Anda di halaman 1dari 9

wwwww e-ISSN: 2550-0813 | p-ISSN: 2541-657X | Vol 10 No 4 Tahun 2023 Hal.

: 2114-2122
-

NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial


available online http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index

HUBUNGAN SUBJECTIVE WELL-BEING DENGAN PERILAKU


IMPULSIVE BUYING DI E-COMMERCE PADA MAHASISWA
TINGKAT AKHIR UNIVERSITAS NEGERI PADANG 1

Hidayatul Maevani, Yolivia Irna Aviani

Departemen Psikologi, Fakultas Psikologi dan Kesehatan, Universitas Negeri Padang

Abstrak

Impulsive buying merupakan sebuah pembelian yang tidak direncanakan mahasiswa karena
adanya dorongan yang tak tertahankan tanpa memikirkan dampak setelah pembelian. Tingkat
subjective well being yang tinggi pada mahasiswa akan meminimalkan perilaku impulsive buying,
sebaliknya tingkat subjective well being yang rendah akan memicu perilaku impulsive buying.
Jadi, tujuan dari penelitian ini untuk melihat hubungan antara subjective well being dengan
impulsive buying di e-commerce pada mahasiswa tingkat akhir Universitas Negeri Padang.
Metode pada penilitian ini berupa kuantitatif korelasional. Sampel berjumlah 266 mahasiswa
tingkat akhir Universitas Negeri Padang yang sering berbelanja di e-commerce. Penelitian
menggunakan skala subjective well-being dan skala impulsive buying dengan reliabilitas 0,869
dan 0,828. Penelitian ini menggunakan teknik incidental sampling. Peneliti mengolah data
menggunakan korelasi pearson dengan SPSS 24.0 for windows. Peneliti mendapatkan nilai
signifikansi sebesar 0.000 (p >0.05). Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara subjective well being dengan impulsive buying pada mahasiswa tingkat akhir
Universitas Negeri Padang.

Kata Kunci: impulsive buying, subjective well-being, mahasiswa.

PENDAHULUAN dengan internet, teknologi maupun


Generasi Z yaitu generasi yang media sosial yang menyebabkan mereka
lahir diantara tahun 1997-2012, dimana dilabeli sebagai generasi pecandu
inidividu pada umur segitu telah teknologi dan anti sosial (Wibawanto,
memasuki tahap remaja-dewasa awal 2016). Mahasiswa yang merupakan
(Purnomo et al., 2019). Mereka yang generasi ini dapat melakukan kegiatan
lahir pada generasi Z sudah dimanjakan multitasking yang berhubungan dengan

*Correspondence Address : hidayatulmaevani99@gmail.com


DOI : 10.31604/jips.v10i4.2023. 2114-2122
© 2023UM-Tapsel Press
2114
Hidayatul Maevani, Yolivia Irna Aviani
Hubungan Subjective Well-Being Dengan Perilaku Impulsive Buying Di E-Commerce Pada.….(Hal 2114-2122)

