Anda di halaman 1dari 5

Pembagian hadits

1. Tafsir dari segi tinjauan ilmiah ada tiga macam


a. Tafsir biriwayah/ tafsir bil mangul/ tafsir bil mas'ul
b. Tafsir Birayah/ tafsir Birayu
c. Menaksir ayat berdasarkan logika atau akal manusia
d. Tafsir bil isyarah alquran atau ayat alquran ditafsirkan dengan
disyaratkan berdasarkan batiniyah
a. Tafsir biriwayah/ tafsir bil mangul/ tafsir bil mas'ul
Yaitu ayat alquran yang ditafsirkan berdasarkan ayat alquran itu sendiri, tafsir bil mas'ul yaitu
ayat dengan ayat, ayat dengan hadis atau ayat ditafsirkan dengan pendapat sahabat.
"Karena sebagaimana pendapat ulama bahwa alquran itu saling menafsirkan ayat yang satu
dengan yang lain, mungkin dalam ayat terlihat umum namun dikhususkan oleh surah yang
lain"
-> alquran ditafsirkan dengan alquran
1. Seperti Qs. Al-maidah (1)
Pada dasarnya semua hewan ternak itu halal untuk dimakan, kecuali diharamkan pada
ayat 3 dengan surah yang sama yaitu(Qs. Al-maidah (3)
Jadi ayat 1 Qs. Al-maidah ditafsirkan dengan ayat qs. Al-maidah:3
2. Ayat 1 dan 2 Qs. At-toriq ditafsirkan oleh ayat(3)
3. Qs. AL-baqarah(37) ditafsirkan oleh al- a'raf (2)
4. Qs. Al-Qadr(3)
 
-> ayat dengan hadis
1. Qs. Al- An'am:83 dengan hadis nabi " setelah ayat itu turun para sahabat merasa
gelisah kemudian mengatakan ya rasul allah betapa susahnya untuk
mendapatkan keselamatan di hari kemudian yang tidak ada seseorang pun di
antara kami tidak ada yang pernah berbuat zalim/ aniayah maka nabi
mengatakan. Bahwa yang dimaksud kata zalim pada ayat adalah berbuat syirik
kepada allah maka beliau menunjukkan penjelasan pada QS. Al-luqman ayat 13
sehingga kesulitan itu adalah aniaya yang besar
-> tafsir bi'rayih berdasarkan rasio akal pikiran manusia
Pendapat Para Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra'yi
 Pra-Kontra Ulama Terhadap Tafsir Bi Al-Ra’yi
Dari dahulu, ulama berbeda pendapat mengenai tafsir bi al-ra’yi. Sebagian ulama
dan mufassir menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan sendiri ayat
Al-Qur’an, meski ia dikatakan alim (Ulama), mengerti bahasa dan sastra Arab
(Adib), banyak menguasai dalil-dalil agama, mengerti ilmu nahwu, hadits Nabi Saw
dan mengetahui atsar para sahabat Nabi Saw. yang diperbolehkan hanyalah
menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw melalui
para sahabat dan tabi’in.[1]
Sementara itu sebagian ulama yang lain berpandangan sebaliknya. Mereka
berpandangan bahwa bagi mereka yang memiliki pengetahuan luas, hendaknya
menafsirkan Al-Qur’an dengan akal dan ijtihadnya.
Kelompok ulama yang menolak tafsir bi al-ra’yi mengemukakan beberapa
argumen sebagai berikut :
Pertama, tafsir bi al-ra’yi adalah menafsirkan atau berbicara mengenai firman
Allah SWT tanpa ilmu. Tentu saja ini tidak diperbolehkan. Menurut para penolak
tafsir bi al-ra’yi, orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir bi al-ra’yi tidak
yakin bahwa apa yang mereka kemukakan sama dengan yang dikehendaki Allah
SWT. Artinya mufassir tafsir bi al-ra’yi hanya berdasarkan pada perkiraan (Dzhan)
saja. Menafsirkan atas dasar dzhan adalah menafsirkan ayat Allah SWT dengan
tanpa ilmu. Ini dilarang sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-A’raf [7] : 33
ْ ُ‫وا بِٱهَّلل ِ َما لَمۡ يُنَ ِّز ۡل بِ ِهۦ س ُۡل ٰطَ ٗنا َوأَن تَقُول‬
‫وا‬ ِّ ‫ش َما ظَهَ َر ِم ۡنهَا َو َما بَطَنَ َوٱإۡل ِ ۡث َم َو ۡٱلبَ ۡغ َي بِغ َۡي ِر ۡٱل َح‬
ْ ‫ق َوأَن تُ ۡش ِر ُك‬ َ ‫قُ ۡل إِنَّ َما َح َّر َم َرب َِّي ۡٱلفَ ٰ َو ِح‬
٣٣ َ‫َعلَى ٱهَّلل ِ َما اَل ت َۡعلَ ُمون‬

33. Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui"
Para pendukung tafsir bi al-ra’yi membantah argumen di atas. Menurut mereka,
bagaimana pun dzhan  juga bisa dibenarkan sebagai ilmu, jika memang memiliki
potensi kebenaran yang dominan. Menurut mereka, dzhan  bisa jadi sumber
kebenaran, terutama bila memang tidak ada yang qath’i. Ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah [2] : 286
‫ص ٗرا َك َما‬ ۡ ِ‫اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ ن َۡفسًا إِاَّل ُو ۡس َعهَ ۚا لَهَا َما َك َسبَ ۡت َو َعلَ ۡيهَا َما ۡٱكتَ َسبَ ۡ ۗت َربَّنَا اَل تُؤَ ا ِخ ۡذنَٓا إِن نَّ ِسينَٓا أَ ۡو أَ ۡخطَ ۡأن َۚا َربَّنَا َواَل ت َۡح ِم ۡل َعلَ ۡينَٓا إ‬
‫ٱغفِ ۡر لَنَا َو ۡٱر َحمۡ ن َۚٓا أَنتَ َم ۡولَ ٰىنَا فَٱنص ُۡرنَا َعلَى ۡٱلقَ ۡو ِم‬ ۡ ‫ٱعفُ َعنَّا َو‬ ۡ ‫َح َم ۡلتَهۥُ َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡبلِن َۚا َربَّنَا َواَل تُ َح ِّم ۡلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا بِ ِۖۦه َو‬
  َ‫ۡٱل ٰ َكفِ ِرين‬

286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia


mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir”
Kedua, sebagian ulama menolak tafsir bi al-ra’yi karena berkeyakinan bahwa yang
berhak menjelaskan Al-Qur’an hanya Nabi Muhammad Saw, baik melalui
perbuatan, perkataan, atau penetapan dan sikap serta sifat beliau. Argumen ini
dilandaskan pada Q.S An-Nahl [16] : 44
ۡ
ِ َّ‫ٱلزب ۗ ُِر َوأَنزَ لنَٓا إِلَ ۡيكَ ٱل ِّذ ۡك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬
٤٤ َ‫اس َما نُ ِّز َل إِلَ ۡي ِهمۡ َولَ َعلَّهُمۡ يَتَفَ َّكرُون‬ ِ َ‫بِ ۡٱلبَيِّ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬

44. keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al


Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan.
Para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi, membantah argumen di atas. Menurut
mereka, ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, maka penjelasan Al-Qur’an
memang menjadi otoritas beliau. Tetapi sepeninggal Nabi Saw, sementara
masalah-masalah baru bermunculan, maka penjelasan mengenai masalah-masalah
tersebut, khususnya terkait tafsil Al-Qur’an, adalah penafsiran yang dilakukan oleh
ulama (Mufassir) dengan menggunakan akal dan ijtihadnya. Ini sesuai dengan
akhir Q.S An-Nahl [16] : 44
َ‫ولَ َعلَّهُمۡ يَتَفَ َّكرُون‬    
َ
Artinya :  “...dan upaya mereka memikirkan”
Ketiga, kelompok ulama yang menolak tafsir bi al-ra’yi, mendasarkan argumennya
pada hadits yang mengharamkan penafsiran Al-Qur’an dengan akal (Ra’yi). Berikut
hadits yang menjadi sandaran mereka
) ‫من قال فى القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار ( رواه الترمذى‬
Artinya : Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan logikanya, maka disediakan
tempatnya di api neraka. (H.R Al-Turmudzi)
Juga didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Jundb berikut ini :
‫من قال فى القرآن برأيه فاصاب فقد اخطأ‬
Artinya : Siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya, lalu benar
pendapatnya, maka dia melakukan kekeliruan
Para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi membantah alasan penolakan tafsir bi al-
ra’yi dengan menggunakan dua hadits di atas. Menurut mereka, larangan ini
dimaksudkan bagi orang yang menafsirkan Al-Quran dengan kecenderungan dan
hawa nafsunya saja, tanpa dalil. Larangan itu juga dimaksudkan khusus bagi ayat
atau lafadz di dalam Al-Qur’an yang mengandung musykilat dan mutasyabihat,
yang hanya bisa dipahami dengan penjelasan dari Nabi Saw. sedangkan bagi ayat-
ayat yang tidak mengandung musykilat dan mutasyabihat, tentu saja tidak ada
larangan menafsirkannya dengan dasar ijtihad. Dan juga bagi orang yang
menafsirkan ayat dengan berpegang pada dalil dan pertimbangan akal sehat tentu
saja juga dibolehkan.[2]
Keempat, kelompok ulama yang menolak tafsir bi al-ra’yi juga mendasarkan
argumennya pada fakta bahwa para sahabat dan tabi’in sangat menghormati tafsir
Al-Qur’an dang menghindari penggunaan akal. Untuk menyebut salah satu contoh,
misalnya saja Sa’id Ibn Musib, ketika ditanya soal halal dan haram, dia menjawab.
Tetapi, ketika ditanya tentang tafsir salah satu ayat Al-Qur’an, maka ia akan diam
seolah tidak mendengar apa pun. Diriwayatkan juga bahwa Abu Bakar r.a ketika
ditanya tentang tafsir satu huruf dari Al-Qur’an, dia menjawab, “Di langit manapun
aku bisa berteduh, di bumi manapun aku bisa berpindah-pindah, kemanapun aku
bisa pergi, tetapi bagaimana aku bisa berbicara tentang satu huruf falam Al-Qur’an
dengan bersebrangan dengan yang dikehendaki Allah SWT.”
Pada argumen yang keempat di atas, para pendukung tafsir bi al-ra’yi menyatakan
bahwa keengganan para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan Al-Qur’an atas
dasar ijtihad (Ra’yu), itu selain karena sikap hati-hati mereka, juga karena mereka
belum tahu kebenaran dengan pertimbangan ijtihad (Ra’yu) yang dikemukakan.
Fakta menunjukkan bahwa ketika mereka mengetahui kebenarannya, maka
pertimbangan dengan ijtihad itu dilakukan meski kebenarannya masih dzhan.
Selain empat argumen dari kelompok penentang tafsir bi al-ra’yi di atas, lengkap
dengan sanggahan-sanggahan dari para pendukungnya, berikut ini dikemukakan
juga argumen-argumen yang mendasari kelompok ulama pendukung tafsir bi al-
ra’yi.[3]
Pertama, para ulama pengusung tafsir bi al-ra’yi berargumen bahwa Allah SWT
sendiri dalam banyak ayat di Al-Qur’an menganjurkan penggunaan akal,
pemikiran, perenungan dan penelitian. Sebagaimana dalam ayat-ayat Al-Qur’an
berikut dalam Q.S An-Nisa [4] : 82
ٗ ِ‫ٱختِ ٰلَ ٗفا َكث‬
٨٢ ‫يرا‬ ْ ‫أَفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ۡٱلقُ ۡر َء ۚانَ َولَ ۡو َكانَ ِم ۡن ِعن ِد غ َۡي ِر ٱهَّلل ِ لَ َو َجد‬
ۡ ‫ُوا فِي ِه‬

82. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya
Serta dan dalam Q.S Shad [38] : 29
ِ َ‫وا ٱأۡل َ ۡل ٰب‬
٢٩ ‫ب‬ َ ‫ِك ٰتَبٌ أَنزَ ۡل ٰنَهُ ِإلَ ۡي‬
ْ ُ‫ك لِّيَ َّدبَّر ُٓو ْا َءا ٰيَتِ ِهۦ َولِيَتَ َذ َّك َر أُوْ ل‬ٞ ‫ك ُم ٰبَ َر‬

29. Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-
orang yang mempunyai fikiran
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT menganjurkan pada hamba-Nya
untuk berfikir, merenung, dan menggunakan akal, juga agar melakukan penelitian
terhadap Al-Qur’an.
Kedua, para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi mengatakan : “Seandainya tafsir bi
al-ra’yi tidak diperbolehkan, lalu mengapa ijtihad diperbolehkan? Seorang
mujtahid dalam hukum syara’ diberi pahala dua jika benar dan diberi satu pahala
jika salah. Jadi jelas penolakan tafsir bi al-ra’yi tidaklah benar.”
Ketiga, para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi berargumen bahwa para sahabat
Nabi Saw dalam menafsirkan Al-Qur’an ada sedikit perbedaan. Ini karena mereka
belum mendapatkan penjelasan seluruh makna Al-Qur’an dari Nabi Saw, mereka
baru mendapat penjelasan dari Nabi Saw sebahagian Al-Qur’an, maka mereka
menggunakan akal dan ijtihadnya. Seandainya menafsirkan Al-Qur’an dengan
logika dilarang, tentu para sahabat telah menyalahi dan melakukan apa yang telah
Allah SWT haramkan. Tentu saja para sahabat tidak menyalahi dan berani
melakukan apa yang diharamkan Allah SWT.
Keempat, para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi menguatkan pandangannya
dengan mengemukakan fakta bahwa Nabi Muhammad Saw berdoa untuk Ibnu
Abbas yang berbunyi :
‫اللهم فقهه فى الدين و علمه التأويل‬
Artinya : Ya Allah berilah pemahaman pada Ibnu Abbas dalam masalah agama, dan
ajarkanlah Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Melihat pro-kontra para ulama mengenai tafsir bi al-ra’yi tersebut, maka Imam Al-
Ghazali menyatakan bahwa : “Di dalam menafsirkan (Menta’wilkan) Al-Qur’an
tidaklah disyaratkan mendengar penjelasan langsung dari Rasululllah Saw, setiap
orang boleh saja memahami Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan batas
akalnya.”

Anda mungkin juga menyukai