Anda di halaman 1dari 12

PERILAKU IMPULSIVE BUYING SELAMA MASA PANDEMI COVID-19

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknik Penulisan Ilmiah

Dosen Pengampu :
Rani Sukma Ayu Suteja S.I.Kom., M.Sc.

Oleh :
1. Wiendy Clarisa Aulia Tsani_072111533014
2. Keysha Athanadira Fadhila_072111533025
3. Ni Made Muthiara Dharma_072111533038
4. Putri Pralina Widya Kartika_072111533050
5. Putu Galuh Kinasih_072111533066
6. Maritza Sedna Ashakeyra_072111533106

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
TAHUN 2022
ABSTRAK
Pandemi Covid-19 yang sedang terjadi pada saat ini mengharuskan diberlakukannya
program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah sebagai upaya untuk
memperlambat penyebaran virus dan menurunkan tingkat kasus. Segala aktivitas termasuk
berbelanja lebih efektif dilakukan secara daring. Media sosial sebagai sumber informasi dan e-
commerce sebagai tempat perbelanjaan utama menumbuhkan kebiasaan buruk baru yaitu
pembelian secara impulsif. Perilaku ini melekat dengan sifat konsumerisme, self reward, dan
fenomena Korean wave. Artikel ini ditulis menggunakan metode literatur review dan memiliki
tujuan untuk menyebarkan kesadaran atas perilaku pembelian impulsif kepada masyarakat agar
dapat mengetahui faktor penyebab dan dampak yang dihasilkan.

Kata kunci: pandemi, pembelian impulsif, e-commerce, konsumerisme

ABSTRACT
PSBB or Large Scale Social Restrictions that is currently conducted by the government
during the Covid-19 pandemic as an attempt to slow down the rapid spread of coronavirus and
to reduce the number of covid cases. All activities, including shopping, are conducted more
efficiently online. With social media as the primary source of information and e-commerce as
the best-known choice for shopping places, it is possible that a new bad habit, such as impulse
buying, can be created. This behaviour is usually correlated with the nature of consumerism,
self-rewarding, and the Hallyu phenomenon. This article is written using the literature review
method and has the aim of spreading awareness of impulse buying behavior to the public in
order to find out the causal factors and the resulting impact.

Keywords: pandemic, impulsive buying, e-commerce, consumerism


LATAR BELAKANG
Saat ini, kita sedang berada di tengah pandemi yang disebabkan oleh munculnya sebuah virus
yang dikenal dengan sebutan virus Covid-19. Virus yang dapat membahayakan kesehatan
manusia ini pertama kali ditemukan pada awal tahun 2020 di Wuhan, Cina. Seiring dengan
berjalannya waktu, virus Covid-19 menyebar ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Kasus pertama Covid-19 di Indonesia ditemukan pada bulan Maret 2020 di wilayah Depok, Jawa
Barat.
Kasus Covid-19 di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar sehingga
diperlukan sebuah cara agar dapat meminimalisir peningkatan kasus Covid-19. Dengan begitu,
salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melaksanakan program PSBB
(Pembatasan Sosial Berskala Besar). Program ini bertujuan untuk mengurangi kegiatan
masyarakat yang mengharuskan mereka untuk bepergian dan berada di kerumunan masyarakat.
Program PSBB mengharuskan seluruh masyarakat untuk melakukan seluruh kegiatannya di
rumah, mulai dari bekerja, sekolah, sampai dengan kegiatan lain yang biasanya dilakukan di luar
rumah. Hal ini menyebabkan seluruh individu harus beradaptasi dengan situasi yang baru.
Dengan berjalannya program PSBB, pemerintah dan masyarakat dapat saling membantu untuk
dapat mengurangi risiko penyebaran virus Covid-19. Namun, ternyata program ini menyebabkan
kesulitan pada masyarakat Indonesia. Salah satunya dalam hal pemenuhan kebutuhan seperti
membeli barang yang diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari.
Pemerintah masih memberikan akses kepada beberapa toko untuk berjualan pada masa
PSBB, hanya saja terdapat beberapa peraturan yang harus diikuti oleh pihak toko dan juga
masyarakat yang ingin melakukan transaksi belanja. Walaupun masih terdapat beberapa toko
yang buka untuk menjual kebutuhan hidup sehari-hari, banyak masyarakat yang mulai merasa
cemas dan khawatir untuk sekadar berada di luar rumah termasuk untuk berbelanja. Hal tersebut
memengaruhi perilaku belanja masyarakat.