dunia maya, yang menyebabkan mereka dewasa seseorang, semakin tinggi


sering melakukan kegiatan konsumtif resistensi dalam pembelian impulsif.
tanpa kontrol dan sukar mengatur skala Seseorang yang melakukan pembelian
yang lebih prioritas yang dimaksud impulsif merasa mereka dapat
dengan kecenderungan perilaku mengangkat perasaan negatif yang ada
impulsive buying. pada dirinya, tetapi itu hanya perasaan
Impulsive buying yaitu orongan sesaat, dan setelah pembelian emosi
yang datang secara spontan dan tidak positif datang dan perasaan senang
terencana, pembeli didorong oleh aspek sesaat itu berubah menjadi perasaan
emosional dimana barang yang dibeli yang hampa (Šeinauskienė et al., 2015).
tanpa memikirkan akibat dalam jangka E-commerce, atau belanja di
panjang yang merupakan keinginan internet adalah penyebab cepatnya
bukan kebutuhan (Ui, 2016). Perilaku perkembangan transaksi dagang melalui
impulsif bertentangan dengan beberapa sektor digital. E-commerce disebut juga
tujuan jangka panjang tersebut (seperti sebagai tempat untuk melakukan metode
menabung) karena orang tersebut dalam berbisnis. Beberapa perusahaan e-
mungkin akan menyesal atas dorongan commerce menyediakan ruang untuk
yang impulsif tersebut (Seinauskiene et bertransaksi dengan menampilkan
al., 2016). Impulsive buying merupakan produk di website e-commerce yang
tendensi individu untuk mengeluarkan tersedia. Hal ini menyebabkan
uang untuk membeli sesuatu tanpa ada terbentuknya pasar elektronik
perencanaan sebelumnya, yang terjadi (marketplace) (Yustiano & Yunanto,
secara cepat, tidak dipikirkan terlebih 2017).
dahulu dan spontan (Yolanda & E-commerce tercipta karna
Rembulan, 2017). teknologi informasi pada sektor
Haqiqi & Putra (2019) perdagangan yang semakin pesat
menyebutkan bahwa pesatnya kemajuan berkembang. Produk yang sudah
e-commerce di Indonesia disebabkan dipresentasikan dapat dijual tanpa
oleh kemudahan dalam mengakses adanya pembangunan sistem. Dengan
internet. Hal tersebut menyebabkan adanya virtual marketplace, penjual
banyak masyarakat lebih memilih dapat mencantumkan semua hal spesifik
berbelanja secara online. Kemudahan tentang barang dagangan mereka,
dalam berbelanja tersebut juga termasuk harga, detail pengiriman,
menimbulkan dampak yang sangat luar deskripsi produk, dan banyak informasi
biasa, dimana dalam waktu hitungan lain yang pembeli butuhkan (Yustiano &
menit dan ditempat yang sama tanpa Yunanto, 2017).
harus berpindah tempat mereka dapat Kemudahan dalam berbelanja
melakukan pembelian barang secara online tersebut memicu mahasiswa
online. Seiring berkembangnya zaman untuk berbelanja berlebihan (Impulsive
yang beriringan dengan kemajuan Buying). Mahasiswa Universitas Negeri
teknologi, impulsive buying hadir dengan Padang banyak dijumpai salah satu
kemudahan bertransaksi online yaitu e- aplikasi e- commerce yang ada pada
commerce. Perasaan yang hadir setelah gadget mereka. Hal tersebut yang
melakukan impulsive buying pada membuat mereka lebih tertarik
awalnya adalah kesejahteraan secara berbelanja melalui e-commerce
mental tapi hanya berlangsung sesaat ketimbang harus berbelanja secara
saja. Nadeem et. al, (2016) semakin langsung karena praktis. Penelitian yang
rendah usia seseorang maka semakin dilakukan oleh Haqiqi & Putra (2019)
rentan pula mereka memiliki perilaku menyebutkan bahwa sebagian besar
pembelian impulsif. Sebaliknya, semakin mahasiswa di Kota Bukittinggi yang

2115
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 10 (4) (2023): 2114-2122

