Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PRINSIP PERAWATAN BAYI DAN ANAK DENGAN HIV

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS

Dosen Pengampu : Ibu Sri Widiyati.,SKM.,M.Kes

Disusun oleh:
Kelompok 2
Kelas 4A3 RKI dan 4A3 Reguler

1. Inna Nur Hayati P1337420617015


2. Ibi Yulia Setyani P1337420617032
3. Yuni Tri Winanti P1337420617045
4. Aulia Khilda K P1337420617056
5. Nais Ziyan Millah P1337420617059
6. Sapna Luthfiyana P1337420617073
7. Taufiq Qurrahman P1337420617076
8. Istinganatul Muyassaroh P1337420617083
9. Alifia Jaya Wandira P1337420617085

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah SWT atas limpahan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Perawatan Bayi dan Anak
dengan HIV“. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan HIV/AIDS. Terimakasih kepada Ibu Dina Indrati, SKep. Ns. Sp.
MKep. Sp. Mat selaku dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS,
yang telah memberikan bimbingan serta pengarahan sehingga makalah ini dapat
disusun dengan baik. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat. Penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C. Tujuan ......................................................................................................... 3
BAB II ISI
2.1 Pengertian HIV/AIDS................................................................................... 4
2.2 Tanda dan Gejala HIV Pada Anak ............................................................... 4
2.3 Penularan HIV Pada Anak............................................................................ 6
2.4 Pendekatan Diagnosa HIV Pada Bayi dan Anak ......................................... 7
2.5 Uji Laboratorim dan Diagnostik HIV .......................................................... 12
2.6 Prevention Of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)...................... 13
2.7 Tata Laksana Bayi Pada Ibu HIV Positif...................................................... 13
2.8 Perawatan Pada Anak dengan HIV/AIDS..................................................... 18
2.9 Pemilihan Pengobatan .................................................................................. 19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................. 20
B. Saran............................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap tahunnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV semakin
meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan
hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada
pasangan seksualnya. Di sejumlah negara berkembang HIV-AIDS
merupakan penyebab utama kematian perempuan usia reproduksi. Infeksi
HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu serta ibu dapat
menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi
HIV, dapat ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak
atau mother-tochild HIV transmission (MTCT). Selama kehamilan, saat
persalinan dan saat menyusui (Kemenkes RI, 2012).
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan
utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi
kematian ibu dan anak. Sampai saat ini kasus HIV-AIDS telah dilaporkan
oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi., pada tahun 2016
Kementerian Kesehatan memperkirakan Indonesia akan mempunyai
hampir dua kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dewasa
dan anak (812.798 orang) dibandingkan pada tahun 2008 (411.543 orang),
bila upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilaksanakan tidak
adekuat sampai kurun waktu tersebut. (Laporan Pemodelan Matematika
epidemi HIV di Indonesia,Kemenkes, 2012).
Data Kementerian Kesehatan (2012) menunjukkan dari 21.103 ibu
hamil yang menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi
HIV. Hasil Pemodelan Matematika Epidemi HIV Kementerian Kesehatan
tahun 2012 menunjukkan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun
dan prevalensi HIV pada ibu hamil di Indonesia diperkirakan akan
meningkat. Jumlah kasus HIV-AIDS diperkirakan akan meningkat dari
591.823 (2012) menjadi 785.821 (2016), dengan jumlah infeksi baru
HIVyang meningkat dari 71.879 (2012) menjadi 90.915 (2016). Sementara
itu, jumlah kematian terkait AIDS pada populasi 15-49 tahun akan
meningkat hampir dua kali lipat di tahun 2016. Penularan HIV dari ibu
yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular baik dari
pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko. Meskipun angka
prevalensi dan penularan HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu
hamil yang terinfeksi HIV cenderung meningkat. Prevalensi HIV pada ibu
hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38% (2012) menjadi 0,49% (2016),
dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan PPIA juga
akan meningkat dari 13.189 orang pada tahun 2012 menjadi 16.191 orang
pada tahun 2016.
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan
di Indonesia sejak tahun 2004, khususnya di daerah dengan tingkat
epidemi HIV tinggi. Namun, hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94
layanan PPIA (Kemkes, 2011), yang baru menjangkau sekitar 7% dari
perkiraan jumlah ibu yang memerlukan layanan PPIA.
Anak-anak dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
memiliki risiko harga diri yang rendah, masalah emosi dan perilaku, dan
komplikasi dari infeksi HIV itu sendiri. Itu kualitas hidup anak dengan
HIV menurun meskipun sudah mendapat pengobatan ARV, karena
masalah gizi, masalah psikososial, rendahnya cakupan HIV pada ibu hamil
perempuan, keterlambatan diagnosis dan stigma negatif tentang HIV.
Evaluasi kualitas Kehidupan pada anak dengan HIV dibutuhkan seiring
berjalannya waktu untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan hiv/aids?
b. Bagaimana tanda dan gejala pada anak HIV?
c. Bagaimana penularan hiv pada anak?
d. Bagaimana pendekatan diagnosa hiv pada bayi dan anak?
e. Bagaimana uji laboratorium dan diagnostik pada HIV?
f. Bagaimana Prevention Of Mother to Child HIV Transmission
(PMTCT)?
g. Bagaimana tata laksana bayi dari ibu hiv positif?
h. Bagaimana perawatan pada anak dengan hiv/aids?
i. Bagaimana pemilihan pengobatan pada anak dengan HIV?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian HIV/AIDS
b. Untuk mengetahui tanda dan gejala HIV pada anak
c. Untuk mengetahui cara penularan HIV pada anak
d. Untuk mengetahui pendekatan diagnosa HIV pada bayi dan anak
e. Untuk mengetahui uji laboratorium dan diagnostik pada anak HIV
f. Untuk mengetahui Prevention Of Mother to Child HIV Transmission
(PMTCT)
g. Untuk mengetahui tata laksana bayi dari ibu hiv positif
h. Untuk mengetahui perawatan pada anak dengan hiv/aids
i. Untuk mengetahui pemilihan pengobatan pad anak HIV
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian HIV/AIDS