Di era digital ini, kemajuan teknologi telah memberikan banyak manfaat bagi
masyarakat. Saat ini, hampir seluruh kegiatan dapat dilakukan dengan bantuan dari teknologi.
Dengan adanya bantuan kemajuan teknologi membuat kondisi pandemi yang mengharuskan
semua orang membatasi aktivitas di luar rumah seperti sekarang ini tidak menjadi penghambat.
Hal tersebut membuat masyarakat lebih mudah dalam melakukan aktivitas penting seperti
bekerja, sekolah hingga pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tanpa harus ke luar rumah.
Kini, belanja online menjadi tren karena praktiknya yang mudah dan efisien. Menurut
Catriana (2021), survei yang dilakukan oleh Ipsos Global Trends 2021 mengungkapkan bahwa
sebanyak 73% masyarakat Indonesia menyatakan bahwa mereka lebih memilih belanja online
dibandingkan belanja secara langsung. Hal ini dibuktikan oleh jumlah konsumen yang
mengunjungi platform e-commerce. Berdasarkan data Similarweb, selama periode Januari s.d.
Juni 2021, Tokopedia menempati posisi pertama platform e-commerce yang paling sering
dikunjungi masyarakat dengan total 132,8 juta kali setiap bulannya (Merdeka, 2021). Di sisi lain,
Shopee menempati peringkat 2 dengan total kunjungan 116 juta kalI, disusul dengan Bukalapak,
Lazada, dan Blibli, yang masing-masing menempati peringkat 3-5 (Merdeka, 2021). Menurut
Merdeka (2021), pengunjung bulanan Bukalapak mencapai 28,9 juta kali, Lazada dengan total
25,69 juta, dan Blibli dengan total 17,98 juta kunjungan.
Meskipun berbelanja secara online memenuhi kebutuhan pribadi manusia, kegiatan ini
dapat menimbulkan perilaku impulse buying. Perilaku impulse buying menurut Betty dan Ferrel
(1998) merupakan perilaku ketika seseorang melakukan transaksi belanja secara spontan tanpa
memikirkan lebih panjang terhadap produk yang mereka beli, baik itu produk untuk kebutuhan
sehari-hari ataupun produk yang menarik perhatian mereka.
Pembelian secara impulsif atau impulsive buying didasari oleh dorongan emosional,
seperti self reward. Selain itu, berbagai penawaran menarik menyebabkan konsumen ingin
membeli suatu produk tanpa berpikir panjang. Perilaku impulse buying juga dapat terjadi ketika
terdapat suatu tren, misalnya baru-baru ini hampir seluruh dunia mengetahui dan juga menonton
series netflix yang berjudul “Squid Game”. Dalam series tersebut, para karakter memakai
pakaian yang berwarna hijau yang menyebabkan orang-orang berbondong untuk membeli
pakaian yang sesuai dengan para karakter di serial “Squid Game” tersebut. Para konsumen
membeli pakaian tersebut bukan untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan hanya demi
mengikuti tren yang beredar di kalangan masyarakat seluruh dunia.
Perilaku impulse buying ini tentunya dapat memberikan dampak bagi perusahaan dan
juga konsumen. Perusahaan akan mengalami keuntungan karena produk yang mereka tawarkan
dapat terjual habis, sedangkan para konsumen mengalami kepuasan ketika mereka membeli
suatu produk yang diinginkan. Sayangnya, terkadang para konsumen tidak dapat mengontrol diri
ketika menemukan produk yang lucu atau menarik, apalagi jika produk tersebut sedang diskon
besar-besaran. Maka dari itu, kami merasa tertarik untuk membahas perilaku impulse buying
selama masa pandemi Covid-19.

PEMBAHASAN
Impulsive buying atau pembelian impulsif merupakan perilaku yang marak terjadi di era
globalisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), impulsif berarti “bersifat cepat
bertindak secara tiba-tiba menurut gerak hati.” Sedangkan, pembelian merupakan proses
membeli/belanja sesuatu yang dirasa merupakan kebutuhan yang perlu dipenuhi manusia.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa impulsive buying (pembelian impulsif) merupakan proses
membeli sesuatu dengan spontanitas atau secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh gerak hati.