melakukan pembelanjaan secara online kesejahteraan psikologi (Koo &


mengalami gangguan pada psikologis, Lee,2009), dimana mahasiswa
serta merasa gelisah dengan barang yang membenarkan bahwa mereka sering
mereka beli secara online. Mahasiswa melakukan pembelian pada suatu barang
terhitung dalam generasi muda yang tanpa adanya rencana di toko yang sering
aktif dalam penggunaan internet. dikunjungi, dimana factor diskon
Mahasiswa S1 umumnya berusia antara menjadi factor pendorong pembelian
17-25 tahun. Terkhususnya, mahasiswa produk, yang mempengaruhi perasaan
tingkat akhir Universitas Negeri Padang negatif maupun positif akibat
yang rata-rata berusia antara 21-24 kegembiraan sesaat yang dirasakannya.
tahun. Sehingga mahasiswa yang mempunyai
Fenomena impulsive buying kesejahteraan subjektif yang baik dapat
dapat terjadi ketika ada dorongan secara mengevaluasi emosinya secara positif
tiba-tiba dari dalam diri yang melibatkan khususnya penguasaan diri untuk
2 elemen, yaitu kognisi karena adanya kecenderungan impulsive buying.
kurang perencanaan dan pertimbangan Impulsive buying terjadi ketika
karena timbul perasaan senang terjadinya konflik emosional yang
(Widawati, 2017). Sedangkan Coley bergejolak pada individu pada saat
(2012) mengatakan sikap afektif dan melakukan pembelian secara tiba-tiba
kognitif keduanya mempengaruhi emosi dengan mencoba memenuhi keinginan
atas perlakuan impulsive / kontrol diri, individu agar dapat merubah hidupnya.
dimana afektif adalah dorongan yang Impulsive buying mengacu kepada
tidak dapat tertahan akan membeli suatu pembelian tidak terencana, karena
barang, emosi saat pembelian, serta adanya dorongan yang sangat kuat untuk
pengelolaan perasaaan. Kognitif sendiri membeli barang. Bahkan, lebih dari itu
adalah pembelian dari yang tidak pembelian impulsif terjadi karena tidak
direncanakan sehingga mengabaikan memikirkan akibat yang akan terjadi
masa depan yang mengacu kepada setelah melakukan pembelian tersebut.
mental dan pikiran seseorang. (Arifianti & Gunawan, 2020).
Hubugannya adalah individu lebih Sofi & Nika (2017) mengatakan
mementingkan afektif daripada kognitif bahwa kekecewaan dan penyesalan
pada saat membeli barang, sehingga seringkali dirasakan oleh seseorang
berpeluang lebih besar untuk melakukan dengan kecenderungan pembelian
pembelian secara impulsive. impulsif. Zahradká & Sedláková (2012)
Fenomena tersebut dapat terjadi memaparkan bahwa jika kecenderungan
karena beberapa faktor, seperti impulsive buying sering terjadi pada
subjective well-being sebagaimana seseorang, maka kecenderungan
diungkapkan oleh Chang & Lucas David, tersebut dapat berpotensi merusak
2008, karena mempunyai hubungan kehidupan dan menjadi sebuah musibah
yang positif antara sikap optimis dan self- bagi individu tersebut. Kecenderungan
esteem, akan tetapi memiliki hubungan impulsive buying pada umumnya terjadi
yang negatif dengan depresi, yang dapat karena emosi negatif bertumbuh pada
terjadi berbeda-beda kepada setiap seseorang dan diiringi dengan harga diri
individu dan didasarkan kepada yang rendah.
pengalaman hidupnya, yaitu Verplanken & Herabadi (2001)
kesejahteraan psikologis. Ditinjau dari mengemukakan bahwa emosi tertentu
data dari Carter (2018), impulsive buying (seperti kombinasi kebahagiaan,
dilakukan oleh mahasiswa dengan kegembiraan, dan kekuatan) dapat
rentan usia 20 hingga 30 tahun, dimana menyebabkan belanja impulsif.
hal tersebut berpengaruh kepada Konsumen juga menggunakan impuls
2116
Hidayatul Maevani, Yolivia Irna Aviani
Hubungan Subjective Well-Being Dengan Perilaku Impulsive Buying Di E-Commerce Pada.….(Hal 2114-2122)

