Anda di halaman 1dari 8

Siti Qurrata Akyunina Shalihah

2220407003
22207.Qurrata.003@student.tazkia.ac.id
MKD-306- Islamic Economics Philosophy
Dr. Yulizar D. Sanrego, M. Ec., IFP

Perilaku Impulsive Buying Menurut Pandangan Islam

Pendahuluan

Dalam satu dasawarsa terakhir, inovasi teknologi informasi mengalami kemajuan yang
sangat pesat yang berdampak pada berbagai sektor. Data Kemenko Bidang Perekonomian
(Moergiarso, 2022) menunjukkan bahwa transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) di
kuartal I tahun 2022 mencapai Rp108.54 Trilyun dengan pertumbuhan 23%. Masyarakat juga
telah terbiasa melakukan transaksi pembayaran elektonik (e-payment), demikian pula
pembiayaan digital (e-financing) dalam pendanaan dengan bank atau lembaga keuangan.
Fenomena ini sejalan dengan meningkatnya pengguna e-commerce dalam memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat, karena Indonesia dengan total populasi penduduk kurang lebih
265 juta orang menjadi salah satu market online terbesar di dunia. Wolff (2020) menjelaskan
bahwa pada tahun 2022 terjadi peningkatan jumlah online shopper (pembeli/pelanggan online)
sebesar 65 juta pengguna dibandingkan data 2018 yakni sebesar 44 juta pengguna. Frekuensi
masyarakat untuk berbelanja online di e-commerce cenderung meningkat dalam beberapa tahun
terakhir, terlebih saat pandemi Covid-19 melanda. Belanja di e-commerce yang dinilai sangat
praktis dan mudah membuat banyak masyarakat lebih memilih berbelanja online dibandingkan
datang langsung ke toko.
Berdasarkan laporan Digital 2022 July Global Statshot yang dikeluarkan oleh We Are
Social, Thailand menempati peringkat pertama sebagai negara di Asia Tenggara yang
masyarakatnya paling sering berbelanja online. Tercatat sebanyak 66,5% masyarakat berusia 16-
64 tahun pengguna internet di Thailand berbelanja online setiap pekan, sementara Indonesia
berada di urutan keenam setelah Malaysia, Singapura, Vietnam dan Filipina dengan 58,3%
masyarakat melakukan belanja online dalam sepekan (Rizaty, 2022).
Penelitian oleh Komala (2018) menyatakan bahwa perilaku konsumsi penduduk di
Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara konsumtif dari total 106 negara yang
dijadikan sampel penelitian, jika dibandingkan dengan negara-negara lain dengan tingkat
pertumbuhan sektor ekonomi yang cukup baik seperti Skandinavia dan Swiss, yang justru
keduanya menempati urutan ke 60 dan 70.
Meskipun dari sisi psikologis keseharian aktivitas konsumsi penduduk Indonesia diakui
penuh optimisme, hal ini bukanlah sebuah prestasi yang patut untuk dibanggakan. Justru
sebaliknya, Kementerian Keuangan (2022) telah menghimbau mengenai petaka yang akan
terjadi di era modern akibat perilaku konsumtif karena konsumerisme tanpa disadari sudah
menjadi budaya dan menjurus menjadi penyakit sosial yang berpotensi menciptakan masyarakat
individualis dan materialis, bahkan mengarah kepada perilaku hedonisme. Fenomena inilah yang
dinamakan impulsive buying.
Secara umum, impulsive buying diartikan sebagai keinginan yang tidak direncanakan
konsumen untuk membeli suatu produk (Mathai et al., 2014). Dalam konteks belanja online,
impulsive buying didefinisikan sebagai dorongan saat membeli tanpa adanya niat atau intensi
sebelumnya yang disebabkan berbagai faktor (Singh, 2018). Lebih lanjut, dilihat dari aspek
psikologis, Verplanken dan Sato (2011) menunjukkan bahwa impulsive buying dapat
menggambarkan perilaku paradoks seorang pelanggan; di satu sisi, impulsive buying dikaitkan
dengan kesenangan, tetapi di sisi lain, impulsive buying berhubungan dengan emosi negatif
seseorang, sehingga diperlukan self-control yang baik untuk dapat menghindari diri dari perilaku
konsumtif berlebihan tersebut.
Dalam islam, setiap insan dituntun untuk membeli barang secara asertif untuk
menghindari adanya mubadzir sebagaimana dijelaskan dalam QS Al- Isra’: 29 yang artinya:
“Janganlah Engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan pula engkau
mengulurkannya secara berlebihan sebab nanti engkau menjadi tercela lagi menyesal.”
Hal ini bertolak belakang dengan fenomena perilaku konsumtif sebagaimana