Rahmasari (2010) juga berpendapat bahwa impulsive buying merupakan sebuah perilaku ketika
konsumen tertarik pada suatu barang secara emosional terutama untuk produk involvement dan
seringkali tidak berpikir secara rasional untuk memilih barang yang mereka beli.
Verplanken dan Herabadi (2001) mengemukakan dua aspek penting dalam pembelian
impulsif, yaitu aspek kognitif dan afektif. Aspek kognitif berfokus pada kognitif pembeli yang
terus mengalami konflik (Verplanken dan Herabadi, 2001). Maka dari itu, individu cenderung
kurang mampu merencanakan maupun mempertimbangkan berbagai aspek, seperti harga,
kegunaan, keuntungan, dan kerugian dalam kegiatan pembelian. Sementara itu, aspek afektif
lebih berfokus pada perasaan atau kondisi emosional pembeli setelah pembelian, seperti
kesenangan, kepuasan, kekecewaan, dan penyesalan yang datang secara bersamaan (Verplanken
dan Herabadi, 2001).
Menurut Stern (dalam Deviyanti, 2017), impulsive buying dapat dikategorikan menjadi
beberapa jenis, yaitu impuls murni, impuls pengingat, impuls saran, dan impuls terencana.
Impuls murni atau pure impulse adalah tindakan individu yang membeli sesuatu karena batang
tersebut menarik (Deviyanti, 2017). Biasanya, beberapa jenis produk tertentu ditempatkan di
bagian toko yang mudah dijangkau, seperti konter kasir. Produk-produk ini memicu pembelian
impuls secara emosional. Jenis pembelian impulsif ini juga digambarkan sebagai "pembelian
pelarian" yang dapat diidentifikasikan melalui bungkus yang cantik dan mengundang atau warna
yang mencolok. Dengan begitu, orang-orang akan bertindak secara emosional dan membeli
produk tersebut, meskipun tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Jenis pembelian secara impulsif yang kedua adalah impuls pengingat atau reminder
impulse. Hal ini terjadi ketika pelanggan melihat sebuah produk di suatu toko dan teringat bahwa
persediaan di rumah telah habis dan butuh untuk ditambah (Deviyanti, 2017). Kemudian,
terdapat pembelian secara impulsif berdasarkan saran atau yang lebih sering dikenal sebagai
impuls saran. Menurut Stern (dalam Deviyanti, 2017), impuls saran atau suggestion impulse
terjadi ketika pelanggan melihat sebuah produk baru—yang sebenarnya tidak dibutuhkan—dan
tergiur untuk mencobanya. Pembelian secara impulsif yang terakhir adalah impuls terencana atau
planned impulse. Menurut Stern (dalam Deviyanti, 2017), impuls terencana terjadi ketika toko
memberikan tawaran menggiurkan yang mendorong konsumen untuk membelinya. Umumnya,
impuls ini distimulasi oleh potongan harga, penawaran buy one get one, penjualan kupon,
potongan harga, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan konsumen cenderung membeli
barang yang tidak benar-benar ia butuhkan atau membeli lebih dari yang ia butuhkan.
Perilaku impulsive buying ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu seseorang yang belum
merencanakan pengeluarannya dengan matang saat berbelanja, terpengaruh sebuah iklan yang
persuasif, dan adanya dorongan emosional untuk membeli sebuah barang secara tiba-tiba
(Wisnuwardani, 2020). Faktor utama dari perilaku impulsive buying adalah emosi di dalam diri
manusia itu sendiri. Emosi pribadi yang intens atau yang sering disebut dengan intense personal
feeling menyebabkan seorang individu cenderung memiliki sikap posesif terhadap seseorang.
Kemudian, keputusan spontan di dalam diri manusia menjadi faktor pendukung dari perilaku
tersebut. “Keputusan spontan adalah pembelian impulsif yang terjadi secara tidak terduga dan
memotivasi konsumen untuk membeli saat itu juga.” (Arifianti R. & Gunawan W., 2020).
Munculnya keputusan spontan tersebut bisa jadi karena konsumen merasa tertarik terhadap
penawaran yang dilihat, merasa selaras dengan kondisi yang dialami, dan adanya perasaan tidak
ingin melewatkan sesuatu yang dilihat di depan mata.