belanja sebagai cara untuk yang rendah, dan mempengaruhi


menghilangkan depresi. Masalah inilah kecenderungannya yang tinggi terhadap
kerap terjadi dikalangan mahasiswa, perilaku pembelian impulsif
dimana pengontrolan keuangan yang (Seinauskiene, 2016).
menjadi masalah terbesar karena Kesejahteraan adalah komposisi
kebiasaan berbelanja impulsive, yang yang menggambarkan sisi positif dari
menyebabkan perasaaan gelisah yang kesehatan mental seseorang
dirasakan setelah melakukan berdasarkan pengalaman Individu yang
pembelanjaan yang impulsive. berhubungan dengan kualitas hidup
Seinauskiene, (2016) secara emosional dan kognitif (Pelayan,
mengatakan bahwa motivasi untuk 204). Afeksi positif dan negatif adalah
membeli suatu barang tidak didasarkan bagian dari kesejahteraan emosional,
pada manfaat barang tersebut, tetapi ketika individu memiliki tingkat
lebih kepada memenuhi keinginan untuk kesejahteraan,emosi yang positif berada
mengelola keadaan emosional di posisi yang lebih tinggi daripada emosi
(Seinauskiene, 2016; Fitriyani, et. Al., yang negatif. Komponen kognitif
2013). Impulsif dan kompulsif dalam kesejahteraan umunya menjelaskan
pembelian dapat mengangkat suasana kulialitas hidup seseorang secara umum,
hati yang buruk dan untuk sehingga kebahagiaan sering berkorelasi
menghilangkan pengaruh negatif dengan kepuasan hidup seseorang
(Sneath et al., 2009). Namun hal tersebut (Dieneret al., 1985). Kepuasan hidup
dapat merubah suasana hati yang positif muncul karna adanya poroses penilaian
menjadi negatif dikarenakan terhadap perspektif kehidupan tertentu.
memikirkan dampak atau kepuasan Penilaian diri dari komponen kognitif
setelah berbelanja. dan emosional individu dapat melihat
Mayoritas mahasiswa bagaimana individu mengevaluasi
memandang kepuasan hidup dan pengalaman kesejahteraan dalam
kebahagiaan menjadi hal yang sangat hidupnya (Diener, 2000).
diperlukan. Mereka percaya bahwa Subjective well-being atau
kebahagiaan lebih penting daripada konsep evaluasi kehidupan merupakan
uang. Individu merespon dengan cara bentuk dari lika-liku emosional
yang berbeda kepada keadaan yang seseorang yang bisa diukur dari
sama, dan mereka mengevaluasi kondisi kepuasan hidup, afek positif ataupun
berdasarkan harapan, nilai, dan negative yang dimiliki oleh seseorang.
pengalaman unik mereka sebelumnya Sehingga seseorang dengan tingkat
(Diener, 1999). subjective well-being tinggi bisa dilihat
Individu yang mempunyai dari seberapa baik seseorang mengatur
tingkatan kepuasan hidup yang tinggi emosi dan mencari jalan keluar sebuah
jarang merasakan hal yang tidak nyaman permasalahan. Sedangkan seseorang
dalam kehidupannya, sehingga mereka dengan tingkat subjective well-being yang
dapat dikategorikan sebagai individu rendah pada umumnya akan mempunyai
yang bahagia (Prasetyawati, 2021). kehidupan pribadi yang muram
Emosi negatif ini terjadi setelah dikarenakan kecenderungan seseorang
belanja berlebihan karena individu berpikir negatif dan mengakibatkan
memikirkan efek dari belanja berlebihan. cemas yang berlebihan, mudah emosi,
Ketika individu hanya menghabiskan dan juga berisiko depresi (Diener & Tay,
waktu yang singkat dalam pengambilan 2015). Mereka yang memiliki subjective
keputusan dalam pembelian cenderung well-being rendah cenderung mudah
tidak cukup dengan kehidupannya, dipengaruhi oleh pada kebiasaan belanja
mencerminkan tingkat kesejahteraannya seperti perilaku impulsive buying,

2117
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 10 (4) (2023): 2114-2122