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang atau
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia (Irianto, 2014).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan
gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi oleh HIV (Irianto, 2014).
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh. HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada
manusia yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka
waktu yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri
adalah suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu
relatif lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh
infeksi HIV.
Menurut (Nursalam, 2013), HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam
family lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya
dengan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama
periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lainnya, HIV
menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang, dan utamanya
menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan
beberapa kerusakan sistem imun dan limfosit untuk mereplikasikan diri.

2.2 Tanda dan Gejala HIV Pada Anak


Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi
penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau
kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari.
Kebanyakan anak dengan infeksi HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan
3 tahun.Tanda-tanda klinis akut yang disebabkan oleh organisme virulen pada
penderita limfopeni CD4+ yang terinfeksi HIV-1 disebut infeksi oportunistik
"penentu-AIDS". Infeksi oportunistik yang paling sering dan sangat
mematikan adalah pneumonia P. carinii (PPC). Tanda klinis PPC pada bayi
terinfeksi HIV-1 merupakan distress pernapasan berat dengan batuk, takipnea,
dispnea dan hipoksemia dengan gas darah menunjuk ke arah blokade kapiler
alveolar (mis ; proses radang interstisial). Roentgenogram dada menunjukkan
pneumonitis difus bilateral dengan diafragma datar.
Diagnosis biasanya diperkuat oleh bronkoskopi fleksibel dan cuci
bronkoalveolar dengan pewarnaan yang tepat untuk kista maupun tropozoit.
Kadar laktat dehidroginase biasanya juga naik. Diagnosa banding pada bayi
termasuk herpes virus ( sitomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus herpes
simpleks ), virus sinsitial respiratori, dan infeksi pernafasan terkait mengi.
Pengobatan infeksi PPC harus dimulai seawal mungkin, tetapi prognosis jelek
dan tidak secara langsung dikorelasikan dengan jumlah limfosit CD4+..
Reaktivasi PPC tampak semakin bertambah pada anak yang lebih tua yang
mempunyai perjalanan klinis infeksi HIV-1 yang lebih kronis. Profilaksis
PPC (trimetropim-sulfametoksasol tiga kali seminggu ) dianjurkan pada
penderita pediatri dengan angka limfosit-T CD4+ rendah (<25% angka
absolut ).