dijelaskan diatas sehingga hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengkaji lebih dalam
mengenai perilaku konsumsi impulsive buying menurut pandangan Islam dan faktor apa saja
yang mempengaruhi impulsive buying di era digital.
Pembahasan
A. Consumer Decision Making
Saat proses transaksi, pembeli tentunya harus melakukan decision making untuk
memastikan kembali apakah ia sepakat untuk membeli barang yang ditawarkan penjual. Dalam
islam, hal ini dikenal sebagai khiyar. Ada beberapa karakteristik konsumen dalam decision
making yang merepresentasikan keputusan pembeli dalam aktivitas jual beli (Azmi & Salwa,
2018). Karakteristik konsumen pertama, yakni konsumen yang memiliki tingkat kehati-hatian
(concern) yang tinggi dalam membeli barang. Mereka melakukan observasi secara komprehensif
terhadap fungsi dan harga wajar dari barang yang akan dibeli dan tidak akan tertarik pada sebuah
barang/jasa hanya karena visual dari produk tersebut, melainkan juga kualitas dan fungsi dari
produk yang akan dibeli. Kategori inilah yang cenderung tidak melakukan impulsive buying.
Karakteristik selanjutnya, yakni konsumen yang memiliki concern dan pengetahuan
khusus mengenai brand kekinian, sehingga mereka lebih menyukai produk-produk branded,
terkenal, eksklusif dan barang-barang dengan harga yang relatif mahal karena mereka berpikir
bahwa kualitas yang bagus didapatkan dari harga yang mahal. Disamping itu, terdapat pula
konsumen yang memiliki keinginan tinggi untuk mencoba produk baru di pasaran. Mereka
tertarik dengan produk-produk edisi terbatas (limited editions) dan akan sangat bangga untuk
menjadi yang pertama menggunakan produk tersebut di sosial media.
Tak hanya itu, ada pula konsumen yang memutuskan untuk membeli sebuah produk
berdasarkan feeling-nya saat melihat produk tersebut, dengan kata lain merupakan contoh dari
perilaku hedonisme. Mereka hanya menganggap “berbelanja adalah hal yang menyenangkan”
dan hiburan bagi mereka di saat-saat tertentu. Karakter konsumen ini akan cenderung rela
membeli apapun selama mereka merasakan kesenangan dan kepuasan. Sementara itu, ada pula
konsumen yang melakukan pembelian dengan mempertimbangkan aspek value for money,
sehingga kategori konsumen ini cenderung akan membeli sebuah produk pada season tertentu
saat ada potongan harga dan lain sebagainya.
Perilaku impulsive buying sebagaimana dijelaskan diatas akan mengakibatkan adanya
permasalahan keuangan seperti timbulnya hutang untuk memenuhi tuntutan sosial; mengikuti
tren fashion, mengunjungi workspace baru, dan selalu ingin menjadi trend setter. Hal ini
disebabkan karena orang-orang yang memiliki perilaku impulsive buying tidak memperdulikan
mengenai penggunaan uang dan seberapa banyak uang yang mereka keluarkan.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impulsive Buying
Venia & Marzuki (2021) menyampaikan dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku impulsive buying pada generasi Z dikelompokkan menjadi tiga
faktor, yaitu:
1. Faktor Gaya Hidup
Generasi Z cenderung melakukan impulsive buying ketika sebuah produk
ataupun jasa yang ditawarkan pada e-commerce sesuai dengan minat mereka.
Artinya ketika produk atau jasa yang ditawarkan oleh e-commerce semakin sesuai
dengan minat mereka, maka semakin tinggi pula perilaku impulse buying yang
dipengaruhi oleh gaya hidup pada generasi Z. Namun, apabila produk atau jasa yang
ditawarkan dinilai kurang sesuai dengan minat konsumen khususnya generasi Z,
maka konsumen cenderung tidak melakukan impulse buying.
2. Faktor Promosi Penjualan
Metode cashback yang diberikan oleh e-commerce merupakan faktor utama
yang mempengaruhi dan menarik generasi Z untuk melakukan impulse buying pada
e-commerce. Ketika e-commerce memberikan stimulus promosi penjualan berupa
cashback, generasi Z cenderung tertarik untuk melakukan pembelian tidak
terencana atau impulse buying. Hal tersebut disebabkan oleh konsumen generasi Z
yang kebanyakan memiliki sifat “tidak ingin kehilangan kesempatan” untuk
mendapatkan keuntungan atau harga yang lebih murah atau lebih dikenal dengan