sedangkan mereka subjective well-being berbelanja hal yang tidak mereka


yang lebih baik dikaitkan dengan tingkat butuhkan. Sebanyak 90% responden
impulsive buying yang lebih rendah. mengatakan bahwa diskon adalah hal
Impulsive buying terjadi yang membuat mereka memiliki hasrat
dikarenakan adanya kesenangan yang untuk belanja terus menerus tanpa
didapatkan saat melakukan suatu berfikir panjang, 66% mengatakan
pembelian. (Sulistiowati & Widodo, bahwa fitur paylater, fitur pinjaman, dan
2015). Individu yang berperilaku sulit untuk mengendalikan hasrat yang
impulsive buying dalam berbelanja dapat membuat mereka bisa berbelanja tanpa
menimbulkan dampak negatif seperti kontrol dan tanpa pikir panjang.
stress, dan dapat menurunkan tingkat Sebanyak 90% mengatakan bahwa
kesejahteraan psikologis individu. Ketika berbelanja dapat memuaskan diri,
stress meningkat, maka kecenderungan mengurangi stress dan emosi negatif
impulsive buying pada mahasiswa juga lainnya, namun hal itu hanya sesaat.
akan meningkat, sebaliknya ketika stress Setelah berbelanja secara impulsive,
semakin rendah, maka kecenderungan semua responden merasakan emosi
impulsive buying juga akan rendah negatif yang muncul seperti penyesalan
(Sulistiowati & Widodo, 2015). Jadi, yang berkepanjangan dikarenakan
untuk meningkatkan subjective tagihan yang menumpuk, kehabisan
wellbeing, seorang individu harus uang untuk memenuhi kebutuhan
mengurangi perilaku impulsive buying. sehari-hari, stress, gelisah, bahkan
Berdasarkan hasil penelitian kecemasan yang berlebihan.
sudah dilakukan oleh Manolis & Roberts Dari hasil wawancara yang telah
(2012), tentang “Subjective Well-Being didapatkan banyak mahasiswa yang
among Adolescent Consumers: The Effects mencari versi terbaiknya dari dirinya
of Materialism, Compulsive Buying, and dengan cara menunjukan bahwa mereka
Time Affluence” telah mengkonfirmasi mampu membeli pakaian maupun
asumsi bahwa pembelian kompulsif benda-benda mewah didepan teman-
berhubungan secara negatif dan temannya, meskipun pada kenyataannya
langsung dengan kesejahteraan mereka hanya meresakan kesenangan
subjektif. sesaat, dan menyesal karena telah
Hasil ini selaras dengan membeli dengan uang yang besar yang
penemuan penelitian yang dilakukan mengakibatkan kesulitan keunagan
oleh Seinauskiene, (2016) tentang dalam menjalankan kehidupannya.
“Materialism as the Mediator of the Mereka cenderung tidak menunjukkan
Association between Subjective Well- kepuasan yang tinggi dalam hidupnya.
being and Impulsive Buying Tendency” Sehubung dengan permasalahan
konsisten dan menunjukkan hubungan tersebut peneliti merasa penting untuk
negatif antara materialisme dan meneliti apakah ada hubungan antara
kesejahteraan subjektif. Jadi, tingkat Subjective Well-Being dengan Perilaku
kesejahteraan yang lebih rendah Impulsive Buying di E-commerce pada