Infeksi oportunistik penentu AIDS yang relatif sering kedua adalah


esofagitis akibat Candida albicans. Esofagitis Candida nampak sebagai
anoreksia atau disfagia, dikomplikasi oleh kehilangan berat badan, dan
diobati dengan amfoterisin B dan ketokonazol. Infeksi oportunistik penting
lain melibatkan ssstem saraf sentral, sepertii Toxoplasma gondii. Infeksi
Mycobacterium avium complex biasanya menimbulkan gejala saluran cerna,
dan herpes virus menimbulkan komplikasi retina, paru, hati, dan neurologist.
M. tuberculosis dan malaria yang tersebar di seluruh dunia adalah patogen
oportunistik pada penderita AIDS. Neoplasma relatif tidak sering pada
penderita terinfeksi HIV-1 pediatri. (Behrman,dkk,2002: 1129 ).Manifestasi
klinisnya antara lain :
1. Berat badan lahir rendah
2. Gagal tumbuh
3. Limfadenopati umum
4. Hepatosplenomegali
5. Sinusitis
6. Infeksi saluran pernafasan atas berulang
7. Parotitis
8. Diare kronik atau kambuhan
9. Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10. Infeksi virus Epstein-Barr persisten
11. Sariawan Orofaring
12. Trombositopenia
13. Infeksi bakteri seperti meningitis
14. Pneumonia Interstisial kronik
Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena
sarafnya yang memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif,
perkembangan yang terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.

2.3 Penularan HIV Pada Anak


Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit kronis yang
disebabkan oleh retrovirus, HIV pada anak dapat ditularkan secara vertikal,
seksual, kontaminasi darah atau penyalahgunaan obat intra vena. Infeksi
vertikal HIV bisa terjadi sebelum lahir, persalinan dan setelah lahir.
Penularan dari ibu ke anak, pada saat hamil sirkulasi darah janin dan
sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di
plasenta. Plasenta yang melindungi janin dari infeksi HIV, tetapi jika terjadi
peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta maka HIV bisa
menenbus plasenta sehingga 36 terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Lebih
dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat ditularkan
dari ibu yang terinfeksi HIV pada anaknya selama kehamilan, saat persalinan
dan menyusui. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
antara lain faktor ibu, faktor bayi dan faktor tindakan obstetri (Kemenkes,
2014).
Transmisi Vertikal(>90%) atau penularan dari Ibu hamil kepada anak yang
dikandungnya: intra uterine(5-10%), during labour(10-20%), post partum(5-
20%)
a. Antenatal : saat bayi masih berada di dalam rahim, melalui plasenta.
b. Intranatal : saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan
vagina.
c. Postnatal : setelah proses persalinan, melalui air susu ibu. Kenyataannya
25-35% dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sudah terinfeksi di
negara berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan anak yang tertular
HIV tertular dari ibunya.
Transmisi Horisontal:
a. Transfusidarah
b. Jarum suntik (remaja pengguna narkoba)
c. Hubungan seks(sexual abuse)

2.4 Pendekatan Diagnosa HIV Pada Bayi dan Anak


 Uji virologi (PCR RNA/DNA HIV) harus dilakukan pada semua bayi
yang mendapatkan program PMTCT saat berusia 6 minggu atau sesegera
mungkin setelah bayi berusia 6 minggu.
 Bayi dengan hasil uji virologi positif, harus segera diberikan ARV dan
pada saat yang sama dilakukan uji virologi kedua untuk konfirmasi
diagnosis.
 Bayi dengan hasil uji virologi negatif pada pemeriksaan pertama, harus
dilakukan uji virologi kedua saat usia 4-6 bulan untuk konfirmasi
diagnosis.
 Pemeriksaan untuk konfirmasi diagnosis dapat dilakukan saat usia 18
bulan dengan melakukan uji serologi.
Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar
dari pada orang dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang
tidak / kurang meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang harus
dipikirkan sebagai diagnosa bandingnya, juga karena pemeriksaan
serologisnya yang sering membingungkan. Adanya antibodi terhadap HIV
(IgG) pada darah bayi dapat merupakan antibodi yang berasal dari ibunya,
karena antibodi ini dapat menembus plasenta, yang dapat menetap berada
dalam darah si anak sampai berumur 18 bulan. Kalau hal ini terjadi , maka
memerlukan pemeriksaan serial dan untuk mengevaluasi kebenaran terjadinya
infeksi bagi si bayi. Pada umumnya dikatakan, masih terdapatnya antibodi
sampai lebih dari 15 bulan menunjukkan adanya infeksi HIV pada bayi.
Terdapatnya antibodi kelas IgM atau IgA, mempunyai arti diagnostik yang
lebih tinggi, dengan sensitifitas dan spesifitas sampai 98%. Pada umumnya
diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :

1. Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.


2. Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa keganasan
3. Adanya tanda-tanda defisiensi imun, seperti menurunnya T4 (ratio
T4:T8)
4. Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari defisiensi imun.
5. Terbukti adanya HIV baik secara serologi maupun kultur.

Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM


maupun IgA) yang dapat dikerjakan dengan metoda Elisa maupun Weste
Blot. Dapat pula dengan menentukan Antigen p-24 dengan metoda Elisa,
ataupun DNA –virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Pemeriksaan ini tentunya mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi.
Metoda lain yang sedang dikembangkan adalah IVAP (In vitro Antibody
Production), dengan mencari sel-sel penghasil antibodi dari darah bayi.
WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak sebagai berikut

1. Seorang anak (<12 tahun) dianggap menderita AIDS bila :


a. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurang-
kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala-
gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak
berkaitan dengan infeksi HIV.
b. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor
dengan ibu yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh
keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Tabel 1 : Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut WHO).

Gejala Mayor :

a) Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan.


b) Diare kronik (lebih dari 1 bulan)
c) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
d) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap
Gejala Minor :

a) Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali


b) Kandidiasis mulut dan faring
c) Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis
d) Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)
e) Dermatitis yang menyelurh
f) Ensefalitis
Metoda ini mempunyai spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas “positive
predictive value”nya yang rendah. Pada umumnya digunakan hanya untuk
melakukan surveillance epidemiologi.Untuk keperluan pencatatan dalam
melaksanakan surveillance epidemiologi, CDC telah membuat klasifikasi
penderita AIDS pada anak sebagai berikut :

Tabel 2. Klasifikasi infeksi HIV pada anak di bawah umur 18 tahun


menurut Center for Disease Control (CDC)
Klas Subklas / kategori

P-0 Infeksi yang tak dapat dipastikan (indeterminate infection)

P1 Infeksi yang asimtomatik


Subklas A : Fungsi immun normal

Subklas B : Fungsi immun tak normal

Subklas C : Fungsi immun tidak diperiksa

P-2 Infeksi yang simtomatik

Subklas A : Hasil pemeriksaan tidak spesifik (2/lebih gejala


menetap lebih 2 bulan)
Subklas B : Gejala neurologis yang progressip

Subklas C : Lymphoid interstitial pneumonitis

Subklas D : Penyakit infeksi sekunder

Kategori D-1 Infeksi sekunder yang spesifik, sebagaimana


tercantum dalam daftar definisi surveillance
CDC untuk AIDS
Kategori D-2 Infeksi bakteri serius berulang

Kategori D-3 Penyakit infeksi sekunder yang lain

Subklas E : Kanker sekunder

Kategori E-1 Kanker sekunder sebagaimana tercantum dalam


daftar definisi surveillance CDC untuk AIDS
Kategori E-2 Kanker lain yang mungkin juga disebabkan
karena infeksi AIDS
Subklas F : Penyakit-penyakit lain yang mungkin juga disebabkan oleh
infeksi H HIV

Anak-anak yang menderita penyakit dengan gejala klinis yang


tidak sesuai dengan kriteria diagnosa infeksi HIV disebut “AIDS Related
Complex (ARC)”. Pada umumnya gejalanya berupa : limfadenopati,
peumonitis interstitialis, diare menahun, infeksi berulang, kandidiasis
mulutyang menetap, serta pembesaran hepar, namun belum ada infeksi
oportunistik atau keganasan.

Untuk memudahan dalam membuat diagnosa ARC, oleh CDC


telah pula diberikan kriterianya seperti tercantum pada tabel 3

Tabel 3. Kriteria AIDS Related Complex (ARC) pada anak (CDC)

Kriteria Mayor :

- Pneumonitis interstitialis
- “Oral Thrush” yang menetap / berulang
- Pembesaran kelenjar parotis
Kriteria Minor :

- Limfadenopati pada 2 tempat atau lebih (bilateral dihitung 1)


- Pembesaran hepar dan lien
- Diare menahun / berulang
- Kegagalan pertumbuhan (“failure to thrive”)
- Ensefalopati idiopatik progresip
Kriteria Laboratorium :

