Anda di halaman 1dari 3

KONDISI PENGELOLAAN E-WASTE DI INDONESIA

E-waste atau sampah elektronik adalah barang-barang elektronik dan peralatan elektrik yang sudah
tidak dapat digunakan dan atau sudah tidak diinginkan lagi dikarenakan telah using ataupun rusak
sehingga perlu dibuang, baik dalam bentuk keseluruhan atau sebagai bagian. Adapun, kesadaran akan
permasalahan E waste di Indonesia relatif masih tertinggal. Hal ini terlihat dari bagaimana sampai saat
ini kata e-waste umumnya belum menjadi istilah yang familiar di Indonesia. Salah satu penyebabnya
adalah masih minimnya informasi mengenai E-waste serta terdapat perbedaan paham antar institusi
mengenai E-waste dan tata cara pengelolaannya ditingkat pemerintahan. Penyebab lainnya adalah
ketidaksediaan data yang akurat mengenai jumlah penggunaan barang-barang elektronik di Indonesia.
Tidak adanya ketentuan teknis lainnya tentang umur barang yang dapat diolah kembali juga menjadi
penyebab masih lemahnya pengelolaan e-waste di Indonesia. Pada tiap jenis e-waste atau barang
elektronik di Indonesia, masing-masing mempunyai umur pakai tertentu, dimana jika sudah habis
umurnya, dapat meningkatkan volume limbah e-waste di Indonesia. Sumber e-waste di Indonesia
umumnya berasal dari skala rumah tangga. Selain itu, e-waste juga ada yang berasal dari impor luar
negeri dan pasar gelap atau black market.

Terkait pengelolaan e-waste di Indonesia hingga saat ini, belum terdapat peraturan-peraturan atau
regulasi yang spesifik mengenai pengelolaan e-waste. E-waste yang ditangani oleh sektor informal
berasal dari peralatan elektronik yang sudah rusak. Peralatan elektronik yang telah rusak diambil oleh
pemulung, Selanjutnya, pemulung membawa ke agen sampah atau pengepul. Kemudian, alat elektronik
yang berada di agen sampah diperbaiki, dibongkar, dan didaur ulang. Hal ini menyebabkan e-waste
memiliki nilai jual. Dimana hasil penanganan e-waste dijual ke konsumen, sedangkan e-waste yang
sudah tidak memiliki nilai jual lagi dibuang ke landfill. Namun, di landfill tidak ditemukan e-waste secara
signifikan. Pada sektor informal, e-waste yang timbul dikelola oleh toko service, pemulung, dan toko
pengumpul sampah skala menengah. Kemudian e-waste tersebut pada akhirnya didaur ulang atau
dilebur, kemudian diserahkan ke toko pengumpul sampah skala besar. Dari toko pengumpul sampah
skala besar, e-waste yang dihasilkan akan dibawa pemulung ke landfill lalu dibuang ke luar kota atau
diekspor.

Umumnya, masyarakat di Indonesia memperlakukan barang-barang elektronik rusak dengan


memperbaikinya di jasa servis. Sebagian barang-barang produk elektronik yang rusak dan tidak dipakai
lagi, tidak dibuang langsung di tempat pembuangan resmi. Pada beberapa daerah biasanya terdapat
komunitas pengepul yang akan dating ke tiap rumah untuk membeli sampah elektronik masyarakat
yang bekas ataupun tidak dipakai dan telah rusak. Kemudian, sebagian dari hasil pembelian oleh
pengepul ini dapat dijual lagi ke pengepul tingkat lanjut untuk dilakukan pembongkaran dan pemisahan
berdasarkan kesamaan material. Adapun sebagiannya lagi ditawarkan kepada pihak usaha bengkel
reparasi dan jasa servis. Untuk yang terakhir ini, sebagian komponen dan rakitan digunakan kembali
(reuse) secara langsung sebagai barang dan atau dilakukan proses manufaktur kembali
(remanufacturing) untuk mendapatkan produk bekas tetapi terasa baru karena masih dapat digunakan.

Fasilitas pengolahan limbah elektronik masih sulit ditemui, sehingga masih ada masyarakat yang
membuangnya secara langsung di tempat pembuangan akhir. Jumlah limbah elektronik di Indonesia
yang tidak terkendali menunjukkan bagaimana perlunya pengelolaan limbah elektronik dengan metode
yang sistematis. Adapun pengelolaan limbah elektronik dengan metode pembakaran (combution) tidak
baik karena berpotensi menimbulkan polusi udara yang mengandung timbal yang sangat berbahaya.
Selain itu,kondisi pengelolaan limbah di Indonesia juga ditunjukkan dengan penggunaan teknologi yang
masih relatif sederhana berupa pemisahan mekanis tanpa ada penanganan khusus untuk bahan beracun
dan berbahaya.