meningkatkan materialisme yang mahasiswa tingkat akhir Universitas
mengarah ke tingkat yang lebih tinggi Negeri Padang.
pada kecenderungan pembelian
impulsif. METODE PENELITIAN
Melalui penelitian awal yang Penelitian ini menggunakan
peneliti lakukukan terhadap 32 pendekatan kuantitatif korelasional.
responden, peneliti menemukan Penelitian kuantitatif pada umumnya
sebanyak 78% responden menghabiskan dipakai untuk mengobservasi populasi di
lebih dari 70% uang mereka untuk sebuah sampel. Pada penelitian
2118
Hidayatul Maevani, Yolivia Irna Aviani
Hubungan Subjective Well-Being Dengan Perilaku Impulsive Buying Di E-Commerce Pada.….(Hal 2114-2122)

kuantitatif, data yang dipakai akan bantuan SPSS 24.0 for windows. Hasil uji
berbentuk angka dan data tersebut akan linearitas antara kecenderungan
diporses menggunakan teknik statistik impulsive buying dengan subjective
yang memiliki tujuan supaya bisa wellbeing memiliki nilai signifikansi
membuktikan hipotesis yang ada deviation from linearity sebesar
(Sugiyono, 2013). Sedangkan untuk 0.019<0.05, sehingga dapat disimpulkan
menganalisa relasi serta arah antara 2 perilaku impulsive buying dengan
variabel atau lebih, teknik statistik yang subjective wellbeing mempunyai
bisa digunakan adalah teknik hubungan yang linear.
korelasional (Kurniawan &
Puspitaningtyas, 2016). Kuantitatif b. Uji Normalitas
korelasional dipakai selaras dengan Tabel 1. Uji Normalitas
maksud penelitian ini, adalah untuk Variabel Asymp. Taraf Ket
Sig(2- Signifikansi
menguji hubungan antara subjective well- tailed)
being dan perilaku impulsive buying pada Subjective 0,060 0,05 Normal
mahasiswa tingkat akhir Universitas Well-being
Negeri Padang. Impulsive 0,110 0,05 Normal
Pengumpulan data Buying
menggunakan dua skala yaitu skala
subjective well-being (19 item dengan α= Uji normalitas dilakukan untuk
0,869) berdasarkan teori yang memeriksa apakah data terdistribusi
dikemukakan oleh Diener, 1993. secara normal. Uji normalitas dilakukan
Penelitian ini memiliki 19 item yang dengan menggunakan prosedur
didasarkan dari tiga dimensi yaitu Kolmogorov-Smirnov dan dengan
Satisfaction with Life (Kepuasan Hidup) bantuan SPSS 24.0. Hasil uji nilai
Affective Positive & Affective Negative. signifikansi yang didapatkan sebesar
Skala impulsive buying (15 item dengan 0,060 dan 0,110 (p>0,05) maka bisa
α= 0,828) berdasarkan teori yang disimpulkan bahwa data dalam
diutarakan oleh Verplanken & Herabadi penelitian ini berdistribusi normal.
(2001), skala impulsive buying
mempunyai 2 aspek, yakni aspek kognitif c. Uji Heteroskdastisitas
dan aspek negatif. Penelitian ini Tabel 3. Uji Heteroskdastisitas
Variabel Sig. Ket
menggunakan teknik incidental Subjective Well- 0,694 Tidak Terjadi
sampling. Peneliti mengolah data being Heterokedastisitas
menggunakan korelasi pearson dengan Impulsive Buying 0,078 Tidak Terjadi
bantuan SPSS 24.0 for windows. Heterokedastisitas