- Peningkatan IgA / IgM dalam serum


- Perbandingan T4/T8 terbalik
- IVAP rendah

Diagnosa ARC ditegakkan apabila ada 1 kriteria mayor, 1 kriteria minor. Serta
2 kriteria laboratorium selama lebih dari 3 bulan.
2.5 Uji Laboratorium dan Diagnostik HIV
1. Kultur HIV – standar emas untuk memastikan diagnosis pada bayi.
2. Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction [PCR]) – mendeteksi
asam deoksiribonukleat (DNA) HIV (uji langsung ini bermanfaat untuk
mendiagnosis HIV pada bayi dan anak.
3. Uji antigen HIV – mendeteksi antigen HIV.
4. HIV, IgA, IgM – mendeteksi antibodi HIV yang diproduksi bayi (secara
eksperimental dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi).
Mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dari ibu yang terinfeksi HIV
tidak mudah. Dengan menggunakan gabungan dari tes-tes di atas,
diagnosis dapat ditetapkan pada kebanyakan anak yang terinfeksi sebelum
berusia 6 bulan.
1. Temuan laboratorium ini umumnya terdapat pada bayi dan anak-anak
yang terinfeksi HIV : Penurunan rasio CD4 terhadap CD8.
2. Limfopenia.
3. Anemia, trombositopenia.
4. Hipergammaglobulinemia (IgG, IgA, IgM).
5. Penurunan respon terhadap tes kulit (candida albican, tetanus).
6. Respon buruk terhadap vaksin yang didapat (dipteria, tetanus, morbili )
7. Haemophilus influenzae tipe B
8. Penurunan jumlah limfosit CD4+ absolut.
9. Penurunan persentase CD4+.
Bayi yang lahir dari ibu HIV positif yang berusia kurang dari 18
bulan dan yang menunjukkan uji positif untuk sekurang-kurangnya 2
determinasi terpisah dari kultur HIV, reaksi rantai polimerase – HIV, atau
antigen HIV, maka dia dapat dikatakan “terinfeksi HIV”. Bayi yang lahir
dari ibu HIV-positif, berusia kurang dari 18 bulan, dan tidak positif
terhadap ketiga uji tersebut dikatakan “terpajan pada masa perinatal”.
Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV yang ternyata antibodi HIV negatif
dan tidak ada bukti laboratorium lain yang menunjukkan bahwa ia
terinfeksi HIV, maka ia dikatakan “Seroreverter”.
2.6 Prevention Of Mother-To-Child Hiv Transmission (PMTCT)
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya dapat dilakukan dengan 4
kegiatan meputi :
a. Mencegah wanita usia reproduktif terinfeksi HIV
b. Mencegah kehamilan tidak direncanakan pada ibu(wanita) HIV positif
c. Mencegah penularan secara vertical HIV dari ibu ke bayi
d. Dukungan psikososial bagi ibu HIV positif beserta bayi dan keluarga
Dalam pencegahan HIV dari ibu ke anaknya, terhadap ibu hamil yang
memeriksakan kehamilan harus dilakukan promosi kesehatan dan pencegahan
penularan HIV. Pencegahan penularan terhadap ibu hamil dilakukan melalui
pemeriksaan diagnostis HIV dengan tes dan konseling. Tes dan konseling
dianjurkan sebagai bagian dari pemerikaan laboratorium rutin saat
pemeriksaan asuhan antenatal atau menjelang persalinan pada semua ibu
hamil di daerah dengan epidemic meluas dan terkonsentrasi atau ibu hamil
dengan keluhan IMS dan TB di daerah epidemic rendah (Permenkes No. 21
tahun 2013 pasal 16 & 17).