Sebagai contoh, berhadapan dengan pandemi Covid-19, banyak orang lebih memilih
untuk berbelanja secara online daripada offline. Situs-situs belanja online tersebut menghadirkan
banyak penawaran menarik, seperti promo gratis ongkos kirim, cashback, potongan harga,
bonus-bonus, dan lainnya. Menurut Arifianti dan Gunawan (2020), secara tidak sadar, manusia
memiliki respons emosi dan kecenderungan untuk melakukan proses impulsive buying akibat
stimulus yang diperoleh melalui penawaran-penawaran tersebut. Hal ini menyebabkan tidak
sedikit orang beranggapan bahwa dengan memanfaatkan penawaran yang ada, mereka akan
mendapatkan banyak keuntungan lain untuk memuaskan kebutuhan emosional.
Faktor lain yang dapat memicu perilaku impulsive buying adalah berita hoaks dan
misinformasi yang beredar di media sosial. Globalisasi menjadikan kehidupan manusia lekat
dengan akses teknologi, terutama internet dan media sosial. Dengan media sosial, masyarakat
lebih saling terhubung dan terlibat sehingga persebaran informasi terjadi secara cepat (Aslam
dkk., 2018). Sayangnya, informasi yang disebarkan tidak selalu benar faktanya. Banyak berita
yang mengandung informasi palsu yang sengaja disebarkan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab (Kangsaputra, 2021). Berita ini disebut sebagai berita hoaks. Di sisi lain,
beberapa orang menyebarkan informasi yang tidak akurat, tetapi berkeyakinan penuh bahwa
informasi itu tepat dan harus disebarkan untuk berjaga-jaga (Kangsaputra, 2021). Hal ini disebut
dengan misinformasi.
Pada 27 Desember 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)
melaporkan adanya 5.311 berita hoaks di media sosial. Facebook menempati peringkat pertama
dalam platform dengan berita hoaks terbanyak di Indonesia dengan jumlah 87 persen (Sukardi,
2021). Selain itu, sebanyak 4.610 berita hoaks mengenai virus Covid-19 ditemukan di platform
tersebut. Kemudian, peringkat kedua sampai dengan empat ditempati oleh Twitter dengan
jumlah 572 berita, Youtuber dengan jumlah 55 berita, Instagram dengan jumlah 49 berita, dan
Tiktok dengan jumlah 25 berita (Sukardi, 2021).
Persebaran berita hoaks dan misinformasi memunculkan situasi yang kacau, seperti pada
saat hoaks mengenai sebuah produk susu sapi yang dikabarkan dapat menyembuhkan penyakit
Covid-19. Berita tersebut menyebabkan masyarakat berbondong-bondong pergi ke supermarket
dan membeli produk tersebut dalam kuantitas yang besar. Akibatnya, banyak outlet perbelanjaan
kehabisan stok. Pihak outlet bahkan memasang pemberitahuan quantity limit bagi konsumen
yang akan membeli produk tersebut (Naeem, 2021).
Pada 27 Desember 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)
melaporkan adanya 5.311 berita hoaks di media sosial. Facebook menempati peringkat pertama
dalam platform dengan berita hoaks terbanyak di Indonesia dengan jumlah 87 persen (Sukardi,
2021). Selain itu, sebanyak 4.610 berita hoaks mengenai virus Covid-19 ditemukan di platform
tersebut. Kemudian, peringkat kedua sampai dengan empat ditempati oleh Twitter dengan
jumlah 572 berita, Youtuber dengan jumlah 55 berita, Instagram dengan jumlah 49 berita, dan
Tiktok dengan jumlah 25 berita (Sukardi, 2021).
Self reward juga menjadi hal yang mendasari perilaku impulsive buying. Menurut Mick
& DeMoss (1990), self reward merupakan perilaku yang mana seseorang akan menghadiahkan
atau memberi insentif kepada diri sendiri sebagai bentuk rasa bangga dan kasih sayang setelah
meraih sebuah prestasi atau pencapaian tertentu. Beberapa karya tulis terdahulu menyatakan
bahwa impulsivitas akan muncul saat seseorang membuat sebuah pilihan (Mukhopadhyay &
Johar, 2009). Jika kita sudah menetapkan pemikiran terhadap suatu hal, dalam kasus ini membeli
suatu produk berlandaskan self rewarding, harga tidak lagi menjadi suatu pertimbangan. Selain
itu, apabila rasa penyesalan muncul, otak kita akan bereaksi dengan memberikan validasi bahwa
hal tersebut wajar untuk dilakukan.
Selain itu, adanya perubahan dalam metode pembayaran konvensional dari menggunakan
uang tunai menjadi electronic payment menyebabkan konsumen berbelanja secara impulsif.