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji heteroskdastisitas dilakukan


1. Uji Asumsi Klasik supaya bisa melihat varians populasi
a. Uji Linearitas yang homogen atau tidak dari kelompok
Tabel 1. Uji Linearitas sampel. Hasil uji nilai signifikansi yang
Variabel Nilai F P<0,05 Ket. diperoleh yaitu 0.694 dan 0,07 > 0,05,
Subjective 1,495 0,019 Linear yang artinya data pada penelitian ini
well being
Impulsive tidak terjadi heteroskdastisitas.
buying
d. Uji Korelasi
Uji linearitas bertujuan untuk Tabel 4. Uji Korelasi
Variabel Pearson Sig. Ket
melihat apakah dua variabel pada Correlation (2-
penlitian ini terdapat hubungan yang tailed)
linear atau tidak yang dilakukan dengan

2119
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 10 (4) (2023): 2114-2122

Subjective -0,654 0,000 Berkorelasi akhir Universitas Negeri Padang secara


Well- negatif umum berada pada kategori sedang.
being
Impulsive
Buying
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, R., & Gunawan, W. (2020).
Uji korelasi Pearson dijalankan
Perilaku impulse buying dan interaksi social
menggunakan SPSS 24.0 for Windows dalam pembelian di masa pandemi.
untuk menentukan jenis hubungan yang Sosioglobal : Jurnal Pemikiran dan Penelitian
ada di antara dua variabel dan seberapa Sosiologi, 43-60
dekat hubungan keduanya.
Aragoncillo, L., & Orus, C. (2018).
Nilai signifikansi atau antara
Impulse buying behaviour: an online-of�line
variabel impulsive buying dengan comparative and the impact of social media.
subjective well-being adalah sebesar Spanish Journal of Marketing - ESIC, 22(1), 42-62.
0.000 < 0.05, maka bisa disimpulkan DOI 10.1108/SJME-03-2018-007.
kalau terdapat hubungan yang signifikan
Beatty, S. E., & Ferrell, M. E. (1998).
antara variabel impulsive buying dengan
Impulse buying: Modeling its precursors. Journal
subjective well-being. of retailing, 74(2), 169–191.
Hubungan antar variabel kuat https://doi.org/10.1016/S0022-
dengan nilai signifikansi sebesar -0.654, 4359(99)80092-X
dan memiliki hubungan yang negatif
Bunga Aisyahrani, A. I., Handayani, L.,
antara variabel impulsive buying dengan
Dewi, M. K., & Muhtar, M. (2020). A concept of
subjective well-being. Maka bisa materialism and well-being. International Journal
disimpulkan kalau semakin tinggi of Evaluation and Research in Education (IJERE),
subjective well being, maka impulsive 9(1), 62-68. DOI: 10.11591/ijere.v9i1.20424 .
buying juga semakin rendah. Sebaliknya,
Clark, M., & Calleja, K. (2008). Shopping
semakin tinggi impulsive buying maka
addiction: A preliminary investigation among
subjective well being semakin rendah. Maltese university students. Addiction Research
&Theory,16(6),633–649.
SIMPULAN https://doi.org/10.1080/16066350801890050
Menurut hasil analisis data serta
Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., &
pembahasan yang telah dijelaskan, dapat
Griffin, S. (1985). The Satisfaction With Life
disimpulkan bahwa Subjective well-being Scale. Journal of Personality Assessment, 49(1),
mempunyai hubungan negatif yang 71–
signfikan dengan impulsive buying pada 75. https://doi.org/10.1207/s15327752jpa490
mahasiswa tingkat akhir Universitas 1_13
Negeri Padang. Semakin tinggi subjective
Diener, Ed; Suh, Eunkook M.; Lucas,
well being mahasiswa tingkat akhir maka Richard E.; Smith, Heidi L. (1999). Subjective
semakin rendah perilaku impulsive well-being: Three decades of progress.. , 125(2),
buying mahasiswa tingkat akhir, 276–302. DOI:10.1037/0033-2909.125.2.276
sebaliknya semakin rendah subjective
Diener, E. (2000). Subjective well-
well being mahasiswa tingkat akhir maka
being: The science of happiness and a proposal
semakin tinggi perilaku impulsive buying for a national index. American psychologist,
mahasiswa tingkat akhir Universitas 55(1), 34. https://doi.org/10.1037/0003-
Negeri Padang. 066X.55.1.34
Gambaran subjective well-being
Diener, E., & Biswas-Diener, R.
pada mahasiswa tingkat akhir di
(2008). Happiness: Unlocking the mysteries
Universitas Negeri Padang rata-rata ofpsychologicalwealth. BlackwellPublishing. http
berada pada kategori rendah. Gambaran s://doi.org/10.1002/9781444305159
impulsive buying pada mahasiswa tingkat
Diener, E., & Ryan, K. (2009). Subjective
2120
Hidayatul Maevani, Yolivia Irna Aviani
Hubungan Subjective Well-Being Dengan Perilaku Impulsive Buying Di E-Commerce Pada.….(Hal 2114-2122)

well-being: a general overview. South African Purnomo, A., Asitah, N., Rosyidah, E.,
Journal of Psychology, 39(4), 391–406. Septianto, A., Daryanti, M. D., & Firdaus, M.(2019).
https://doi.org/10.1177/00812463090390040 Generasi Z sebagai Generasi Wirausaha. 1–
4.https://doi.org/10.31227/osf.io/4m7kz
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E.
(2015). National accounts of subjective Putri, D. S., & Sakti K, D. V. (2020 ).
wellbeing. AmericanPsychologist,70(3),234242. h Hubungan antara Kesejaheraan Psikologis
ttps://doi.org/10.1037/a0038899 dengan Kecenderungan Pembelian Impulsive
pada Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Jackowska, M., Brown, J., Ronaldson, A., DIponegoro. Journal Empati, 8(3), 75-81.
& Steptoe, A. (2016). The impact of a brief
gratitude intervention on subjective well-being, Riegner, C. (2007), “Word of mouth on
biology and sleep. Journal of Health Psychology, the web: the impact of web 2.0 on consumer
21(10), 2207–2217. purchase decisions”, Journal of
https://doi.org/10.1177/1359105315572455 Advertising Research, Vol. 47 No. 4, pp. 436-447.