2.7 Tata laksana Bayi dari ibu HIV Positif


Penatalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang
terbukti terinfeksi HIV. Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala
cairan yang berasal dari ibu baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya
segala tindakan terhadap si bayi dikerjakan secara steril. Pertimbangan untuk
tetap memberikan ASI harus dipikirkan masak-masak, bahkan ada yang
menganjurkan untuk penunjukan orang tua asuh. Penting untuk senantiasa
memonitor anti HIV, sejak si ibu hamil sampai melahirkan, demikian juga
sang bayi sampai berumur lebih dari 2 tahun. Ada pula yang menganjurkan
untuk melakukan terminasi kehamilan, bagi ibu yang jelas terkena infeksi
HIV, karena kemungkinan penularan pada bayinya sampai 50%.
1. Antiretroviral Profilaksis
ARV Profilaksis untuk bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV :
 Bayi mendapat susu formula: zidovudine selama 6 minggu
 Bayi mendapat ASI : zidovudine dan nevirapine selama 6 minggu
(syarat ibu mendapat ART) (Level of evidence 1a, Recommendation
A) Dina M. KONIKA. 2017.
ARV ( Anti Retro Viral) bekerja langsung menghambat replikasi
(penggandaan diri) HIV dan beberapa kombinasi obat ARV bertujuan
untuk mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah)agar menjadi
sangat rendah atau berada di bawah tingkat yang dapt terdeteksi untuk
jangka waktu yang lama
Tujuan pemberian ART adalah diantaranya mengurangi
morbiditas dan mortalitas terkait HIV, memperbaiki mutu hidup,
memulihkan dan memelihara fungsi kesehatan, menekan replikasi
virus semaksimal mungkin dalam waktu yang lama.

1) Profilaksis Infeksi Oportunistik:


Co-trimoxazole profilaksis untuk bayi yang lahir dari ibu
terinfeksiHIV:
 Co-trimoxazole profilaksis harus diberikan untuk semua bayi yang
lahir dari ibu terinfeksi HIV sejak usia 6 minggu sampai infeksi
HIV pada anak dapat disingkirkan
 Dosis: 4-6 mgTMP/kg BB, setiap24 jam
Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak
Kategori Tes yang Tujuan Aksi
diperlukan
Bayi sehat, ibu Uji Virologi Mendiagnosis Mulai ARV bila
terinfeksi HIV umur 6 minggu HIV terinfeksi HIV
Bayi-pajanan Serologi ibu Untuk Memerlukan tes
HIV tidak atau bayi identifikasi atau virologi bila
diketahui memastikan terpajan HIV
pajanan HIV
Bayi sehat Serologi pada Untuk Hasil positif
terpajan HIV, imunisasi 9 mengidentifikasi harus diikuti
umur 9 bulan bulan bayi yang masih dengan uji
memiliki virologi dan
antibodi ibu atau pemantauan
seroreversi lanjut. Hasil
negatif, harus
dianggap tidak
terinfeksi, ulangi
test bila masih
mendapat ASI
Bayi atau anak Serologi Memastikan Lakukan uji
dg gejala dan infeksi virologi bila
tanda sugestif umur < 18 bulan
infeksi HIV
Bayi umur > 9 - Uji virologi Mendiagnosis Bila positif
< 18 bulan HIV terinfeksi segera
dengan uji masuk ke
serologi positif tatalaksana HIV
dan terapi ARV
Bayi yang sudah Ulangi uji Untuk Anak < 5tahun
berhenti ASI (serologi atau mengeksklusi terinfeksi HIV
virologi) setelah infeksi HIV harus segera
berhenti minum setelah pajanan mendapat
ASI 6 minggu dihentikan tatalaksana HIV
termasuk ARV

2. Nutrisi
 Mengandung nutrien yang sangat penting
 Nutiren lengkap
 Sesuai kebutuhan bayi berdasarkan usia bayi
 Tidak alergi
Pilihan nutrisi pada bayi juga harus menimbang berbagai hal. Ibu harus
mendapatkan informasi mengenai keuntungan dan kerugian konsumsi susu
formula dan ASI. Air susu ibu merupakan sumber transmisi HIV sesudah
kelahiran. Ibu yang memilih susu formula harus memenuhi syarat AFASS
dari WHO, yaitu acceptable (dapat diterima), feasible (mudah dilakukan),
affordable (harga terjangkau), sustainable (berkelanjutan), dan safe
(aman). Bagi ibu yang tidak dapat memenuhi syarat AFASS tadi, ibu dapat
memberikan ASI eksklusif sampai AFASS terpenuhi. Untuk mengurangi
risiko transmisi HIV pada saat memberikan ASI, teknik menyusui haruslah
benar, cegah/obati perlukaan pada payudara/bayi, perbaiki keadaan umum
bayi untuk mencegah infeksi, ibu dan bayi juga harus mendapatkan obat
antiretroviral. Walaupun demikian, risiko transmisi HIV masih tetap ada.
Pemberian nutrisi campur, yaitu ASI dengan susu formula tidak
diperbolehkan karena akan meningkatkan risiko transmisi HIV.

3. Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan


1) Terintegrasi dengan pemantauan tumbuh kembang rutin (KMS)
2) Tidak ada stigma negatif
3) Imunisasi
4) Dukungan keluarga yaitu asah, asih, asuh sehingga tumbuh kembang
anak optimal
4. Imunisasi
Imunisasi untuk bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV :
 Vaksin inactivated dapat diberikan kepada bayi yang lahir dari ibu
terinfeksi HIV sesuai jadwal imunisasi nasional
 Vaksin BCG dapat diberikan kepada bayi yang lahir dari ibu terinfeksi
HIV jika telah terbukti bayi tidak terinfeksi HIV.
 Vaksin campak dan polio oral dapat diberikan kepada bayi sehat yang
lahir dari ibu terinfeksi HIV.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa bayi yang tertular HIV
melalui transmisi vertikal masih mempunyai kemampuan untuk memberi
respons imun terhadap vaksinasi sampai umur 1-2 tahun. Oleh karena itu
di negara-negara berkembang tetap dianjurkan untuk memberikan
vaksinasi rutin pada bayi yang terinfeksi HIV melalui transmisi vertikal.

5. Dukungan Psikologis
Selain pemberian nutrisi yang baik bayi memerlukan kasih sayang
yang kadang-kadang kurang bila bayi tidak disusukan ibunya. Perawatan
anak seperti pada anak lain. Hindari jangan sampai terluka. Bilamana
sampai terluka rawat lukanya sedemikian dengan mengusahakan agar si
penolong terhindar dari penularan melalui darah. Pakai sarung tangan dari
latex dan tutup luka dengan menggunakan verban. Darah yang tercecer di
lantai dapat dibersihkan dengan larutan desinfektans. Popok dapat
direndam dengan deterjen. Perlu mendapat dukungan ibu, sebab ibu dapat
mengalami stres karena penyakitnya sendiri maupun infeksi berulang yang
diderita anaknya.

2.8 Perawatan pada Anak dengan HIV/AIDS


1) Nutrisi pada Anak dengan HIV/AIDS
Pemberian Nutrisi pada bayi dan anak dengan HIV/AIDS tidak
berbeda dengan anak yang sehat, hanya saja asupan kalori dan proteinnya
perlu ditingkatkan. Selain itu perlu juga diberikan multivitamin, dan
antioksidan untuk mempertahankan kekebalan tubuh dan menghambat
replikasi virus HIV. sebaiknya dipilih bahan makanan yang risiko
alerginya rendah dan dimasak dengan baik untuk mencegah infeksi
oportunistik. Sayur dan buah-buahan juga harus dicuci dengan baik dan
sebaiknya dimasak sebelum diberikan kepada anak. Pemberian (Nurs dan
Kurniawan, 2013:167).

2) Dukungan sosial spiritual pada Anak dengan HIV/AIDS


Anak yang didiagnosis HIV juga mendatangkan trauma emosi yang
mendalam bagi keluarganya. Orang tua harus menghadapi masalah berat
dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang, dan sebagainya sehingga
dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak. Orang tua memerlukan
waktu untuk mengatasi masalah emosi, syok, kesedihan, penolakan,
perasaan berdosa, cemas, marah, dan berbagai perasaan lain. Anak perlu
diberikan dukungan terhadap kehilangan dan perubahan mencakup :
a. Memberi dukungan dengan memperbolehkan pasien dan keluarga
untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaan
keluarga
b. Membangkitkan harga diri anak serta keluarganya dengan melihat
keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah
c. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya
d. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat
mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain (Nurs
dan Kurniawan, 2013:169).

3) Memilih mainan yang tepat


Mainan yang diisi kapuk dan berbulu lembut dapat menyimpan
kotoran dan menyembunyikan kuman-kuman yang dapat menyebabkan
anak sakit. Lebih baik mainan plastik dan yang dapat dicuci. Jika anak
mempunyai mainan yang diisi kapuk, sering-seringlah mencucinya dengan
mesin pencuci sebersih mungkin.

4) Jauhkan anak dari tempat kotoran hewan dan kotak pasir yang pernah
dipakai hewan peliharaan atau hewan lain.
5) Usahakan agar anak terhindar dari infeksi penyakit menular, terutama
cacar air. Jika anak dengan infeksi HIV dekat dengan orang yang terkena
cacar air, segera beri tahu dokter anak. Cacar air dapat menyebabkan
kematian pada anak AIDS.