Electronic payment merupakan pembayaran yang sistemnya menggunakan bantuan internet
(Sari, 2021). Kini, banyak platform dan toko yang menggunakan metode electronic payment
karena caranya yang mudah dan praktis dibandingkan pembayaran secara langsung. Salah satu
contohnya adalah Shopee.
Shopee memiliki sistem electronic payment berupa ShopeePay dan ShopeePayLater.
Perbedaan keduanya terletak pada waktu individu membayar produk yang dibeli. Ketika
menggunakan ShopeePay, pembayaran ditarik secara langsung dengan nominal yang utuh
setelah individu menekan tombol check out. Sementara itu, ketika menggunakan
ShopeePayLater, pembayaran dilakukan dengan sistem cicilan, yaitu individu membayar
nominal sesuai dengan pilihan yang disediakan. Hal ini menguntungkan konsumen karena
mereka bisa berbelanja tanpa memikirkan saldo dana yang dimiliki. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Rahmatika Sari (2020) mengungkapkan bahwa sebanyak 54,7% responden
dengan total 221 orang pernah menggunakan metode ShopeePayLater untuk melakukan transaksi
secara online lebih dari lima kali. Maka, dapat disimpulkan bahwa konsumen memanfaatkan
metode ShopeePayLater dalam frekuensi yang tinggi sehingga menimbulkan perilaku impulsive
buying.
Perilaku impulsive buying sering ditemukan dalam komunitas penggemar Korean Pop
atau yang sering dikenal sebagai K-Pop. K-Pop sendiri telah banyak digemari oleh banyak
generasi khususnya generasi muda di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Terdapat beberapa
faktor yang membuat K-Pop menjadi mendunia dan disukai oleh banyak individu, yang pertama
adalah penampilan mereka yang menarik baik itu secara fisik dan juga style fashion. Lalu,
perilaku mereka juga dapat menarik perhatian orang lain, jika mereka berperilaku baik dan
menyenangkan maka akan banyak yang menyukainya. Selain itu, mereka tidak hanya
membawakan lagu saja melainkan mereka juga menggunakan tarian ketika mereka tampil di
panggung.
Fenomena ini disebut dengan Korean wave atau Hallyu. Fenomena korean wave
menggambarkan proses penyebaran budaya Korea Selatan ke seluruh dunia, termasuk tanah air
tercinta kita, Indonesia. Korean wave memang sudah direncanakan oleh pemerintah Korea
Selatan sejak masa pemerintahan Presiden Kim Dae Jung yang berlangsung sejak 1993 sampai
dengan 1998 (Putri, Liany, dan Nuraeni, 2019). Tujuan yang dimaksud adalah menghapus citra
bangsa Korea yang terkenal tradisional dengan menggantinya dengan citra nasional yang
modern. Menurut Putri, Liany, dan Nuraeni (2019), hal ini sesuai dengan slogan politik Presiden
Kim Dae Jung, yaitu “Creation of the New Korea.”
Fenomena ini mencakup berbagai aspek, yaitu industri hiburan, kuliner, literatur,
kosmetik, mode pakaian, dan bahasa (Putri, Liany, dan Nuraeni, 2019). Namun, industri hiburan,
seperti musik, film, sampai dengan serial TV, memberikan peran besar dalam penyebaran
kebudayaan Korea Selatan. Musisi K-Pop BTS sukses menempati tangga musik dunia selama
tiga minggu dengan lagunya, Dynamite. Hal ini menyebabkan BTS memperoleh banyak
pendengar dari seluruh dunia sehingga budaya K-Pop mendunia.
Kepopuleran BTS menyebabkan salah satu e-commerce di Indonesia, yaitu Tokopedia,
menggandeng mereka sebagai brand ambassador. Dengan BTS mempromosikan Tokopedia
sebagai toko online yang terlengkap, para penggemar akan tertarik untuk melakukan transaksi
belanja di platform tersebut. Hal ini didukung dengan pernyataan Agus Soehadi, selaku peneliti
bisnis dan pemasaran dari Universitas Prasetiya Mulya (Setyowati, 2020). Menurut Setyowati
(2020), beliau mengungkapkan bahwa selebritas asal Korea Selatan memiliki pengaruh yang
besar terhadap minat pembelian konsumen, khususnya para penggemar mereka. Hal ini
menyebabkan perilaku impulsive buying di kalangan para penggemar BTS.