Jie, F. K., Yee, C. K., & Yin, L. S. (2022). Robustelli, B. L., & Whisman, M. A.
The Relationship between Online Impulsive (2018). Gratitude and life satisfaction in the
Buying Behaviour, Materialism, and Subjective United States and Japan. Journal of Happiness
Wellbeing among Malaysian Young Adults. Final Studies: An Interdisciplinary Forum on Subjective
Year Project, UTAR. Well-Being, 19(1), 41–
55. https://doi.org/10.1007/s10902-016-9802-
Kasser, T., Ryan, R. M., Couchman, C. E., 5
& Sheldon, K. M. (2004). Materialistic values:
Their causes and consequences. Psychology and Šeinauskienė, B., Maščinskienė, J., &
consumer culture: The struggle for a good life in a Jucaitytė, I. (2015). The Relationship of
materialistic world, 11–28. Happiness, Impulse Buying and Brand Loyalty.
https://doi.org/10.1037/10658-002 Procedia - Social and Behavioral Sciences, 213,
687–693.
Kurniawan, A. W., & Puspitaningtyas, Z.
(2016). Dalam Metode Penilitian Kuantitatif. Seinauskiene, B., Mascinskiene, J.,
Yogyakarta: PANDIVA BUKU. Petrike, I., & Rutelione, A. (2016). Materialism as
the mediator of the association between
Kerlinger, F. N. (1990). Asas-asas subjective well-being and impulsive buying
penelitian behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada tendency. Engineering Economics, 27(5), 549–
University Press. 606. https://doi.org/10.5755/j01.ee.27.5.13830

Manolis, C., & Roberts, J. A. (2012). Silvera, D. H., Lavack, A. M., & Kropp, F.
Subjective well-being among adolescent (2008). Impulse buying: the role of affect, social,
consumers: the effects of materialism, influence, and subjective wellbeing. Journal of
compulsive buying, and time affluence. Applied Consumer Marketing. 25, 23-33.
Research in Quality of Life, 7(2), 117–135.
https://doi.org/10. 1007/s11482-011-9155-5 Simanjuntaki, J. G. L. L. et all. (2021).
Psychological Well-Being sebagai Prediktor
Martínez-Martí, M. L., Avia, M. D., & Tingkat Kesepian Mahasiswa. 11(2), 150–162.
Hernández-Lloreda, M. J. (2010). The effects of https://doi.org/10.26740/jptt.v11n2.p158-175
counting blessings on subjective well-being: A
gratitude intervention in a Spanish sample. The Sneath, J. Z., Lacey, R., & Kennett-
Spanish Journal of Psychology, 13(2), 886– Hensel, P. A. (2009). Coping with a natural
896. https://doi.org/10.1017/S1138741600002 disaster: Losses, emotions, and impulsive and
535 compulsive buying. Marketing Letters, 20(1), 45–
60. https://doi.org/10.1007/s11002-008-9049-
Nadeem, H., Akmal, M., Omar, S., & y
Mumtaz, A. (2016). Impact of gender , education
and age on impulsive buying : Moderating role of Sofi, S., & Nika, F. A. (2017). Role of
consumer emotional intelligence. International intrinsic factors in impulsive buying decision: An
Journal of Transformation in Operational & empirical study of young consumers. Arab
Marketing Management, 2(1), 1–14. Economic and Business Journal, 29-43,
10.1016/j.aebj.2016.12.002.

2121
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 10 (4) (2023): 2114-2122

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian


Pendidikan Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung : Alfabeta

Sulistiowati, H., & Widodo, P. B. (2015).


Stres Dan Kecenderungan Pembelian Impulsif
pada Mahasiswa Universitas Diponegoro. Empati:
Jurnal Karya Ilmiah S1 Undip, 32-37, ISSN:2337-
375X.

Ui, F. E. (2016). Impulsive Buying. 99–


118. Verplanken, B., & Herabadi, A (2001).
Individual differences in impulse buying
tendency: feeling and no thinking. European
Journal of Personality, 71-83 (15),
DOI:10.1002/per.423.

Verplanken, B., & Herabadi, A. (2001).


Individual differences in impulse buying
tendency: feeling and no thinking. European
Journal of Personality, 71-83 (15), DOI:
10.1002/per.423.

Wibawanto, H. (2016). Generasi Z dan


Pembelajaran di Pendidikan Tinggi.Simposium
Nasional Pendidikan Tinggi, 1–12.

Winarsunu. (2009). Statistik dalam


penelitian psikologi & pendidikan. Malang :
UMMPres

Yolanda, A., & Rembulan, C. L. (2017).


Hubungan antara impulse buying dengan
financial well-being pada wanita early career.
Psychopreneur Journal, 20-34

Zahrádka, P., & Sedláková, R. (2012).


New perspectives on consumer culture theory
and research. Newcastle: Cambrige Scholars
Publishing

2122

Anda mungkin juga menyukai