6) Setiap luka atau goresan harus segera diperban dengan baik setelah dicuci
dengan sabun dan air hangat

2.9 Pemilihan Pengobatan


Dokter harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti resistensi obat
dan efek samping obat untuk menentukan pengobatan terbaik bagi infeksi HIV
yang dialami. Akan tetapi, pada beberapa orang, HIV akan berkembang
menjadi AIDS yang sangat berbahaya bagi jiwa penderitanya.
Walaupun tidak dapat menyembuhkan, pengobatan HIV dapat membantu
mereka yang menderita HIV hidup lebih lama dan lebih sehat. Dengan
demikian mereka dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan dapat
melakukan berbagai keputusan penting dalam hidupnya.

BAB III
KESIMPULAN

A. Simpulan
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh. HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada
manusia yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka
waktu yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS.
Tanda dan gejala bayi yang terinfeksi HIV tidak dapat dikenali secara
klinis sampai terjadi penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare,
gagal tumbuh, atau kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang
mendasari. Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena sarafnya
yang memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif, perkembangan
yang terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.
Penatalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang
terbukti terinfeksi HIV. Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala
cairan yang berasal dari ibu baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya
segala tindakan terhadap si bayi dikerjakan secara steril. Pertimbangan untuk
tetap memberikan ASI harus dipikirkan masak-masak, bahkan ada yang
menganjurkan untuk penunjukan orang tua asuh. Penting untuk senantiasa
memonitor anti HIV, sejak si ibu hamil sampai melahirkan, demikian juga
sang bayi sampai berumur lebih dari 2 tahun. Ada pula yang menganjurkan
untuk melakukan terminasi kehamilan, bagi ibu yang jelas terkena infeksi
HIV, karena kemungkinan penularan pada bayinya sampai 50%.
Tujuan pemberian ART adalah diantaranya mengurangi morbiditas dan
mortalitas terkait HIV, memperbaiki mutu hidup, memulihkan dan
memelihara fungsi kesehatan, menekan replikasi virus semaksimal mungkin
dalam waktu yang lama.
ARV ( Anti Retro Viral) bekerja langsung menghambat replikasi
(penggandaan diri) HIV dan beberapa kombinasi obat ARV bertujuan untuk
mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah)agar menjadi sangat rendah
atau berada di bawah tingkat yang dapt terdeteksi untuk jangka waktu yang
lama

B. Saran
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi, pembaca bisa mencari
literature lain yang membahas lebih detail serta menambahkan hal-hal yang
belum terdapat pada makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Suradi, Rulina. 2003. Tata Laksana Bayi Dari Ibu Pengidap HIV/AIDS. Sari
Pediatri. 4(4), 180-185. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2020.

Huriati. 2014. HIV/AIDS Pada Anak. Sulesana. 9(2), 126-131. Diakses pada
tanggal 11 Agustus 2020.

Indonesian Pediatric Society. (2016, 13 Oktober). Infeksi HIV Pada Anak (Bagian
I). Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2020, dari
https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/infeksi-hiv-pada-anak-
bagian-i

Indonesian Pediatric Society. (2016, 13 Oktober). Infeksi HIV Pada Anak (Bagian
II). Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2020, dari
https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/infeksi-hiv-pada-anak-
bagian-ii

Muharman, Jendrius, & Indradin. Praktik Sosial Pengasuhan Anak Terinfeksi HIV
dan AIDS dalam Keluarga di Kota Padang : Studi EnamKeluarga dengan
Anak Terinfeksi HIV/AIDS. Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan,
4(2),

Yayasan Spiritia. (2016). Merawat ODHA di Rumah. Jakarta: Yayasan Spiritia.


Behrman, dkk.(2009). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakatra : EGC

Betz, Cecily L. (2010). Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E. (2010). Rencana Keperawatan Maternal / Bayi. Edisi 2.


Jakarta : EGC

Rampengan & Laurentz. (2008). Ilmu Penyakit Tropik pada Anak. Jakarta : EGC
Robbins, dkk. (2008). Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC

RSUD Dr. Soetomo / FK UNAIR. (2000). Instalasi Rawat Inap Anak, Surabaya.

Syahlan, JH. (2007) . AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media

Wartono, JH. (2000). AIDS Dikenal Untuk Dihindari. Jakarta : Lembaga


Pengembangan Informasi Indonesia

Anda mungkin juga menyukai