Anda di halaman 1dari 2

‘Nyaman, praktis, murah’ adalah beberapa alasan kenapa popok sekali pakai

banyak digunakan di Indonesia, bahkan di dunia. Namun tanpa disadari,


penggunaan popok sekali pakai secara massif ini, tidak dibarengi dengan
pengelolaan sampah dari popok sekali pakai tersebut. Ibarat kata, ingin
mendapatkan praktisnya saja, lalu mengabaikan dampak jangka panjangnya
kepada lingkungan dan kesehatan manusia. Belum lagi, adanya mitos ‘Suleten’
yang berkembang di bagian Timur Pulau Jawa, yang meyakini bahwa agar bayi
tidak celaka atau iritasi, maka popok sekali pakai harus dikubur atau dibuang
langsung ke kali atau ke sungai. Penggunaan popok sekali pakai (pospak) seolah
tidak tergantikan lagi. Keluarga dengan bayi kurang tiga tahun sangat bergantung
pada pospak. Di Yogyakarta sendiri, tepatnya di Sungai Pelang Sardonoharjo
Ngaglik, Sleman, terdapat ribuan sampah popok dalam kresek terbuang di bantaran
sungai. Begitu pula di Selokan Mataram ada bekas-bekas sampah popok diangkat
dari badan air ke bantaran sungai, beberapa nampak di dasar sungai, tersangkut di
pintu air dan mengambang di badan air. KLHK memasukkan sampah popok dalam
kategori sampah berbahaya dan beracun. Selain pathogen dari tinja atau kotoran
yang menempel di pospak yang tidak dibersihkan terlebih dahulu, terdapat pula
kandungan super absorben polymer (SAP), sodium poliacrylate microplastic,
microbeads dan lain-lain. Popok sekali pakai mengandung senyawa kimia Super
Absorbent Polymer (SAP) sebanyak 42% yang akan berubah bentuk menjadi gel
saat terkena air. Apabila terurai dalam air, zat kimia ini dapat berbahaya bagi
lingkungan. Senyawa ini dapat menyebabkan perubahan hormon pada ikan. Ikan
akan mengalami kesulitan dalam bertelur, sehingga jelas menganggu ekosistem
perairan. Umumnya bahan pokok pembuat popok sekali pakai adalah plastik yang
jika terurai di alam, akan menjadi mikroplastik dan mikrobeads yang mencemari
ekosistem dan biota perairan.

Brigade Evakuasi Popok (BEP) survei kepada 700 orang yang tinggal di wilayah
urban atau perumahan dan pinggiran kota (sub urban). Hasilnya, 92,8% di
perumahan lebih merasa nyaman dan mudah jika menggunakan pospak.  Namun,
perilaku membuang popok masih kurang memperhatikan aspek keamanan
lingkungan karena tanpa membersihkan dulu kotoran yang menempel di pospak
sebelum dibuang ada 85%.

Investigasi BEP menemukan, bahan baku popok 99% berbahaya dan beracun yang
memiliki dampak serius pada kesehatan dan lingkungan hidup. KLHK memasukkan
sampah popok dalam kategori sampah berbahaya dan beracun. Adapun kandungan
dan ancaman kesehatan yakni
super absorben polymer (SAP), sodium poliacrylate microplastic, microbeads dapat
berdampak pada keracunan, radang dan cidera paru-paru.

Ada pula kandungan selulosa (bubur kayu) tributilin berupa limbah B3, dampaknya
mengganggu hormon dan iritasi kulit. Ada styrene dermatitis, yang menyebabkan
depresi sistem syaraf pusat.

Selain itu, kadungan B3 lain, karsinogen Xylen dapat menyebabkan iritasi, radang
kulit dan gangguan fungsi paru-paru. Ada dioxin, dan mengangu reproduksi,
gangguan fungsi hati dan fungsi imun, serta pelapis antikerut pthalate 12, dapat
menyebabkan karsinogen, resistensi insulin dan gangguan reproduksi.

Untuk mengurangi sampah popok di sungai, salah satu cara dengan tak buang
sampah ke sungai. Selain itu, kata Prigi, produsen wajib meredesain,
mensosialisasikan, kepada konsumen tentang bahaya limbah popok.

Cara lain mengurangi sampah produk sekali pakai, popok dirancang secara
berkelanjutan. Popok ramah lingkungan, katanya, dengan cloth diaper (clodi).
Berbeda dengan popok sekali pakai, clodi dapat dipakai berulang kali karena bisa
dicuci lalu dikeringkan.

Clodi hampir sama dengan popok kain. Bedanya, clodi dilengkapi lapisan penyerap


ompol terbuat dari beragam material dengan kemampuan serap tinggi seperti
mikrofiber, bambu, wool, serta kayu hemp.

Lapisan dalam clodi menjaga kulit bayi relatif kering, bagian luar bahan polimer yang
tak tembus air hingga popok tak bocor. Dibandingkan popok sekali pakai, kata Prigi,
harga clodi memang lebih mahal hingga para orang tua harus lebih dalam merogoh
kantong.

popok sekali pakai mengandung senyawa kimia Super Absorbent Polymer (SAP) sebanyak
42% yang akan berubah bentuk menjadi gel saat terkena air. Apabila terurai dalam air, zat
kimia ini dapat berbahaya bagi lingkungan. Senyawa ini dapat menyebabkan perubahan
hormon pada ikan.

Selain itu, lanjut Prigi, 55% bahan pokok pembuat popok sekali pakai adalah plastik yang
notabene membutuhkan waktu lama untuk terurai. “Temuan terakhir kami bulan Juni sampai
Juli 2018 ada fragmen plastik dan fiber yang menyerupai bahan baku popok pada lambung ikan
Kali Brantas yang kami teliti."

ikroplastik mampu mengikat senyawa kimia berbahaya dan logam berat dalam air.

Baca selengkapnya di artikel "Jalan Panjang Gugatan Limbah Popok yang Mengotori Laut
Jawa", https://tirto.id/fCET

Anda mungkin juga menyukai