Selain Tokopedia, salah satu restoran cepat saji, McDonald’s, berkolaborasi dengan BTS
dengan mengeluarkan menu BTS Meal untuk meningkatkan penjualannya. Paket BTS Meal
terdiri dari kentang goreng, 9 buah nugget ayam, minuman bersoda, dengan saus spesial cajun
dan sweet chilli (Sari, 2021). Penggemar BTS atau Army memburu menu ini karena kemasan
khusus yang menggambarkan warna dan logo khas BTS. Selain itu, paket BTS Meal tidak dijual
secara permanen dan dalam jumlah yang terbatas.
Menurut Asrie dan Misrawati (2020), salah satu penggemar BTS mengungkapkan bahwa
ia membeli segala produk yang berkaitan dengan grup idolanya tersebut dalam sekejap. Ia
menambahkan bahwa ia jarang mempertimbangkan harga, kualitas, dan kebutuhan produk-
produk tersebut. Produk merchandise, produk yang secara pribadi digunakan oleh idola, dan tiket
konser merupakan pembelian paling sering terjadi (Asrie dan Misrawati, 2020). Hal ini semakin
banyak terjadi karena menjamurnya toko-toko online yang menjual produk-produk berbasis K-
Pop. E-commerce memiliki banyak penawaran yang menarik, seperti promo buy one get one,
diskon besar-besaran, gratis ongkir, sampai dengan cashback dengan nominal yang besar.
Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa perilaku impulsive buying sangat merugikan
konsumen. Anas (2020), dalam jurnalnya, menyebutkan bahwa impulsive buying dapat membuat
masyarakat cenderung boros, memiliki sifat materialistik, dan berperilaku konsumtif karena
selalu mengkonsumsi produk di luar kebutuhan demi kepuasan sesaat sehingga dapat merugikan
diri sendiri. Sifat materialisme yang tumbuh akibat impulsive buying yang menekankan nilai
materi akan cenderung memiliki sikap tidak pernah puas terhadap produk yang dikonsumsi dan
selalu menginginkan barang dalam jumlah yang banyak (Anas, 2020). Menurut Balik (2020),
konsumen dengan sifat materialisme yang tinggi adalah konsumen yang berpotensi besar dalam
melakukan belanja online secara impulsif. Jika masyarakat tidak memiliki kontrol terhadap sikap
impulsive buying maka perilaku konsumtif dan sikap materialistik akan tumbuh dalam diri
mereka dan pada akhirnya akan merugikan diri individu karena tidak dapat memanfaatkan uang
dengan baik.
Sementara itu, menurut Rohman (2016), perilaku konsumtif diartikan sebagai perilaku
membeli suatu produk dalam jumlah besar yang didasarkan pada pemikiran irasional. Perilaku
ini dilakukan semata-mata untuk memuaskan diri karena asalnya pun dari nafsu belaka. Perilaku
konsumtif berpotensi menyebabkan kecemburuan sosial dalam masyarakat, hilangnya
kesempatan menabung, juga akan membuat seseorang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan di
masa yang akan datang. Apabila seseorang menjadikan perilaku konsumtif sebagai gaya hidup,
maka ia menganut budaya konsumerisme. Konsumerisme merupakan suatu paham ketika
individu memakai barang hasil produksi dalam jumlah yang besar tanpa mempertimbangkan
kebutuhannya. Pemakaian barang hasil produksi ini dilakukan secara tidak sadar dan
berkelanjutan (Rohman, 2016).
Perilaku impulsive buying harus dihindari dengan melakukan beberapa langkah berikut.
Langkah pertama adalah membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Apabila hal ini
dilakukan, maka keuangan kita dapat teralokasi secara tepat karena pembelian produk yang tidak
diperlukan dapat dihindari (Redaksi OCBC NISP, 2021). Langkah kedua adalah menyusun skala
prioritas produk. Dengan mengetahui prioritas, konsumen dapat mengontrol diri untuk membeli
produk yang sesuai dengan kebutuhan dan mengesampingkan produk yang tidak diperlukan
(Redaksi OCBC NISP, 2021). Kemudian, biasakan diri membuat daftar belanja saat melakukan
pembelian online di era pandemi. Menurut Redaksi OCBC NISP (2021), dengan adanya daftar
belanja, kita akan lebih mudah menentukan barang apa saja yang perlu dibeli, sesuai dengan
kebutuhan saat itu dan dapat menghindari pembelian barang yang tidak sesuai kebutuhan serta
juga untuk menghindari pengeluaran biaya belanja yang lebih banyak dari anggaran awal.
