi memiliki nilai yang sama atau konstan maka disebut dengan
homokedasitas (Suliyanto, 2011). Menurut Sarjono dan Julianita (2011)
model regresi yang baik adalah yang terjadi homokedasitas dalam model
atau tidak terjadi heteroskedasitas.
Ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat diketahui dengan
melakukan uji gletser. Variabel independen yang signifikan secara
statistik mempengaruhi variabel terikat mengindikasikan adanya
heteroskedastisitas. Berdasarkan pendapat Ghozali (2001) jika nilai
signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih
dari 0,05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
H. Analisis Data
Pengaruh motivasi belanja hedonis terhadap penyesalan pasca
pembelian dengan melibatkan pembelian impulsif sebagai variabel

50

mediator dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan analisis jalur


(path analysis). Path analysis merupakan perluasan dari regresi linier
berganda, atau penggunaan analisis regresi untuk menaksir kausalitas antar
variabel yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan teori (Ghozali,
2005). Baron dan Kenny (1986) menjelaskan prosedur analisis variabel
mediator secara sederhana melalui regresi yang akan dilakukan melalui
program SPSS for windows sebagai berikut.
1. X memprediksi Y
Analisi regresi ini akan menghasilkan nilai estimasi prediktor. Jalur
ini dinamakan jalur-c. Jalur ini diharapkan bernilai signifikan
(p<0,05).
2. X memprediksi M
Analisis regresi ini akan menghasilkan nilai estimasi prediktor. Jalur
ini dinamakan jalur-a. Jalur ini juga diharapkan bernilai signifikan
(P<0,05)
3. M memprediksi Y
Analisis ini akan menghasilkan dua nilai estimasi prediktor dari M
dan X. Prediksi M terhadap Y dinamakan jalur-b sedangkan prediksi
X terhadap Y dinamakan jalur-c. Jalur-b nilainya diharapkan
signifikan sedangkan jalur c nilainya diharapkan tidak signifikan.
Pengambilan kesimpulan tentang mediasi adalah sebagai berikut:
a) Jika koefisien jalur c dari hasil estimasi prediktor tetap signifikan
dan tidak berubah (c=c) maka hipotesis mediasi tidak didukung.
b) Jika koefisien jalur c nilainya turun (c<c) tetapi tetap signifikan
maka bentuk mediasi adalah mediasi sebagian (partial mediation).

51

c) Jika koefisien jalur c nilainya turun (c<c) dan menjadi tidak


signifikan maka bentuk mediasi adalah mediasi penuh (full
mediation).

Anda mungkin juga menyukai