istilah FOMO (fear of missing out) terhadap produk atau jasa yang ia inginkan.
3. Faktor Motivasi Belanja Hedonis
Berdasarkan hasil penelitian, motivasi belanja hedonis pada generasi Z
ditimbulkan karena adanya diskon yang diberikan oleh e-commerce. Hal tersebut
dapat menyebabkan generasi Z melakukan impulse buying atau pembelian yang
tidak direncanakan sebelumnya pada e-commerce. Konsumen generasi Z cenderung
melakukan pembelian tidak terencana untuk mendapat keuntungan berupa
potongan harga. Ketika e-commerce memberikan penawaran berupa diskon, maka
semakin tinggi kemungkinan konsumen generasi Z untuk melakukan pembelian
tidak terencana atau impulse buying.
C. Perilaku Impulsive Buying dalam Perspektif Islam
Seorang muslim harus mengetahui bahwa tujuan utama manusia diciptakan dengan nafsu
adalah untuk menggerakkannya agar kebutuhannya terpenuhi sehingga dapat menjalankan
fungsinya sebagai hamba Allah, yaitu beribadah karena secara garis besar, islam
mendefinisikan segala aktifitas ekonomi sebagai ibadah dan segala perilaku manusia sebagai
ibadah saat semuanya diniatkan karena Allah. Dalam bermuamalah, setiap muslim dituntut
untuk dapat bisa membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi
keinginannya agar tetap dapat menjaga keseimbangan maqashid syariah.
Hal yang menjadi pembeda antara kebutuhan dan keinginan adalah jika aspek kebutuhan
seseorang tidak dapat dipenuhi, maka salah satu maqashid syariah nya akan terancam dan
dapat membahayakan nyawa seorang mukallaf. Sedangkan keinginan merupakan aspek yang
jika tidak dipenuhi, maka tidak membahayakan nyawa dari seorang mukallaf, hanya saja
terdapat beberapa kesulitan jika aspek tersebut tidak terpenuhi. Kebutuhan (Al-Hajah) lebih
didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara
keinginan (Al- Syahwah /wants) didefinisikan sebagai desire (keinginan) manusia atas segala
hal.
Dalam perspektif Imam Al-Ghazali, kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah yang
tidak dapat dipisahkan dengan tuntutan maqashid syariah. Argumentasi ini telah membedakan
antara keinginan dan kebutuhan (hajah), sebagai sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi
memiliki konsekuensi yang amat besar dalam ilmu ekonomi, termasuk kaitannya dengan
konsep perilaku impulse buying. Hingga saat ini, umumnya orang berpendapat bahwa
kebutuhan manusia terbagi menjadi tiga hal yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
Demikian juga Al-Ghazali membagi kebutuhan manusia menjadi tiga bagian dilihat dari
subtansi maslahahnya yaitu: Pertama, daruriyyah yaitu tujuan yang menempati posisi darurat
(kebutuhan primer). Kedua, hajjiyah yaitu kebutuhan menempati posisi hajat (kebutuhan
skunder). Ketiga, tahsiniyyat (kebutuhan pelengkap), yang berada di bawah hajat.
Allah SWT berfirman dalam QS Al- Hasyr: 18 yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat diatas menyiratkan secara implisit bahwa kita semua dituntun untuk selalu memiliki
perencanaan yang baik dalam hidup, begitu juga dalam hal berkonsumsi. Kebutuhan dan
keinginan konsumen selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan teknologi
ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya, sehingga mempengaruhi sistem pola konsumsi
masyarakat, sehingga unsur maslahah (manfaat) dari barang yang dikonsumsi, sangat perlu
diperhatikan oleh konsumen muslim. Kegiatan konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peran
keimanan yang menjadi tolak ukur penting, karena dapat mengubah sudut pandang terhadap
dunia, diantaranya dalam aspek perilaku dan gaya hidup.
Komala (2018) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa Al- Ghazali memberikan
peringatan kepada perilaku konsumen untuk tidak sibuk pada syahwah (keinginan) saja,
dengan pernyataan sebagai berikut: “Janganlah engkau membiasakan dirimu sibuk mengurusi
berbagai keinginan seperti pakaian kebesaran atau memakan makanan lezat. Akan tetapi,
hendaklah engkau bersikap Qana’ah dalam setiap perkara.”
Terdapat lima pokok pemikiran Al-Ghazali mengenai perilaku konsumsi yang perlu
diperhatikan oleh kaum Muslimin yaitu:

