ESTIMASI PERMINTAAN
Oleh :
Kelompok II
Dimas Rizal Saputra 1807521031 (85)
Putu Arya Dananjaya 1807521084 (85)
I Gusti Ayu Widya Ari Cahyathi 1807521102 (85)
Putu Indy Widiananda Putri 1807521120 (85)
Secara spesifik kita akan membahas tentang spesifikasi dari model yang akan
di estimasi, kebutuhan akan data, bentuk fungsional yang mungkin bagi persamaan
dan permintaan, dan evaluasi hasil terhadap ekonometri yang diperoleh.
1. Spesifikasi model
Namun demikian, ada kasus di mana hubungan non linier akan cocok dengan
data yang ada dibandingkan bentuk linear. Ini dapat diketahui dengan
menggambarkan grafik (diagram pancar) dari variabel terikat pada setiap variabel
bebasnya. Spesifikasi hubungan nonlinear yang paling sering dijumpai dalam
persamaan permintaan adalah fungsi pangkat. Persamaan permintaan dalam fungsi
pangkat (untuk sebenarnya, hanya memasukkan harga dari komoditas dan
pendapatan konsumen sebgai variabel bebas atau penjelas) adalah :
bo, b1, dan bn sering disebut sebagai parameter atau koefisien fungsi permintaan
yang nilainya akan kita taksir. Kalau kita memilih model non-linear, maka
spesifikasinya dapat dinyatakan dengan persamaan:
Model non-linier di atas dapat kita ubah menjadi model double log linier dengan
menggunakan logaritma normal (ln) seperti berikut:
Model mana yang harus dipilih, beberapa peneliti diantaranya menggunakan indicator
koefisien determinasi (R2) sebagai referensi, yaitu memilih model yang menghasilkan
R2 tertinggi.
Langkah berikutnya adalah memeriksa hasil perhitungan, yaitu pertama, periksa
apakah tanda masing-masing parameter sesuai dengan yang diharapkan (teori) atau
tidak. Misalnya tanda untuk variable harga adalah positif (+), maka akan mengundang
pertanyaan apakah hal ini logis secara teoritis (berlawanan dengan hukum
permintaan). Kedua adalah menginterpretasikan masing-masing koefisien fungsi
permintaan. Ketiga, hitung berapa besar koefisien korelasi (r), yaitu suatu ukuran yang
menunjukkan derajat keeratan hubungan antara dua buah variabel. Nilai r dapat positif
atau negative, terletak antara –1 dan +1, dan tidak menunjukan adanya hubungan
sebab akibat. Koefisien korelasi ( r ) yang mendekati -1, berarti hubungan kedua
variabel yang diamati adalah negatif dan sangat erat. Sebaliknya bila mendekati +1,
hubungan keduanya adalah positif dan sangat erat. Koefisien korelasi ( r ) hanya suatu
ukuran hubungan atau ketergantungan/keeratan linier saja. Artinya r tidak mempunyai
arti apapun untuk menggambarkan hubungan atau fungsi permintaan yang non linier.
Keempat, adalah menghitung koefisien determinasi (r2) untuk satu variable, dan R2
untuk lebih regresi berganda). Koefisien determinasi merupakan indicator yang
menunjukkan berapa persen total variasi (perubahan) variabel dependen (dalam hal
ini permintaan/omset penjualan) yang dapat dijelaskan (explained) oleh variasi
variabel independennya (dalam hal ini adalah factor-faktor yang mempengaruhi
permintaan yang sedang kita analisis). Dengan kata lain, koefisien determinasi
merupakan ukuran keseluruhan yang menjelaskan sampai sejauhmana variasi
variabel independen menentukan variasi variabel dependen. R2 juga merupakan
salah satu indicator ketepatan/kelayakan estimasi atau goodness of fit. Artinya apakah
persamaan regresi yang kita buat itu mendekati nilai aktualnya atau tidak, makin
mendekati berarti makin tepat (fit). Dengan kata lain makin besar koefisien
determinasi, makin baik (fit) model yang kita gunakan. Indikator goodness of fit lainnya
yang umum digunakan dalam analisis regresi yaitu F-statistics (akan dijelaskan pada
bagian analisis regresi linier berganda). Walaupun tidak terlalu tepat, koefisien
determinasi sering dijadikan indicator derajat kepengaruhan variable independent
terhadap variable dependen.
Keenam (hanya untuk analisis regresi berganda), apakah dalam pada hasil estimasi
tersebut timbul masalah ekonometrik (multikolinearitas, auto/serial korelasi,
heteroskedatis) atau tidak. Hasil estimasi akan baik apabila bebas dari masalah
ekonometrik.
Metode regresi akan dapat dijadikan alat estimasi yang tidak bias jika telah memenuhi
persyaratan BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), yaitu non multikolinieritas, non
autokorelasi dan non heterokedastisitas. Multikolinearitas adalah terjadinya korelasi
(konsluiting) diantara beberapa atau semua variabel independen sendiri. Misalnya
permintaan (Qx) dimodelkan dipengaruhi oleh pendapatan (I) dan kekayaan
konsumen (W). Variabel I kemungkinan besar berkolinearitas dengan variable W,
karena orang kaya cenderung mempunyai pendapatan yang tinggi. Akibatnya kita
tidak bisa mengisolasi secara terpisah pengaruh I terhadap Y. Penyebabnya adalah
terjadi kekeliruan dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan (variabel independen). Konsukuensinya standard deviasi akan tinggi,
sehingga parameter/koefisien fungsi permintaan yang kita estimasi tidak mempunyai
ketepatan yang tinggi.