Referensi: Astuti, W. (2013). Pengelolaan Limbah Elektronik (Electronic Waste) Terpadu: Sektor Formal
dan Informal di Indonesia. Dinamika Sains, 11(26).

Rekomendasi Untuk Pengelolaan E-waste di Indonesia

Indonesia memerlukan kebijakan dan peraturan mengenai pengelolaan e-waste secara spesifik.
Rancangan peraturan e-waste berisi tentang: 1. Klasifikasi antara e-waste dengan alat elektronik bekas
2. Sistem pengelolaan melalui: a. Extended Producer Responsibility (EPR) b.Partisipasi pemerintah mulai
dari tingkat nasional, propinsi, sampai daerah c. Anggaran dana d. Program 3R, yaitu Reuse, Recycle, dan
Recovery Sistem EPR juga dapat diterapkan di Indonesia dalam pengelolaan e-waste. EPR merupakan
suatu sistem dimana produsen akan bertanggungjawab atas barang yang dibuat sampai barang tersebut
tidak dipakai lagi. Pengelolaan dengan model ini diharapkan peran produsen dalam pengendalian
penggunaan energi dan bahan baku dapat lebih ditekan. Selain itu produsen bertanggung jawab
mengambil kembali (take back) produk-produk yang tidak terpakai lagi guna dilakukan proses recovery
dan daur ulang. Selain itu produsen juga bertanggung jawab terhadap material dan desain dari produk.
Selain itu, penegakkan hukum mengenai kegiatan ekspor dan impor e-waste juga diperlukan. Sistem
pengawasan ketat di pelabuhan diperlukan, terutama pada pelabuhan-pelabuhan strategis seperti
Batam dan Wakatobi.

Referensi : Setyanto, I. C., & Trihadiningrum, Y. (2017). Kajian Pengelolaan Limbah Elektronik di Unit
Pendidikan ITS. Jurnal Teknik ITS, 6(2), D173-D179.

(Sudaryanto, 2010).

Referensi: Sadah, K., Fuada, S., & Hidayati, N. (2015). Model Baru Dalam Penanganan Limbah
Elektronik Di Indonesia Berbasis Integrasi Seni. Prosiding Sentia 2015 Politeknik Malang, 7.

Industri pengelola limbah elektronik resmi adalah ujung tombak dalam pengelolaan limbah elektronik
yang berwawasan lingkungan. Untuk itu kinerjanya perlu dioptimalkan. Untuk mengatasi masalah
tersebut, diperlukan regulasi khusus pengumpulan, pengangkutan dan daurulang dan pemusnahan
limbah elektronik dan perlunya program extended producer responsibility (EPR).

EPR tentang produk elektronik memerlukan regulasi yang spesifik. Saat ini sedang dilakukan
proses formulasi dan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pengelolaan B3 dan Limbah
B3 dan Dumping B3; RPP Sampah Spesifik, dan Rancangan Undang-undang (RUU) Bahan Kimia. Dalam
RPP dan RUU tersebut hendaknya terdapat pasal-pasal yang dapat memayungi program EPR.

Referensi : Sri Wahyono. 2013. Kebijakan Pengelolaan Limbah Elektronik Dalam Lingkup Global Dan
Lokal. Jurnal Teknik Lingkungan, 14(1), 17-24.

[22:25, 1/12/2021] Ayna: ralat referensi : Wahyono, S. (2012). Kebijakan Pengelolaan Limbah Elektronik
Dalam Lingkup Global Dan Lokal. Jurnal Teknologi Lingkungan, 14(1), 17-24.
Alternatif penanganan e-waste, selain direuse, adalah remanufacture yang merupakan sebuah proses
produksi yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi dari produk yang telah habis masa pakainya
menjadi seperti baru. Keunggulan dari melaksanakan proses remanufacture adalah meningkatkan
efisiensi penggunaan material dan konsumsi energi, sehingga berkontribusi secara langsung terhadap
usaha penghematan energi dan pengurangan sampah.

Sutanto, A., Yuliandra, B., & Pratama, W. (2017). Manufaktur Berkelanjutan Pada Sampah Elektronik:
Kasus Sampah Kulkas. Jurnal Optimasi Sistem Industri, 16(1), 25–33.

Anda mungkin juga menyukai