1. Aktivitas konsumsi tidak sekedar memenuhi kepuasan semata, tetapi dilakukan atas
dasar ketaatan kepada Allah SWT, dengan penuh keyakinan.
2. Sumber pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa yang akan dikonsumsi harus
sesuai dengan ajaran Islam. Artinya sumber dana yang diperolehnya harus benar,
bukan hasil mencuri atau menipu dan lain sebagainya.
3. Barang dan jasa yang dikonsumsinya harus halal.
4. Bersikap pertengahan dalam konsumsi. Artinya, dalam berkonsumsi tidak boleh kikir
dan tidak boleh berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta karena hal tersebut
bertentangan dengan syariat Allah SWT. Kaum Muslimin harus menghindari dua
perilaku setan, yaitu berlebih-lebihan dan merusak dalam setiap aktivitasnya.
5. Konsumsi harus sesuai dengan adab atau norma, nilai syariat Islam. Artinya, ketika
makan atau minum, seorang yang beradab harus menggunakan tangan kanan, duduk
dan tidak bercakap-cakap.

Realita perilaku konsumsi masyarakat saat ini sebagaimana dijabarkan sebelumnya lebih
banyak bertolak belakang dengan konsep konsumsi yang disampaikan Imam Al-Ghazali.
Manusia konsumtif mungkin akan memiliki kepuasan dan kebahagiaan tersendiri jika bisa
memiliki barang yang diinginkannya. Namun, kesenangan ini hanyalah kesenangan semata.
Jika saja penduduk kalangan menengah kebawah memiliki perilaku impulsive buying yang
sama dengan kalangan menengah ke atas, maka mereka akan menghalalkan segala cara untuk
dapat memenuhi keinginannya seperti mencuri, merampok, berjudi, dan lain sebagainya. Selain
itu, Dampak negatif dari hidup bermewah-mewahan adalah adanya stagnasi dalam peredaran
sumber daya ekonomi serta terjadinya distorsi dalam pendistribusian. Imam Al-Ghazali
mendefinisikan masalah ekonomi terkait konsumsi ini disebabkan karena keinginan manusia
yang tidak terbatas, sementara Islam memandang bahwa keinginan manusia itu terbatas
sebagaimana difirmankan dalam QS Al-Qamar: 49 yang artinya: “Sesungguhnya kami telah
menciptakan segala sesuatu yang ada di alam ini sesuai dengan ukurannya.”

Al-Qur’an mendefinisikan perilaku konsumerisme sebagai sikap israaf dan tabzir.


Perilaku israaf diartikan sebagai pengonsumsian sesuatu yang pada dasarnya halal, namun
terlarang karena kadarnya yang berlebihan. Sedangkan tabzir diartikan sebagai sikap
konsumtif yang melampaui batas secara mutlak terhadap segala sesuatu. Islam menggugat
perilaku konsumtif ummatnya karena dapat membentuk karakter hedonis masyarakat yang
dapat mengurangi empati dan solidaritas sesama karena adanya kecemburuan sosial satu sama
lain. Selain itu, dengan adanya perilaku konsumtif, manusia juga menjadi lebih serakah dan
selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dari segi apapun dan menjadikannya sebagai
pribadi yang tidak bersyukur.

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa impulsive buying disebabkan karena
berbagai faktor, diantaranya yakni faktor gaya hidup, promosi penjualan dan motivasi belanja
hedonis. Dalam perspektif Imam Al-Ghazali, kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah,
yang tidak dapat dipisahkan dengan tuntunan maqashid syariah. Prinsip konsumsi yang
disyari’atkan dalam Al-Qur’an meliputi empat prinsip utama yaitu:

1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan


2. Membeli produk/jasa sesuai kebutuhan, bukan keinginan
3. Mengimplementasikan kewajiban berzakat dan berinfak shadaqah
4. Menghindari transaksi riba
5. Menjalankan transaksi yang halal; mulai dari produk atau komoditi, proses produksi,
distribusi hingga konsumsi.
DAFTAR PUSTAKA

Azmi, I., & Salwa, S. (2018). Impulsive Buying Behaviour from Islamic Perspective: A Conceptual
Paper. https://kuiv2018.wixsite.com/imdec2018/e-proceedings
Kementerian Keuangan RI. (2022). Perilaku Konsumtif Pembawa Petaka di Era Digital.
Kemenko. (2022, August 3). Kemenko: Nilai transaksi e-commerce RI kuartal I Rp108,54 triliun.
ANTARA NEWS.
Komala, C. (2018). Perilaku Konsumsi Impulsive Buying Perspektif Imam Al-Ghazali. Jurnal
Perspektif, 2(2).
Mathai, S. T., Haridas, R., & Professor, A. (2014). Personality-its impact on impulse buying behaviour
among the retail customers in Kochin city. IOS Journal of Business and Management (IOSR-
JBM), 16, 48–55. www.iosrjournals.orgwww.iosrjournals.org
Rizaty, M. (2022). Daftar Negara ASEAN yang Warganya Paling Sering Belanja Online.
Singh, S. (2018). A Comprehensive Structural Equation Modeling for E-Impulse Buying. Academy of
Marketing Studies Jorunal, 2(1).
Venia, M., & Marzuki, F. (2021). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Impulsive Buying
(Studi Kasus Pada Generasi Z Pengguna e-Commerce). Konferensi Riset Nasional Ekonomi,
Manajemen Dan Akuntansi, 2, 929–941.
Wolff, H. (2020). Number of Online Buyers in 2017-2022.

Anda mungkin juga menyukai