Salah satu cara untuk mendeteksinya adalah biasanya kolinearitas sering terjadi
ketika R2 sangat tinggi (0,7 – 1), atau sering juga ditunjukkan oleh hasil uji F yang
signifikan, tetapi dilain pihak berdasarkan uji-t, tak satupun atau sangat sedikit
koefisien/parameter fungsi permintaan yang significan. Selain itu, untuk mendeteksi
ada tidaknya gejala multikolinearitas dapat juga dengan dengan melihat pada matrik
korelasi (korelasi antar variabel bebas). Jika korelasi antar variabel melebihi 0,50
diduga terdapat gejala Multikolinearitas (Gujarati 1995). Selain itu multikoliearitas
dapat juga dideteksi dengan menggunakan indicator Tolerance (TOL) dan variance
inflation factor (VIF). Nilai cut-off yang umum dipakai untuk menunjukkan tidak ada
gejala multikolinearitas adalah nilai TOL harus > 0,10 atau nilai VIF harus < 10. Cara
penanggulangan yang sering dilakukan adalah mengeluarkan salah satu variabel
yang berkolinearitas tersebut, atau menambah jumlah observasi/sample, atau
merubah model fungsionalnya. Kembali ke kasus fungsi permintaan, dari output print-
out coefficienta di atas tampak bahwa hanya variable pendapatan konsumen (I) yang
tidak terindikasi terkena “penyakit” multikolinearitas karena nilai VIF-nya (1,075) < 10
atau TOL-nya (0.930) > 0.10.
Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model analisis regresi,
dapat digunakan pengujian serial korelasi dengan metode Durbin Watson (DW).
Apakah DW-hitung mengindikasikan ada tidaknya gejala otokorelasi, maka harus
dibandingkan dengan nilai kritis dL (Durbin Lower) dan dU (Durbin Upper) yang ada
pada tabel tabel statistik d Durbin-Watson. Kriteria keputusannya adalah tidak
adaotokorelasibilaterpenuhisyarat:DW>dU atauDW<(4-dU )atau dU<DW<(4 – dU).
Menemukan nilai kritis dl & du dapat dijelaskan pada gambar di atas. Kembali ke
kasus fungsi permintaan diatas di atas, dari tabel model summaryb diperoleh nilai
Durbin Watson = 1,905. Karena DW terletak antara dL (1,83) dan 4 - dU (2,17), maka
hal ini mengindikasikan tidak terjadi otokorelasi.
Uji heteroskedatisitas ditujukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance residual dari satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Jika
tidak ada perbedaan, maka disebut homoskedatis, dan sebaliknya bila berbeda
disebut heteroskedatis. Heteroskedatitas dicirikan oleh sebaran atau varian factor
pengganggu tidak konstan sepanjang observasi, dan biasanya terjadi pada data cross
section. Model regresi yang baik harus homoskedatis atau tidak terjadi
heteroskedatitas. Terdapat beberapa metode untuk menguji heteroskedatis,
diantaranya yaitu metode Glejser. Pertama lakukan analisis regresi linear sederhana
seperti biasa.
Salah satunya adalah model almost ideal demand system (AIDS) yang
dikembangkan oleh Deaton & Muellbaeur (1980). Model ini merupakan
pengembangan dari Kurva Engel dan fungsi permintaan yang diturunkan dari teori
maksimisasi utilitas. Model ini merupakan bentuk pengembangan dari model
permintaan sebelumnya yaitu model Rotterdam dan model Translog. Model AIDS
memiliki beberpa kelebihan, diantaranya yaitu karena mempertimbangkan aksioma
perilaku konsumen dalam menentukan seperangkat komoditas, maka dapat
digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas beberapa
kelompok komoditas yang saling berkaitan. Karena model berbentuk semi-log, maka
secara ekonometrik model akan menghasilkan parameter yang lebih efisien.
Parameternya mudah diestimasi tanpa harus menggunakan metode non-linier, dan
restriksi permintaan dapat diterapkan dalam model, sehingga secara umum
konsisten dengan teori permintaan. Selain itu Kelebihan AIDS adalah restriksi dari
model seperti additivitas, homogenitas, dan simetri yang dapat diuji secara statistic.
Secara umum, fungsi permintaan AIDS dalam bentuk budget share dinyatakan
dalam persamaan:
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam model AIDS adalah : (1) adding-up condition
yaitu : ∑ dan ∑ yang menunjukkan proporsi pengeluaran keseluruhan komoditas
adalah satu ; (2) homogeneity condition yaitu : ∑ yang menunjukkan asumsi bahwa
perubahan proporsional dalam seluruh harga dan pengeluaran tidak memengaruhi
jumlah barang yang dibeli ; dan (3) simetrivitas yaitu : ij – ji yang menunjukkan
konsistensi pilihan konsumen. Dari persamaan tersebut dapat elastisitas permintaan
dengan formula:
Model Rotterdam
Model ini dikembangkan oleh Theil & Barten (Barnett & Seck, 2008). Meskipun tidak
diturunkan dari fungsi utilitas atau fungsi pengeluaran, namun model ini tetap
memenuhi kondisi integrability ketika kondisi kesimetrisan dan homogenitas
diberlakukan. Model ini banyak dipertimbangkan diantaranya juga karena mampu
mengatasi masalah data yang tidak stasioner karena harga dan kuantitas dinyatakan
dalam bentuk perbedaan log. Secara umum model Rotterdam (model harga absolut)
dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan dalam logaritma natural (Barten 1964 &
Theil 1965).