Selanjutnya, kita harus membatasi pembayaran menggunakan kartu kredit dan metode
PayLater (Redaksi OCBC NISP, 2021). Hal ini membuat kita dapat mengontrol pengeluaran
secara efektif. Langkah kelima adalah melindungi diri dari penawaran atau iklan yang
dipromosikan berbagai toko. Lalu, kita juga dapat dengan berhati-hati saat menggunakan media
sosial seperti Instagram, YouTube, Pinterest maupun Facebook. Terdapat banyak influencer di
media sosial yang mempromosikan berbagai macam barang mulai dari pakaian, sepatu,
aksesoris, hingga peralatan rumah tangga. Kita tidak boleh terlalu terpengaruh oleh apa yang
dipromosikan lewat media sosial karena tak semua produk yang dipromosikan sesuai dengan
kebutuhan kita saat itu. Maka dari itu, sangat penting bagi kita untuk bersikap bijak dalam
menggunakan media sosial karena media sosial juga berpotensi besar untuk mempengaruhi kita
melakukan impulsive buying. Langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah menetapkan batas
saat melakukan self-reward (Redaksi OCBC NISP, 2021).

KESIMPULAN
Hadirnya wabah Covid-19 dan diberlakukannya pembatasan menyebabkan perubahan pola
hidup masyarakat, yaitu impulsive buying–yang berkembang pesat saat pandemi. Impulsive
buying didefinisikan sebagai kespontanitasan seseorang dalam membeli suatu hal yang
diakibatkan gerakan hati. Perilaku ini seringkali mengarah ke dampak negatif, seperti boros
dalam pengeluaran, munculnya sifat materialistik, dan meningkatkan perilaku konsumtif dalam
diri seseorang karena membeli dan mengkonsumsi produk yang tidak dibutuhkan sehingga
merugikan diri sendiri. Ciri-ciri yang dapat dilihat dari perilaku impulsive buying adalah adanya
rasa menggebu-gebu saat melihat barang, mengambil keputusan spontan untuk membeli, dan
tidak memikirkan apakah pembelian yang dilakukan merupakan hal yang tepat dan tidak
menghitung konsekuensi dari hal tersebut.
Impulsive buying dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang menumbuhkan
perilaku impulsive buying, yaitu adanya emosi pribadi yang intens menyebabkan seseorang
mengeluarkan keputusan spontan dan melakukan pembelian impulsif, keberadaan berita hoaks
dan misinformasi yang berhubungan dengan keberadaan suatu produk membuat masyarakat
berbondong-bondong membeli produk dalam jumlah besar walau belum diketahui kebenaran
berita tersebut, pemikiran self-reward mempengaruhi seseorang melakukan impulsive buying
karena ia membeli berlandas hadiah/insentif ke diri sendiri, dan kemunculan electric payment
membuat konsumen secara tidak sadar melakukan pembelian terus-menerus.
Artikel ini tentu memiliki kekurangan, karena limitasi keberadaan hasil-hasil riset mengenai
impulsive buying di era pandemi. Keterbatasan artikel ilmiah terkait penelitian terhadap
impulsive buying yang meningkat terjadi karena adanya wabah dan pembatasan. Maka dari itu,
pada kesimpulan ini, kami menegaskan kembali saran-saran dalam menghadapi impulsive
buying, yaitu: (1) membedakan antara barang yang dibutuhkan (need) dan diinginkan (want)
sehingga keuangan dapat dialokasikan dengan baik karena tidak membeli barang yang tidak
diperlukan, (2) melakukan skala prioritas produk, hal ini dapat mengontrol seseorang untuk
membeli barang sesuai kebutuhan, (3) menekan dan membatasi diri dalam penggunaan alat
pembayaran kredit, seperti kartu kredit dan Pay Later, (4) membuat daftar belanja hal-hal yang
dibutuhkan agar terfokus pada barang-barang yang memang kita butuhkan dan tidak membeli
barang belanja tambahan, (5) membentengi diri dari promosi-promosi produk/barang yang
ditawarkan agar tidak terpengaruh, dan (6) membuat jurnal atau catatan pemasukan dan
pengeluaran uang bulanan agar keuangan dapat terlacak dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai